Anda di halaman 1dari 22

Page 1

BAB I
PENDAHULUAN


1. Latar Belakang

Ekstrimitas Bawah atau kaki adalah organ yang berperan banyak dalam kehidupan kita
sehari-hari dengan kaki kita bergerak, berjalan dan kaki pun berfungsi untuk menopang tubuh
kita.Ekstrimitas bawah atau kaki terdiri dari 4 regio(daerah) berupa regio femoris, regio genu,
regio cruris dan regio pedis. Gangguan yang terjadi pada regio-regio diatas tersebut dapat
menyebabkan gangguan pada fungsi kaki baik ringan maupun berat dan tentunya hal ini akan
mengganggu kita didalam beraktifitas.

Kongenital Talipes Equinovarus (CTEV) adalah salah satu kelainan bawaan pada daerah
pedis, keistimewaan kelainan bawaan pada system musculoskeletal seperti CTEV ialah selama
perkembangannya, baik pertumbuhan maupun pematangan, dapat mengakibatkan kelainan
menetap yang lebih berat, atau sebaliknya, menghasilkan perbaikan sehingga kelainannya sama
sekali hilang. Oleh karena itu, pada pengelolaannya harus dipikirkan kemungkinan efek
pertumbuhan dan maturasi dengan pengaruhnya terhadap anatomi dan faal dan sebaliknya.

Menurut data yang didapat dari US kelainan ini diderita 1-2 bayi per 1000 kelahiran
hidup, di Indonesia belum ada pencatatan tentang penyakit ini. Penyakit ini terkadang tidak
disadari oleh orang tua yang baru melahirkan bayi dan akhirnya seringkali terapi dilakukan
terlambat atau bahkan sampai terbengkalai.







Page 2
2. Tujuan

Tujuan makalah kita memahami tentang:
1. Pengertian CTEV
2. Etiologi CTEV
3. Patofisiologi CTEV
4. Komplikasi CTEV
5. Pemeriksaan pada CTEV
6. Terapi pada CTEV


3. Manfaat

1. Menambah pengetahuan kita tentang CTEV
2. Sebagai lini utama dalam kesehatan kita dapat mengenali CTEV
3. Setelah mengenali kita dapat merujuk kepada dokter spesialis ortopedi















Page 3
BAB II
PEMBAHASAN


1. Anatomi Pedis
(1,2)

Pedis pada manusia terdiri dari 26 tulang, yang dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
7 tulang tarsal
5 tulang metatarsal
14 tulang phalanges
Pedis atau kaki, dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu: kaki belakang (hindfoot), kaki tengah
(midfoot), kaki depan (forefoot). Kaki belakang terdiri dari 2 tulang dari 7 tulang tarsal yaitu
tulang kalkaneus dan talus dan kelima sisa tulangnya termasuk dalam kaki tengah, dan kaki
depan terdiri dari tulang metatarsal dan phalanges.

1.1 Anatomi tulang Pedis

Tulang tarsal terdiri dari 7 tulang yaitu calcaneus, talus, cuboidea
naviculare dan 3 tulang cuneiforme.

1.1.1 Tulang calcaneus

Tulang calcaneus adalah tulang yang terbesar yang terdapat di
region pedis, tulang ini berada di daerah tumit dan berfungsi untuk menopang badan ketika tumit
kita menyentuh permukaan. Tulang ini menjorok keluar pada kaki bagian belakang, merupakan
tempat melekatnya ligament calcaneus. Tulang ini memiliki 3 dimensi dan berbentuk persegi
panjang dan memiliki 6 permukaan. Tulang calcaneus memiliki 2 artikulasi yaitu dengan tulang
cuboid dan talus.



Page 4
1.1.2. Tulang Talus

Talus adalah tulang kedua terbesar pada tulang tarsal dan berada diatas tulang calcaneus pada
bagian belakang kaki. Tulag ini unik karena 2 dari tiga permukaan tulang ditutupi oleh artikulasi
kartilago dan tulang ini tidak memilki insersio entah itu dari tendon atau otot. Tulang ini
memiliki 5 permukaan sendi semua memiliki fungsi menahan berat badan. Tulang ini terbagi
menjadi 3 bagian yaitu kepala, leher dan badan.

1.1.3. Tulang cuboid

Tulang cuboid terletak di sisi lateral kaki, didepan dari tulang calcaneus dan dibelakang tulang
ke empat dan kelima dari metatarsal.

1.1.4. Tulang naviculare

Tulang naviculare terletak pada medial pada kaki tengah diantara talus dan 3 tulang cuneiforme.

1.1.5. Tulang Cuneiforme

Tulang cuneiforme terdiri dari 3 tulang yaitu cuneiforme medial, tengah dan lateral.


