Anda di halaman 1dari 7

Masyarakat Samin di Tengah Arus Modernisasi Pertanian

Ajaran Samin (Saminisme) disebarkan oleh Samin Surosentiko (1859-1914). Ajaran


saminisme adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda dan penolakan
terhadap kapitalisme yang muncul pada masa penjajahan Belanda abad ke-19 di Indonesia.
Sebagai gerakan yang cukup besar Saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan
kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati.
Masyarakat Samin tersebar pertama kali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah.
Samin berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung, Kabupaten Bojonegoro, Jawa
Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya, mulai dari pantai utara
Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan, atau di
sekitar perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang. Menurut data
yang lain, orang Samin tinggal menyebar di daerah Bojonegoro, Tuban, Blora, Rembang,
Grobogan, Pati, dan Kudus. Mereka berdomisili tidak menggerombol, melainkan terpencar-
pencar, misalnya, tiap desa terdapat 5-6 keluarga, tetapi solidaritas sosialnya menyatu. Dua
tempat penting dalam keberadaaan masyarakat Samin sekarang adalah Desa Klopodhuwur di
Blora dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro yang memiliki jumlah terbanyak
pengikut Samin.
Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan saminisme, yaitu : gerakan yang mirip
organisasi proletariat kuno yang menentang sistem feodalisme dan kolonial dengan kekuatan
agraris terselubung, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok, dan
gerakan berdiam diri (dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya
untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci).
Pokok ajaran Samin adalah sebagai berikut:
 Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan
agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau membenci agama.
Yang terpenting adalah tabiat dalam hidupnya.
 Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati dan jangan suka
mengambil milik orang.
 Bersikap sabar dan jangan sombong.
 Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama dengan roh dan
hanya satu dibawa abadi selamanya.Menurut orang Samin, roh orang yang meninggal
tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan pakaiannya.
 Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati. Berdagang bagi
orang Samin dilarang karena dalam perdagangan ada unsur ketidakjujuran, serta tidak
boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.

Orang Samin memiliki rasa religi yang kuat sehingga sering kali membuat para
pendatang (tamu) merasa risih dan malu karena mereka sangat jujur, serta pemurah terhadap
para tamu. Misalnya : seluruh makanan yang mereka simpan disajikan kepada tamunya dan
tidak pernah memikirkan berapa harganya. Dalam pergaulan sehari-hari, baik dengan
keluarganya, sesama pengikut ajaran, maupun dengan orang lain yang bukan pengikut Samin,
orang Samin selalu beranjak pada ajaran turun- temurun dari pendahulunya, yaitu ono niro
mergo ningsun, ono ningsun mergo niro (adanya saya karena kamu, adanya kamu karena saya).
Ucapan itu menunjukkan bahwa orang Samin sesungguhnya memiliki solidaritas yang tinggi dan
sangat menghargai eksistensi manusia sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk
sosial. Karena itu, orang Samin tidak mau menyakiti orang lain, tidak mau petil jumput (tidak
mau mengambil barang orang lain yang bukan haknya), tetapi juga tidak mau dimalingi (haknya
dicuri). Intinya, semua yang berawal baik, maka akan berakhir baik pula.
Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif. Mereka memanfaatkan
alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini
sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan, dan apa
adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada
mereka. Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya.Dalam
pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja
yaitu penghujan dan kemarau. Pandangannya terhadap ekologi dan ekosistem tersebut dapat
dijumpai pada ucapan mereka, yaitu : banyu podo ngombe, lemah podo duwe, godong podo
gawe (air sama-sama diminum, tanah sama-sama punya, daun sama-sama dimanfaatkan).
Ajaran inti masyarakat Samin adalah apa yang disebut mereka dengan agama Adam,
yaitu suatu agama yang terbentuk secara alamiah yang menekankan ajaran pada pemujaan
tertinggi kepada bumi dan penilaian tertinggi kepada peran para petani kepada masyarakat.
