Anda di halaman 1dari 3

Coal Bed Methane

Pada tanggal 21 November 2009 SM IATMI UPN Yogyakarta bekerja sama dengan HMJ
Teknik Perminyakan UPN berkesempatan mengadakan seminar mengenai Coal bed Methane
(CBM) yang diisi oleh Bapak Bramastra laelan dari PT. Medco Indonesia. Coal bed methane
(CBM) merupakan sumber energi yang relatif masih baru. Sumber energi ini merupakan salah
satu energi alternatif yang dapat diperbaharui penggunaannya. Gas metane yang diambil dari
lapisan batubara ini dapat digunakan sebagai energi untuk berbagai kebutuhan manusia.
Walaupun dari energi fosil yang tidak terbaharukan, tetapi gas ini terus terproduksi bila lapisan
batubara tersebut ada.

Sebagaimana kita ketahui, cadangan batubara di Indonesia dan produksinya cukup menjanjikan,
dimana Indonesia termasuk negara produsen batubara dunia. Seiring bertambahnya kebutuhan
akan energi, baik untuk listrik dan transportasi, negara-negara berkembang seperti Indonesia juga
membutuhkan suatu energi alternatif yang dapat terus dikembangkan. Kebutuhan akan energi
untuk pembangkit listrik terus berkembang. Salah satu pembangkit listrik di dunia yang paling
dominan adalah dari energi batubara.

Berdasarkan perkiraan dari sebuah institusi di Prancis, maka konsumsi energi di dunia tetap akan
memakai minyak, batubara dan gas sebagai energi primer. Proyeksi ini memberikan gambaran
sebagaimana pentingnya peran energi fosil sebagai energi yang harus terbarukan. Kata-kata
harus disini mungkin tidak masuk akal, karena energi tersebut memang habis dipakai (tidak
dapat diperbaharui). Dengan adanya teknologi, riset dan pemikiran baru, maka sebuah lapisan
batubara dapat memberikan sebuah energi baru berupa gas yang dapat kita pakai.

Bentuk CBM sama halnya dengan gas alam lainnya. Dapat dimanfaatkan rumah tangga, industri
kecil, hingga industri besar. CBM biasanya didapati pada tambang batu bara non-tradisional,
yang posisinya di bawah tanah, di antara rekahan-rekahan batu bara.
Untuk memproduksi CBM, lapisan batubara harus terairi dengan baik sampai pada titik dimana
gas terdapat pada permukaan batubara. Gas tersebut akan teraliri melalui matriks dan pori, dan
keluar melalui rekahan atau bukaan yang terdapat pada sumur.
Air dalam lapisan batubara didapat dari adanya proses penggambutan dan pembatubaraan, atau
dari masukan (recharge) air dalam outcrops dan akuifer. Air dalam lapisan tersebut dapat
mencapai 90% dari jumlah air keseluruhan. Selama proses pembatubaraan, kandungan
kelembaban (moisture) berkurang, dengan rank batubara yang meningkat.

Gas biogenik dari lapisan batubara subbituminus akan dapat berpotensi menjadi CBM. Gas
biogenik tersebut terjadi oleh adanya reduksi bakteri dari CO2, dimana hasilnya berupa
methanogens, bakteri anaerobik yang keras, menggunakan H2 yang tersedia untuk mengkonversi
asetat dan CO2 menjadi metane sebagai by produk dari metabolismenya. Sedangkan beberapa
methanogens membuat amina, sulfida, dan methanol untuk memproduksi metane.

Aliran air, dapat memperbaharui aktivitas bakteri, sehingga gas biogenik dapat berkembang
hingga tahap akhir. Pada saat penimbunan maksimum, temperatur maksimum pada lapisan
batubara mencapai 40-90C, dimana kondisi ini sangat ideal untuk pembentukan bakteri metane.
Metane tersebut terbentuk setelah aliran air bawah tanah pada saat ini telah ada.



Apabila air tanah turun, tekanan pada reservoir turun, pada saat ini CBM bermigrasi menuju
reservoir dari sumber lapisan batubara. Perulangan kejadian ini merupakan regenerasi dari gas
biogenik. Kejadian ini dipicu oleh naiknya air tanah atau lapisan batubara yang tercuci oleh air.
Hal tersebut yang memberikan indikasi bahwa CBM merupakan energi yang dapat terbaharui.

Lapisan batubara dapat menjadi batuan sumber dan reservoir, karena itu CBM diproduksi secara
insitu, tersimpan melalui permukaan rekahan, mesopore, dan mikropore. Permukaan tersebut
menarik molekul gas, sehingga tersimpan menjadi dekat. Gas tersebut tersimpan pada rekahan
dan sistem pori pada batubara sampai pada saat air merubah tekanan pada reservoir. Gas
kemudian keluar melalui matriks batubara dan mengalir melalui rekahan sampai pada sumur.
Gas tersebut sering kali terjebak pada rekahan-rekahan.

CBM juga dapat bermigrasi secara vertikal dan lateral ke reservoir batupasir yang saling
berhubungan. Selain itu, dapat juga melalui sesar dan rekahan. Kedalaman minimal dari CBM
yang telah dijumpai 300 meter dibawah permukaan laut.
Gas terperangkap pada lapisan batubara sangat bergantung pada posisi dari ketinggian air bawah
tanah. Normalnya, tinggi air berada diatas lapisan batubara, dan menahan gas di dalam lapisan.
Dengan cara menurunkan tinggi air, maka tekanan dalam reservoir berkurang, sehingga dapat
melepaskan CBM.

Pada saat pertama produksi, ada fasa dimana volume air akan dikurangi (dewatering) agar gas
yang dapat diproduksi dapat meningkat. Setelah fasa ini, fasa-fasa produksi stabil akan terjadi.
Seiring bertambahnya waktu, peak produksi akan terjadi, saat ini merupakan saat dimana
produksi CBM mencapai titik maksimal dan akan turun (decline).

Volume gas yang diproduksi akan berbanding terbalik dengan volume air. Bila volume gas yang
diproduksi tinggi, maka volume air akan berkurang. Setelah peak produksi, akan terjadi fasa
selanjutnya, yaitu fasa penurunan produksi. Seperti produksi minyak dan gas pada umumnya,
fasa-fasa tersebut biasa terjadi. Namun demikian, seperti yang telah diuraikan, CBM dapat
terbaharukan.

Sumber daya CBM Indonesia mencapai 453,3 TCF yang tersebar pada 11 cekungan
hydrocarbon. Dari sumber daya tersebut, cadangan CBM sebesar 112,47 TCF merupakan
cadangan terbukti dan 57,60 TCF merupakan cadangan potensial. Sebagian besar cadangan
CBM berada di Sumatra, Kalimantan dan Jawa. Sementara sebagian kecil ada di Sulawesi. Oleh
karena itu, sumber daya Coal Bed Methane di Indonesia sangat berpotensi untuk kedepannya.

Anda mungkin juga menyukai