Anda di halaman 1dari 42

Wildlife Habitat Canada

Habitat Faunique Canada


Ditjen. PHKA
Indonesia Programme
Petunjuk Lapangan
Pendugaan Cadangan Karbon
pada Lahan Gambut
PETUNJUK LAPANGAN
Pendugaan Cadangan Karbon
pada Lahan Gambut
Disusun oleh :
Daniel Murdiyarso, Upik Rosalina, Kurniatun Hairiah, Lili Muslihat,
I N.N. Suryadiputra dan Adi Jaya
Wildlife Habitat Canada
Habitat Faunique Canada

Indonesia Programme


Ditjen. PHKA
TIM PRODUKSI
Penulis : Daniel Murdiyarso
Upik Rosalina
Kurniatun Hairiah
Lili Muslihat
I N.N. Suryadiputra
Adi Jaya
Kajian teknis : Istomo (Biomassa atas-permukaan)
Budi Mulyanto (Biomassa bawah-permukaan)
Wahyunto (Penginderaan jauh)
Penyelaras : Daniel Murdiyarso
Upik Rosalina
I N.N. Suryadiputra
Desain/Tata Letak : Vidya Fitrian
Foto Sampul : Yus Rusila Noor
Alue Dohong
Indra Arinal
Jill Heyde
Wetlands International Indonesia Programme, 2004.
Buku ini dapat diperoleh di:
Wetlands International - Indonesia Programme
Jl. A. Yani 53 - Bogor 16161, INDONESIA
Tel : +62-251-312189; Fax +62-251-325755
E-mail : admin@wetlands.or.id
Website: www.wetlands.or.id
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Murdiyarso, D., Upik Rosalina, Kurniatun Hairiah, Lili Muslihat,
I N.N. Suryadiputra dan Adi Jaya
Petunjuk Lapangan: Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut
Bogor: Wetlands International IP, 2004
vi + 32 hlm; 14,8 x 21 cm
ISBN:
Saran kutipan:
Murdiyarso, D., Upik Rosalina, Kurniatun Hairiah, Lili Muslihat, I N.N. Suryadiputra dan
Adi Jaya. 2004. Petunjuk Lapangan: Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut.
Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International
Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.

i
DAFTAR ISI
Daftar Isi ................................................................................. i
Daftar Tabel ............................................................................ iii
Daftar Gambar ....................................................................... iv
Daftar Lampiran ..................................................................... v
Kata Pengantar ....................................................................... vi
ISI
1. Latar Belakang
1.1. Peranan ekosistem hutan rawa gambut tropis ................. 1
1.2. Lahan gambut tropis dan perubahan iklim ....................... 2
1.3. Penggunaan Buku Petunjuk ini .......................................... 3
2. Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tropis
2.1. Pembentukan gambut dan sifat-sifatnya .......................... . 4
2.2. Pengembangan lahan gambut dan dampak lingkungannya.. 4
3. Metode Pendugaan Cadangan Karbon Atas-permukaan
3.1. Teknik penginderaan jauh................................................. 6
3.1.1. Interpretasi citra satelit ......................................... 7
3.1.2. Pendugaan biomassa .............................................. 7
3.2. Teknik pengamatan lapangan ........................................... 9
4. Metode Pendugaan Cadangan Karbon Bawah-permukaan
4.1. Pengukuran luas lahan...................................................... 12
4.2. Pengukuran ketebalan gambut ......................................... 12
4.3. Penentuan tingkat kematangan gambut .......................... 14
4.4. Bobot isi gambut dan C-organik ....................................... 15
4.5. Rumus perhitungan pendugaan cadangan Karbon
bawah-permukaan ........................................................... 16
ii
5. Pengukuran Tambahan
5.1. Sejarah penggunaan lahan ................................................ 17
5.2. Pohon dominan................................................................. 17
5.3. Paras air tanah ................................................................. 17
5.4. Penurunan tanah .............................................................. 18
Daftar Pustaka........................................................................ 20

iii
DAFTAR TABEL
Tabel Hal
1. Beberapa tipe vegetasi lahan basah yang dapat dikenali pada
masing-masing produk penginderaan jauh ................................. 6
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Hal
1. Lokasi pengamatan dimana tiga plot permanen berada pada tiga
zone kedalaman gambut yang berbeda ...................................... 10
2. Penentuan posisi pengukuran diameter batang pada kondisi tapak
yang miring, batang yang bercabang, batang yang tidak beraturan,
pohon berbanir dan berakar lutut (a); dan cara yang benar dan
salah dalam mengukur lingkar batang menggunakan pita ukur
(b) ................................................................................................ 11
3. Bor Eijkelkamp untuk menduga ketebalan gambut dan mengambil
contoh gambut ............................................................................ 13
4. Pengukuran muka air tanah di lahan gambut .............................. 18
5. Pemasangan pipa besi yang ditajami dan diberi tanda untuk
mengamati penurunan permukaan tanah .................................... 19

