Anda di halaman 1dari 51

ISSN : 1978-0370

MITRA HUTAN TANAMAN


Vol. 6 No. 2, Agustus 2011
DAFTAR ISI
1. APLIKASI INTEGRASI PERSAMAAN TAPER UNTUK
PENDUGAAN VOLUME POHON
Aplication of Tapers Equation Integration for Tree Volume
Estimation
Tri Sayektiningsih dan Askar____________________________ 37-46
2. POTENSI TUMBUHAN BAWAH SEBAGAI
AKUMULATOR LOGAM BERAT UNTUK MEMBANTU
REHABILITASI LAHAN BEKAS TAMBANG
Potency of Understory as a Heavy Metal Accumulator in
Supporting of Ex-mining Site Rehabilitation
Enny Widyati _________________________________________ 47-56
3. SERANGGA HAMA YANG BERASOSIASI DENGAN
KALIANDRA (Calliandra callothyrsus) DAN ASPEK
PENGEALIANNYA
Review of Insect Pest on Caliandra callothyrsus and the Controlling
Aspect
Ujang W. Darmawan dan Illa Anggraeni __________________ 57-64
4. PROSES PERKECAMBAHAN BENIH Dialium platysepalum
Baker
Germination Process of Dialium platysepalum Baker Seed
Mira Kumala Ningsih dan Kade Sidiyasa __________________ 65-71
5. ASPEK PEMILIHAN JENIS DALAM KEGIATAN
REHABILITASI EKS PROYEK PENGEMBANGAN LAHAN
GAMBUT (PLG) DI KABUPATEN KAPUAS,
KALIMANTAN TENGAH
Peatland Rehabilitation on ex Peatland Development Project Area in
Kapuas District, Central Kalimantan
Faiqotul Falah dan Wahyu Catur Adinugroho______________ 73-85
APLIKASI INTEGRASI PERSAMAAN TAPER UNTUK
PENDUGAAN VOLUME POHON
Aplication of Tapers Equation Integration for Tree Volume Estimation
Tri Sayektiningsih
1
dan Askar
2
1
Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Samboja
Jl. Soekarno-Hatta Km. 38, PO. BOX 578, Balikpapan - 76112
2
Balai Persuteraan Alam
Bili-bili Kec. Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan
I. PENDAHULUAN
Muhdin (1999) menyatakan kayu merupakan produk yang sangat
penting dalam kegiatan pengusahaan hutan. Seiring dengan perkembangan
zaman, industri perkayuan membutuhkan kayu dengan limit diameter tertentu
yang besarnya dapat berubah. Hal ini menuntut adanya perencanaan produksi
yang intensif (Askar, 2007).
Pengukuran dimensi kayu harus dilakukan dengan cermat agar dapat
diperoleh taksiran volume yang mendekati nilai yang sebenarnya. Kualitas
dugaan volume pohon ini tergantung dari beberapa faktor, diantaranya tingkat
akurasi yang diinginkan, karakteristik pohon, metode pengukuran, alat yang
digunakan, kondisi alat pada saat pengukuran dimensi pohon, persamaan volume
yang digunakan dan lain-lain (Muhdin, 2003).
Untuk itu diperlukan suatu metode pendugaan volume pada diameter
ujung pada ketinggian tertentu, dengan demikian pengelola atau pengusaha hutan
dapat mengetahui potensi tegakan hutannya yang akan diproduksi sesuai
permintaan industri perkayuan. Persamaan volume sekarang ini umumnya
disusun berdasarkan hasil regresi antara volume sebagai variabel dependen
sedangkan diameter setinggi dada (dbh), tinggi total, tinggi bebas cabang serta
beberapa variabel berikutnya bertindak sebagai variabel independen. Ditinjau
dari aspek kepraktisannya, metode ini sangat praktis untuk menentukan volume
suatu pohon karena pembuatannya yang mudah, namun metode ini tidak dapat
menaksir volume pohon pada ketinggian atau limit diameter tertentu (Askar,
2007).
II. PENGERTIAN BENTUK BATANG DAN VOLUME POHON
Sebelum membahas persamaan taper lebih jauh, terlebih dahulu
diuraikan pengertian dasar mengenai bentuk batang dan volume pohon.
1. Bentuk Batang
Bentuk batang berkaitan dengan perubahan diameter batang karena
perubahan tinggi pengukuran. Secara umum terdapat tiga macam bentuk batang
berdasarkan perbedaan diameter pada berbagai macam ketinggian (Chapman dan
Meyer, 1949):
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 37 - 46
38
a) Pada pangkal : bentuk neiloid
b) Pada bagian tengah : bentuk silindris atau paraboloid. Bentuk silindris
adalah bagian tengah pohon yang mempunyai diameter sama antara
bagian pangkal serta ujung. Bentuk paraboloid berarti diameter ujung
kecil dengan perubahan yang melengkung ke arah poros batang pada
bagian ujung batang.
c) Pada bagian ujung pohon : bentuk konus
Laar dan Akca (1997) menyatakan profil batang dari individu pohon
dipengaruhi oleh posisinya dengan pohon yang lain maupun site-nya, perlakuan
silvikultur diantaranya densitas tanah, pemupukan, perawatan tanaman serta
perameter genetik.
2. Volume Pohon
Volume adalah ukuran isi atau kapasitas benda padat yang diekpresikan
dalam pangkat tiga seperti m
3
, cubic feet atau ukuran kering/cair seperti buskel,
gallons dan liter (Wahjudiono, 1998).
Tiap batang pohon terdiri dari berbagai bentuk yang berlainan, sehingga
bila ditentukan volumenya secara langsung akan diperoleh hasil volume yang
kurang memuaskan. Untuk mengatasi hal ini, maka penentuannya dilakukan
perseksi, dimana batang dipotong menjadi beberapa seksi serta tiap seksi diukur
volumenya. Penjumlahan volume dari tiap seksi nantinya akan menghasilkan
volume aktual batang. Rumus untuk menghitung volume tiap seksi batang
menurut Avery dan Burkhart (1983) adalah :
Huber : v = gm * l
Smalian : v = l
gs gi
*
2

Newton : v = l
gs gm gi
*
6
4
Keterangan :
v = Volume balok/batang kayu
gi = Luas penampang melintang bagian pangkal
gm = Luas penampang melintang bagian tengah antara ujung serta pangkal
gs = Luas penampang melintang batang bagian ujung
l = Panjang balok yang diukur
III. PERSAMAAN INTEGRASI TAPER
Taper sendiri didefinisikan sebagai nilai pengurangan daripada diameter
dari suatu pohon pada ketinggian tertentu dari dasar pohon (Laar dan Akca,
1997). Avery dan Burkhart (1983) menyatakan penentuan volume dari
Aplikasi Integrasi Persamaan Taper untuk Pendugaan Volume Pohon
Tri Sayektiningsih dan Askar
39
pengintegralan persamaan taper didasarkan pada asumsi bahwa seksi suatu
pohon berbentuk melingkar dengan memplotkan diameter batang tegak lurus
pada sumbu x sedangkan ketinggian tegak lurus pada sumbu y.
Philip dalam Muhdin (2003) menyatakan taper sebagai laju perubahan
diameter pada panjang atau tinggi tertentu, yang secara matematis dapat
dinyatakan sebagai:
t =(dp-du)/l
Dimana:
t = taper
dp = diameter pangkal
du = diameter ujung
l = panjang batang
Taper pohon dalam Bustomi dkk. (1998) adalah pengurangan atau
semakin kecilnya diameter batang pohon dari pangkal ke ujung. Taper pohon ini
disebut pula sebagai bentuk batang atau lengkung bentuk. Chapman dan Meyer
dalam Bustomi dkk. (1998) menyatakan bahwa taper merupakan resultante
dimensi pohon yang disebabkan adanya pengaruh pertumbuhan diameter dan
tinggi pohon. Persamaan taper disusun berdasarkan hubungan antara diameter
sepanjang batang (d
i
) dengan ketinggian batang yang bersangkutan dari
permukaan tanah (h
i
).
Secara matematis hubungan antara keduanya dapat dituliskan sebagai
berikut :
d
i
= f (h
i
)
Keterangan :
d
i
: Diameter pada ujung tertentu
h
i
: Ketinggian diameter dari atas tanah
Beberapa persamaan taper dalam Bustomi dkk (1998) yang pernah
disusun antara lain :
1. Model Kozak
(d
i
/Dbh)
2
= bo+ b1 (h
i
/H) + b2 (d
i
/Dbh)
2
2. Model Ayudhya dan Eadkeo
Log d
i
= bo + b1 Log (Dbh) + b2 Log (h) + b3 Log (h
i
)
Muhdin (2003) menyatakan untuk mengurangi keragaman absout yang
besar akibat adanya perbedaan ukuran batang dalam hal ini diameter dan tinggi
atau panjang batang, sebaiknya digunakan peubah-peubah relatif, sehingga
fungsi tapernya menjadi: d
i
/D = f(h
i
/H) atau d
i
/D = f (1-h
i
/H), dimana D = dbh
atau diameter pangkal, H = tinggi bebas cabang atau tinggi total.
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 37 - 46
40
Contoh Kasus : Pendugaan Volume Batang Tectona grandis L.f.
Berdasarkan Integrasi Persamaan Taper
Pengelompokan Data
Jumlah pohon yang diambil sebagai sampel untuk pembuatan
model persamaan taper sebanyak 48 batang pohon yang terdiri atas 654
seksi. Pengukuran seksi dilakukan sampai pada diameter batang 10 cm
dengan panjang seksi masing-masing 1 meter. Pengambilan sampel
dilakukan melalui pengukuran langsung terhadap pohon hasil tebangan di
hutan rakyat tersertifikasi Desa Sumberejo Kabupaten Wonogiri. Penyebaran
pohon sampel dilakukan berdasarkan kelas diameter yang disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Sebaran Pohon Sampel Berdasarkan Interval Diameter
Jumlah pohon Kelas
diameter

Penyusunan
model
Validasi
model
Total
15-19 15 6 21
20-24 15 9 24
25-29 10 7 17
30-34 8 4 12
Jumlah 48 26 74
Jumlah total pohon sampel yang digunakan adalah 74 buah.
Penyusunan model persamaan taper menggunakan 48 buah sampel.
Penentuan jumlah pohon sampel tersebut didasarkan pada asumsi distribusi
normal yang mensyaratkan jumlah sampel minimal 30. Sedangkan jumlah
sampel untuk uji validasi menggunakan 26 pohon sampel. Keterbatasan
sampel pada uji validasi akibat pembatasan tebangan.
Penyusunan dan Uji Penerimaan Model
Penyusunan persamaan dilakukan dengan menggunakan model
relatif serta absolut. Model diukur keterandalannya dengan menggunakan
Koefisien Determinasi (R
2
), Analisis varians, serta residualnya. Model
yang dihasilkan dari tiap persamaan adalah :
Aplikasi Integrasi Persamaan Taper untuk Pendugaan Volume Pohon
Tri Sayektiningsih dan Askar
41
Tabel 2.1 Nilai R

Probabilitas untuk Persamaan Relatif


Kelas
diameter
N Persamaan
R
2
Proba
bilitas
15-19 15
(d/Dbh)
2
= 1.45- 2.29(h/H)+1.24(h/H)
2 0.901 0.00*
20-24 15
(d/Dbh)
2
= 1.31- 1.96(h/H)+0.92(h/H)
2 0.851 0.00*
25-29 10
(d/Dbh)
2
= 1.24- 1.91(h/H)+0.86(h/H)
2 0.911 0.00*
30-34 8
(d/Dbh)
2
= 1.19- 1.85(h/H)+0.78(h/H)
2 0.895 0.00*
Umum 48
(d/Dbh)
2
= 1.31- 2.04(h/H)+1.00(h/H)
2 0.842 0.00*
*Signifikan pada taraf uji 0.05
Tabel 2.2 Nilai R

, Probabilitas untuk Persamaan Absolut (kuadratik)


Kelas
diameter
N Persamaan
R
2
Proba
bilitas
15-19 15
d = 0.216 0.0206 h + 0.0010 h
2 0.768 0.00*
20-24 15
d = 0.254 0.0197 h + 0.00068 h
2 0.839 0.00*
25-29 10
d = 0.295 0.0191 h + 0.00044 h
2 0.876 0.00*
30-34 8
d = 0.354 0.0179 h + 0.00027 h
2 0.816 0.00*
Umum 48
d = 0.265 0.0256 h + 0.0014 h
2 0.485 0.00*
*Signifikan pada taraf uji 0.05
Tabel 2.3 Nilai R

, Probabilitas untuk Persamaan Absolut (kubik)


Kelas
diameter
N Persamaan
R
2
Proba
bilitas
15-19 15
d = 0.221 0.0268 h + 0.0024 h
2
+ 0.0000806 h
3 0.769 0.00*
20-24 15
d = 0.263 0.0260 h + 0.0016 h
2
+ 0.0000435 h
3 0.841 0.00*
25-29 10
d = 0.313 0.0274 h + 0.0015 h
2
+ 0.0000448 h
3 0.878 0.00*
30-34 8
d = 0.357 0.0195 h + 0.00049 h
2
+ 0.00000754 h
3 0.819 0.00*
Umum 48
d = 0.270 0.0257h + 0.0017 h
2
+ 0.0000439 h
3 0.489 0.00*
*Signifikan pada taraf uji 0.05
Keberartian hubungan antara peubah bebas dan tak bebas dalam
satu persamaan regresi dapat diketahui melalui nilai signifikansinya
(Probabilitas). Dari hasil uji yang dilakukan, semua persamaan diatas
menghasilkan probabilitas yang signifikan dimana nilai sig.< 0.05 sehingga
H
o
tolak. Dengan demikian persamaan taper dapat digunakan untuk
menaksir diameter pada ketinggian tertentu dari atas tanah.
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 37 - 46
42
Uji Keseragaman 2 Persamaan Regresi
Uji keseragaman dideteksi dari intercept persamaan dengan
menggunakan nilai batas bawah (lower bound) dan batas atas (upper bound).
Dari hasil uji yang dilakukan, kelas 20-24 cm dan 25-29 cm pada persamaan
relatif selangnya berimpit sehingga keduanya tidak signifikan. Agar
dihasilkan persamaan taper yang baik maka kedua persamaan tersebut
digabung menjadi satu kelas yakni kelas 20-29 . Hasil uji keseragaman
regresi pada persamaan relatif disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Persamaan Relatif Hasil Uji Keseragaman Regresi
Kelas
diameter
N Persamaan
R
2
Proba-
bilitas
15-19 15
(d/Dbh)
2
= 1.45- 2.29(h/H)+1.24(h/H)
2 0.901 0.00*
20-29 25
(d/Dbh)
2
= 1.31- 2.04(h/H)+0.98(h/H)
2 0.822 0.00*
30-34 8
(d/Dbh)
2
= 1.19- 1.85(h/H)+0.78(h/H)
2 0.895 0.00*
Umum 48
(d/Dbh)
2
= 1.31- 2.04(h/H)+1.00(h/H)
2 0.842 0.00*
*Signifikan pada taraf uji 0.05
Sedangkan selang kepercayaan pada persamaan kubik maupun
kuadratik tidak ada yang berimpit tiap kelasnya.
Pemilihan Persamaan Taper Terbaik
R
2
dapat ditafsirkan sebagai persen variabel dependen yang dapat di
jelaskan oleh variabel independen R
2
dari tiap persamaan relatif
menghasilkan nilai yang relatif sama antara pengkelasan dengan tanpa
pengkelasan sedangkan untuk persamaan absolut terdapat perbedaan yang
cukup jauh antara nilai R
2
pengkelasan dengan tanpa pengkelasan baik pada
tipe kuadratik maupun kubik dengan rata-rata perbedaan R
2
sampai 0.4. Ini
membuktikan bahwa persamaan absolut hanya cocok digunakan apabila
variasi suatu objek tidak terlalu besar. Sedangkan persamaan relatif bisa
dipakai pada kondisi dimana variasi suatu objek besar maupun kecil.
Sehingga persamaan yang digunakan untuk menyusun model penduga
volume batang pada tiap kelas diameter adalah absolut dengan tipe kuadratik
karena penambahan variabel h
3
pada persamaan kubikasi tidak
meningkatkan R
2
secara signifikan. Sedangkan untuk model penduga volume
batang tanpa pengkelasan diperoleh dari persamaan umum relatif.
Persamaan yang terpilih sebagai model penduga volume batang disajikan
dalam Tabel 4.
Aplikasi Integrasi Persamaan Taper untuk Pendugaan Volume Pohon
Tri Sayektiningsih dan Askar
43
Tabel 4. Persamaan Taper Penyusun Model Penduga Volume Batang
Tipe
Kelas
diameter
Persamaan
Absolut 15-19
d = 0.216 0.0206 h + 0.0010 h
2
20-24
d = 0.254 0.0197 h + 0.00068 h
2
25-29
d = 0.295 0.0191 h + 0.00044 h
2
30-34
d = 0.354 0.0179 h + 0.00027 h
2
Relatif
(d/Dbh)
2
= 1.31- 2.04(h/H)+1.00(h/H)
2
Penyusunan Model Penduga Volume Batang
Berdasarkan asumsi bahwa batang pohon merupakan benda putar
yang berjari-jari tegak lurus pada sumbu x sedangkan panjang pohon tegak
lurus pada sumbu y, maka volume dugaannya dapat diperoleh dengan
integrasi persamaan taper yang telah disusun, yang secara umum ditulis
sebagai berikut :
v =

b
a
dh d
2
)
2
1
(
Hasil integrasi taper dari masing-masing persamaan yang diperoleh adalah:
1. Model penduga volume batang kelas diameter 15-19 cm
d = 0.216- 0.0206(h)+0.00102(h)
2
V = dh h h
h


