Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS: Judul : Pria yang Tidak Menikah Dengan Diare Lama KELOMPOK 8 1. Adil Sultani 2.

Zainal Abidin 3. Fathiya Maulida 4. Salvia Meirani 5. Agnes Yuarni 6. Amelia Shadrina 7. Atikasjah Riza Wibawa 8. Benanto 9. Cokorda Putra Wira Jaya 10. Dietha Kusumaningrum 11. Fadhila Sekarpriharsani 12. Fitri Aprillia 13. Hidris Damanik 14. Zaki Audah 0302008005 0302008267 0302009083 0302009220 0302010011 0302010025 0302010041 0302010053 0302010068 0302010082 0302010097 0302010108 0302010124 0302009285

UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 2 OKTOBER 2011

BAB I DAFTAR ISI

I. II.

Daftar Isi Pendahuluan Studi Kasus

2 3 4 6 10 23 24

III. IV. V. VI.

Pembahasan Tinjauan Pustaka Kesimpulan Daftar Pustaka

BAB II PENDAHULUAN
Pendahuluan
Manusia diciptakan tuhan dengan berbagai kemampuan untuk bertahan hidup. Dalam tubuh manusia pun terdapat berbagai macam rangkaian yang berguna bagi pertahanan tubuh melawan benda-benda pathogen yang menyerang. Pertahanan ini disebut sebagai system imun. System imun adalah gabungan dari sel, molekul, dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi. Reaksi yang dikelola oleh sel-sel, molekul-molekul, dan bahan lainnya terhadap mikroba disebut sebagai respon imun. Defek dari salah satu komponen system imun dapat menimbulkan penyakit berat bahkan fatal yang secara kolektif disebut dengan penyakit defisiensi imun.

Studi Kasus

Pria 35 tahun berobat ke rumah sakit karena diare hilang timbul selama 4 minggu ini.

Riwayat Penyakit sekarang :

Dalam 3-4 minggu ini pasien merasa demam ringan, batuk-batuk berdahak, merasa letih, dan berat badan turun dalam 3 bulan terakhir ini. Nafsu makan menurun. Hingga sejak 2 minggu lalu pasien sering diare hilang timbul, perut mulas. Feces terdapat lendir dan darah. Pasien hanya minum obat warung untuk mengobati penyakitnya.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Selama 1 tahun terakhir ini ia sering mengalami batuk, pilek, dan radang tenggorokan yang bila berobat ke dokter sembuh, kemudian terulang kembali. Ia juga mengeluh sering sariawan. Pasien belum menikah, pernah memakai jasa pekerja seks komersial.

Pemeriksaan Fisik :

Keadaan Umum Tanda vital

: Tampak lemah dan agak pucat. TB 165 cm, BB 50 kg : suhu 37,50 C, nadi lemah, 90x/menit, tensi 100/70 mmHg, nafas 24x/menit 4

Status Generalis :

Mata THT Paru Jantung Abdomen Ekstremitas

: Konjungtiva pucat -/-, sclera ikterik -/- , mata cekung (-) : Oral thrush (+), bibir kering : vesikuler +/+ , rhonki +/+ basah kasar, wheezing -/: S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-) : Supel, nyeri tekan (-), bising usus (+) meningkat, turgor cukup : Akral hangat, edema -/-, CRT (Capillary Refill Time) <2

Pemeriksaan lab : Hb : 11,5 g/dl, Ht : 40%, Eri : 4 jt/ul, Trombosit 170.000/ul, LED 30 mm/jam Hitung jenis : 0/3/4/70/15/8 Anti HIV reaktif, CD4 T cell 200/ul

BAB III PEMBAHASAN

ANAMNESIS 1. Identitas Pasien Nama Umur Alamat Pendidikan Status pernikahan 2. Keluhan utama : Diare hilang timbul selama 4 minggu 3. Riwayat Penyakit Sekarang : Sejak 2 minggu lalu pasien sering diare hilang timbul, perut mulas. 3-4 minggu ini pasien merasa demam ringan, batuk-batuk berdahak, merasa letih Berat badan turun dalam 3 bulan terakhir Feces terdapat lendir dan darah 4. Riwayat Penyakit Dahulu : Selama 1 tahun sering mengalami batuk, pilek, dan radang tenggorokan. Bila berobat ke dokter sembuh dan kemudian terulang kembali. Sering sariawan Riwayat memakai jasa pekerja seks komersial : Tn. X : 35 tahun ::: Belum menikah

