Anda di halaman 1dari 15

Jurnal Reading

PENELITIAN ACAK MENGENAI ALAT KONTRASEPSI


INTRAUTERIN DIBANDING KONTRASEPSI HORMONAL
PADA WANITA YANG TERINFEKSI HUMAN
IMMUNODEFICIENCY VIRUS



DISUSUN OLEH
FATIHAH ISWATUN SAHARA
110.2009.109

PEMBIMBING:
dr. Suriyaman, Sp.OG

SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RSUD SERANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
2014


Penelitian Acak Mengenai Alat Kontrasepsi Intrauterin Dibanding Kontrasepsi
Hormonal Pada Wanita Yang Terinfeksi Human Immunodeficiency Virus

Abstrak

TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah alat kontrasepsi intrauterine
(IUD) efektif dan aman bagi wanita yang terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV).
DESAIN PENELITIAN
Kami secara acak meneliti 599 wanita postpartum yang terinfeksi HIV di Zambia yang
mendapat IUD tembaga atau kontrasepsi hormonal dan memfollow up mereka selama
minimal 2 tahun.
HASIL
Wanita yang secara acak mendapat kontrasepsi hormonal lebih mungkin untuk hamil
dibandingkan mereka yang secara acak menerima IUD (tingkat, 4.6/100 vs 2.0/100 wanita
tahun, rasio hazard, 2,4 , 95 % CI, 1,3 -4.7). Seorang wanita yang menerima IUD
mengalami penyakit radang pelvis (tingkat kasar, 0.16/100 wanita tahun, 95 % CI, 0,004-
868); tidak ada penyakit radang pelvis pada wanita yang mendapat kontrasepsi hormonal.
Perkembangan klinis penyakit (kematian atau limfosit CD4+ turun di bawah 200 sel/L)
lebih umum pada wanita yang dialokasikan mendapat kontrasepsi hormonal (13.2/100
wanita tahun) dibandingkan dengan wanita yang dialokasikan untuk menerima IUD
(8.6/100 wanita tahun, rasio hazard , 1,5;, 95 % CI, 1,04-2,1).
KESIMPULAN
IUD efektif dan aman untuk digunakan pada wanita yang terinfeksi HIV. Pengamatan tak
terduga yakni kontrasepsi hormonal yang dikaitkan dengan perkembangan penyakit HIV
yang lebih cepat memerlukan studi lebih lanjut.


Kata kunci
AIDS, kontrasepsi, HIV, kontrasepsi hormonal, alat kontrasepsi dalam rahim (IUD), Afrika
sub-Sahara

Kehamilan dan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah salah satu
risiko kesehatan yang paling penting yang dihadapi oleh wanita seksual aktif di Afrika sub-
Sahara. Di Zambia, sebanyak 1 dari 5 wanita hamil terinfeksi human immunodeficiency
virus (HIV), dan risiko seumur hidup seorang wanita untuk meninggal akibat komplikasi
kehamilan melebihi 5% (hampir 100 kali resiko yang dihadapi oleh wanita di Eropa dan
Amerika Utara). Penyediaan alat kontrasepsi yang dapat diandalkan untuk ibu yang
terinfeksi HIV yang menginginkannya telah diperkenalkan oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) sebagai strategi utama untuk pencegahan AIDS pada anak. Jadi, kontrasepsi
yang aman dan efektif untuk wanita yang terinfeksi HIV merupakan komponen penting
dari kesehatan reproduksi, dengan manfaat yang berkisar dari pencegahan bencana obstetri
menjadi pencegahan AIDS pada anak.
Meskipun terdapat sekitar 18 juta wanita yang hidup dengan HIV di seluruh dunia,
hanya sedikit data yang tersedia mengenai pilihan kontrasepsi untuk populasi besar wanita
ini. Di antara wanita imunokompeten, alat kontrasepsi intra-uterus (IUD) yang dikenal
sangat efektif dan aman dan merupakan pilihan yang sangat menarik dalam
mengembangkan setting di dunia, dimana rantai suplai yang tidak konsisten dan follow up
pasien yang tidak sempurna dapat menghasilkan perbedaan yang besar antara efektivitas
yang ideal dan efektivitas pengguna untuk metode hormonal.
Secara historis, telah terjadi kerancuan sekitar penggunaan IUD pada wanita yang
terinfeksi HIV. The International Planned Parenthood Federation dan WHO telah
merekomendasikan penggunaannya pada populasi ini, meskipun baru-baru ini rekomendasi
WHO telah dimodifikasi dengan peringatan menyatakan bahwa keamanannya memiliki
bukti yang terbatas.


