Anda di halaman 1dari 35

BAB I PENDAHULUAN

Sel tumor adalah sel tubuh yang mengalami transformasi dan tumbuh secara otonom, lepas dari kendali pertumbuhan sel normal sehingga sel ini berbeda dari sel normal dalam bentuk dan strukturnya.1 Tumor adneksa adalah tumbuhnya jaringan abnormal pada sistem reproduksi yaitu pada tuba fallopi, kemudian pada uterus dan ovarium biasanya terjadi bersamaan.1 Tumor adneksa adalah tumor ganas di tuba fallopi, lebih sekunder berasal dari tumor ganas ovarium, atau uterus.1 Peradangan yang terjadi kebanyakan akibat infeksi yang menjalar ke atas dari uterus, walaupun infeksi ini juga bisa datang dari tempat ekstra-vaginal lewat jalan darah, atau menjalar dari jaringan-jaringan sekitarnya.2 Kata anestesi diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang

menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Berdasarkan analisis kata anestesi (an = tidak, aestesi = rasa) maka ilmu anestesi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa, baik rasa nyeri, takut dan rasa tidak nyaman yang lain sehingga pasien nyaman.3,4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANESTESI 2.1.1. Definisi Anestesi Kata anestesi berasal dari bahasa yunani yang berarti keadaan tanpa rasa sakit. Anestesia adalah suatu keadaan depresi dari pusat - pusat saraf tertentu yang bersifat reversible, dimana seluruh perasaan dan kesadaran hilang. Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan yang meliputi pemberian anestesi ataupun analgesi, pengawasan keselamatan pasien dioperasi atau tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri menahun.3,4,5

2.1.2. Jenis-jenis anestesi 1. Anestesi umum 4,5 Tindakan menghilangkan rasa nyeri / sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias ideal terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot. Trias anestesi ini dapat dicapai dengan menggunakan obat yang berbeda secara terpisah. Teknik ini sesuai untuk pembedahan abdomen yang luas, intraperitonium, toraks, intrakranial, pembedahan yang berlangsung lama, dan operasi dengan posisi tertentu yang memerlukan pengendalian pernapasan.4

Cara pemberian anestesi umum : Parenteral (IM/IV). digunakan untuk tindakan yang singkat atau induksi anestesi. Umumnya diberikan thiopental, namun pada kasus tertentu dapat digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan yang lama anestesi parenteral dikombinasikan dengan cara lain. Perektal. Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan singkat. Anestesi inhalasi. yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anesetsi yang mudah menguap sebagai zat anestetik melalui udara pernafasan. Zat anestetik melalui udara pernapasan. Zat anestetik yang digunakan berupa campuran gas (dengan O2) dan konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari tekanan parsialnya. Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium yaitu: Stadium I Stadium I (analgesia) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini. Stadium II Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernafasan kembali teratur. Pada stadium ini terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis, menyanyi, pernapasan
3

tidak teratur, kadang-kadang apnoe dan hiperpnoe, tonus otot rangka meningkat, inkotinensia urin dan alvi, muntah, midriasis, hipertensi serta takikardia. Stadium ini harus cepat dilewati karena dapat menyebabkan kematian. Stadium III Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana, yaitu: Plana I : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil miosis, refleks cahaya ada, refleks lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot mulai menurun). Plana II : Pernapasan teratur, spontan, perut dada, volume tidak menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang dan refleks laring hilang sehingga dapat diketjakan intubasi. Plana III : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritonium tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun). Plana IV: Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfingter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat menurun). Stadium IV
4

Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana IV. Pada stadium ini tekanan darah tidak dapat diukur,denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.

2. Anestesi Lokal 5,6,7 Tindakan menghilangkan nyeri/sakit secara lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran. Pemberian anestetik lokal dapat dengan cara: Anestesi permukaan Yaitu pengolesan atau penyemprotan analgetik lokal diatas selaput mukosa seperti mata, hidung atau faring. Anestesi infiltrasi Yaitu penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan di sekitar tempat lesi, luka atau insisi, Cara infiltrasi yang sering digunakan adalah blockade lingkar dan obat disuntikkan intradermal atau subkutan. Anestesi blok Yaitu penyuntikan analgetika lokal langsung kesaraf utama atau pleksus saraf. Misalnya anestesi spinal, anestesi epidural, anestesi kaudal. Anastesi regional intravena yaitu penyuntikan larutan analgetik lokal intravena. Ekstremitas dieksanguinasi dan diisolasi bagian proksimalnya dari sirkulasi sistemik dengan torniquet.

