Anda di halaman 1dari 15

CLINICAL SCIENCE SESSION

KOMPLIKASI IMOBILISASI
Disusun Oleh:

Hafdzi Maulana 1301-1213-0619
Ngu ling Yee 1301-1213-2522
Semalina Wahyudi 1301-1212-0632

Preseptor:
Tri Damiati P, dr., SpRM





BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RSUP HASAN SADIKIN
BANDUNG
2014
DEFINISI
Immobilisasi merupakan sebuah keadaan dimana pasien dalam kondisi tirah baring,
tidak bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atau impairment (ganguan pada
alat/organ tubuh) yang bersifat fisik atau mental.

EPIDEMIOLOGI
Immobilisasi lama dapat terjadi pada semua orang, tetapi mayoritas terjadi pada
pasien dengan usia lanjut, gangguan musculoskeletal, pasca operasi atau penyakit kronis yang
memerlukan tirah baring lama misalnya pada pasien infark miokardial. Dampak immobilisasi
lama yang paling sering adalah ulkus dekubitus yang bisa mencapai 11% dan terjadi dalam
kurun waktu dua minggu. Perawatan emboli paru 0.9 %.

TINGKAT MOBILITAS
Menurut Braden & Bergstrom (1989), dalam skala Braden, tingkat mobilitas terdiri
dari empat tingkat :
1. Tidak terbatas : Melakukan perubahan posisi yang bermakna dan sering tanpa bantuan.
2. Agak terbatas : Sering melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstremitas
secara mandiri tetapi memiliki beberapa keterbatasan.
3. Sangat terbatas : kadang melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstremitas
tetapi tidak dapat melakukan perubahan yang sering.
4. Imobilisasi : Tidak dapat melakukan perubahan baik pada posisi tubuh maupun pada
ekstremitas tanpa adanya bantuan.

KLASIFIKASI
1. Immobilisasi fisik merupakan pembatasan gerak secara fisik dengan tujuan mencegah
terjadinya gangguan komplikasi pergerakan seperti pada pasien hemiplegia.
2. Immobilisasi intelektual merupakan pembatasan gerak daya pikir seseorang, seperti
pada pasien dengan kerusakan otak.
3. Immobilisasi emosional merupakan pembatasan gerak emosi seseorang akibat adanya
perubahan yang tiba-tiba dalam proses penyesuaian diri, seperti yang terjadi pada
pasien pasca amputasi.
4. Immobilisasi sosial merupakan pembatasan gerak sosial sesorang dalam melakukan
interaksi dengan lingkungannya.

KOMPLIKASI
Dampak buruk immobilisasi adalah deconditioning, dimana terjadi penurunan
kapasitas fungsional sistem musculoskeletal serta sistem tubuh yang lain. Keadaan ini bisa
terjadi pada berbagai usia dan jenis kelamin terutama pada pasien dengan kondisi sakit kronis
yang memerlukan tirah baring yang lama, usia lanjut dan cacat.
Efek dari immobilisasi ini jarang terjadi pada satu organ tertentu. Dampak dari
keadaan ini bisa berupa berkurangnya kapasitas fungsional sistem musculoskeletal sehingga
terjadi kelemahan, atrofi dan daya tahan otot yang menurun atau pada sistem tubuh yang
lainnya seperti penurunan kapasitas fungsional otot jantung, gangguan pada sistem
gastrointestinal serta genitourinaria. Secara umum, dampak buruk dari immobilisasi bisa
dilihat pada tabel di bawah.


