Anda di halaman 1dari 19

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun
menahun yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai organ
tubuh, termasuk kulit, persendian dan organ dalam.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang terjadi
karena produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan
dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh,
dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat
episodik diselangi episode remisi.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang
kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari
penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara dan sulit untuk
didiognisis.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit radang multisistem
yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut
dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya
berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.
Klasifikasi SLE (Sistemik Lupus Erithematosus)
Ada 3 jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu:
1. Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit
Lupus yang menyerang kulit.
2. Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system di
dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan sistem
saraf. Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemics Lupus Erythematosus).
3. Drug-Induced, penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu.
Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.





2

B. Etiologi
Sampai saat penyebab SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) belum
diketahui, Diduga ada beberapa paktor yang terlibat seperti faktor genetik, infeksi
dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE (Sistemik Lupus
Eritematosus).
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen
dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat
menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam
kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan
kerusakan multiorgan dalam fatogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam
pemeliharaan self tolerance bersama aktifitas sel B, hal ini dapat terjadi sekunder
terhadap beberapa faktor :
1. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
2. Hiperaktivitas sel T helper
3. Kerusakan pada fungsi sel T supresor
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus :
1. Infeksi
2. Antibiotik
3. Sinar ultraviolet
4. Stress yang berlebihan
5. Obat-obatan yang tertentu
6. Hormon
Lupus seringkali disebut penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh
pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita,
meskipun 10-15 kali sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal yang
menyebabkan wanita sering terserang penyakit lupus daripada pria. Meningkatnya
gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi atau selama kehamilan
mendukung keyakinan bahwa hormone (terutama esterogen) mungkin berperan
dalam timbulnya penyakit ini. Kadang-kadang obat jantung tertentu dapat
menyebabkan sindrom mirip lupus, yang akan menghilang bila pemakaian obat
dihentikan.

3

C. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal).
Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan
beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfalfa
turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada
SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T
supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan
kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya terjadi
serangan antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Kerusaan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini
menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh yaitu :
1. Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain :
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun
sitokin dalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen
karena adanya mimikri molekuler.
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam
tubuh yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi-antibodi yang
tersebut membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada
jaringan/organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan
jaringan.

D. Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh.
Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh
4

gejala yang terkenanya sistem imun. Pada tipe menahun terdapat remisi dan
eksaserbsi. Remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti
kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat. Setiap serangan
biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang,
kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling menonjol ialah
demam, kadang-kadang disertai menggigil.
1. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala muskuloskeletal,
berupa artritis (93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal
proksimal didikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan
pergelangan kaki. Selain pembekakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi
sendi. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, kontraktur atau
ankilosis. Adakala terdapat nodul reumatoid. Nekrosis vaskular dapat terjadi pada
berbagai tempat, dan ditemukan pada pasien yang mendapatkan pengobatan
dengan streroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput
femoris.
2. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE.
Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut,
diskoid, dan livido retikularis.
Ruam kulit berbentuk kupu-kupu berupa eritema yang agak edamatus pada
hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh
tanpa bekas luka. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul
ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas. Lesi ini termasuk lesi kulit akut.
Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan
atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh
sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama
akan berbentuk silikatriks.
5

Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil
sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual. Livido
retikularis suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE.
3. Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering
ialah proteinuria atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik kegagalan ginjal
jarang terjadi, hanya terdapat pada 25% kasus SLE yang urinnya menunjukkan
kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis lupus difus dan
nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus merupakan kelainan yang paling berat.
Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi
ginjal sedang sampai berat. Nefritis lupus membranosa lebih jarang ditemukan.
Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan
penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.
Kelainan ginjal yang lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah
pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal. Gagal ginjal merupakan salah satu
penyebab kematian SLE kronik.
4. Susunan Saraf Pusat
Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis
organik dan kejang-kejang.
Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif
SLE pada sistem lain-lainnya. Pasien menunjukkan gejala halusinasi disamping
gejala khas organik otak seperti sukar menghitung dan tidak sanggup mengingat
kembali gambar yang pernah dilihat.
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak
dapat dibedakan dengan psikosis lupus. Perbedaan antara keduanya baru dapat
diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang dipakai.
Psikosis lupus membaik jika dosis steroid dinaikkan dan sebaliknya.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan
lain yang mungkin ditemukan ialah afasia, hemiplegia.


