Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta |
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. 1
B. Kajian Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae. termasuk dalam grup B Arthropod borne Virus (Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Keempat jenis seroptipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotipe DEN- 3 merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat. 2
Tanda dan gejala infeksi dengue tidak khas, sehingga menyulitkan penegakan diagnosis. Menurut pakar, dengue is one disease entity with different clinical presentations and often with unpredictable clinical evolution and outcome. Untuk membantu para klinisi, WHO pada tahun 1997 membuat panduan dalam buku berjudul Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control. Panduan ini merupakan panduan yang komprehensif yang sampai sekarang tetap digunakan di semua negara endemis dengue, termasuk Indonesia. Menggunakan panduan WHO tersebut, negara-negara di kawasan Asia Tenggara telah menurunkan angka kematian dari 1.18% pada tahun 1985 menjadi 0.79% di tahun 2009. Namun karena dengue telah menyebar ke berbagai negara, banyak pihak yang melaporkan sulitnya penggunaan klasifikasi WHO 1997. Beberapa hal yang dipermasalahkan adalah kesulitan memasukan klasifikasi dengue berat kedalam spektrum klinis, kesulitan menentukan derajat penyakit karena tidak semua kasus disertai perdarahan, dan menyaring kasus dengue saat terjadi kejadian luar biasa. Untuk itu WHO membuat klasifikasi dengue 2009, namun beberapa negara di Asia Tenggara tidak menyetujui klasifikasi WHO 2009 dan membuat revisi klasifikasi WHO 2011. 3
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 2
BAB II PEMBAHASAN
A. DEFINISI Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus Dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue. Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut: Gambar 1. Manifestasi klinis infeksi virus dengue menurut WHO 2011. 4
1. Demam tidak terdiferensiasi. Adalah infeksi dengue primer (yaitu infeksi dengue pertama kalinya), gejala yang timbul adalah demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dengan infeksi virus lainnya. Ruam makulopapular dapat menyertai demam atau mungkin muncul selama penurunan suhu badan sampai normal. Umumnya disertai gangguan pencernaan dan pernapasan bagian atas. 2. Demam dengue (DD) paling sering terjadi pada anak-anak, remaja dan orang dewasa. Hal ini umumnya merupakan penyakit demam akut dan kadang-kadang demam biphasic dengan sakit kepala parah, mialgia, arthralgia, ruam, leukopenia dan trombositopenia. Pada DD bisa menjadi penyakit melumpuhkan dengan sakit kepala parah, nyeri otot, sendi dan tulang, terutama pada orang dewasa. Kadang- kadang terjadi perdarahan yang tidak biasa seperti pendarahan gastrointestinal, hypermenorrhea dan epistaksis masif.
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 3
3. DBD (dengan atau tanpa renjatan). Demam berdarah dengue (DBD) lebih sering terjadi pada anak kurang dari 15 tahun di daerah hiperendemik, berkaitan dengan infeksi dengue berulang. DBD ditandai dengan onset akut dari demam tinggi dan berhubungan dengan tanda-tanda dan gejala yang mirip dengan DD pada fase awal. Ada diatesis hemoragik umum seperti uji tourniquet positif, petechiae, hematom dan perdarahan gastrointestinal sering terjadi pada kasus berat. Pada akhir dari fase demam, ada kecenderungan untuk berkembang menjadi syok hipovolemik (dengue shock syndrome) akibat kebocoran plasma. Kehadiran tanda-tanda awal sebelumnya seperti muntah terus-menerus, sakit perut, lesu atau gelisah, atau lekas marah dan oliguria gejala khas untuk intervensi mencegah syok. Trombositopenia dan meningkatnya hematokrit / hemokonsentrasi adalah gejala sebelum syok. 4. Expanded dengue syndrome. Manifestasi yang tidak lazim dengan keterlibatan organ vital seperti hati, otak, ginjal dan atau jantung yang terkait dengan infeksi dengue yang dapat pula terjadi dengan tidak adanya bukti kebocoran plasma. Kebanyakan pasien DBD yang memiliki manifestasi tidak lazim adalah hasil dari komplikasi syok yang berkepanjangan dengan gagal organ atau pasien dengan penyakit penyerta (co-infection). 4
Gambar 2. Klasifikasi dan Tingkat Keparahan Dengue Menurut WHO 2011. 4
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 4
B. EPIDEMIOLOGI Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) provinsi dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009. Peningkatan dan penyebaran kasus DBD tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk serta faktor epidemiologi lainnya yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Gambar 3. AI DBD per 100.000 Penduduk Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2009.