Tabel 1: Dampak buruk dariimmobilisasi
Sistem Efek
Muskuloskeletal Kontraktur
Otot yang lemah serta atrofi
Osteoporosis karena immobilisasi
Hiperkalsemia karena immobilisasi
Kardiovaskular dan pulmonary Redistribusi cairan tubuh
Orthostatic hypotension
Penurunan kapasitas fungsional
kardiopulmonar
Thromboembolism
Resistensi mekanikal untuk bernafas
Hypostatic pneumonia
Genitourinaria dan gastrointestinal Stasis urinaria
Batu ginjal
Infeksi
Hilang nafsu makan
Konstipasi
Endokrin dan metabolism gangguan metabolik
intoleransi glukosa
peningkatan produksi
hormonparatiroid
Perilaku dan kognitif disorientasi
penurunan sensoris
cemas dan depresi
penurunan kapasitas intelektual
gangguan keseimbangan seta
koordinasi


Gambar 1. Lingkaran faktor inaktivitas, immobilisasi serta tirah baring lama dalam
mempengaruhi fungsional tubuh
























DAMPAK IMOBILISASI TERHADAP SISTEM MUSKULOSKELETAL

Untuk dapat bergerak optimal secara fisiologis membutuhkan fungsi dari otot, saraf,
tulang, dan sendi. Hambatan dalam pergerakan sendi dapat mempengaruhi kemampuan
berjalan atau penggunaan ekstrimitas atas sehingga dapat mengganggu mobilisasi dan
kemampuan melakukan kegiatan sehari-hari (Activities of Daily Living).
Terdapat 3 tipe efek dari imobilisasi pada sistem muskuloskeletal, yaitu:
1. Kelemahan dan atrofi otot
2. kontraktur sendi
3. osteroporosis imobilisasi.

1. Kelemahan dan Atrofi Otot
Pada posisi berbaring, aktivitas otot minimal akibat penurunan gaya gravitasi dan
hipokinesia. Imobilisasi yang progresif mengakibatkan reduksi kekuatan, ukuran, dan
enduransi otot sehingga mengakibatkan kelemahan dan deconditioning kardiovaskular. Pada
inaktivitas Kondisi penyakit
Peningkatan disabilitas
Penurunan kapasitas
fungsional system
kardiovaskular dan sistem
tubuh lain
deconditioning
Penurunan kapasitas
fungsional sistem
muskuloskeletal
Penurunan aktivitas otot
inaktivitas
banyak pasien kondisi ini bersifat reversibel, hanya saja pada penderita gangguan neurologis
dan muskuloskeletal kondisi fungsional otot akan sangat bermasalah.
Pada kondisi tirah baring, otot akan kehilangan kekuatannya sebanyak 10-15% setiap
minggu. Pasien dengan tirah baring selama 3-5 minggu akan kehilangan setengah dari
kekuatan ototnya. Setelah 4 minggu imobilisasi muscle net weight akan berkurang hingga
69%.


Sintesis protein menjadi berkurang pada kondisi immobilisasi dan diperkirakan
merupakan faktor utama yang menjurus kepada terjadinya atrofi otot. Pada tampilan
histologis, terjadi penurunan area gelap ATPase tipe II sebanyak 46% dan area terang
ATPase tipe II sebanyak 69%. Pada awal immobilisasi, terjadi peningkatan aktivitas enzim
succinate dehydrogenase per serat otot, tetapi kemudian mengalami penurunan secara
signifikan pada akhir immobilisasi. Secara keseluruhan, terjadi penurunan aktivitas enzim
oksidasi pada otot .
Penurunan aktivitas enzim oksidasi ini mengakibatkan kegagalan fungsi
mitokondria sehingga mengakibatkan pemecahan molekul-molekul protein serta terjadinya
kehilangan ion nitrogen pada pasien dengan immobilisasi lama.
Selain itu, penurunan kapasitas enzim juga menyebabkan berkurangnya ekstraksi
oksigen dari darah. Keadaan ini mengakibatkan otot-otot lebih cenderung melakukan
Inaktivitas
Penurunan aktivitas muskular
Penurunan kapasitas
fungsional sistem
muskuloskeletal
Inaktivitas
Penurunan kapasitas fungsional
sistem kardiovaskular dan
sistem lainnya
total body conditioning
Kondisi penyakit
Peningkatan disabilitas
Gambar 1. Pengaruh inaktivitas dan imobilisasi terhadap total body functioning
respirasi anaerobik sehingga terjadinya pengumpulan asam laktat dan pada akhirnya otot
menjadi lebih cepat lelah serta daya tahan otot berkurang. Perubahan pada bentuk dan ukuran
end plate serta fungsi reseptor asetilkolin juga menyumbang ke arah penurunan daya tahan
otot
Sejalan dengan perubahan serat otot, terjadi peningkatan relatif dari konten dan
cross-linkage kolagen.Keadaan ini menyebabkan terjadinya rigiditas serta kontraksi
miogenik.

