Derek C. Angus, M.D., M.P.H., and Tom van der Poll, M.D., Ph.D.
Sepsis adalah salah satu sindrom tertua dan paling sulit dipahami di dunia kedokteran. Hippocrates mengklaim bahwa sepsis merupakan proses dimana terjadi pembusukan daging, bau tidak sedap, dan pernanahan luka. Galen kemudian menganggap sepsis sebagai mekanisme alami, yang diperlukan untuk penyembuhan luka. Lalu dengan konfirmasi teori mikroorganisme oleh Semmelweis, Pasteur, dan lain-lain, sepsis dianggap sebagai infeksi sistemik yang sering dideskripsikan sebagai keracunan pada darah, dan diasumsikan sebagai hasil dari invasi pada inang oleh organisme patogenik yang kemudian menyebar dari aliran darah. Namun, dengan kemajuan antibiotik modern, teori mikroorganisme tidak begitu menjelaskan patogenesis dari sepsis: banyak pasien dengan sepsis meninggal meskipun eradikasi yang sukses terhadap patogen penyebabnya. Sehingga, peneliti menyarankan bahwa inang (host) dan bukan mikroorganisme yang mengendalikan patognesis dari sepsis. Pada tahun 1992, panelis internasional mendefinisikan sepsis sebagai respons inflamasi sistemik terhadap infeksi, mencatat bahwa sepsis dapat muncul pada respons terhadap berbagai penyebab infeksi dan bahwa septisemia bukan merupakan kondisi yang dibutuhkan atau membantu dalam penyembuhan. Panelis kemudian menyarankan penggunaan istilah sepsis berat / severe sepsis untuk mendeskripsikan kondisi dimana sepsis menjadi kompleks oleh disfungsi organ akut, dan mereka juga mengkodekan shock septik sebagai sepsis kompleks akibat hipotensi yang refrakter terhadap resusitasi cairan atau hiperlaktatemia. Pada tahun 2003, panelis konsensus kedua memperbaiki sebagian besar konsep ini, dengan menambahkan tanda-tanda respons inflamasi sistemik, seperti takikardia atau peningkatan leukosit, yang ditemukan pada banyak kondisi infeksi dan non infeksi sehingga tidak begitu membantu dalam membedakan sepsis dengan kondisi lain. Namun, istilah sepsis berat dan sepsis terkadang digunakan secara bergantian untuk mendeskripsikan sindrom infeksi yang lebih kompleks akibat adanya disfungsi organ akut. 2
INSIDENS DAN PENYEBAB Insidens sepsis berat bergantung kepada seberapa akut disfungsi organ terjadi dan apakah disfungsi berhubungan dengan infeksi mendasar. Disfungsi organ umumnya dilihat sesuai dengan penggunaan terapi suportif (cth: ventilasi mekanik) dan studi epidemiologi yang menghitung insidens yang telah diobati. Di Amerika Serikat, sepsis berat ditemukan ada 2% pasien yang dirawat di rumah sakit. Dari semua pasien ini, sebagian diterapi di ICU, mewakili 10% jumlah pasien yang dirawat di ICU. Jumlah kasus di Amerika Serikat melewati angka 750.000 per tahun dan kian meningkat. Tetapi, beberapa faktor ICD 9 coding terbaru, cukup membingungkan dalam membedakan septisemia dan sepsis berat, peningkatan kapasitas dalam menyediakan perawatan intensif, dan peningkatan kesadaran serta surveilans. Studi di negara maju menunjukkan angka yang serupa mengenai sepsis di ICU. Namun, Insidens dari sepsis berat diluar ICU modern, terutama pada sebagian tempat dimana perawatan ICU belum memadai, umumnya tidak diketahui. Angka insidens yang telah diobati di Amerika serikat diestimasi mencapai 19 juta kasus per tahun. Insidens pastinya diperkirakan lebih banyak. Sepsis berat terjadi sebagai hasil dari infeksi nosokomial dan komunitas. Pneumonia merupakan penyebab tersering, menyebabkan separuh dari jumlah kasus, diikuti oleh infeksi intraabdominal dan saluran kencing. Kultur darah biasanya positif hanya pada satu dari tiga kasus, dan hingga ketiga kasus, biasanya negatif. Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae adalah bakteri gram positif tersering, sedangkan E. coli, Klebisellae, dan Pseudomonas aeruginosa mendominasi isolasi gram negatif. Studi epidemiologis dari sepsis menunjukkan bahwa selama periode 1979-2000, infeksi gram positif lebih mendominasi dibanding infeksi gram negatif. Namun, pada studi terbaru mencakup 14.000 pasien ICU di 75 negara, bakteri gram negatif diisolasi pada 62% pasien dengan sepsis berat yang memiliki hasil kultur positif, bakteri gram positif pada 47%, dan 19% pada fungi. 3
