Anda di halaman 1dari 21

1

I. Anatomi dan Fisiologi Sklera



Sklera, yang lebih dikenal sebagai bagian putih dari mata, adalah jaringan
terkeras dari mata. Sklera bersambung pada bagian depan dengan sebuah jendela
membran yang bening, yaitu kornea. Pada sklera juga terdapat konjungtiva untuk
menjaga kelembapan mata. Sklera terdiri dari jaringan fibrosa dengan ketebalan 10
14 mikron, dan kaya akan serat elastik serta mengandung otot halus.
9
Sklera berfungsi
untuk melindungi struktur bola mata yang halus dan tempat melekatnya otot bola
mata.

Gambar 1. Anatomi Bola Mata
(Sumber: http://biologinyanuris.blogspot.com/2009/05/sistem-indra-indra
penglihat.html)

Sklera tertipis terletak pada insersio dari otot rektus, yaitu 0.3 mm. Pada garis
ekuator ketebalan sklera sekitar 0.4 0.5 mm dan pada bagian posterior mencapai 1
mm. Perbedaan ketebalan sklera ini relevan terhadap daerah yang rentan tersobek
karena trauma. Trauma tumpul cenderung merobek mata pada bagian tertipisnya,
yaitu di belakang insersio otot rektus.
6

Saraf optik tertempel pada sklera di bagian belakang mata. Sklera membentuk
lengkungan untuk membuat jalan untuk saraf optik, yang disebut sebagai lamina
kribosa. Selain itu ada juga beberapa jalur lain yang desebut sebagai emissaria. Pada
sekitar saraf optik terdapat jalur yang dilewati oleh arteri dan saraf siliar posterior.
Sekitar 4 mm posterior dari ekuator terdapat jalan untuk vena vorteks. Pada bagian
anterior terdapat jalan untuk pembuluh darah siliaris anterior yang memperdarahi otot
rektus.
6
2

Gambar 2. Sklera
(Sumber: http://www.thirdeyehealth.com/images/sclera-1.jpg)

II. Etiologi

Skleritis dapat merupakan insiden tersendiri (43%) atau berkaitan dengan
penyakit sistemik lainnya (57%). Adapun beberapa etiologi dari skleritis ialah:
I. Autoimun (48%)
o Penyakit jaringan ikat dan kondisi peradangan lainnya, antara lain:
13

Rheumatoid arthritis
Systemic lupus erythematosus
Ankylosing spondylitis
Reactive arthritis
Psoriatic arthritis
Gouty arthritis
Inflammatory bowel diseases
Relapsing polychondritis
Polymyositis
Sjgren syndrome
Mixed connective tissue disease
Progressive systemic sclerosis
o Penyakit vaskulitik, antara lain:
14

Polyarteritis nodosa
3
Allergic angiitis of Churg-Strauss syndrome
Wegeners granulomatosis
Behet disease
Giant cell arteritis
Cogan syndrome
II. Infeksi dan Granulomatosa (7%)
1

o Tuberkulosis
o Sifilis
o Sarkoidosis
o Toksoplasmosis
o Herpes simpleks
o Herpes zoster
o Infeksi Pseudomonas
o Infeksi Streptokokus
o Infeksi Stafilokokus
o Aspergilosis
o Leprosi
III. Lain-lain (2%)
o Atopi
o Sekunder dikarenakan benda asing, trauma kimia, atau obat - obatan
(pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid, ibandronate).
15

IV. Idiopatik

4
III. Patofisiologi





Gambar 3. Skleritis
(Sumber: http://cms.revoptom.com/handbook/sect2g.htm)
Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50
persen kasus) berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang
menyebabkan skleritis antara lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis,
systemic lupus erythematosus, polyarteritis nodosa, Wegener's granulomatosis,
herpes zoster virus, gout dan sifilis.
7

Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah
gejala utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan
regulasi autoimun pada pasien yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi
penyebab terjadinya skleritis. Faktor pencetus dapat berupa organisme menular, bahan
endogen, atau trauma. Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks imun yang
mengakibatkan kerusakan vaskular (hipersensitivitas tipe III) ataupun respon
granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).
10

Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari
antibody IgG dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi lokal
(reaksi Arthus) dan reaksi sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan dengan
menginjeksi secara subkutan larutan antigen kepada penjamu yang memiliki titer IgG
yang signifikan. Karena FcgammaRIII adalah reseptor dengan daya ikat rendah dan
juga karena ambang batas aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi dari pada untuk
reseptor IgE, reaksi hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan tipe I, secara
5
umum memakan waktu maksimal 4 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh. Reaksi
sistemik terjadi dengan adanya antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan
pembentukan kompleks antigen antibodi yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi
utama dikarenakan deposisi kompleks yang ditingkatkan oleh peningkatan
permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pengaktivasian dari sel mast melalui
FcgammaRIII. Kompleks imun yang terdeposisi menyebabkan netrofil mengeluarkan
isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan membran basement
sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada bermacam macam lokasi
seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering dari hipersensitivitas tipe III
adalah komplikasi post infeksi seperti arthritis dan glomerulonefritis.
16

Hipersensitivitas tipe IV adalah satu satunya reaksi hipersensitivitas yang
disebabkan oleh sel T spesifik antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut juga
hipersensitivitas tipe lambat. Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel jaringan
dendritik telah mengangkat antigen lalu memprosesnya dan menunjukkan pecahan
peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II, kemudian mengalami kontak
dengan sell T
H
1 yang berada dalam jaringan. Aktivasi dari sel T tersebut,
membuatnya memproduksi sitokin seperti kemokin untuk makrofag, sel T lainnya,
dan juga kepada netrofil. Konsekuensi dari hal ini adalah adanya infiltrasi seluler
yang mana sel mononuklear (sel T dan makrofag) cenderung mendominasi. Reaksi
maksimal memakan waktu 48 72 jam. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe
lambat adalah tuberkulosis. Contoh yang paling sering adalah hipersensitivitas kontak
yang diakibatkan dari pemaparan seorang individu dengan garam metal atau bahan
kimia reaktif.
16

Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu
deposisi kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler (peradangan
mikroangiopati). Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis dapat menyebar
pada bagian anterior atau bagian posterior mata.
IV. Klasifikasi
Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi anterior atau posterior. Empat tipe dari
skleritis anterior adalah:
11

6
1. Diffuse anterior scleritis. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada
seluruh permukaan sklera. Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.
2. Nodular anterior scleritis. Ditandai dengan adanya satu atau lebih nodul
radang yang eritem, tidak dapat digerakkan, dan nyeri pada sklera anterior.
Sekitar 20% kasus berkembang menjadi skleritis nekrosis.
3. Necrotizing anterior scleritis with inflammation. Biasa mengikuti penyakit
sistemik seperti rheumatoid arthtitis. Nyeri sangat berat dan kerusakan pada
sklera terlihat jelas. Apabila disertai dengan inflamasi kornea, dikenal sebagai
sklerokeratitis.
4. Necrotizing anterior scleritis without inflammation. Biasa terjadi pada pasien
yang sudah lama menderita rheumatoid arthritis. Diakibatkan oleh
pembentukan nodul rematoid dan absennya gejala. Juga dikenal sebagai
skleromalasia perforans.



Gambar 4. Diffuse Anterior Scleritis
(Sumber: http://eyepathologist.com/images/KL21711.jpg)

7

Gambar 5. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah
resolusi dari nodul
(Sumber: http://www.nature.com/eye/journal/v21/n2/images/6702524f1.jpg)


Gambar 6. Skleromalasia perforans
(Sumber: www.aafp.org/afp/2002/ 0915/afp20020915p991-f5.jpg)
Di samping skleritis anterior, ada pula skleritis posterior. Skleritis posterior ini
jarang terjadi dan ditandai dengan adanya nyeri tekan bulbus okuli dan proptosis.
2
Terdapat perataan dari bagian posterior bola mata, penebalan lapisan posterior mata
8
(koroid dan sklera), dan edema retrobulbar. Pada skleritis posterior dapat dijumpai
penglepasan retina eksudatif, edema makular, dan papiledema.
3
V. Diagnosis
5.1 Anamnesis
Keluhan pasien akan bervariasi, tergantung dari tipe skleritis yang dialami
pasien. Pasien dengan necrotizing anterior scleritis with inflammation akan
mengeluhkan rasa nyeri yang hebat disertai tajam penglihatan yang menurun, bahkan
dapat terjadi kebutaan. Tajam penglihatan pasien dengan non-necrotizing scleritis
biasanya tidak akan terganggu, kecuali bila terjadi komplikasi seperti uveitis. Rasa
nyeri yang dirasakan pasien akan memburuk dengan pergerakan bola mata dan dapat
menyebar ke arah alis mata, dahi, dan dagu. Rasa nyeri juga dapat memburuk pada
malam hari, bahkan dapat membangunkan pasien dari tidurnya.
5.2 Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi
Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan
tajam penglihatan.
11

o Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.
o Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior.


Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru paru dapat dilakukan
apabila dicurigai adanya penyakit sistemik.


Pemeriksaan Sklera
10

o Sklera tampak difus, merah kebiru biruan dan setelah beberapa
peradangan, akan terlihat daerah penipisan sklera dan menimbulkan
uvea gelap.
o Area berwarna hitam, abu abu, atau coklat yang dikelilingi oleh
peradangan aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses
berlanjut, maka area tersebut akan menjadi avaskular dan
menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah, dan di kelilingi
oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap.


Pemeriksaan slit lamp
10,11

9
o Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau
segmental. Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse anterior
scleritis.


o Pada skleritis, kongesti maksimum terdapat dalam jaringan episkleral
bagian dalam dan beberapa pada jaringan episkleral superfisial. Sudut
posterior dan anterior dari sinar slit lamp terdorong maju karena
adanya edema pada sklera dan episklera.
o Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan menandai
jaringan episklera superfisial, tidak sampai bagian dalam dari jaringan
episklera.


o Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area
avaskular pada sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada 50% kasus.
o Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau
konjungtivitis juga dapat dilakukan.
Pemeriksaan skleritis posterior
11

o Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi dan
proptosis.
o Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior.
Skleritis posterior dapat menimbulkan amelanotik koroidal.
o Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatan
koroid, dan perdarahan atau ablasio retina.
17

5.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis.
Beberapa pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan yaitu:
1

1. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah
2. Faktor rheumatoid dalam serum
3. Antibodi antinuklear serum (ANA)
4. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)
5. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen toraks
6. Serum FTA-ABS, VDRL
7. Serum asam urat
10
8. B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya skleritis
posterior.
5


Gambar 7. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya
akumulasi cairan pada kapsul tenon
(Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1228865-overview#a30)
VI. Diagnosa Banding
o Episkleritis
Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara
konjungtiva dan permukaan sklera.
4
Episkleritis dapat merupakan suatu reaksi
toksik, alergik, bagian dari infeksi, serta dapat juga terjadi secara spontan dan
idiopatik. Episkleritis umumnya mengenai satu mata, terutama pada wanita usia
pertengahan dengan riwayat penyakit reumatik. Episkleritis sering tampak seperti
skleritis. Namun, pada episkleritis proses peradangan dan eritema hanya terjadi
pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Episkleritis
mempunyai onset yang lebih akut dan gejala yang lebih ringan dibandingkan
dengan skleritis. Selain itu episkleritis tidak menimbulkan turunnya tajam
penglihatan.

11

Gambar 8. Episkleritis
(Sumber: http://www.acuitypro.com/images/Episcler.jpg)
Keluhan pasien episkleritis berupa mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa
mengganjal. Terdapat pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang pada
episkleritis mempunyai gambaran benjolan setempat dengan batas tegas dan
warna merah ungu di bawah konjungtiva. Bila benjolan ini ditekan dengan kapas
atau ditekan pada kelopak di atas benjolan, maka akan timbul rasa sakit yang
dapat menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata merah satu sektor yang disebabkan
melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva. Pembuluh darah episklera ini
dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan pada skleritis,
melebarnya pembuluh darah sklera tidak dapat mengecil bila diberi fenilefrin
2,5% topikal.

Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan
pemberian fenilefrin 2,5% topikal.
(Sumber: www.aafp.org/afp/2002/ 0915/afp20020915p991-f5.jpg)
12

Gambar 10. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian
fenilefrin 2,5% topikal.
(Sumber: www.aafp.org/afp/2002/ 0915/afp20020915p991-f5.jpg)
VII. Penatalaksanaan
Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik. Pasien
yang terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan yang
spesifik juga.
10
Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan pada skleritis
yang tidak infeksius, pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta konsultasi kepada
bagian terkait apabila dicurigai ada penyakit sistemik yang menyertai.
1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius. NSAIDs, kortikosteroid, atau
obat imunomodulator dapat digunakan. Pengobatan secara topikal saja tidak
mencukupi. Pengobatan tergantung pada keparahan skleritis, respon
pengobatan, efek samping, dan penyakit penyerta lainnya.
o Diffuse scleritis atau nodular scleritis
Pengobatan awal menggunakan NSAIDs. Jika gagal dapat
menggunakan 2 jenis NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien
resiko tinggi, berikan juga misoprostol atau omeprazole untuk
perlindungan gastrointestinal.
Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika
terjadi remisi, dipertahankan menggunakan NSAIDs.
13
Jika oral kortikosteroid gagal, obat obatan imunosupresif
dapat digunakan. Methotrexate adalah obat pilihan pertama,
tapi dapat juga digunakan azathioprine, mycophenolate,
mofetil, cyclophosphamide, atau cyclosporine. Untuk pasien
dengan Wegeners granulomatosis atau polyarteritis nodosa,
cyclophosphamide adalah pilihan utama.
Jika masih gagal, dapat diberikan obat obatan
imunomodulator seperti infliximab atau adalimumab yang
diharapkan dapat efektif.
o Necrotizing scleritis
Obat obatan imunosupresif ditambahkan dengan
kortikosteroid pada bulan pertama, kemudian jika mungkin
dikurangi perlahan lahan.
Jika gagal, pengobatan imunomodulator dapat digunakan.
Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat
memperparah proses nekrosis yang terjadi.


2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan atau
tanpa antimikrobial topikal dapat digunakan. Sementara kortikosteroid dan
imunosupresif tidak boleh digunakan.
3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit
penyerta, dan konsultasi dengan spesialis hematologi atau onkologi untuk
pengawasan terapi imunosupresif.

Adapun jenis obat-obatan yang dapat dipakai sebagai medikamentosa dalam
penyakit skleritis ialah:
11

A. NSAIDs (Non-steroid Anti Inflammatory Drugs)
Obat ini digunakan untuk menurunkan rasa nyeri dan peradangan. NSAIDs
bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin, menghalangi
perjalanan dari lekosit, dan menghambat fosfodiesterase.
Pemberian:
Minum pada waktu yang bersamaan dengan makanan atau dengan air untuk
menghindari gangguan pada saluran pencernaan.
14
1. Indometasin (Indocin)
Sering dianggap sebagai obat pilihan pertama. Indometasin dapat dengan cepat
diserap. Metabolisme terjadi di hati dengan demetilasi, deasetilasi, dan
konjugasi glukuronid.
Dosis: 75-150 mg PO/hari or dibagi 2 kali sehari; tidak melampaui 150
mg/hari
Pemberian pada lansia harus diawasi fungsi ginjal, Penurunan fungsi ginjal
lebih mungkin terjadi usia lanjut. Dosis/frekuensi terendah disarankan.
2. Diflunisal (Dolobid)
Turunan asam salisilat nonsteroid yang bekerja secara perifer sebagai
analgesik. Memiliki efek antipiretik dan anti radang; tetapi, berbeda secara
kimia dengan aspirin dan tidak dimetabolisme menjadi asam salisilat. Obat ini
adalah sebuah penghambat prostaglandin sintase.
Dosis: 250-1000 mg PO setiap hari dibagi setiap 12 jam.
Dosis maksimum: 1500 mg/hari.
3. Naproxen (Naprelan, Anaprox, Aleve, Naprosyn)
Digunakan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang. Menghambat reaksi
peradangan dan nyeri dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase,
menghasilkan penurunan dari sintesis prostaglandin.
Naproxen diserap dengan cepat dan memiliki paruh waktu sekitar 12 15 jam.
Dosis: 250-500 mg PO 2 kali sehari. Tidak lebih dari 1500 mg/hari.
4. Ibuprofen (Motrin, Ibuprin, Advil)
Biasanya merupakan obat pilihan untuk pengobatan nyeri ringan sampai
sedang, jika tidak ada kontraindikasi. Menghambat reaksi peradangan dan
nyeri, kemungkinan dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase, yang
menghasilkan sintesis prostaglandin.
Obat yang berikatan kuat dengan protein dan siap diserap secara oral.
15
Memiliki paruh waktu yang singkat (1.8-2.6 jam).
Dosis: 300-800 mg PO 4 kali sehari
400-800 mg IV selama 30 menit setiap 6 jam kalau diperlukan. Tidak melebihi
3200 mg/hari
5. Sulindac (Clinoril)
Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan, dengan begitu, menghambat
sintesis prostaglandin. Menghasilkan penurunan pembentukan mediator
peradangan.
Dosis: 150-200 mg PO 2 kali sehari. Tidak melebihi 400 mg/hari.
Gunakan dosis terendah yang paling efektif untuk jangka waktu terpendek.
6. Piroxicam (Feldene)
Secara struktur kimia berbeda dengan NSAID. Berikatan dengan protein
plasma. Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan dengan begitu,
menghambat sintesis prostaglandin. Efek ini menurunkan pembentukan
mediator radang.
Dosis: 20 mg PO setiap harinya atau dibagi 2 kali sehari; tidak melebihi 30-40
mg/hari