Ket: tulang pedis dilihat dari sisi medial dan lateral

Page 5
1.1.6. Tulang metatarsal

Tulang metatarsal terdiri dari tulang kesatu sampai kelima dihitung dari medial ke lateral
masing-masing memiliki kepala, leher dan basis.

karakteristik umum tulang metatarsal; tulang-tulang metatarsal secara kasar berbentuk silinder.
Bentuknya mengecil dari ujung proksimal ke ujung distal. Tulang ini melengkung di sumbu
panjang, pada permukaan plantar berbentuk cekung dan permukaan dorsal cembung.

1.1.7. Tulang phalanges atau jari-jari kaki

Tulang jari-jari kaki berjumblah sama dengan jari-jari tangan, bentuknya pun lumayan sama ada
jempol dan juga telunjuk serta 3 jari lainnya meskipun dalam bentuknya berbeda dari segi
ukuran.
(1)


Ket: gambar tulang pedis (kaki)








Page 6
1.2 Struktur-Struktur pada regio pedis
(2)

Struktur yang berjalan melalui retinaculum extensorum(selaput pembungkus) dari medial
kelateral adalah :
Tendon m. tibialis anterior
Tendon m. ekstensor hallucis longus
a. tibialis anterior
n. peroneus profundus
Tendon m. ekstensor digitorum longus
m. peroneus tertius

Tendon- tendon diatas dikelilingi oleh selubung synovial.

Struktur yang berjalan dibelakang malleolus medialis dari medial kelateral adalah:
Tendon m. tibialis posterior
m. flexor digitorum longus
a. tibialis posterior
n. tibialis
m. flexor hallucis longus
n. suralis











Page 7
2. Definisi

Congenital talipes equinovarus, talipes berasal dari bahasa latin dari kata talus(ankle) dan
pes(foot), berarti sebuah kelainan pada kaki (foot) didaerah ankle/pergelangan. Equinovarus
berasal dari kata equino yang berarti kaki kuda, varus(bengkok kearah medial). Jadi kelainan ini
berupa terfiksasinya kaki depan dalam posisi aduksi dan supinasi, tumit yang mengalami inversi
dan pergelangan kaki dalam keadaan plantar fleksi. Kelainan ini disebut juga clubfoot karena
bentuknya seperti kaki club.
(3)

3. Frekuensi

Di amerika kelainan ini terjadi pada 1 bayi diantara 1000 kelahiran hidup, di skotlandia 2
diantara 1000 kelahiran hidup(ISD data), di Tonga 75 bayi diantara 1000 kelahiran hidup, hal ini
mengindikasikan adanya faktor etnik dalam kelainan ini.
(5,1)

CTEV dapat bersifat unilateral dan bilateral dengan presentasi unilateral sebanyak 29% pada
kaki kanan, 22% pada kaki kiri dan bilateral sebanyak 49%. CTEV dapat bersifat idiopatik atau
syndrome yang disertai dengan gejala neurologis lain seperti spina bififa dll. Pada bayi kembar
monozygot, jika salah satu bayi menderita idiopatic CTEV, maka bayi yang lain hanya 32%
kemungkinan menderita kelainan yang sama.
(1,5)

4. Etiologi Penyakit

Banyak hipotesis tentang etiologi penyakit ini tetapi etiologi sebenarnya dari penyakit clubfoot
ini masih tidak diketahui. Kelainan ini berkaitan dengan perbedaan etnik, adanya resiko
keturunan dari keluarga, penggunaan rokok oleh ibu dalam keadaan melahirkan, adanya riwayat
amniosintesis, oligohydramnion, dan kelainan kromosomal. Meski demikian kebanyakan bayi
dengan clubfoot tidak dapat didefinisikan apakah merupakan kelainan genetik, atau karena
faktor-faktor ekstrinsik seperti disebutkan diatas.
(1,5)



Page 8
5. Patofisiologi
(5)

Banyak Hipotesis dari para pakar tentang patofisiologi penyakit ini, tetapi sampai sekarang
masih di pertentangkan akan kebenarannya, beberapa hipotesis itu antara lain:

1. Trauma mekanik atau posisional hipotesis
Hoffa(1902) mempromosikan hipotesis ini secara luas tentang penyebab dari clubfoot
adalah karena terjadi retriksi uterin, ia meyakini bahwa pergerakan kaki didalam
uteruslah yang menyebabkan ideopatik CTEV. Ia mengatakan bahwa idiopatik CTEV
timbul dari olygohidramnion, dimana penurunan cairan ini menjadi penyebabnya. Namun
demikian yang membuat hipotesis ini meragukan adalah bahwa pada kenyataannya bayi
dengan olygohidramnion biasanya disertai kelainan neurologis lain, hal ini berbeda
dengan idiopatik ctev. Yang kedua adalah kenyataan bahwa CTEV dapat didiagnosis
pada trimester kedua kehamilan dimana hal ini jauh sebelum tekanan intrauterine dapat
mempengaruhi perkembangan fetus.