2.1.3 Penilaian dan persiapan pra anestesi 4,6 Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor

penyumbang sebab-sebab terjadinya kecelakaan anestesi. Dokter spesialis anestesiologi seyogyanya mengunjungi pasien sebelum pasien dibedah, agar ia dapat menyiapkan pasien, sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan bugar. Maksud dan tujuan kunjungan pra anestesi; 1) menentukan keadaan physis penderita 2) Mermilih teknik dan obat-obatan anestesi yang sesuai dengan keadaan penderita dan macam operasi. 3) Memperhitungkan bahaya/resiko anestesi yang mungkin terjadi. Penilaian pra bedah : Anamnesis identifikasi pasien, keluhan pasien, riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita
yang

dapat menjadi penyulit anestesi seperti alergi, DM,

penyakit paru. Riwayat penggunaan obat-obatan. riwayat operasi. Riwayat kebiasaan seperti merokok. Riwayat penyakit keluarga. Pemeriksaan fisik tinggi dan berat badan, vital sign, jalan nafas, jantung, paru-paru, abdomen, ekstremitas, punggung dan neurologis. Pemeriksaan laboratorium Rutin : Darah, urin, foto thorax dan EKG Khusus : dilakukan bila ada indikasi seperti spirometri pada pasien tumor paru, fungsi hati pada pasien ikterus dan fungsi ginjal pada pasien hipertensi.

Tindakan-tindakan yang dilakukan : 1) Pembersihan dan pengosongan saluran pencernaan : 2) 3) Puasa ( 6-10 jam pada dewasa. 2-4 jam pada anak-anak ) Pemberian laxansia dan clysma

Membersihkan jalan nafas Mencegah retensi urin.

2.1.4. Klasifikasi Status fisik 5,6 Berdasarkan American Society of Anesthesiologists ( ASA ) membuat klasifikasi pasien menjadi kelas-kelas : 1) Pasien normal dan sehat fisis dan mental 2) Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan fungsional 3) Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang menyebabkan keterbatasan fungsi 4) Pasien dengan penyakit sistemik menyebabkan keterbatasan fungsi 5) Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa operasi 6) Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil Bila operasi yang dilakukan darurat maka penggolongan ASA diikuti huruf E. berat yang mengancam hidup dan

2.1.5. Peralatan 3,4,6 Peralatan anestesi adalah alat-alat anestesi yang digunakan umtuk menghantarkan oksigen dan obat anastetik inhalasi, mengontrol ventilasi, serta memonitor fungsi peralatan tersebut. Mesin anestesi merupakan peralatan anestesi yang sering digunakan. Secara umum mesin anestesi terdiri dari 3 komponen yang saling berhubungan, yaitu: a) Komponen 1. yaitu sumber gas, penunjuk aliran gas (flow meter), dan alat penguap (vaporizer) b) Komponen 2. Meliputi sistem napas, yang terdiri dari sistem lingkar dan sistem magill. c) Komponen 3. Alat yang menghubungkan sistem napas dengan pasien, yaitu sungkup muka (face mask), pipa endotrakea (endotrakeal tube). Semua komponen mesin anestesi harus tersedia tanpa memperhatikan teknik anestesi yang akan dipakai sebagai persiapan untuk kemungkinan pemakaian anestesi umum, selain itu sumber oksigen dan peralatan bantu ventilasi (self- inflating bag seperti ambu bag) harus tersedia untuk semua prosedur anestesi.

2.1.6. Tahapan anastesi 3,4,6 A. Persiapan Praanestesi Keadaan fisis pasien telah dinilai sebelumnya pada kunjungan praanestesi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dll. Saat masuk ruangan operasi pasien dalam keadaan puasa. Identitas pasien harus telah ditandatangani sesuia dengan rencana operasi dan informed consent.
8

Dilakukan penilaian praoperasi. Keadaan hidrasi pasien dinilai, apakah terdapat hipovolemia, perdarahan, diare, muntah, atau demam. Akses intavena dipasang untuk pemberian cairan infus, transfusi dan obat-obatan. Dilakukan pemantauan elektrogradiografi (EKG), tekanan darah (tensi meter), saturasi oksigen (pulse oxymeter), kadar CO2 dalam darah (kapnograf), dan tekanan vena sentral (CVP). Premedikasi dapat diberikan oral, rectal, intramuskular, atau intravena.

B. Induksi Anestesi Premedikasi. Tujuan premedikasi adalah : Menimbulkan rasa nyaman pada pasien Memudahkan/memperlancarkan induksi,rumatan, dan sadar dari anestesi Mengurangi jumlah obat-obatan anestesi Mengurangi timbulnya hipersalivasi, bradikardi, mual dan muntah Mengurangi keasaman lambung dan stress fisiologis Obat-obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah: 1. 2. 3. Obat antikholinergik Obat sedatif Obat analgetik narkotik.