Akibatnya, hampir tidak ada penggunaan IUD pada wanita yang terinfeksi HIV,
dimana saja.

Bahan dan Metode
Peserta
Percobaan ini merekrut wanita yang pernah melahirkan baru dari 2 klinik perawatan primer
pemerintah di Lusaka, Zambia, yang telah menjalani tes serostatus HIV-1 dalam perawatan
antenatal sebagai bagian dari program berkelanjutan untuk mencegah penularan HIV dari
ibu ke anak. Calon peserta diidentifikasi saat masa antenatal dan dialokasikan secara acak
setelah 6 minggu postpartum kunjungan mereka. Kami menawarkan pendaftaran untuk
wanita yang menginginkan minimal 2 tahun kontrasepsi berkelanjutan dan yang
melaporkan 2 pasangan seksual pada tahun sebelumnya. Kami mengeksklusikan wanita
dengan penyakit HIV lanjut (WHO stadium III atau IV), riwayat gangguan perdarahan,
dan/atau riwayat penyakit radang pelvis (PID) dalam 5 tahun sebelumnya, dan/atau yang
berusia < 16 tahun (usia mayoritas di Zambia).

Prosedur studi
Kami mengalokasikan secara acak wanita untuk menerima IUD atau kontrasepsi hormonal
menggunakan amplop buram dengan nomor berurutan yang dilakukan di University of
Alabama di Birmingham. Sebuah skema pengacakan terpisah dengan ukuran blok acak
20 digunakan untuk setiap fasilitas klinik. Amplop tertutup dibuka oleh perawat penelitian
pada saat pendaftaran studi dan pengacakan. Baik praktisi maupun pasien tidak mengetahui
untuk alokasi intervensi.





Semua peserta menjalani pemeriksaan pelvis pada pengacakan. Wanita yang
dialokasikan ke kelompok IUD yang tidak memiliki bukti infeksi servikovaginal nyata
(visual) menjalani insersi steril langsung dari alat yang mengandung tembaga (ParaGard
TCU 380A, yang dikenal sebagai Model Copper T TCU 380A di luar Amerika Serikat,
Duramed Pharmaceuticals, Inc , El Segundo , CA). Meskipun swab diambil untuk
pemeriksaan mikroskopik, hasil pemeriksaan ini tidak tersedia dengan segera dan tidak
mempengaruhi keputusan untuk memasang IUD. Wanita yang dialokasikan ke kelompok
kontrasepsi hormonal diizinkan untuk memilih antara pil kontrasepsi oral atau Depo-
Medroxyprogesteron asetat (DMPA) injeksi 150 mg. Masing-masing diberikan pada
interval 3 bulan. Wanita menyusui yang memilih kontrasepsi oral diresepkan pil
progesteron saja (oral levonorgestrel 0,03 mg/hari) untuk jangka waktu 6 bulan, setelah itu
mereka beralih ke persiapan gabungan (oral levonorgestrel 0,15 mg dan etinil estradiol 0,03
mg/hari).
Kunjungan studi terjadwal terjadi di 4 minggu pasca pendaftaran dan sesudahnya
dengan selang 6 bulan. Kami mendorong peserta untuk kembali ke klinik untuk perawatan,
terutama jika mereka memiliki keluhan ginekologis. Peserta diberikan instruksi secara
khusus untuk kembali ke klinik penelitian untuk tes kehamilan urin jika (1) mens tertunda
oleh 20 hari, (2) mereka mengalami kram yang berlebihan, perdarahan vagina, atau
keluarnyai jaringan, atau (3) mereka menduga terjadi kehamilan dengan alasan lain.
Pada setiap kunjungan studi, baik terjadwal atau tak terjadwal, peserta menerima
pemeriksaan fisik (dengan pemeriksaan pelvis) dan memberikan spesimen urin untuk tes
kehamilan dan hitung darah lengkap . Sampel servikovaginal diambil untuk pemeriksaan
kalium hidroksida (KOH) dan preparat basah saline untuk mengevaluasi adanya
kandidiasis, vaginosis bakterial, trichomoniasis, dan/atau leukosit . Peserta yang memiliki
bukti infeksi vagina atau serviks pada sediaan basah diperlakukan sesuai dengan pedoman
WHO untuk pengelolaan infeksi menular seksual.