6

5. Mata
Kelainan mata dapat berupa konjungtivitas, perdarahan subkonjungtival
dan adanya badan sitoid di retina
6. Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis,
endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai
akibat keadaan tersebut.
7. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari kejadian
tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak napas.
8. Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, mungkin disertai mual dan
diare. Gejalanya menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat
pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril
atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan
ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.
9. Hemik-Limfatik
Kelenjar getah bening yang sering terkena adalah aksila dan sevikal,
dengan karakteristik tidak nyeri tekan dan lunak. Organ limfoid lain adalah
splenomegali yang biasanya disertai oleh pembesaran hati. Kerusakan lien berupa
infark atau thrombosis berkaitan dengan adanya lupus antikoagulan. Anemia
dapat dijumpai pada periode perkembangan penyakit LES, yang diperantai oleh
proses imun dan non-imun.

E. Pemeriksaaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorim
Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan :
a. Hematologi, ditemukan anemia, leukopenia, trombosittopenia
b. Kelainan Imunologis, ditemuka sel LE, antibodi antinuklir, komplemen
serum menurun, anti DNA, faktor reumatitoid, krioglobulin, dan uji lues
yang positif semu.

7

2. Histopatologi
a. Umum : Lesi yang dianggap karakteristik untuk SLE ialah badan
hematoksilin, lesi onionskin pada pembuluh darah limpa dan endokarditis
verukosa Libman-Sacks.
b. Ginjal : 2 bentuk utama ialah glomerulus proliferatif difus dan nefritis lupus
membranosa
c. Kulit : Pemeriksaan imunofluoresensi direks menunjukkan deposit IgG
granular pada dermo-epidermal junction, baik pada lesi kulit yang aktif
(90%) maupun pada kulit yang tak terkena (70%). Yang paling karakteristik
untuk SLE ialah jika ditemukan pada kulit yang tidak terkena dan terpanjan.

F. Penatalaksanaan Medis
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis
gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan
organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari
pemeriksaan serologis. Monotoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter
laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit.
1. Pendidikan terhadap Pasien
Pasien diberikan penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya (perjalanan
penyakit, komplikasi, prognosis), sehingga dapat bersikap positif terhadapn
penanggulangan penyakit.
2. Beberapa Prinsip Dasar Tindakan Pencegahan pada SLE
a. Monitoring yang teratur
b. Penghematan enersi, pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluhan
yang menonjol. Diperlukan waktu istirahat yang terjadwal setiap hari dan
perlu ditekankan pentingnya tidur yang cukup.
c. Fotoproteksi, kontak dengan sinar matahari harus dikurangi atau
dihindarkan. Dapat juga digunakan lotion tertentu untuk mengurangi kontak
dengan sinar matahari langsung.
d. Mengatasi infeksi, pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam
yang tak jelas sebabnya, pasien harus memeriksanya.
8

e. Merencanakan kehamila, kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif
atau jika pasien sedang mendapatkan pengobatan dengan obat
imunosupresif.
3. Pengobatan
a. Lupus diskoid, terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid
topikal. Krim luocinonid 5% lebih efektif dibandingkan krim hidrokrortison
1%. Terapi dengan hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin
efektif terhadap 50% pasien.
b. Serositis lupus (plueritis, perikarditis), standar terapi adalah NSAIDs
(dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal), anti-malaria dan
kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah.
c. Arthritis lupus, untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah
NSAIDs dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan ati-
malaria. Sedangkan untuk keluhan myalgia dan gejala depresi diberikan
serotonin reuptake inhibitor antidepresan (amitriptilin)
d. Miositis lupus, standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi (dimulai
dengan prednison dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar
komplemen meningkat mencapai dosis efektif terendah. Metode lain yang
digunakan untuk mencegah efek samping pemberian harian adalah dengan
cara pemberian prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari,
tak lebih 150-250 mg) metrotreksat atau azathioprine.
e. Fenomena Raynaud, standar terapinya adalah calcium channel blockers,
misalnya nifedipin dan nitrat, misalnya isosorbid mononitrat.
f. Lupus nefritis, lupus nefritis kelas II mempunyai prognosis yang baik dan
membutuhkan terapi minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai
karna menggambarkan perubahan status penyakit menjadi lebih parah.
Lupus nefritis III memerlukan terapi yang sama agresifnya dengan DPGN.
Pada lupus nefritis IV kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid
intravena. Siklofosfamid intravena diberikan setiap bulan, setelah 10-14 hari
pemberian, diperiksa kadar leukositnya. Dosis siklofosfamid selanjutnya
akan dinaikkan atau diturunkan tergantung pada jumlah leukositnya
(normalnya 3.000- 4.0000/ml). Pada lupus nefritis V regimen terapi yang di
9