PEMERIKSAAN FISIK DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan Umum Tanda vital Tekanan Darah Nadi Pernafasan Suhu Antropometri TB BB : dbn : dbn : rendah : lemah : meningkat : subfebris

2. Status Generalisata Mata THT : dbn : Terdapat oral thrust Bibir kering Thorax Paru Jantung Abdomen Ekstremitas : rhonki basah kasar (+) : dbn : bising usus (+) : dbn

B. Pemeriksaan Laboratorium Hb Ht : rendah (n: 14-16 gr/dl) : 40 (menurun) n: 46-54 % 7

LED Hitung jenis Anti HIV CD4+ T cell

: 30 (meningkat) n: 20 mm/jam : limfosit menurun (n: 20-40) : reaktif : 200/ul

INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN

Pernafasan meningkat menunjukkan adanya hiperventilasi yang dicurigai TBC atau pneumonia

Suhu subfebris menunjukkan adanya infeksi Terdapat oral thrust adanya candidiasis Pada paru terdapat rhonki basah kasar menunjukkan adanya infeksi pada saluran pernafasan

Bising usus (+) dicurigai akibat dari diare yang menyebabkan kontraksi usus meningkat

Anti HIV reaktif mengarah kepada adanya infeksi virus HIV CD4+ T cell 200/ul merupakan salah satu manifestasi dari infeksi virus HIV dalam stadium klinis 3

DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis Imunodefisiensi sekunder pada pasien ini terlihat jelas dimana terdapat tanda khas yaitu : Terjadinya penyakit secara berulang yang apabila diobati akan sembuh kemudian kambuh kembali.

Adanya infeksi dari candida yang seharusnya apabila pada orang yang memiliki sistem imun normal akan dapat mengatasinya. Pasien juga mengalami infeksi virus HIV yang ditandai dengan berbagai gejala khas seperti : Kehilangan berat badan tanpa alasan Diare kronis Demam remitten Kandidiasis Adanya infeksi oportunistik, dalam kasus ini dicurigai TB

BAB IV TINJAUAN PUSTAKA

Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur patogen yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi pada orang normal umumnya tidak akan berlangsung lama karena tubuh manusia memiliki suatu system yang disebut dengan system imun yang akan memberikan respon dan melindungi tubuh terhadap unsur-unsur pathogen tersebut. Namun, karena sesuatu sebab seperti adanya penyakit yang disebut dengan imunodefisiensi, system imun tersebut tidak dapat memberikan respon sebagaimana seharusnya. Imunodefisiensi adalah suatu keadaan dimana tubuh menghasilkan system imun yang tidak berfungsi secara adekuat sehingga infeksi lebih sering terjadi, lebih sering terulang, dan dapat berlangsung lebih lama dari biasanya. Imunodefisiensi secara umum dapat terbagi menjadi dua , imunodefisiensi primer dan sekunder. Imunodefisiensi primer merupakan defek genetik yang meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang sering sudah bermanifestasi pada bayi dan anak, tetapi kadang secara klinis baru ditemukan pada usia lanjut.. Sedangkan imunodefisiensi sekunder timbul akibat malnutrisi, kanker yang menyebar, pengobatan dengan imunosupresan, infeksi sel sistem imun yang nampak jelas pada infeksi virus HIV, yang merupakan penyebab AIDS.

Imunodefisiensi primer

Keadaan imunodefisiensi primer (untungnya) jarang terjadi , tetapi telah sangat berperan terhadap pemahaman kita mengenai ontogeni dan regulasi sistem imun. 10

Sebagian besar penyakit imunodefisiensi primer ditentukan secara genetik dan mempengaruhi mekanisme imunitas spesifik (misalnya humoral dan selular) ataupun mekanisme pertahanan pejamu nonspesifik yang diperantarai oleh protein komplemen dan sel seperti sel fagosit dan NK. Sebagian besar imunodefisiensi primer membutuhkan perhatian masa awal kehidupan ( antara usia 6 bulan dan 2 tahun ), biasanya karena kerentanan janin terhadap infeksi yang berulang. Ada beberapa contoh bentuk imunodefisiensi primer , yaitu : Penyakit Bruton ( Agamaglobulinemia terkait X) : penyakit ini ditandai dengan kegagalan sel pra-B untuk berdiferensiasi menjadi sel B, akibatnya tidak ditemukan gama globulin di dalam darah. Hipoplasia Timus ( sindrom DiGoerge ) : sindrom DiGeorge

diakibatkan oleh suatu kelainan kongenital dalam perkembangan timus yang disertai dengan pematangan sel-T yang tidak sempurna. Defisinsi IgE Imunodefisiensi dengan trombositopenia dan ekzema ( Sindrom Wiskott-Aldrich ) dan masih banyak lagi bentuk dari imunodefisiensi primer lainnya. (1)