0
2 2
) 00102 . 0 0206 . 0 216 . 0 (
V= (0.046(h)+0.0044(h)
2
+ 2.8 e-4(h)
3
+1.05 e-05 (h)
4
+2.01 e-07(h)
5
2. Model penduga volume batang kelas diameter 20-24 cm
d = 0.254- 0.0197(h)+0.000689(h)
2
V = dh h h
h


0
2 2
) 000689 . 0 0197 . 0 254 . 0 (
V = (0.064(h)+0.0050(h)
2
+2.4 e-4(h)
3
+ 6.7 e-06(h)
4
+9.5 e-08(h)
5
3. Model penduga volume batang kelas diameter 25-29 cm
d =0.295- 0.0191(h)+0.00044(h)
2
V = dh h h
h


0
2 2
) 00046 . 0 0191 . 0 295 . 0 (
V = (0.087(h)+0.0056(h)
2
+2 e-4 (h)
3
+4.2 e-6(h)
4
+ 3.9 e-8(h)
5
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 37 - 46
44
4. Model penduga volume batang kelas diameter 30-34 cm
d =0.354- 0.0179(h)+0.00027(h)
2
V = dh h h
h


0
2 2
) 00027 . 0 0179 . 0 354 . 0 (
V = (0.125(h)+0.0063(h)
2
+1.7 e-4(h)
3
+2.4 e-6(h)
4
+1.5 e-8(h)
5
5. Model penduga volume batang tanpa pengkelasan
(d/Dbh)
2
=1.312.04(h/H)+ 1.00 (h/H)
2
d = (1.312.04(h/H)+ 1.00 (h/H)
2
)
2
1
*d
V =