berikan adalah (1) monoterapi dengan kortikosteroid. (2) terapi kombinasi
kortikosteroid dengan siklosporin A. (3) sikofosfamid, azathioprine atau
klorambusil. Pada lupus nefritis V tahap lanjut, pilihan terapinya adalah
dialisis dan transplantasi renal.
g. Gangguan hematologis, untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan
pada kelainan ini adalah kortikosteroid, imunoglobulin intravena.
Sedangkan untuk anemi hemolitik, terapi yang dipertimangkan adalah
kortikosteroid, danazol, dan spelenektomi.
h. Pneumonitis intersititialis lupus, obat yang digunakan pada kasus ini adalah
kortikosteroid dan siklfosfamid intravena.
i. Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting, obat yang digunakan
pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena

G. Komplikasi
1. Hipertensi (41%)
2. Gangguan pertumbuhan (38%)
3. Gangguan paru-paru kronik (31%)
4. Abnormalitas mata (31%)
5. Kerusakan ginjal permanen (25%)
6. Gejala neuropsikiatri (22%)
7. Kerusakan muskuloskeleta (9%)
8. Gangguan fungsi gonad (3%)










10

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Anamnese
a. Identitas pasien
Nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, pekerjaan, pendidikan terakhir,
alamat.
b. Keluhan utama
1) Keluhan utama saat MRS :
Keluhan utama yang biasa muncul adalah demam
2) Keluhan utama saat pengkajian :
Keluhan utama yang biasa muncul saat pengkajian tidak pasti, tergantung
kapan dilakukan pengkajian tersebut. Biasanya adalah demam, kelemahan,
nafsu makan menurun dan BB menurun.
c. Riwayat kesehatan :
1) Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat dari dimulainya gejala penyakit sampai pasien atau keluarga
memutuskan untuk dibawa ke RS. Yang biasa muncul adalah riwayat
demam, kelemahan sampai intoleransi aktifitas, penurunan nafsu makan dan
penurunan BB.
2) Riwayat penyakit dahulu :
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui apakah pernah mengalami
hipertensi, gangguan pada mata, dan adanya nyeri sendi.
3) Riwayat penyakit keluarga :
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui apakah dalam keluarga ada anggota
yang pernah menderita penyakit yang sama.
4) Riwayat psikososial :
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah hubungan klien
dengan keluarga dan masyarakat. Pasien dapat menunjukkan gejala mudah
marah dan fluktuasi, takut akan penolakan dari orang lain, harga diri rendah,
kekawatiran menjadi beban orang lain. Tanda yang dapat ditunjukkan
adalah ansietas, gelisah, menarik diri, depresi, fokus pada diri sendiri.
11