Kami menawarkan kondom kepada peserta pada setiap kunjungan, tapi kami tidak
memantau penggunaannya untuk dilaporkan. Wanita yang ingin menghentikan penggunaan
kontrasepsi atau mengubah ke metode lain diperbolehkan untuk melakukannya setiap saat
dan terus diikuti dalam penelitian ini. Wanita yang dicurigai PID dievaluasi oleh konsultan
ginekolog. Wanita yang memenuhi kriteria PID diobati dengan antibiotik kombinasi secara
rawat jalan.
Peserta diikuti sampai wanita paling baru direkrut telah diikuti selama 24 bulan.
Pada bulan Agustus 2003 , ART mulai tersedia di sektor publik di Lusaka. Setelah waktu
ini, wanita yang memenuhi kriteria klinis (stadium WHO) atau imunologi (CD4+ limfosit)
untuk terapi antiretroviral dirujuk untuk perawatan dan pengobatan HIV. Pasien
diklasifikasikan sebagai hilang dari follow up jika perawat penelitian tidak dapat
menemukan mereka setelah minimal 2 kali upaya kunjungan rumah.

Pengujian laboratorium
Kami melakukan penghitungan limfosit CD4+ di laboratorium sentral kami dengan Sistem
FACSCount (Becton Dickinson Biosciences, Inc, San Jose, CA). Jumlah darah lengkap
dilakukan dengan Ac-T diff Hematology Analyzer (Beckman Coulter, Inc, Miami, FL).
Kami mendiagnosis kehamilan dengan tes urine yang cepat dengan deteksi human
chorionic gonadotropin (QuickVue One-step hCG, Quidel Corporation, San Diego, CA).

Hasil dan analisis statistik
Insiden kehamilan ditentukan di situs klinis oleh tes human chorionic gonadotropin
pada urin. Insiden PID didiagnosis dengan kriteria Hager et al : abdomen, uterus/serviks,
dan adneksa, dengan setidaknya 1 dari temuan berikut : (1) suhu oral > 38 C , (2) deteksi
pus di rongga peritoneal oleh kuldocentesis, (3) massa pelvis atau kecurigaan inflamasi
kompleks pada pemeriksaan bimanual, atau (4) servisitis mukopurulen.


Tingkat penghentian metode diukur pada saat penghentian metode acak. Karena
menyusui dalam setting kami hampir universal, kami mengharapkan amenore laktasi dapat
mengurangi angka kehamilan pada kedua kelompok penelitian selama tahun pertama
setelah melahirkan.
Dengan demikian, kami memperkirakan tingkat kehamilan 2 tahun 9 % di
kelompok hormonal dan tingkat kehamilan 2-tahun 2 % pada kelompok IUD. Kami
mendasari perhitungan ukuran sampel asli dengan outcome proporsional, daripada waktu
kejadian. Untuk mendapatkan kekuatan 80 % untuk menunjukkan perbedaan ini (alpha 2-
tailed , 0,05), dibutuhkan 249 pasien untuk setiap kelompok .
Kami memilih untuk menetapkan secara acak 300 orang per kelompok untuk
memungkinkan perkiraan 15 % tingkat hilang dari follow up. Kami juga berhipotesis
bahwa, mengingat rendahnya tingkat PID yang diamati pada wanita yang terinfeksi HIV
yang menerima IUD kontrasepsi, hanya peningkatan risiko relatif yang cukup besar
terhadap kontrasepsi hormonal yang akan menjadi signifikan secara klinis. Ukuran sampel
dari 250 pada masing-masing kelompok akan cukup untuk mendeteksi perkiraan
peningkatan risiko 2,5 kali lipat untuk PID yang akan timbul dari IUD .
Perkembangan penyakit klinis dievaluasi secara terpisah sebagai (1) kematian, (2)
limfosit CD4+ turun hingga < 200 sel/L, dan (3) salah satu dari outcome ini. Analisis
penurunan jumlah sel CD4+ terbatas pada wanita-wanita yang berisiko, dengan demikian,
wanita dengan nilai-nilai dasar dari < 200 sel/L (n = 60) dikeluarkan dari analisis hasil ini.
Kovariat kontinyu dibandingkan pada seluruh variabel 2-level (metode partisipasi
atau kontrasepsi) dengan menggunakan berpasangan, 2-tailed t-test dan mengevaluasi
asumsi normalitas dengan uji Kolmogorov - Smirnov. Variabel dikotomis dan kategorikal
dibandingkan dengan menggunakan uji statistik Pearson X
2
. Analisis primer didasarkan
pada niat untuk mengobati. Kami menggunakan metode Kaplan-Meier untuk
membandingkan tingkat insiden kehamilan, PID, metode penghentian, dan perkembangan
penyakit klinis. Kelompok pengobatan dibandingkan untuk outcome yang menarik dengan
menggunakan Cox proportional hazards regression.