v
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Hal
1. Data berat jenis beberapa spesies pohon hutan gambut .......... 23
2. Lembar pengamatan cadangan C atas-permukaan ..................... 26
3. Nilai kisaran dan rerata bobot isi (BD) dan kadar C-Organik
pada tiap jenis/tingkat kematangan gambut di Sumatera
(Wahyunto, et al., 2003) ............................................................ 28
4. Lembar pengamatan cadangan C bawah-permukaan ................ 29
5. Contoh penghitungan cadangan C bawah-permukaan............... 30
6. Lembar pengamatan tambahan................................................... 31
vi
Kata Pengantar
Buku Petunjuk Lapangan tentang Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan
Gambut ini ditulis dalam rangka melengkapi beberapa komponen kegiatan dari
proyek CCFPI (Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia) yang di
danai oleh Pemerintah Kanada melalui CIDA (Canadian International
Development Agency). CCFPI merupakan proyek yang berkaitan dengan
serapan karbon (carbon sequestration) dan dirancang untuk meningkatkan
pengelolaan hutan dan lahan gambut di Indonesia secara berkelanjutan. Dalam
pelaksaannya, proyek ini melibatkan berbagai pihak terkait, baik masyarakat
pedesaan dimana proyek ini berlangsung (yaitu: di Jambi, Sumatera Selatan dan
Kalimantan Tengah), masyarakat akademik/perguruan tinggi, lembaga pemerintah
terkait maupun berbagai LSM setempat.
Petunjuk lapangan ini disusun oleh berbagai pakar kehutanan (untuk penentuan
kandungan karbon di atas permukaan) maupun oleh pakar tanah gambut (untuk
penentuan kandungan karbon di bawah permukaan), dan telah diujicobakan pada
beberapa lokasi proyek CCFPI di Sumatera maupun Kalimantan Tengah. Tujuan
dari penulisan buku panduan ini adalah selain untuk menambah khasanah ilmu
pengetahuan di bidang gambut, juga dimaksudkan agar masyarakat mengetahui
teknik-teknik mengukur biomassa dan kandungan karbon yang terdapat di atas
maupun di bawah lahan gambut. Sehingga jika suatu saat nanti isu perdagangan
karbon hutan dapat terwujud, apakah itu melalui Mekanisme Pembangunan
Bersih (CDM/Clean Development Mechanism)-nya Protokol Kyoto atau mungkin
juga melalui mekanisme-mekanisme lain yang belakangan ini banyak ditawarkan
oleh pihak donor internasional (seperti dana Bio Carbon Fund yang disalurkan
melalui Bank Dunia atau program BioRight yang tengah dicanangkan pihak
Belanda), maka masyarakat telah siap untuk ikut berpartisipasi.
Teknik-teknik yang disajikan dalam buku ini, berikut rumus-rumusnya, telah
disederhanakan sedemikian rupa, namun tanpa menghilangkan/ mengabaikan
kaedah-kaedah ilmiah yang berlaku sehingga isi buku ini masih dapat
dipertanggungjawabkan dalam penerapannya.
Akhir kata, kepada semua pihak yang telah terlibat baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam mempersiapkan dan menulis buku panduan ini, kami
ucapkan banyak terima kasih; serta kepada para pembaca kami mohonkan kritik
dan saran atas isi dari buku ini untuk perbaikan di kemudian hari.
Bogor, April 2004
Penulis

1
1. LATAR BELAKANG
1.1. Peranan ekosistem hutan rawa gambut tropis
Hasil utama ekosistem hutan rawa gambut yang banyak dimanfaatkan
masyarakat adalah kayu, seperti Gelam (Mellaleuca sp.) khususnya
sebagai bahan bangunan ringan, kerangka pembuatan bangunan gedung
dan bagan penangkap ikan. Selain itu, jenis-jenis komersial yang banyak
diperdagangkan adalah Ramin (Gonystylus bancanus), Meranti (Shorea
spp.), dan Damar (Agathis dammara). Hasil tambahan lainnya adalah
hasil non-kayu seperti getah Jelutung, tumbuhan obat, ikan, dan buah-
buahan.
Secara ekologis ekosistem hutan rawa gambut merupakan tempat
pemijahan ikan yang ideal selain menjadi habitat berbagai jenis satwa liar
termasuk jenis-jenis endemik. Dengan kata lain, hutan rawa gambut
merupakan sumber daya biologis yang penting yang dapat dimanfaatkan
dan dikonservasi untuk memperoleh manfaat yang lestari.
Lahan gambut memiliki peranan hidrologis yang penting karena secara
alami berfungsi sebagai cadangan (reservoir) air dengan kapasitas yang
sangat besar. Jika tidak mengalami gangguan, lahan gambut dapat
menyimpan air sebanyak 0,8 - 0,9 m
3
/m
3
. Dengan demikian lahan
gambut dapat mengatur debit air pada musim hujan dan musim
kemarau. Keberadaan air pada setiap musim sangat penting untuk
menghambat oksidasi pirit (FeS
2
) dalam upaya untuk mengurangi
kemasaman tanah dan keracunan tanaman. Sulfat yang terlarut juga akan
berpengaruh di bagian hilir.
Lahan gambut merupakan ekosistem lahan basah yang dicirikan oleh
tingginya akumulasi bahan organik dengan laju dekomposisi yang
rendah. Lahan gambut tropis meliputi areal seluas 40 juta ha dan 50%
diantaranya terdapat di Indonesia (Maltby & Immirizi, 1993). Karena
itu lahan gambut di Indonesia yang tersebar di Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua, merupakan cadangan Karbon terestris yang
penting. Jika dilindungi pada kondisi alami, lahan gambut dapat
meningkatkan kemampuannya dalam menyerap Karbon. Tetapi jika
2
mengalami gangguan, lahan gambut berpotensi menjadi sumber
karbondioksida (CO
2
), metana (CH
4
), dan nitrous oksida (N
2
O) yang
cukup besar.
1.2. Lahan gambut tropis dan perubahan iklim
Akumulasi cadangan Karbon tahunan di Indonesia diperkirakan berkisar
antara 0,01 - 0,03 Gt C
1
atau 59 - 118 g C/m
2
/th (Neuzil, 1997).
Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan akumulasi di lahan
gambut sub-tropis atau boreal yang hanya berkisar antara 20 - 100 g C/
m
2
/th. Sementara itu laju penyerapan Karbon melalui proses
fotosintesis berkisar antara 8 - 80 g C/m
2
/th

(Harden et al., 1992).
Kegiatan penggunaan lahan, alih-guna lahan dan kehutanan (land-use,
land-use change and forestry - LULUCF) adalah salah satu sumber
(source) CO
2
utama yang menyebabkan perubahan iklim (IPCC, 2001).
Kegiatan LULUCF di daerah tropis menyumbang lebih dari 25% total
emisi CO
2
tahunan yang selama dekade terakhir besarnya mencapai 8
Gt (IPCC, 2001). Sebagai cadangan Karbon terestris yang besar, lahan
gambut juga dapat menjadi sumber CO
2
yang besar jika tidak dikelola
secara benar.
Secara global lahan gambut menyimpan sekitar 329 - 525 Gt C
2
atau
15 - 35% dari total Karbon terestris. Sekitar 86% (455 Gt) dari
Karbon di lahan gambut tersebut tersimpan di daerah temperate
(Kanada dan Rusia) sedangkan sisanya sekitar 14% (70 Gt)
1
terdapat di
daerah tropis. Jika diasumsikan bahwa kedalaman rata-rata gambut di
Indonesia adalah 5 m, bobot isi 114kg/m
3
, kandungan Karbon 50% dan
luasnya 16 juta ha, maka cadangan Karbon di lahan gambut Indonesia
adalah sebesar 46 Gt.
Cadangan Karbon yang besar ini pulalah yang menyebabkan tinggginya
jumlah Karbon yang dilepaskan ke atmosfer ketika lahan gambut di
Indonesia terbakar pada tahun 1997, yang berkisar antara 0,81 - 2,57
Gt (Page, 2002). Sementara itu, pendugaan emisi yang dilakukan di
lahan gambut di sekitar Taman Nasional Berbak, Sumatera menunjukan
angka sebesar 7 juta ton Karbon (Murdiyarso et al., 2002).
1
1 Gt =1 Gigaton = 1x10
9
ton
2
Maltby & Immirizi, 1993