h
0
d
2
( 1.312.04(h/H)+ 1.00 (h/H)
2
) dh
V = d
2
H (1.31(h/H)-1.02(h/H)
2
+0.50(h/H)
3
) ]
h
0
Ket : d = diameter
Tabel 5. Model Penduga Volume Batang
Tipe
Kelas
Diameter
Persamaan
15-19
V= 0.046 h+0.0044 h
2
+2.8 e-4 h
3
+1.0 e-05 h
4
+2.01 e-07 h
5
20-24
V= 0.064 h+0.0050 h
2
+2.4 e-4 h
3
+ 6.7 e-06 h
4
+9.5 e-08h
5
Absolut 25-29
V= 0.087 h+0.0056 h
2
+2.0 e-4 h
3
+ 4.2 e-06h
4
+3.9 e-08h
5
30-34
V = 0.125 h+0.0063 h
2
+1.7 e-4 h
3
+2.4 e-6 h
4
+1.5 e-8h
5
Relatif
V = d
2
H (1.31(h/H)-1.02(h/H)
2
+0.50(h/H)
3
)
Model penduga volume batang berdasarkan integrasi persamaan taper dapat
digunakan untuk mengetahui nilai dugaan volume batang dari atas tanah.
Bilangan Bentuk
Bilangan bentuk merupakan suatu bilangan yang menyatakan rasio
antara volume batang dengan volume slindernya yang mempunyai bidang
dasar dan tinggi yang sama. Bilangan bentuk yang dicari adalah bilangan
bentuk absolut dan relatif dari tiap kelas diameter. Bilangan bentuk absolut
dicari dari diameter pangkal batang pohon sedangkan relatif menggunakan
diameter pada ketinggian 1.3 meter dari atas tanah. Karena bidang dasarnya
lebih besar maka bilangan bentuk absolut lebih kecil dibandingkan dengan
relatif. Bilangan bentuk yang diperoleh mengalami penurunan tiap kelasnya.
Hal ini disebakan oleh faktor kerapatan atau jarak tanam. Makin rapat jarak
tanamnya maka bilangan bentuknya makin kecil.
Aplikasi Integrasi Persamaan Taper untuk Pendugaan Volume Pohon
Tri Sayektiningsih dan Askar
45
Tabel 6. Bilangan Bentuk Tiap Belas
Kelas
diameter
Bilangan bentuk
absolut f (0.1)
Bilangan bentuk
relatif f (1.3)
15-19 0.447 0.701
20-24 0.425 0.615
25-29 0.380 0.566
30-34 0.326 0.487
Uji Validasi Model
Uji validasi model dilakukan untuk menguji keterandalan atau
performa dari tiap model penduga batang yang ditemukan. Dalam penelitian
ini, Uji validasi yang dilakukan menggunakan UJI PRESS. Nilai PRESS
yang mendekati nol menunjukkan persamaan tersebut memiliki performa
yang baik apabila diterapkan dengan set data yang berbeda dengan data yang
digunakan dalam menyusun persamaan. Uji PRESS ini menggunakan 26
sampel. Jika suatu model validasinya melebihi angka nol maka persamaan
tersebut akan menghasilkan volume dugaan yang over estimate dari volume
sebenarnya. Makin mendekati angka nol maka volume dugaan yang
dihasilkan akan lebih mendekati volume sebenarnya. Besar kecilnya nilai
validasi ditentukan oleh kesesuaian antara bentuk batang dengan model yang
ada. Makin cocok bentuk batang dengan model yang ada maka validasinya
akan mendekati nilai nol.
Tabel 7. Nilai PRESS Penyusun Model Penduga Volume Batang
Kelas diameter N Nilai PRESS
15-19 6 0.0033
20-24 9 0.013
25-29 7 0.021
30-34 4 0.043
Relatif 26 0.18
Kesimpulan
Model volume penduga batang yang dihasilkan dari penelitian ini ada
dua macam yakni model absolut serta model relatif. Model absolut yang
terpilih bertipe kuadratik serta digunakan untuk menemukan model penduga
volume batang pada setiap kelas diameter. Model yang dihasilkan dari
persamaan kuadratik yang telah diintegralkan adalah sebagai berikut :
Model : V =
4
1
* (a*h + b* h
2
+ c* h
3
+ d* h
4
+ e* h
5
)
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 37 - 46
46
IV. PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, integrasi persamaan taper dapat digunakan
untuk menduga volume pohon pada ketinggian atau limit diameter tertentu.
Dalam pelaksanaan di lapangan, fungsi taper akan berhasil dalam menduga
volume batang pohon (tidak bias) apabila dapat menggambarkan pola bentuk
batang yang sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Askar. 2007. Pendugaan Volume Batang Tectona grandis L.f. Berdasarkan
Integrasi Persamaan Taper (Studi Kasus Hutan Rakyat Tersertifikasi
Desa Sumberejo, Kabupaten Wonogiri). Skripsi. Jurusan Manajemen
Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Avery, T.E. dan Burkhart, H.E. 1983. Forest Measurements. Mc Graw-Hill
Book Company. Incorporation. New York.
Bustomi, S., Harbagung, Wahyono, J. dan Parthama IBP. 1998. Petunjuk Teknis
Tatacara Penyusunan Tabel Volume. Info Hutan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Indonesia.
Chapman, H.H. dan Meyer, W.H. 1949. Forest mensurations. Mc Graw-Hill
Book Company. Incorporation. New York.
Laar, A. dan Akca, A. 1997. Forest Mensurations. Cuvilier Verlag. Gottingen.
Muhdin. 2003. Dimensi Pohon dan Perkembangan Metode Pendugaan Volume.
Diakses tanggal 20 Juli 2010.http://rudyct.com/PPS702-
ipb/07134/muhdin.com
Muhdin. 1999. Analisis Beberapa Rumus Penduga Volume Log: Studi Kasus
Pada Jenis Meranti (Shorea spp.) di Areal HPH PT Siak Raya Timber.
Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol.V No.2: 33-44.
Wahjudiono, S. 1998. Diktat Kuliah Ukur Kayu. Instiper.Jogjakarta.
Koefisien regresi Kelas
diameter
a b c d e
15-19 0.046 0.0044 2.8 E-04 1.0 E-05 2.0 E-07
20-24 0.064 0.0050 2.4 E-04 6.7 E-06 9.5 E-08
25-29 0.087 0.0056 2.0 E-04 4.2 E-06 3.9 E-08
30-34 0.125 0.0063 1.7 E-04 2.4 E-06 1.5 E-08
Sedangkan model relatif digunakan adalah:
Model : V =
4
1
d
2
(1.31(h/H)-1.02(h/H)
2
+0.50(h/H)
3
)
POTENSI TUMBUHAN BAWAH SEBAGAI
AKUMULATOR LOGAM BERAT UNTUK MEMBANTU
REHABILITASI LAHAN BEKAS TAMBANG
Potency of Understory as a Heavy Metal Accumulator in Supporting of
Ex- mining Site Rehabilitation
Enny Widyati
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan
Kampus Balitbang Kehutanan, Jl. Gunungbatu No. 5, Po. Box 311, Bogor - 16118
Telp. (0251)8631238, Fax. (0251) 7520005
I. PENDAHULUAN
Salah satu fungsi hutan adalah sebagai tempat konservasi plasma
nutfah. Hutan yang sehat tersusun atas berbagai macam strata baik tingkat herba,
perdu maupun pohon. Semua strata tersebut memainkan perannya masing-
masing sehingga ekosistem hutan mempunyai dinamika tersendiri yang khas dan
tidak dapat dijumpai pada ekosistem lain.
Banyak bahan galian ditemukan di bawah ekosistem hutan. Bahan
galian seperti batubara, emas, perak, tembaga dan timah merupakan hasil
tambang yang banyak memberikan sumbangan devisa bagi Indonesia. Sehingga
akibat dari kegiatan penambangan untuk mengambil bahan galian tersebut
ekosistem hutan menjadi rusak bahkan hilang.
Batubara di Indonesia umumnya diekstrak dengan sistem penambangan
terbuka. Penambangan sistem ini membuang semua lapisan tanah di atas deposit
batubara, termasuk hutan yang ada di atasnya. Sehingga penambangan sistem ini
dilakukan dengan menghilangkan ekosistem hutan beserta seluruh fungsinya.
Penghilangan lapisan tanah di atas deposit batubara telah mengakibatkan
oksidasi mineral bersulfur dengan melepaskan sulfat sehingga menurunkan pH
tanah. Penurunan pH tanah mengakibatkan meningkatnya kelarutan logam-
logam (Tan, 1993), sehingga pada lahan bekas tambang terjadi akumulasi logam-
logam yang cukup tinggi.
Untuk mengambil bahan galian berupa logam seperti emas, perak,
tembaga, timah atau yang lainnya memerlukan proses pemurnian bijih (ore).
Sebab deposit logam di dalam kerak bumi selalu terikat oleh mineral atau logam-
logam lainnya. Proses pemurnian umumnya dilakukan melalui penggerusan
mineral batuan (crusting) kemudian dilarutkan dengan bahan-bahan kimia atau
logam pereaksi lainnya. Bahan kimia yang umum dipakai pada proses
pemurnian bijih antara lain sianida (CN), arsen (As) dan sebelum dilarang,
merkuri (Hg). Bahan-bahan tersebut merupakan pencemar lingkungan yang
sangat beracun.
Memperhatikan kondisi di atas maka untuk melakukan kegiatan
rehabilitasi lahan seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang 41 tahun 1999
tentang Kehutanan menghadapi banyak hambatan. Namun demikian, beberapa
jenis tumbuhan ditemukan mempunyai kemampuan untuk hidup pada
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 46 - 56
48
lingkungan yang memiliki akumulasi logam cukup tinggi. Pada lahan yang
mempunyai kandungan logam cukup tinggi diperlukan jenis tanaman yang
mampu menurunkan akumulasi logam sehingga kualitas lingkungan meningkat.
Penurunan konsentrasi pencemar dengan menggunakan aktivitas tanaman
dikenal dengan istilah fitoremediasi.
Salah satu mekanisme tanaman dalam proses fitoremediasi adalah
dengan menyerap logam dan mengakumulasikannya ke dalam biomas tanaman.
Proses fitoremediasi dengan menyerap polutan disebut fitoekstraksi. Tanaman
yang mempunyai mekanisme fitoekstraksi disebut juga sebagai akumulator.
Untuk tanaman yang mempunyai kemampuan mengakumulasi lebih dari 1.000
mg/kg biomas (Ni, Cu, Co, Cr atau Pb) atau lebih dari 10.000 mg/kg biomas
untuk logam Zn atau Mn disebut sebagai hiperakumulator (Baket et al., 1988).
Beberapa jenis tanaman yang mempunyai kemampuan akumulator
antara lain Bunga Matahari (Helianthus annus) dapat mengakumulasikan Arsen
dan Uranium, tumbuhan paku Pteris vitata dapat menetralkan Arsen
(Wilkipedia, 2008). Thlaspi caerulescens kelompok famili Brassicaceae sudah
dibuktikan mampu mengakumulasikan logam Zn, Pb, Cd, Ni, Cr, dan Co (Pence
et al., 2000). Salah satu ekotipe dari T. caerulescens menunjukkan kemampuan
untuk mengakumulasikan Zn mencapai 30,000 ppm dan Cd sebesar 1,000 ppm
pada jaringan pucuknya tanpa menunjukkan gejala keracunan (Pence et al.,
2000). Sebagai pembanding daun yang normal mengandung Zn tidak lebih dari
100 ppm, 30 ppm merupakan dosis yang diperlukan untuk pertumbuhan,
sedangkan 300500 ppm merupakan dosis yang toksik. Untuk Cd, kandungan
logam ini 1 ppm dalam daun sudah merupakan dosis yang toksik (Pence et al.,
2000).
Beberapa jenis tumbuhan yang mempunyai kemampuan sebagai
hiperakumulator umumnya berupa tumbuhan bawah. Oleh karena itu, hutan
yang masih sehat dapat menjadi sumber benih tanaman hiperakumulator untuk
memulihkan kandungan logam-logam pada lahan bekas tambang. Diharapkan
dengan memanfaatkan tumbuhan akumulator keberhasilan rehabilitasi lahan
bekas tambang menjadi lebih optimal.
II. PERSYARATAN TUMBUHAN UNTUK DIGOLONGKAN SEBAGAI
HIPERAKUMULATOR
Suatu jenis tumbuhan dikategorikan sebagai species hiperakumulator
ketika mereka memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Toleran terhadap kandungan logam yang tinggi sehingga pertumbuhan akar
dan pucuk tidak mengalami hambatan. Tanaman yang toleran tidak akan
terganggu pertumbuhannya meskipun mereka tumbuh pada tanah dengan
toksisitas yang tinggi. Toleransi ini diduga berasal dari kemampuan untuk
menyimpan logam dalam vakuola sel atau mampu mengkelat logam-logam
(Chaney et al., 1997).
b. Mampu menyerap logam (uptake) yang terdapat dalam larutan tanah dengan
cepat. Kecepatan uptake ditentukan oleh jenis tumbuhan dan macam logam
yang di-uptake. T. caerulescens mampu mengakumulasi Zn 10,000 mg/kg
biomas (Chaney et al., 1997).
Potensi Tumbuhan Bawah Sebagai Akumulator Logam Berat untuk Membantu Rehabilitasi
Lahan Bekas Tambang
Enny Widyati
49
c. Mampu mentranslokasikan suatu unsur logam dari akar ke bagian pucuk
tanaman dengan kecepatan tinggi. Beberapa tumbuhan hiperakumulator
ditemukan mampu mentransfer Zn, Cd atau Ni 10 kali lebih cepat daripada
non hiperakumulator, sehingga konsentrasi logam pada jaringan pucuk jauh
lebih besar daripada yang terdapat pada jaringan akarnya (Chaney et al.,
1997).
d. Harus mampu menghasilkan biomas yang tinggi dalam waktu yang cepat
(cepat tumbuh), mudah dibudidayakan dan mudah dipanen, lebih baik yang
dapat dipanen berkali-kali dalam setahun (Peer et al., 2008).
III. TUMBUHAN YANG BERPOTENSI SEBAGAI
HIPERAKUMULATOR
Banyak jenis tumbuhan berpembuluh (vascular plants) ditemukan
mempunyai kemampuan untuk mengakumulasikan logam berat (metal
hyperaccumulator plants) (Gratao et al., 2005). Lebih dari 400 jenis tumbuhan
telah ditemukan mempunyai kemampuan hiperakumulator termasuk anggota
famili Asteraceae, Brassicaceae, Caryophyllaceae, Cyperaceae, Cunouniaceae,
Fabaceae, Flacourtiaceae, Lamiaceae, Poaceae, Violaceae, dan Euphorbiaceae.
Famili yang paling banyak dijumpai sebagai hiperakumulator adalah
Brassicaceae, spesies dari famili ini mampu mengakumulasikan lebih dari satu
jenis logam (Gratao et al., 2005).
Salah satu contohnya adalah Brassica juncea mampu meng-
akumulasikan Se, As, Cd, Cu, Hg dan Zn. Thlaspi caerulescens merupakan
akumulator Cd sedangkan Alyssum sp merupakan akumulator dari Ni [6]. Contoh
lainnya, Pistia stratiotes dapat mengakumulasikan Ag, Cd, Cr, Cu, Hg, Ni, Pb
dan Zn dengan konsentrasi mencapai 5 mM per kg biomas. Tumbuhan P.
stratiotes mengakumulasikan logam pada jaringan akar (Gratao et al., 2005).
Tembakau (Nicotiana tabaccum) juga dikenal mempunyai kemampuan
untuk mengakumulasikan Hg. Beberapa jenis tumbuhan paku seperti Pteris
vittata dapat mengakumulasikan As (Gratao et al., 2005). Jenis Pteris yang lain
misalnya P. cretica, P. longifolia dan P. umbrosa juga mampu meng-
akumulasikan As (Gratao et al., 2005). Tumbuhan paku air Azolla caroliniana
(Azollaceae) dapat digunakan untuk membersihkan Hg dan Cr dalam air dan
mengakumulasikannya dalam jaringan sehingga dapat dimanfaatkan sebagai
pemurni air (Gratao et al., 2005).
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 46 - 56
50
Gambar (Picture) 1. Pteris vitata, salah satu tumbuhan paku hiperakumulator
arsen. (Pteris vitata, an arsenic hyper-accumulator fern)
Sumber: Wilkipedia, 2008
Bunga Matahari (Helianthus annuus) merupakan hiperakumulator Pb
dan diendapkan dalam jaringan daun dan batang (Gratao et al., 2005). Tanaman
ini merupakan tanaman hias sehingga baik digunakan untuk membersihkan lahan
yang terletak di tepi jalan atau areal perkantoran pada lahan bekas tambang.
Salah satu spesies turi (Fabaceae) yaitu Sesbania drummondii juga merupakan
akumulator Pb dan disimpan pada jaringan akar dan daun sebagai timbal asetat,
sulfat atau sulfida (Gratao et al., 2005).
Beberapa tumbuhan berkayu dari hutan tropis diketahui dapat
mengakumulasikan Al, terutama dari ordo Myrtales, Malpighiales, Oxalidales,
Cornales, Ericales, Gentianales dan Aquifoliales [6]. Mereka dapat menyerap
aluminium dan disimpan pada biomas atas tanaman mencapai 1000 ppm atau
setara 0,1% berat kering biomas (Gratao et al., 2005).
Potensi Tumbuhan Bawah Sebagai Akumulator Logam Berat untuk Membantu Rehabilitasi
Lahan Bekas Tambang
Enny Widyati
51
Gambar 2. Kebun bunga matahari dapat dibangun di atas lahan bekas tambang
sebagai akumulator untuk membersihkan logam berat. (Sun flower
garden developed on ex-mining sites will facilitate heavy metals
removal from the soil)
Sumber (source) : Center Science Foundation (2008)
IV. MEKANISME HIPERAKUMULATOR
Memahami bagaimana mekanisme tumbuhan berinteraksi di rhizosfir,
menyerap, mentrasportasikan dan memisahkan logam supaya tidak meracuni
dirinya sendiri akan memudahkan dalam membuat desain perlakuan yang harus
diberikan sehingga akumulasi logam oleh tumbuhan dapat dioptimasi (Gratao et
al., 2005). Masing-masing tumbuhan mengembangkan mekanisme akumulasi
logam yang berbeda-beda.
Tumbuhan yang hidup pada lahan dengan akumulasi logam tinggi
memiliki protein pengikat logam atau peptida yang diberi nama fitokelatin (PCs)
yang mirip dengan metalothionin pada mamalia (Chaney et al., 1997).
Penelitian akumulasi nikel pada Thlaspi goesingense dan T. arvense
menunjukkan bahwa kemampuan kedua tanaman tersebut dalam mengakumulasi
Ni menjadi kompleks Ni-asam organik dibantu oleh senyawa sitrat yang terdapat
dalam dinding sel, vakuola dan sitoplasma sel (Rathinasabapathi et al., 2006).
Sedangkan kemampuan akumulasi logam pada tumbuhan Brassica juncea
ditentukan oleh ATP surfurilase. Tumbuhan ini mampu mengakumulasikan
As(III), As(V), Cd, Cu, Hg, dan Zn (Gratao et al., 2005) dalam biomasnya.
Mekanisme lain dikembangkan oleh tumbuhan Astragalus bisulcatus untuk
mengakumulasikan selenium (Se) tanpa meracuni dirinya sendiri adalah dengan
menghasilkan protein selenocysteine methyltransferase (SMT) terutama
methylates selenocysteine (SeCys) (Gratao et al., 2005).
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 46 - 56
52
Telah disebutkan di atas bahwa salah satu syarat yang harus dimiliki
oleh hiperakumulator adalah toleran pada kandungan logam berat yang tinggi.