Karena terdapat tingkat yang tinggi dari metode cross-over yang diamati dalam
percobaan ini, kami juga melakukan analisis penggunaan sebenarnya untuk outcome
kejadian kehamilan dan perkembangan penyakit klinis. Dalam analisis ini, metode
kontrasepsi diperlakukan sebagai paparan bervariasi waktu dalam suatu extended Cox
proportional hazards regression.
Data dianalisis dengan software SAS (versi 9.1.3 , SAS Institute , Cary , NC).
Penelitian ini disetujui oleh Komite Etika Penelitian dari University of Zambia dan oleh
Institutional Review Board dari University of Alabama di Birmingham dan menjalani
review berkelanjutan oleh kedua institusi.

Hasil
Antara 12 Juni 2002, dan 2 Oktober 2003, kami mengajak 976 wanita yang terinfeksi HIV
untuk berpartisipasi dalam uji klinis, 68 wanita (7 %) tidak memenuhi kriteria inklusi, dan
309 wanita (32 %) menolak partisipasi atau tidak kembali untuk pendaftaran. Wanita yang
menolak partisipasi atau tidak kembali untuk pendaftaran berbeda dari wanita yang
diterima sehubungan dengan usia (25,5 tahun vs 26,5 tahun, P = 0,01), jumlah kehamilan
sebelumnya (2,6 vs 2,9 , P = 0,05), dan kematian bayi sebelumnya (74/309 [24 %] vs
183/599 [31 %] , P = 0,04). Sebanyak 599 wanita dialokasikan secara acak. Dari 599
wanita yang terinfeksi HIV-1, 303 wanita dialokasikan secara acak ke kelompok hormonal,
dan 296 wanita dialokasikan ke lengan IUD (Gambar 1).
Karakteristik dasar dari populasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Sebanyak
269 wanita (45 %) menerima antibiotik atau antijamur karena kondisi servikovaginal saat
pendaftaran. Ini meliputi 10 wanita (2 %) untuk kandidiasis, 101 wanita (17 %) untuk
trikomoniasis, 62 wanita (10 %) untuk vaginosis bakterial, dan 96 wanita (16 %) untuk
servisitis tidak spesifik.




Tidak ada perbedaan yang mencolok antarkelompok pengacakan pada salah satu
indikator demografis dan klinis yang kami ukur pada awal (Tabel 1). Secara keseluruhan,
76 wanita (13%, 44 wanita secara acak dialokasiakn untuk menerima kontrasepsi hormonal
dan 32 wanita secara acak dialokasikan untuk IUD) menarik diri dari penelitian (Gambar 1).
Alasan mundur adalah kematian bayi (n = 12; 16%), kematian pasangan (n = 6; 8%),
keputusan untuk memiliki anak lagi (n = 9; 12%), perpisahan atau perceraian dari pasangan
(n = 11; 14%), relokasi jauh dari Lusaka (n = 6; 8%), permintaan pasangan untuk mundur
(n = 6; 8%), dan alasan tak tertulis (n = 26; 34%). Delapan puluh tujuh wanita (15%; 52
wanita pada kelompok kontrasepsi hormonal dan 35 wanita pada kelompok ke IUD)
mangkir dari follow-up.