3
Gangguan terhadap ekosistem lahan basah akan mempengaruhi
cadangan dan siklus Karbon di alam. Gangguan tersebut dapat berupa
konversi lahan setelah hutan gambut mengalami deforestasi, kebakaran
dan drainase yang meluas. Sementara itu mempertahankan cadangan
Karbon dan meningkatkan serapan Karbon dapat dilakukan melalui
kegiatan konservasi dan pengelolaan seperti pengayaan tanaman, dan
pengelolaan air.
1.3. Penggunaan Buku Petunjuk ini
Petunjuk praktis ini disusun bagi pengamat lapangan agar dapat
menduga besarnya cadangan Karbon di atas dan di bawah permukaan
ekosistem gambut dengan metode yang sederhana. Setelah mengikuti
pelatihan singkat, pengamatan dan pengukuran diharapkan dapat
dilakukan oleh penduduk setempat, sehingga mereka juga memiliki
pemahaman langsung tentang pentingnya mengelola lahan gambut bagi
kehidupan mereka sendiri. Disamping itu agar penduduk setempat
juga memiliki kemampuan untuk dapat melakukan kegiatan pemantauan
perubahan cadangan karbon.
Untuk memperlancar pekerjaan di lapangan, petunjuk ini banyak
menggunakan sistem tabulasi dalam menduga cadangan Karbon.
Beberapa aspek teknis yang tidak dapat dikerjakan penduduk setempat
perlu mendapatkan penjelasan dari staf teknis proyek CCFPI yang
sedang berjalan. Tabel-tabel lainnya juga disertakan untuk mencatat
informasi tambahan dan membantu perhitungan cadangan Karbon.
4
2. EKOSISTEM HUTAN RAWA GAMBUT TROPIS
2.1. Pembentukan gambut dan sifat-sifatnya
Pembentukan gambut di beberapa daerah pantai Indonesia diperkirakan
dimulai sejak zaman glasial akhir, sekitar 3.000 - 5.000 tahun yang lalu.
Untuk gambut pedalaman bahkan lebih lama lagi, yaitu sekitar 10.000
tahun yang lalu (Brady, 1997). Seperti gambut tropis lainnya, gambut
di Indonesia dibentuk oleh akumulasi residu vegetasi tropis yang kaya
akan kandungan Lignin dan Nitrogen. Karena lambatnya proses
dekomposisi, di ekosistem rawa gambut masih dapat dijumpai batang,
cabang dan akar besar.
Berat jenis (bobot isi atau Bulk Density-BD) gambut tropis umumnya
rendah (0,1 - 0,3 g/cm
3
) dan sangat dipengaruhi oleh tahapan dalam
proses dekomposisi dan kandungan mineral, serta porositas yang tinggi
(70 - 95%). Lahan gambut tropis juga dicirikan oleh rendahnya
kandungan hara dan tingginya kemasaman. Pada umumnya lahan gambut
tropis memiliki pH antara 3 - 4,5.
2.2. Pengembangan lahan gambut dan dampak lingkungannya
Pemanfaatan lahan gambut tropis, khususnya di Indonesia, sangat
dipengaruhi oleh meningkatnya kebutuhan penduduk akan lahan,
pangan, kayu bakar dan bahan bangunan. Pemanfaatan tersebut sangat
terkait dengan kebijakan pemerintah dalam kegiatan konversi hutan,
industri perkayuan, transmigrasi dan pemukiman penduduk serta
perluasan lahan pertanian. Praktek yang biasanya diterapkan adalah
dengan melakukan deforestasi yang diikuti dengan pembangunan kanal
atau saluran drainase untuk mengeringkan air yang tertahan di lahan
gambut. Praktek ini jika tidak dikendalikan dengan baik akan
menimbulkan berbagai masalah lingkungan.
Penebangan hutan akan menyebabkan terbukanya permukaan tanah
terhadap radiasi dan cahaya matahari. Dampak langsungnya adalah
meningkatnya suhu tanah dan turunnya kadar air tanah. Pembukaan
tajuk akan mempercepat invasi jenis-jenis pionir karena ketersediaan

5
cahaya akan memicu perkecambahan benih yang banyak tersedia di
permukaan tanah yang secara langsung akan merubah struktur dan
komposisi hutan gambut.
Dampak langsung lainnya dari kegiatan penebangan hutan adalah
menurunnya cadangan Karbon atas-pemukaan (above-ground carbon
stocks) dan selanjutnya akan mempengaruhi penyusutan cadangan
Karbon bawah-permukaan (below-ground carbon stocks).
Dampak drainase yang dilakukan terhadap lahan gambut yang tergenang
akan menghanyutkan Karbon terlarut sehingga mempengaruhi
kesetimbangan Karbon. Drainase yang berlanjut akan menyebabkan
terjadinya oksidasi pirit yang menghasilkan asam sulfat beracun bagi
tanaman sehingga mempengaruhi produktivitas lahan. Drainase juga
akan menyebabkan penurunan (subsidence) ketebalan lahan gambut dan
selanjutnya mempengaruhi fungsi hidrologi lahan gambut. Fluktuasi
tinggi muka air pada musim hujan dan musim kemarau akan meningkat
karena kemampuannya dalam menampung air menurun. Disamping itu
drainase juga akan memperbesar peluang intrusi air bergaram dari laut.
6
3. METODE PENDUGAAN CADANGAN KARBON
ATAS-PERMUKAAN
3.1. Teknik penginderaan jauh
Penggunaan teknik penginderaan jauh dimaksudkan untuk memberikan
penilaian umum tentang penutupan vegetasi, tidak hanya tentang lokasi
proyek tetapi juga daerah di sekitarnya. Penilaian semacam ini dapat
memberikan gambaran mengenai kemungkinan terjadinya kebocoran
proyek. Mengingat mahalnya teknologi ini, maka dianjurkan penggunaan
teknik penginderaan jauh hanya dilakukan sekali dalam lima tahun.
Mengingat kemampuannya dalam mendeteksi berbagai tipe vegetasi
lahan basah seperti diberikan pada Tabel 1, citra Landsat-TM atau
SPOT dapat digunakan.
Tabel 1. Beberapa tipe vegetasi lahan basah yang dapat dikenali pada
masing-masing produk penginderaan jauh.
Catatan:
teridentifikasi
- tidak teridentifikasi