Namun demikian, ternyata antara toleran dan akumulasi merupakan sifat yang
saling independen (Peer et al., 2008). Sifat toleran ditentukan oleh kandungan
glutation (GSH), sistein (Cys), O-acetyl-L-serine (OAS) sedangkan kemampuan
mengakumulasikan logam berat pada jaringan dipengaruhi oleh kandungan
serine acetyltransferase (SAT) dan aktivitas glutation reduktase (Peer et al.,
2008).
Untuk dapat masuk ke dalam jaringan tanpa meracuni tanaman, logam
berat harus diubah menjadi bentuk yang kurang toksik melalui reaksi kimiawi
atau pembentukan kompleks dengan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh
tanaman (Peer et al., 2008). Tanaman umumnya mengeluarkan kelompok thiol
sebagai pengkelat (ligand), tetapi banyak juga metabolit yang dikeluarkan
sebagai ligand tergantung jenis logam yang akan dikelat (Tabel 1).
Untuk dapat menyerap logam berat tumbuhan hiperakumulator
membuat analog seolah-olah mereka menyerap unsur-unsur hara yang diperlukan
dalam metabolismenya(Peer et al., 2008). Sehingga mereka membuat jalur
(pathway) seperti ketika mereka menyerap unsur hara tersebut. Untuk membuat
analog tersebut mereka memerlukan ligan-ligan organik. Bagaimana tumbuhan
hiperakumulator menganalogkan logam berat dan ligan apa yang diperlukan
disajikan pada Tabel 1.
Tabel (Table) 1. Logam-logam berat dan ligan organik yang diperlukan untuk
membentuk kompleks dalam jaringan tanaman (Heavy metals
and organic ligands for complex formation in plants tissues)
Logam
(Metals)
Analog
dengan
(Analogue
with)
Ligan organik
Arsen (As)
Kadmium (Cd)
Krom (Cr)
Tembaga (Cu)
Merkuri (Hg)
Nikel (Ni)
Timbal (Pb)
Selenium (Se)
Seng (Zn)
Fosfat
Zn, Fe
Mn
Cu
Difusi pasif
Fe
Zn,
S
Zn
Phytochelatin, thiol, glutathione, asam
askorbat
Phytochelatin, glutathione, -
glutamylcysteine, thiols
Thiols
Sitrat, metalotionin, phytochelatin 2,
phytochelatin 3
Thiols
Nicotianamine, histidin, thiols, sitrat
Fe Glutathione
Sistein, metionin
Phytochelatin, glutathione, -
glutamylcysteine, thiols, sitrat, malat
Sumber (source): Peer et al., 2008
Potensi Tumbuhan Bawah Sebagai Akumulator Logam Berat untuk Membantu Rehabilitasi
Lahan Bekas Tambang
Enny Widyati
53
V. STRATEGI MENGOPTIMASI HIPERAKUMULATOR
Efektivitas dari akumulasi logam berat menggunakan tanaman
hiperakumulator sangat tergantung pada pemilihan jenis yang tepat untuk
diaplikasikan pada suatu lokasi terkontaminasi. Jenis lokal harus menjadi pilihan
pertama karena mereka telah teradaptasi terhadap kondisi mikroklimat, hama dan
penyakit setempat. Untuk mengoptimalkan kemampuan akumulasi logam,
beberapa strategi dapat ditempuh antara lain bioteknologi dan rekayasa genetika,
optimasi biomas melalui perbaikan unsur hara dan inokulasi dengan mikroba.
A. Bioteknologi dan Rekayasa Genetika
Beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa tumbuhan yang mempunyai
kemampuan hiperakumulator umumnya selektif terhadap suatu jenis logam,
tumbuh lambat, menghasilkan sedikit biomas dan sebagian besar mereka hanya
bisa digunakan di habitat aslinya (Gratao et al., 2005). Di samping itu, tanaman
yang ditemukan hiperakumulator umumnya tumbuh liar sehingga penggunaan
tumbuhan ini menjadi sangat terbatas. Karena belum diketahui secara luas sifat-
sifat agronomisnya, pengendalian hama dan penyakit, kemampuan menghasilkan
benih serta mekanisme fisiologis (Gratao et al., 2005).
Namun demikian, kemajuan teknologi di bidang rekayasa genetika
merupakan salah satu alternatif yang menjanjikan. Melalui pengembangan
tanaman transgenik dapat dikembangkan kemampuan tanaman untuk menyerap
logam, mengakumulasikan dan toleran terhadap toksisitas logam (Gratao et al.,
2005). Peningkatan kemampuan akumulasi logam dapat ditingkatkan melalui
peningkatan konsentrasi protein atau peptida pengikat logam dalam sel
tumbuhan sehingga akan meningkatkan kemampuan mengikat logam dan
toleransi tumbuhan terhadap toksisitas logam (Gratao et al., 2005).
Rekayasa bioteknologi peningkatan kemampuan hiperakumulator tidak
hanya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan mengumpulkan logam, tetapi
juga meningkatkan kemampuan tumbuhan untuk dapat hidup pada iklim yang
berbeda-beda (Pence et al., 2000). Disamping itu, peningkatan juga ditujukan
untuk meningkatkan kemampuan tumbuhan untuk mengakumulasikan lebih dari
satu macam logam karena sangat jarang dalam satu lokasi tercemar hanya
terdapat satu macam akumulasi logam (Peer et al., 2008). Dengan demikian,
pemilihan dan uji kemampuan tumbuhan hiperakumulator untuk mengakumulasi
banyak logam (multiple) akan dapat meningkatkan kemampuan fitoremediasi
suatu jenis tumbuhan dan memungkinkan meningkatnya keberhasilan proses
bioremediasi dalam membersihkan lingkungan dari kontaminan (Gratao et al.,
2005).
B. Peningkatan Biomas Dan Inokulasi Dengan Mikroba
Seperti telah disebutkan di atas bahwa tumbuhan yang mempunyai
kemampuan hiperakumulator umumnya merupakan tumbuhan bawah yang tentu
saja mempunyai produksi biomas rendah. Untuk meningkatkan produksi biomas
dapat dilakukan melalui pemupukan atau memperbaiki komposisi unsur hara
dalam tanah.
Disamping itu, peningkatan produksi biomas dan kemampuan
akumulasi logam dapat ditingkatkan melalui inokulasi dengan mikroba tanah
yang kompatibel. Mikroba tanah memegang peranan yang penting pada
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 46 - 56
54
mobilisasi unsur hara dalam tanah. Hasil penemuan (Gratao et al., 2005) bahwa
fungi mikoriza pada salah satu jenis tumbuhan hiperakumulator As membantu
menyerap fosfat lebih banyak. Fosfat merupakan penyusun protein atau ensim
sehingga akan membantu meningkatkan protein atau ensim yang berperan dalam
proses akumulasi As.
Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa, baik untuk
mengakumulasikan logam maupun untuk bertahan pada tanah yang tercemar
logam berat, tanaman dibantu oleh mikroba tanah. Rhizobium mempunyai
mekanisme detoksifikasi intraseluler terhadap toksisitas Cd melalui sekresi
protein atau asam amino yang mampu mengkelat ion Cd sehingga tanaman
inangnya tidak teracuni oleh logam tersebut (Figuera et al., 2005). Tanaman
yang berasosiasi dengan fungi mikoriza arbuskula (FMA) lebih tahan terhadap
toksisitas Zn pada konsentrasi yang tinggi dibandingkan dengan tanaman yang
tidak berasosiasi dengan FMA (Chen et al., 2003). Hasil penemuan
menunjukkan bahwa FMA menghasilkan protein metalotionin yang dapat
mengikat Cd dan Cu sehingga tanaman yang berasosiasi dengannya tidak akan
terracuni oleh logam-logam tersebut (Lanfranco et al., 2002; Gonzales-Chavez et
al., 2002). Sedangkan Glomus coledonicum merupakan FMA yang dapat
membantu tanaman yang tumbuh pada tanah-tanah yang tercemar logam berat
(Liao et al., 2003). FMA dapat menyerap dan mentranslokasikan uranium dalam
akar inangnya (Rufykiri et al., 2002). Sedikitnya terdapat 3 spesies Glomus spp
yang mampu menyerap dan mengakumulasi Cu pada hifa ekstraradikal (Rufykiri
et al., 2002).
Untuk bertahan dan berperan sebagai hiper akumulator arsen pada tanah
yang tercemar arsen sangat tinggi, P. vittata mempunyai hubungan yang sangat
unik dengan mikroflora tanah yang sangat resisten terhadap arsen
(Rathinasabapathi et al., 2006). Dilaporkan bahwa telah teridentifikasi
proteobacterium yang ditemukan pada akar P. Vittata (Rathinasabapathi et al.,
2006). FMA dari jenis G. mosseae ditemukan pada akar P. vittata yang tumbuh
pada tanah tercemar arsen tinggi (Rathinasabapathi et al., 2006).
Uji di rumah kaca tanaman yang diinokulasi dengan FMA tidak hanya
toleran terhadap As tetapi juga meningkatkan produksi biomas meskipun
ditumbuhkan pada kandungan As yang paling tinggi. Dilaporkan juga bahwa
FMA meningkatkan akumulasi As pada jaringan tumbuhan dan juga
meningkatkan serapan P dalam jaringan tumbuhan (Rathinasabapathi et al.,
2006).
VI. PROSPEK PENELITIAN KE DEPAN
Luas lahan bekas tambang di Indonesia lebih dari 1,3 juta ha yang
tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Bangka, Sulawesi, Nusa Tenggara dan
Irian (Papua). Lahan bekas tambang tersebut mempunyai berbagai macam
akumulasi logam dan senyawa berbahaya lainnya. Oleh karena itu pengetahuan
tentang jenis-jenis tumbuhan bawah dari pecahan hutan (fragment forest)
terdekat sangat diperlukan untuk membantu menurunkan akumulasi logam
sehingga pencapaian keberhasilan revegetasi lahan bekas tambang dapat
ditingkatkan.
Potensi Tumbuhan Bawah Sebagai Akumulator Logam Berat untuk Membantu Rehabilitasi
Lahan Bekas Tambang
Enny Widyati
55
DAFTAR PUSTAKA
Baker, A.J.M., R.R. Brooks and R.D. Reeves. 1988. Growing for Gold, Copper
and zinc. New Scientist (117): 44-48.
Center Science Foundation. 2008. Pteris vitata Picture.
http//jcraigcentersciencefoundation.com. Diakses tanggal 11 April 2008
Chaney, R.L., M. Malik, Y.M. Li, S.L. Brown, E.P. Brewer, J.S. Angle and
A.J.M. Baker. 1997. Phytoremediation of Soil Metals. Tersedia di .
Diakses tanggal 11 Januari 2008.
Chen BD, Li XL, Tao HQ, Christie P, Wong MH. 2003. The Role of
Arbuscular Micorrhiza in Zn Uptake by Red Clover Growing in
Calcareous Soil Spiked with Various Quantities of Zinc. Chemosphere
50(6): 839 846.
Figuera, E.M.A.P, A.I.G. Lima and S.I.A. Pereira. 2005. Cadmium Tolerance
Plasticity in Rhizobium leguminosarum bv. Viciae: Glutatione as a
Detoxifying agent. Can. J. Microbiol. (51): 7 14.
Gonzalez-Chavez, C., J. DHaen, J. Vangronsveld and J.C. Dodd. 2002. Copper
Sorption and Accumulation by the Extraradical Mycelium of Different
Glomus spp. Isolated from the Same Polluted Soil. Plant Soil (184): 195
205.
Gratao, P.L., M.N.P. Prasad, P.L. Cardoso, P.J. Lea and R.A. Azevedo. 2005.
Phytoremediation: Green Technology for the Clean up of Toxic Metals
in the Environment. Braz. J. Plant Physiol. vol.17 no.1 (p: 823 830).
Kramer, U., I.J. Pickering, R.C. Prince, I. Raskin, and D.E. Salt. 2000.
Subcellular Localization and Speciation of Nickel in Hyperaccumulator
and Non-Accumulator Thlaspi Species. Plant Physiol. Vol. 122(4):
13431354.
Lanfranco, I, A. Bolchi, E.C. Ros, S. Ottonello and P. Bonfante. 2002.
Differential Expression of Metalothionein Gene during the
Presymbiotic Versus the Symbiotic Phase on an Arbuscular
Mycorrhizal Fungus. Plant Physiol. (130): 58 67.
Liao, J.P., X.G. Lin, Z.H. Cao, Y.Q. Shi YQ and M.H. Wong. 2003. Interaction
between Arbuscular Micorrhiza and Heavy Metals under Sand Culture
Experiment. Chemosphere 50 (6): 847 853.
Peer, W.A., I.R. Baxter, E.L. Richards, J.L. Freeman and A.S. Murphy. 2008.
Phytoremediation and Hyperaccumulator Plants. www.metals_11.pdf,
Diakses tanggal 11 Januari 2008
Pence, N.S., P.B. Larsen, S.D. Ebbs, D.L.D. Letham, M.M. Lasat, D.F. Garvin,
D. Eide and L.V. Kochian, 2000. The Molecular Physiology of Heavy
Metal Transport in the Zn and Cd Hyperaccumulator Thlaspi
caerulescens. www.pnas.org. Diakses tanggal 11 Januari 2008.
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 46 - 56
56
Rathinasabapathi, B., L.Q. Ma and M. Srivastava. 2006. Arsenic
Hyperaccumulating Ferns and their Application to Phytoremediation of
Arsenic Contaminated Sites. Floriculture, Ornamental and Plant
Biotechnology Volume III. Global Science Books. UK.
Rufykiri, G., Y. Thyri, L. Wang, B. Delvaux and S. Declereck. 2002. Uranium
Uptake and Translocation by the Arbuscular, Fungus Glomus
intraradices under Root-organ Culture Condition. New Phytol. 156 (2):
275 281.
Tan, K.H. 1993. Principles of Soil Science. 2
nd
ed. Marcel and Dekker Inc. New
york.
Wilkipedia.2008. Sun Flower Picture. www.wilkipediathefreeencyclopedia.com.
Diakses tanggal 16 Febrruari 2008
SERANGGA HAMA YANG BERASOSIASI
DENGAN KALIANDRA (Calliandra callothyrsus) DAN
ASPEK PENGENDALIANNYA
Review of Insect Pest On Caliandra callothyrsus
and The Controlling Aspect
Ujang W. Darmawan dan Illa Anggraeni
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan
Kampus Balitbang Kehutanan, Jl. Gunungbatu No. 5, Po. Box 311 Bogor 16118
Telp. (0251)8631238, Fax. (0251) 7520005
I. PENDAHULUAN
Pengusahaan tanaman yang bernilai guna tinggi akan sangat penting
apabila memperhatikan pemilihan spesies yang diusahakan. Salah satu jenis
tumbuhan potensial adalah kaliandra (C. calothyrsus) sebagai tumbuhan multi
guna. Pemanfaatan jenis tanaman ini sangat beragam mulai dari penghasil kayu
energi, meningkatkan kesuburan tanah, penghijauan, pakan ternak dan dapat
diusahakan bersama jenis tanaman lain sebagai pengisi maupun pakan lebah
madu. Jenis tanaman ini sangat cocok sebagai penghasil kayu energi karena nilai
kalornya tinggi (4.500-4.750 kkal/kg), cepat tumbuh (2,5 - 3,5 m dalam 6 - 9
bulan) dan sangat cepat menghasilkan trubusan ketika dipangkas. Selain itu
produktivitasnya tinggi (35 65 m
3
/ha ) dengan rotasi singkat (1 tahun) (NAS,
1980).
Kemampuan kaliandra tumbuh di tanah marjinal, lereng dan bertahan di
musim kering yang panjang, menjadikannya sesuai untuk memulihkan
penutupan lahan pada Daerah Aliran Sungai (DAS), lereng maupun areal bekas
penggundulan hutan dan kebakaran. Kaliandra dapat ditanam di lahan yang
didominasi rumput, kanopinya yang tebal, cepat tumbuh dan menghasilkan
terubusan yang menekan pertumbuhan gulma alang-alang (Imperata cylindrica).
Kanopinya yang tebal dan akar yang ekstensif membantu penetrasi air hujan ke
dalam tanah dan selanjutnya mengurangi aliran permukaan dan erosi, mencegah
tanah longsor, menjaga sumber air dan mengurangi pendangkalan waduk (NAS,
1983).
Pemanfaatan kaliandra sebagai hijauan pakan ruminansia telah
memperlihatkan pengaruh yang menguntungkan tidak hanya menyangkut
produksi tetapi juga reproduksi ternak. Ternak ruminansia kecil maupun yang
besar tidak memperlihatkan suatu masalah bila disuplementasi dengan kaliandra
segar atau dalam bentuk silase tetapi tidak boleh dalam bentuk kering. Kaliandra
dapat diberikan sendiri atau dalam campuran dengan legum lain yang tidak
mengandung tanin untuk mensuplementasi ternak yang diberi rumput (Wina dan
Tangendaja, 2000).
Keberadaan tanaman ini tidak dapat lepas dari serangan Organisme
Perusak Tanaman (OPT) yang dapat menurunkan nilai peran dari tumbuhan ini.
Salah satunya adalah faktor serangan hama. Distribusinya yang luas meliputi
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 57 - 64
58
berbagai negara menjadikan tanaman ini memiliki kerentanan terhadap hama
yang beragam. Status hama selama praktek budidaya tanaman ini telah
memperlihatkan keragaman jenis maupun status pengendalianya termasuk di
Indonesia.
II. KARAKTERISTIK KALIANDRA
Kaliandra yang telah didubidayakan dan disebarkan ke Jawa untuk
berbagai tujuan diperkenalkan pertama kali melalui Bosbouwprofstation
(sekarang Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan) di Bogor (Riswan et
al. 1996). Spesies ini masuk ke pulau Jawa pada tahun 1936. Pada tahun 1974
sebuah program "MALU" (MAntri Kehutanan dan LUrah) yang dikembangkan
oleh Perum Perhutani dilaksanakan dengan membagikan secara gratis biji-biji
kaliandra kepada masyarakat sekitar hutan sehingga penamanan kaliandra dapat
tersebar luas di pulau Jawa. Tujuan penanaman kaliandra pada mulanya untuk
penghijauan, mencegah erosi dan mencegah penduduk mengambil kayu bakar
dari hutan. Dengan adanya kaliandra, penduduk dapat mengambil kayunya untuk
kayu bakar sehingga penebangan liar di hutan oleh penduduk dapat dicegah
(Tangendjaja et al., 1992 dalam Wina dan Tangendaja, 2000).
Kaliandra tergolong famili legumenoceae. Spesies ini memiliki banyak
nama sinonim, yaitu; Anneslia calothyrsus, Feuilleea calothyrsa, Calliandra
confusa, Anneslia confusa, Calliandra similis, Anneslia similis, Anneslia
acapulcensis, dan Calliandra acapulcensis. Spesies ini berupa semak atau pohon
kecil berbatang tunggal maupun bercabang banyak dan dapat tumbuh hingga 12
m dan diameter setinggi dada mencapai 20 cm (Chamberlain, 2001).
Berdasarkan pemetaan sebaran alaminya di Amerika tengah melalui
eksplorasi maupun penggunaan herbarium jelas bahwa spesies ini tersebar dari
19
0
20 LU 9
0
20 LU dan 96
0
40 BB 79
0
50 BB. Sebarannya berdasarkan
iklim juga sangat luas, tetapi kecenderungan menjumpainya pada area yang