Kehamilan
Wanita pada kelompok kontrasepsi hormonal lebih mungkin untuk hamil daripada wanita
kelompok untuk IUD (4,62 kehamilan per 100 wanita-tahun vs 2,17 kehamilan per 100
wanita-tahun, rasio hazard, 2,2, 95% CI, 1.2- 4.2, Tabel 2, Gambar 2). Dari 27 wanita
kelompok kontrasepsi hormonal yang menjadi hamil, 22 wanita menyatakan bahwa mereka
masih menggunakan kontrasepsi hormonal, 5 wanita telah menghentikan penggunaan
kontrasepsi sama sekali. Dari 14 wanita yang dialokasikan secara acak untuk IUD
kontrasepsi yang menjadi hamil, 8 wanita telah beralih ke kontrasepsi hormonal, 4 wanita
telah menghentikan kontrasepsi sama sekali (termasuk 1 wanita dengan ekspulsi IUD yang
tidak dimasukkan kembali), 1 wanita hamil dengan IUD in situ , dan 1 wanita menjalani
minilaparotomi untuk kehamilan ektopik (dijelaskan kemudian). Dalam analisis
penggunaan aktual, wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal jauh lebih mungkin
untuk hamil dibandingkan wanita yang menggunakan IUD (4,09 kehamilan per 100
wanita-tahun vs 0,38 kehamilan per 100 wanita-tahun, rasio hazard, 10,5, 95% CI, 2.5- 44).


Penghentian
Secara keseluruhan, 184 pasien (31%) menghantikan kontrasepsi awal mereka selama studi
follow up. Wanita yang mendapat kontrasepsi hormonal kurang mungkin untuk berhenti
daripada wanita yang mendapat IUD (6.81 penghentian per 100 wanita-tahun vs 28,6
penghentian per 100 wanita-tahun, rasio hazard, 0,23, 95% CI, 0,16-0,33 , Tabel 2, Gambar
3). Di antara 38 pasien (13%) yang menghentikan kontrasepsi hormonal, waktu median
untuk penghentian adalah 475 hari (kisaran interkuartil, 222-861); 6 dari 38 wanita (16%)
beralih ke IUD, 13 wanita (34%) berpindah ke kondom, dan 19 wanita (50%)
menghentikan kontrasepsi sama sekali. Di antara 146 wanita (49%) yang menghentikan
penggunaan IUD, waktu median untuk penghentian adalah 408 hari (kisaran interkuartil,
171-771). Tujuh puluh tiga dari 146 wanita (50%) beralih ke DMPA, 38 wanita (26%)
beralih ke pil kontrasepsi oral kombinasi, 8 wanita (5,5%) beralih ke kondom, dan 27
wanita (18%) menghentikan kontrasepsi sama sekali.

Keamanan
Kami mendiagnosis 1 kasus PID selama masa studi. Meskipun tidak ada kasus PID antara
para wanita pada kelompok kontrasepsi hormonal, 1 wanita pada kelompok kontrasepsi
IUD mengalami PID pada follow up 642 wanita-tahun (tingkat PID kasar: 0,16 kasus per
100 wanita-tahun; 95% CI, 0,004-868, Tabel 2). Para wanita single yang didiagnosis
dengan PID memiliki nyeri abdominal dan keputihan 29 hari setelah alat dimasukkan. IUD
dilepas, dan kultur menghasilkan hasil positif untuk Chlamydia trachomatis. Sepuluh
wanita mengalami ekspulsi IUD mereka (4 adalah ekspulsi parsial yang memerlukan
perhatian medis, dan 6 adalah ekspulsi seluruhnya). Hanya 1 wanita dengan ekspulsi
menjalani insersi ulang.





Perkembangan penyakit klinis
Kematian
Tiga puluh wanita meninggal selama masa follow up. Faktor risiko univariat untuk
kematian termasuk kematian bayi (risiko relatif, 2,1, 95% CI, 0,99-4,9), jumlah sel CD4+
yang rendah (probabilitas dari t-tes, <0,0001), jumlah CD4 <200 sel/L (risiko relatif, 6,0,
95% CI, 3,0-16), usia yang lebih tua (probabilitas dari t-test, 0,10), dan kadar hemoglobin
rendah (probabilitas dari t-test, 0,001). Tujuh belas kematian terjadi pada 588 orang-tahun
waktu follow up pada wanita kelompok kontrasepsi hormonal, 13 kematian terjadi pada
645 orang-tahun waktu follow up pada wanita kelompok IUD (probabilitas nilai uji
Wilcoxon, 0,32; Gambar 4). Dalam Cox proportional hazards regression, rasio hazard
untuk kontrasepsi hormonal adalah 1,4 (95% CI, 0,70-3,0, Tabel 2).