7
3.1.1. Interpretasi citra satelit
Hasil interpretasi citra satelit harus diverifikasi dengan melakukan
pengecekan lapangan melalui tahapan sebagai berikut:
Perhatikan tanda-tanda lapangan seperti sungai dan jalan;
Periksa penutupan vegetasi;
Catat dan uraikan tipe vegetasi yang dijumpai (tinggi tajuk,
kerapatan pohon, dan spesies atau jenis yang dominan);
Klasifikasi ulang hasil interpretasi dan buat kelas-kelas vegetasi.
Deskripsi vegetasi di lapangan dan di dalam plot yang ditentukan, dan
dapat dilakukan secara cepat dengan mengikuti tahapan sebagai berikut:
Hitung jumlah pohon;
Ukur tinggi pohon dominan di dalam plot untuk mendapatkan
tinggi tajuk;
Catat spesies atau jenis dominan;
Amati dan catat tumbuhan bawahnya;
Amati dan catat jenis tumbuhan pioner (khususnya pada hutan
yang terganggu).
3.1.2. Pendugaan biomassa
Kelas-kelas vegetasi yang telah ditentukan kemudian dirubah menjadi
informasi distribusi biomassa dengan mengkonversi nilai spektralnya
menjadi biomassa berdasarkan pengukuran contoh/sampel plot di
lapangan untuk tipe vegetasi tertentu serta menghubungkannya dengan
nilai NDVI yang diperoleh dengan rumus berikut:
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI):
Catatan:
NIR = infra-merah dekat
R = merah
NDVI berkisar antara -1 sampai 1
NDVI =
Band NIR - Band R
Band NIR + Band R
8
NDVI = -1 berarti air (makin negatif makin dalam)
NDVI = 0 berarti tanah gundul
NDVI = 1 berarti hijau (lebat)
Band NIR= TM4, TM 5 (Landsat-TM), Xs3 (SPOT)
Band R = TM1, TM2, TM3 (Landsat-TM), Xs1, Xs2 (SPOT)
Tahap berikutnya adalah membuat peta distribusi/penyebaran biomassa
berdasarkan peta penyebaran tipe vegetasi hasil interpretasi citra satelit
dan cek lapangan, kemudian mengkonversi peta biomassa menjadi peta
sebaran cadangan carbon dengan mengalikan nilai biomassa dengan
faktor 0,5 (Murdiyarso, 2002).
Untuk menduga biomassa atas-permukaan, persamaan alometrik yang
menghubungkan biomassa dan komponen tegakan yang mudah diukur
seperti diameter batang sangat diperlukan. Persamaan semacam ini
biasanya memerlukan pengukuran langsung dengan menebang pohon
(destructive sampling). Berikut ini adalah salah satu contoh persamaan
umum yang diusulkan oleh Brown (1997):
dimana:
W = biomassa kering pohon (kg)
D = diameter pohon setinggi dada (cm)
a, b= konstanta
Berdasarkan pengukuran biomassa pohon di lahan gambut yang
dilakukan oleh Istomo (2002) di Riau, konstanta yang diperoleh masing-
masing adalah a= 0,19 dan b= 2,37. Konstanta ini diadopsi untuk
pendugaan biomassa komunitas pohon.
Untuk memperbaiki pendugaan biomassa yang dikemukakan oleh
Ketterings et al. (2001), maka dalam Petunjuk ini diusulkan untuk
menggunakan rumus pendugaan sbb:
W = Bj 0,19 D
2,37
dimana:
W = biomassa kering pohon (kg)
Bj = berat jenis pohon (g/cc), lihat contoh pada Lampiran 1
D = diameter pohon setinggi dada (cm)
W = a D
b


9
Berat jenis (Bj) kayu biasanya berkisar antara 0,53 0,71 g/cc, tetapi
untuk jenis-jenis tertentu dapat dilihat pada Lampiran 1. Jika di
lapangan ditemui jenis/spesies yang tidak memiliki data Bj sebagaimana
diberikan pada Tabel Lampiran1, maka pendugaan biomasa dapat
dilakukan tanpa mengalikan dengan Berat jenis kayu, karena pada
prinsipnya rumus ini adalah pendugaan biomasa kering.
Selanjutnya, cadangan atau kandungan Karbon (C, dalam kg) diduga
dengan mengalikan biomassa dengan faktor konversi (Murdiyarso,
2002) sebagai berikut:
C = 0,5 W
(Setengah dari biomassa adalah kandungan Karbon.)
3.2. Teknik pengamatan lapangan
Untuk keperluan pemantauan diperlukan petak atau plot tetap seperti
terlihat pada Gambar 1. Tiga plot permanen berukuran 20 x 50 m
2
dipilih untuk setiap zone dimana pengamatan/pengukuran diameter
pohon (D) dilakukan. Semua pohon yang memiliki diameter setinggi
dada lebih dari 10 cm diukur diameternya. Pohon-pohon ini perlu
ditandai melingkar dengan cat berwarna kuning dan masing-masing
dinomori untuk memudahkan pengukuran berikutnya.
Sebaiknya, plot atau petak lapangan pengamatan yang telah ditentukan
ini masuk ke dalam liputan citra satelit yang dianalisis dengan metode
yang diuraikan di atas.
Bentang alam ekosistem gambut dan bentuk batang pohon yang
tumbuh di atasnya mungkin tidak beraturan. Oleh karena itu harus
diantisipasi cara-cara mengatasinya sehingga pengukuran yang dilakukan
tetap konsisten dari plot yang satu ke plot yang lain. Gambar 2a
menunjukkan cara penentuan posisi pengukuran diameter pada bentuk
lapangan yang berbeda. Sedang Gambar 2b menunjukkan cara yang
benar dalam mengukur lingkar batang dengan menggunakan pita ukur.
Hasil pengamatan lapangan ini ditabulasikan di dalam Lembar
pengamatan seperti terlihat dalam Lampiran 2. Dari Lampiran ini
kemudian biomassa dan cadangan C atas-pemukaan ditentukan.
Pengamatan ini perlu diulang setiap tahun pada plot yang sama.





