2. Hipotesis tulang atau persendian
Hipotesis ini mengatakan bahwa ketidaknormalan pada tulang itu sendiri yang
menyebabkan kelainan. Hipocrates menyebutkan: Deformitas melibatkan semua
kombinasi tulang dimana kombinasi inilah yang membentuk tulang kaki. Semua
perubahan yang terlihat dalam bagian yang lunak adalah hal yang sekunder

3. Hipotesis jaringan ikat
Hipotesis ini mengatakan bahwa kelainan primer dari jaringan ikatlah yang bertanggung
jawab atas terjadinya idiopatik ctev. Hipotesis ini didukung oleh asosiasi ICTEV with
joint laxity (Wynne-Davis,1964). Anak-anak yang menderita penyakit ini ditandai
dengan plantar fibrosis, ini ditemukan saat operasi. Ippolito dan Ponseti pada tahun 1980
mendokumentasikan peningkatan jaringan fibrosa pada otot, fasia, ligamen dan selubung
tendon. Dari studi yang melibatkan 5 anak clubfoot dan tiga kaki normal, mereka
menyipulkan bahwa jaringan fibrosis yang bersifat retraksi bisa menjadi faktor dalam
terjadinya ICTEV.
Page 9
4. Hipotesis vaskuler
Atlas et al.(1980) juga mempelajari tentang struktur vaskuler pada clubfoot. Mereka
mendokumentasikan bahwa terdapat kelainan vaskuler dalam 12 fetus yang mimiliki
deformitas pada kaki. Pada tingkat sinus tarsal ditemukan adanya hambatan pada satu
atau dua cabang dari vaskuler pada kaki. Ini adalah hal 'yang paling mencolok pada
periode awal kehidupan janin, dan berkurang menjadi sebuah simpul sederhana dari
infiltrasi lemak dan jaringan fibrosa pada spesimen yang lebih tua dan pada bayi yang
lahir mati'. Individu yang memiliki kelainan ICTEV mempunyai otot yang lemah pada
bagian ipsilateral, dimana ini berhubungan dengan kurangnya perfusi dari perkembangan
arteri tibialis anterior.

5. Hipotesis neurological
Talipes equinovarus adalah salah satu gejala dari syndrome neurological; contohnya,
kelainan ini sering diasosiasikan dengan kelainan neuronal yang sekunder terhadap spina
bifida. Kelainan neuronal dilaporkan terdapat pada 18 kasus dari 44 kasus ICTEV,
dimana pada 18 kasus itu didapatkan kelainan pada tingkatan spinal (Nadeem et al. 2000)

6. Hipotesis gangguan perkembangan
Pada saat perkembangan akhir dari anggota badan manusia (9-38 minggu), proses
penulangan rawan pada kaki selesai, dimulainya proses osifikasi, kavitasi sendi dan
pembentukan ligamen selsesai dan ekstrimitas distal berputar medial (Bareiter,
1995)(Fig.2). Rotasi ini memungkinkan telapak kaki menghadap ketanah bukannya
menghadap sisi abdomen, seperti yang terlihat pada kaki pada periode embrio akhir.
Pronasi terus berlangsung dari kelahiran sampai pengembangan pascakelahiran. Bohm
(1929) meneliti hipotesis gangguan perkembangan, Hueter dan von Volkmann dalam
deskripsi anatominya dengan hati-hati meneliti kaki selama pengembangan. Dia membuat
model lilin dari kerangka kaki janin di usia kehamilan yang berbeda. Pengamatannya
membuatnya menyimpulkan bahwa clubfoot yang parah menyerupai kaki embrio pada
awal bulan kedua dan deformitasnya disertai dengan keterbelakangan tulang dan otot.
Temuannya kemudian direplikasi oleh Kawashima & Uhthoff (1990). Studi ini
mendukung pandangan bahwa clubfoot mungkin timbul karena adanya gangguan pada
Page 10
rotasi medial normal kaki dalam perkembangan janin akhir. Memang, mungkin saja
terjadi ICTEV sebagai akibat dari gangguan kontrol genetik dari proses rotasi pada janin.