Faktor risiko dari sepsis berat berkaitan dengan predisposisi pasien terhadap infeksi dan kemungkinan terjadinya disfungsi organ akut apabila infeksi muncul. Terdapat beberapa faktor yang diketahui dalam mencetuskan sepsis berat dan shock sepsis, termasuk penyakit kronis (AIDS, COPD, dan berbagai jenis kanker) serta penggunaan agen imunosupresif. Pada sebagian pasien dengan infeksi seperti itu, risiko disfungsi organ tidak begitu dipelajari, namun kemungkinan termasuk organisme kausatif dan komposisi genetik pasien, kondisi kesehatan mendasar, dan fungsi organ pasien, beserta dengan intervensi terapeutik yang telah didapat. Umur, jenis kelamin, dan ras atau etnis seluruhnya mempengaruhi insiden sepsis berat, yang lebih tinggi pada bayi dan lansia dibanding kelompok usia lainnya, juga lebih tinggi pada pria dibanding wanita, dan lebih tinggi pada ras kulit hitam dibanding ras kulit putih. Terdapat hal menarik mengenai kontribusi karakteristik genetik pada host terhadap insidens dan outcome dari sepsis, sebagian karena bukti kuat dari faktor risiko genetik yang didapat. Banyak studi berfokus kepada polimorfisme genetik dan protein yang berimplikasi pada patogenesis sepsis, termasuk sitokin dan mediator lain yang terlibat pada innate immunity, koagulasi, dan fibrinolisis. Namun, penemuan ini biasanya tidak konsisten, dengan mengambil bagian dari heterogenitas dari populasi pasien yang dipelajari. Meskipun asosiasi genom terbaru mengeksplor respon obat pada sepsis, tidak ada studi skala besar mengenai suseptibilitas atau outcome dari sepsis telah dilakukan.
GAMBARAN KLINIS Manifestasi klinis dari sepsis sangatlah beragam, bergantung oleh lokasi awal infeksi, organisme kausatif, pola disfungsi organ, dan status kesehatan mendasar dari pasien, serta interval sebelum inisiasi pengobatan. Tanda dari infeksi dan disfungsi organ mungkin jelas, dan guideline internasional terbaru menyediakan daftar panjang dari tanda bahaya sepsis. Disfungsi organ akut umumnya mengenai sistem respirasi 4
dan kardiovaskular. Keterlibatan respiratorik secara klasik bermanifestasi sebagai Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), yang ditandai dengan hipoksemia dengan infiltrasi bilateral dari asal non kardiak. Keterlibatan kardiovaskular dimanifestasikan secara primer sebagai hipotensi yang tampak secara rutin, membutuhkan vasopresor, dan disfungsi miokard dapat tampak. Otak dan ginjal juga terkadang terkena. Disfungsi sistem nervus sentral biasanya bermanifestasi sebagai delirium. Studi pencitraan biasanya tidak menunjukkan lesi fokal, dan penemuan pada EEG biasanya konsisten dengan ensefalopati nonfokal. Polineuropati dan miopati juga umum ditemukan, terutama pada pasien yang lama dirawat di ICU. Gangguan ginjal akut biasanya bermanifestasi terhadap penurunan urine output dan peningkatan level serum kreatinin dan biasanya membutuhkan terapi penggantian ginjal. Ileus paralitik, peningkatan level aminotransferasi, gangguan glikemik, trombositopenia, dan disseminated intravascular coagulation (DIC), dan sindroma eutiroid biasanya sering ditemukan pada pasien sepsis berat.
OUTCOME Sebelum pengenalan terhadap pelayanan intensif modern dengan kemampuan dalam menyediakan bantuan organ vital, sepsis berat dan shock sepsis biasanya lethal. Bahkan dengan pelayanan intensif, jumlah kematian di rumah sakit biasanya meningkat melewati 80% sekitar 30 tahun lalu. Namun, dengan adanya kemajuan dari pelatihan, surveilans dan monitoring, dan inisiasi terapi untuk mengobati infeksi mendasar dan memyembuhkan organ yang rusak, mortalitas kini mendekati angka 20-30% pada berbagai seri. Dengan penurunan angka kematian, perhatian telah difokuskan kepada tingkat kesembuhan pada pasien yang selamat. Sejumlah studi telah menyatakan bahwa pasien yang selamat dan keluar dari rumah sakit setelah sepsis akan tetap memiliki risiko kematian pada beberapa bulan dan tahun setelahnya. Mereka yang selamat kemudian akan memiliki fungsi fisik dan neurokognitif yang terganggu, gangguan mood, dan kualitas hidup yang rendah. Tetapi, pada analisis 5
kohort longitudinal terbaru yang melibatkan orang amerika berusia lanjut, menyarankan bahwa sepsis berat secara signifikan meningkatkan gangguan neurokognitif dan fisik.