Pencegahan dan Penatalaksanaan
Kelemahan otot akibat tidak digunakan sederhana untuk dicegah. Pasien perlu
dimotivasi untuk tetap melakukan aktivitas normal. Kekuatan otot dapat dipertahankan
dengan program kontraksi otot dari 30-50% maximal tension selama beberapa detik setiap
hari. Kelemahan otot dan atrofi dapat dicegah dengan penggunaan stimulasi elektrik untuk
menjaga ukuran otot dan kekuatannya serta dapat memperpendek waktu rehabilitasi. Dapat
pula dilakukan stimulasi dengan direct rectangular biphasic pulse sebanyak 3 sesi per hari
selama 30 menit. Pada kondisi imobilisasi lama yang mengakibatkan kontraktur terfiksasi,
dibutuhkan peregangan dan penguatan otot selama beberapa bulang dan kekuatan otot tidak
dapat kembali seutuhnya.

2. Kontraktur Sendi
Definisi kontraktur adalah berkurangnya range of motion (ROM) penuh aktif dan
pasif akibat keterbatasan sendi, otot, atau jaringan lunak sekitarnya. Berbagai kondisi yang
dapat mengakibatkan keterbatasan ini termasuk nyeri sendi, paralisis, fibrosis jaringan
kapsular atau periartikular, kerusakan otot primer. Faktor utama tersering yang menyebabkan
keluhan ini adalah kurangnya mobilisasi sendi terhadap luas gerak sendi penuh yang
diperbolehkan. Imobilisasi lama menyebabkan berkurangnya panjang otot saat istirahat dan
memendeknya kolagen pada kapsul sendi dan jaringan lunak lainnya.
Banyak faktor, seperti posisi alat gerak, durasi imobilisasi, kondisi patologis dan
keterbatasan gerak sendi yang telah ada sebelumnya mempengaruhi laju terjadinya kontraktur
tersebut. Edema, iskemia, perdarahan, dan perubahan pada lingkungan otot dan jaringan
periartikular dapat memicu terjadinya fibrosis. Penuaan perlu dipertimbangkan karena terjadi
kehilangan serabut otot dan peningkatan proporsi jaringan ikat pada tubuh orang tua.
Kontraktur yang dipicu perubahan patologis pada sendi dan otot diklasifikasikan
menjadi 3 kelompok, yaitu: arthrogenik, myogenik, dan jaringan lunak.

Tabel Klasifikasi Anatomis Kontraktur
Tipe Kontraktur Penyebab
Arthrogenik Kerusakan kartilago, inkongruen sendi (deformitas kongenital),
inflamasi, trauma, penyakit sendi degeneratif, infeksi, imobilisasi
Proliferasi sinovial dan jaringan fibrofatty (inflamasi), efusi
Fibrosis kapsular (trauma, imobilisasi, inflamasi)
Jaringan ikat lunak
dan padat
Jaringan ikat lunak periartikular (trauma, imobilisasi, inflamasi)
Kulit, jaringan subkutan (trauma, luka bakar, infeksi, sklerosis
sistemik)
Tendon dan ligamen (tendinitis, bursitis, robekan dan fibrosis
ligamen)
Myogenic
Intrinsic, struktural Trauma (perdarahan, edema, imobilisasi)
Inflamasi (myositis, polymyositis)
Perubahan degeneratif (distrofi muskular)
Iskemia (diabetes, peripheral vascular disease, compartment
syndrome)
Ekstrinsik Spastisitas (stroke, sklerosis multipel, injuri medulla spinalis,
upper motor neuron disease
Paralisis flaccid (faulty position, muscle imbalance)
Mekanik (faulty position saat tidur dan duduk, imobilisasi, kurang
peregangan
Mixed (campuran) Kombinasi kontraktur arthrogenic, jaringan lunak dan otot pada
satu sendi