Dusun Jepang dikelilingi oleh hutan yang menjadikannya agak terisolasi dari daerah
sekitarnya. Letak dusun yang berada di kawasan hutan menjadikan dusun ini sulit untuk
dijangkau, terlebih lagi sarana angkutan umum tidak tersedia. Keadaan ini agak terbantu dengan
telah diaspalnya jalan yang menghubungkan Dusun Jepang dengan ibu kota kecamatan yang
berjarak sekitar 5 kilometer. Walaupun sarana angkutan umum tidak tersedia, jalan yang telah
beraspal sangat membantu mobilitas penduduk Dusun Jepang, terlebih saat ini banyak di antara
penduduk yang telah memiliki motor. Untuk mencapai Dusun Jepang dapat dikatakan sangat
mudah, bahkan bagi mereka yang sama sekali belum pernah berkunjung ke daerah ini. Letak
Desa Margomulyo berada di tepi jalan kabupaten yang menghubungkan Kabupaten Bojonegoro
dan Kabupaten Ngawi. Jalan inilah yang dilalui oleh angkutan umum seperti colt dan bus yang
menghubungkan Ngawi dan Bojonegoro.
Desa Margomulyo mempunyai luas wilayah sebesar 1.309.169 hektar yang terbagi
menjadi delapan dusun. Sebagian besar wilayahnya merupakan areal hutan yang dikelola oleh
Perhutani. Keseluruhan luas areal hutan mencapai 54,70 persen, sedangkan sisanya merupakan
lahan pertanian produktif serta daerah pemukiman. Areal pertanian produktif terdiri atas lahan
tegalan sebesar 23,60 persen, lahan sawah sebesar 13,20 persen, dan lahan perkebunan sebesar
1,15 persen.
Areal hutan yang dikelola oleh Perhutani menyebabkan akses penduduk sangat terbatas
untuk memanfaatkan hutan. Penduduk sebatas mendapatkan ranting-ranting jati yang digunakan
untuk kayu bakar serta daun jati sebagai pembungkus. Penduduk Dusun Jepang hampir
seluruhnya menggantungkan hidup dari pertanian. Kondisi tanah yang kurang subur serta luas
kepemilikan yang sempit menjadikan kemiskinan masih menjadi permasalahan yang
membelenggu sebagian besar penduduknya.
Penduduk Dusun Jepang berjumlah 736 jiwa yang terdiri dari 202 kepala keluarga dan
hampir keseluruhan menganut paham Saminisme, makanya sering disebut masyarakat Samin.
Masyarakatnya dipimpin oleh generasi keempat dari Samin Surosentiko (pencetus ajaran Samin)
yang bernama Hardjo Kardi. Sebagian besar penduduk tidak pernah mengenyam pendidikan
terutama bagi mereka yang telah berusia diatas 40 tahun. Jumlah penduduk yang tidak
mengenyam pendidikan sebesar 42,9 persen, sedangkan penduduk yang telah berhasil
menyelesaikan pendidikan hingga tingkat sekolah dasar mencapai 28,5 persen. Hanya sebagian
kecil penduduk yang telah mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP dan SMA.
Adapun kasus yang terjadi Dusun Jepang ini adalah tidak terbendungnya arus
modernisasi pertanian yang masuk ke dalam lingkungan dan struktur masyarakat Samin. Kasus
ini bermula dari inisiatif dan peran pemerintah (terutama pada orde baru) yang mengedepankan
kebijakan peningkatan produksi pertanian menggunakan teknologi serta berbagai pupuk dan
pestisida kimia. Pembentukan kelompok tani juga gencar dilakukan dalam rangka menaungi
seluruh masyarakat dan para petani Samin untuk meningkatkan produksi pertanian terutama
padi.
Dilihat dari kondisi topografinya, desa ini terletak di daerah lahan kering, berbukit-bukit,
sehingga produktivitas pertaniannya juga rendah. Tipologi ekologis dusun ini cukup unik. Di
sekelilingnya terdapat oleh hutan (sekitar 54,7 persen) dari luas lahan dusun. Sisanya adalah
lahan pertanian dan pemukiman. Namun yang sungguh aneh adalah mengapa keseluruhan hutan
yang berada di sekelilingi dusun ini dikuasai oleh pemerintah (dalam hal ini Perhutani), padahal
sudah diketahui bahwa dusun ini terletak di daerah yang kering. Apakah masyarakat di sini tidak
berhak untuk mencukupi kebutuhannya yang dapat diambil dari hasil hutan? Mungkin ini juga
yang menjadi alasan pemerintah untuk memasukkan program modernisasinya ke dalam struktur
masyarakat Samin Dusun Jepang ini dalam rangka memuaskan kepentingannya sendiri. Dalam
artian pemerintah mendapatkan dua keuntungan sekaligus yaitu melindungi kepentingannya di
sektor kehutanan dan ikut mensukseskan program modernisasi pertaniannya. Penggunaan pupuk
buatan dan penggunaan teknologi modern yang merusak lingkungan digenjot demi menaikkan
produksi pertanian. Padahal masyarakat Samin memiliki prinsip cinta akan lingkungannya yang
tercermin dalam ajaran Saminismenya, yaitu : banyu podo ngombe, lemah podo duwe, godong
podo gawe (air sama-sama diminum, tanah sama-sama punya, daun sama-sama dimanfaatkan).