Gambar 4. Lima provinsi tertinggi Angka Kematian DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun 2009
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 5
Provinsi dengan angka kematian (AK) tertinggi pada umumnya berbeda dengan provinsi dengan AI tertinggi (AI). Hal ini berarti provinsi dengan AI tinggi belum tentu juga menjadi provinsi dengan AK tinggi. Pada Gambar di atas terlihat semua provinsi dengan AK tertinggi adalah provinsi yang berada di luar pulau Jawa dan Bali sedangkan provinsi dengan AI tertinggi umumnya dari Pulau Jawa dan Bali. AK rendah di pulau Jawa dan Bali bila dibandingkan dengan di luar pulau Jawa ini kemungkinan karena pelayanan medis dan akses ke pelayanan kesehatan lebih baik, serta tingkat pengetahuan masyarakat tentang DBD di pulau Jawa dan Bali lebih tinggi. Oleh karena itu upaya promosi kesehatan dan peningkatan akses dan pelayanan medis perlu difokuskan pada daerah di luar pulau Jawa dan Bali. 1
C. ETIOLOGI Virus dengue, termasuk genus Flavivirus, keluarga Flaviridae. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempatnya ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 serotipe terbanyak. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan menunjukkan manifestasi klinik yang berat.
Kerentanan manusia tergantung pada sistem imun dan genetik predisposition. 2
D. CARA PENULARAN Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 6
virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission). Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul. 2 Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah : Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, WC, tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung air seperti kaleng, pot tanaman, tempat minum burung, dan lain lain. Jarak terbang 100 meter Nyamuk betina bersifat multiple biters (mengigit beberapa orang karena sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat) Tahan dalam suhu panas dan kelembapan tinggi
E. PATOFISIOLOGI 1. Demam Dengue Walaupun Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue ( DBD) disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah pada peristiwa renjatan yang khas pada DBD. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma yang diduga karena proses imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi. 5
Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan memrosesnya sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini akan
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 7
mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-Helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen. 5 Proses di atas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi aggregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan. 2. Demam Berdarah Dengue Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer. Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel- organel sel, genom virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembanganbiakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel. Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang menimbulkan cross reaction atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi diantara keempat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotipe virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut, tetapi tidak ada cross protective terhadap serotipe virus yang lain. Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi biologis: netralisasi virus; sitolisis komplemen; Antibody Dependent Cell-mediated Cytotoxity (ADCC) dan Antibody Dependent Enhancement.
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 8
Virion dari virus DEN ekstraseluler terdiri atas protein C (capsid), M (membran) dan E (envelope), sedang virus intraseluler mempunyai protein pre- membran atau pre-M. Glikoprotein E merupakan epitop penting karena : mampu membangkitkan antibodi spesifik untuk proses netralisasi, mempunyai aktifitas hemaglutinin, berperan dalam proses absorbsi pada permukaan sel, (binding receptor), mempunyai fungsi biologis antara lain untuk fusi membran dan perakitan virion. Antibodi memiliki aktifitas netralisasi dan mengenali protein E yang berperan sebagai epitop yang memiliki serotipe spesifik, serotipe-cross reaktif atau flavivirus-cross reaktif. Antibodi netralisasi ini memberikan proteksi terhadap infeksi virus DEN. Antibodi monoclonal terhadap NS1 dari komplemen virus DEN dan antibodi poliklonal yang ditimbulkan dari imunisasi dengan NS1 mengakibatkan lisis sel yang terinfeksi virus DEN. Antibodi terhadap virus DEN secara in vivo dapat berperan pada dua hal yang berbeda : a. Antibodi netralisasi atau neutralizing antibodies memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi virus. b. Antibodi non netralising serotipe memiliki peran cross-reaktif dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS.
Gambar 5. Antibody Dependent Enhancement (ADE) Imunopatogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan SSD yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection)
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 9
Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi terhadap jenis virus tersebut untuk jangka waktu yang lama. Pengertian ini akan lebih jelas bila dikemukakan sebagai berikut: Seseorang yang pernah mendapat infeksi primer virus dengue, akan mempunyai antibody yang dapat menetralisasi yang sama (homologous).