Perubahan morfologik
Pada keadaan trauma atau inflamasi dari jarigan ikat, sel mesenkimal berdiferensiasi
menjadi fibroblas yang kemudian memproduksi kolagen yang kemudian tersusun secara
acak. Jika sintesis kolagen lebih banyak daripada pemecahannya, dapat terjadi fibrosis yang
berlebihan. Ketidakseimbangan sintesis dan pemecahan kolagen ini dipengaruhi oleh faktor
fisik seperti kurangnya peregangan yang biasa dilihat pada imobilitas dan inaktivitas yang
lama. Trauma dengan perdarahan ke dalam jaringan lunak dan otot, inflamasi, degenerasi
atau iskemia juga dapat menstimulasi sintesis kolagen. Pada keadaan ini, kurangnya regangan
dari otot dan mobilitas akan menyebabkan fibril kolagen menjadi bertambah padat. Sintesis
kolagen pada otot juga dipengaruhi level aktivitas otot.

Kontraktur yang diakibatkan oleh keadaan patologi dapat dibedakan menjadi artrogenik,
miogenik dan jaringan lunak:
Kontraktur Atrogenik
o Proses patologis melibatkan komponen komponen sendi, seperti : degenerasi
kartilago, inflamasi synovial yang dapat mengakibatkan kekakuan pada kapsular
dan fibrosis. Inflamasi dan efusi synovial yang disertai rasa sakit dapat
mengakibatkan terbatasnya pergerakan sendi dan kontraktur kapsular.
o ROM pasif selama arthritis akut dapat meningkatkan IL-1, IL-1 penetrasi ke
dalam kartilago dan berikatan dengan reseptor di membrane kondrosit dan
menghambat pembentukan proteoglikan yang penting untuk proteksi kartilago.
Oleh itu, immobilisasi jangka pendek adalah disarankan.
o Kapsul sendi juga bisa kehilangan ekstensibilitas akibat pemendekan serat
kolagen. Penyebabnya adalah karena peregangan sendi yang kurang dan posisi
fleksi. Pada kontraktur kapsular, ROM terbatas ke segala arah. Sendi bahu dan
pinggul paling sering mengalami kontraktur kapsul. Pemendekan kapsul posterior
sendi lutut juga bisa terjadi pada pasien yang menggunakan kursi roda karena
posisi fleksi terlalu lama.

Kontraktur Miogenik pemendekan dari panjang otot yang disebabkan:
o Faktor intrinsik (struktural)
Inflamasi
Perubahan degeneratif (distrofi muskular)
Trauma
o Faktor ekstrinsik
Spastisitas (paralisis, kerusakan medula spinalis, sklerosis multipel)
Flaccid paralysis
Mekanis (imobilisasi, kurang peregangan)

Kontraktur Jaringan Padat dan Lunak
o Trauma terhadap jaringan lunak dengan pendarahan bisa menyebabkan fibrosis
dan menjadi kontraktur bila peregangan tidak dilakukan. Dalam kondisi ini serat
kolagen berproliferasi dan membentuk jalinan. Keterbatasan gerak hanya terjadi
pada satu aksis.
o Kulit yang terbakar rentan terhadap kontraktur. Selama masa penyembuhan, luka
terbakar yang melewati sendi harus sering digerakkan dan diposisikan melawan
pemendekan dari jaringan parut.
o Imobilisasi dapat menyebabkan perubahan biomekanik dan biokimia pada
ligament. Proses yang terjadi pada ligament selama imobilisasi yaitu penurunan
sintesis kolagen dan peningkatan aktivitas osteoklas pada tulang tempat insersi
ligamen.