Modernisasi ini juga yang jelas-jelas melunturkan struktur atau pranata sosial masyarakat Samin
di Dusun Jepang. Perspektif desa dilihat dari aspek budaya adalah desa menjadi basis budayanya
sendiri. Dalam hal ini ada Dusun Jepang dengan budaya masyarakat Samin yang mencintai
lingkungan juga luntur akibat modernisasi ini.
Kelompok tani juga gencar dibentuk di dusun ini untuk menaungi masyarakat dan para
petani dalam menaikkan produksi pertanian. Namun ada hal yang menarik terjadi dalam
masyarakat Samin di dusun ini. Kelembagaan tradisional seperti sambatan ternyata masih
bertahan dan terpelihara di tengah arus kelembagaan modern seperti kelompok tani. Masyarakat
Samin tidak mengenal konsep majikan dan buruh. Seluruhnya dikerjakan bersama-sama demi
kepentingan bersama pula. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proses produksi pertanian
dilaksanakan dengan cara-cara tradisional. Pemberian upah juga tidak dikenal dalam masyarakat
ini dan sebagai gantinya adalah peminjaman atau pertukaran tenaga kerja. Namun yang menjadi
kekhawatiran adalah ketika kelembagaan tradisional memang tidak hilang namun mengalami
modifikasi sesuai dengan tuntutan modernisasi yang masuk ke dalam struktur masyarakat Samin
di dusun ini dan lama kelamaan akan pudar. Modal sosial yang dimiliki masyarakat Samin
sangat tinggi, dilihat dari unur-unsur pokok modal sosialnya yaitu sikap saling percaya
antaranggota masyarakat, kerjasama yang tercermin dari kegiatan gotong-royong dalam suatu
kegiatan termasuk mengelola pertanian, sikap saling berbagi yang dicerminkan misalnya ketika
pendatang (tamu) mampir ke rumah mereka, mereka tidak sungkan untuk mengeluarkan seluruh
makanan yang mereka punya, masih memelihara nilai-nilai tradisional dan ajaran dari para
pendahulunya. Tetapi seiring dengan arus moderniasi, keseluruhan modal sosial tersebut lama
kelamaan hilang. Hal ini bisa dilihat dari sikap masyarakatnya yang sudah mulai mementingkan
dirinya sendiri (individualistis). Surplus produksi pertanian yang terjadi akibat modernisasi di
dusun ini juga menyebabkan terjadinya konsumerisme dalam masyarakatnya.
Peran migran (pendatang) yang masuk atau datang ke wilayah dusun ini juga
mengakibatkan perubahan pada kondisi sosiodemografi masyarakatnya. Migran berperan sebagai
agen perubahan dengan membawa nilai-nilai baru yang mereka peroleh dari tempat mereka
bekerja, terutama di kota-kota besar. Nilai-nilai itu terkadang tidak sesuai dengan kondisi yang
ada dalam masyarakat Samin di dusun ini. Misalnya ketika orang-orang (pendatang) kebanyakan
berasal dari kota-kota besar yang notabene kebanyakan bekerja di luar sektor pertanian, maka ini
akan terus-menerus diperhatikan oleh para pemuda Samin di dusun ini. Mereka memandang
bahwa bekerja kantoran akan terlihat lebih gagah dan akan memilliki cukup banyak penghasilan
dibandingkan bekerja di sektor pertanian. Akibatnya yang terjadi adalah para pemuda ini
bermigrasi ke luar dusunnya kebanyakan ke perkotanaan (urbanisasi), kemudian bekerja di luar
sektor pertanian, dan terjadi kekurangan tenaga pekerja di sektor pertanian di dusun ini.