Tabel 1. Kriteria diagnosis Sepsis berat dan shock sepsis Sepsis (ditemukan atau dicurigai infeksi plus 1 dari tanda berikut) Demam (>38.3 C) Hipotermia (<36 C) Peningkatan heart rate (>90 beats per min atau >2 SD) Takipnea Gangguan status mental Edema atau gangguan keseimbangan cairan (>20 ml/kg berat badan selama periode 24-hr) Hyperglycemia (glukosa plasma, >120 mg/dl [6.7 mmol/liter]) tanpa riwayat diabetes Tanda inflamasi Leukocytosis (white-cell count, >12,000/mm3) Leukopenia (white-cell count, <4000/mm3) Leukosit normal dengan bentuk imatur >10% Peningkatan plasma C-reactive protein (>2 SD) Peningkatan plasma procalcitonin (>2 SD) Gangguan hemodinamik Hipotensi arteri (Tekanan sistol, <90 mm Hg; mean arterial pressure, <70 mm Hg; atau penurunan tekanan sistol >40 mm Hg pada dewasa atau >2 SD) Peningkatan venous oxygen saturation (>70%) Peningkatan cardiac index (>3.5 liters/min/square meter of body-surface area) Gangguan fungsi organ Hipoksemia arterial (rasio tekanan parsial oksigen arteri terhadap fraksi oksigen yang diinspirasi <300) Acute oliguria (urine output, <0.5 ml/kg/hr or 45 ml/hr selama 2 jam) Peningkatan creatinine level of >0.5 mg/dl (>44 mol/liter) Koagulasi abnormal (international normalized ratio, >1.5; or APTT, >60 sec) Ileus paralitik (absen bunyi usus) Thrombocytopenia (platelet count, <100,000/mm3) Hyperbilirubinemia (plasma total bilirubin, >4 mg/dl [68 mol/liter]) Perfusi jaringan 6
Hyperlaktatimia (lactate, >1 mmol/liter) Penurunan capillary refill time Severe sepsis (sepsis dengan disfungsi organ) Septic shock (sepsis dengan baik hipotensi [refrakter dengan cairan intravena] atau hiperlaktemia
PATOFISIOLOGI Respon Host Setelah konsep dari teori host digabungkan, awalnya diasumsikan bahwa gambaran klinis sepsis merupakan hasil dari inflamasi eksuberant. Kemudian, Bone et al mengembangkan ide tersebut bahwa respons inflamasi inisial memberi jalan untuk terjadinya sindrom kompensasi dari respons antiinflamasi. Namun, hal ini menjadi jelas bahwa infeksi memicu respon host yang lebih kompleks, bervariasi, dan panjang dimana baik mekanisme proinflamasi dan antiinflamasi dapat berkontribusi terhadap infeksi dan penyembuhan jaringan pada satu sisi dan kerusakan organ serta infeksi sekunder di sisi lainnya. Respon spesifik pada tiap pasien bergantung pada patogen kausatif (load dan virulensi) dan host (karakteristik genetik dan penyakit koeksis), dengan respons berbeda pada tingkatan lokal, regional dan sistemik (gambar 1). Komposisi dan arah dari respon host kemungkinan berubah seiring waktu paralel dengan kondisi klinis. Secara general, reaksi proinflamasi (ditujukan dalam mengeliminasi patogen invasif) dianggap bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan kolateral pada sepsis berat, dan ketika respons antiinflamasi (penting untuk membatasi cedera jaringan lokal dan sistemik) diimplikasikan pada suseptibilitas terhadap infeksi sekunder.
Innate immunity Pengetahuan dalam mengenali patogen telah meningkat secara drastis selama dekade terakhir. Patogen akan mengaktifkan sel imun melalui interaksi dengan resepttor pengenal pola, yang terdiri dari empat kelas utama toll like receptors, 7
reseptor lektin tipe C, reseptor asam retinoid induksibel gen 1, dan nucleotide-binding oligomerization domain-like receptors telah diidentifikasi, dengan kelompok terakhir sebagiannya bekerja pada kompleks protein dikenal dengan inflamasom (gambar 1). Reseptor ini mengenali struktur yang melekat pada spesies mikroba, pola molekular yang berhubungan dengan patogen, menghasilkan upregulasi dari transkipsi gen inflamasi dan inisiasi dari innate immunity. Reseptor yang sama juga mengenali molekul endogen yang dikeluarkan dari sel yang cedera, pola molekular yang berhubungan dengan patogen, atau alarmin, seperti kelompok mobilitas tinggi dari protein B1, S100, dan RNA ekstraselular, DNA, dan histon. Alarmin juga dilepaskan selama cedera steril seperti trauma, memberikan peningkatan menuju konsep bahwa patogenesis dari kegagalan organ multipel pada sepsis tidak begitu berbeda dari patogenesis penyakit kritis noninfeksi.