Imunodefisiensi sekunder Imunodefisiensi sekunder lebih umum terjadi daripada imunodefisiensi primer. Imunodefisiensi sekunder dapat ditemukan pada pasien malnutrisi , infeksi, kanker, penyakit ginjal, atau sarkoidosis. Penyakit ini juga terjadi pada pasien yang menerima kemoterapi atau terapi radiasi untuk keganasan atau menerima obat imunosupresif untuk mencegah penolakan graft atau mengobati penyakit autoimun. Beberapa keadaan imunodefisiensi sekunder dapat disebabkan oleh hilangnya

11

imunoglobulin ( pada penyakit ginjal proteinurik ), sintesis imunoglobulin yang tidak memadai ( pada malnutrisi ), atau deplesi limfosit ( karena obat atau infeksi berat ). Pada defisiensi sekunder yang paling penting dan paling meluas yaitu AIDS. (1)

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan defisiensi imun sekunder:(2) 1. Proses penuaan Infeksi meningkat, penurunan respons terhadap vaksinasi, penurunan respons sel T dan B serta perubahan dalam kualitas respons imun. 2. Malnutrisi Malnutrisi protein-kalori dan kekurangan elemen gizi tertentu (besi, seng/Zn), ini adalah salah satu sebabb tersering defisiensi imun sekunder. 3. Mikroba Imunosupresif Contohnya: malaria, virus, campak, terutama HIV. Mekanismenya melibatka penurunan fungsi sel T dan APC. 4. Obat imunosupresif Steroid 5. Obat sitotoksik/iradiasi Obat yang banyak digunakan terhadap tumor, juga membunuh sel penting dari sistem imun termasuk sel induk, progenitor neutrofil dan limfosit yang cepat membelah dalam organ limfoid. 6. Tumor Efek direk dari tumor terhadap sistem imun melalui pengelepasan molekul imunoregulator imunosupresif (TNF ) 7. Trauma

12

Infeksi meningkat, diduga berhubungan dengan pengelepasan molekul imunosupresif seperti glukokortikoid. 8. Penyakit lain Contohnya: diabetes. Diabetes sering berhubungan dengan infeksi. Terjadinya imunodefisiensi juga dapat dikaitkan dengan perilaku/gaya hidup dari seseorang. Berbagai faktor dari kebiasaan hidup yang berhubungan dengan terjadinya imunodefisiensi sekunder seperti : 1. Berhubungan seksual dengan pekerja seks komersial 2. Memakai jarum suntik secara bergantian, biasanya pada pengguna narkoba suntik 3. Penggunaan tattoo 4. Berobat ke salon kecantikan yang alat-alatnya tidak disterilisasi terlebih dahulu Selain itu virus HIV juga bisa ditularkan melalui : 1. Transfusi darah, dan transplantasi organ 2. Lewat cipratan air ketuban pada saat melahirkan Oral trush atau kandidiasis dapat terjadi pada orang dengan mild immunodeficiency atau imonodefisiensi ringan yang menyebabkan orang tersebut menjadi lebih rentan terkena infeksi. Infeksi seperti ini dinamakan infeksi oportunistik. Kandidiasis disebabkan oleh infeksi fungi Candida albicans yang pada orang sehat bersifat komensal normal pada kulit, saluran gastrointestinal, dan saluran genitalia wanita. Organisme ini memiliki daya invasi yang rendah, namun pada orang dengan imunodefisiensi berat akan menjadi lebih mudah terkena kandidiasis.(3)

13

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)


Imunodefisiensi sekunder sangatlah erat kaitannya dengan kerentanan seseorang terserang HIV AIDS. AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut dengan HIV. Seseorang dengan ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) dapat didiagnosis dengan :