Pasien diusahakan tenang dan diberikan oksigen melalui sungkup muka. Obat-obat induksi diberikan secara intravena seperti tiopental, ketamin, diazepam, midazolam, dan propofol. Jalan napas dikontrol dengan sungkup muka atau pipa napas orofaring/nasofaring. Setelah itu dilakukan intubasi trakea. Setelah kedalaman anestesi tercapai, posisi pasien disesuaikan dengan

posisi operasi yang akan dilakukan, misalnya telentang, telungkup, litotomi, miring, duduk, dll.4

1. Obat golongan antikholinergik Obat golongan antikholinergik adalah obat-obatan yang berkhasiat menekan/menghambat aktivitas kholinergik atau parasimpatis. Tujuan utama pemberian obat antikholinergik untuk premedikasi adalah: 1. Mengurangi sekresi kelenjar:saliva,saluran cerna dan saluran nafas 2. Mencegah spasme laring dan bronkus. 3. Mencegah bradikardi 4. Mengurangi motilitas usus 5. Melawan efek depresi narkotik terhadap pusat nafas. Obat golongan antikholinergik yang digunakan dalam praktik anastesia adalah preparat Alkaloid belladonna yang turunnya adalah: Sulfas atropine Skopolamin Mekanisme Kerja : menghambat mekanisme kerja asetil kholin pada organ yang diinervasi oleh serabut saraf otonom para simpatis atau serabut saraf yang mempunyai neurotransmitter asetil kolin. Alkaloid belladona menghambat muskarinik secara kompetitif yang ditimbulkan oleh asetil kholin pada sel efektor organ terutama pada kelenjar eksokrin, otot polos dan otot jantung. Khasiat sulfas atropine lebih dominan pada otot jantung , usus dan bronkus, sedangkan skopolamin lebih dominan pada iris, korpus siliare dan kelenjar. Efek terhadap susunan saraf pusat
10

Sulfas atropine tidak menimbulkan depresi susunan saraf pusat, sedangkan skopolamin mempunyai efek depresi sehingga menimbulkan rasa ngantuk, euporia, amnesia dan rasa lelah. Efek terhadap respirasi Menghambat sekresi kelenjar pada hidung, mulut, faring trakea, dan bronkus, menyebabkan mukosa jalan nafas kekeringan, relaksasi otot polos bronkus dan bronkhioli, sehingga diameter lumennya melebar akan menyebabkan volume ruang rugi bertambah. Efek terhadap kardiovaskular Menghamabat aktivitas vagus pada jantung ,sehingga denyut jantung meningkat,tetapi tidak berpengaruh langsung pada tekanan darah.pada hipotensi karena reflex vegal, pemberian obat ini akan meningkatkan tekanan darah. Efek terhadap saluran cerna Menghambat sekresi kelenjar liur sehingga mulut terasa kering dan sulit menelan, mengurangi sekresi getah lambung sehingga keasaman lambung bisa dikurangi, mengurangi tonus otot polos sehingga motilitas usus menurun. Efek terhadap kelenjar keringat. Menghambat sekresi kelenjar keringat, sehingga menyebabkan kulit kering dan badan terasa panas akibat pelepasan panas tubuh terhalang melalui proses evaporasi. Cara pemberian dan dosis Intramuscular dengan dosis 0,01 mg/kg BB, diberikan 30-45 menit sebelum induksi.
11

Intravena dengan dosis 0,005 mg/kg BB, diberikan 5-10 menit sebelum induksi. Kontraindikasi : Alkaloid belladona ini tidak diberikan pada pasien yang

menderita: demam, takikardi, glaucoma dan tirotoksikasis. Kemasan dan sifat fisik : Dikemas dalam bentuk ampul 1 ml mengandung 0,25 dan 0,50 mg,tidak berwarna dan larut dalam air.

2. Obat golongan sedatif/trankulizer Obat golongan sedative adalah obat-obat yang berkhasiat anti cemas dan menimbulkan rasa kantuk. Tujuan pemberian obat golongan ini adalah untuk memberikan suasana nyaman bagi pasien prabedah,bebas dari rasa cemas dan takut, sehingga pasien menjadi tidak peduli dengan linkungannya. Untuk keperluan ini, obat golongan sedative/trankulizer yang sering digunakan adalah: a. Derivate fenothiazin. Derivate fenothiasin yang banyak digunakan untuk premedikasi adalah propetazin.obat ini pada mulanya digunakan sebagai antihistamin. Khasiat farmakologi. Terhadap saraf pusat . Menimbulkan depresi saraf pusat, bekerja pada formasioretikularis dan hipotalamus menekan pusat muntah dan mengatur suhu obat ini berpotensi dengan sedative lainnya. Terhadap respirasi. Menyebabkan dilatasi otot polos saluran nafas dan menghambat sekresi kelenjar.