Gambar 1. Lokasi pengamatan dimana tiga plot permanen
berada pada tiga zone kedalaman gambut yang
berbeda.


20
50
Plot 1
Plot 2
Plot 3
Zona 3
Zona 2
Zona 1
Sungai
Sungai
Jarak
K
e
d
a
l
a
m
a
n

Tanah Mineral
Tanah Organik
Plot 1
Plot 2
Plot 3

11
(a)
(b)
Gambar 2. Penentuan posisi pengukuran diameter batang pada kondisi
tapak yang miring, batang yang bercabang, batang yang
tidak beraturan, pohon berbanir dan berakar lutut (a); dan
cara yang benar dan salah dalam mengukur lingkar batang
menggunakan pita ukur (b).
12
4. METODE PENDUGAAN CADANGAN KARBON
BAWAH-PERMUKAAN
Untuk menduga kandungan cadangan Karbon (C) di bawah permukaan
lahan gambut (Gambar 1), terlebih dahulu harus diketahui volume
gambut pada wilayah tertentu dan klasifikasi tingkat kematangannya.
Volume gambut dapat diketahui dengan mengalikan ketebalan lapisan
gambut dengan luasan wilayah lahan gambutnya. Ketebalan gambut
diukur pada beberapa titik/lokasi yang berbeda (agar datanya mewakili)
dengan cara menusukkan tongkat kayu atau bor tanah ke dalam lapisan
gambut hingga mencapai/mengenai lapisan tanah mineralnya, sedangkan
luasan lahan gambut dapat diketahui dari hasil pengukuran langsung di
lapangan atau dari peta dasar/tanah atau citra landsat. Tingkat
kematangan/pelapukan gambut dapat diukur langsung di lapangan
dengan metoda sederhana seperti diuraikan di bawah ini. Sedangkan
penentuan bobot isi (Bulk Density-BD) dan persen (%)-C-organik
dapat merujuk dan berdasarkan kepada hasil analisis beberapa contoh
tanah gambut (Lampiran 3) yang telah dilakukan di beberapa lokasi di
Sumatera (Wahyunto et al., 2003). Prosedur pengukuran yang harus
diikuti adalah pengukuran luas lahan, ketebalan gambut, penentuan
tingkat kematangan, bobot isi gambut dan C-organik, dan pendugaan
cadangan karbon bawah-permukaan.
4.1. Pengukuran luas lahan
Penentuan luas lahan yang sederhana yaitu dengan mengukur panjang
dan lebar lahan. Namun pada kenyataan di lapangan mengukur luas
tidak semudah yang dibayangkan karena bentuk dan tofografi lahan
yang bervariasi. Untuk keperluan tersebut, maka dapat dipenggunaan
peta dasar (base map) pada skala besar (1 : 25.000 1 : 50.000)
sebagai dasar untuk membatasi (delineasi) luas areal lahan.
4.2. Pengukuran ketebalan gambut
Pengukuran ketebalan gambut dilakukan pada sebuah titik boring
(pengeboran) yang dilakukan pada beberapa plot (Gambar 1). Tahap-
tahapan yang harus dilakukan adalah:

13
Masukan bor gambut atau bor Eijkelkamp yang dimodifikasi
(Gambar 3) secara bertahap, angkat bor untuk dicatat dan
diambil contoh tanahnya, apabila bor belum mencapai lapisan
mineral maka sambungkan dengan bor berikutnya, ulangi
pencatatan pada setiap penyambungan bor sampai mencapai
tanah mineral. Untuk praktisnya, bor bisa diganti dengan
tongkat kayu panjang yang ujungnya diruncingkan dan sebagian
sisi ujungnya disodet agar contoh tanah mineral dapat sedikit
terambil dan terlihat jelas. Akan tetapi dengan alat semacam
ini, contoh tanah gambut dari berbagai kedalaman tidak dapat
terambil.
Disamping mencatat ketebalan, juga catat sifat lainnya seperti
kedalam paras (muka) air tanah, jenis kematangan gambut,
perubahan warna, kelembaban lapisan atas (kering/basah
diamati secara visual), kongkresi arang (ada tidaknya gambut
bekas terbakar), lihat Lampiran 5.
Untuk keperluan analisa tanah gambut (fisik dan kimia), ambil
contoh tanah seberat 1 1,5 Kg. Contoh diambil secara
komposit, yaitu dari campuran tanah gambut yang berasal dari
berbagai lapisan kedalaman pada titik bor yang sama. Simpan
contoh dalam kantong plastik dan diberi label. Contoh tanah
ini nantinya dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
kematangan gambut seperti yang akan diuraikan di bagian 4.3.