d. Kebiasaan sehari hari
1) Nutrisi : Makan; yang dikaji adalah frekuensi, jumlah porsi yang habis,
cara makan makanan yang disukai dan tidak disukai. Minum ; yang dikaji
adalah frekuensi, jumlah, komposisi.
2) Eliminasi : BAB dan BAK ; yang dikaji adalah frekuensi, pola
eliminasi, konsistensi, warna, bentuk.
3) Istirahat : jumlah jam tidur siang ataupun malam, adanya gangguan tidur
atau tidak.
4) Aktivitas : kegiatan yang dilakukan dari bangun tidur sampai tidur
kembali
5) Personal hygiene : bagaimana kebiasaan dalam kebersihan diri sendiri
ataupun lingkungan.
2. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : dikaji bagaimana keadaan umum klien saat pengkajian
dilakukan.
TTV : tanda- tanda vital sangat penting untuk mengetahui
kondisi umum pasien. Tindakan yang dilakukan adalah
pengukuran tekanan darah, nadi, RR, dan suhu.
a. Integumen : kulit tampak adanya ruam, ada luka pada bibir atau mulut.
b. Thoraks : paru ; rriwayat inspeksi paru, riwayat abses paru, dapat juga
ditemukan adanya cairan dalam paru, nafas pendek saat istirahat dan aktivitas,
takipneu, distess pernapasan akut, dan penurunan buyi napas. Jantung dan
sirkulasi ; nyeri dada, tekanan nadi melebar, desiran ( menunjukkan mekanisme
anemia ), warna kulir pucat, ruam, sianosis.
c. Abdomen : adanya nyeri tekan abdomen,
d. Ekstremitas : menahan sendi pada posisi yang nyaman,
e. Persyarafan/ neurosensori : sakit kepala, penurunan penglihatan, keseimbangan
buruk, kesemutan pada ekstremitas, kelemahan otot, penurunan kekuatan otot,
kejang.

3. Data Dasar Pengkajian Pasien
a. Aktivitas
Gejala : Keletihan, kelemahan, nyeri sendi karena gerakan
12

Tanda : Penurunan semangat bekerja, toleransi terhadap aktivitas rendah,
penurunan rentang gerak sendi, gangguan gaya berjalan.
b. Sirkuasi
Gejala : Nyeri dada
Tanda : TD : tekanan nadi melebar, desiran (menunjukkan mekanisme anemia),
warna kulit : pucat/sianosis, membaran mukosa, kulit terdapat ruam.
c. Integritas Ego
Gejala : Mudah marah dan fruktasi, takut akan penolakan dari orang lain, harga
diri buruk, kekuatiran mengenai menjadi beban bagi yang mendekat
Tanda : Ansietas, gelisah, menarik diri, depresi, fokus pada diri sendiri
d. Eliminasi
Gejala : Sering berkemih, berkemih dengan jumlah besar
Tanda : Nyeri tekan pada abdomen, urine encer : terdapat darah atau protein.
e. Makanan/Cairan
Gejala : Mual/muntah, anoreksia, haus, kesulitan menelan, adanya penurunan BB
Tanda : turgor kulit buruk berbentuk ruam, lidah tampak merah daging, bibir :
disudut bibir terdapat luka.
f. Higiene
Gejala : kesulitan untuk mempertahankan aksi (nyeri/anemia berat), berbagai
kesulitan untuk melakukan aktivitas perawatan pribadi.
Tanda : cerobaoh, tak rapih, kurang bertenaga.
g. Neurosensori
Gejala : sakit kepala, berdenyut pusing, penurunan penglihatan, bayangan pada
mata, kelemahan, keseimbangan buruk, kesemutan pada ekstremitas.
Tanda : kelemahan otot, penurunan kekuatan otot, kejang, pembekakan sendi
simetri.
h. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : nyeri hebat, berdenyut, rasa perih di berbagai lokasi, sakit kepala
berulang, tajam, sementara, nyeri tekan abdomen, nyeri dada
Tanda : menahan sendi pada posisi nyaman, sensitivitas terhadap palpitasi pada
area yang sakit.

13

i. Penapasan
Gejala : riwayat inspeksi paru, riwayat abses paru, napas pendek pada istirahat
dan aktivitas.
Tanda : takipnea, distres pernapasan akut, bunyi napas menurun.
j. Keamanan
Gejala : kekeringan pada mata dan membran mukosa, demam ringan menetap, lesi
kulit, gangguan penglihatan, penyembuhan luka buruk
Tanda : berkeringat, mengigil berulang, gemetar, luka pada wajah
k. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : riwayat penyakit hipertensi, hematologi, riwayat adanya masalah dengan
penyembuhan luka/perdarahan, pertimbangan rencana pemulangan : lama
perawatan: 4-8 hari, memerlukan bantuan dalam perawatan diri, pemeliharaan
rumah.