memiliki 2-4 bulan kering (kurang dari 50 mm) dan curah hujan berkisar 1000-
4000 mm/tahun. Keberadaan spesies ini di habitat aslinya menurut jenis tanah di
amerika tengah meliputi tiga tipe tanah utama yaitu cambisols, acrisols dan
nitosols. Selain ketiga jenis tanah tersebut kaliandra dapat juga dijumpai pada
jenis tanah yang lain andosols, luvisols, rendzina, fluvisols dan gleysol
(Macqueen, 1992).
III. STATUS HAMA PADA KALIANDRA DAN
ASPEK PENGENDALIANNYA
Seperti halnya dengan jenis tanaman lain, kaliandra tidak dapat lepas
dari gangguan OPT. Beberapa hama dilaporkan menyerang tanaman ini dengan
dampak yang beragam. Tragocephala guerini dilaporkan di Kamerun sebagai
hama yang merusak tanaman kaliandra. Dari hasil observasi di salahsatu
kawasan pertanian menemukan larva cerambicideae yang menyerang cabang
pohon. Larva sepanjang 60 mm ditemukan di dalam cabang dan menggerek
batang mengakibatkan tanaman kering. Kematian pohon terjadi pada cabang
Serangga Hama yang Berasosiasi dengan Kaliandra (Calliandra callothyrsus) dan
Aspek Pengendaliannya
Ujang W. Darmawan dan Illa Anggraeni
59
maupun pohon secara keseluruhan apabila intensitasnya berat (Gauhl et al.,
1998).
Macrotermes subhyalinus dan spesies Pulvinarisca jacksoni meskipun
dalam skala yang kecil dilaporkan sebagai hama. Selain itu Planococcus kenyae
juga ditemukan sebagai hama yang merusak kaliandra dan tanaman kopi di
Uganda (Nyeko, et al. 2004). Distribusi P. jacksoni meliputi kawasan afrika
tropis dan dapat dijumpai pada tanaman yang meliputi limabelas spesies dari
famili annonaceae, euphorbiaceae, fabaceae, malvaceae, meliaceae, moraceae,
sterculiaceae, passifloraceae dan strelitziaceae (*). P. kenyae merusak tanaman
dengan menghisap dari akar, petiola dan buah. Menyebabkan daun kekuningan,
layu dan gangguan pertumbuhan. Hama ini juga menghasilkan zat ekskresi
berwarna putih pekat sebagai penarik semut yang secara tidak langsung
berfungsi sebagai pelindung hama dari predatornya (Infonet biovision, 2011).
Hama ini terutama dijumpai pada Coffea sp., Passiflora sp., Cajanus cajan,
Dioscorea sp., Saccharum officinarum, Ipomoea batatas, Citrus sp. dan
Theobroma cacao (CABI, 2011). Untuk mengendalikan populasi P. kenyae di
perkebunan kopi digunakan agen pengendali secara biologi dengan
memanfaatkan sejenis parasit Anagyrus kivuensis yang diperkenalkan dari
Uganda ke Kenya dan terbukti mampu mengendalikan hama ini di perkebunan
kopi pada tahun 1949 (Magina, 2005).
Selain kaliandra, Eucalyptus sp. dan Grevillea robusta adalah spesies
yang sangat rentan terhadap serangan M. subhyalinus. Rayap ini merusak batang
dan akar. Kerusakan yang serius terjadi pada tanaman muda dan mungkin
menyebabkan mati. Ranting atau cabang pohon biasanya tertutup oleh lapisan
yang tersusun dari campuran serpihan tanaman, tanah dan liur rayap yang
membentuk lorong dan melindungi mereka ketika melakukan aktifitas
menggerek kulit pohon. Serangan hama rayap akan lebih parah tingkat
kerusakannya terhadap tanaman apabila terjadi pada musim kering dibandingkan
pada musim hujan. Untuk mengendalikan populasinya para petani di Uganda
menggunakan berbagai cara untuk mengendalikan hama ini baik secara
tradisional, maupun kimiawi termasuk menggunakan urine manusia dan kotoran
sapi (Nyeko dan Olubayo, 2005). Metarhizium anisopliae dan Beauveria
bassiana juga merupakan fungi patogen potensial untuk mengendalikan rayap ini
(Abebe, 2002).
Myllocerus viridanus adalah hama yang lazim menyerang tegakan jati
(Tectona grandis) di India selatan. Dikenal sebagai defoliator yang menyerang
daun tanaman rusak dan gugur. Potensi rentang tanaman inang hama defoliator
yang tergolong polifagus ini meliputi Cassia tora dan Solanum violaceum,
Calliandra calothyrsus, Cassia hirsute, Helicteres isora, Acacia auriculiformis,
Cassia fistula, Eugenia jambolana (Syzygium cumini), Eucalyptus robusta,
Pongamia pinnata, Populus deltoids, Sapindus tripliatus dan Chromolaena
odorata (Ahmed, 1989). M. viridanus juga didapati pada Dalbergia sisso dan
dilaporkan memiliki korelasi positif antara kelembaban dan curah hujan terhadap
tingkat intensitas serangan populasinya pada Morus alba (Rajarishi, 2010).
Jamur pathogen Beauveria bassiana juga dilaporkan efektif mengendalikan
Myllocerus viridanus sampai 53 % (Sankaran et al, 1989).
Tetraleurodes acaciae dijumpai dalam populasi yang sangat besar dan
menyebabkan kerusakan pada spesies Calliandra haematocephala di daerah
Florida dan Miami (Hamon, 1978). Tanaman inang T. acaciae meliputi famili
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 57 - 64
60
anacardiaceae, arecaceae, bombacaceae, burseraceae, caprifoliaceae,
euphorbiaceae, geraniaceae, fabaceae, moraceae, myrtaeeae, nyctaginaceae,
rhamnaceae, rosaceae, salicaceae, solanaceae, urticaceae, (Nakahara, 1995).
Hasil eksperimen di laboratorium oleh Villacarlos et al., (2003), Entomophthora
leyteensis menjadi faktor penting sebagai pengendali biologis potensial yang
menyebabkan terjadinya kematian mencapai 8 - 31% dari populasi hama T.
acaciae.
Umbonia crassicornis sering menyerang tanaman jenis legumenose
Cassia sp., Lysiloma bahaminensis, Calliandra surinamensis, Tamarindus
indica, Albizzia lebbek dan khususnya Pithecellobium dulce pada kasus tertentu
juga menyerang Casuarina sp. (Butcher (1953), Dracaena marginata (NPPO.
2011). Beberapa tanaman yang mengalami kerusakan yang parah adalah
Hibiscus sp., Calliandra spp., Albizzia lebbek, Acacia spp. Jacaranda acutifolia
dan Delonix regia yang berdiameter 1.5-2 inch mengalami kematian akibat
serangan hama ini karena intensitas dan populasinya yang besar. Kerusakan
disebabkan hama menghisap cairan pucuk dan perilaku serangga ketika bertelur.
Selain ditemukan pada spesies tanaman tersebut dapat dijumpai pada Lysiloma
bahamensis, Tamarindus indica, Casuarina sp., Crotalaria sp., Desmanthus
virgatus, Callistemon sp., Parkinsonia aculeata, Phoenix roebeleni, Citrus spp.,
Bidens pilosa, Sesbania vesicaria, Glottidium vesicarium, Persea americana,
Ilex sp., Litchi chinensis, Caesalpinia sp., dan Mimosa sp. (Mead, 2008).
Leucopholis irrorata selain dilaporkan menyerang kaliandra, tanaman
kehutanan yang rentan terhadap hama ini adalah semai Eucalyptus deglupta, E.
urophylla, Acacia mangium, Pinus caribaea dan Albizia falcataria (Braza, 1987)
dan juga jenis tanaman pertanian seperti padi (Oriza sativa) dan jagung (Zea
mays) (Apostol dan Litsinger, 1976) ketela dan tebu (Saccharum officinarum)
bahkan rumput teki (Cyperus rotundus). L. irrorata merupakan kumbang yang
menghabiskan sebagian besar siklus hidupnya di dalam tanah dan hanya pada
bulan Juni dan Juli keluar untuk mencari pasangan dan melakukan perkawinan.
Telur tumbuh berkembang di dalam tanah menjadi larva dan pupa. Larva
merusak tanaman dengan memakan akar muda yang baru tumbuh. Untuk
mengendalikan hama ini dapat dilakukan dengan menggunakan perangkap
serangga (fase dewasa) atau menggunakan pengendalian secara biologi dengan
memanfaatkan musuh alaminya berupa semut merah (Solenopsis geminata rufa),
kumbang predator carabidae dan earwig (Quimio, 2001). Spesies Eutrixopholis
irrorata, Eutrixopsis javana, Campsomeris aurulenta, Campsomeris
tasmaniensis dan Tiphia segregata dapat mengontrol hama ini karena merupakan
parasit pada larva L. irrorata (Maddison, 1993).
Sahyadrassus malabaricus adalah hama penggerek batang sapling yang
lazim dijumpai pada tegakan jati muda (Tectona grandis). Hama juga menyerang
Eucalyptus spp. dan tanaman legume Paraserianthes falcataria dan C.
calothyrsus yang ditanam di dekat tegakan jati di India (Walter dan Parry, 1998).
Larva S. malabaricus merusak tanaman dengan cara menggerek batang dan
memakan jaringan tanaman yang menyebabkan daun menguning, gugur dan
batang mengering pada Gliricidia maculata, Acacia auriculiformis dan Ailanthus
malabaricus (Devasahayam et al. 1987). Monitoring hama secara teratur maupun
dengan menggunakan insektisida tertentu secara lokal dilakukan untuk
mengendalikan hama ini (Nair, 1987 dalam FAO. 2009). Tujuh fungi pathogen
Serangga Hama yang Berasosiasi dengan Kaliandra (Calliandra callothyrsus) dan
Aspek Pengendaliannya
Ujang W. Darmawan dan Illa Anggraeni
61
potensial diuji di lapangan melalui penyemprotan larutan fungi kedalam lubang
gerek hama yang menyebabkan 100% kematian pada hama (Balu et al. 2007).
Stator limbatus adalah hama yang memiliki tanaman inang yang
beragam khususnya dari tanaman legume termasuk di dalamnya adalah
kaliandra. Sebanyak 74 tanaman tercatat sebagai tanaman inang dan 30
diantaranya adalah genus acacia, selain itu juga merusak benih dari golongan
pithecellobium, albizia, cercidium, lysiloma, calliandra, piptadenia, leucaena,
parkinsonia dan chloroleucon (Johnson, 1995). Kumbang ini menjadi hama
karena merusak polong tanaman legum untuk bertelur di dalam biji yang telah
masak ketika buah masih di atas pohon (mature seed guid bruchid) sehingga
menurunkan produktifitas tanaman khususnya benih. Kumbang ini memiliki
musuh alami berupa parasitoid telur Stenocorse bruchivora, Urosigalphus
bruchivorus, Uscana semifumipennis (Swezey, 1931), Microdontomerus
anthonomi (Grissell, 2005) dan Urosigalphus neobruchi (Kingsolver, 2004).
Stator sordidus tergolong spesies kumbang yang memakan dan bertelur
pada biji yang telah masak dan jatuh dari tanaman di atas tanah (scattered seed
guild bruchid) dari golongan tanaman dehiscent (polongnya pecah ketika masak)
termasuk di dalamnya (Calliandra humilis dan C. eriophyla) atau yang sebagian
dehiscent, tetapi tidak dijumpai pada tanaman yang termasuk dalam golongan
polongnya tidak pecah meskipun telah masak. Melalui percobaan di
laboratorium, S. sordidus mampu berkembang (bertelur hingga dewasa) pada
enambelas biji tanaman yang sebelumnya tidak tercatat sebagai tanaman inang
alaminya sedangkan enambelas tanaman tersebut termasuk kelompok
indehiscent (Johnson dan Romero, 2004).
Selain hama tersebut diatas, hama lain yang menyerang kaliandra
adalah Pachnoda ephippiata yang memakan buah bunga dan daun kaliandra dan
menyebabkan kerontokan daun dan gangguan produksi benih (Orwa et al. 2009).
Rathore (1995) mencatat beberapa spesies hama lainnya yang ditemukan pada
kaliandra yang menimbulkan kerusakan beragam yaitu: Apion sp.,
Cryptocephalus sp., Monolepta pauperata, Myllocerus sp., Diplognatha silicea,
Pachnoda aemula, Antestia cincticollis, Atelocera sp., Myrmicaria natalensis,
Coptotermes sp., Megalurothrips sp. dan Thrips sp.
IV. PENUTUP
Spesies-spesies serangga yang berasosiasi dengan kaliandra merupakan
bagian ekosistem sangat penting diperhatikan agar segera dapat diambil tindakan
pengendaliannya sehingga tidak menimbulkan kerugian yang berarti. Tindakan
pengendalian hama diupayakan sedapat mungkin aman bagi lingkungan,
termasuk manusia melalui pengelolaan ekosistem, pemanfaatan musuh alami,
parasitoid, fungi pathogen atau penggunaan pestisida ramah lingkungan.
Pengendalian hama terpadu saat ini mulai diarahkan untuk mengkaji faktor-
faktor abiotik lingkungan (temperatur, curah hujan, kelembaban) sebagai elemen
penting dalam pengendalian hama. Hal ini semakin menegaskan bahwa prinsip
pengelolaan sumberdaya hutan adalah pengelolaan ekosistem dan bukan berdasar
kepentingan ekonomi semata.
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 57 - 64
62
DAFTAR PUSTAKA
Abebe, H. 2002. Potential of Entomopathogenic Fungi for the Control of
Macrotermes Subhyalinus (Isoptera: Termitidae). Universitt
Hannover. (Disertasi).
Apostol, R. F. dan Litsinger, J. A. 1976. White Grub Control in an Upland
Ricecorn Cropping Pattern. Cropping Systems Program, International
Rice Research Newsletter 1:76.
Ahmed, M. 1989. Feeding Diversity of Myllocerus viridanus Fab. (Coleoptera:
Curculionidae) From South India. Indian Forester 115. Forest Research
Institute, Dehra Dun - 248 006, India. (abstrak).
Balu, A., J.P. Jacob, R.R. Rishi, B. Sunitha. 2007. Identification, Isolation,
Evaluation And Mass Production Of Native Fungi For The
Management Of Teak And Casuarina Stem Borers . ICFRE.
Braza, R.D. 1987. Resistance Of Seedlings Of Four Plantation Tree Species To
White Grubs, Leucopholis Irrorata (Chevrolat) (Coleoptera :
Scarabidae). Sylvatrop V. 12. (Jan-Jun 1987) (abstrak).
Butcher F.G. 1953. Unusual Abundance of the Tree-Hopper Umbonia
crassicornis A. & S. Florida Entomologist 36: 57-59.
CAB International 2011. http://www.cabi.org/isc/?compid=5&dsid=41890&
loadmodule=datasheet&page=481&site=144. Diakses tanggal 27
September 2011.
Chamberlain, JR. 2001. Calliandra calothyrsus, An Agroforestry Tree For Humid
Tropics. Oxford Forestry Institute Tropical Forestry Paper No.40.
Devasahayam, S., T. Premkumar, K.M.A. Koya, 1987. Record of Sahyadrassus
malabaricus (Moore) Damaging Gliricidia maculata, A Standard of
Black Pepper Piper nigrum In Kerala. Entomon 1987: Vol 12, No 4.
391-392.
FAO. 2009. Global Review of Forest Pest and Desease. FAO Forestry Paper
156. Food And Agricultural Organization Of The United Nations. Rome
2009.
Gauhl, F., C.P Gauhl, G. Goergen. 1998. A Pest on Calliandra calothyrsus in
Cameroon. Agroforestry System 41. Cluwer Academic Publisher,
Printed in Nedherland.
Grissell, E. E. 2005. A Review of North American Species of Microdontomerus
Crawford (Torymidae: Hymenoptera). Journal of Hymenoptera
Research. Volume 14, Number 1, 2005.
Hamon, A.B. 1978. Acacia Whitefly, Tetraleurodes acacia (Quaintance),
Homoptera: Aleyrodidae). Entomology Circular May 1978 No. 190.
Infonet biovision, 2011. http://www.infonet-biovision.org/default/ct/94/pests
Diakses tanggal 8 desember 2011.
Serangga Hama yang Berasosiasi dengan Kaliandra (Calliandra callothyrsus) dan
Aspek Pengendaliannya
Ujang W. Darmawan dan Illa Anggraeni
63
Johnson, C.D. 1995. New Host Records from Latin America and New Synonymy
for Stator limbatus (Horn) and S. cearanus (Pic) (Coleoptera:
Bruchidae). The Coleopterists Bulletin Vol. 49, No. 4 .Dec., 1995.
(abstrak).
Johnson, C.D. dan J. Romero. 2004. A Review of Evolution of Oviposition Guild
in The Bruchidae (Coleopteran). Revista Brasileira De Entomologia
48(3): 401-408.
Kingsolver, J.M. 2004. Handbook of the Bruchidae of the United States and
Canada (Insecta, Coleoptera), United States Department of Agriculture;
Agricultural Research Service Technical Bulletin Number Vol. I. 1912
November 2004.
Macqueen, D.J. 1992. Calliandra calothyrsus: Implications of Plant
Taxonomy,Ecology and Biology for Seed Collection, Commonwealth
Forestry Review Volume 71( l) 1992.
Maddison, P. A. 1993. UNDP/FAO-SPEC Survey of Agricultural Pests And
Diseases In The South Pacific, Technical Report. Vol. 3. Pests And
Other Fauna Associated With Plants, With Botanical Accounts of
Plants. Auckland : Manaaki Whenua B Landcare Research. [File
Downloaded From http://nzac.landcareresearch.co.nz/]
Magina, L. F. 2005. A Review of Coffee Pest Management. Tanzania Coffee
Research Institute.
Mead, F.W., 2008. Thorn Bug. Umbonia Crassicornis (Amyot And Serville)
(Insecta: Hemiptera: Membracidae). Featured Creatures, University Of
Florida Institute Of Food And Agricultural Sciences.
http://creatures.ifas.ufl.edu
Nakahara, S. 1995. Taxonomic Studies of the Genus Tetraleurodes (Homoptera:
Aleyrodidae), Insecta Mundi, Vol. 9, No. 1-2, March - June, 1995.
Systematic Entomology Laboratory Agricultural Research Service, PSI,
USDA
NAS. 1980. Firewood Crops; Shrub and Tree Species for Energy Production.
Washington DC.
NAS. 1983. Calliandra, A Small Versatile Tree For the Humid Tropics.
NPPO. 2011. New Pest Records In EPPO Member Countries. EPPO Reporting
Service. NO. 4
Nyeko, P. dan F.M. Olubayo. 2005. Participatory Assessment Of Farmers
Experiences Of Termite Problems In Agroforestry In Tororo District,
Uganda. Network Paper No. 143 January 2005 Agricultural Research &
Extension Network.
Nyeko, P., J. Stewart, S. Franzel, dan P. Barklund. 2004. Farmers Experiences
in The Management And Utilisation of Calliandra calothyrsus, A