12

Terhadap kardiovaskular. Menyebabkan vasodilatasi sehingga dapat memperbaiki perfusi jaringan. Terhadap saluran cerna efek lain. Menurunkan peristaltik usus,mencegah spasme mengurangi sekresi kelenjar, efek lainnya adalah menekan dekresi ketekolamin dan sebagai antikholinergik. Dengan demekian dapat disimpulkan bahwa khasiat propethazin sebagai obat premedikasi adalah sebagai sedative, antiemetik, antikhonergik, antihistamin, bronkodilator dan antipiretika. Cara pemberian dan dosis Intramuskular dengan dosis 1 mg/kg BB dan diberikan 30-45 menit sebelum induksi. Intravena dengan dosis 0,5 mg/kg BB diberikan 5-10 menit sebelum induksi. Kemasan dan sifat fisik. Dikemas dalam bentuk ampul 2 ml mengandung 50 mg tidak berwarna dan larut dalam air.

b. Derivat benzodiazepine Derivat benzodiazepine yang banyak digunakan untuk premedikasi adalah diazepam dan midazolam. derivat yang lain adalah klordiazepoksid, nitrazepam dan oksazepam. Khasiat farmakologi : Terhadap saraf pusat dan medulla spinalis. Mempunyai khasiat sedasi dan anti cemas yang bekerja pada system limbic dan pada ARAS serta bisa menimbulkan amnesia antero grad. Sebagai obat anti kejang yang bekerja pada kornu anterior medulla
13

spinalis dan hubungan saraf otot. pada dosis kecil bersifat sedative, sedangkan dosis tinggi sebagai hipnotik. Terhadap respirasi Pada dosis kecil (0,2 mg/kg BB)yang diberikan secara intravena, menimbulkan depresi ringan yang tidak serius. Bila dikombinasikan dengan narkotik menimbulkan depresi nafas yang lebih berat. Terhadap kardiovaskular Pada dosis kecil,pengaruhnya kecil sekali pada kontraksi maupun denyut jantung, akan tetapi pada dosis besar menimbulkan hipotensi yang disebabkan oleh efek dilatasi pembuluh darah. Terhadap saraf otot Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat supra spinal dan spinal, sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita kekakuan otot rangka seperti pada tetanus. Penggunaan klinis, dalam praktik anastesia obat ini digunakan sebagai: Premedikasi dapat diberikan intramuscular dengan dosis 0,2 mg/kg BB atau peroral dengan dosis 5-10 mg. Induksi diberikan intravena dengan dosis 0,2-0,6 mg/kg BB. Sedasi pada analgesia regional diberikan intravena. Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.

Penggunaan lainnya adalah : Antikejang pada kasus-kasus epilepsy, tetanus dan eklampsia Sedasi pasien rawat inap Sedasi pada tindakan kardioversi atau endoskopi

14

Pada pemberian intramuscular atau intravena, obat ini tidak bisa dicampur dengan obat lain karena bisa terjadi resipitasi. Jalur vena yang dipilih sebaiknya melalui vena-vena besar untuk mencegah flebitis.Pemberian intramuscular kurang disenangi oleh karena menimbulkan rasa nyeri pada daerah suntikan. Kemasan injeksi berbentuk larutan emulsi dalam ampul 2 ml yang mengandung 10 mg ,berwarna kuning, sukar larut dalam air dan bersifat asam .kemasan oral dalam bentuk tablet 2 dan 5 mg, disamping itu ada kemasan supositoria atau pipa rectal (rectal tube)yang diberikan pada anakanak. sedangkan midazolam yang ada dipasaran adalah hanya dalam bentuk larutan tidak berwarna, mudah larut dalam air dan kemasan dalam ampul (3 dan 5 ml) yang mengandung 5 mg/ml.

c. Derivat butirofenon Derivat ini disebut juga obat golongan neroleptika, karena sering digunakan sebagai nerolitik. derivat butirofenon yang sering digunakan sebagai obat premedikasi adalah dehidrobenzperidol atau popular disebut DHBP. Efek farmakologi: Terhadap saraf pusat Berkhasiat sebagai sedative atau trankulizer.disamping itu mempunya khasiat khusus sebagai anti muntah yang bekerja pada pusat muntah di chemoreceptor trigger zone. Efek samping yang tidak dikehendaki adalah timbulnya rangsangan ekstrapiramidal sehingga menimbulkan gerakan tak terkendali (Parkinson) yang bisa diatasi dengan pemberian obat anti Parkinson. 12
15

Terhadap respirasi Menimbulkan sumbatan jalan nafas akibat dilatasi pembuluh darah rongga hidung juga menimbulkan dilatasi pembuluh darah paru. Sehingga kontraindikasi pada pasien asma. Terhadap sirkulasi Menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah perifer, sehingga sering digunakan sebagai anti syok.tekan darah akan turun tetapi perfusi dapat dipertahankan selama volume sirkulasi adekuat. Penggunaan klinik 1. Premedikasi diberikan intramuscular dengan dosis 0,1 mg/kg BB. 2. Sedasi untuk tindakan endoskopi dan analgesia regional 3. Anti hipertensi 4. Anti muntah 5. Suplemen anastesia. Kemasan: Dalam bentuk ampul 2 ml dan 10 ml, mengandung 2,5 mg/ml . Tidak berwarna dan bisa dicampur dengan obat lain.

d. Derivate barbiturate Derivate barbiturate yang sering digunakan sebagai obat premedikasi adalah :pentobarbital dan sekobarbital. Digunakan sebagai sedasi dan penenang pra bedah, terutama pada anak-anak. Pada dosis lazim dapat menimbulkan depresi ringan pada respirasi dan sirkulasi. Sebagai premedikasi diberikan intramuscular dengan dosis 2 mg /kg BB atau per oral.

