Anda di halaman 1dari 52

PRESENTASI KASUS

Hipertensi grade I, Diabetes Mellitus type II, Dyslipidemia dan Observasi Massa Abdomen pada Wanita Lanjut Usia dengan Kekhawatiran dan Persepsi yang Salah Terhadap Penyakitnya, Penolakan Pengobatan dan Kurangnya Dukungan Keluarga pada Keluarga Fungsional Kurang Sehat

Pembimbing : dr. Widyastuti

Oleh : Khoirurrohmah Nuzula, S. Ked 20080310068

KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KELUARGA PUSKESMAS TEGALREJO FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2013

KATA PENGANTAR Assalamualaikum wr. wb. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat, iman dan Islam sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kepaniteraan klinik dengan judul Hipertensi grade I, Diabetes Mellitus type II, Dyslipidemiadan observasi massa abdomen pada wanita lanjut usia dengan kekhawatiran dan persepsi yang salah terhadap penyakitnya, penolakan pengobatan dan kurangnya dukungan keluarga pada keluarga fungsional kurang sehat. untuk memenuhi sebagian syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kedokteran Keluarga di Puskesmas Tegalrejo. Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang telah berjuang dengan membawa agama Allah. Banyak hambatan dalam penyusunan makalah ini, namun berkat dukungan dari banyak pihak akhirnya penulis dapat menyelesaikan laporan kepaniteraan klinik kedokteran keluarga ini. Dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. dr. Widyastuti sebagai dokter pembimbing klinik di Puskesmas Tegalrejo. 2. dr. Muhammad Khotibudin, sebagai dokter pembimbing Ilmu Kedokteran Keluarga Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan laporan kepaniteraan klinik kedokteran keluarga ini dan selanjutnya. Semoga laporan kepaniteraan klinik kedokteran keluarga ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membacanya. Wassalamualaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 11 Desember 2012 Penyusun,

Khoirurrohmah Nuzula, S. Ked 20080310068

BAB I PRESENTASI KASUS

A. Anamnesis I. Identitas Pasien a. Nama b. TTL c. Umur : Ny, N K : Sukabumi , 10 Agustus 1941 : 72 tahun

d. Jenis Kelamin : Perempuan e. Agama f. Pekerjaan g. Alamat h. Asuransi : Islam : Ibu Rumah Tangga : Perumahan Gedong Agung No. A6 : ASKES

i. Tanggal kunjungan puskesmas : 2 Oktober 2013 j. Tanggal kunjungan rumah I : 5 Oktober 2013 k. Tanggal kunjungan rumah II : 6 Oktober 2013 I. Keluhan utama :

Badan pegel-pegel dan tengkuk terasa kencang

II.

Riwayat Penyakit Sekarang : Seorang wanita berusia 72 tahun datang ke puskemas dengan keluhan

badan terasa pegal-pegal disertai nyeri kepala terutama bagian belakang. Pasien mengaku mudah merasa lapar, lebih banyak minum, dan berat badan bertambah, dirasa lebih sering BAK di malam hari. Pasien sebelumnya sudah didiagnosis oleh dokter PKM dengan Hipertensi Grade I, DM tipe 2, dan dislipidemia. Pasien mendapatkan pengobatan namun tidak dikonsumsi secara rutin dan teratur, dikarenakan pasien merasa menjadi mudah lelah dan gemetar. Pasien merasa khawatir dengan kondisi kesehatannya dan berharap untuk sembuh. Pasien menyadari bahwa kondisi kesehatan pasien perlu didukung dengan diit khusus serta pola hidup yang sehat namun hal itu sulit dilakukan karena mengikuti pola hidup anak-anaknya. Pasien juga mengeluhkan terdapat benjolan pada perut kanan disertai rasa nyeri yang menjalar sampai ke pinggang belakang, menurut pasien hal tersebut timbul dari bekas operasinya dulu. Rasa nyeri hilang timbul dan

memberat dengan aktivitas. Untuk mengurangi rasa nyeri, pasien menggunakan stagen sepanjang hari. Pasien merasa semakin bungkuk dan lebih rawan jatuh sehingga memerlukan pendamping dalam melakukan aktivitas.

III.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat appendiktomi di RSUP Dr. Srdjito pada tahun 2004, perawatan

luka dilakukan rutin di RS tersebut, namun pasien merasa terdapat bekas luka yang semakin membesar dan terasa sakit. Pada agustus 2012 pasien kembali ke RSUP Dr. Sardjito dengan keluhan benjolan pada perut kanan yang semakin membesar, pasien direncakan untuk melakukan operasi pada Februari 2013 namun menolak karena takut operasinya gagal seperti yang sebelumnya, keluarga juga tidak mendukung dengan alasan tidak ada yang sanggup merawat pasien pasca operasi. Riwayat Hipertensi, DM, dan dislipidemia baru diketahui pada kunjungan pertama pasien ke puskesmas (agustus 2012). Riwayat kencing batu (+) ISK berulang (+).

IV.

Riwayat Penyakit Keluarga : Kedua Orang tua kandung, suami, dan anak kedua pasien menderita

diabetes militus (+). Anak ketiga menderita epilepsi dan memilih untuk tidak menikah dan menjaga pasien. Namun karena kondisinya, anak ketiga tidak memiliki andil dalam pengambilan keputusan dalam keluarga.

V.

Riwayat sosioekonomi : Semenjak suami pasien meninggal, pasien menumpang dirumah anak

pertama dan kedua secara bergantian tiap 6 bulan sehingga hidupnya bergantung pada anak anaknya. Karena kesibukan anak-anaknya, pasien kurang mendapatkan perhatian termasuk dalam bidang kesehatan. Pendapatan pasien berasal dari dana pensiun suami ditambah pemberian dari anak-anaknya yang sudah bekerja dan memiliki jaminan kesehatan ASKES ABRI. Aktivitas sosial dengan orang lain terjalin dengan baik, sering berinteraksi dengan tetangga dan juga rutin mengikuti pngajian di RT setempat.

B. Pemeriksaan Fisik

I. II. III. IV.

Keadaan Umum Tinggi badan Berat Badan Status Gizi

: Baik, CM : 145 cm : 48 kg :

BMI = 21, 9 kg/m2 (normal) BBI = 40,5 kg V. VS : TD : 140/90 mmHg N : 80 x/menit (reguler dan kuat angkat) RR : 20 x/menit T: 36.20 C

Kepala/Leher : normocephal, simetris, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, lensa mata jernih, JVP meningkat (-), tiroid tidak teraba, limfadenopati leher (-), deformitas (-), hidung dan telinga dalam batas normal.

Thorax : Pulmo: Inspeksi : simetris, pergerakan seimbang, retraksi (-), bentuk normal Palpasi : VF ka=ki, tak ada ketinggalan gerak Perkusi : sonor +/+ Auskultasi : vesikuler +/+, whezing -/-, ronkhi -/Cor : S1-2 murni, bising (-)

Abdomen Inspeksi : massa (+) tanda radang (-) sikatrik (+) Auskultasi : peristaltik (+) Palpasi : teraba massa ukuran: 10x10 cm, konsistensi lunak, mobile, nyeri tekan (+), permukaan licin, nyeri tekan epigastrium (-) pembesaran hepar (-) Perkusi : timpani (+), ascites (-)

Ekstremitas Superior Inferior kekuatan 5 5 5 5 : akral hangat,tonus baik,capilary refill < 2s : akral hangat,tonus baik,capilary refill < 2s

C. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Tanggal l 3 September 2013 GDS Chol Tot TG Asam urat Radiologi Tanggal 29 Agustus 2013 dilakukan di RSUP DR. Sardjito Ro. Thoraks Paru AP : cor dan pulmo dalam batas normal IVP : Kesan : hidronefrosis dextra dengan batu di pelvis renalis USG abdomen : hepar dan lien tidak membesar, hernia inguinalis dextra. : 162,3 : 266 : 253 : 2,9 mg/dl ( 70 120 ) mg/dl ( < 200 0 mg/dl ( < 150 ) mg/dl (<2,4 5,7 mg/dl )