Gambar 3. Bor Eijkelkamp untuk menduga ketebalan gambut dan
mengambil contoh gambut
14
4.3. Penentuan tingkat kematangan gambut
Dalam key to soil taxonomy (Soil Survey Staff, 1998) tingkat kematangan
/pelapukan tanah gambut dibedakan berdasarkan tingkat dekomposisi
dari bahan-bahan (serat) tanaman asalnya. Ketiga macam tingkat
kematangan tersebut adalah: (1) fibrik, (2) hemik dan (3) saprik.
Karena pentingnya tingkat kematangan ini untuk diketahui, maka untuk
memudahkan penciriannya di lapangan, definisi tentang serat-serat ini
harus ditetapkan terlebih dahulu.
Serat-serat diartikan sebagai potongan-potongan dari jaringan tanaman
yang sudah mulai melapuk atau lapuk (tidak termasuk akar-akar yang
masih hidup) dengan memperlihatkan adanya struktur sel dari tanaman
asalnya.
Potongan-potongan serat mempunyai ukuran diameter sama dengan
atau kurang dari 2 cm, sehingga dapat diremas dan mudah dicerai-
beraikan dengan jari. Potongan-potongan kayu berdiameter lebih dari
2 cm dan belum melapuk sehingga sulit untuk dicerai-beraikan dengan
jari, seperti potongan-potongan cabang kayu besar, batang kayu dan
tunggul tidak dianggap sebagai serat-serat, tetapi digolongkan sebagai
fragmen kasar.
Penetapan tingkat kematangan/pelapukan tanah gambut di lapangan:
Ambil segenggam tanah gambut (hasil kegiatan 4.2 di atas) kemudian
peras dengan telapak tangan secara pelan-pelan, lalu lihat sisa serat-
serat yang tertinggal di dalam telapak tangan:
(1). Bila kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan
setelah pemerasan, adalah tiga perempat bagian atau lebih
(), maka tanah gambut tersebut digolongkan kedalam jenis
fibrik.
(2). Bila kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan
setelah pemerasan, adalah antara kurang dari tiga perempat
sampai seperempat bagian atau lebih ( dan <), maka
tanah gambut tersebut digolongkan kedalam jenis hemik.

15
(3). Bila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan
setelah pemerasan, adalah kurang dari seperempat bagian
(<), maka tanah gambut tersebut digolongkan kedalam jenis
saprik.
Cara lain untuk mendukung penggolongan tingkat kematangan/
pelapukan tanah gambut diatas adalah dengan memperhatikan
warnanya. Jenis tanah gambut fibrik memperlihat warna hitam muda
(agak terang), kemudian disusul hemik dengan warna hitam agak gelap
dan seterusnya saprik berwarna hitam gelap.
4.4. Bobot isi gambut dan C-organik
Sebetulnya penetapan bobot isi (Bulk Density-BD) tanah gambut dapat
dilakukan secara langsung di lapangan dengan menggunakan metode
bentuk bongkah atau clod (Golavanov A.J., 1967 dan Notohadiprawiro,
1983), tetapi kedua metode ini menghasilkan angka-angka BD yang
lebih besar karena kandungan air dalam bongkahan gambut masih
tinggi. Sementara itu, pengukuran bobot isi tanah gambut lebih banyak
dilakukan di laboratorium dengan menggunakan ring core. Dalam
metode ring core ini, untuk menghilangkan kandungan air dalam
contoh, maka tanah gambut dikeringkan dalam oven (suhu 105
o
C
selama 12 jam) dan diberi tekanan sebesar 33 1500 kPa, sehingga
tanah menjadi kompak dan stabil.
Kandungan C-organik dalam tanah gambut tergantung tingkat
dekomposisinya. Umumnya pada tingkat dekomposisi lanjut seperti
hemik dan saprik, maka kadar C-organik lebih rendah dibanding dengan
fibrik. Proses dekomposisi menyebabkan berkurangnya kadar C-
organik dalam tanah gambut.
Dalam buku panduan ini, metoda penentuan nilai bobot isi (BD) dan
kandungan Karbon (C-organik) pada tanah gambut tidak disajikan. Tapi
untuk menghitung kandungan cadangan Karbon di lahan gambut (lihat
rumus di bawah), dapat digunakan nilai BD dan kandungan C-organik
yang berasal dari data hasil penelitian sebelumnya (misalnya data dari
Institut Pertanian Bogor, dari Pusat Penelitian Tanah dsb). Wahyunto
et. al. (2003), telah membuat tabel nilai-nilai BD dan C-organik pada
16
berbagai tingkat kematangan/pelapukan tanah gambut di Sumatera (lihat
Lampiran 3). Nilai-nilai yang dikumpulkan ini berasal dari berbagai
laporan hasil penelitian tanah gambut di Sumatera yang dilakukan
selama bertahun-tahun. Nilai-nilai tersebut dapat digunakan untuk
menghitung kandungan cadangan karbon pada tanah gambut di
Sumatera dan kemungkinan juga untuk lokasi-lokasi lainnya di Indonesia.
4.5. Rumus perhitungan pendugaan cadangan Karbon bawah-
permukaan
Parameter yang digunakan dalam perhitungan tersebut adalah luas lahan
gambut, kedalaman tanah gambut, bobot isi/Bulk Density (BD) dan
kandungan Karbon (C-organik) pada setiap jenis tanah gambut.
Persamaan yang digunakan adalah:
Kandungan Karbon (KC) = B x A x D x C
dimana :
KC = kandungan Karbon dalam ton
B = bobot isi (BD) tanah gambut dalam g/cc atau ton/m
3
A = luas tanah gambut dalam m
2
D = ketebalan gambut dalam m
C = kadar karbon (C-organik) dalam persen (%)
Semua hasil pengukuran dan pengamatan di atas ditabulasikan dalam
Lembar Pengamatan pada Lampiran 4 (contoh penghitungan tercantum
dalam Lampiran 5).