Pencegahan Kontraktur Sendi dan Perbaikan Gerakan Sendi
Ada dua prinsip untuk mencegah kontraktur arthrogenik dan jaringan lunak, yakni
memposisikan sendi secara optimal dan mobilisasi sendi secara dini. Mobilisasi sendi
dilakukan secara aktif maupun pasif. Remobilisasi dilakukan segera setelah terjadinya infeksi
sendi maupun setelah operasi sendi. Setelah itu dilanjutkan dengan pemberian alat untuk
memfasilitasi gerakan pasif sendi.

3. Osteoporosis
Massa tulang akan meningkat bila ada beban dan akan berkurang jika tidak terdapat
aktivitas otot
Massa tulang mulai berkurang pada decade ke4-5 kehidupan, terjadi sangat cepat pada
wanita saat 5-7 tahun pertama setelah menopause
Imobilisasi menyebabkan penurunan kepadatan tulang, dicirikan dengan hilangnya
kalsium dan hidroksiprolin dari cancellous bone epifisis dan metafisis tulang panjang.
Penyebab utama adalah resorpsi tulang yang belum diketahui. Osteoporosis ini dapat
dicegah dengan latihan isotonic atau isometric, ambulasi.
Pasien dengan imobilisasi lama juga mengalami hiperkalsemia dan hiperkalsiuria.
Tanda hiperkalsemia yaitu anoreksia, nyeri abdomen, mual, muntah, konstipasi,
bingung dan bisa menjadi koma. Hal ini dapat diobati dengan hidrasi dengan normal
salin dan dieresis furosemid.
Terapi inhibisi resorpsi tulang dengan diberikan bifosfonat.




KOMPLIKASI KARDIOVASKULAR PADA IMOBILISASI
1. Redistribusi Cairan Tubuh
Tekanan pada kolom darah di pembuluh batang tubuh dan ekstremitas bawah pada saat
berdiri berhubungan dengan perpindahan 800 ml darah ke kaki. Pada posisi berbaring
telentang, tekanan hidrostatik ini hilang, mengakibatkan darah sejumlah 500-700 ml
kembali ke paru-paru dan bilik kanan jantung. Hal ini menyebabkan meningkatnya
volume darah sentral dan distensi dari baroreseptor, yang selanjutnya berakibat pada
supresi hormon antidiuretik oleh nervus vagus. Beberapa hari tirah baring
mengakibatkan diuresis yang signifikan, dengan hilangnya plasma darah sampai dengan
8-12%, dan 2-4 minggu tirah baring akan mengakibatkan kehilangan plasma sebesar 15-
20%. Perubahan distribusi cairan tubuh ini mengakibatkan efek kompensasi berupa
takikardia, dan juga penurunan cardiac output dan stroke volume (dengan kata lain,
terjadi cardiac insufficiency yang mengakibatkan menurunnya toleransi terhadap latihan
dan kapasitas kerja). Kehilangan plasma darah akan meningkatkan viskositas darah yang
bisa memicu tromboembolisme.
2. Peningkatan Denyut Jantung dan Penurunan Cardiac Reserve
Pada immobilisasi denyut jantung meningkat (umumnya menjadi 80 bpm),
kemungkinan karena adanya peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis. Saat bed rest
denyut nadi istirahat jadi lebih cepat 1 beat permenit setiap 2 hari. Meningkatnya
denyut jantung menyebabkan waktu pengisian diastolik menjadi lebih singkat dan
waktu ejeksi sistolik juga memendek, akibatnya jantung kurang dapat merespon
kebutuhan metabolik lebih banyak. Semakin pendek waktu diastolik menyebabkan
aliran darah koroner berkurang, sehingga ketersediaan oksigen untuk otot jantung
sangat terbatas. Cardiac output, stroke volume, dan fungsi ventrikel kiri juga akan
berkurang. Jika terdapat sedikit saja aktivitas fisik berlebih akan menyebabkan
takikardi dan angina, ini merupakan tanda bahwa kapasitas kerja sesorang berkurang.
Untuk mengendalikan efek negatif bed rest dan untuk membangun kembali daya
tahan, pasien hendaknya melakukan latihan ringan. Latihan dapat menggunakan
sepeda ergometer ataupun arm ergometry untuk pasien dengan gangguan pada
ekstremitas bawah.