Fodder Shrub, in Uganda. Agricultural Research and Extension
Network. Network Paper No.140.
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 57 - 64
64
Orwa, C., A. Mutua, R. Kindt. R. Jamnadass. A. Simons. 2009. Agroforestry
Database: a tree reference and selection guide version 4.0
(http://www.worldagroforestry.org/af/treedb/). Diakses tanggal 8
Desember 2011.
Quimio, G. M. 2001. Management and Monitoring of White Grubs in
Sugarcane. Philippine Sugar Research Institute (PHILSURIN),
Philippine.
Rajarishi, S. R. 2010. Assessment of Insectpest Problems of Selected Fast
Growing Indigenous Tree Species in Tamil Nadu and Kerala.
Completed ICFRE Funded Research Projects (2009-10) - IFGTB (Sep-
06, 2006-2010).
Rathore, M.P. S.1995. Insect Pests in Agroforestry. Working Paper No. 70 report
of a GTZ Fellowship. Senior Visiting Fellow International Centre For
Research In Agroforestry Nairobi, Kenya.
Riswan, S., N. Ginting, dan I. Samsoedin. Historical Introduction of Calliandra
in Indonesia; Dalam : Evans, D. O. 1996. International Workshop On
The Genus Calliandra. Proceedings Of A Workshop Held January 23-
27, 1996, In Bogor, Indonesia. Forest, Farm, And Community Tree
Research Reports (Special Issue). Winrock International, Morrilton,
Arkansas, USA.
Sankaran, K. V., K. Mohanadas, M. I. M. Ali. 1989. Beauveria bassiana (Bals.)
Vuill., A Possible Biocontrol Agent Against Myllocerus viridanus Fabr.
And Calopepla leayana Latreille In South India. Current Science 58(8):
467-469 (1989). (abstrak)
Swezey, O. H. 1931. Proceedings of the Hawaiian Entomological Society. Vol.
VII, No. 3 For the Years 1929-1930 April, 1931
Villacarlos, L. T., B. S. Mejia, dan S. Keller. 2003. Entomophthora leyteensis
Villacarlos & Keller Sp. Nov. (Entomophthorales: Zygomycetes)
Infecting Tetraleurodes Acaciae (Quaintance) (Insecta, Hemiptera:
Aleyrodidae), A Recently Introduced Whitefly on Gliricidia sepium
(Jaq.) Walp. (Fabaceae) in The Philippines. Journal of Invertebrate
Pathology 83:1 Pp. 16-22.
Walter, G.H. and Parry, W.H. Insect Pests of Forage Tree Legumes: Biology and
Non-chemical Control Dalam Gutteridge, Ross C. dan Shelton, H. Max.
(editor). 1998. Forage Tree Legumes in Tropical Agriculture. Tropical
Grassland Society Of Australia Inc.
Wina, E. dan B. Tangendaja. 2000. Lokakarya Produksi Benih dan Pemanfaatan
Kaliandra 14 16 November. International Centre for Reseach in
Agroforestry and Winrock International Bogor. Indonesia.
*http://www.sel.barc.usda.gov/scalecgi/region.exe?region=F&family=All&intro
=A&genus=&detail=No&country=&subunit=&regname=&ctryname=
&action=Submit+Query&querytype=Region+Query. Diakses tanggal
29 september 2011.
PROSES PERKECAMBAHAN
BENIH Dialium platysepalum Baker
Germination Process of Dialium platysepalum Baker Seed
Mira Kumala Ningsih dan Kade Sidiyasa
Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Samboja
Jl. Soekarno Hatta Km 38 PO.BOX 578 Balikpapan 76112
Telp.0542-7217663, Fax 0542-7217665
I. PENDAHULUAN
Leguminosae mempunyai keragaman jenis terbesar di daerah tropis.
Pohon jenis ini terkenal terutama dalam program agroforestry dan banyak
ditanam untuk rehabilitasi lahan kritis karena kemampuannya mengikat nitrogen
(Schmidt, 2000). Terdapat 590 marga dengan 12.000 species, diantaranya
berhabitus pohon, semak belukar, liana dan herba (Ng, 1991). Dialium
merupakan salah satu marga dari suku Leguminosae yang mempunyai 27 spesies
(Kalkman, 1996). Sedikitnya terdapat dua spesies Dialium yang dapat
dikonsumsi yakni Dialium indum L. dan D. platysepalum Baker. Dipilih D.
platysepalum dalam penelitian ini mengingat keberadaannya di alam sudah
semakin langka akibat penebangan pada saat pemanenan buah, di lain pihak
upaya budidayanya belum dilakukan
Kegiatan perbanyakan secara generatif melalui biji merupakan salah
satu mata rantai awal untuk budidaya Dialium. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari proses perkecambahan benih Dialium platysepalum. Data dan
informasi yang dihasilkan dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan
dalam kegiatan perbanyakan jenis tersebut secara generatif.
Pengumpulan benih dilakukan terhadap benih-benih yang sudah masak
dan jatuh di bawah pohon induknya. Benih diambil pada minggu ke empat bulan
April 2010 dari Muara Teweh. Pengamatan proses perkecambahan dilakukan
setiap minggu sejak benih disemaikan. Proses yang terjadi setiap minggu dicatat.
Dokumentasi proses hanya dilakukan pada saat terjadi perubahan yang mencolok
pada kecambah. Pada akhir pengamatan dilakukan perhitungan terhadap persen
kecambah benih yang tumbuh. Persentase perkecambahan benih (%) dihitung
dengan menggunakan rumus = ( N
t
/ N
a
) x 100%, dengan pengertian N
t
adalah jumlah biji yang berkecambah hingga pada hari terakhir, sedangkan N
a
adalah jumlah biji yang disemaikan pada saat awal. Data yang diperoleh
kemudian dianalisis secara deskriptif kuantitatif.
II. BENIH Dialium platysepalum Baker
A. Asal Buah/Benih D. platysepalum
Benih diperoleh dari hutan primer dengan kondisi yang terganggu.
Tinggi pohon induk 24 m dengan diameter 35 cm. Batang berbanir dengan tinggi
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 65 - 71
66
2 m. Kulit luar kecoklat-coklatan, berlentisel. Kulit dalam coklat kemerah-
merahan, tipis, dan bergetah merah. Secara administrasi pemerintahan, daerah ini
termasuk dalam wilayah Kecamatan Gunung Timang, Desa Pandranjari, Muara
Teweh, Kalimantan Tengah. Secara geografis, Muara Teweh berada pada 110
LS dan 11506 BT, dengan ketinggian 90 m dpl.
B. Morfologi Buah dan Benih
Buah membulat dengan diameter 2 cm dan berat 2,3 gram,
berwarna cokelat dan terdapat alur yang jelas seperti garis yang membujur. Kulit
buah (eksokarp) berbulu seperti beludru dengan bagian mesokarp yang lunak dan
mudah rapuh bila ditekan. Salut biji lunak seperti tisu yang berwarna cokelat
pucat serta dapat dimakan dengan rasa asam agak manis. Kulit biji kelas
berwarna cokelat pucat dan mengkilap. Biji berbentuk agak memipih dengan
panjang 1,4 cm, lebar 1,1 cm dan tebal 0,5 cm dengan berat biji 0,60
gram (Gambar 1). Dengan demikian menurut Schmidt (2000), buah Dialium
termasuk dalam klasifikasi buah drupe.
Gambar 1. Buah, benih dan penampang membujur buah D. platysepalum
(Gambar sebelah kanan digambar oleh Priyono)
III. PROSES PERKECAMBAHAN BENIH Dialium platysepalum Baker
Perkecambahan benih dilakukan di rumah kaca (green house) Balai
Penelitian Teknologi Sumber Daya Alam Samboja (dahulu Balai Penelitian
Teknologi Perbenihan).
Proses Perkecambahan Benih Dialium platysepalum Baker
Mira Kumala Ningsih dan Kade Sidiyasa
67
Gambar 2. Benih D. platysepalum yang sudah berkecambah.
Tidak ada perlakuan awal terhadap benih D. platysepalum sebelum
benih disemai atau dikecambahkan. Lamanya proses pengangkutan buah sampai
benih disemai atau dikecambahkan yaitu tiga hari. Setelah benih disemai atau
dikecambahkan terjadi penambahan volume benih. Pertambahan volume benih
mencapai 2x (dua kali) lipat ukuran benih sebenarnya. Bertambahnya volume
benih terjadi karena proses metabolisme dalam benih yang menyebabkan
pembesaran embrio. Pada saat perkecambahan dimulai, semua struktur penting
dalam embrio tumbuh dan perkembangan stuktur tersebut sebagian besar melalui
pengembangan dan pembagian sel (Schmidt, 2000). Selama terjadi penambahan
volume benih maka terjadi pula pelunakan perikarp (kulit bjji). Menurut
Sayekiningsih dan Ningsih (2009), bertambahnya volume benih terjadi karena
proses imbibisi. Seiring dengan bertambahnya volume benih radicula mulai
tumbuh berwarna putih (Gambar 2). Gambaran mengenai proses perkecambahan
D. platysepalum disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Proses perkecambahan D. platysepalum (digambar oleh Priyono)
Keterangan :
1. Terjadi penambahan volume benih
2. Mulai tumbuh radicula
3. Hipokotil mulai memanjang dan membentuk
loop di atas permukaan media
4. Hipokotil mulai meluluskan diri
5. Lepasnya kulit benih dan kotiledon mulai
terbuka
6. Tumbuh empat daun pertama (plumula)
7. Kotiledon terlepas
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 65 - 71
68
Berdasarkan gambar 3, proses perkecambahan ditandai dengan
bertambahnya volume benih dan diikuti oleh tumbuhnya radicula pada hari ke-5
setelah benih disemai atau dikecambahkan. Setelah terjadi penonjolan akar,
kemudian terjadi pemanjangan bagian sumbu embrio (hipokotil). Hipokotil terus
tumbuh pada minggu kedua dan ketiga. Tumbuhnya hipokotil menyebabkan
benih terangkat ke atas bersama dengan lembaga atau struktur dari benih.
Kemudian kulit benih (perikarp) mulai meretak karena pertambahan volume
lembaga.
Pada minggu keempat dan kelima, hipokotil mulai meluruskan diri dan
kulit benih mulai terbuka karena kotiledon mulai tumbuh dan selanjutnya
kotiledon terbuka dan menyebabkan kulit benih jatuh. Kotiledon berwarna hijau
dan berdaging. Seiring dengan membukanya kotiledon terlihat calon daun
pertama (plumula) tumbuh pada minggu keenam. Terdapat empat daun pertama
berwarna hijau dengan duduk daun roset. Batang utama terus tumbuh dan terjadi
penambahan epikotil pada minggu ketujuh. Bagian dari batang utama yaitu
hipokotil mulai mengeras dan berubah warna ke arah cokelat. Pada minggu ke
tujuh inilah kotiledon meluruh dan jatuh ke tanah. Dengan lepasnya koliledon
ini berarti bibit harus segera disapih, karena bibit tidak memiliki cadangan
makanan lagi. Tipe perkecambahan D. platysepalum termasuk tipe per-
kecambahan epigeal. Perkecambahan epigeal adalah tipe perkecambahan dimana
kotiledon terangkat ke atas permukaan tanah. Tahapan proses perkecambahan D.
platysepalum disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Tahapan proses perkecambahan D. platysepalum.
Pengamatan
minggu ke-
Keterangan
1
Terjadi proses imbibisi menyebabkan
ukuran benih membesar, radikula mulai
tumbuh.
2-3
Bagian batang utama atau hipokotil
mulai tumbuh dan terus memanjang.
Kulit benih mulai meretak karena
pertambahan volume lembaga.
Proses Perkecambahan Benih Dialium platysepalum Baker
Mira Kumala Ningsih dan Kade Sidiyasa
69
Tabel 1. Lanjutan
Pengamatan
minggu ke-
Keterangan
4
Tumbuhnya hipokotil diiringi dengan
membukanya kulit benih dan
membesarnya kotiledon
5
Kotiledon mulai terbuka dan kulit
benih terjatuh dan terlihat calon daun
(plumula).
6
Terbukanya sepasang kotiledon dan
empat daun pertama (plumula)
berwarna hijau dengan duduk daun
roset.
7 Kotiledon sudah terlepas dan kecambah
dianggap sudah normal.
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 65 - 71
70
Periode perkecambahan D. platysepalum yang dimulai dengan
bertambahnya volume benih sampai terlepasnya kotiledon membutuhkan waku
48 hari. Hasil penelitian lain (Ng, 1991) menyatakan bahwa periode
perkecambahan benih dari D. platysepalum berkisar antara 5 867 hari. tanpa
perlakuan dan 5 12 hari dengan perlakuan pemotongan kulit biji. Panjangnya
jangka waktu perkecambahan tanpa perlakuan tersebut karena sifat benih D.
platysepalum yang bisa disimpan dalam waktu yang lama (ortodoks) tergantung
media tempat benih tersebut berada atau disemaikan. Hal serupa dijumpai pada
sengon (Paraserianthes falcataria) yang benihnya dapat disimpan selama 16
(enam belas) bulan setelah dikeringkan selama 10 (sepuluh) hari, namun akan
berkecambah setelah disemaikan selama dua hari dengan persentase kecambah
90% (Balai Perbenihan Tanaman Hutan Banjarbaru, 2000)
Hasil evaluasi kecambah dan pengamatan morfologi kecambah yang
dilakukan pada akhir penelitian menyatakan bahwa persentase perkecambahan
adalah 76% dengan panjang akar rata-rata 3,7 cm, panjang hipokotil rata-rata 7,8
cm, panjang epikotil rata-rata 3,9 cm serta tinggi total rata-rata kecambah adalah
l4,l cm. Ada dua pasang kotiledon dengan bentuk agak melonjong dengan
ukuran 1 0.5 cm. Kotiledon tersebut berdaging dan berwarna hijau. Daun
pertama (plumula) berbentuk oval dengan duduk daun roset. Daun berwarna
hijau dengan ujung runcing. Panjang daun 4,5 cm dan lebar 2 cm. Tangkai
daun berwama hijau dengan panjang 1 cm.
IV. KESIMPULAN
Perkecambahan benih Dialium platysepalum Baker hingga terlepasnya
kotiledon (tanpa perlakuan) membutuhkan waktu 48 hari dengan persentase
perkecambahan 76%, dan tipe perkecambahan epigeal.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Perbenihan Tanaman Hutan Banjarbaru. 2000. Petunjuk Teknis Perlakuan
Benih/Bibit dan Penanaman Sengon (Paraserianthes falcataria (L.)
Nielson). Balai Balai Perbenihan Tanaman Hutan. Banjarbaru.
Kalkman, C. 1996. Menispermaceae. Flora Malesiana Series I Spermatophyta
Flowering Plants. Vol. 12, 2 : 157 253. Rijksherbarium / Hortus
Botanicus, Leiden University. The Netherlands.
Ng, F.S.P. 1991. Malayan Forest Record No. 34. Forest Research Institute
Malaysia. Manual of Forest Fruits, Seed and Seedling. Volume One.
Kuala Lumpur.
Nurhasybi, D.J. Sudrajat dan F.D. Dharmawati. 2003. Kajian Komprehensif
Benih Tanaman Hutan Jenis-Jenis Dipterocarpaceae. Balai Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Perbenihan. Vol. 3 : 4. Bogor.
Proses Perkecambahan Benih Dialium platysepalum Baker
Mira Kumala Ningsih dan Kade Sidiyasa
71
Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub
Tropis (Terjemahan). Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan. Jakarta.
Sayektiningsih, T. Dan M.K. Ningsih. 2009. Proses perkecambahan buah/benih
Vatica fauciflora (Korth.) Blume dari pohon induk di Hutan Lindung
Sungai Wain, Kalimantan Timur. Mitra Tanaman Hutan Vol. 4, No.3:
111-117. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.
ASPEK PEMILIHAN JENIS DALAM KEGIATAN REHABILITASI
EKS PROYEK PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT (PLG)
DI KABUPATEN KAPUAS, KALIMANTAN TENGAH
Peatland Rehabilitation on ex Peatland Development Project Area
in Kapuas District, Central Kalimantan
Faiqotul Falah dan Wahyu Catur Adinugroho
Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Samboja
Jl. Soekarno-Hatta Km. 38, PO. BOX 578, Balikpapan 76112
Telp. 0542-7217663; Fax. 0542-7217665
I. PENDAHULUAN
Lahan gambut merupakan ekosistem yang spesifik dan rapuh, dicirikan
oleh tanah dan airnya yang bersifat sangat masam (pH 5 atau kurang) dan miskin
hara (oligotrof). Ekosistem hutan rawa gambut sering juga disebut ekosistem air
hitam karena air sungai-sungai yang mengalir di dalamnya berwarna kehitaman.
Hutan rawa gambut mempunyai fungsi penting sebagai habitat vegetasi dan
satwa khas rawa gambut. Hutan rawa gambut juga mempunyai fungsi hidrologis
sebagai penyimpan air sehingga berperan dalam mengatur debit pada musim
hujan dan musim kemarau. Peran lain hutan dan lahan gambut yang saat ini
menjadi perhatian adalah sebagai penyimpan cadangan karbon berupa bahan
organik yang telah terakumulasi selama ribuan tahun. Diperkirakan cadangan
karbon di lahan gambut Indonesia adalah sebesar 46 Gt (Mudiyarso, 2003).
Salah satu kawasan yang dulunya merupakan ekosistem hutan gambut
dan memerlukan kegiatan rehabilitasi adalah kawasan eks Proyek Pengembangan
Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kabupaten Kapuas dan Barito Selatan,
Kalimantan Tengah. Pada awalnya proyek ini dimaksudkan sebagai salah satu
upaya pengamanan pangan nasional. Direncanakan dalam lima tahun proyek ini
dapat memproduksi 5 juta ton beras pertahun. Pelaksana proyek PLG telah
mengangkat dan mengeringkan lahan gambut, serta membangun kanal-kanal
atau saluran air di sekeliling areal tersebut. Ternyata dalam pelaksanaannya,
proyek PLG dinilai gagal.. Kegiatan reklamasi dalam proyek PLG akhirnya
menimbulkan permasalahan baik secara teknis, sosial ekonomi, budaya, maupun
ekologi. Lahan gambut mengalami penurunan potensi dan keanekaragaman flora
dan fauna, penurunan permukaan air, drainase secara berlebihan (overdrained)
yang berakibat tanah gambut menjadi kering tak balik ( irreversible ) dan mudah
terbakar (Noor dan Syarwani, 2004). Pada musim penghujan terjadi banjir. Pada
musim kemarau, terjadi penyusutan debit air sehingga ketinggian pasang tidak
mencapai lahan persawahan. Juga terjadi intrusi laut masuk ke daratan sehingga