16

e. Preparat Antihistamin Obat golongan ini yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah derivate defenhidramin. Khasiat yang diharapkan adalah sedative, anti muntah ringan, dan anti piretik, sedangkan efek sampingnya adalah hipotensi yang sifatnya ringan.

3. Golongan analgetik narkotik atau opioid Berdasarkan struktur kimia, analgetik narkotik atau opioid, dibedakan menjadai 3 kelompok : 1. Alkaloid opium (natural) : morfin dan kodein 2. Derivate semi sintetik : diasetilmorfin (heroin), hidromorfin, oximorfon, hidrokodon dan oxikodon. 3. Derivate sintetik o Fenipiperidine : pethidin, fentanil, sulfentanyl dan alfentanyl. o Benzomorfan : pentazosid, fenazosin dan siklazosin. o Morfinan : lavorvanol o Propionanilides : methadone Sebagai analgetik, opioid bekerja secara sentral pada reseptor-reseptor opioid yang diketahui ada 4 reseptor, yaitu ; 1. Reseptor Mu Morfin bekerja secara agonis pada reseptor ini. stimulasi pada reseptor ini akan menimbulkan analgesia, rasa segar, euphoria, dan depresi respirasi 2. Reseptor Kappa Stimulasi reseptor ini menimbulkan analgesia, sedasi dan anastesia. Morfin bekerja pada reseptor ini.
17

3. Reseptor sigma Stimulasi reseptor ini menimbulkan perasaan disforia, halusinasi, pupil midriasis, dan stimulasi respirasi. 4. Reseptor delta Pada manusia reseptor ini belum diketahui dengan jelas. Golongan narkotik ysng sering digunakan sebagai premedikasi adalah: pethidin dan morfin. Sedangkan fentanyl digunakan sebagai suplemen anesthesia. Efek farmakologi: Terhadap susunan saraf pusat Sebagai analgetik, obat ini bekerja pada thalamus dan subtansia gelatinosa medulla spinalis, disamping itu narkotik juga mempunyai efek sedasi. Terhadap respirasi Menimbulkan depresi pusat nafas terutama pada bayi dan orang tua. Efek ini semakin manifest pada keadaan umum pasien yang buruk sehingga perlu pertimbangan seksama dalam penggunaannya. Namun demikian efek ini dapat dipulihkan dengan nalorfin atau nalokson. Terhadap bronkus, pethidin menyebabkan dilatasi bronkus, sedangkan morfin menimbulkan constriksi akibat pengaruh pelepasan histamine. Terhadap sirkulasi Tidak menimbulkan depresi system sirkulasi, sehingga cukup aman diberikan pada semua pasien kecuali oada bayi dan orang tua. Pada kehamilan, narkotik dapat melewati barier plasenta sehingga dapat menimbulkandepresi nafas pada bayi baru lahir. Terhadap system lain

18

Merangsang pusat muntah, menimbulkan spasme spincter kandung empedu sehingga menimbulkan kolok abdomen. Morfin merangsang pelepasan histamine sehingga dapat menimbulkan rasa gatal seluruh tubuh atau minimal pada daerah hidung, sedangkan pethidin, pelepasan histaminnya bersifat local ditempat suntikan. Indikasi kontra : Pemberian narkotik harus hati-hati pada pasien orang tua atau bayi dan keadaan umum yang buruk. Tidak boleh diberikan pada pasien yang mendapatkan preparat pengghambat monoamine oksidase, pasien asma dan penderita penyakit hati. Efek samping atau tanda-tanda intoksikasi : 1. Memperpanjang masa pulih anesthesia 2. Depresi pusat nafas sehingga pasien bisa henti nafas 3. Pupil miosis 4. Spasme bronkus pada pasien asma terutama akibat morfin 5. Kolik bdomen akibat spasme spingter kandung empedu.

2.1.7. Rumatan Anestesi 3,4,6,7 Selama operasi berlangsung hal-hal yang dipantau adalah fungsi vital, pernapasan, tekanan darah, nadi dan kedalaman anestesi, misalnya adanya gerakan, batuk, mengedan, perubahan pola napas, takikardia, hipertensi, keringat, air mata, midriasis. Ventilasi pada anestesi umum dapat secara spontan, bantu, atau kendali tergantung jenis lama dan posisi operasi. Cairan infus diberikan dengan memperhitungkan kebutuhan puasa rumatan perdarahan evaporasi dan lain-lain. Jenis cairan yang dapat diberikan dapat berupa kristaloid (Ringer Laktat, NaCl,
19

Dextrosa 5%), koloid ( plasma expander, albummin 5%) atau trensfusi darah bila perdarahan terjadi lebih dari 20% volume darah.