(Fig. 2)
Kesimpulan:

Faktor genetik dan lingkungan memegang peranan penting dalam menyebabkan Idiopatik
CTEV. Ada bukti bahwa perkembangan tulang, sendi, jaringan, ikat persarafan, pembuluh darah
dan otot masing-masing terlibat dalam patofisiologi tersebut. Gangguan dari keseluruhan proses
rotasi medial kaki janin juga mungkin terkait dengan semua aspek perkembangan terjadinya
kelainan ini. Kemungkinan ada lebih dari satu penyebab yang berbeda, dan setidaknya dalam
beberapa kasus fenotipe dapat terjadi sebagai akibat dari efek dimana faktor yang berbeda-beda
terjadi bersama-sama. Tangan tidak pernah terpengaruh didalam Ideopatik CTEV, dan dengan
demikian penjelasan tentang patologi cenderung mengarah pada identifikasi gen yang efeknya
eksklusif untuk kaki dan ekstremitas bawah. Kemajuan dalam teknik pemetaan genetik,
pengembangan model tikus, peningkatan pemahaman pengendalian proses perkembangan dan
studi epidemiologi genetik semuanya itu dapat membantu untuk menjelaskan penyebab idiopatik
CTEV, dalam waktu kedepan.

Page 11
6. Patologi anatomi
(1,6)

Anatomi tulang pada CTEV:

1. Talus mengarah kebawah, bagian leher berdiviasi ke tengah dan bagian badan berotasi
sedikit keluar dalam relasinya dengan tulang calcaneus.
2. Tulang Naviculare dan seluruh kaki depan(forefoot) bergeser ketengah dan berotasi
menjadi supinasi(varus)
3. Kulit dan jaringan dari betis dan sisi medial kaki akan menjadi pendek dan tidak
berkembang sepenuhnya.
4. Tibia: terjadi pemendekan
5. Fibula: terjadi pemendekan
6. Calcaneus: rotasi medial
7. Cuboid: bersubluksasi medial diatas kepala calcaneus
8. Naviculare: bersubluksasi medial diatas kepala talus
9. ForefootL mengalami adukksi dan suppinasi
10. Otot: atropi pada otot kaki
11. Tendon: dapat menjadi lebih tebal terkhusus pada tibialis posterior
12. Kapsul persendian: kontraktur
13. Ligamen ankle: kontraktur
14. Fasia plantar: kontraktur.










Page 12
7. Diagnosis
Bentuk dari kaki sangat khas.
Kaki bagian depan dan tengah inversi dan adduksi. Ibu jari kaki terlihat relatif
memendek.
Bagian lateral kaki cembung, bagian medial kaki cekung dengan alur atau cekungan pada
bagian medial plantar kaki. Kaki bagian belakang equinus. Tumit tertarik dan mengalami
inversi, terdapat lipatan kulit transversal yang dalam pada bagian atas belakang sendi
pergelangan kaki. Atrofi otot betis, betis terlihat tipis, tumit terlihat kecil dan sulit
dipalpasi.
Pada manipulasi akan terasa kaki kaku, kaki depan tidak dapat diabduksikan dan
dieversikan, kaki belakang tidak dapat dieversikan dari posisi varus. Kaki yang kaku ini
yang membedakan dengan kaki equinovarus paralisis dan postural atau positional karena
posisi intra uterin yang dapat dengan mudah dikembalikan ke posisi normal. Luas gerak
sendi pergelangan kaki terbatas. Kaki tidak dapat didorsofleksikan ke posisi netral, bila
disorsofleksikan akan menyebabkan terjadinya deformitas rocker-bottom dengan posisi
tumit equinus dan dorsofleksi pada sendi tarsometatarsal. Maleolus lateralis akan
terlambat pada kalkaneus, pada plantar fleksi dan dorsofleksi pergelangan kaki tidak
terjadi pergerakan maleoulus lateralis terlihat tipis dan terdapat penonjolan korpus talus
pada bagian bawahnya.
Tulang kuboid mengalami pergeseran ke medial pada bagian distal anterior tulang
kalkaneus. Tulang navicularis mengalami pergeseran medial, plantar dan terlambat pada
maleolus medialis, tidak terdapat celah antara maleolus medialis dengan tulang
navikularis. Sudut aksis bimaleolar menurun dari normal yaitu 85 menjadi 55 karena
adanya perputaran subtalar ke medial.
Terdapat ketidakseimbangan otot-otot tungkai bawah yaitu otot-otot tibialis anterior dan
posterior lebih kuat serta mengalami kontraktur sedangkan otot-otot peroneal lemah dan
memanjang. Otot-otot ekstensor jari kaki normal kekuatannya tetapi otot-otot fleksor jari
kaki memendek. Otot triceps surae mempunyai kekuatan yang normal.
Tulang belakang harus diperiksa untuk melihat kemungkinan adanya spina bifida. Sendi
lain seperti sendi panggul, lutut, siku dan bahu harus diperiksa untuk melihat adanya
subluksasi atau dislokasi. Pmeriksaan penderita harus selengkap mungkin secara
Page 13
sistematis seperti yang dianjurkan oleh R. Siffert yang dia sebut sebagai Orthopaedic
checklist untuk menyingkirkan malformasi multiple.