berdampak warga kesulitan mendapatkan air tawar di musim kemarau (Noor dan
Syarwani, 2004 ). Hasil kaji ulang menunjukkan bahwa proyek PLG tidak layak
untuk dilanjutkan dan akan menimbulkan dampak kerusakan ekologis yang lebih
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 73 - 85
74
parah, sehingga secara resmi proyek dihentikan dengan dikeluarkannya Keppres
80/1999 oleh Presiden B.J. Habibie.
Rencana pemerintah selanjutnya adalah melakukan upaya penyelamatan
kerusakan yang telah dilakukan (Muhammad & Rieley, 2001). Upaya
memperbaiki hutan dan lahan gambut yang terdegradasi di bekas areal PLG telah
dilakukan oleh berbagai pihak, pemerintah, masyarakat dan Lembaga Swadaya
Masyarakat. Namun upaya pemulihan hutan rawa gambut yang terdegradasi
melalui suksesi alami membutuhkan waktu lama untuk mencapai klimaks. Oleh
karena itu diperlukan intervensi manusia dalam bentuk kegiatan rehabilitasi
untuk mempercepat proses suksesi guna mengembalikan fungsi ekologis serta
meningkatkan produktivitas lahannya. Apabila dibandingkan dengan kegiatan
rehabilitasi pada tanah mineral biasa, kegiatan rehabilitasi pada lahan gambut
mengalami beberapa hambatan, antara lain kesulitan pemilihan jenis,
pengetahuan teknik silvikultur untuk jenis spesifik lahan gambut, habitat rawa
gambut yang miskin hara dan tinggi tingkat keasaman tanahnya sehingga
umumnya pertumbuhan tanaman lambat.
Tulisan ini bertujuan memberikan informasi mengenai pemilihan jenis
vegetasi yang digunakan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi lahan gambut
yang dilakukan masyarakat di kawasan eks PLG Kabupaten Kapuas, Kalimantan
Tengah, meliputi aspek pemilihan jenis, pertumbuhan tanaman, jenis tanah,
kedalaman gambut, keasaman tanah, model penanaman dan pemanfaatan lahan
gambut oleh masyarakat. Pengambilan data dilakukan pada bulan Oktober-
Desember 2004 dengan metoda wawancara dan Diskusi Kelompok Terarah
dengan masyarakat. Juga dilakukan pengambilan data primer (wawancara)
dengan Lembaga Swadaya Masyarakat, serta instansi pemerintah terkait.
Pengambilan data fisik dan biologis dilakukan dengan mengukur kedalaman
tanah gambut, keasaman tanah, serta pertumbuhan (tinggi dan diameter)
tanaman.
II. REHABILITASI LAHAN GAMBUT DI DESA LAMUNTI
A. Letak dan Kondisi Biofisik
Secara administratif desa Lamunti berada di kecamatan Mantangai,
Kabupaten Kapuas. Sejak tahun 1997 telah dilakukan proyek pengeringan lahan
gambut di Lamunti, dengan jalan mengangkat lapisan gambut sehingga menjadi
sangat tipis (< 1m), dengan keasaman tanah 3-6. Ketinggian dari permukaan laut
sekitar 100-500 m dpl, dengan kemiringan tanah 15 25
0
.
Sumber air didapat dari kanal-kanal yang dibangun di Sungai Kapuas,
dibendung mengelilingi desa. Alirannya dipengaruhi oleh arus pasang surut
Sungai Kapuas. Iklim tropis dan lembab dengan temperatur berkisar antara 21-
23
0
. intensitas penyinaran matahari yang selalu tinggi. Hujan terjadi sepanjang
tahun. Curah hujan terbanyak pada bulan Oktober sampai Desember serta
Januari sampai dengan Maret berkisar 2.000 3.000 mm tiap tahun, sedangkan
bulan kering pada bulan Juni sampai dengan bulan Agustus (BPS Kabupaten
Kapuas, 2003). Untuk penyediaan air bersih telah dibangun beberapa sumur bor
di Lamunti dengan kedalaman lebih dari 40 meter untuk mendapatkan kondisi air
yang layak konsumsi.
Aspek Pemilihan Jenis Dalam Kegiatan Rehabilitasi Eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG)
di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
Faiqotul Falah dan Wahyu Catur Adinugroho
75
Secara umum kondisi lahan di desa Lamunti pada tahun 2004 lebih
subur dibandingkan pada waktu awal penempatan (1997). Kadar pirit dalam
tanah berkurang akibat dilakukannya penggalian parit untuk mengurangi
limpasan serta pemberian zat kapur pada tanah. Karena telah dilakukan
pengolahan tanah untuk budidaya berbagai jenis tanaman selama bertahun-
tahun), saat ini perlu dilakukan pemupukan untuk memperbaiki kualitas
tanaman. Intensitas terjadinya kebakaran sudah berkurang berkat kegiatan
penjagaan dan lahan sudah bersih dari semak dan alang-alang.
B. Upaya Rehabilitasi Lahan oleh Masyarakat
Berdasarkan studi kasus yang dilaksanakan di UPT Lamunti A/2 (Desa
Manyahi), masyarakat yang merupakan trasmigran proyek PLG telah mencoba
untuk memanfaatkan lahan gambut untuk lahan pertanian. Para transmigran
mulai mengusahakan lahan usahanya dengan menanam padi. Selain padi,
masyarakat juga menanam jagung, singkong, sayur-sayuran dan buah-buahan..
Akhir tahun 2002 beberapa warga mendapat bantuan sengon dari Dinas
Kehutanan Kapuas. Pada tahun 2004, Dinas Kehutanan Kapuas bekerjasama
dengan masyarakat melaksanakan penghijauan dengan sumber dana GNRHL
(Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) 2004. Jenis tanaman yang
digunakan sebagai tanaman penghijauan adalah sengon, karet dan mahang, yang
disemaikan di Desa Dadahup G/1 (termasuk daerah transmigran PLG). Untuk
penanaman tanaman karet, sebagian warga secara swadaya telah
mengembangkan perkebunan karet secara perorangan dengan sistem tumpang
sari karet dan padi seluas 30 ha di Lamunti A/2. Tetapi terdapat kendala dalam
pengembangan perkebunan karet yaitu diperlukan modal untuk membeli bibit,
tenaga serta biaya mencukupi kebutuhan sehari-sehari sampai karet dapat
disadap. Tanaman karet seperti juga tanaman kayu lainnya memerlukan
penjagaan selama musim kemarau untuk menghindari kebakaran.
Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar warga di
UPT Lamunti A/2 dalam pemanfaatan lahan gambut untuk kegiatan pertanian
dan perkebunan yaitu modal, pemasaran hasil usaha dan kurangnya bimbingan
teknis dalam pengembangan usaha. Hasil padi dan tanaman pertanian lainnya
belum dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga. Menurut masyarakat,
pendapatan dari produksi pertanian tidak dapat menutupi biaya produksi atau
merugi, dimana 1 ha padi hanya menghasilkan kurang dari 8 kuintal gabah.
Sementara tanaman kayu dan perkebunan baru dapat dinikmati hasilnya dalam
jangka menengah atau panjang, serta rawan kebakaran.
Pada akhir tahun 2004, masyarakat berencana mamanfaatkan lahan
gambut untuk perkebunan kelapa sawit. Terdapat beberapa alasan yang
terungkap dari hasil FGD mengenai motivasi masyarakat mengembangkan
perkebunan kelapa sawit dari lahan gambut yang mereka miliki, yaitu : 1)
Keinginan untuk meningkatkan pendapatan; 2) Tanah di lahan eks PLG lebih
cocok untuk perkebunan seperti karet dan kelapa sawit; 3) Perkebunan kelapa
sawit mempunyai sistem di mana masyarakat mendapat modal dari investor
dengan sistem pinjam hutang dengan pembayaran 30% dari hasil produksi; 4)
Perusahaan sawit akan membangun sarana fisik seperti jalan aspal untuk
memudahkan pemasaran kelapa sawit, sehingga pemasaran hasil panen komoditi
lain dari Lamunti juga akan lebih mudah.
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 73 - 85
76
III. REHABILITASI LAHAN GAMBUT DI DESA KATUNJUNG
A. Rehabilitasi Lahan Gambut di Desa Katunjung
Desa Katunjung termasuk wilayah kecamatan Mantangai, berada di tepi
Sungai Kapuas, bisa dicapai dengan menggunakan transportasi air dari pusat
kecamatan Mantangai dengan waktu tempuh 30 menit. Dalam wilayah desa
Katunjung terdapat lahan eks PLG (termasuk dalam blok A) yang saat ini tidak
dimanfaatkan oleh masyarakat, sebab masyarakat tidak diperkenankan
melakukan aktifitas di lahan PLG yang telah dibuka. Masyarakat desa Katunjung
sendiri umumnya memiliki lahan yang telah bersertifikat sehingga mereka tidak
merambah lahan eks PLG tersebut.
Sekitar bulan Juni 2004, di desa Katunjung dibentuk kelompok tani
yang secara swadaya mengusahakan bibit karet dan membersihkan lahan kolektif
milik anggota kelompok seluas 25 ha yang kemudian ditanami karet. Alasan
pemilihan jenis karet adalah karena tanaman tersebut terbukti mampu tumbuh
produktif di lahan setempat dan harga pasar tinggi. Di lahan eks PLG warga
menanam sengon dan karet secara swadaya. Hasil pengukuran pertumbuhan
dapat dilihat pada tabel 1.
B. Rehabilitasi Lahan Gambut oleh Yayasan Borneo Orangoutan Survival
Yayasan BOS (Borneo Orangutan Survival) Mawas mempunyai visi
melaksanakan kegiatan penyelamatan orangutan dan habitatnya, yang meliputi
rehabilitasi habitat orangutan serta pendidikan/ penyadaran masyarakat untuk
menjaga kelestarian orangutan dan habitatnya. Di Mantangai kegiatan yang
dilakukan BOSF dalam rangka proses rehabilitasi lahan adalah membuat
persemaian untuk jenis-jenis tanaman yang diperkirakan mampu tumbuh dengan
baik di lahan gambut. Antara lain jenis-jenis karet dan rotan (yang terbukti telah
tumbuh dengan baik di lahan masyarakat setempat), jelutung dan pantung (jenis
asli rawa gambut), aren (berdasar persyaratan tumbuh diperkirakan sesuai untuk
lahan gambut), beberapa jenis sayuran seperti tomat, terong, dan cabe, serta
lidah buaya (Aloe vera) yang telah terbukti dapat dibudidayakan di lahan gambut
di Pontianak, Kalimantan Barat. Bibit dari persemaian dibagikan kepada
kelompok-kelompok tani di kecamatan Mentangai, terutama di lokasi-lokasi
yang berdekatan dengan habitat orangutan di Tuanan (blok E PLG).
IV. JENIS TANAMAN YANG DIUSAHAKAN MASYARAKAT DI
LAHAN GAMBUT
1. Tanaman Pertanian
Sebagian masyarakat telah memanfaatkan lahan gambut sebagai lahan
pertanian, berbagai jenis sayur-sayuran dan tanaman buah-buah diusahakan di
lahan pekarangan dan sebagian lahan usaha mereka. Tanaman pertanian
mempunyai pertumbuhan yang cukup baik pada lahan gambut yang mempunyai
tingkat ketebalan gambutnya tipis serta memerlukan perlakuan-perlakuan
tertentu dalam pengolahan lahan yaitu pengapuran, pengaturan drainase,
pembuatan guludan, pemupukan dan penyemprotan hama. Sistem pertanian
yang secara umum dikembangkan oleh masyarakat di lahan gambut adalah
Aspek Pemilihan Jenis Dalam Kegiatan Rehabilitasi Eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG)
di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
Faiqotul Falah dan Wahyu Catur Adinugroho
77
diversifikasi, dimana mereka mengusahakan berbagai jenis tanaman pertanian
pada suatu areal. Sebagian besar hasil-hasil pertanian yang dihasilkan hanya
untuk memenuhi kebutuhan sendiri, hal ini disebabkan terdapatnya kendala
pemasaran karena rendahnya aksebilitas ke lokasi tersebut. Berbagai jenis
tanaman pertanian yang dibudidayakan oleh masyarakat di lahan gambut Kapuas
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel (Table) 1. Jenis jenis tanaman pertanian yang dibudidayakan oleh masyarakat di
lahan gambut ( Agricultural plant species cultivated by people in
peatland areas )
No
Jenis Tanaman
(Species)
Sumber
bibit/benih
(Seed
source)
Jangka waktu
tanam s/d
panen (The
length of
period from
planting until
harvesting)
Tingkat kepentingan
menurut masyarakat
( The level of
importance
according to the
people)
Keterangan
( Notes)
1 Padi Swadaya 5 bulan Sangat penting
2 Jagung Swadaya 3-4 bulan Sedang
3 Singkong Swadaya 1 tahun Cukup penting
Dikonsumsi
sendiri dan
dijual
4 Sayur-sayuran
- Pare
- Kacang panjang
- Waluh
- Cabe
- Gambas
- Terong
- Buncis
Swadaya
Swadaya
Swadaya
Swadaya
Swadaya
Swadaya
Swadaya
sedang Tanaman
semusim (1-3
bulan), untuk
konsumsi
sendiri dan
dijual
5 Buah-buahan
- Rambutan
- Mangga
- Nanas
- Nangka
- Jeruk
Swadaya
Swadaya
Swadaya
Swadaya
Swadaya
sedang
Pemasaran
masih sulit,
hanya untuk
konsumsi
sendiri
6 Sukun Swadaya sedang dijual
2. Tanaman Kehutanan dan Perkebunan
2.1. Mahang (Macaranga pruinosa)
Mahang (Macaranga pruinosa) tergolong dalam suku Euphorbiaceae,
merupakan salah satu jenis tumbuhan asli hutan rawa gambut. Dicirikan dengan
kayunya yang lunak dan tidak berbanir. Pada pohon yang tua kayu terasnya
sering membusuk karena disukai semut. Daunnya merupakan daun tunggal
dengan tajuk yang tebal, tingginya dapat mencapai lebih dari 30 m dengan
diameter lebih dari 40 cm. Jenis ini merupakan tumbuhan pioner yang kurang
dikenal tetapi mempunyai potensi ekonomi untuk dikembangkan, karena
kayunya telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kontruksi bangunan rumah
panggung, alat rumah tangga. Di Kapuas, tanaman ini dapat dijumpai di daerah
Katunjung, tumbuh secara alami sebagai pionir setelah terjadi kebakaran
1997/1998. Di hutan mahang Katunjung belum ada perlakuan penjarangan,
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 73 - 85
78
sehingga pertumbuhannya kurang bagus, pohonnya tinggi-tinggi tetapi
diameternya kecil, karena kurangnya ruang tumbuh. Pada tahun 2004 masyarakat
telah mengusahakan persemaian mahang di desa Dadahup G/1 dengan bantuan
Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas.
2.2. Galam (Melaleuca cajuputi subsp.cumingiana)
Menurut habitusnya, Galam merupakan jenis tumbuhan yang pada
umumnya berkelompok membentuk tegakan murni di hutan rawa gambut.
Galam merupakan salah satu jenis tumbuhan pioner terutama pada areal bekas
terbakar, dimana kebakaran akan memusnahkan biji tumbuhan lain dan
membersihkan serasah atau sisa tumbuhan lain yang menghambat
perkecambahan biji galam.
Secara botanis, galam termasuk suku Myrtaceae. Pohonnya dapat
mencapai tinggi 35 m, batang tidak berbanir, terbungkus kulit tebal yang berlapis
lapis putih kekuningan dan mudah lepas. Jenis tumbuhan ini sesuai untuk
ditanam dalam kegiatan rehabilitasi lahan gambut karena merupakan salah satu
jenis tumbuhan asli rawa gambut. Sifatnya toleran terhadap kondisi tanah yang
ekstrim, misalnya tanah masam, salinitasnya tinggi, mengalami genangan. Selain
itu kayunya dapat dimanfaatkan meskipun tidak tergolong bernilai ekonomis
tinggi. Bagian pohon yang sering dimanfaatkan adalah kayunya. Masyarakat
sering memanfaatkan untuk kayu bakar, pagar, tiang pancang, kontruksi untuk
membangun rumah, serta bahan arang.
Tanaman galam dapat ditemui di daerah Dadahup, yang tumbuh alami
di hutan dan lahan gambut bekas terbakar sesuai dengan sifatnya sebagai
tumbuhan pioner. Tanaman galam ini tidak mendapat pemeliharaan sehingga
pertumbuhannya terlalu rapat dan berdampak pada pertumbuhan diameternya
yang tidak optimal (Tabel 2). Menurut Ratchmanady et al., (2003), jika
pertumbuhannya optimal, pada umur 6 tahun riap diameternya dapat mencapai 1-
1,5 cm/tahun dan pada umur 20-30 tahun mencapai 20-30 cm/tahun. Permudaan
alam dapat dilakukan dengan melakukan pembersihan lantai hutan dari seresah
dan tumbuhan bawah lain yang diikuti pembakaran terkendali serta perlakuan
penjarangan. Selain itu dapat dilakukan permudaan buatan dengan membangun
persemaian dari sumber benih yang terseleksi pada media campuran gambut dan
sekam padi.
2.3. Karet (Hevea brasiliensis)
Tanaman karet merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang
tingginya dapat mencapai 15-30 m. Bagian pohon yang sering dimanfaatkan
adalah getahnya yang disebut lateks sebagai bahan baku karet. Tanaman karet
merupakan salah satu jenis tanaman yang mempunyai toleransi tinggi terhadap
kesuburan tanah. Tanaman ini dapat tumbuh pada kondisi tanah dengan pH 3.5-
7.5 meskipun pertumbuhan dan produksinya tidak optimal. Tanaman karet akan
tumbuh optimal pada kondisi tanah yang subur dan kondisi lingkungannya sesuai
dengan daerah asalnya yaitu beriklim tropis dan mempunyai curah hujan yang
cukup tinggi (2000-2500 mm/th) dengan intensitas panas matahari yang cukup
tinggi (5-7 jam/sehari), sehingga cukup sesuai untuk ditanam di kawasan eks
PLG Mantangai.
Aspek Pemilihan Jenis Dalam Kegiatan Rehabilitasi Eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG)
di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
Faiqotul Falah dan Wahyu Catur Adinugroho
79
Penanaman tanaman karet dapat dilakukan secara monokultur ataupun
tumpangsari. Untuk mendapatkan hasil yang optimal setelah dilakukan
penanaman perlu dilakukan pemeliharaan, yaitu dengan melakukan pemupukan
penyulaman, penjarangan serta pemeliharaan tanaman penutup tanah. Tanaman
karet siap disadap pada umur 4-6 tahun atau bila keliling batangnya mencapai 45
cm pada ketinggian 100 cm diatas tanah.