2.1.8. Pemulihan Pasca-Anestesi 3,4,6 Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery room) atau ke ruang perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara umum ekstubasi dilakukan pada saat pasien dalam anestesi ringan atau sadar. Di ruang pemulihan dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu, sensibilitas nyeri, perdarahan dari drainage, dll. Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi dan frekuensi pernapasan dilakukan paling tidak setiap 5 menit dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah itu dilakukan setiap 15 menit. Pulse oxymetri dimonitor hingga pasien sadar kembali. Pemeriksaan suhu juga dilakukan. Seluruh pasien yang sedang dalam pemulihan dari anestesi umum harus dapat oksigen 30-40% selama pemulihan karena dapat terjadi hipoksemia sementara. Pasien yang memiliki resiko tinggi hipoksia adalah pasien yang mempunyai kelainan paru sebelumnya atau yang dilakukan tindakan operasi di daerah abdomen atau di daerah dada.

2.2. TUMOR ADNEKSA SUSPECT MALIGNANCY 1,2 2.2.1. Definisi Tumor adneksa adalah tumbuhnya jaringan abnormal pada sistem reproduksi yaitu pada tuba fallopi kemudianovarium dan uterus yang biasanya terjadi bersamaan. Tumor adneksa merupakan tumor ganas primer di tuba fallopi yang lebih sekunder berasal dari tumor ganas ovarium atau uterus.
20

2.2.2. Epidemiologi Tumor ganas primer di tuba sangat jarang (<0,1%), lebih sering yang sekunder berasal dari tumor ganas ovarium, uterus, kolorektal, lambung dan payudara. Ditemukan 1 : 1000 kasus operasi ginekologik abdominal, dapat dijumpai pada semua umur (dari 19-80 tahun), dengan rata-rata puncaknya pada usia 52 tahun.

2.2.3. Etiologi Penyebab tumor adneksa tidak diketahui secara pasti tetapi diduga karena infeksi yang menjalar ke atas dari uterus, peradangan ini menyebar ke ovarium dan tuba fallopi yang menyebabkan berbagai gangguan dan terjadi pertumbuhan jaringan yang abnormal.

2.2.4. Patologi Hsu, Taymor dan Hertig membagi histologik tumor ini dalam 3 jenis menurut keganasannya : 1. Jenis papiler; tumor belum mencapai otot tuba dan diferensiasi selnya masih baik; batas daerah normal dengan tumor masih dapat ditunjukkan 2. Jenis papilo-alveolar (adenomatosa); tumor telah memasuki otot tuba dan memperlihatkan gambaran kelenjar 3. Jenis alveo-meduler; terlihat mitosis yang atipik dan terlihat invasi sel ganas ke dalam saluran limfa tuba

21

2.2.5. Penyebaran Pada umumnya terjadi langsung ke alat sekitarnya, kemudian melalui pembuluh getah bening ke abdomen, leher, daerah inguinal, vagina, tuba, ovarium, dan uterus.

2.2.6. Tingkat klinik keganasan Klasifikasi menurut FIGO Tingkat klinik IA Kriteria Pertumbuhan tumor terbatas pada salah satu tuba; tidak ada asites. 1. Tak ditemukan tumor di permukaan luar, kapsulnya utuh. 2. Tumor terdapat di permukaan luar, atau kapsulnya pecah atau kedua-duanya IB Pertumbuhan tumor terbatas pada kedua tuba; tidak ada asites. 1. Tak ada tumor di permukaan luar, kapsulnya utuh 2. Tumor terdapat di permukaan luar, atau kapsulnya pecah, atau kedua-duanya IC Tumor dari tingkatan klinik IA dan IB, tetapi ada asites atau cucian rongga perut positif II Pertumbuhan tumor melibatkan satu atau dua tuba, dengan perluasan ke panggul II A II B Perluasan proses dan/atau metastasis ke uterus atau ovarium Perluasan proses ke jaringan panggul lainnya

22

II C

Tumor dari tingkat klinik IIA atau IIB, tetapi dengan asites dan/atau cucian rongga perut positif

III

Tumor melibatkan satu atau dua tuba dengan penyebaran kelenjar limfa intraperitoneal atau kedua-duanya. Tumor terbatas pada panggul kecil dengan bukti histologik

penyebaran ke usus halus atau omentum IV Pertumbuhan tumor melibatkan salah satu atau kedua tuba dengan metastasis berjarakjauh. Bilamana didapatkan efusi pleural, harus ada sitologi positif untuk menyebutnya sebagai tingkat klinik IV. Begitu pula ditemukannya metastasis ke parenkim hati