Gambar 6. Antibodi dan serotipe virus dengue Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus yang lain, maka terjadi infeksi yang berat. Hal ini dapat dijelaskan dengan uraian berikut: Pada infeksi selanjutnya, antibody heterologous yang telah terbentuk dari infeksi primer akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue baru dari serotipe berbeda; namun tidak dapat dinetralisasi virus baru bahkan membentuk kompleks yang infeksius.
Gambar 7. Antibodi dan serotipe virus dengue
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 10
Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan serotipe lain atau virus lain) karena adanya non neutralising antibodi maka partikel virus DEN dan molekul antibodi IgG membentuk kompleks virus-antibodi dan ikatan antara kompleks tersebut dengan reseptor Fc gama pada sel melalui bagian Fc dari IgG menimbulkan peningkatan (enhancement) infeksi virus DEN. Kompleks virus antibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi sehingga makrofag mudah terinfeksi sehingga akan teraktivasi dan akan memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF alpha dan juga Platelet Activating Faktor (PAF). Karena antibodi bersifat heterolog, maka virus tidak dapat di neutralisasi tetapi bebas bereplikasi di dalam makrofag; informasi ini akan lebih jelas bila diuraikan dalam bentuk gambar berikut:
Gambar 8. Kompleks virus dan antibodi
TNF alpha baik yang terangsang INF gamma maupun dari makrofag teraktivasi antigen antibody kompleks, dan selanjutnya akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas, dimana hal tersebut akan mengakibatkan syok. Virus-Ab kompleks (kompleks imun) yang terbentuk akan merangsang komplemen, yang farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syok hipovolemik) dan perdarahan.
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 11
Gambar 9. Teori Enhancing Antibody Pada anak umur dibawah 2 tahun, yang lahir dari ibu dengan riwayat pernah terinfeksi virus DEN, dimana terjadi infeksi virus dari ibu ke anak maka dalam tubuh anak tersebut telah terjadi Non Neutralizing Antibodies akibat adanya infeksi yang persisten, sehingga infeksi baru pertama kali sudah terjadi proses Enhancing yang akan memacu makrofag sehingga mudah terinfeksi dan teraktivasi dan akan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF. Dimana bahan-bahan mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh darah dan system hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan. (6,7,8)
Gambar 10. Patogenesis DBD
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 12
F. GEJALA KLINIS 1. Demam berdarah dengue Setelah masa inkubasi rata-rata 4-6 hari (kisaran 3-14 hari), berbagai gejala non-spesifik konstitusional dari sakit kepala, sakit punggung dan malAIse umum dapat ditemukan. Biasanya, awal DD adalah kenaikan suhu tiba-tiba dan sering dikaitkan dengan wajah memerah dan sakit kepala. Sesekali, menggigil menyertai kenaikan suhu yang mendadak. selanjutnya, mungkin ada nyeri retro-orbital pada gerakan mata atau tekanan mata, fotofobia, sakit punggung, dan nyeri pada otot dan sendi/tulang. Gejala umum lainnya termasuk anoreksia dan perubahan sensasi rasa, sembelit, nyeri kolik dan nyeri perut, nyeri di daerah inguinal, sakit tenggorokan. Gejala ini biasanya berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa minggu. Perlu dicatat bahwa gejala-gejala dan tanda-tanda DD sangat bervariasi dalam frekuensi dan keparahan. 4 a. Demam: Suhu tubuh biasanya antara 39 C dan 40 C, dan demam mungkin biphasic, 5-7 hari.
b. Ruam: kemerahan difus atau erupsi sekilas dapat diamati pada wajah, leher dan dada selama dua sampai tiga hari pertama, dan ruam mencolok yang mungkin makulopapular atau rubelliform muncul pada sekitar hari ketiga atau keempat. Menjelang akhir masa demam atau segera setelah penurunan suhu badan sampai yg normal, ruam umum memudar dan kelompok lokal petechiae mungkin muncul pada dorsum kaki, di kaki, dan di tangan dan lengan. petechiae konfluen ditandai dengan kulit terasa gatal.
c. Manifestasi perdarahan: perdarahan kulit dapat hadir dengan uji tourniquet positif dan / atau petechiae. Pendarahan lain seperti epistaksis masif, hypermenorrhea, perdarahan ginggiva dan perdarahan gastrointestinal jarang terjadi di DD, komplikasi dengan trombositopenia.
d. Laboratorium : Di daerah endemik demam berdarah, tes turniket positif dan leukopenia (WBC 5000 sel/mm3) membantu dalam membuat diagnosis awal infeksi dengue dengan nilai prediksi positif 70% -80%. Temuan Laboratorium selama episode akut penyakit DD adalah sebagai berikut:
1) Jumlah WBC biasanya normal pada awal demam, kemudian berkembang menjadi leukopenia dengan penurunan neutrofil dan berlangsung selama periode demam.