Pemeriksaan Laboratorium(4)
Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV yaitu menggunakan teknik enzym linked immunosorbent assay ( ELISA ), bereaksi terhadap adanya antibodi dalam serum dengan memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila terdeteksi antibodi virus dalam jumlah besar. Karena hasil positif-palsu dapat menimbulkan dampak psikologis yang besar maka hasil uji ELISA yang positif diulang, dan apabila keduanya menghasilkan hasil yang positif maka dilakukan uji yang lebih spesifik, western blot. Western blot adalah teknik dimana protein virus dipisahkan dengan cara elektroforesis pada poliakrilamida kemudian dipisahkan ke lembaran nitroselulosa dengan bantuan arus listrik. Uji western blot juga dikonfirmasi dua kali. Uji ini lebih kecil kemungkinannya memberi hasil positif-palsu atau negatif-palsu. HIV juga dapat dideteksi dengan uji lain yang memeriksa ada tidaknya virus atau komponen virus sebelum ELISA dan Western blot dapat mendeteksi antibodi. Prosedur ini mencakup biakan virus, pengukuran antigen p24 dan pengukuran DNA dan RNA HIV yang menggunakan PCR dan RNA HIV-1 plasma. Uji ini bermanfaat dalam mengenai imunopatogenesis , sebagai penanda penyakit, deteksi dini penyakit dan pada penularan neonatus. 14

Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV yaitu adanya masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Jadi jika pada masa ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat memberikan hasil yang negatif. Untuk itu jika kecurigaan akan adanya risiko terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian.

Struktur HIV

Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat. Selubung luarnya, atau kapsul viral, terdiri dari lemak lapis-ganda yang mengandung banyak tonjolan

protein. Duri-duri ini terdiri dari dua glikoporotein: gp120 dan gp41. Gp120 adalah selubung eksternal duri, dan gp41 adalah bagian dari transmembran. Terdapat suatu protein matriks yang disebut p17 yang mengelilingi segmen bagian dalam membran virus. Sedangkan inti dikelilingi suatu protein kapsid yang 15

disebut p24. Didalam kapsid, p24 terdapat dua untai RNA identik dan molekul preformed reverse transcription, integrase, dan protease yang sudah terbentuk. HIV adalah suatu retrovirus, sehingga materi genetik berada dalam bentuk RNA bukan DNA. Reverse transcription adalah enzim yang mentranskripsikan RNA virus menjadi DNA setelah virus masuk ke sasaran. Enzim-enzim lain yang menyertai RNA adalah integrase dan protease.

Cara Masuk dan Replikasi HIV

HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki molekul reseptor membran CD4. Gp120 HIV akan berikatan dengan limfosit CD4+ sehingga gp41 dapat memerantarai fusi membran virus ke membran sel. Co rseptor tersebut adalah CCR5 dan CXCR4 yang diperlukan agar glikoprotein gp120 dan gp41 dapat berikatan dengan reseptor CD4+. Setelah terjadi fusi sel-virus, RNA virus masuk ke bagian tengah sitoplasma limfosit CD4+. Setelah nukleokapsid dilepas, maka terjadi transkripsi terbalik (reverse transcription) dari satu untai-tunggal RNA

16

menjadi DNA salinan (cDNA) untai-ganda virus. Integrase HIV membantu insersi cDNA virus kedalam inti sel pejamu. Apabila sudah terintegrase ke dalam kromosom sel pejamu, maka dua untai DNA sekarang menjadi provirus. Provirus menghasilkan RNA messenger (mRNA), yang meninggalkan inti sel dan masuk kedalam sitoplasma. Protein-protein virus dihasilkan dari mRNA yang lengkap dan yang telah mengalami splicing (penggabungan) setelah RNA genom dibebaskan kedalam sitoplasma. Tahap akhir produksi virus membutuhkan enzim HIV protease yang memotong dan menata protein virus menjadi segmen-segmen kecil yang mengelilingi RNA virus, membentuk partikel virus menular yang menonjol dari sel terinfeksi. Sewaktu menonjol dari sel pejamu, partikel-partikel virus tersebut akan terbungkus oleh sebagian dari membran sel yang terinfeksi. HIV yang baru terbentuk sekarang dapat menyerang sel-sel rentan lainnya diseluruh tubuh. Virus HIV dapat menghindari sistem imun melalui berbagai cara. Secara garis besar ada 3 mekanisme utama HIV menghindari sistem imun. Pertama, terjadinya integrasi atau insersi dari DNA virus ke dalam DNA sel host yang menyebabkan infeksi berkepanjangan. Kedua, peningkatan mutasi dari gen struktural virus HIV yang digunakan untuk membuat envelope menyebabkan varian antigen yang susah dikenali oleh sistem imun tubuh kita. Ketiga, produksi Tat dan Nef protein oleh virus HIV menurunkan molekul protein MHC Class I yang dibutuhkan sel T sitotoksik untuk mengenali dan membunuh sel yang terinfeksi HIV. Kemampuan HIV untuk menginfeksi dan membunuh sel-sel T-helper CD4 juga merupakan cara virus HIV untuk melumpuhkan sistem imun.