Abnormalitas koagulasi Sepsis berat sangat bervariasi dan berhubungan dengan alterasi koagulasi, seringnya berakhir menjadi disseminated intravascular coagulation (DIC). Deposisi fibrin eksesif dipicu oleh koagulasi melalui aksi tissue factor, glikoprotein transmembran yang diekspresikan oleh beberapa tipe sel; mekanisme antikoagulan yang terganggu, termasuk sistem protein C dan antitrombin; dan dengan menghilangkan fibrin yang menjurus pada depresi sistem fibrinolitik (gambar 2). Protease-activated receptors (PARS) membentuk kaitan molekular antara koagulasi dan inflamasi. Dari empat subtipe yang diidentifikasi, PAR1 secara umum diimplikasi pada sepsis. PAR1 mengeluarkan efek sitoprotektif ketika distimulasi dengan protein C aktif atau dosis rendah trombin namun mengeluarkan efek perusak juga pada fungsi sawar endotelial-sel ketika diaktivasi oleh dosis tinggi trombin. Efek protektif dari protein C aktif pada model hewan yang mengalami sepsis bergantung pada kapasitasnya dalam mengaktivkan PAR1 dan bukan bergantung dengan properti antikoagulannya.
8
Mekanisme antiinflamasi dan imunosupresi Sistem imun mengaktifkan mekanisme humoral, selular, dan neural yang mengatenuasi efek merugikan dari respons proiinflamasi. Fagosit dapat berubah menjadi fenotip antiinflamasi yang mempromosikan perbaikan jaringan, dan sel T regulatori dan sel supresor mieloid yang lebih jauh lagi akan mengurangi inflamasi. Sebagai tambahan, mekanisme neural dapat menghambat inflamasi. Pada refleks neuroinflamatori, input sensoris bergantung pada nervus vagus aferen pada batang otak, dimana nervus vagus eferen mengaktivasi nervus splenik pada pleksus seliak, menghasilkan pengeluaran norepinerfrin pada spleen dan sekresi asetilkolen melalui serangkaian sel T CD4+. Pelepasan acetylcholine release targets 7 cholinergic receptors pada makrofag, mensupresi pelepasan sitokin proinflamasi. Pada model hewan yang mengalami sepsis, disrupsi dari sistem berbasis neural ini oleh vagotomi meningkatkan suseptibilitas terhadap shock endotoksin, dimana stimulasi nervus vagus eferen atau reseptor kolinergik 7 yang mengatenuasi inflamasi sistemik. Pasien yang selamat dari sepsis namun masih dependen terhadap perawatan intensif memiliki bukti imunosupresi, pada bagian yang direfleksikan oleh ekspresi sel mieloid HLA-DR yang menurun. Pasien-pasien ini sering memiliki fokus infeksi yang masih tersisa, meskipun diberikan terapi antimikrobial, atau reaktivasi dari infeksi virus laten. Sejumlah studi telah mendokumentasi penurunan respon dari leukosit di darah ke patogen pada pasien dengan sepsis, menemukan bahwa studi postmortem terbaru menjelaskan kerusakan fungsinal yang besar dari splenosit yang diperoleh dari pasien yang meninggal setelah mengalami sepsis di ICU. Selain spleen, paru-paru juga menunjukkan bukti imunosupresi; baik organ yang memiliki peningkatan ekspresi ligan untuk reseptor inhibitorik sel T pada sel parenkim. Apoptosis yang meningkat, terutama dari sel B, Sel T CD4+, dan sel dendritik folikular, telah dihubungkan dengan imunosupresi pada sepsis dan kematian. 9
Regulasi epigenetik dari ekspresi gen juga mungkin berkontribusi terhadap imunosupresi yang berhubungan dengan sepsis.