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 13
2) Jumlah platelet biasanya normal, seperti juga komponen lain dari mekanisme pembekuan darah. Trombositopenia ringan (100. 000-150. 000 sel/mm3) sering ditemukan, dari rata-rata semua pasien DD memiliki jumlah trombosit di bawah 100.000 sel/mm3, tetapi trombositopenia berat (<50 000 sel/mm3) jarang terjadi.
3) Hematokrit meningkat ringan ( 10%) dapat ditemukan sebagai konsekuensi dari dehidrasi yang terkait dengan muntah, demam, anoreksia dan asupan oral yang buruk.
4) Biokimia darah biasanya normal tapi enzim hati alanine aminotransferase (ALT) dan aspartate amino transferase (AST) mungkin meningkat.
2. Demam berdarah dengue dan sindrom syok dengue. Kasus DBD khas ditandai dengan demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali, dan sering dengan gangguan peredaran darah dan syok. Trombositopenia sedang yang ditandai bersamaan dengan hemokonsentrasi /peningkatan hematokrit adalah temuan laboratorium yang khas terlihat. Perubahan patofisiologi utama yang menentukan tingkat keparahan DBD dan membedakannya dari demam dengue adalah hemostasis abnormal dan kebocoran plasma selektif dalam rongga pleura dan perut. Perjalanan klinis DBD dimulai dengan kenaikan suhu yang mendadak disertai wajah kemerahan dan gejala yang menyerupai demam berdarah, seperti anoreksia, muntah, sakit kepala dan nyeri otot atau sendi. Tes tourniquet positif (~ 10 titik / inci 2 ), bisa diamati pada fase demam awal. Petechiae halus tersebar pada ekstremitas, aksila, wajah dan langit-langit mulut dapat dilihat selama fase demam awal. Ruam peteki konfluen dengan daerah seputaran kulit normal terlihat dalam masa pemulihan, seperti pada demam berdarah. Epistaksis dan perdarahan gusi kurang umum. Perdarahan gastrointestinal ringan kadang-kadang dapat tampak, keadaan ini bisa menjadi lebih parah pada pasien yang sudah ada penyakit ulkus peptikum sebelumnya. Hematuria jarang terjadi. Hepar biasanya teraba di awal fase demam, hanya teraba 2-4 cm di bawah batas kosta kanan. Ukuran hepar tidak berkorelasi dengan keparahan penyakit, tetapi hepatomegali lebih sering pada kasus syok. Fase kritis DBD, yaitu periode kebocoran plasma, dimulai sekitar transisi dari demam ke fase afebris. Bukti kebocoran plasma, efusi pleura dan ascites mungkin, Namun tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisik pada fase awal
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 14
kebocoran plasma atau kasus-kasus ringan DBD. Hematokrit meningkat, misalnya 10% sampai 15% di atas normal, adalah bukti paling awal kebocoran plasma. Komplikasi yang signifikan dari kebocoran plasma menyebabkan syok hipovolemik. Bahkan dalam kasus-kasus syok, sebelum terapi cairan intravena, efusi pleura dan ascites mungkin tidak terdeteksi secara klinis. USG atau foto thorax untuk membuktikan kebocoran plasma dapat mendahului deteksi klinis. Rontgen dada kanan dekubitus lateral yang meningkatkan sensitivitas untuk mendeteksi efusi pleura. Dinding kandung empedu edema dikAItkan dengan kebocoran plasma dan mungkin mendahului deteksi klinis. Penurunan albumin serum secara signifikan yaitu > 0,5 gram/dl dari awal adalah bukti tidak langsung plasma leakage. Dalam kasus-kasus ringan DBD, semua tanda dan gejala mereda setelah demam reda. Penurunan demam bisa disertai dengan keringat dan perubahan ringan pada denyut nadi dan tekanan darah. Perubahan ini mencerminkan gangguan peredaran darah ringan dan sementara sebagai akibat dari kebocoran plasma derajat ringan. Pasien biasanya pulih baik secara spontan atau setelah terapi cairan dan elektrolit. Dalam kasus