3. Hipotensi Ortostatik
Hipotensi ortostatik terjadi jika sistem kardiovaskular tidak dapat beradaptasi secara
normal terhadap posisi tubuh berdiri. Hipotensi ortostatik muncul setelah 3 minggu
bed rest (bisa muncul lebih awal pada orang lanjut usia). Hal ini bersama dengan
denyut jantung yang cepat menyebabkan pengisian ventrikel saat diastole jadi
berkurang, akibatnya perfusi serebral juga akan berkurang.
Ketika seseorang yang menjalani tirah baring lama berpindah ke posisi tegak, ia dapat
mengalami hipotensi postural. Hal ini disebabkan kurangnya respon sistem adrenergik
simpatis saat terjadi perpindahan darah dari paru-paru dan jantung ke kaki. Gejala
hipotensi postural dapat berupa pucat, berkeringat, pusing, berkurangnya tekanan
sistolik (biasanya lebih dari 20 mmHg), meningkatnya detak jantung (biasanya lebih
dari 20 x/menit), dan penurunan pulse pressure sebanyak 70% atau lebih karena darah
terkumpul di kaki. Pasien tersebut dapat pingsan. Apabila pasien memiliki penyakit
jantung koroner, hipotensi postural dapat memicu timbulnya angina karena
berkurangnya diastolic filling.
Butuh waktu lebih lama untuk mengembalikan fungsi kardiovaskular ini ke normal
daripada untuk mengganggunya. Proses rekondisioning bergantung pada lamanya
tirah baring dan dapat berlangsung selama beberapa minggu atau bulan. Tindakan
efektif yang dapat dilakukan untuk pencegahan adalah mobilisasi sesegera mungkin
dan latihan penguatan untuk otot-otot mayor. Pasien juga harus mengembalikan
toleransi tubuhnya terhadap posisi tegak untuk menghindari/mengurangi hipotensi
postural.
Penanganan hipotensi ortostatik meliputi latihan pada daerah kaki, mobilisasi dan
ambulasi segera, juga bantuan dengan menggunakan stocking elastic.