REVIEW ANAMNESIS SISTEM Sistem pusat Sistem kardiovaskuler Sistem respirasi Sistem gastrointestinal Dalam batas normal Nafsu makan meningkat (+) nyeri perut (+) mual (-) muntah (-) mudah merasa lapar (+) massa abdomen (+) susp. hernia ingunalis Sistem urogenital Nyeri saat berkemih (-) nyeri perut kanan menjalar sampai ke pinggang belakang susp. Hidronefrosis dextra dan batu di pelvic renalis, frekuensi BAK meningkat Dalam batas normal syaraf Pusing (+) nyeri tengkuk (+)

Sistem muskuloskeletal Sistem integumenrum Sistem anogenital

Kifosis (+) tonus otot baik

Elastisitas kulit menurun (+) sianosis (-)

Dalam batas normal

FAMILY ASSESSMENT TOOLS A. Genogram Keluarga (tanggal pembuatan : 6 Oktober 2013)

Keterangan: : : : Laki-laki Perempuan : Meninggal : Pasien

B :Breadwinner : yang mencari nafkah

Tinggal 1 rumah D : Decision Maker : Pengambil Keputusan

B. PETA KELUARGA (FAMILY MAP)


Anak III
Cucu III

Cucu II

Anak II

Ny. NK

Cucu I

Mena ntu II

An. II

Keterangan : : fungsional boundaries C. SIKLUS KEHIDUPAN KELUARGA (Family Life Cycle) aging family member : disfungsional : clear but negotiable

D. FUNGSI KELUARGA (Family APGAR) Apgar keluarga adalah suatu penentu sehat / tidaknya keluarga dikembangkan oleh Rosen, Geymon, dan Leyton dengan menilai 5 fungsi pokok keluarga / tingkat kesehatan keluarga yaitu : TABEL NILAI APGAR Respons KRITERIA PERTANYAAN Hampir tidak pernah Apakah Adaptasi pasien puas dengan Kadang Hampir selalu

keluarga karena masing-masing anggota keluarga sudah

10

menjalankan

kewajiban

sesuai

dengan seharusnya Apakah Kemitraan pasien puas dengan

keluarga karena dapat membantu memberikan solusi terhadap

permasalahan yang dihadapi Apakah Pertumbuhan kebebasan pasien puas dengan diberikan

yang

keluarga untuk mengembangkan kemampuan yang pasien miliki Apakah pasien puas dengan

Kasih Sayang

kehangatan / kasih sayang yang diberikan keluarga Apakah pasien puas dengan

Kebersamaan

waktu yang disediakan keluarga untuk menjalin kebersamaan

TOTAL Skoring : Hampir selalu=2 , kadang-kadang=1 , hampir tidak pernah=0 Total skor 8-10 = fungsi keluarga sehat 4-7 = fungsi keluarga kurang sehat 0-3 = fungsi keluarga sakit Dari tabel APGAR keluarga diatas total nilai skoringnya adalah 7, ini menunjukan fungsi keluarga kurang sehat.

E. SUMBER DAYA KELUARGA (Family SCREEM) SCREEM adalah alat yang digunakan untuk menilai sumber daya dalam keluarga. Aspek Sosial Pasien Sumber Daya dapat berinteraksi Patologi

dengan baik dengan tetangga sekitarnya

11

Kultural

Pasien dan keluarga tidak mempercayai mitos-mitos

yang tidak jelas kebenarannya. Bangga terhadap kebudayaan asalnya beradaptasi dan dengan mampu budaya

baru. Pasien berbudaya jawasunda. Religius Pasien mengajarkan dan keluarga moral-moral

agama dan menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agama dengan rajin dan baik Ekonomi Ekonomi terpenuhi pasien melalui dapat uang

pensiun suaminya ditambah dukungan dari anak anaknya yang sudah bekerja. Pendidikan Seluruh mendapat optimal anggota edukasi sampai keluarga yang jenjang

perguruan tinggi. Kesehatan Masalah kesehatan cukup Pasien harus berangkat sendiri ke

bagus, dekat dengan akses yankes dan memiliki jaminan ASKES.

puskesmas

dengan

kondisinya yang bungkuk dan mudah roboh karena kesibukan anak-anaknya. Anak-anak kurang mendunkung mengenai kesehatan ibunya.

F. PERJALANAN HIDUP KELUARGA (Family Life Line) Year Age Live event/ crisis Severity of illness

12

2004 63

Suami meninggal dunia

Ditinggal hidup sendiri dan harus bergantung pada anak-anaknya. Merasa operasinya gagal dan trauma akan tindakan medis berikutnya.

2004 63

Operasi appendiktomi

E. Lingkungan Rumah o Letak : Rumah yang dihuni pasien terletak di pemukiman padat penduduk, beralamat di Perumahan Gedong Agung A6 Yogyakarta o Kondisi : Kokoh, dinding rumah tembok, tidak bertingkat, lantai dari keramik, atap rumah dari genteng, sebagian genteng terbuat dari kaca, terdapat halaman. Dengan luas rumah 6 x 6 meter, dihuni 7 orang. o Pembagian ruang : di dalam rumah terdapat 3 kamar tidur, 1 ruang tengah, 1 ruang depan, 1 kamar mandi dan dapur 6M Kasur
Papan Pembatas
Almari

Kasur

Almari

Rak

6 M

Meja Kecil

Dapur

Rumah Tetangga

Kasur

U Rumah Tetangga o Ventilasi : Terdapat jendela pada ruang depan dan kamar mandi, terdapat pula lubang ventilasi pada atas jendela. Akan tetapi diruangan lainnya, tidak terdapat ventilasi, serta jarak antar rumah berdempetan,

menyebabkan kesan ventilasi kurang baik.

TV Rak

BM

Skala = 1 : 150
Ventilasi Ventilasi

Meja Kecil

13

o Pencahayaan : Pencahayaan di dalam rumah cukup, sehingga dapat membaca di siang hari tanpa bantuan listrik. Daya listrik pada rumah kos tersebut sebesar 900 watt, dan dirasa cukup untuk keperluan sehari-hari seluruh keluarga. o Kebersihan : kebersihan di dalam tangga tertata dengan rapi. o Sanitasi dasar : Sumber air bersih : Sumber air dari PAM. Jamban keluarga : Terdapat 1 buah kamar mandi dengan 1 jamban jongkok dengan model leher angsa dan bak mandi terbuat dari semen dan sudah dilapisi porselen. Kesan kamar mandi bersih, tidak bau dan terawat. Berukuran sekitar 1,5 m x 2 m. Air dalam bak mandi bersih tidak ada jentik nyamuk. Saluran Pembuangan Air Limbah : Limbah rumah tangga dialirkan ke peresapan, tidak ditemukan genangan limbah disekitar rumah. Saluran pembuangan air limbah digunakan bersama dengan warga lainnya. Tempat pembuangan sampah : sampah dikumpulkan di keranjang sampah, yang setiap dipindah ke depan rumah untuk diambil oleh petugas sampah. Pembayaran sampah ditanggung bersama oleh warga sekitar. Halaman : terdapat halaman depan berukuran 3x6 m diisi dengan tanaman hijau dalam pot Kandang : Tidak memiliki kandang untuk hewan hewan peliharaan atau ternak. 3. Kepemilikan barang. Rumah yang di tempati merupakan rumah kontrakan. Keluarga tersebut memiliki televisi, lemari, tempat tidur, lemari pakaian, peralatan dapur, alat alat servis alat elektronik. 4. Keadaan lingkungan sekitar rumah. Limbah rumah tangga dialirkan melalui saluran limbah, tanpa tempat sampah diluar rumah. Kesan kebersihan di lingkungan tersebut cukup baik. rumah baik dan perabotan rumah

14

F. Diagnosis holistik Hipertensi grade I, Diabetes Mellitus type II, Dislipidemia dan observasi massa abdomen pada wanita lanjut usia dengan kekhawatiran dan persepsi yang salah terhadap penyakitnya, penolakan pengobatan dan kurangnya dukungan keluarga pada keluarga fungsional kurang sehat.