sedang sampai parah, kondisi pasien memburuk beberapa hari setelah timbulnya demam. Ada warning sign seperti muntah terus-menerus, sakit perut, penolakan asupan oral, lesu atau gelisah atau lekas marah, oliguria. Mendekati akhir fase demam, pada saat atau segera setelah suhu turun atau antara 3-7 hari setelah timbulnya demam, ada tanda-tanda kegagalan sirkulasi: kulit menjadi dingin, perioral sianosis sering diamati, dan denyut nadi menjadi lemah dan cepat. Meskipun beberapa pasien mungkin tampak lesu, biasanya mereka menjadi gelisah dan kemudian dengan cepat masuk ke tahap kritis dari syok. Sakit perut akut adalah keluhan sering sebelum timbulnya syok. Shock ditandai dengan nadi cepat dan lemah dengan penyempitan tekanan nadi < 20 mmHg dengan tekanan diastolik yang meningkat, misalnya 100/90 mmHg, atau hipotensi. Tanda-tanda perfusi jaringan berkurang adalah: waktu pengisian kapiler (> 3 detik), kulit teraba dingin dan gelisah. Pasien shock berada dalam bahaya kematian jika tidak ada pengobatan yang cepat dan tepat diberikan. Pasien mungkin masuk ke dalam tahap syok mendalam dengan tekanan darah dan / atau pulsasi nadi menjadi tak teraba (DBD derajat 4). Perlu dicatat bahwa sebagian besar pasien tetap sadar hampir ke tahap terminal.
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 15
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 16
G. Laboratorium 1. Sel darah putih (WBC) count mungkin normal atau dengan neutrofil dominan pada fase demam awal. Setelah itu, ada penurunan jumlah sel darah putih dan neutrofil, mencapai titik terendah pada akhir fase demam. Perubahan jumlah total sel putih ( 5000 sel/mm3) dan rasio neutrofil ke limfosit (neutrofil <limfosit) berguna untuk memprediksi masa kritis kebocoran plasma. Temuan ini mendahului trombositopenia atau hematokrit meningkat. Sebuah limfositosis relatif dengan limfosit atipikal yang meningkat umumnya diamati pada akhir fase demam dan ke pemulihan. Perubahan ini juga terlihat pada DF. 2. Jumlah trombosit normal selama fase awal demam. Penurunan ringan dapat diamati setelahnya. Penurunan tiba-tiba jumlah trombosit di bawah 100.000 terjadi pada akhir fase demam sebelum timbulnya shock atau penurunan demam. Tingkat jumlah trombosit berkorelasi dengan keparahan DBD. Perubahan ini berlangsung singkat dan kembali normal selama masa pemulihan. Hematokrit normal pada fase awal demam. sedikit peningkatan mungkin karena demam tinggi, anoreksia dan muntah. Kenaikan mendadak hematokrit diamati secara bersamaan atau segera setelah penurunan jumlah trombosit. Haemoconcentration atau hematokrit meningkat 20% dari awal, bukti obyektif dari kebocoran plasma. Perlu dicatat bahwa tingkat hematokrit dapat dipengaruhi oleh penggantian volume awal dan pendarahan. 3. Temuan umum lainnya adalah hypoproteinemia / albuminaemia (sebagai akibat dari kebocoran plasma), hiponatremia, dan tingkat aspartat aminotransferase serum sedikit meningkat ( 200 U / L) dengan rasio aspartate aminotransferase (AST): alanine aminotransferase (ALT) > 2. 4. Albuminuria ringan bersifat sementara kadang-kadang dapat timbul. 5. Dalam kebanyakan kasus, tes koagulasi dan faktor fibrinolitik menunjukkan penurunan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. Penurunan antiplasmin (plasmin inhibitor) ini ditemukan di beberapa kasus. Pada kasus yang parah ditandai dengan disfungsi hati, faktor pengurangan V, VII, IX dan X. 6. Parsial tromboplastin time dan protrombin time lebih panjang sekitar setengah dan sepertiga dari kasus DBD. Trombin time juga panjang pada kasus berat. 7. Hiponatremia sering diamati pada DBD dan shock berat.