2.2.7. Gambaran Klinik dan Diagnosis Pada awal penyakit tidak menimbulkan gejala. Diagnosis sering terlambat dibuat karena letaknya yang sangat tersembunyi. Biasanya dibuat secara tak terduga saat laparotomi dan pemeriksaan histologik atas specimen yang dikirim. Kalau sudah ada keluhan, biasanya sudah terlambat. Deteksi dini tumor ganas tuba Fallopii sukar diupayakan. Perlu dapat perhatian khusus bila wanita berusia (45-55 tahun), ditemukan tumor adneksa disertai rasa nyeri dan adanya getah vagina yang semula kekuning-kuningan kemudan bercampur darah, perlu dicurigai kemungkinan adanya tumor ganas tuba terutama biasanya oleh karena mengalami infeksi gonokokus yang menimbulkan peradangan tuba dan menjadi buntu. Perasaan nyeri ini dapat intermitten atau terus-menerus dan menjalar ke

23

pangkal paha dan punggung bagian bawah (regio sakro-koksigeal). Rasa sakit ini yang menyebabkan penderita datang ke dokter. Pemeriksaan sitologi usapan serviks tidak banyak membantu. Akan tetapi bilamana hasilnya sel ganas positif, sedangkan di serviks maupun di kavum uteri dapat dinyatakan tidak ada keganasan, maka perlu dipikirkan kemungkinan keganasan di tuba atau ovarium, lebih lebih jika ada masa tumor pada adneksa. Histero-salpingografi (HSG) tidak dianjurkan karena dapat berakibat meluasnya proses ganas/radang. Kuldoskopi dan laparoskopi juga tak banyak berarti karena sulit membedakan tumor ganas tuba dari tumor radang, kecuali bilamana pemeriksaan tersebut disertai tindakan biopsi. Transvaginal/transrektal USG dapat membantu untuk menegakkan diagnosis.

2.2.8. Penanganan Penanganan utama yang dianjurkan adalah TAH + BSO + OM + APP (Total Abdominal Hiterektomy + Bilateral Salphingo-Oophorectomy + Omentectomy + Appendectomy). Dapat dipertimbangkan instilasi Phosphor-32 radioaktif atau khemoterapi profilaksis. Sayatan dinding perut harus longitudinal di linea mediana, cukup panjang untuk memungkinkan mengadakan eksplorasi secara gentle (lembut) seluruh rongga perut dan panggul, khususnya di daerah subdiafragmatika dan mengirimkan sampel cucian rongga perut untuk pemeriksaan sitologi eksfoliatif. Bila perlu dapat dilakukan biopsi pada jaringan yang dicurigai.

24

2.2.9. Prognosis Tergantung dari tingkatan klinik dan jenis histologik tumor. Karena umumnya penyakit ditemukan terlambat maka AKH-5 tahun tidak seberapa baik (34,4%). Menurut Sedlis, dengan menggunakan klasifikasi FIGO Angka

Ketahanan Hidup 3 tahun adalah sebagai berikut. Tingkat klinik I II III IV Ketahanan 3 tahun 60% 40% 10% 0%

25

BAB III LAPORAN KASUS PASIEN

CATATAN PRE OPERASI ANAMNESA PRIBADI Nama Umur Jenis Kelamin Agama Berat Badan MR : Nurleli : 35 tahun : Perempuan : Islam : 58 kg : 90.24.81

ANAMNESA PENYAKIT Keluhan Utama Telaah : Teraba benjolan di perut kiri bawah : Hal ini dialami os sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya

benjolan teraba sebesar bola kasti dan makin lama semakin membesar sebesar kepala bayi. Nyeri pada perut kiri bawah dirasakan os hilang timbul. Riwayat perdarahan diluar siklus haid (+), nyeri haid (+). BAB : dalam batas normal BAK : dalam batas normal RPT : DM (+) 5 tahun RPO : metformin, namun tidak teratur

26

KEADAAN PASIEN SEBELUM OPERASI B1 (Breath) Airway Frekuensi Nafas Suara pernafasan Suara tambahan : clear : 18 x/i : vesikuler :-

Riw.asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/ Foto thorax : tidak tampak kelainan

B2 (Blood) Akral Tekanan darah Frekuensi nadi Temperatur Riwayat Hipertensi Riwayat DM : Hangat/Merah/Kering : 130/90 mmHg : 88x/i : 36,8C :: + selama 5 tahun

B3 (Brain) Sensorium Refleks Cahaya Pupil Riwayat kejang : Compos mentis (E:4, V:5, M:6) : +/+ : isokor, 3mm :-

27

B4 (Bladder) Urine Volume Warna :+ : cukup : kuning

B5 (Bowel) Abdomen Peristaltik Mual/muntah BAB/flatus : soepel :+ : -/: +/+

B6 (Bone) Fraktur Oedem Luka :::-

PEMERIKSAAN LABORATORIUM Hb Ht Leukosit Trombosit Ureum Creantinin KGD puasa : 10,8 : 30,0 : 15.600 : 334.000 : 18 :0,85 : 121