G. Terapi Terapi dari Puskesmas Metformin Gemfibrozil Amilodipin mg500 1 x 1 tablet mg300 1 x 1 tablet mg10 1 x 1 tablet 1x1 tablet 2x1 tablet

Simvastatin mg10 Meloxicam mg15

15

BAB II PENDAHULUAN B. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) menurut American Diabetes Association (ADA) 2003, merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada DM berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah (Soegondo, 2004). Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Dislipidemia mengacu pada kondisi di mana terjadi abnormalitas profil lipid dalam plasma. Beberapa kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida (TG), serta penurunan kolesterol HDL. Berbagai perubahan profil lipid tersebut saling terkait satu dengan lain sehingga tidak dapat dibicarakan sendiri-sendiri. Dislipidemia merupakan salah satu faktor risiko utama aterosklerosis dan penyakit jantung koroner. Dislipidemia adalah salah satu komponen dalam trias sindrom metabolik selain diabetes dan hipertensi. Hipertensi atau sering disebut di masyarakat sebagai tekanan darah tinggi adalah keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah dan gejalanya suit diketahui oleh tubuh sendiri. Satu satunya cara untuk mengetahui hipertensi adalah dengan mengukur tekanan darah. Hipertensi menjadi masalah kesahatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Hipertensi pada dasarnya mengurangi harapan hidup penderitanya. Hidronefrosis adalah pembengkakan ginjal yang terjadi sebagai akibat akumulasi urin di saluran kemih bagian atas. Hal ini biasanya disebabkan adanya sumbatan di suatu tempat di sepanjang saluran kemih yang sering diakibatan karena batu ginjal.

16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DIABETES MELITUS 1. DEFINISI Menurut WHO dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (PERKENI 2006). Diabetes Melitus (DM) sering juga dikenal dengan nama kencing manis atau penyakit gula. DM memang tidak dapat didefinisikan secara tepat, DM lebih merupakan kumpulan gejala yang timbul pada diri seseorang yang disebabkan oleh adanya peningkatan glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 2006). Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya(Sudoyo,Aru W,2006). Diabetes Melitus adalah suatu penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa didalam darah. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosial ekonomi(Shahab,Alwi, 2006). Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (PERKENI, 2006). 2. KLASIFIKASI Diabetes melitus diklasifikasikan menurut etiologinya seperti yang tertera pada tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi diabetes menurut etiologinya. Sumber : PERKENI, 2006

17

Klasifikasi lainnya membagi diabetes melitus atas empat kelompok yaitu diabetes melitus tipe-1, diabetes melitus tipe-2, diabetes melitus bentuk khusus, dan diabetes melitus gestasional (Adam, John MF, 2000).

American Diabetes Association (ADA) dalam standards of Medical Care in Diabetes (2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe yang disajikan dalam (Dewi, Debhryta Ayu, 2009): 1. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya destruksi sel pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin. 2. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin. 3. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa faktor lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel pankreas, kelainan genetik pada aktivitas insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan akibat penggunaan obat atau bahan kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan terapi setelah transplantasi organ). 4. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami selama masa kehamilan. 3. DIAGNOSIS Diagnosis diabetes melitus harus berdasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis diabetes melitus harus diperhatikan asal

18

bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan glukosa darah sebaiknya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh, vena maupun kapiler dengan memperhatikan angkaangka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler (Sudoyo,Aru W, 2006). Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini (PERKENI, 2006) : 1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. 2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk acuan diagnosis diabetes melitus. Untuk kelompok tanpa keluhan khas diabetes melitus, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan 200 mg/dl (Sudoyo,Aru W, 2006).

19

Tabel 3. Kriteria diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006

Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasikan mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif (Sudoyo,Aru W, 2006). Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan Dibetes melitus, toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju diabetes melitus. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya diabetes melitus dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari (PERKENI, 2006). Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar (Sudoyo,Ari W, 2006). Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring dan diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.

20

Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk menentukan diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosa darah puasa tergagnggu. Berikut adalah langkah-langkah penegakkan diagnosis diabetes melitus, TGT, dan GDPT. Gambar 1. Langkah-langkah diagnostik diabetes melitus dan toleransi glukosa terganggu. Sumber : Sudoyo, Aru W, 2006.

B. Dislipidemia 1. Definisi Dislipidemia Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang paling utama adalah kenaikan kadar kolesterol total (>240mg/dl), kolesterol LDL(>160 mg/dl), kenaikan kadar trigliserida (>200 mg/dl) serta penurunan kadar HDL (<40 mg/dl).

21

Tabel 5. Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserid menurut NCEP ATP III 2001 (mg/dl).6

2. Epidemiologi Dislipidemia Di Indonesia prevalensi dislipidemia semakin meningkat. Penelitian MONICA di Jakarta 1988 menunjukkan bahwa kadar rata-rata kolesterol total pada wanita adalah 206,6 mg/dl dan pria 199,8 mg/dl, tahun 1993 meningkat menjadi 213,0 mg/dl pada wanita dan 204,8 mg/dl pada pria. Dibeberapa daerah nilai kolesterol yang sama yaitu Surabaya (1985): 195 mg/dl, Ujung Pandang (1990): 219 mg/dl dan Malang (1994): 206 mg/dl. Apabila dipakai batas kadar kolesterol > 250 mg/dl sebagai batasan hiperkolesterolemia maka pada MONICA I terdapatlah hiperkolesterolemia 13,4 % untuk wanita dan 11,4 % untuk pria. Pada MONICA II hiperkolesterolemia terdapat pada 16,2 % untuk wanita dan 14 % pria.

22

Pada penelitian yang dilakukan oleh Sudijanto Kamso dkk. (2004) terhadap 656 responden di 4 kota besar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Padang) didapatkan keadaan dislipidemia berat (total kolesterol >240 mg/dL) pada orang berusia diatas 55 tahun didapatkan paling banyak di Padang dan Jakarta (>56%), diikuti oleh mereka yang tinggal di Bandung (52,2%) dan Yogyakarta (27,7%). Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa prevalensi dislipidemia lebih banyak didapatkan pada wanita (56,2%) dibandingkan pada pria (47%). Dari keseluruhan wanita yang mengidap dislipidemia tersebut ditemukan prevalensi dislipidemia terbesar pada rentang usia 55-59 tahun (62,1%) dibandingkan yang berada pada rentang usia 60-69 tahun (52,3%) dan berusia diatas 70 tahun (52,6%).

3. Klasifikasi Dislipidemia Dislipidemia dapat diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi fenotipik dan patologik. a. Klasifikasi Fenotipik Klasifikasi fenotipik pada dislipidemia dibagi atas klasifikasi berdasarkan EAS, NCEP, dan WHO. i. Klasifikasi EAS (European Atheroselerosis Society) Pada klasifikasi berdasarkan EAS, dislipidemia dibagi 3 golongan, yaitu hiperkolesterolemia yang merujuk pada peningkatan kolesterol total,

hipertrigliseridemia yang merujuk nilai trigliserida plasma yang meninggi, dan campuran keduanya seperti dapat dilihat pada tabel 6.

ii. Klasifikasi NECP (National Cholesterol Education Program) Kapan disebut lipid normal, sebenarnya sulit dipatok pada suatu angka, oleh karena normal untuk seseorang belum tentu normal untuk orang lain yang disertai

23

faktor risiko koroner multipel. Walaupun demikian, National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III) 2001 telah membuat satu batasan yang dapat dipakai secara umum tanpa melihat faktor risiko koroner seseorang seperti dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7. Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserid menurut NCEP ATP III 2001 (mg/dl). 4

iii. Klasifikasi WHO (World Health Organization) Klasifikasi WHO didasarkan pada modifikasi kalsifikasi Fredricson, yaitu berdasarkan pada pengukuran kolesterol total, trigliserida, dan subkelas lipoprotein (dapat dilihat pada tabel 8).