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 17
8. Asidosis metabolik sering ditemukan pada kasus dengan syok berkepanjangan. Nitrogen urea darah meningkat pada syok berkepanjangan. Viremia Dengue pada pasien waktunya pendek, biasanya terjadi 2-3 hari sebelum timbulnya demam dan berlangsung selama empat sampai tujuh hari penyakit. Selama periode ini virus dengue, asam nukleat dan antigen virus yang beredar dapat dideteksi (Gambar 11). Respon antibodi terhadap infeksi mencakup munculnya berbagai jenis imunoglobulin, IgM dan IgG memiliki nilai diagnostik dalam dengue. Antibodi IgM terdeteksi dengan 3-5 hari setelah onset penyakit, cepat naik sekitar dua minggu dan penurunan ke tingkat tidak terdeteksi setelah 2-3 bulan. IgG antibodi terdeteksi pada tingkat rendah pada akhir minggu pertama, kemudian meningkat dan tetap untuk jangka waktu lama (selama bertahun-tahun). Karena penampilan akhir antibodi IgM, yaitu setelah lima hari sejak timbulnya demam, tes serologi berdasarkan antibodi ini yang dilakukan selama lima hari pertama timbulnya sakit klinis biasanya negatif. Selama infeksi dengue sekunder (ketika tuan rumah itu sebelumnya telah terinfeksi oleh virus dengue), titer antibodi meningkat pesat. Antibodi IgG terdeteksi pada tingkat tinggi, bahkan dalam tahap awal, dan bertahan dari beberapa bulan untuk jangka waktu seumur hidup. Kadar antibodi IgM secara signifikan lebih rendah dalam kasus-kasus infeksi sekunder. Oleh karena itu, rasio IgM / IgG umumnya digunakan untuk membedakan antara infeksi dengue primer dan sekunder. Trombositopenia biasanya diamati antara hari ketiga dan kedelapan penyakit diikuti dengan perubahan hematokrit.
Gambar 11. Perkiraan batas waktu infeksi dengue primer dan sekunder dan metode diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 18
Terdapat lima tes serologi dasar yang digunakan untuk diagnosis infeksi dengue. Antara lain: haemagglutination-inhibition (HI), complement fixation (CF), neutralization test (NT), IgM capture enzyme-linked immunosorbent assay (MAC- ELISA), and indirect IgG ELISA. Uji apa saja yang dipakai, yang penting pada dasarnya adalah ada kenaikan titer antibody akut ke antibody konvalesen sebesar 4 kali lipat atau lebih. 3 1. Uji HI
Uji ini untuk menetapkan titer antibodi anti-dengue yang dapat menghambat kemampuan virus dengue mengaglutinasi sel darah merah angsa. Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai bertahun-tahun, sehingga uji ini baik untuk studi sero-epidemiologi. Sayangnya uji ini membutuhkan sepasang sera dengan perbedaan waktu fase akut dan konvalesen paling sedikit 7 hari, optimalnya 10 hari.Uji ini dapat digunakan untuk membedakan infeksi primer dan sekunder berdasarkan titer antibodinya.