B. Agen Imunosupresan
Digunakan untuk skleritis berat (Necrotizing scleritis) dan yang resisten
terhadap NSAIDs.
1. Methotrexate (Folex, Rheumatex)
Mekanisme kerjanya dalam pengobatan reaksi peradangan kurang diketahui.
Dapat mempengaruhi fungsi imun dan biasanya menghilangkan gejala
peradangan (nyeri, bengkak, kaku).
Dosis tunggal PO sebanyak 7.5 mg setiap minggu. Dosis dibagi PO sebanyak
2.5 mg setiap 12 jam untuk 3 dosis, sebagai pengganti sekali seminggu
16
Peningkatan sampai respon optimum; tidak melebihi dosis tunggal dari 20 mg
(meningkatkan resiko supresi sum sum tulang). Kurangi sampai serendah
mungkin. Kurangi sampai dosis efektif terendah dengan waktu istirahat
terpanjang
Awasi : fungsi ginjal, keracunan hematopoietik, fungsi paru, fungsi hati
2. Cyclophosphamide (Cytoxan, Neosar)
Secara struktur kimia berhubungan dengan mustards nitrogen. Sebagai
alkylating agent, mekanisme kerjanya sebagai metabolit aktif mungkin
melibatkan penyambungan silang DNA, yang dapat mengganggu
pertumbuhan sel normal dan neoplastik.
Pemberian IV:
Dosis tunggal: 40-50 mg/kg dibagi selama 2-5 hari; dapat diulangi dalam
interval 2-4 minggu
Dosis setiap hari: 1-2.5 mg/kg/hari
Pemberian oral:
Dosis : 400-1000 mg/sq.meter dibagi selama 4-5 hari sebagai terapi intermiten
Terapi berulang: 50-100 mg/sq.meter/hari
Pemberian:
Berikan dosis pertama sepagi mungkin
Minum banyak cairan bersamaan dengan dosis per oral
Pasien harus buang air untuk mencegah sistitis hemoragik.
Awasi: Hitung sel darah (Sel darah putih dapat menurun sampai 2000-
3000/cu.mm tanpa resiko serius terkena infeksi)
3. Azathioprine (Imuran)
Menghambat mitosis dan metabolisme seluler dengan mengganggu
metabolisme purin dan sintesis DNA, RNA, dan protein.
Dosis awal: 1 mg/kg IV/PO setap hari atau dipisah 2 kali sehari, dapat
ditingkatkan seperti berikut:
17
Sebesar 0.5 mg/kg/hari setelah 6-8 minggu, kemudian sebesar 0.5 mg/kg/hari
setiap 4 minggu, tidak melebihi 2.5 mg/kg/hari.
Pengawasan: Kurangi dosis sebanyak 0.5 mg/kg setiap 4 minggu sampai dosis
efektif terendah tercapai
4. Cyclosporine (Neoral)
Siklik polipeptida yang menekan beberapa imun humoral dan reaksi imun
yang dilakukan sel, seperti hipersensitifitas tipe lambat dan penolakan
cangkok.
Dosis: 2.5 mg/kg/hari dibagi 2 kali sehari PO kurang lebih 8 minggu, Dapat
ditambah menjadi tidak lebih dari 4 mg/kg/hari
Awasi: fungsi ginjal
C. Glukokortikoid
Memiliki sifat anti peradangan dan mengakibatkan bermacam efek metabolik.
Kortikosteroid mempengaruhi respon imun tubuh dan berguna dalam
pengobatan skleritis yang berulang.
1. Methylprednisolone (Depo-Medrol, Solu-Medrol, Medrol)
Pemberian IM atau IV. Biasanya digunakan sebagai tambahan agen
imunosupresif lainnya.
Dosis: 2-60 mg/hari dibagi sekali sehari atau 2 kali sehari PO
Metilprednisolon asetat: 10-80 mg IM setiap 1-2 minggu
Jika diberikan sebagai pengganti sementara untuk pemberian oral, berikan
dosis IM setiap harinya sama dengan dosis oral.
Untuk efek jangka panjang, berikan dosis oral 7 kali setiap harinya IM setiap
minggu.
Hanya metilprednisolon sodium sukinat dapat diberikan secara IV
Dosis: 1 g IV selama 1 jam selama 3 hari
18
2. Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred)
Digunakan untuk mengobati reaksi peradangan dan alergi. Bekerja dengan
cara meningkatkan permeabilitas kapiler dan menekan kerja PMN, serta dapat
menurunkan peradangan.
Dosis: 5-60 mg/hari PO setiap hari atau dibagi 2 kali sehari sampai 4 kali
sehari.
VIII. Komplikasi
Skleritis dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi. Makular
edema dapat terjadi karena perluasan peradangan di sklera bagian posterior sampai
koroid, retina, dan saraf optik.
12
Makular edema dapat mengakibatkan penurunan
penglihatan. Komplikasi lainnya yaitu perforasi dari sklera yang mengakibatkan
hilangnya kemampuan mata untuk melihat. Skleromalasia juga dapat terjadi, terutama
pada skleritis dengan rheumatoid arthritis. Obat kortikosteroid juga dapat memicu
terjadinya perforasi serta meningkatkan tekanan intraokular sehingga beresiko
merusak saraf optik akibat glaukoma. Tanpa pengobatan segera dapat terjadi kondisi
seperti katarak, ablasio retina, keratitis, uveitis, atau atrofi optik. Uveitis anterior
terjadi pada sekitar 30% kasus skleritis. Sedangkan uveitis posterior terjadi pada
hampir seluruh kasus skleritis posterior, namun tak jarang juga dijumpai pada kasus
skleritis anterior.
2
Skleritis dapat berulang dan berpindah ke posisi sklera yang
berbeda.
8