24

b. Klasifikasi Patogenik Sedangkan berdasarkan patologinya, dislipidemia 2, yaitu dislipidemia primer dan sekunder. i. Dislipidemia Primer Dislipidemia primer berkaitan dengan gen yang mengatur enzim dan apoprotein yang terlibat dalam metabolism lipoprotein maupun reseptornya. Kelainan ini biasanya disebabkan oleh mutasi genetik. Dislipidemia primer meliputi: Hiperkolesterolemia poligenik Hiperkolesterolemia familial Dislipidemia remnant Hyperlipidemia kombinasi familial Sindroma Chylomicron Hypertrriglyceridemia familial Peningkatan Cholesterol HDL Peningkatan Apolipoprotein B

ii. Dislipidemia Sekunder Dislipidemia sekunder disebabkan oleh penyakit atau keadaan yang mendasari. Hal ini dapat bersifat spesifik untuk setiap bentuk dislipidemia seperti diperlihatkan oleh tabel 9 dibawah ini.

Tabel 9 Penyebab Umum Dislipidemia Sekunder

4. Faktor Risiko Dislipidemia Kadar lipoprotein, terutama kolesterol LDL, meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Dalam keadaan normal, pria memiliki kadar yang lebih tinggi,

25

tetapi setelah menopause kadarnya pada wanita mulai meningkat. Faktor lain yang menyebabkan tingginya kadar lemak tertentu (misalnya VLDL dan LDL) adalah: Riwayat keluarga dengan dislipidemia Obesitas Diet kaya lemak Kurang melakukan olahraga Penggunaan alkohol Merokok Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik Kelenjar tiroid yang kurang aktif

Sebagian besar kasus peningkatan kadar trigliserida dan kolesterol total bersifat sementara dan tidak berat, dan terutama merupakan akibat dari makan lemak. Pembuangan lemak dari darah pada setiap orang memiliki kecepatan yang berbeda. Seseorang bisa makan sejumlah besar lemak hewani dan tidak pernah memiliki kadar kolesterol total lebih dari 200 mg/dL, sedangkan yang lainnya menjalani diet rendah lemak yang ketat dan tidak pernah memiliki kadar kolesterol total dibawah 260 mg/dL. Perbedaan ini tampaknya bersifat genetik dan secara luas berhubungan dengan perbedaan kecepatan masuk dan keluarnya lipoprotein dari aliran darah.

5. Kriteria Diagnostik dan Pemeriksaan Laboratorium Dislipidemia i. Pedoman Klinis Kadar Lipid Sehubungan Dengan Resiko PKV Angka patokan kadar lipid yang memerlukan pengelolaan, penting dikaitkan dengan terjadinya komplikasi kardiovaskuler. Dari berbagai penelitian jangka panjang di negara-negara barat, yang dikaitkan dengan besarnya resiko untuk terjadinya PKV (tabel 10), dikenal patokan kadar kolesterol total sbb: a) Kadar yang diinginkan dan diharapkan masih aman (desirable) adalah < 200 mg/dl b) Kadar yang sudah mulai meningkat dan harus diwaspadai untuk mulai dikendalikan (bordeline high) adalah 200-239 mg/dl c) Kadar yang tinggi dan berbahaya bagi pasien (high) adalah > 240 mg/dl

26

Untuk trigliserida besamya pengaruh terhadap kemungkinan terjadinya komplikasi kardiovaskuler belum disepakati benar. NECP (National Cholesterol Education Program) tidak memasukkan kadar trigliserida dalam anjuran pengelolaan lipid mereka. Sebaliknya kelompok kontinental memasukkan juga faktor trigliserida dalam algoritma yang mereka anjurkan, dilandasi oleh penelitian mereka di Eropa (studi Procam dan studi Paris). Di Indonesia data epidemiologis mengenai lipid masih langka, apalagi longitudinal yang berkaitan dengan angka kesakitan atau angka kematian penyakit kardiovaskuler. Tabel 10 Pedoman Klinis untuk Menghubungkan Profil Lipid Dengan Risiko Terjadinya PKV

Secara klinis digunakanlah kadar kolesterol total sebagai tolak ukur, walaupun berdasarkan patofisiologi, yang berperan sebagai faktor risiko adalah kolesterol LDL. Namun demikian, kadar kolesterol total dapat juga

menggambarkan kadar kolesterol LDL seperti dapat dilihat pada tabel 11.

27

Tabel 11 Kadar Kolesterol Total Dihubungkan dengan Kadar LDL

2. Pengukuran Antropometri sebagai Skreening Obesitas Obesitas dapat dinilai dengan berbagai cara, metode yang lazim digunakan saat ini antara lain pengukuran IMT (Index Massa Tubuh), lingkar pinggang, serta perbandingan lingkar pinggang dan panggul. Sebuah studi menyatakan bahwa pengukuran lingkar leher juga dapat digunakan sebagai screening obesitas. Berikut ini penjelasan masing-masing metode pengukuran antropometri tubuh: A. IMT Metode yang sering digunakan adalah dengan cara menghitung IMT, yaitu BB/TB2 dimana BB adalah berat badan dalam kilogram dan TB adalah tinggi badan dalam meter (Caballero B., 2005). Klasifikasi IMT dapat dilihat pada tabel di bawah ini Table 12 Klasifikasi IMT (PERKENI, 2006). Klasifikasi IMT Berat Badan Kurang Berat Badan Normal Berat Badan Lebih BB dengan Resiko Obesitas I Obesitas II < 18.5 18.5 22.9 23 23 24.9 25 29.9 30 (kg/m2)

C. HIPERTENSI Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah meningkat melebihi batas normal. Batas tekanan darah normal bervariasi sesuai dengan usia. Berbagai

28

faktor dapat memicu terjadinya hipertensi, walaupun sebagian besar (90%) penyebab hipertensi tidak diketahui (hipertensi essential). Penyebab tekanan darah meningkat adalah peningkatan kecepatan denyut jantung, peningkatan resistensi (tahanan) dari pembuluh darah tepi dan peningkatan volume aliran darah. Faktor gizi yang sangat berhubungan dengan terjadinya hipertensi melalui beberapa mekanisme. Aterosklerosis merupakan penyebab utama terjadinya hipertensi yang berhubungan dengan diet seseorang, walaupun faktor usia juga berperan, karena pada usia lanjut (usila) pembuluh darah cenderung menjadi kaku dan elastisitasnya berkurang. . Berdasarkan JNC 7, hipertensi diklasifikasikan sebagai berikut; Klasifikasi (mmHg) Tekanan Darah Normal Prahipertensi Hipertensi derajat 1 Hipertensi derajat 2 < 120 120 - 139 140 159 160 dan atau atau atau < 80 80 89 90 99 100 TDS (mmHg) TDD

EPIDEMIOLOGI Data epidemiologis menunjukkan bahwa dengan main meningkatnya populasi usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan juga akan

bertambah, dimana baik hipetensi sistolik maupun kombinasi dari hipertensi sistolik dan diastolic sering timbul pada lebih dari separuh orang yang berusia > 65 tahun.

ETIOPATOGENESIS Hipertensi dapat dikelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu primer dan sekunder. Hipertensi primer (hipertensi esensial) artinya hipertensi yang belum diketahui penyebabnya dengan jelas. Berbagai faktor diduga turut berperan sebagai penyebab hipertensi primer, seperti bertambahnya umur, stres psikologis, dan hereditas (keturunan). Sekitar 90% pasien hipertensi diperkirakan termasuk dalam kategori ini.