KGD 2jam PP : 138


28

SGOT SGPT

: 15 : 14

Diagnosa PS ASA Rencana Tindakan Rencana Anestesi Posisi

: Tumor Adnexa Suspect Malignancy + DM tipe 2 : II : Laparotomy Surgical Staging : GA-ETT : Supine

a. Persiapan Operasi Sio Pemasangan iv line dan three way Puasa 6-8 jam sebelum operasi Hygiene dan berdoa

b. Persiapan alat Mesin anestesi : aliran O2, N2o, agen inhalasi, soda lime masih baik, test kebocoran bagging, test ventilator. Alat suction. Monitor EKG: EKG, tekanan darah berfungsi dengan baik, setting monitor dan elektroda Intubasi : Stetoskop, ETT no 7, laringoskop, Stillet, Forcep magil, Xylocain spray, jelly, plester, spuit 3cc, 5cc, 10cc.

29

c. Persiapan obat 1. Premedikasi Phetidin 100mg Miloz 5mg

2. Medikasi Propofol 150mg Ecron 6mg Dexametahson 5mg Ketorolac 30mg Transamin 500mg

3. Persiapan cairan WIDA : 1 fls@500 cc HES : 1 fls@500cc Transfusi PRC 1bag

30

CATATAN ANESTESI Nama Jenis Kelamin Umur Diagnosa Pra Bedah Jenis Pembedahan Diagnosa Pasca Bedah : Nurleli : Perempuan : 35tahun : Tumor Adnexa Suspect Malignancy + DM tipe 2 : Laparotomy Surgical Stagging : Post Laparotomy Surgical Staging a/i Tumor Adnexa

Suspect Malignancy + DM tipe 2 Lama Anestesi Lama Operasi Jenis Anestesi Anestesi dengan :09.30 - selesai : 10.00- 12.15 : GA-ETT : N2o; O2 = 2l/i: 2l/i Isofluran MAC 0,5-1,5% Teknik Anestesi : posisi kepala Head Up premedikasi preoksigenasi 5-10 eyelid reflex negative test ventilasi positif sleep non apnoe inj. Propofol 150mg sleep apnoe intubasi ETT no.7,5 cuff (+) SP kanan=kiri fiksasi Respirasi Posisi Infus : terkontrol dengan ventilator : supine : RL o/t region dorsum manus sinistra

31

Premedikasi Pethidin 100mg Miloz 5mg -

Medikasi Propofol 150mg Ecron 6mg Dexametahson 5mg Ketorolac 30mg Transamin 500mg

Perdarahan: Kassa basah = II x 10 = 20 cc = 25 cc =100 cc

Kassa basah = IIII x 5 Handuk Suction = II x50

= 3500 ( dibasuh dengan 2000ml WIDA) = 1500 cc

Total = 1645 cc

Cairan Masuk: PO : WIDA I x 350 : 350cc

DO: WIDA II x 500cc: 500cc HES I x 500cc : 500cc

Transfusi darah 1bag PRC @100 cc

Cairan keluar PO: DO: 500ml

32

Catatan EBV: 65 x 58 = 3770 10%= 377 20%= 754 30%= 1131

Post operasi pasien dipindahkan ke Ruangan Recovery: 02 2-3l/i IVFD Ringer Laktat 20gtt/i Kalau mual muntah di suction Antibiotik dan obat lainnya sesuai dengan bagian TS Bagian Obgyn Anjuran Cek Darah rutin Post Operasi

33

BAB IV KESIMPULAN
Tumor adneksa adalah tumbuhnya jaringan abnormal pada sistem reproduksi yaitu pada tuba fallopi kemudian ovarium dan uterus yang biasanya terjadi bersamaan. Tumor ganas primer di tuba sangat jarang (<0,1%), lebih sering yang sekunder berasal dari tumor ganas ovarium, uterus, kolorektal, lambung dan payudara. Penyebab tumor adneksa tidak diketahui secara pasti tetapi diduga karena infeksi yang menjalar ke atas dari uterus. Penanganan utama yang dianjurkan adalah TAH + BSO + OM + APP (Total Abdominal Hiterektomy + Bilateral Salphingo-Oophorectomy + Omentectomy + Appendectomy). Bila perlu dapat dilakukan biopsi pada jaringan yang dicurigai. Untuk melakukan pembedahan diperlukan pertimbangan pembiusan yang tepat. Agar dokter bedah nyaman untuk melakukan operasi.

34

DAFTAR PUSTAKA
1. Anonym. Tumor Adneksa. 2012. Available at http://www.scribd.com/mobile/ doc/110510710?width=400 2. Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu Kandungan. Edisi 2. 2007. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 3. Latief, Said A., et al. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 2. 2009. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI 4. Mangku, Gde, et al. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. 2010. Jakarta : PT Macanan Jaya Cemerlang 5. Oloan S.M. Anestesi Umum dan Anestesi Lokal. 2012. Medan : FK UMI 6. 7.

35

Anda mungkin juga menyukai