17
5. PENGUKURAN TAMBAHAN
Untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang lokasi
pengamatan, beberapa informasi berikut ini perlu dikumpulkan sebagai
pengukuran atau pengamatan tambahan (Lampiran 6).
5.1. Sejarah penggunaan lahan
Sejarah penggunaan lahan dicatat berdasarkan wawancara dengan
penduduk setempat atau pemilik lahan untuk menduga teknik
pengelolaan yang selama ini dilakukan dan keberlanjutan usaha tersebut.
Survei perlu dilakukan setiap enam bulan sekali atau lebih sering
dibandingkan dengan pengamatan aspek biofisik yang diuraikan pada
bagian 3 dan 4.
5.2. Pohon dominan
Dicatat spesies pohon dominan yang memiliki nilai sosial-ekonomi yang
tinggi dan perlu dilestarikan. Dari catatan ini dapat diperkirakan
pemahaman dan ketergantungan penduduk lokal terhadap spesies-
spesies ini. Seperti halnya sejarah penggunaan lahan, informasi ini perlu
diperbaiki setiap enam bulan sekali.
5.3. Paras air tanah
Paras (tinggi muka) air tanah merupakan indikasi dinamika air (drainase
dan penggenangan) di lahan gambut. Prosedur yang umum dilakukan
untuk mengamatinya (lihat Gambar 4) yaitu:
Pengamatan dilakukan pada plot yang sama dengan pengamatan
vegetasi dan tanah;
Kedalam lahan gambut, masukkan pipa PVC berdiameter 2,5 inci,
panjang 2 m dan telah dilubangi (cukup banyak lubang, agar air
tanah dari sekitar tanah gambut bisa masuk ke dalam pipa). Kira-
kira 0,25 m (b) dari bagian atas pipa tersebut muncul di
permukaan;
Amati paras air tanah dengan memasukkan tongkat kayu (a);
Pengukuran perlu dilakukan sebulan sekali;
18
Tinggi muka air tanah (tmat) diukur dengan tongkat berskala, yaitu
jarak muka air tanah (tmat) terhadap permukaan tanah (tmat = a
b, dalam meter). Untuk mengetahui seberapa jauh/luas perubahan
muka air tanah gambut ini, beberapa pipa PVC dapat diletakkan
secara lateral dengan interval jarak tertentu dari tepi sungai/saluran
yang ada.
5.4. Penurunan tanah
Penurunan ketinggian tanah gambut (soil subsidence) merupakan
indikator akan adanya drainase dan perombakan bahan organik di dalam
lahan gambut. Subsiden juga bisa ditimbulkan oleh adanya alih fungsi
lahan gambut menjadi bentuk-bentuk penggunaan lain seperti pertanian,
perkebunan, dibangun jalan raya di atasnya, dsb. Berikut ini adalah
cara-cara untuk mengetahui adanya subsiden di lahan gambut:
Pengamatan dilakukan di lokasi plot yang sama dengan pengamatan
vegetasi dan tanah;
Masukkan pipa besi yang ditajamkan ke dalam tanah hingga sampai
lapisan tanah mineral (lihat Gambar 5);
Tandai bagian yang menyentuh permukaan tanah sebagai titik awal;
Gambar 4. Pengukuran muka air tanah di lahan gambut

19
Pengamatan dilakukan setiap enam bulan;
Laju subsiden dihitung dari selisih antara titik awal permukaan
tanah gambut (misal 0 cm) dengan titik pengamatan berikutnya
(misal 60 cm), lalu dibagi interval pengamatan (misal 6 bulan).
Dari contoh ini maka dapat diketahui bahwa laju subsiden adalah
sebesar (60 cm - 0 cm)/6 bl = 10 cm/bula
Gambar 5. Pemasangan pipa besi yang ditajami dan diberi tanda
untuk mengamati penurunan permukaan tanah
20
DAFTAR PUSTAKA
Brady, M. A. 1997. Organic matter dynamics of coastal peat deposit in
Sumatra, Indonesia. PhD thesis. The University of British
Columbia.
Brown, S. 1997. Estimating biomass and biomass change of tropical
forests, a primer. FAO Forestry Paper 134. FAO, Rome.
Hairiah K, Sitompul SM, Van Noordwijk M dan Palm C. 2001a.
Carbon stocks of tropical land use systems as part of the global C
balance: effects of forest conversion and options for clean
development activities, ASB-Lecture Note 4A. ICRAF-SEA.
Bogor.
Hairiah K, Sitompul SM, Van Noordwijk M dan Palm C. 2001b.
Methods for sampling carbon stocks above and below ground, ASB-
Lecture Note 4B. ICRAF-SEA. Bogor.
Harden, W. H., Sundquist, E. T., Stallard, R. F., dan Mark, R. K. 1992.
Dynamics of soil carbon during deglaciation of the Laurentide ice
sheet. Science 258:1921-1924.
IPCC. 2001. Climate Change 2001: The scientific basis. Cambridge
University Press.
Istomo. 2002. Kandungan Fosfor dan Kalsium serta penyebarannya
pada tanah dan tumbuhan hutan rawa gambut: Studi kasus di
wilayah bagian KPH Bagan Siapi Api Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Disertasi Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Joosten, H, dan Clarke, D. 2002. Wise use of mires and peatlands,
background and principles including a framework for decision-
making. ICMG and IPS. 304 hal.
Ketterings QM, Coe, R, van Noordwijk, M, Ambagau, Y, Palm, CA.
2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass
equations for predicting above-ground tree biomass in mixed
secondary forests. Forest Ecology and Management 120:199-
209.

21
Maltby dan Immirizi. 1993. Carbon dynamics in peatlands and other
wetlands soils: regional and global perspective. Chemosphere
27:999 1023.
Murdiyarso, D., Widodo, M, dan Suyanto, D. 2002. Fire risks in forest
carbon projects in Indonesia. Science in China (Series C). Vol 45
Supp : 65 74
Neuzil, S.G. 1997. Onset and rate of peat and carbon accumulation in
four domed ombrogenous peat deposits in Indonesia. In
Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. (eds. Rieley,
J.O., and S. E. Page). Samara Publishing Ltd. pp. 55-72.
Notohadiprawiro, T. 1983. Selidik cepat ciri tanah di lapangan. Ghalia
Indonesia. 94 hal.
Page, S.E. dan Rieley, J.O. 1998. Tropical peatlands: a review of their
natural resource functions with particular reference to Southeast
Asia. Int. Peat J. 8, 95-106.
Page, S.E, Siegert, F, Rieley, J.O, Boehm, H.D.V, Jaya, A. 2002. The
amount of carbon released from peat and forest fire in Indonesia
during 1997. Nature 420 : 61 65.
Post, R.M., Emanuel, W.R., Zinke, P.J., dan Stangenberger. 1982. Soil
carbon pools and world life zones. Nature 298 : 156-159.
Soil Survey Staff. 1998. Key to Soil Taxonomy. United States
Departement of Agriculture (USDA). National Resources
Conservation Services.
Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo. 2003 (dalam persiapan). Sebaran
Gambut dan Kandungan Karbon Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Proyek CCFPI (Climate Change, Forests and Peatlands in
Indonesia). Wetlands International - Indonesia Programme (WI-
IP) dan Wildlife Habitat Canada (WHC). Bogor.
LAMPIRAN

23
Lampiran 1. Data berat jenis beberapa spesies pohon hutan gambut*
24

25
*) Sumber: www.worldagroforestrycenter.cgiar.org
**) Berat jenis (Bj) ~ 1 g/cc ~ 1 ton/m
3
~ ~
26
Lampiran 2. Lembar pengamatan cadangan C atas-permukaan
Lembar Pengamatan Cadangan C Atas-permukaan
_____________________________________________________
Nomor lapangan : .....
Pemilik/penguasa lahan : .
Desa /wilayah : .
Tanggal pengamatan : .
Pengamat : .