8. Pemeriksaan Radiologi
(7,8)
Gambaran radiologis CTEV adalah adanya kesejajaran tulang talus dan kalkaneus. Posisi
kaki selama pengambilan foto radiologis sangat penting. Posisi anteroposterior (AP)
diambil dengan kaki fleksi terhadap plantar sebesar 30 dan posisi tabung 30 dari
keadaan vertikal.
Posisi lateral diambil dengan kaki fleksi terhadap plantar sebesar 30. Gambaran AP dan
lateral juga dapat diambil pada posisi kaki dorsofleksi dan plantar fleksi penuh. Posisi ini
penting untuk mengetahui posisi relatif talus dan kalkaneus dan mengukur sudut
talokalkaneal dari posisi AP dan lateral.
Garis AP digambar melalui pusat dari aksis tulang talus (sejajar dengan batas medial)
serta melalui pusat aksis tulang kalkaneus (sejajar dengan batas lateral). Nilai normalnya
adalah antara 25-40. Bila sudut kurang dari 20, dikatakan abnormal. Garis
anteroposterior talokalkaneus hampir sejajar pada kasus CTEV. Seiring dengan terapi,
baik dengan casting maupun operasi, tulang kalkaneus akan berotasi ke arah eksternal,
diikuti dengan talus yang juga mengalami derotasi. Dengan demikian akan terbentuk
sudut talokalkaneus yang adekuat.
Garis lateral digambar melalui titik tengah antara kepala dan badan tulang talus serta
sepanjang dasar tulang kalkaneus. Nilai normalnya antara 35-50, sedang pada CTEV
nilainya berkisar antara 35 dan negatif 10. Garis AP dan lateral talus normalnya melalui
pertengahan tulang navikular dan metatarsal pertama. Sudut dari dua sisi (AP and lateral)
ditambahkan untuk menghitung indeks talokalkaneus; pada kaki yang sudah terkoreksi
akan memiliki nilai lebih dari 40.
Pengambilan foto radiologis lateral dengan kaki yang ditahan pada posisi maksimal
dorsofl eksi adalah metode yang paling dapat diandalkan untuk mendiagnosis CTEV
yangtidak dikoreksi.



Page 14
9. Diagnosa Banding
1. Postural clubfoot terjadi karena posisi fetus dalam uterus. Jenis abnormalitas kaki ini
dapat dikoreksi secara manual. Postural clubfoot memberi respons baik pada pemasangan
gips serial dan jarang relaps.
2. Metatarsus adductus (atau varus) suatu deformitas tulang metatarsal saja. Forefoot
mengarah ke garis tengah tubuh, atau berada pada aposisi adduksi. Abnormalitas ini
dapat dikoreksi dengan manipulasi dan pemasangan gips serial.

10. Penatalaksanaan
Terapi Medis
(1)

Tujuan Terapi Medis adalah untuk mengoreksi dan mempertahankan koreksi deformitas yang
telah dilakukan sampai terhentinya pertumbuhan tulang. Secara ATB, CTEV dikategorikan
menjadi dua macam, yaitu:
CTEV yang dapat dikoreksi dengan manipulasi, pengecoran, dan pemasangan gips.
CTEV resisten yang memberikan tanggapan minimal terhadap penatalaksanaan pemasangan
gips, dan dapat relaps dengan cepat walaupun awalnya berhasil dengan terapi manipulatif. Pada
kategori ini dibutuhkan intervensi operatif.

Sistem Scoring Pirani dapat digunakan untuk mengidentifikasi tingkat keparahan dan memantau
perkembangan dalam kasus CTEV selama koreksi dilakukan.