29

Golongan kedua adalah hipertensi sekunder yang penyebabnya boleh dikatakan telah pasti, misalnya ginjal yang tidak berfungsi, pemakaian kontrasepsi oral, dan terganggunya keseimbangan hormon yang merupakan faktor pengatur tekanan darah. Etiologi pasti dari hipertensi esensial belum diketahui tapi banyak penelitian yang mencoba menelusuri patofisiologi hipertensi. Diantara yang berkembang, membagi 3 etiologi mayor dari hipertensi esensial, yaitu : 1. Predisposisi poligenetis Predisposisi secara genetis terbukti dengan ditemukannya perubahan yang berbeda secara ras, etnis dan bangsa, riwayat keluarga (familiar). Perbedaan yang dibawa secara genetis sehingga menderita hipertensi esensial, meliputi kepekaan (sensitivitas) terhadap konsumsi garam, abnormalitas transportasi natrium kalium, respon SSP terhadap stimulasi psikososial, respon pressor dan trofik neurohormonal (angiotensin II, katekolamin, tromboksan, kalsium), fungsi barostat renal. Predisposisi genetis kecil pengaruhnya terhadap tekanan darah tapi dapat manifest sehingga tekanan darah jadi tinggi karena pengaruh lingkungan. 2. Faktor lingkungan Ada 3 faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap predisposisi genetis sehingga terjadi hipertensi esensial, yaitu : factor konsumsi garam, psikososial dan nutrisi (kalori tinggi). Faktor psikososial melalui SSP dan pressor tropic neurohormonal berpengaruh pada jantung dan pembuluh darah. Faktor psikososial meliputi kebiasaan hidup, stress mental, aktifitas fisik dan status sosial ekonomi. 3. Adaptasi struktural jantung dan pembuluh darah Tekanan darah yang tinggi merupakan bentuk stimulasi fisika mekanik, sehingga jantung dan pembuluh darah akan adaptasi secara structural. Pada jantung, terjadi hipertrofi dan hyperplasia miosit. Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon,

30

renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama. 6,7 Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.7 Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.7

31

ANGIOTENSINOGEN RENIN ANGIOTENSIN I ACE ANGIOTENSIN II

TROPHIE VASOCONSTRIKSI RETENSI GARAM SYMPHATETIC EFFECT DAN AIR BLOCKERS DIURETIC STIMULATION VASODILATORS

BLOOD PRESSURE

VASCULAR HYPERTROFI

THE VISION CIRCLE

FASE HIPERTENSI 1. Fase hipertensi dini Merupakan fase peningkatan tekanan darah tahap awal, dimana terdapat peningkatan curah jantung yang besar, sedangkan resistensi perifer masih dalam batas normal. Secara klinis ditandai dengan peningkatan tekanan darah sistolik dan denyut jantung sehingga dikatakan sebagai hipertensi hiperkinetik atau hiperdinamik.

Peningkatan curah jantung berkisar 10-15% dari normal. Ciri-ciri hipertensi hiperkinetik atau hiperdinamik berupa : Curah jantung yang besar kadar norepineprin yang meningkat. Ditemui pada populasi dewasa muda Didapatkan pada populasi yang mempunyai riwayat orang tua menderita hipertensi. Usia relative muda, berkisar 18-42 tahun, rentang usia produktif.

32

Meningkatnya curah jantung dan denyut jantung pada hipertensi hiperkinetik sebab hiperaktifitas saraf simpatis terbukti dari tingginya kadar hormon norepinefrin dalam plasma. Hal ini diduga berkaitan dengan kinerja kerja yang tinggi, stress dan factor emosional. 2. Fase hipertensi menetap Hipertensi dini dengan sebab curah jantung yang tinggi, bila terus berlanjut terjadi hiperperfusi ke seluruh jaringan tubuh. Hal ini menstimulir vasokonstriksi pembuluh darah arteriol, yang bertujuan melindungi organ tubuh dari hiperperfusi dan tekanan darah sistemik yang tinggi. Vasokonstriksi pembuluh darah arteriol menaikkan resistensi perifer, sehingga tekanan darah diastolik meningkat. Pada kondisi dimana ditemukan tekanan darah diastolik sudah meningkat, secara klinis hal ini dipakai sebagai tanda bahwa hipertensi sudah berlangsung lama, disebut hipertensi menetap (established or chronic hypertension). Vasokonstriksi pembuluh darah arteriole

mengakibatkan volume sirkulasi berkurang, sehingga pada fase hipertensi menetap curah jantung kembali normal atau sedikit berkurang. Resistensi perifer yang tinggi memaksa jantung untuk berkontraksi lebih kuat supaya darah tetap dapat sampai ke jaringan. Jika faktor inotropik miokard masih baik maka tekanan darah sistol akan bertambah tinggi lagi sebagai respon terhadap beban akhir (afterload) yang meningkat.

PENANGANAN HIPERTENSI Bila tekanan darah tetap tinggi selama 3-6 bulan dengan intervensi nonfarmakologi, maka terapi dengan obat-obatan telah dapat dimulai (WHO-ISH 1999). Pengobatan nonfarmakologi merupakan terapi definitif dan prioritas utama karena telah terbukti dapat menurunkan tekanan darah, mengurangi dosis dan jenis obat antihipertensi yang dipakai. Terapi nonfarmakologi meliputi pengurangan konsumsi garam, lemak, stop merokok, alkohol, kafein, disertai dengan olahraga yang teratur.2

33

Hindari pemakaian obat-obat yang menaikkan tekanan darah, seperti :2 a. Preparat kortikosteroid (prednisone, deksametason) b. Hormon-kontrasepsi (estrogen-progesteron, bromokriptin mesilat) c. Obat flu dan analgesic yang mengandung kafein dan fenileprin hidroklorida d. Vitamin-mineral yang mengandung kalsium dosis tinggi. e. Obat rematik non-steroid, seperti fenilbutazon, indometasin, dan nafroxen sangat kuat menaikkan tekanan darah. Piroksikam, aspirin, ibuprofen relative aman, efeknya meningkatkan tekanan darah dapat diabaikan. Jika modifikasi gaya hidup tidak menurunkan tekanan darah ke tingkat yang diinginkan, terapi farmakologis harus diberikan. Pemilihan terapi antihipertensi berdasar pada patofisiologi, hemodinamik, kerusakan organ akhir, adanya penyakit penyerta, demografik, efek samping obat dan kualitas hidup, biaya pengobatan. Penggunaan obat anti hipertensi terbaru dari golongan Angiotensin II Receptor Blocker (ARB), semisal telmisartan dan irbesartan, juga perlu

dipertimbangkan untuk menangani kasus hipertensi. Sangat baik terutama bila dikombinasikan dengan golongan diuretic (HCT). Penelitian di Switzerland (2006) menunjukkan bahwa penggunaan irbesartan mampu meningkatkan usia harapan hidup, mengurangi angka kejadian gagal ginjal dan menghemat biaya pengobatan. Target penurunan tekanan darah yaitu di bawah 140/90 untuk pasien tanpa komplikasi dan dibawah 130/80 untuk pasien yang menderita diabetes atau kelainan ginjal.4,5,9

EVALUASI HIPERTENSI Evaluasi pada pasien hipetensi bertujuan untuk : 1. Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya atau 2. Menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan pengobatan. 3. Mencari penyebab kenaikan darah

34

4. Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit kardiovaskuler.. Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang keluhan pasien , riwayat penyakit dahulu, dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisis serta pemeriksaan penunjang. Anamnesis meliputi : 1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah 2. Indikasi adanya hipertensi sekuder : a.) Keluarga dengan penyakit ginjal (ginjal polikistik). b.) Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian obat-obat analgesik, dan obat lain. c.) Episoda berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi

(feokromositoma) d.) Episoda lemah otot dan tetani (aldosteronisme). 3. Faktor-faktor risiko : a.) pasien. b.) Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya. c.) Riwayat diabetes melitus pada pasien dan keluarganya. d.) Kebiasan merokok e.) Pola makan f.) Kegemukan, intensistas olah raga g.) Kepribadian 4. Gejala kerusakan organ : a.) Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, defisit sensoris dan motorik. b.) Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki. c.) Ginjal : haus, poliuria, nokturia, hematuri d.) Arteri perifer : ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten. e.) Pengobatan antihipetensi sebelumnya f.) Faktor-faktor pribadi , keluarga dan lingkungan. Pengukuran tekanan darah : Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga

35

1. Pengukuran rutin di kamar periksa 2. Pengukuran sendiri oleh pasien 3. Pengukuran 24 jam (ABPM) Pemeriksaan fisis selain memeriksa tekanan darah, juga untuk evaluasi adanya penyakit penyerta , kerusakan organ target serta kemungkinan adanya hipertensi sekunder. Evaluasi pasien hpertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya penyakit penyerta sistemik, yaitu : 1. Aterosklerosis (melalui pemeriksaan profil lemak) 2. Diabetes (pemeriksaan gula darah) 3. Fungsi ginjal (pemeriksaan proteinuria, kreatinin serum, laju filtrasi glomerulus)

PENATALAKSANAAN Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah : 1. Target tekanan darah < 140/90 mmHg, untuk individu berisiko tinggi

(diabetes, gagal ginjal proteinuria) < 130/90 mmHg. 2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler. 3. Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria.