Gambar 1. Respon host pada sepsis berat. Respon host terhadap sepsis ditandai dengan respon proinflamasi (panel atas, merah) dan respon antiinflamasi (panel bawah, biru). Arah, penyebaran, dan durasi dari reaksi ini ditentukan oleh faktor host (karakteristik genetik, usia, penyakit koeksis, dan medikasi) dan faktor patogen (jumlah mikroba dan virulensi). Respon inflamasi diinisiasi oleh interaksi antara pola molekular yang diekspresikan oleh patogen dan pola reseptor yang diekspresikan oleh sel dari host pada permukaan sel (toll like receptors dan C-type lectin receptor). Pada endosom, atau sitoplasma (retinoid acid inducible gene 1-like receptor [RLRs] an nucleotide-binding oligomerization domain like-receptors [NRL]). Konsekuensi dari inflamasi yang semakin berat dari kerusakan jaringan kolateral dan nekrosis sel, yang hasilnya adalah pelepasan pola molekular yang berhubungan dengan kerusakan, dan akan memperburuk inflamasi dengan beraksi pada reseptor yang memiliki pola sama dan dicetuskan oleh patogen.
10
Gambar 2. Kegagalan organ pada sepsis berat dan disfungsi dari endotel vaskular dan mitokondria. Sepsis diasosiasikan dengan trombosis mikrovaskular oleh aktivasi konkuren dari koagulasi (dimediasi tissue factor) dan gangguan mekanisme antikoagulan sebagai konsekuensi dari penurunan aktivitas jalur antikoagulan endogen (dimediasi oleh protein C aktif, antitrombin, dan tissue factor pathway inhibitor), serta gangguan fibrinolisis yang akan meningkatkan pelepasan plasminogen activator inhibitor type 1 (PAL-1). Kapasitas untuk merubah protein C terganggu pada beberapa bagian melalui penurunan ekspresi dari dua reseptor endotel: thrombomodulin (TM) dan endothelial protein c receptor. Formasi trombus lebih jauh difasilitasi oleh jebakan neutrofil ekstraselular yang dicetuskan dari neutrofil yang mati. Formasi trombus menghasilkan hipoperfusi jaringan, yang diperparah oleh vasodilatasi, hipotensi, dan deformitas eritrosit. Oksigenasi jaringan lebih jauh lagi dirusak oleh penurunan fungsi barrier dari endotel dan cadherin, alterasi dari jembatan sel ke sel endotel, level angiopoitein 2 yang tinggi, dan gangguan keseimbangan antara sphingosine-1 phosphate receptor 1 (S1P1) dan S1P3 pada dinding vaskular, yang mengambil bagian dalam induksi preterential dari S1P3 melalui protease activated receptor 1 (PAR1) sebagai hasil dari penurunan rasio protein C aktif terhadap trombin. Penggunaan oksigen terganggu pada level subselular karena adanya kerusakan mitokondria akibat stres oksidatif.
11
Disfungsi Organ Walaupun mekanisme dari kegagalan organ pada sepsis hanya sebagian dimengerti, oksigenasi jaringan yang terganggu memiliki peran kunci (gambar 2). Beberapa faktor termasuk hipotensi, deformabilitas sel darah merah yang menurun, dan trombosis mikrovaskular berkontribusi terhadap gangguan penghantaran oksigen pada shock septik. Inflamasi dapat menyebabkan disfungsi endotel vaskular, diikuti dengan kematian sel dan hilangnya integritas barrier, memberikan peningkatan edema subkutan dan pada rongga tubuh. Sebagai tambahan, gangguan mitokondrial disebabkan oleh stres oksidatif dan mekanisme lain akan merusak penggunaan oksigen seluler. Lebih jauh lagi, pelepasan alarmin mitokondria terhadap lingkungan ekstraselular, termasuk DNA mitokondrial dan peptida formil, yang akan mengaktivasi neutrofil dan menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih jauh.