Kenaikan titer Interval Serum I-II Titer konvalesen Interpretasi 4kali 7 hari 1 : 1280 Infeksi flavivirus akut, primer 4 kali Specimen apapun 1 : 2560 Infeksi flavivirus akut, sekunder 4 kali < 7 hari 1 : 1280 Infeksi flavivirus akut, primer atau sekunder Tidak ada kenaikan Specimen apapun 1 : 2560 Infeksi flavivirus baru, Sekunder Tidak ada kenaikan 7 hari 1 : 1280 Bukan dengue Tidak ada kenaikan < 7 hari 1 : 1280 Tidak dapat diinterpretasi Tidak diketahui Specimen tunggal 1 : 1280 Tidak dapat diinterpretasi Tabel 2. Interpretasi Uji HI
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 19
2. Uji CM Uji ini tidak banyak dipakai untuk diagnosis serologi secara rutin. Selain rumit caranya juga memerlukan keahlian tersendiri. Antibody CM biasanya timbul setelah antibody HI timbul dan sifatnya lebih spesifik pada infeksi primer dan biasanya cepat menghilang dari darah (2-3 tahun). 3. Uji neutralisasi (Neutralization test : NT test) Merupakan uji serologis yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue. Biasanya memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test (PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibodi nneutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan lama (4-8 tahun). Uji ini juga rumit dan memerlukan waktu cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin. 4. IgM Elisa (Mac. Elisa) Pada tahun terakhir ini merupakan uji serologis yang banyak dipakai. Mac Elisa adalah singkatan dari IgM captured Elisa, dimana akan mengetahui kandungan IgM dalam serum pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan: a. Pada hari 4-5 infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang kemudian diikuti dengan timbulnya IgG. b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, akan secara cepat dapat ditentukan diagnosis yang tepat. c. Ada kalanya hasil uji terhadap IgM masih negatif, dalam hal ini perlu diulang. d. Apabila hari sakit ke-6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif. e. Perlu dijelaskan disini bahwa IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2-3 bulan setelah adanya infeksi. Untuk memperjelaskan hasil uji IgM dapat pula dilakukan uji terhadap IgG. Mengingat alasan tersebut di atas maka uji IgM tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya uji diagnostik untuk pengelolaan kasus. f. Uji Mac Elisa mempunyai sensitivitas sedikit di bawah uji HI, dengan kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesivisitas yang sama dengan uji HI.
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 20
5. IgG Elisa Sebanding dengan uji HI, tapi lebih spesifik. Terdapat beberapa merek dagang untuk uji infeksi dengue seperti IgM/IgG Dengue Blot, Dengue Rapid IgM/IgG, IgM Elisa, IgG Elisa. [1]
H. TERAPI Protokol dibagi dalam 5 kategori : 1. Protokol 1: Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa tanpa Syok Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam pemberian pertolongan pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan hemonglonin (Hb), hematokrin (Ht), dan trombosit, bila : a. Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemriksaan Hb, Ht, leukosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat. b. Hb, Ht normal tetapi trombosit , 100.000 dianjurkan untuk dirawat c. Hb, Ht meningkat dan tombosit normal atau turun juga dianjurka untuk dirawat
2. Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruanag Rawat Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masih dan tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini : Volume cairan kristaloid / hari yang diperkukan, sesuai rumus berikut : 1500+ (20 x (BB dalam kg 20 ) Setelah pemberian cairan dilakukan dilakukan pemberian Hb, Ht tiap 24 jam: a. Bila Hb, Ht meningkan 10-20% dan tombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht, trombo dilakukan tiap 12 jam.
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 21
b. Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan sesuai dengan protocol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%. 3. Protokol 3. Penatalaksaan DBD dengan Peningkatan Ht > 20% Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikkan perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrin turun, frekuensi nadi turun tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infuse dikurangimenjadi 5 ml/KgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikkan maka jumlah cairan infuse dikurangi 3ml/KgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik cairan dapat dihentikan24-48 jam kemudian. Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/KgBB/jam dalam tapi keadaan tetap tidak membaik, yang ditndai dengan Ht dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infuse menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikkan maka jumlah cairan dikuarangi menjadi 5 ml/KgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikkan maka jumlaah cairan infuse dinaikkan 15ml/KgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkn tanda-tanda syok maka pasien ditananganisesuai protocol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan.
4. Protokol 4. Penatalaksaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing ( hematuria, perdarahan otak atau perdarahan sembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/KgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok.
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 22
Pemeriksaan TD, nadi, pernapasan, dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam. Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskuler diseminata (KID). Taranfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi factor-faktor pembekuan darah (PT dan aPTT) yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD yang perdarahan spontan dan massif dengan jumlah tromboit <100.000/mm 3 disertai atau tanpa KID.