36

Selain pengobatan hipertensi , pengobatan terhadap faktor risiko atau kondisi penyerta lainnya seperti diabetes melitus atau dislipidemia juga harus

dilaksanakan hingga mencapai target terapi masing-masing kondisi.. Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfarmakologis dan farmakologis. Terapi non farmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor risiko serta penyakit penyerta lainnya.. Terapi nonfarmakologis terdiri dari : 1. Menghentikan merokok 2. Menurunkan berat badan berlebih 3. Menurunkan konsumsi alkohol berlebih 4. Latihan fisik 5. Menurunkan asupan garam 6. Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak. Terapi farmakologis, jenis-jenis obat yang dianjurkan JNC 7 : 1. Diuretika, terutama Thiazide atau Aldosterone Antagonist 2. Beta Blocker (BB) 3. Calcium Channel Blocker (CCB) 4. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) 5. Angiotensin II Receptor Blocker (ARB) Klasifikasi Tekanan Darah Kelompok A (tidak Kelompok B Kelompok C

ada (minimal 1 faktor resiko, (kerusakan tidak termasuk diabetes) organ target, atau diabetes, atau resiko) faktor

faktor resiko)

Pre-hipertensi (120-139/80-89) Hipertensi grade I (140-159/90-99) Hipertensi grade II (160/100)

Terapi

non Terapi non farmakologis

Terapi farmakologis Terapi farmakologis

farmakologis Terapi non Terapi non farmakologis

farmakologis Terapi farmakologis Terapi farmakologis

37

PEMANTAUAN Pasien yang telah mulai mendapatkan pengobatan harus datang kembali untuk evaluasi lanjutan dan pengaturan dosis obat sampai target tekanan darah tercapai. Strategi untuk meningkatkan kepatuhan pada pengobatan : 1. Empati dokter untuk meningkatkan kepercayaan, omtivasi dan kepatuhan

pasien 2,. Dokter harus mempertimbangkan latar belakng budaya , kepercayaan pasien serta sikap pasien terhadap pengobatan. Pengobatan antihipertensi umumnya untuk selama hidup. Penghentian pengobatan cepat atau lambat akan diikuti dengan naiknya tekanan darah sampai seperti sebelum dimulai pengobatan antihipertensi. Walaupun demikian, ada

kemungkinan untuk menurunkan dosis dan jumlah obat anti hipetensi secara bertahap bagi pasien yang diagnosis hipertensinya sudah pasti serta tetap patuh terhadap pengobatan nonfarmakologis.

HIDRONEFROSIS A. DEFINISI Hidronefrosis mengacu pada pada pelebaran pelvis dan kaliks ginjal, disertai atrofi parenkim, akibat obstruksi aliran keluar urin. Obstruksi dapat terjadi mendadak atau perlahan, dan dapat terletak di semua tingkat saluran kemih, dari uretra sampai pelvis ginjal. Obstruksi dapat berupa batu. (Robin, 2007).

B. ETIOLOGI 1. Jaringan parut ginjal/ureter. 2. Batu 3. Neoplasma/tumor 4. Hipertrofi prostat 5. Kelainan konginetal pada leher kandung kemih dan uretra 6. Penyempitan uretra 7. Pembesaran uterus pada kehamilan (Smeltzer dan Bare, 2002).

38

C. PATOGENESIS Obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir balik, sehingga tekanan di ginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi di uretra atau kandung kemih, tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal, tetapi jika obstruksi terjadi di salah satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan maka hanya satu ginjal saja yang rusak. (Sjamsuhidrajat R, 1 W. 2004) Obstruksi parsial atau intermiten dapat disebabkan oleh batu renal yang terbentuk di piala ginjal tetapi masuk ke ureter dan menghambatnya. Obstruksi dapat diakibatkan oleh tumor yang menekan ureter atau berkas jaringan parut akibat abses atau inflamasi dekat ureter dan menjepit saluran tersebut. Gangguan dapat sebagai akibat dari bentuk abnormal di pangkal ureter atau posisi ginjal yang salah, yang menyebabkan ureter berpilin atau kaku. Pada pria lansia , penyebab tersering adalah obstruksi uretra pada pintu kandung kemih akibat pembesaran prostat. Hidronefrosis juga dapat terjadi pada kehamilan akibat pembesaran uterus. (Sjamsuhidrajat R, 1 W. 2004) Apapun penyebabnya adanya akumulasi urin di piala ginjal akan menyebabkan distensi piala dan kaliks ginjal. Pada saat ini atrofi ginjal terjadi. Ketika salah satu ginjal sedang mengalami kerusakan bertahap, maka ginjal yang lain akan membesar secara bertahap (hipertropi kompensatori), akhirnya fungsi renal terganggu. (Sjamsuhidrajat R, 1 W. 2004)

D. MANIFESTASI KLINIS Pasien mungkin asimtomatik jika awitan terjadi secara bertahap. Obstruksi akut dapat menimbulkan rasa sakit dipanggul dan pinggang. Jika terjadi infeksi maka disuria, menggigil, demam dan nyeri tekan serta piuria akan terjadi. Hematuri dan piuria mungkin juga ada. (Tanagho EA, McAninch JW. 2004) Jika kedua ginjal kena maka tanda dan gejala gagal ginjal kronik akan muncul, seperti: 1. Hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium). 2. Gagal jantung kongestif.

39

3. Perikarditis (akibat iritasi oleh toksik uremi). 4. Pruritis (gatal kulit). 5. Butiran uremik (kristal urea pada kulit). 6. Anoreksia, mual, muntah, cegukan. 7. Penurunan konsentrasi, kedutan otot dan kejang. 8. Amenore, atrofi testikuler. E. PEMERIKSAAN PENUNJANG Gambaran radiologi Gambaran radiologis dari hidronefrosia terbagi berdasarkan gradenya. Ada 4 grade hidronefrosis, antara lain : a. Hidronefrosis derajat 1. Dilatasi pelvis renalis tanpa dilatasi kaliks. Kaliks berbentuk blunting, alias tumpul. b. Hidronefrosis derajat 2. Dilatasi pelvis renalis dan kaliks mayor. Kaliks berbentuk flattening, alias mendatar. c. Hidronefrosis derajat 3. Dilatasi pelvis renalis, kaliks mayor dan kaliks minor. Tanpa adanya penipisan korteks. Kaliks berbentuk clubbing, alias menonjol. d. Hidronefrosis derajat 4. Dilatasi pelvis renalis, kaliks mayor dan kaliks minor. Serta adanya penipisan korteks Calices berbentuk ballooning alias menggembung. (Staf Pengajar Sub-Bagian Radio Diagnostik,2000)

F. DIAGNOSIS Pada pemeriksaan fisik terutama pada palpasi, dokter bisa meraba dan merasakan adanya massa diantara tulang pinggul dan tulang rusuk, terutama jika ginjalnya membesar. Pemeriksaan darah dapat menunjukan adanya kadar urea yang tinggi karena ginjal tidak mampu membuang sisa metabolik. Adapun prosedur untuk menegakan diagnosis hidronefrosis: 1. USG, memberikan gambaran ginjal, ureter dan kandung kemih 2. Urografi intravena, menunjukan aliran air kemih melalui ginjal

40

3. Sistoskopi, bisa melihat kandung kemih (VU) secara langsung

G. DIAGNOSIS BANDING Kolik ginjal dan ureter dapat disertai dengan akibat yang lebih lanjut, misalnya distensi usus dan pionefrosis dengan demam. Oleh karena itu, jika dicurigai terjadi kolik ureter maupun ginjal, khususnya yang kanan, perlu dipertimbangkan kemungkinan kolik saluran cerna, kandung empedu, atau apendisitis akut. Selain itu pada perempuan perlu juga dipertimbangkan adneksitis. (Rusdidjas, 2002) Bila terjadi hematuria, perlu dipertimbangkan kemungkinan

keganasan apalagi bila hematuria terjadi tanpa nyeri. Selain itu, perlu juga diingat bahwa batu saluran kemih yang bertahun-tahun dapat

menyebabkan terjadinya tumor yang umumnya karsinoma epidermoid, akibat rangsangan dan inflamasi. Pada batu ginjal dengan hidronefrosis, perlu dipertimbangkan kemungkinan tumor ginjal mulai dari jenis ginjal polikistik hingga tumor Grawitz. (Purnomo BB, 2007)