PENGOBATAN The surviving sepsis campaign, an international consortium of professional societies yang berkecimpung pada perawatan intensif, pengobatan dari penyakit infeksi dan kegawatdaruratan, baru-baru ini mengeluarkan pedoman klinis ketiga mengenai manajemen sepsis berat dan shock sepsis (Tabel 2). Elemen yang paling penting dari pedoman ini diatur menjadi dua bundel penanganan; yakni manajemen awal yang dilakukan dalam 6 jam setelah gejala ditemukan dan bundel lainnya yang berisi manajemen pengobatan di ICU. Implementasi dari bundel ini akan memperbaiki outcome pasien. Prinsip pada bundel penanganan awal adalah menyediakan resusitasi jantung paru dan mitigasi ancaman dari infeksi yang tak terkontrol. Resusitasi membutuhkan penggunaan cairan intravena dan vasopresor, dan terapi oksigen serta ventilasi mekanis yang disediakan jika perlu. Komponen yang tepat akan dibutuhkan dalam mengoptimalkan resusitasi, seperti pilihan dan jumlah cairan, penggunaan jenis dan 12
intensitas dari monitoring hemodinamik, dan peranan agen vasoaktif adjuvan, semuanya masih menjadi subjek perdebatan dan eksperimen klinis; banyak dari isu ini akan dijelaskan pada jurnal kali ini. Namun, beberapa bentuk resusitasi dianggap esensial, dan pendekatan terstandarisasi yang telah memastikan manajemen yang efektif. Manajemen awal dari infeksi membutuhkan diagnosis yang sesuai, hasil kultur, dan inisiasi terapi antimikroba empiris serta kontrol dari sumber (drainase pus, jika perlu). Pilihan terapi empiris bergantung pada kecurigaan infeksi. Pengaturan dimana infeksi berkembang (rumah, tempat perawatan, atau rumah sakit), riwayat medis, dan pola suseptibilitas mikroba lokal. Pengobatan antibiotik yang terhambat atau tidak sesuai dihubungkan dengan angka mortalitas yang meningkat. Namun, terapi antibiotik intravena menghasilkan outcome yang lebih baik dibanding terapi antibiotik tunggal yang adekuat pada pasien dengan sepsis berat. Guideline terkini merekomendasikan terapi antimikroba hanya untuk sepsis neutropenik dan sepsis yang disebabkan oleh spesies pseudomonas. Terapi antifungal empiris sebaiknya digunakan hanya pada pasien yang berisiko tinggi untuk mengalami kandidiasis invasif. Pasien harus dipindahkan ke pengaturan yang lebih sesuai seperti ICU untuk mendapatkan perawatan lanjut. Setelah 6 jam pertama, perhatian harus difokuskan kepada montoring dan memperbaiki fungsi organ, menceegah komplikasi, dan deeskalasi dari perawatan jika perlu. De-eskalasi dari terapi broadspectrum dapat mencegah kegawatan dari organisme yang resisten, dan menurunkan biaya, dan bukti dari studi observasional mengindikasikan pendekatan seperti ini cukup aman. Satu- satunya terapi imunomodulator yang dianjurkan untuk terapi jangka pendek adalah hidrokortison (200-300 mg per hari hingga 7 hari atau setelah bantuan vasopresor tidak lagi dibutuhkan) pada pasien dengan shock septik refrakter. Rekomendasi ini didukung dengan meta analisis, namun kedua studi terbesar memberikan hasil yang bertentangan, dan percobaan klinis lain masih dilangsungkan saat ini.
13
Tabel 2. Pedoman pengobatan untuk pengobatan sepsis berat dan shock sepsis dari surviving sepsis campaign Elemen perawatan Resusitasi Memulai resusitasi berdasarkan tujuan selama 6 jam pertama setelah dicurigai 1C Memulai resusitasi aawal dengan kristaloid dan mempertimbangkan tambahan albumin 1B Mempertimbangkan tambahan albumin ketikan sejumlah kristaloid dibutuhkan untuk menjaga arterial pressure yang adekuat 2C Mencegah formulasi hetarstach 1C Memulai terapi cairan pada pasien dengan hipoperfusi jaringan dan hipovolemia, untuk mencapai > 30ml kristaloid per kilogram 1C Teknik cairan kontinyu selama terdapat perbaikan hemodinamik Penggunaan norepinephrine sebagai pilihan pertama vasopresor untuk menjaga mean arterial pressure of 65 mm Hg 1B Penggunaan epinephrine ketika agen tambahan dibutuhkan untuk me maintain tekanan darah adekuat 2B Pemberian vasopressin (pada dosis 0.03 units/menit) dengan norepinephrine, apabila ditoleransi UG Hindari penggunaan dopamin kecuali pada beberapa pasien (e.g., pasien dengan risiko renda aritmia dan diketahui memiliki disfungsi ventrikel kiri atau heart rate yang rendah) 2C Infus dobutamin atau menambahkan terapi vasopresor jika ditemukan disfungsi miokard (e.g., elevated cardiac filling pressures or low cardiac output) atau hipoperfusi meskipun terdapat volume intravaskular dan mean arterial pressure yang adekuat1C Menghindari penggunaan hidrokortison IV jika resusitasi cairan adekuat dan terapi vasopresor mengembalikan stabilitas hemodinamik; jika hidrokortison telah digunakan; berikan dosis 200mg/hari 2C Target level hemoglobin 7-9 g/dl pada pasien tanpa hipoperfusi, penyakit arteri koroner, atau iskemia miokard, atau pendarahan akut 1B Kontrol infeksi Mengambil kultur darah sebelum pemberian antibiotik 1C Melakukan studi pencitraan untuk mengetahui fokus infeksi UG Pemberian antibiotik broad spektrum selama 1 jam setelah diagnosis ditegakkan 1B/1C Menilai ulang pemberian antibiotik 1B Melakukan kontrol sumber dengan perhatian pada riisiko dan keuntungan metode yang diambil 12 jam setelah diagnosis 1C 14