5. Protokol 5. Tatalaksanaan Sindrom Syok Dengue pada Dewasa Bila berhadapan dengan SSD maka hal pertama yang harus diingat adalah renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan dilakukan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian SSD 10 kali lipat dibandingakan dengan penderita DBD tanpa renjatan. Dan renjatan dapat terjadi karena kerelambatan penderita DBD mendapat pertolongan. Pada kasus SSD cairan kritaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Penderita juga diberikan O 2 2-4 liter/menit. Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostalisi, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin. Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20ml/kgBB dan evaluasi 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi ( ditandai dengan TD sistolik 100mmHg dan tekanan nadi > 20mmHg, frekuensi nadi <100 x/menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat srta dieresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi 7 ml/kgBB/jam. Biala dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan dikurangi 3 ml/kgBB/jam. Bila 23-48 jam setelag renjatan teratasi tanda-tanda vital, hematokrin tetap stabil srta dieresis cukup maka pemberian cairan perinfus dihentikan. Pengawan dini tetap dilakukan tertama dalam 24 jam pertama sejak terjadi renjatan. Oleh karena itu untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital, pembesaran hati, nyeri tekan didaerah hipokondrium kana dan epigastrium serta jumlah dieresis (diusahakan
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 23
2ml/kgBB/jam). Pemantauan DPL dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit. Bila fase awal pemberian ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberan cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai Ht. a. Bila Ht meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan. 1) Pemberian koloid mula-mula diberikan 10-20ml.kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka pemantaun cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pmberian dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB ( maksimal 1-1,5/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18cmH 2 O 2) Bila keadaan belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. 3) Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapu renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik / vasopresor. b. Bila Ht menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka pada penderita diberikan transfuse darah segar 10ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
I. Komplikasi 1. Demam dengue DF dengan perdarahan dapat terjadi dalam hubungan dengan penyakit yang mendasari seperti tukak lambung, trombositopenia berat dan trauma. DHF bukan kesinambungan DF. 2. Demam berdarah dengue Biasanya terjadi berhubungan dengan syok berat/berkepanjangan yang menyebabkan asidosis metabolik dan perdarahan hebat dan kegagalan multiorgan seperti hati dan disfungsi ginjal. Yang lebih penting, pengganti cairan yang berlebihan selama periode kebocoran plasma yang menyebabkan efusi masif menyebabkan penekanan pernapasan, kongesti paru akut dan/atau
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 24
gagal jantung. Terapi cairan Lanjutan setelah periode kebocoran plasma akan menyebabkan edema paru akut atau gagal jantung, terutama bila ada reabsorpsi cairan extravasase. Selain itu, terapi cairan syok mendalam / berkepanjangan dan tidak tepat dapat menyebabkan gangguan metabolisme / elektrolit. Kelainan metabolik sering ditemukan sebagai hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia dan kadang-kadang, hiperglikemia. Gangguan ini dapat menyebabkan manifestasi tidak biasa misalnya ensefalopati. 4
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 25
BAB III KESIMPULAN
Demam berdarah dengue (DBD) ialah penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk pada hari kedua. Virus dengue tergolong dalam grup Flaviviridae dengan 4 serotipe, DEN - 3, merupakan serotie yang paling banyak. Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes Aegypti. Gejala utama demam berdarah dengue (DBD) adalah demam, pendarahan, hepatomegali dan syok. Kriteria diagnosis terdiri dari kriteria klinis dan kriteria laboratoris. Dua kriteria klinis ditambah trombosipenia dan peningkatan hmatokrit cukup untuk menegakkan diagnosis demam berdarah dengue. Penatalaksanaan demam berdarah dengue bersifat simtomatif yaitu mengobati gejala penyerta dan suportif yaitu mengganti cairan yang hilang.
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 26
DAFTAR PUSTAKA
1. Hadinegoro SR. Satari HI, penyunting. Demam berdarah dengue. Naskah lengkap pelatihan bagi pelatih dokter spesialis anak dan spesialis penyakit dalam, dalam tatalaksana kasus DBD. Ed ke-1, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1998. 2. Harikushartono, Hidayah N, Darmowandowo W,Soegijanto S, (2002), Demam Berdarah Dengue: Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan, Jakarta, Penerbit Salemba Medika. 3. Kurane I, Ennis E Francis, (1992). Immunity and immunopathologi in dengue virus infections. Seminars in Imunology., vol.4;121-127. 4. Oppenheim J.J et al, (1995). Cytokines Basic and Clinical Immunology. Seven edition. 78-98. 5. Suhendro,Nainggolan Leonard,Chen Khie.Demam Berdarah Dengue. Dalam : Aru W Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta : Penerbitan IPD FKUI, 2006. h. 1709-1713 6. Wang S, He R, Patarapotikul, J et al, (1995). Antibody-Enhanced Binding of Dengue Virus to Human Platelets. J.Virology. October 213: page:1254-1257. 7. WHO 2011 8. World Health Organization. Dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control.Geneva: WHO, 2009.
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam BLUD Sekarwangi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta | 27