17

Obat-obat ARV (PENGOBATAN)(5)


Golongan ARV (Antiretrovirus) a. Reverse transcriptase inhibitors 1. Nucleosides (NRTI) Menghambat enzim DNA polimerase dependen RNA HIV (reverse transcriptase) dan menghentikan pertumbuhan untai DNA. Contoh : Abacavir (ABC) (Ziagen), Didanosine (ddl) (Videx), Emtricitabine (FTC) (Emtriva), Lamivudine (3TC) (Epivir), Stavudine (d4T) (Zerit), Zidovudine (AZT, ZDV) (Retrovir). 2. Nucleotides Contoh : Tenofovir (Viread) 3. Nonnucleosides (NNRTI) Menghambat transkripsi RNA HIV-1 menjadi DNA. Contoh : Delavirdine (Rescriptor), Efavirenz (Sustiva), Nevirapine (Viramune).

b. Protease inhibitors Menghambat aktivitas protease HIV dan mencegah pemutusan poliprotein HIV yang essensial untuk pematangan HIV,. Contoh : Amprenavir (Agenerase), Atazanavir (Reyataz), Darunavir (Prezista), Fosamprenavir (Lexiva), Indinavir (Crixivan), Lopinavir/ritonavir (Kaletra), Nelfinavir (Viracept), Ritonavir (Norvir), Saquinavir (Invirase and Fortovase), Tipranavir (Aptivus).

18

c. Entry inhibitors 1. Fusion inhibitor Obat ini berikatan dengan gp41 dan memblok fusi antara virus dengan membran sel CD4. Contoh : Enfuvirtide (Fuzeon) 2. Coreceptor antagonist Memblok ikatan antara gp120 milik virus dengan chemokine reseptor CCR5 di membran sel. Contoh : Maraviroc (Selzentry)

d. Integrase inhibitor Mengambat integrasi atau insersi dari proviral DNA milik virus ke dalam DNA sel host. Contoh : Raltegravir (Isentress)

Highly active antiretroviral therapy (HAART) merupakan gabungan dari antiretroviral (ART). Biasanya digunakan 3 gabungan obat. Tujuan utama terapi antivirus dalah penekanan secara maksimum dan berkelanjutan jumlah virus, pemulihan atau pemeliharaan (atau kedunya) fungsi imunologik, perbaikan kualitas hidup, dan pengurangan morbiditas dan mortalitas HIV. Di Amerika Serikat (2001), US Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui 3 golongan obat untuk infeksi HIV: (1) inhibitor reverse transcriptase nukleosida (NRTI)

19

NRTI menghambat enzim DNA polimerase dependen RNA HIV (reverse transcription) dan menghentikan pertumbuhan untai DNA (2) inhibitor reverse transcriptase nonnukleosida (NNRTI) NNRTI menghambat transkripsi RNA HIV-1 menjadi DNA, suatu langkah penting dalam proses replikasi virus. Obat tipe ini menurunkan jumlah HIV didalam darah dan meningkatkan limfosit CD4+. (3) inhibitor protease (PI) PI menghambat aktivitas protein protease HIV dan mencegah pemutusan poliprotein HIV yang esensial untuk pematangan HIV. Yang akan terbentuk bukan HIV matang tetapi partikel virus imatur yang tidak akan menular.

Namun demikian walaupun terdapat anti HIV sebagai pengobatan, tidak memberikan suatu hal yang bersifat protektif. Vaksin yang bersifat protektif adalah vaksin yang tidak diperuntukkan bagi infeksi yang memiliki masa laten , bervariasi, dan menyerang system imun dari tubuh. Dalam hal ini, virus HIV memiliki ketiga kriteria tersebut.