Terapi Non-operatif

Berupa pemasangan splint yang dimulai pada bayi berusia 2-3 hari. Urutan koreksi yang akan
dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Adduksi kaki depan (forefoot)
2. Supinasi kaki depan
3. Ekuinus
Usaha-usaha untuk memperbaiki posisi ekuinus di awal masa koreksi dapat mematahkan kaki
pasien, dan mengakibatkan terjadinya rockerbottom foot. Tidak boleh dilakukan pemaksaan saat
Page 15
melakukan koreksi. Tempatkan kaki pada posisi terbaik yang bisa didapatkan, kemudian
pertahankan posisi ini dengan menggunakan strapping yang diganti tiap beberapa hari, atau
menggunakan gips yang diganti beberapa minggu sekali. Cara ini dilanjutkan hingga dapat
diperoleh koreksi penuh atau sampai tidak dapat lagi dilakukan koreksi selanjutnya. Posisi kaki
yang sudah terkoreksi ini kemudian dipertahankan selama beberapa bulan. Tindakan operatif
harus dilakukan sesegera mungkin saat tampak kegagalan terapi konservatif, yang antara lain
ditandai dengan deformitas menetap, deformitas berupa rockerbottom foot, atau kembalinya
deformitas segera setelah koreksi dihentikan. Setelah pengawasan selama 6 minggu biasanya
dapat diketahui apakah jenis deformitas CTEV mudah dikoreksi atau resisten. Hal ini dikonfi
rmasi menggunakan X-ray dan dilakukan perbandingan penghitungan orientasi tulang. Tingkat
kesuksesan metode ini 11-58%.

Metode Ponseti
(1)
Metode ini dikembangkan dari penelitian kadaver dan observasi klinik oleh dr. Ignacio Ponseti
dari Universitas Iowa. Langkah-langkah yang diambil:
1. Deformitas utama pada kasus CTEV adalah adanya rotasi tulang kalkaneus ke arah intenal
(adduksi) dan fleksi plantar pedis. Kaki dalam posisi adduksi dan plantar pedis mengalami fleksi
pada sendi subtalar. Tujuan pertama adalah membuat kaki dalam posisi abduksi dan dorsofleksi.
Untuk mendapatkan koreksi kaki yang optimal, tulang kalkaneus harus bisa dengan bebas
dirotasikan ke bawah talus. Koreksi dilakukan melalui lengkung normal persendian subtalus,
dapat dilakukan dengan cara meletakkan jari telunjuk operator di maleolus medialis untuk
menstabilkan kaki, kemudian mengangkat ibu jari dan diletakkan di bagian lateral kepala talus,
sementara melakukan gerakan abduksi pada kaki depan dengan arah supinasi.
2. Cavus kaki akan meningkat bila kaki depan berada dalam posisi pronasi. Apabila ada pes
cavus, langkah pertama koreksi kaki adalah mengangkat metatarsal pertama dengan lembut
untuk mengoreksi cavusnya. Setelah terkoreksi, kaki depan dapat diposisikan abduksi seperti
pada langkah pertama.
3. Saat kaki dalam posisi pronasi, dapat menyebabkan tulang kalkaneus berada di bawah talus.
Apabila hal ini terjadi, tulang kalkaneus tidak dapat berotasi dan menetap pada posisi varus,
cavus akan meningkat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya bean-shaped foot. Pada akhir
langkah pertama, kaki akan berada padaposisi abduksi maksimal, tetapi tidak pernah pronasi.
Page 16
4. Manipulasi dikerjakan di ruang khusus setelah bayi disusui. Setelah kaki dimanipulasi,
selanjutnya dipasang long leg cast untuk mempertahankan koreksi yang telah dilakukan. Gips
dipasang dengan bantalan seminimal mungkin, tetapi tetap adekuat. Langkah selanjutnya adalah
menyemprotkan tingtur benzoin ke kaki untuk melekatkan kaki dengan bantalan gips. Dr.
Ponsetti lebih memilih memasang bantalan tambahan sepanjang batas medial dan lateral kaki,
agar aman saat melepas gips menggunakan gunting gips. Gips yang dipasang tidak boleh sampai
menekan ibu jari kaki ataumengobliterasi arcus transversalis. Posisi lutut berada pada sudut 90
selama pemasangan gips panjang. Orang tua bayi
dapat merendam gips ini selama 30-45 menit sebelum dilepas. Gips dibelah dua, dilepas
menggunakan gergaji berosilasi (berputar), kemudian disatukan kembali. Hal ini untuk
mengetahui perkembangan abduksi kaki depan, selanjutnya dapat digunakan untuk mengetahui
dorsofl eksi serta koreksi yang telah dicapai oleh kaki ekuinus.
5. Usaha mengoreksi CTEV dengan paksaan melawan tendon Achilles yang kaku dapat
mengakibatkan patahnya kaki tengah (midfoot) dan berakhir dengan terbentuknya deformitas
berupa rockerbottom foot. Kelengkungan kaki abnormal (cavus) harus diterapi terpisah seperti
pada langkah kedua, sedangkan posisi ekuinusnya harus dapat dikoreksi tanpa menyebabkan
patahnya kaki tengah. Secara umum dibutuhkan 4-7 kali pemasangan gips untuk mendapatkan
abduksi kaki maksimum. Gips diganti tiap minggu. Koreksi (usaha membuat kaki dalam posisi
abduksi) dapat dianggap adekuat bila aksis paha dan kaki sebesar 60 Setelah dapat dicapai
abduksi kaki maksimal, kebanyakan kasus membutuhkan tenotomi
perkutaneus tendon Achilles secara aseptis. Daerah lokal dianestesi dengan kombinasi lignokain
topikal dan infi ltrasi lidokain local minimal. Tenotomi dilakukan dengan cara membuat irisan
menggunakan pisau Beaver(ujung bulat). Luka pasca-operasi ditutup dengan jahitan tunggal
menggunakan benang yang dapat diabsorpsi. Pemasangan gips terakhir dilakukan dengan kaki
berada pada posisi dorsofl eksi maksimum, kemudian gips dipertahankan hingga 2-3 minggu.
6. Langkah selanjutnya setelah pemasangan gips adalah pemakaian sepatu yang dipasangkan
pada lempengan Dennis Brown. Kaki yang bermasalah diposisikan abduksi (rotasi ekstrem)
hingga 70, kaki sehat diabduksi 45. Sepatu ini juga memiliki bantalan di tumit untuk mencegah
kaki terselip dari sepatu. Sepatu digunakan 23 jam sehari selama 3 bulan, kemudian dipakai saat
tidur siang dan malam selama 3 tahun.
Page 17
7. Pada 10-30% kasus, tendon tibialis anterior dapat berpindah ke bagian lateral kuneiformis saat
anak berusia 3 tahun. Hal ini membuat koreksi kaki dapat bertahan lebih lama, mencegah
adduksi metatarsal dan inversi kaki. Prosedur ini diindikasikan pada anak usia 2-2,5 tahun,
dengan cara supinasi dinamik kaki. Sebelum operasi, pasangkan long leg cast untuk beberapa
minggu.