Bantuan Respirasi Menggunakan volume tidal rendah dan inspiratory-plateau-pressure strategy for ARDS 1A/1B Memberikan tekanan positif-ekspiratori minimal ARDS 1B Pemberian tekanan positif-ekspiratori yang lebih rendah pada pasien ARDS akibat sepsis 2C Pemberian manuver pada pasien dengan hipoksemia refrakter berat akibat ADRS 2C Memastikan pasien berada di posisi pronasi 2C Mengangkat kepala dari tempat tidur untuk pasien yag menggunakan ventilasi mekanik, kecuali merupakan kontraindikasi 1B Menggunakan strategi cairan konservatif untuk ARDS atau cedera paru tanpa bukti hipoperfusi jaringan 1C Menggunakan weaning protocols 1A Bantuan saraf sentral Protokol penggunaan sedasi 1B Menghindari neuromuscular blockers jika mungkin pada pasien ARDS 1C Memberikan neuromuscular blocker dosis rendah (<48 hr) untuk pasien ARDS berat 2C Penanganan suportif umum Menggunakan pendekatan spesifik protokol dalam manajemen gula darah, dengan inisiasi insulin setelah dua pemeriksaan gula darah >180 mg/dl (10 mmol/ liter), target gula darah <180 mg/dl 1A Menggunakan hemofiltrasi kontinus yang ekuivalen atau hemodialisis intermiten untuk gagal ginjal atau overload cairan 2B Pemberian profilaksis DVT 1B Pemberian profilaksis gastric stress 1B Pemberian nutrisi oral atau parenteral setelah didiagnosa dengan sepsis2C Menentukan goal dari pengobatan, termasuk rencana pengobatan dan perawatan paliatif jika perlu
PENCARIAN TERAPI TERBARU Kegagalan terakhir Satu dari kekecewaan terbesar selama 30 tahun terakhir adalah kegagalan dalam mengkonversi penemuan dalam memahami gambaran biologis mendasar dari sepsis terhadap terapi baru yang efektif. Peneliti telah mencoba baik agen spesifik dan agen yang lebih memiliki efek pleiotropik. Agen spesifik dapat dibagi menjadi agen yang didesain untuk menginterupsi kaskade sitokin (misalnya antilipopolysaccharide 15
atau anti-proinflammatory cytokine strategies) dan yang didesain untuk berinteraksi dengan koagulasi (misalnya antitrombin atau protein C teraktivasi). Satu-satunya agen terbaru yang telah mendapatkan persetujuan adalah protein C teraktivasi. Namun, kekhawatiran muncul setelah obat ini diizinkan, yakni menyangkut keamanan dan efektifitas dari protein C ini pada beberapa studi ulangan, yang tidak menunjukkan keuntungan sehingga akhirnya peredaran obat ini dicabut dari pasar. Strategi lainnya tidak menunjukkan efisiensi. Dengan adanya keputusan terbaru untuk menghentikan pengembangan lanjut dari CytoFab, antibodi poliklonal terhadap anti- tumor nekrosis faktor ), belum ada eksperimen skala besar dari strategi antisitokin pada terapi dari sepsis. Diantara agen lain dengan efek imunomodulator yang luas, glukokortikoid telah mendapakan perhatian terbanyak. Immunoglobulin intravena juga dihubungkan dengan manfaat yang besar, namun pertanyaan penting tetap ada, dan penggunaannya bukan merupakan bagian dari praktik rutin. Meskipun studi observasional skala besar menyatakan bahwa penggunaan statin dalam menurunkan insidens atau memperbaiki outcome dari sepsis dan infeksi berat, beberapa penemuan belum dapat dikonfirmasi pada eksperimen-eksperimen terkontrol lain, sehingga penggunaan statin bukan menjadi bagian dari perawatan sepsis rutin.
Masalah dengan pengembangan terapeutik Dihadapkan dengan hasil yang mengecewakan ini, banyak pengamat mempertanyakan pendekatan terbaru dari perkembangan obat-obatan sepsis. Studi preklinik umumnya memeriksa obat pada tikus sehat atau tikus yang terekspos dengan sepsis (bakteri atau toksin bakteri). Pasien dengan sepsis sering berusia tua atau memiliki penyakit serius yang koeksis, sehingga akan memberikan efek pada respon host dan meningkatkan risiko disfungsi organ akut. Lebih jauh lagi, kematian pada situasi klinis sering terjadi meskipun telah digunakan antibiotik, resusitasi, dan bantuan hidup intensif lain, dan mekanisme penyakitnya pada beberapa kasus sering sangat berbeda dengan deteriorasi awal yang seringnya terjadi pada model hewan. 16
Juga terdapat perbedaan genetik diantara sebagian spesis mengenai respons inflamasi host. Pada studi klinis, kriteria pemilihan pasien sangatlah luas, agen yang diberikan pada formula standar hanya pada periode waktu yang pendek, hanya ada sedikit informasi mengenai bagaimana agen merubah respon host dan interaksi host-patogen, dan akhirnya adalah kematian akibat penyebab apapun. Strategi penelitian yang demikian kemungkinan sangat sederhana sehingga tidak memilih pasien yang dapat mendapatkan keuntungan, dan tidak dapat mengatur terapi berdasarkan respon host dan situasi klinisnya, serta tidak menangkap efek penting yang berpotensi memberikan outkome yang tidak fatal.