27
Keterangan:
*) Gunakan data yang tersedia pada Lampiran 1
**) Untuk menghitung nilai total cadangan C per plot seluas 1000 m
2
,
maka harus diketahui jumlah tegakan masing-masing jenis pohon
dalam satu plot. Lalu besarnya nilai cadangan C per plot (ton)
dimana:
Ci = kandungan C (kg) untuk masing-masing jenis pohon ke-i
sampai dengan n
Spi = jumlah tegakan pohon jenis ke-i sampai dengan n
n
i = 1
Spi x Ci
1000
=
28
Lampiran 3. Nilai kisaran dan rerata bobot isi (BD) dan kadar C-Organik
pada tiap jenis/tingkat kematangan gambut di Sumatera
(Wahyunto, et al., 2003)
Catatan:
Pada lahan gambut dengan status peaty soil (mineral bergambut) atau
sangat dangkal (ketebalan <50 cm), umumnya tidak lagi dikategorikan
sebagai tanah gambut, karena selain nilai BD-nya yang cukup tinggi
(sebagai akibat dari adanya pengaruh mineral), juga nilai kandungan C-
organik-nya relatif rendah. Namun dalam penghitungan cadangan
karbon di lahan gambut, klasifikasi ini juga harus diperhitungkan.

29
Lampiran 4. Lembar pengamatan cadangan C bawah-permukaan
Lembar Pengamatan Cadangan C Bawah-permukaan
____________________________________________________
Nomor lapangan : .
Pemilik/penguasa lahan : ...........................
Desa/wilayah : ..
Tanggal pengamatan : .....
Pengamat : .
30
Lampiran 5. Contoh penghitungan cadangan C bawah-permukaan

31
Lampiran 6. Lembar pengamatan tambahan
Lembar Pengamatan Tambahan
____________________________________________________
Nomor lapangan : .
Pemilik/penguasa lahan : .
Desa/wilayah : .
Tanggal pengamatan : .
Pengamat : .
Sejarah penggunaan lahan
Penutupan lahan asli : .
Awal konversi : .
Teknik yang digunakan : .
Penggunaan lahan saat ini: .....
Lama penggunaan lahan : .
Input terhadap tanah : .
Pohon dominan
32
H
i
d
r
o
l
o
g
i

d
a
n

s
i
f
a
t

k
e
m
a
t
a
n
g
a
n

g
a
m
b
u
t
C
a
t
a
t
a
n
:
F
=
F
i
b
r
i
k
,

b
i
l
a

k
a
n
d
u
n
g
a
n

s
e
r
a
t

y
a
n
g

t
e
r
t
i
n
g
g
a
l

d
a
l
a
m

t
e
l
a
p
a
k

t
a
n
g
a
n

s
e
t
e
l
a
h

p
e
m
e
r
a
s
a
n
,

a
d
a
l
a
h

t
i
g
a
p
e
r
e
m
p
a
t

b
a
g
i
a
n

a
t
a
u

l
e
b
i
h

(

)
.


N
i
l
a
i

B
D

=

0
,
1
0
1
2


0
,
1
2

(
r
e
r
a
t
a

0
,
1
0
2
8

g
/
c
c
)
.
H
=
H
e
m
i
k
,

b
i
l
a

k
a
n
d
u
n
g
a
n

s
e
r
a
t

y
a
n
g

t
e
r
t
i
n
g
g
a
l

d
a
l
a
m

t
e
l
a
p
a
k

t
a
n
g
a
n

s
e
t
e
l
a
h

p
e
m
e
r
a
s
a
n
,

a
d
a
l
a
h

a
n
t
a
r
a
k
u
r
a
n
g

d
a
r
i

t
i
g
a

p
e
r
e
m
p
a
t

s
a
m
p
a
i

s
e
p
e
r
e
m
p
a
t

b
a
g
i
a
n

a
t
a
u

l
e
b
i
h

(
<

)
.


N
i
l
a
i

B
D

=

0
,
1
3
2
5


0
,
2
9
(
r
e
r
a
t
a

0
,
1
7
1
6

g
/
c
c
)
.
S
=
S
a
p
r
i
k
,

b
i
l
a

k
a
n
d
u
n
g
a
n

s
e
r
a
t

y
a
n
g

t
e
r
t
i
n
g
g
a
l

d
a
l
a
m

t
e
l
a
p
a
k

t
a
n
g
a
n

s
e
t
e
l
a
h

p
e
m
e
r
a
s
a
n
,

a
d
a
l
a
h

k
u
r
a
n
g

d
a
r
i
s
e
p
e
r
e
m
p
a
t

b
a
g
i
a
n

(
<

)
.


N
i
l
a
i

B
D

=

0
,
2
4
9


0
,
3
7

(
r
e
r
a
t
a

0
,
2
7
9
4

g
/
c
c
)
.
Buku panduan ini disusun oleh berbagai pakar kehutanan (untuk penentuan
kandungan karbon di atas permukaan/above-ground carbon) maupun oleh pakar
tanah gambut (untuk penentuan kandungan karbon di bawah permukaan/
below-ground carbon), dan telah diujicobakan pada beberapa lokasi lahan
gambut proyek CCFPI di Sumatera maupun Kalimantan Tengah. Tujuan dari
penulisan buku panduan ini adalah selain untuk menambah khasanah ilmu
pengetahuan di bidang gambut, juga dimaksudkan agar pihak-pihak lain
mengetahui teknik-teknik mengukur biomassa dan kandungan karbon yang
terdapat di atas maupun di bawah lahan gambut. Teknik-teknik yang disajikan
dalam buku ini, berikut rumus-rumusnya, telah disederhanakan sedemikian
rupa, namun tanpa menghilangkan/mengabaikan kaedah-kaedah ilmiah yang
berlaku sehingga isi buku ini masih dapat dipertanggungjawabkan dalam
penerapannya.
The Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia (CCFPI) Project undertaken
with the financial support of the Government of Canada provided through
the Canadian International Development Agency (CIDA)
Canadian International Agence canadienne de
Development Agency dveloppement international
ISBN:

Anda mungkin juga menyukai