Ket: Metode Ponseti


Ket: Sepatu Dennis Brown



Page 18
Terapi operatif
(1)

Insisi
Beberapa pilihan insisi, antara lain :
Cincinnati: berupa insisi transversal, mulai dari sisi anteromedial (persendian navikular-
kuneiformis) kaki sampai ke sisi anterolateral (bagian distal dan medial sinus tarsal), dilanjutkan
ke bagian belakang pergelangan kaki setinggi sendi tibiotalus.
Insisi Turco curvilineal medial/posteromedial: insisi ini dapat menyebabkan luka terbuka,
khususnya di sudut vertikal dan medial kaki. Untuk menghindari hal ini, beberapa operator
memilih beberapa jalan, antara lain: Tiga insisi terpisah insisi posterior arah vertikal, medial,
dan lateral. Dua insisi terpisah curvilinear medial dan posterolateral.

Banyak pendekatan bisa dilakukan untuk terapi operatif di semua kuadran, antara lain:
Plantar: fasia plantaris, abduktor halucis, fleksor digitorum brevis, ligamen plantaris panjang
dan pendek
Medial: struktur-struktur medial, selubung tendon, pelepasan talonavikular dan subtalar, tibialis
posterior, FHL (fl eksor halucis longus), dan pemanjangan FDL (fleksor digitorum longus)
Posterior: kapsulotomi persendian kaki dan subtalar, terutama pelepasan ligament talofi bular
posterior dan tibiofi bular, serta ligamen kalkaneofi bular
Lateral: struktur-struktur lateral, selubung peroneal, pesendian kalkaneokuboid, serta pelepasan
ligamen talonavikular dan subtalar.

Pendekatan mana pun harus bisa menghasilkan pajanan yang adekuat. Struktur-struktur yang
harus dilepaskan atau diregangkan adalah:
Tendon Achilles
Pelapis tendon dari otot-otot yang melewati sendi subtalar
Kapsul pergelangan kaki posterior dan ligamen Deltoid
Ligamen tibiofi bular inferior
Ligamen fi bulokalkaneal
Kapsul dari sendi talonavikular dan subtalar
Fasia plantar pedis dan otot-otot intrinsik.
Page 19
Aksis longitudinal talus dan kalkaneus harus dipisahkan sekitar 20 dari proyeksi lateral. Koreksi
yang dilakukan kemudian dipertahankan dengan pemasangan kawat di persendian talokalkaneus,
atau talonavikular atau keduanya. Hal ini juga dapat dilakukan menggunakan gips. Luka paska
operasi tidak boleh ditutup paksa. Luka dapat dibiarkan terbuka agar membentuk jaringan
granulasi atau nantinya dapat dilakukan cangkok (graft) kulit.