H. PENATALAKSANAAN Tujuannya adalah untuk mengaktivasi dan memperbaiki penyebab dari hidronefrosis (obstruksi, infeksi) dan untuk mempertahankan dan melindungi fungsi ginjal. (purnomo,2007). Untuk mengurangi obstruksi urin akan dialihkan melalui tindakan nefrostomi atau tipe disertasi lainnya. Infeksi ditangani dengan agen anti mikrobial karena sisa urin dalam kaliks akan menyebabkan infeksi dan pielonefritis. Pasien disiapkan untuk pembedahan mengangkat lesi obstrukstif (batu, tumor, obstruksi ureter). Jika salah satu fungsi ginjal rusak parah dan hancur maka nefrektomi (pengangkatan ginjal) dapat dilakukan (Smeltzer dan Bare, 2002). Pada hidronefrosis akut: 1. Jika fungsi ginjal menurun, infeksi menetap atau nyeri yang hebat, maka air kemih yang terkumpul diatas penyumbat akan segera dikeluarkan bisa melaui jarum yang dimasukan lewat kulit)

41

2. Jika terjadi penyumbatan total, infeksi yang serius atau terdapat batu, maka bisa dipasang kateter pada pelvis renalis untuk sementara waktu. Hidronefrosis kronis diatasi dengan mengobati penyebab dan mengurangi penyumbatan air kemih. Ureter yang menyempit atau abnormal bisa diangkat melalui pembedahan dan ujung-ujungnya disambung kembali. (Schwartzs, 2006) Kadang perlu dilakukan pembedahn untuk membebaskan ureter dari jaringan fibrosa. Jika sambungan ureter dan kandung kemih tersumbat, maka dilakukan pembedahan untuk melepaskan ureter dan

menyambungkannya kembali disisi kandung kemih yang berbeda. Jika ureter tersumbat, maka pengobatanya: 1. Terapi hormonal untuk kanker prostat 2. Pembedahan 3. Melebarkan uretra dengan dilatator

I. PROGNOSIS Pembedahan pada hidronefrosis akut biasanya berhasil dan jika infeksi dapat dikendalikan dan ginjal dapat berfungsi dengan baik (Schwartzs, 2006)

42

BAB IV PEMBAHASAN

IDENTIFIKASI PSP (Pengetahuan, Sikap dan Perilaku) 1. PSP keluarga tentang kesehatan dasar a. Pencegahan penyakit Pasien dan keluarga pasien rajin membersihkan rumah dan tidak membiarkan ada air tergenang didalam rumah atau sekitarnya. b. Gizi keluarga Untuk pola konsumsi gizi pasien, frekuensi makan rata-rata 3 kali sehari dengan menu nasi, lauk pauk (telur, daging, tempe, tahu), sayuran, buahbuahan tanpa membatasi konsumsi gula dan makanan berlemak ataupun segala jenis makanan yang sebaiknya dihindari. Status gizi pasien normal. c. Higiene dan sanitasi lingkungan 2. Halaman rumah dan jalan bersih karena sering disapu Lingkungan dalam rumah bersih Kondisi pencahayaan di rumah cukup

PSP keluarga tentang kesehatan lain a. Penggunaan pelayanan kesehatan Bila sakit, pasien dibawa ke puskesmas. b. Perencanaan dan pemanfaatan fasilitas pembiayaan kesehatan Pasien menggunakan jaminan kesehatan ASKES H. PEDOMAN UMUM GIZI SEIMBANG NO 1 2 PUGS Keluarga makan beraneka ragam makanan Keluarga makan makanan untuk memenuhi kecukupan energi 3 Keluarga makan makanan karbohidrat setengah dari kebutuhan energi sehari 4 Keluarga membatasi konsumsi lemak dam minyak seperempat dari kebutuhan energi sehari Tidak Ya Ya

Ya

43

5 6 7

Keluarga menggunakan garam beryodium Keluarga makan makanan sumber zat besi Ibu memberikan ASI sampai bayi umur 6 bulan

Ya Ya Ya Ya -

8 9

Keluarga membiasakan makan pagi Keluarga minum air bersih dan aman yang cukup

10

Keluarga melakukan aktivitas fisik dan olahraga secara teratur

Tidak

11

Keluarga menghindari minum minuman beralkohol

Ya

12

Keluarga makan makanan yang aman bagi kesehatan

Tidak

13

Keluarga terbiasa membaca label pada makanan yang dikemas

Tidak

Kesimpulan 1. Nilai PUGS keluarga <60% 2. Keluarga tidak menerapkan pedoman umum gizi seimbang I. IDENTIFIKASI MASALAH PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT No. Kriteria yang dinilai 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan. Memberi ASI ekslusif. Menimbang balita setiap bulan. Menggunakan air bersih. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun. Menggunakan jamban sehat. Memberantas jentik di rumah sekali seminggu. Makan buah dan sayur setiap hari. Melakukan aktivitas fisik setiap hari. Tidak merokok di dalam rumah. Jawaban Skor Ya Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Tidak 1 0 1 0 0 0 0 2

Total jawaban ya

44

Interpretasi: Total skor adalah 2 yang berarti keluarga Ny. N K tidak menerapkan PHBS dengan baik.

DIAGNOSIS KESEHATAN KELUARGA Bentuk Keluarga Fungsi yang terganggu Hidup Sehat Faktor yang mempengaruhi : ketergantungan pasien terhadap anak-anaknya. Faktor yang dipengaruhi serta kesehatan. : Jumlah dan macam asupan gizi yang tersedia : Keluarga Besar ( Extended Family ) : Hubungan Keluarga, Kesehatan dan Pola

IDENTIFIKASI MASALAH No 1 Masalah Biologi : HT, DM, Dislipidemi, massa abdomen Target Pasien dan keluarga Pembinaan yang dilakukan Terapi farmakologis dan nonfarmakologis (diit dan pola hidup terkait penyakit), edukasi kepada keluarga dan pasien mengenai kondisi sakitnya yang membutuhkan rujukan ke pelayanan kesehatan yang lebih tinggi, edukasi komplikasi yang mungkin terjadi akibat penyakit tersebut. Konseling dengan pendekatan CEA untuk mengidentifikasi masalah dan Unit yang berkerjasama Pelayanan kesehatan strata II, ahli gizi

Penolakan minum obat

Pasien dan keluarga

45

Dukungan keluarga yang kurang

Keluarga

Trauma Pasien tindakan medis

memberikan informasi yang tepat terkait kondisi kesehatan pasien Memberikan edukasi dan konseling untuk mengidentifikasi masalah keluarga serta jalan keluarnya, guna mendukung kondisi kesehatan pasien Konseling dengan pendekatan CEA untuk memberikan informasi terkait kondisi kesehatan serta mengatasi misspersepsi yang muncul pada pasien

Manajemen komprehensif PROMOTIF Tujuan edukasi adalah perawatan mandiri pada pasien sehingga edukasi diberikan dalam bentuk pemberian pengetahuan dan ketamprilan penderita. Pasien : a) disarankan agar selalu kontrol rutin kadar gula, tekanan darah dan kolesterol minimal satu bulan sekali. b) Edukasi dalam ketaatan pengobatan dan efek samping yang mungkin terjadi dan bagaimana mengatasinya. c) Edukasi Diit makanan harus disesuaikan dengan kebutuhan kalori tubuh.