Faktor genetic juga mempengaruhi angka kejadian dan perjalanan penyakit HIV. Terjadinya mutasi gen yang mempengaruhi kemokin reseptor adalah salah satu contohnya. Kemokin reseptor yaitu CXCR4 dan CCR5 diperlukan dalam proses masuknya virus HIV ke dalam sel CD4. Mutasi gen yang mengkode CCR5 membuat seseorang terlindungi dari infeksi HIV. Individu yang mewarisi dua salinan detektif gen reseptor CCR5 (homozigot) resisten terhadap timbulnya AIDS walaupun

berulang kali terpajan HIV dan ini terjadi pada sekitar 1% orang Amerika keturunan Caucasian). Individu yang heterozigot untuk gen detektif ini (18 sampai 20%) tidak 20

terlindung dari AIDS tetapi perkembangan atau progresif dari penyakit ini menjadi melambat.(5)

PENCEGAHAN(6)
Transmisi HIV dapat melalui kontak seksual, darah, ASI, dan perinatal transmisi. Banyak pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari transmisi HIV, antara lain: Hindari hubungan seks yang tidak aman. Produk darah harus diskrining dan bahan yang berpotensi terinfeksi HIV harus dibuang. Tidak menggunakan jarum suntik secara bergantian. Jika ingin membuat tattoo dipastikan kebersihannya dan keamanannya. Pada transmisi perinatal, risikonya dapat dikurangi dengan pemberian HAART dan menghindari pemberian ASI.

PENATALAKSANAAN(7)
Secara umum penatalaksanaan terdiri atas beberapa jenis,yaitu : a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral ( ARV ) b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi yang menyertai infeksi HIV/AIDS seperti jamur,tuberkulosis. Kandidiasis oral dapat diberikan terapi dengan flukonazol. Sedangkan tuberkulosisnya dapat dengan pemberian OAT ( Obat Anti Tuberkulosis ) yang dapat diberikan bersama ARV. Namun interaksi antar OAT dan ARV, terutama efek hepatotoksisitasnya harus sangat diperhatikan, pada odha yang telah mendapat obat ARV sewaktu diagnosis TB 21

ditegakkan , maka obat ARV tetap diteruskan dengan evaluasi yang lebih ketat. Pada odha yang belum mendapat terapi ARV, waktu pemberian obat disesuaikan dengan kondisinya. Interaksi dengan OAT terutama pada ARV golongan non-nukleosida dan inhibitor protease. Obat yang dianjurkan kepada odha dengan TB adalah evafirenz. c) Pengobatan suportif yaitu makanan ynag mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.

Dengan pengobatan tersebut angka kematian dapat ditekan , harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik berkurang.

PROGNOSIS
Ad Vitam Ad Sanationam Ad Fungsionam : Dubia ad Malam : Dubia ad Malam : Dubia ad Malam

22

BAB IV KESIMPULAN

Setelah menginterpretasikan hasil pemeriksaan fisik maupun lab, maka didapatkan bahwa pasien tersebut mengalami defisiensi imun sekunder yang mengarah lebih spesifik ke infeksi HIV dengan infeksi oportunistik. Infeksi HIV dapat didiagnosis dengan berbagai macam cara seperti pemeriksaan kadar CD4+ T cell yang pada kasus ini sudah mencapai 200/ul. Pengobatan yang dapat dilakukan dengan memberikan obat ARV (Anti Retro Viral) yang memiliki berbagai subkategori. Namun demikian, penggunaan obat anti HIV juga tidak memberikan suatu bentuk yang protektif. Pencegahan penularan virus HIV dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti meninggalkan kebiasaan seks bebas, pemakaian tato, penggunaan jarum suntik secara bergantian, dan lainnya.

23

BAB V DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar, Cotran, Robbins. Buku Ajar Patologi. Ed.7. Jakarta : EGC ; 2007. hal:160-4. 2. Baratawidjaja KG, Iris R. Imunologi dasar. Ed.9. Jakarta : FKUI ; 2011. Hal: 497 3. Helbert M. Flesh and bones of immunology. 1st ed. Mosby. Elsevier, Spain, 2006. 4. Price AS, Wilson LM. Patofisiologi : Virus Imunodefisiensi manusia (HIV) dan Sindrom Imunodefisiensi Didapat (AIDS). Ed.6. Jakarta : EGC ; 2006. Hal:236-7 5. Price SA, Wilson LM. HIV dan AIDS. In: Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, Editors. Patofisiologi. 6th ed, Volume 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. p. 227-8. 6. Gillespie SH, Bamford KB. At a glance mikrobiologi medis dan infeksi. 3rd ed. Jakarta: Penerbit erlangga; 2009. p. 94-5. 7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata, Setiati S (Eds).Ilmu Penyakit Dalam. Ed.5. Jakarta : Interna Publishing ; 2009. hal 2866.

24

Anda mungkin juga menyukai