STRATEGI TERBARU Secara konsekuen, harapan difokuskan pada strategi pengobatan presisi dengan model preklinik yang baik, perkembangan obat yang sesuai target, dan uji klinis yang menyeleksi dengan baik, penghantaran obat, dan penghitungan outcome. Contohnya, pilihan untuk memperkaya portfolio preklinik termasuk studi pada hewan harus memiliki keanekaragaman genetik, berusia lebih tua, dan telah memiliki penyakit saat diuji. Eksperimen yang lebih panjang dengan penanganan suportif yang lebih mutakhir akan memberikan mimikri yang lebih baik pada stadium akhir sepsis dan kegagalan multiorgan, memperbolehkan kita untuk memeriksa obat-obatan pada kondisi yang lebih realistis serta memudahkan penilaian outcome seperti fungsi fisik dan kognitif. Sebagai tambahan, studi preklinik dapat digunakan untuk menskrining potensial biomarker dari respon terapeutik yang memiliki human homologues. Mutan protein C teraktivasi yang kekurangan properti antikoagulan adalah contoh dari perkembangan obat yang tertarget dan telah menunjukkan proteksi dari kematian akibat sepsis pada hewan, tanpa meningkatkan risiko pendarahan. Biomarker seperti pola ekspresi whole-genome pada leukosit darah tepi dapat mensejajarkan pasien kedalam subkelompok yang lebih homogen atau ketika akan melakukan intervensi terapeutik yang lebih tertarget. Gambaran bahwa sepsis berat dapat menyebabkan imunosupresi meningkatkan kemungkinan penggunaan terapi imunostimulan 17
(interleukin-7, makrofag granulosit colony stimulating factor atau interferon ), namun idealnya, terapi ini hanya digunakan pada pasien yang diidentifikasi mengalami imunosupresi, atau telah diprediksi. Sebab, terapi ini dapat mengganggu hasil pemeriksaan laboratorium dasar seperti monocyte HLA-DR expression. Sebagai tambahan, kekhawatiran mengenai gangguan akselerasi neurokognitif pada pasien yang selamat dari sepsis membuka jalan untuk mengekslorasi agen yang saat ini sedang dicobakan pada pasien demensia. Desain dari eksperimen ini dapat dimodifikasi menjadi ide-ide yang lebih muda. Contohnya, ketidakyakinan pada awal mula eksperimen akibat seleksi pasien dan strategi pemberian obat serta kemungkinan interaksi pengobatan dapat diurus lebih baik lewat metode Bayesian. Desain seperti ini dapat membantu dalam memeriksa kombinasi terapi atau menemukan biomarker potensial atas respon pengobatan.
KESIMPULAN Sepsis berat dan shock sepsis mewakili salah satu masalah tertua dan paling membingungkan di dunia kedokteran. Dengan kemajuan perawatan intensif, peningkatan kewaspadaan, dan diseminasi dari evidence based guideline, klinisi telah mencapai tahapan baru dalam menurunkan risiko kematian mendadak akibat sepsis. Namun, karena pasien yang selamat kini lebih banyak, kekhawatiran terhadap sekuelae muncul. Strategi juga dibutuhkan untuk mencapai beberapa jutaan pasien dengan sepsis yang berada jauh dari pelayanan intensif modern. Pada waktu yang sama, kemajuan dibidang biologi molekular telah menyediakan gambaran jelas mengenai kompleksitas dari pathogen dan dalam mengenali alarm pada host manusia dan petunjuk penting terhadap respon host. Namun, mencerna informasi ini dalam menyediakan terapi efektif terbaru dianggap lebih sulit. Terapi efektif terbaru telah dibuktikan sangat sulit. Untuk lebih jauh lagi meningkatkan outcome dari pasien dengan sepsis melalui perkembangan agen terapeutik, penelitian dan eksperimen dengan desain dan eksekusi yang lebih baru dan cerdas sangat esensial.