Di lahan gambut Kapuas penanaman karet telah dilakukan oleh
masyarakat sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Bibitnya diusahakan secara
swadaya oleh masyarakat berupa karet lokal yang kemudian setelah tumbuh
dilakukan penempelan dengan tanaman karet jenis unggulan (klon GT1). Tahun
2003 Dinas Kehutanan juga memberikan bantuan modal penanaman karet di
Desa Katunjung, Kabupaten Kapuas
Penanaman tanaman karet dilakukan secara tumpangsari dengan nanas,
padi, dan sayuran sampai sebelum tajuk tanaman karet menghalangi intensitas
sinar matahari ke bawah yang memungkinkan tanaman pertanian tetap tumbuh.
Dengan sistem ini masyarakat masih mendapatkan hasil dari ladangnya sebelum
tanaman karet dapat disadap. Beberapa model tumpangsari karet yang
dikembangkan masyarakat dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini :
Model A :
Tanaman Pokok : Karet ( )
Tanaman Pertanian : Nanas ( )
Jarak Tanam Tanaman Pokok : 3,5 x 3,5 m
Model B :
Tanaman Pokok : Karet ( )
Tanaman Tumpangsari : Padi gunung ( )
Jarak Tanam Tanaman Pokok : 3,5 x 3,5 m
Model C :
Tanaman pokok : Karet( ), Sengon ( )
Tanaman Tumpangsari : Nanas ( )
Jarak Tanam Tanaman Pokok : 3,5 x 3,5 m
Model C :
Monokultur Tanaman Karet ( )
Jarak Tanam : 3,5 x 3,5 m
Gambar (Figure) 1. Pola tumpangsari tanaman karet (Agroforestry system of
rubber plantation)
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 73 - 85
80
Pertumbuhan jenis- jenis-jenis tanaman kehutanan yang dibudidayakan
masyarakat di kawasan eks PLG Kab.Kapuas dapat dilihat pada lampiran.
2.4. Sengon (Paraserianthes falcataria)
Sengon termasuk dalam suku Mimosaceae, dapat mencapai tinggi total
45 m dan tinggi bebas cabang 20 m dengan diameter 100 cm. Sengon mampu
tumbuh optimal pada elevasi 0-800 m dpl dengan suhu rata-rata 22-29
0
C.
Tumbuh baik di tempat-tempat yang beriklim basah sampai agak kering.. Selain
itu jenis ini dapat tumbuh pada kondisi tanah yang tingkat kesuburan tanahnya
rendah, bahkan pada tanah berdrainase jelekpun masih dapat tumbuh. Meski
demikian sengon akan tumbuh optimal pada kondisi tanah yang mempunyai
cukup hara mineral di samping struktur dan tekstur tanahnya baik. Tanaman ini
banyak dibudidayakan karena sifatnya yang cepat tumbuh, sebelum umur 10
tahun telah dapat dipanen. Sengon yang tumbuh optimal akan menghasilkan
kayu bulat 156 m
3
/ha pada umur 6 tahun dan 372 m
3
/ha pada umur 15 tahun (
Pratiwi dan Alrasjid, 2000).
Karena sifatnya yang cepat tumbuh dan toleran terhadap kesuburan
tanah, maka sengon menjadi salah satu jenis tanaman rehabilitasi di lahan
gambut. Di lahan gambut eks PLG Kapuas telah dilakukan kegiatan rehabilitasi
dengan jenis tanaman sengon yang dilakukan oleh masyarakat dengan bantuan
bibit, biaya penanaman, pemeliharaan dari Dinas Kehutanan Kapuas. Penanaman
dilakukan dengan jarak tanam 3 x 4 m. Pada umur 2 tahun diameter rata-rata
tanaman sengon di lahan eks PLG Kapuas mencapai 7,114,5 cm dengan tinggi
5-9,2 m (Tabel 2.) Namun masyarakat mulai enggan melakukan kegiatan
rehabilitasi dengan tanaman sengon meskipun diberikan bantuan antara lain
karena sengon di lahan gambut rawan kebakaran dan terbukti sulit dipasarkan di
daerah Lamunti yang akses transportasinya terbatas. Di Lamunti tebangan kayu
sengon swadaya masyarakat dengan diameter + 15-20 cm hanya teronggok di
tepi jalan karena tidak ada pembeli.
2.5. Rotan Irit (Calamus trachycoleus)
Rotan irit mempunyai ukuran batang yang tidak begitu besar dan
berkelompok, batangnya halus dan panjang serta beruas-ruas dengan panjang
ruas batang 10-20 cm. Rotan irit tumbuh di tanah alluvial di pinggir sungai
dimana kondisi tanahnya mengalami genangan. Penanaman rotan irit dapat
dilakukan melalui biji ataupun melalui bibit cabutan dari alam yang diambil
dengan cara putaran. Rotan irit dapat dipanen setelah berumur 7-8 tahun dan
dapat dipanen selama 4 kali. Berdasarkan laporan survey rotan di Kalimantan
Tengah yang dilakukan oleh Dransfield dan Suwanda, pemungutan pertama
menghasilkan 7 ton rotan basah/ha, kedua 9 ton rotan basah/ha, ketiga 10 ton
rotan basah/ha dan keempat 8 ton rotan basah/ha (Panjaitan, 2003). Secara umum
rotan dimanfaatkan untuk pembuatan barang-barang kerajinan, meja kursi dan
alat olahraga. Saat ini jenis rotan ini tumbuh alami di hutan dan lahan gambut.
Sebagian masyarakat di daerah Kapuas telah melakukan pemungutan rotan di
hutan dan lahan gambut sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Rotan irit banyak
dibudidayakan masyarakat di desa Katunjung melalui permudaan alam.
Aspek Pemilihan Jenis Dalam Kegiatan Rehabilitasi Eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG)
di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
Faiqotul Falah dan Wahyu Catur Adinugroho
81
2.6. Jelutung (Dyera lowii)
Jelutung rawa termasuk dalam suku Apocynaceae, di Kalimantan
Tengah dikenal dengan nama Pantung. Jenis ini merupakan salah satu tanaman
asli hutan rawa gambut yang mempunyai nilai ekonomis. Selain kayunya dapat
dimanfaatkan, juga menghasilkan getah (damar). Pohon ini mempunyai tinggi
dapat mencapai 35 m dengan diameter sampai 95 cm, batangnya dicirikan
dengan permukaanya yang halus, berwarna abu-abu tua dan tidak berbanir,
kayunya berwarna keputihan, halus, ringan dan bergetah ( Istomo, 2002).
Di lahan gambut Kapuas, kayu jelutung semakin sulit ditemukan karena
terjadinya kebakaran dan kegiatan penebangan liar. Sebagai tumbuhan asli lahan
gambut, jelutung merupakan salah satu jenis yang sesuai untuk kegiatan
rehabilitasi hutan dan lahan gambut. Penanaman jelutung dapat dilakukan
melalui bibit yang berasal dari biji atau permudaan alam. Di desa Dadahup G/1,
masyarakat telah mengusahakan persemaian jelutung pada tahun 2004 dengan
bantuan Dinas Kehutanan Kapuas.
2.7. Aren (Arenga pinnata Merr)
Aren atau enau termasuk famili Palmae. Tanaman ini telah banyak
dikenal oleh masyarakat karena hampir semua bagian tumbuhan ini dapat
dimanfaatkan, mulai dari akar, batang, pelepah, daun serta tandannya yang
menghasilkan nira. Nira merupakan bahan baku gula merah selain itu juga dapat
diminum langsung sebagai minuman segar. Di lahan gambut Kapuas juga
dijumpai tanaman aren yang ditanam oleh masyarakat. Di BOSF Mawas terdapat
persemaian aren dengan bibit yang berasal dari Manado dan Kalimantan Timur.
Miller dalam Pratiwi dan Alrasjid (2000) menyatakan bahwa
persyaratan tumbuh aren antara lain curah hujan 1500-2500 m dan merata setiap
tahun, temperatur rata-rata 20-28
0
C. Walaupun dapat tumbuh di dataran rendah
seperti Mantangai (ketinggian 0-500 m dpl dan curah hujan 2000-3000 mm per
tahun), namun untuk hasil yang optimal, sebaiknya ditanam di ketinggian 500-
1200 m dpl karena pada daerah tersebut tidak terjadi krisis air tanah tetapi juga
tidak tergenang air, sehingga kurang sesuai di lahan gambut yang sering
tergenang air.
2.8. Kelapa Sawit ( Elaeis guineensis)
Kelapa sawit merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang
telah dikembangkan di lahan gambut. Perkebunan kelapa sawit telah dibuka di
lahan gambut di Sarawak (Malaysia) serta Jambi, sementara di Mantangai
masyarakat baru menanam kelapa sawit dalam skala kecil untuk keperluan
sendiri/subsisten. Perkebunan kelapa sawit dikembangkan di lahan gambut
dengan alasan sederhana bahwa lahan gambut mudah diperoleh hak
pemanfaatannya dan mudah dikonversi. Di beberapa lokasi, hutan gambut telah
ditebang dan dibakar untuk menyediakan tempat bagi pembangunan perkebunan
kelapa sawit berskala besar, sehingga pembukaan perkebunan kelapa sawit
dituding sebagai salah satu penyebab kebakaran hutan tak terkendali tahun
1997/1998 yang menyebabkan kerusakan lingkungan ( Diemont et al.,2001).
Di sisi lain beberapa pihak mempertimbangkan pembangunan
perkebunan kelapa sawit dan karet di lahan gambut yang tak berhutan (non
forested peatland area) sebagai sumber pendapatan yang potensial bagi
masyarakat sekitar, berperan sebagai kawasan penyangga bagi areal hutan
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 73 - 85
82
gambut, memperbaiki kualitas tanah di lahan alang-alang, serta sebagai penyedia
sumber energi terbaharui (Saman & Limin dalam Diemont et al.,2001). Di
Lamunti, sebagian besar masyarakat sangat antusias terhadap rencana
pembangunan perkebunan kelapa sawit di daerah tersebut karena dipandang
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dalam jangka pendek maupun
jangka panjang.
Menurut Diemont et al. (2001), alternatif solusi dalam menengahi
perbedaan pendapat mengenai pembangunan perkebunan kelapa sawit antara lain
adalah dengan menerapkan prinsip pembangunan yang seimbang dan
bertanggung jawab antara pembangunan ekonomi, lingkungan dan sumber daya
manusia. Konversi hutan gambut menjadi lahan perkebunan kelapa sawit
dihentikan. Tata batas kawasan konservasi gambut yang tidak boleh dikonversi
menjadi perkebunan kelapa sawit harus ditetapkan dengan jelas, dan tata batas
tersebut harus dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali. Pembangunan
perkebunan kelapa sawit harus menghormati hak-hak masyarakat setempat, dan
hanya boleh dilakukan di lahan gambut yang sudah tidak berhutan.
IV. KESIMPULAN
Pembukaan lahan gambut dan pembuatan saluran drainase dalam skala
besar yang tidak terencana dengan baik telah menyebabkan lahan gambut
mengalami degradasi.
1. Diperlukan campur tangan manusia dalam upaya rehabilitasi lahan gambut
yang terdegradasi. Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi membutuhkan
kerjasama antara pemerintah, swasta, LSM dan masyarakat.
2. Masyarakat secara swadaya maupun bekerja sama dengan pihak lain telah
mengupayakan penanaman pada lahan gambut eks PLG dengan menanami
sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman perkebunan dan tanaman kehutanan.
Penanaman tanaman pertanian dilaksanakan dengan sistem diversifikasi,
yaitu pergiliran berbagai jenis tanaman pangan dan sayuran dalam suatu
lahan. Sedangkan penanaman tanaman kayu dan perkebunan dilaksanakan
dengan sistem tumpangsari dengan tanaman pangan.
3. Jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan masyarakat di lahan gambut :
- Jenis-jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan hasilnya dalam jangka
pendek seperti tanaman pertanian (padi, palawija, dan sayur-sayuran).
Namun masyarakat menganggap hasil dari tanaman pertanian ternyata
belum dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga.
- Jenis-jenis tanaman berjangka menengah dan panjang yang bernilai
ekonomi dan terbukti sesuai untuk ditanam di lahan gambut seperti
beberapa jenis buah-buahan, karet, rotan, dan kelapa sawit.
- Jenis tanaman kayu bukan asli lahan gambut seperti sengon meskipun
dapat tumbuh di lahan gambut namun pertumbuhannya kurang optimal
dan susah dipasarkan.
- Jenis-jenis tanaman kayu pionir lahan gambut seperti mahang, gelam,
dan jelutung belum banyak dibudidayakan masyarakat karena belum
diketahui peluang pasarnya, belum diketahui teknik budidayanya, dan
Aspek Pemilihan Jenis Dalam Kegiatan Rehabilitasi Eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG)
di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
Faiqotul Falah dan Wahyu Catur Adinugroho
83
karena tanaman kayu dipandang lebih rawan terhadap ancaman
kebakaran.
Saran
1. Pemilihan jenis tanaman rehabilitasi yang tepat sesuai dengan karakteristik
lahan gambut sangat menentukan persentase hidup tanaman. Tanaman-
tanaman jenis pioner asli rawa gambut seperti jelutung, mahang dan gelam
perlu diprioritaskan untuk mempercepat penutupan permukaan rawa gambut
yang sangat rentan terbakar dalam kondisi terbuka.
2. Diperlukan peran dari instansi pemerintah maupun LSM setempat untuk
memberi bimbingan dan pendampingan kepada masyarakat mengenai teknik
budidaya jenis-jenis pionir lahan gambut, kemungkinan pemasaran serta
metode pengamanan dari bahaya kebakaran.
3. Tanaman perkebunan/non kayu seperti karet, rotan dan lidah buaya yang
telah terbukti dapat tumbuh baik di lahan gambut merupakan jenis yang
dianjurkan untuk dibudidayakan dalam upaya rehabilitasi lahan gambut.
Sedang penanaman kelapa sawit dapat dilaksanakan untuk menghijaukan
lahan gambut yang gundul dengan syarat tidak membuka areal gambut yang
masih berhutan, tidak dilakukan di kawasan konservasi gambut, serta harus
memperhatikan hak dan kepentingan masyarakat setempat.
4. Agar dapat mendapatkan hasil dalam jangka pendek, menengah, maupun
panjang, perlu diterapkan sistem agrforestry yang memadukan tanaman
kayu/tanaman perkebunan dengan tanaman pertanian dalam satu unit lahan
gambut.
DAFTAR PUSTAKA
Alrasjid, H. 1991. Teknik Penanaman Rotan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan. Bogor.
Anonim. 2003. Kabupaten Kapuas dalam Angka 2003. Biro Pusat Statistik
Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Kapuas.
CCFPI. 2004. Wise Use and Sustainable Peatlands Management Practices.
Proceeding of Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
(CCFPI) Project. Wetlands International Indonesia Programme dan
Wildlife Habitat Canada. Bogor.
Diemont, W.H., Joosten, H., Mantel, S., Mudiyarso, D., van Noordwijk, M.,
Rieley, J.O., Veldsink, J.W.,Verhagen, A.,Wakker, E., and Wind, J.
2001. Perspectives and Perceptions on Sustainable Use of (Peat)
Forests in se-Asia. Paper on Jakarta Symposium Proceeding on
Peatland for People Natural Resources Function and Sustainable
Management. BPPT and Indonesian Peat Association. Jakarta.
Istomo. 2002. Pengenalan Jenis Tumbuhan di Hutan Rawa Gambut. Yayasan
Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
MacKinnon, K., Hatta, G., Halim, H., Mangalak, A. 2000. Ekologi Kalimantan.
Prenhallindo. Jakarta.
Mitra Hutan Tanaman
Vol.6 No.2, Agustus 2011, 73 - 85
84
Mudiyarso, D., Suryadiputra, I.N.N. 2003. Perubahan Iklim dan Peranan Lahan
Gambut. Paket Informasi Praktis Climate Change, Forests and Peatlands
In Indonesia. (CCFPI) Project. Wetlands International Indonesia
Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor.
Muhammad, N.Z. & Rieley, J.O. 2001. Management of Tropical Peatlands in
Indonesia : Mega Reclamation Project in Central Kalimantan. Paper on
Jakarta Symposium Proceeding on Peatland for People Natural
Resources Function and Sustainable Management. BPPT and
Indonesian Peat Association. Jakarta.
Noor, M dan Syarwani, M. 2004. Pertanian di Lahan Gambut : Masa Lalu, Kini
dan Besok. Wise Use and Sustainable Peatlands Management Practices
: Proceeding of Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
(CCFPI) Project. Wetlands International Indonesia Programme dan
Wildlife Habitat Canada. Bogor.
Panjaitan, S. 2003. Prospek Budidaya Rotan (Calamus sp.). Buletin Galam
No.6/I tahun 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi
dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Banjarbaru.
Prajadinata, S., dan Masano. 1991. Teknik Penanaman Sengon (Albizia
falcataria L.Fosberg). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan.
Bogor.
Pratiwi dan Alrasjid. 2000. Teknik Budidaya Aren. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Rachmanady, D., Lazuardi,D., dan Tampubolon, A.P. 2003. Teknik Persemaian
Dan Informasi Benih Gelam. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.
Rieley, J. 2001. The Wise Use of Mires and Peatlands. Paper on Jakarta
Symposium Proceeding on Peatland for People Natural Resources
Function and Sustainable Management. BPPT and Indonesian Peat
Association. Jakarta.
Setiawan, Ade Iwan. 1995. Penghijauan dengan Tanaman Potensial. Penerbit
Swadaya. Jakarta.
Waspodo R.S., Muslihat, L, Wibisono, I.T., Adinugroho, W.C., Dohong, A.,
Kembarawati., Neneng. 2003. Laporan Studi Pendahuluan Canal
Blocking dalam Climate Change, Forests And Peatlands In Indonesia
(CCFPI) Project. Wetland International-Indonesia Program & WHC
Canada. Tidak dipublikasikan.
Aspek Pemilihan Jenis Dalam Kegiatan Rehabilitasi Eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG)
di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
Faiqotul Falah dan Wahyu Catur Adinugroho
85

Anda mungkin juga menyukai