Kemudian mereka ikut lagi kembali sebagai migran (pendatang) yang pulang ke kampung
halamannnya dan membawa nilai-nilai yang baru lagi. Hal ini berlangsung seperti siklus.
Pengaruh teknologi informasi dan komunikasi seperti media televisi yang sudah banyak dipakai
di dusun ini juga berdampak pada perubahan sosial masyarakatnya.
Dilihat dari dinamika keagrariaan, hubungan antara individu dengan lahan sangat
harmonis pada awalnya. Ini bisa dilihat dari ajaran agama Adam yang kebanyakan masyarakat
Samin anut yaitu memberikan pemujaan tertinggi atas tanah, sehingga kelestarian dan kesuburan
tanah sangat mereka jaga sekali. Kepercayaan mereka yang lain adalah adanya hubungan atau
ikatan yang hidup antara surga dan bumi (tanah) yang sering mereka ibaratkan seperti suami dan
istri (perkawinan), serta keberadaan petani yang juga ikut serta dalam kehidupan perkawinan
tersebut. Namun akibat adanya modernisasi pertanian itu, penghargaan mereka atas lahan (tanah)
sudah mulai terkikis. Penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang merupakan salah satu cara
untuk menaikkan produksi pertanian secara otomatis telah merusak lahan. Cara ini seolah-olah
memang harus memaksa para petani Samin untuk merusak kelestarian lahan atau tanah mereka
demi kepentingan pemerintah. Kegiatan ini terus-menerus berlangsung sehingga terjadi
transformasi dalam penggelolaan lahan yang dulunya bersifat tradisional yang menghargai
kelestariaannya menjadi pengelolaan lahan yang lebih modern dan merusak.
Pembangunan masyarakat Samin dan Dusun Jepang ini jelas merupakan pembangunan
yang bersifat keproyekan (top-down). Desa beserta masyarakatnya jelas dijadikan sebagai objek
program modernisasi terutama modernisasi pertanian. Seluruh program berasal dari pemerintah
berupa pemakaian teknologi canggih dan bahan-bahan kimia serta pembentukan kelompok tani
untuk meningkatkan produksi pertanian dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Hal ini
dapat dibuktikan dengan kehancuran yang disebabkan oleh pembangunan ini berupa kehancuran
lingkungan, menipisnya modal sosial, perubahan sosial masyarakat, lunturnya tradisi dan budaya
lokal masyarakat. Pembangunan masyarakat pedesaan memang diartikan sebagai “pembangunan
masyarakat tradisional menjadi manusia modern” (Horton dan Hunt, 1976; Alex Inkeles, 1965).
Namun ada beberapa pertanyaan yang dapat dimunculkan, seperti : apakah hal-hal yang sifatnya
dapat dipertahankan secara tradisional harus ditinggalkan demi pembangunan menuju
masyarakat yang (katanya) modern, misalnya budaya sambatan atau gotong royong ? ; apakah
kerusakan-kerusakan yang terjadi terus saja diabaikan demi pembangunan menuju masyarakat
modern? Kalau menurut saya hal-hal yang dapat dipertahankan sebagai warisan dan budaya
tradisional tidak harus disingkirkan demi terciptanya masyarakat yang modern. Biarkan yang
tradisional saling tumbuh berdampingan dan melengkapi sehingga menambah kekayaan dari
hasil pembangunan tersebut. Yang kedua adalah apabila pembangunan tersebut walaupun
katanya menuju ke arah yang modern menimbulkan kerusakan lingkungan maupun sosial,
pembangunan tersebut harus dikoreksi. Sebab pembangunan sejatinya menuju ke arah yang lebih
baik dari yang sebelumnya, bukan menuju ke arah yang lebih buruk.

(sebenarnya tulisan ini ditulis sang penulis untuk memenuhi tugas dari dosennya. Namun tidak
ada salahnya untuk merefleksikannya untuk mengoreksi pembangunan pertanian Indonesia yang
menuju lebih baik lagi. Lagi-lagi ditulis oleh mahasiswa biasa yang sedang berkuliah di Fakultas
Pertanian Unpad bernama Harry Samuel Silaban)

Anda mungkin juga menyukai