Penatalaksanaan dengan operasi harus mempertimbangkan usia pasien :
1. Pada anak kurang dari 5 tahun, koreksi dapat dilakukan hanya melalui prosedur jaringan
lunak.
2. Untuk anak lebih dari 5 tahun, membutuhkan pembentukan ulang tulang/bony reshaping
(misal, eksisi dorsolateral dari persendian kalkaneokuboid [prosedur Dillwyn Evans] atau
osteotomi tulang kalkaneus untuk mengoreksi varus).
3. Apabila anak berusia lebih dari 10 tahun, dapat dilakukan tarsektomi lateralis atau arthrodesis.
Harus diperhatikan keadaan luka pascaoperasi. Jika penutupan kulit sulit dilakukan, lebih baik
dibiarkan terbuka agar dapat terjadi reaksi granulasi, untuk kemudian memungkinkan terjadinya
penyembuhan primer atau
sekunder. Dapat juga dilakukan pencangkokan kulit untuk menutupi defek luka operasi. Perban
hanya boleh dipasang longgar dan harus diperiksa secara reguler.

Follow-up Pasien
Pin untuk fiksator biasanya dilepas setelah 3-6 minggu. Satelah itu, tetap diperlukan perban yang
dipasangkan dengan sepatu Dennis Brown selama 6-12 bulan.









Page 20
11. Prognosis
(1)

Kurang lebih 50% kasus CTEV bayi baru lahir dapat dikoreksi tanpa tindakan operatif.
Teknik Ponseti (termasuk tenotomi tendon Achilles) dilaporkan memiliki tingkat kesuksesan
sebesar 89%. Peneliti lain melaporkan rerata tingkat kesuksesan sebesar 10-35%.
Sebagian besar kasus melaporkan tingkat kepuasan 75-90%, baik dari segi penampilan
maupun fungsi kaki. Hasil memuaskan didapatkan pada kurang lebih 81% kasus. Faktor utama
yang mempengaruhi hasil fungsional adalah rentang gerakan pergerakan kaki, yang dipengaruhi
oleh derajat pendataran kubah dari tulang talus.
Tiga puluh delapan persen pasien CTEV membutuhkan tindakan operatif lebih lanjut
(hampir dua pertiganya adalah prosedur pembentukan ulang tulang). Rerata tingkat kekambuhan
deformitas mencapai 25%, dengan rentang 10-50%. Hasil terbaik didapatkan pada anak-anak
yang dioperasi pada usia lebih dari 3 bulan (biasanya dengan ukuran lebih dari 8 cm)


















Page 21
BAB III
PENUTUP


Kesimpulan dari pembuatan makalah ini adalah, sebagai dokter umum kita adalah lini
pertama dalam pelayanan kesehatan, sangat penting bagi kita untuk mengetahui tanda-tanda
kelainan yang terjadi pada congenital talipes equinovarus agar penanganan dapat segera
dilakukan karena lebih cepat ditangani akan lebih baik. Kita pun harus cekatan dalam memeriksa
pasien dengan kelainan ini karena meskipun sedikit kelainan ini dapat berupa bagian dari
sindrom yang biasanya disertai dengan gangguan neurologis lainnya seperti Spina Bifida,
myelomenigocel dan lain-lain. Penanganan pada penyakit ini kebanyakan tidak memerlukan
tindakan operatif, meski ada beberapa kasus yang perlu untuk dilakukan intervensi operatif bila
tindakan non-operatif tidak bermakna atau terjadinya relapsing. Bila kita sebagai dokter umum
mendapatkan kasus ini kita perlu untuk mengedukasi pasien dan segera merujuk pada dokter
spesialis.
















Page 22
Daftar Pustaka:

1. Clubfoot. [internet] 2013. Avaible form http://emedicine.medscape.com/article/1237077-
overview#showall.

2. Snell S. Richard; Anatomi Klinik Bagian 2. Edisi 3. Jakarta: EGC. 2007

3. Congenital Talipes equinovarus. [internet] 2013 Available form
http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=5710

4. Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC. 2005

5. Congenital Talipes equinovarus. [internet] 2013 Available form
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc1571059/

6. Salomon Lois. Apleys System of Orthopaedics and Fractures. Edisi 9. India: Replika Press.
2010.

7. Anonym. Clubfoot deformity [Internet]. 2005 [cited 2008 Jul 5]. Available from:
www.dubaibone.com

8.Hussain S, Gomal J. Turcos posteromedial release for congenital talipes equinovarus 2007
[Internet]. 2008 [cited 2008 Jul 5]. Available from: www.gjm.com

Anda mungkin juga menyukai