Penurunan jumlah CD4+
Sebuah analisis Kaplan-Meier yang terbatas pada wanita dengan jumlah awal CD4+ adalah
> 200 sel/L (n = 538) menunjukkan bahwa wanita yang menerima kontrasepsi hormonal
lebih mungkin untuk mengalami penurunan jumlah CD4+ menjadi <200 sel/L daripada
wanita yang menerima IUD (log-rank test P =0,03; Gambar 5). Dalam Cox proportional
hazards regression, rasio hazard untuk jumlah CD4+ turun hingga <200 sel/L antara
wanita yang menerima kontrasepsi hormonal dibandingkan dengan mereka yang menerima
IUD adalah 1,6 (95% CI, 1,04-2,3, Tabel 2).








Kematian atau penurunan jumlah CD4+
Kami juga mengevaluasi outcome komposit jumlah CD4+ turun menjadi <200 sel/L atau
kematian dengan metode kontrasepsi. Dalam intent-to-treat, wanita yang menerima
kontrasepsi hormonal lebih mungkin untuk memenuhi kriteria komposit daripada wanita
yang menerima IUD (tingkat mentah, 13,2 per 100 wanita-tahun vs 8,57 per 100 wanita-
tahun, rasio hazard, 1.6 , 95% CI, 1,1-2,3, Tabel 2, Gambar 6). Dalam analisis penggunaan
aktual, 84 pasien memenuhi kriteria pada 633 wanita-tahun dari paparan kontrasepsi
hormonal (tingkat kasar, 11,9 per 100 wanita-tahun); 36 pasien yang memenuhi kriteria
komposit pada 494 wanita-tahun dari paparan IUD (tingkat mentah, 7,3 per 100 wanita-
tahun) untuk menghasilkan rasio hazard 1,7 (95% CI, 1,1-2,5).

Pembahasan
Penelitan acak pertama kalinya mengenai IUD pada wanita yang terinfeksi HIV ini
menunjukkan bahwa IUD lebih bermanfaat dibanding kontrasepsi hormonal dalam
pencegahan kehamilan dan bahwa memiliki tingkat infeksi pelvis yang sangat rendah pada
populasi ini. Wanita yang mendapat IUD lebih cenderung untuk beralih ke alat kontrasepsi
lain daripada wanita yang menerima kontrasepsi hormonal. Namun, perlu dicatat bahwa
wanita dalam kelompok hormon diizinkan untuk beralih antara kontrasepsi oral dan DMPA
(atau sebaliknya) dan 34% melakukan tanpa dikategorikan sebagai penghentian
metode dimana mereka dialokasikan pada awalnya. Ketika wanita ini dimasukkan dalam
perbandingan peralihan secara keseluruhan, efeknya dilemahkan secara bermakna (hazard
untuk beralih dari kontrasepsi hormonal dibandingkan dengan IUD, 0,6; 95% CI, 0,46-
0,78).




Secara keseluruhan, data ini mengkonfirmasi, pada wanita yang terinfeksi HIV, apa
yang sudah diketahui tentang kontrasepsi pada populasi umum: bahwa wanita sering
mengubah metode kontrasepsi dan bahwa komponen yang paling penting dari kontrasepsi
kesehatan masyarakat yang baik adalah ketersediaan pilihan berbagai metode. Kami
percaya studi ini menunjukkan bahwa, meskipun IUD mungkin tidak diterima oleh semua
wanita, tentu tetap menjadi pilihan yang menonjol dalam portofolio pilihan kontrasepsi
yang tersedia untuk wanita yang terinfeksi HIV.
Perhatian teoritis bahwa penggunaan IUD pada wanita yang terinfeksi HIV dapat
menyebabkan tingginya tingkat infeksi pelvis tidak dikonfirmasi dalam studi ini. Bahkan,
kejadian yang kami amati tentang penyakit radang pelvis bahkan lebih rendah daripada
yang diamati oleh Sinei et ak, yang menggambarkan tingkat 1,4% dari PID pascad-insersi
pada wanita yang terinfeksi HIV di Kenya. Alasan untuk tingkat PID yang rendah dalam
penelitian ini bisa disebabkan dari populasi postpartum kami, yang cenderung untuk
menunda aktivitas seksual dan mungkin memiliki pasangan lebih sedikit setelah
melahirkan. Penjelasan lain yang potensial adalah penggunaan antibiotik empiris yang
liberal dari dokter kami, meskipun hal ini belum terbukti mengurangi kejadian PID pasca-
insersi pada populasi yang terinfeksi HIV.
Kekuatan penelitian ini adalah desain acak, tingkat partisipasi yang tinggi, ukuran
sampel cukup besar, dan evaluasi follow up jangka panjang (minimal 2 tahun bagi peserta
yang bertahan). Meskipun kami merancang penelitian dengan kekuatan yang memadai
untuk mendeteksi apa yang kami percaya mengenai perbedaan klinis yang signifikan dalam
risiko PID antara wanita yang menggunakan IUD, rendahnya tingkat infeksi di kedua
kelompok pengacakan membuat hal ini mustahil. Bahkan, penelitian, yang didukung untuk
mendeteksi perbedaan yang kami amati dalam penelitian ini, akan membutuhkan >18.000
peserta yang harus diikuti selama 2 tahun.