IX. Prognosis
Individu dengan skleritis ringan biasanya tidak akan mengalami kerusakan
penglihatan yang permanen. Hasil akhir cenderung tergantung pada penyakit penyerta
yang mengakibatkan skleritis. Necrotizing scleritis umumnya mengakibatkan
hilangnya penglihatan dan memiliki 21% kemungkinan meninggal dalam 8 tahun.
8
Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
19
Kesimpulan


Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya
infiltrasi seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler.
1
Skleritis merupakan
penyakit yang jarang terjadi. Skleritis biasanya terjadi bersama dengan penyakit
sistemik, yaitu penyakit autoimun dan infeksi, namun bisa juga terjadi secara
idiopatik. Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa
nyeri berat yang dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Selain itu terdapat pula mata
merah berair, fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan.
Skleritis dapat digolongkan menjadi skleritis anterior dan skleritis posterior.
Sekitar 94% kasus skleritis merupakan skleritis anterior dan sisanya adalah skleritis
posterior. Skleritis anterior sendiri dapat dibagi lagi menjadi 4 macam yaitu diffuse
anterior scleritis, nodular anterior scleritis, necrotizing scleritis with inflammation,
dan necrotizing scleritis without inflammation (scleromalacia perforans). Untuk
mendiagnosa skleritis diperlukan adanya anamnesis, pemeriksaan fisik dan
oftalmologi, serta pemeriksaan penunjang.
Skleritis dapat didiagnosa banding dengan episkleritis. Namun kedua penyakit
ini dapat dibedakan melalui lokasi terjadinya peradangan. Pada episkleritis, proses
peradangan hanya terlokalisir di daerah episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan
konjungtiva. Sedangkan pada skleritis proses peradangan dapat meluas ke seluruh
bagian sklera. Selain itu, rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat dibedakan dari rasa
nyeri ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering dideskripsikan pasien
sebagai sensasi benda asing di dalam mata.
3
Tatalaksana skleritis membutuhkan pengobatan sistemik. Obat-obatan yang
biasa dipakai yaitu NSAIDs, kortikosteroid, agen imunosupresan, dan
imunomodulator. Apabila terdapat penyakit penyerta, harus dikonsultasikan ke bagian
terkait. Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit skleritis yaitu edema makular,
perforasi sklera, glaukoma, uveitis, katarak, dan keratitis. Prognosis skleritis
seringkali tergantung pada penyakit sistemik yang menyertainya. Necrotizing scleritis
dapat menyebabkan hilangnya penglihatan secara permanen.
20

Daftar Pustaka
1. Riordan-Eva, Paul, John P.Whitcher. Vaughan & Asburys General
Ophthalmology. USA: Mc.GrawHill; 2008.
2. E.Smith, Morton. External Disease and Cornea. San Francisco: American
Academy of Ophthalmology; 1985.
3. Easty, DL, G.Smolin. External Eye Disease. England; Butterworths; 1985.
4. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2010.
5. Waldron, Rondra G. B-Scan Ocular Ultrasound [Online]. 2009. Tersedia pada
http://emedicine.medscape.com/article/1228865-overview. {Dikutip tanggal
10 April 2011}
6. Anonim. Sclera [online]. 2010. Tersedia pada
http://www.stlukeseye.com/anatomy/sclera.html. {Dikutip tanggal 29 Maret
2011}
7. Anonim. Scleritis [online]. Tersedia pada
http://cms.revoptom.com/handbook/sect2g.htm. {Dikutip tanggal 29 Maret
2011}
8. Anonim. Scleritis [online]. 2004. Tersedia pada
http://www.mdguidelines.com/scleritis. {Dikutip tanggal 29 Maret 2011}
9. Axenfeld, T Heidelberg. What is the thickness of the sclera [online]. 2006.
Tersedia pada
http://www.images.missionforvisionusa.org/anatomy/2006/03/what-is-
thickness-of-sclera.html. {Dikutip tanggal 29 Maret 2011}
10. De la Maza, Maite Sainz, MD, PHD. Scleritis [online]. 2010. Tersedia pada
http://emedicine.medscape.com/article/1228324-overview. {Dikutip tanggal
29 Maret 2011}
11. Gaeta, Theodore J. Scleritis in Emergency Medicine [online]. 2008. Tersedia
pada http://emedicine.medscape.com/article/809166-overview. {Dikutip
tanggal 29 Maret 2011}
21
12. Smolin, Gilbert et al. Smolin and Thofts The Cornea : Scientific Foundations
and Clinical Practice. Edisi ke 4. Philadelphia: LIPPINCOTT WILLIAMS
& WILKIN; 2005.
13. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with
rheumatoid arthritis and with other systemic immune-mediated diseases.
Ophthalmology. 1994.
14. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with systemic
vasculitic diseases. Ophthalmology. 1995.
15. French DD, Margo CE. Postmarketing surveillance rates of uveitis and
scleritis with bisphosphonates among a national veteran cohort. Retina. 2008.
16. Anonim. Hypersensitivity and Chronic Inflammation [online]. 2002. Tersedia
pada http://www-immuno.path.cam.ac.uk {Dikutip tanggal 4 April 2011}
17. Thill M, Richard G. Giant pigment epithelial tear and retinal detachment in a
patient with scleritis. Retina. Jul-Aug 2005;25(5):667-8. [Medline].
18. Patel, Sayjal J, Diane C Lundy. Ocular Manifestations of Autoimmune
Disease. Journal of American Family Physician. 2002 Sep 15;66(6):991-998.

Anda mungkin juga menyukai