4. Venous Thromboembolism
Venous thromboembolism terjadi terutama akibat stasis pada vena dan bisa juga
karena peningkatan koagulabilitas darah. Stasis terjadi pada daerah kaki diikuti
penurunan kontraksi otot gastrocnemius dan soleus. Mayoritas trombus vena dalam
terjadi pada daerah betis dan berasal di sinus soleus. Semakin proksimal lokasi vena
yang trombus, semakin besar kemungkinan terjadinya emboli pulmoner. Jika terjadi
emboli pulmoner, maka mortalitasnya 20-35% bila tidak ditangani. Lamanya bed rest
berkaitan secara langsung dengan frekuensi munculnya thrombosis vena dalam.
Pasien yang mengalami trombosis vena dalam bisa saja tidak menampakkan gejala.
Apabila muncul gejala umumnya berupa sakit dan nyeri tekan, pembengkakan,
distensi vena, sianosis ataupun kemerahan pada daerah yang trombosis. Lebih dari
50% pasien yang menampakkan gejala klinis tidak memberi tanda khusus di hasil
venografinya. Untuk pemeriksaan yang lebih sensitif dan spesifik bisa dengan
menggunakan USG Doppler, impedance plethysmography, dan venografi kontras
(gold standar).
Jika terjadi emboli pulmoner pasien akan menampakkan gejala dyspnea, takipnea,
takikardi, nyeri dada pleuritik, batuk dengan/tanpa darah, ataupun efusi. Tanda yang
kurang spesifik lainnya seperti demam, confusion, wheezing, dan aritmia. Pada kasus
yang sudah parah gejala akan menyerupai gagal jantung kanan. Untuk membedakan
dengan kelainan jantung bisa dilakukan EKG.
Terapi tromboemboli vena adalah dengan mengurangi stasis vena dengan fisioterapi
seperti latihan, elevasi kaki, penggunaan stocking elastik, ambulasi awal, dan
kompressin mekanis. Untung mengurangi koagulabilitas darah bisa digunakan
dextran, obat antiplatelet seperti acetylsalicylic acid, dan antikoagulan seperti
warfarin dan heparin. Terapi diberikan sampai pasien benar-benar bisa melakukan
ambulasi dengan baik. Sedangkan tindakan pencegahan yang efektif berupa
penggunaan heparin dosis rendah, kompressi pneumatik yang intermiten, oral
antikoagulan, dan dextran.

KOMPLIKASI GASTROINTESTINAL PADA IMOBILISASI

Immobilisasi bisa menyebabkan perubahan pada sistem gastrointestinal berupa kehilangan
nafsu makan, kecepatan absorpsi yang lebih lambat, dan hipoproteinemia.Kehilangan nafsu
makan menyebabkan anoreksia dan malnutrisi. Pasase makanan melalui esophagus, lambung,
dan usus kecil lebih lambat pada posisi berbaring. Posisi tegak meningkatkan kecepatan
gelombang esofagus dan mempersingkat waktu relaksasi esofagus bagian bawah. Transit
makanan melalui lambung adalah 60% lebih lambat dalam posisi berbaring daripada ketika
orang itu dalam posisi tegak. Oleh karena itu disaranakan untuk pasien yang belum bisa
duduk sempurna untuk meninggikan badan dan kepala dengan 2-3 bantal saat makan.
Konstipasi merupakan komplikasi yang paling umum terjadi pada pasien immobilisasi,
karena pada keadaan immobile akan ada peningkatan aktivitas adrenergic sehingga gerakan
peristaltik terhambat. Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon.
Semakin lama feses tinggal di usus besar, absorpsi cairan akan lebih besar sehingga feses
akan menjadi lebih keras. Asupan cairan yang kurang, dehidrasi, dan penggunaan obat-obatan
juga dapat menyebabkan konstipasi pada pasien imobilisasi. Selain itu, penggunaan pispot
untuk eliminasi tinja menempatkan pasien dalam posisi nonphysiologic dan keinginan untuk
buang air besar berkurang disebabkan rasa malu.
Untuk mencegah konstipasi, asupan makanan harus cukup serat dan cairan. Penggunaan stool
softener juga dapat membantu. Pemberian obat-obatan golongan narkotik juga sebaiknya
dibatasi karena bisa memperlambat peristaltis.

DAFTAR PUSTAKA
1. DeLisa Gens Rehabilitation Medicine. 3
rd
ed. p. 1447-64.
2. Dittmer DK Teasell R. Complications of immobilization and bed rest. Part 1:
Musculoskeletal and cardiovascular complications. Can Fam Physician. 1993 June
39:1428-37.
3. Frederic J. Kottke, Justus F. Lehmann. .Handbook of physical medicine and
rehabilitation. Philadelphia : Saunders, 1990.
4. Kottke. Krusens Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation. Ed 4.
Philadelphia : WB Saunders. 1990.
5. L. Braddom,Randall. Handbook Of Physical Medicine And Rehabilitation. W.B.
Saunders Company. 2000

Anda mungkin juga menyukai