Keterbatasan utama penelitian ini meliputi tingginya peralihan metode atau
penghentian dan penarikan atau kehilangan sekitar sepertiga dari peserta kami. Meskipun
tingkat hilangnya follow-up kami adalah sebanding dengan sebagian besar penelitian
kontrasepsi lain, adalah mungkin bahwa wanita tersebut memiliki beberapa cara berbeda
dari mereka yang bertahan. Keterbatasan potensial lainnya termasuk (1) bahwa ini bukan
masked trial (mungkin ada bias provider dalam diagnosis efek samping) dan (2) bahwa
kami membuat kondom tersedia untuk semua peserta tapi tidak mengumpulkan informasi
tentang penggunaannya.
Untuk memastikan keamanan, akses kontrasepsi untuk ibu yang terinfeksi HIV
yang ingin menunda atau tidak ingin melahirkan anak merupakan pendekatan penting
untuk pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. Telah diperkirakan bahwa investasi
yang relatif sederhana dalam memenuhi kebutuhan kontrasepsi yang belum terpenuhi dari
wanita yang terinfeksi HIV di seluruh dunia dapat mencegah lebih banyak kasus AIDS
anak per tahun daripada pendekatan berbasis antiretroviral saat ini, yang akan membuat
menjadi pendekatan yang efektif biaya. Untuk mengeradikasi HIV pediatrik, pengambil
kebijakan kesehatan masyarakat tidak boleh menyerah dalam menangani masalah ini dari
semua sudut.
Wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal lebih mungkin untuk mengalami
perkembangan penyakit klinis daripada wanita yang menggunakan IUD. Meskipun temuan
provokatif ini tidak berarti definitif, jika ditanggung dalam penelitian lebih lanjut, bisa
memiliki implikasi besar terhadap kesehatan masyarakat. Kebanyakan wanita yang
terinfeksi HIV yang mencari perawatan (di Zambia, sekitar 80% pada program Pencegahan
Transmisi HIV Ibu ke Anak) tidak akan memenuhi syarat untuk ART segera, atas dasar
staging dan penghitungan CD4+ klinis mereka. Dengan demikian, setiap intervensi
kontrasepsi yang mempercepat perkembangan menjadi AIDS bisa memiliki implikasi nyata
pada kelangsungan hidup pasien dan biaya program.




Potensi manfaat dapat diandalkan dari kontrasepsi wanita yang terkendali untuk ibu
terinfeksi HIV sangat besar. Kontrasepsi mencegah AIDS perinatal, mencegah anak AIDS,
memberikan kontribusi untuk kesehatan anak-anak yang ada melalui jarak kelahiran, dan,
di beberapa bagian dunia dimana kehamilan tidak aman, dapat mencegah bencana obstetri.
Studi ini menunjukkan bahwa IUD menawarkan cara yang aman dan efektif kontrasepsi
wanita yang terkendali yang sangat cocok untuk wanita yang terinfeksi HIV dalam
hubungan yang stabil yang cukup sehat untuk belum memerlukan ART. Penelitian lebih
lanjut ke efek kontrasepsi hormonal terhadap pengembangan penyakit HIV-1 adalah hal
yang dibutuhkan.

Anda mungkin juga menyukai