46

d) Edukasi untuk melakukan olahraga setiap hari secara rutin minimal 40 menit (pemanasan 5 menit, aerobik seperti jalan cepat 30-40 menit, pendinginan 15 menit). e) Edukasi mengenai komplikasi yang mungkin timbul akibat penyakitnya. f) Edukasi mengenai kondisi sakit yang dideritanya dimana membutuhkan rujukan ke pelayanan kesehatan lebih tinggi untuk menghindari komplikasi lanjut yang mungkin terjadi. Keluarga : a) Edukasi kepada keluarga untuk memberikan dukungan dalam penanggulangan memberikan penyakitnya pada seperti mengingatkan kontrol dan rutin,

akses

pasien

untuk

menyediakan makanan yang disesuaikan oleh kebutuhan pasien, mengingatkan untuk meminum obat secara rutin, memberikan dukungan moral kepada pasien. b) Edukasi mengenai kondisi sakit pasien yang membutuhkan rujukan ke pelayanan kesehatan yang lebih tinggi guna menghindari komplikasi lanjut yang mungkin terjadi. PREVENTIF Retinopati Pemeriksaan retina secara rutin. Pada praktik pengeloaan DM sehari-hari, dianjurkan untuk memeriksa retina mata pada kesempatan pertama pertemuan dengan penyandang DM dan kemudian setiap tahun atau lebih cepat lagi kalau diperlukan sesuai dengan keadaan kelainan retinanya. Rujukan ke pelayanan kesehatan strata II jika ditemukan kelainan. Nefropati Pemeriksaan untuk mencari mikroalbuminuria dilakukan pada saat diagnosis DM ditegakkan dan setelah itu diulang setiap tahun. Penilaian terhadap adanya mikroalbuminuria harus dilakukan dengan cermat dan perlu diulang beberapa kali untuk memberikan keyakinan yang lebih besar. Ditemukannya mikroalbuminuria mendorong dan mengharuskan agar dilakukan pengelolaan DM yang lebih intensif termasuk pengelolaan

47

berbagai faktor risiko lain untuk terjadinya kompiikasi kronik DM seperti tekanan darah, lipid dan kegemukan serta merokok. Pemeriksaan ureum-kreatinin berkala setiap bulan. Pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus atau bersihan kreatinin kurang dari 30 ml/menit sebaiknya segera dirujuk.

Penyakit Jantung Koroner Jika ada kecurigaan seperti misalnya ketidak- nyamanan pada daerah dada harus segera dilanjutkan pemeriksaan EKG. Namun seringkali pada penyandang DM, rasa nyeri mungkin tidak nyata akibat adanya neruopati yang sering sekali terjadi pada penyandang DM sehingga dapat dijadwalkan untuk pemeriksaan jantung rutin tiap 3 bulan.

Penyakit Pembuluh Darah Perifer Mengenali dan mengelola berbagai faktor risiko terkait terjadinya kaki diabetes dan ulkus diabetes merupakan hal yang paling penting dalam usaha pencegahan terjadinya masalah kaki diabetes. Edukasi untuk menggunakan alas kaki dan kaos kaki yang sesuai untuk menghindari luka, edukasi untuk segera melakukan perawatan ke pelayanan kesehatan jika terjadi luka. Edukasi untuk melakukakan senam kaki rutin. Senam kaki :

SENAM KAKI UNTUK DIABETES


Berikut ini adalah langkah melakukan senam kaki untuk terapi alami diabetes :

48

Silahkan duduk tegak dikursi, dengan kedua telapak kaki menyentuh lantai. Sesuai dengan gambar diatas.

Gerakan jari jari kaki, mengikuti gerakan dengan tanda panah pada gambar diatas, sebanyak 10 kali.

Gerakan jari jari kaki bergantian dengan tumit, mengikuti gerakan dengan tanda panah pada gambar diatas, sebanyak 10 kali.

Gerakan jari jari kaki dengan tumit sebagai tumpuan, mengikuti gerakan dengan tanda panah pada gambar diatas, sebanyak 10 kali.

49

Gerakan tumit dengan jari jari kaki sebagai tumpuan, mengikuti gerakan dengan tanda panah pada gambar diatas, sebanyak 10 kali.

Sambil duduk di kursi, angkat kaki sejajar lantai, dan menuliskan angka 0 dan 9 di udara, lakukan secara bergantian untuk kaki kanan dan kiri, selama 10 kali.

Sambil duduk, lakukan pekerjaan dibawah ini dengan kedua kaki menyobek nyobek koran, menjadi potong kecil membungkus potongan koran tadi, dengan selebar kertas koran, dibentuk menjadi bola. lakukan satu kali saja.

KURATIF Terapi non-farmakologi Diit makanan disesuaikan dengan kebutuhan kalori BB = 48 Kg TB = 145 cm

50

BMI normal (21,9) BB ideal = 0.9 x (145-100) = 40.5 kg Kebutuhan kalori basal = 25 kcal x 40.5 = 1012.5 kcal Koreksi = Usia lebih dari 40 tahun, maka dikoreksi dengan -5% dari kalori basal : 5 % X 1147 = 57,35 kalori Aktivitas ringan sebagai Ibu Rumah Tangga, maka dikoreksi dengan +10% dari kalori basal : 10% X 1147 = 114,7 kalori Total Kebutuhan Kalori = 1147 57,5 + 114,7 = 1204,2 kcal ( dibulatkan 1200 kcal) Kebutuhan Karbohidrat Kebutuhan Protein Kebutuhan Lemak : 720 (60%) : 240 (20%) : 240 (20%)

Melakukan rujukan pada pasien ke pelayanan kesehatan strata II Terapi farmakologi Metformin Gemfibrozil Amilodipin Simvastatin Meloxicam mg500 1x1 tablet mg300 1x1 tablet mg10 mg10 mg7,5 1x1 tablet 1x1 tablet 2x1 tablet

1. Diet Total Kalori 1200 kcalori. Waktu Makan Menu Nasi 1 gelas (130gr) Pagi Tempe 2 potong (50gr) Tahu 1 biji besar (110gr) Sayur 1/2 gelas (50gr) Selingan Pepaya 1 potong besar (190gr) Nasi 1 gelas (130gr) Siang Tempe 2 potong (50gr) Tahu 1,5 biji besar (165gr) Sayur 1/2 gelas (50gr) Kcalori 230 75 75 12.5 50 230 75 112.5 12.5

51

Apel 1 buah (85gr) Selingan Pepaya 1 potong besar (190gr) Nasi 3/4 gelas (65gr) Malam Ikan 1 potong sedang (40gr) Sayur 1/2 gelas (50gr) Total

50 50 180 50 12.5 1200

REHABILITATIF Penggunaan tongkat untuk memudahkan aktifitas dan menurunkan resiko jatuh.

52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil kunjungan rumah pasien penderita diabetes melitus yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Tegalrejo Kota Yogyakarta dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Diabetes tipe II, dislipidemia dan Hipertensi dapat mengganggu fungsi seseorang dalam keluarga. 2. Dokter keluarga melalui institusi Puskesmas dapat menjadi salah satu sektor yang berperan dalam menangani kasus diabetes dan dislipidemia yang mencakup promotif, preventif, kuratif sampai rehabilitative dan merujuk ke pusat pelayanan kesehatan yang berkompeten dalam menangani kasus. 3. Kerjasama antara petugas kesehatan, pasien dan keluarga menentukan keberhasilan terapi. B. Saran 1. Bagi mahasiswa Berusaha lebih mendalami, aktif, kreatif, dan variatif dalam menganalisa permasalahan kesehatan, baik pada keluarga maupun lingkungannya Meningkatkan profesionalisme sebelum terjun ke masyarakat 2. Bagi Puskesmas Hendaknya terus melakukan pendekatan kepada masyarakat dengan usaha promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif

53

DAFTAR PUSTAKA Gandha, Nicho. (2009) FK UI. Diakses pada tanggal 6 Desember 2012, dari http://digital_122845-S09038fk-Hubungan perilaku-Literatur.pdf Rahmawati, N. (2009). FKM UI. Diakses pada tanggal 6 Desember 2012, dari http://digilib.ui.ac.id/126590-S-5633-Aktifitasfisik-Literatur.pdf Shahab, Alwi (2006). Buku Ajar : Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4, jilid III. Hal : 1916-1919. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia Soegondo, S. (2004). Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini. Jakarta: Sagung Seto Suyono, Slamet (2006). Buku Ajar : Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4, jilid III. Hal : 1874-1878. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia USU University. (n.d). Diakses pada tanggal 6 Desember 2012, dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21688/4/Chapter%20II.pdf W.Sudoyo Aru, S. B. (2007). Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4, Jilid III.Hal : 1902-1904. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia

54

Anda mungkin juga menyukai