4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Ig (Ig M dan Ig G) : peningkatan besar menunjukkan proses autoimun sebab
penyebab AR
b. Sinar x dari sendi yang sakit : menunjukkan pembekuan pada jaringan lunak
erosi sendi, memperkecil jarak sendi
b. Kerapuhan erirosit : menurun
c. Jumlah trombosit : menurun
d. JDL : memungkinkan berkembangannya pneumonia bakterial
e. Rontgen : menunjukkan pleuritis
f. Pemeriksaan dada dengan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura.
Diagnosa yang Sering Muncul
a. Gangguan rasa nyaman (nyeri kronik) berhubungan dengan efusi sendi dan
sesak akibat efusi pleura.
b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan mobilitas.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tidak seimbangnya suplai dan
kebutuhan O2.



14

5. Intervensi
No. Diagnosa
Keperawatan
Intervensi Rasional
1. Gangguan rasa
nyaman (nyeri kronik)
berhubungan dengan
efusi sendi dan sesak
akibat efusi pleura .
Tujuan : Setelah
Dilakukan tindakan
keperawatan selama
3x24
jam, diharapkan
rasa nyeri teratasi.
Kriteria Hasil :
- Menyatakan nyeri
hilang/terkontrol
- Menunjukkan
rileks, istirahat tidur,
peningkatan aktivitas
dengan cepat
- Menggabungkan
ketrampilan relaksasi
dan aktivitas hiburan
ke dalam program
control/nyeri

Mandiri
a. Tentukan karakteristik
nyeri, missal : tajam,
atau seperti ditusuk.
Selidiki perubahan
lokasi/intensitas nyeri.


b. Pantau TTV


c. Berikan tindakan
untuk meningkatkan
kenyamanan, missal:
relaksasi, latihan nafas
dalam



d. Anjurkan untuk
sering mengubah
posisi. Bantu pasien
untuk bergerak diatas
tempat tidur, hindari
tindakan yang
menyentak
e. Anjurkan untuk
mandi dengan air
hangat. Sediakan

a. Nyeri dada biasanya
ada dalam beberapa
derajat pada
pneumonia, juga dapat
timbul komplikasi
pneumonia seperti
perikarditis dan
endokarditis
b. Perubahan frekuensi
jantung menunjukkan
klien merasa nyeri
c. Tindakan
nonanalgesik diberikan
dengan sentuhan lembut
dapat menghilangkan
ketidaknyamanan dan
memperbesar efek
analgesic
d. Mencegah terjadinya
kelelehan umum dan
kekakuan sendi,
mengurangi
gerakan/rasa sakit pada
sendi

e. Panas meningkatkan
relaksasi otot dan
mobilitas, menurunkan
15

handuk hangat untuk
mengompres sendi-
sendi yang sakit
beberapa kali sehari




f. Berikan masase yang
lembut

Kolaborasi
Bantu dengan terapi
fisik
rasa nyeri dan
melepaskan kekakuan
di pagi hari. Sensitivitas
terhadap panas dapat
dihilangkan dan luka
dermal dapat
disembuhkan
f. Meningkatkan
relaksasi/mengurangi
tegangan otot

Memberikan dukungan
untuk menghilangkan
nyeri
2. Gangguan integritas
kulit b.d gangguan
mobilitas fisik
Tujuan : setelah
dilakukan tindakan
keperawatan selama 3
x 24 jam, diharafkan
gangguan integritas
kulit berkurang.
Kriteria Hasil :
- Mempertahakan
integritas kulit
- Mengidentifikasi
faktor risiko /perilaku
klien untuk mencegah
cidera dermal
- Melakukan aktivitas
sehari-hari
Mandiri
a. Kaji integritas kulit,
catat perubahan
turgor, warna, dan
eritema


b. Bantu untuk
melakukan ROM
(Range Of Motion)
c. Inspeksi kulit/ titik
tekan secara teratur
untuk kemerahan,
berikan pijatan lembut


d. Awasi tungkai
terhadap kemerahan,

a. Kondisi kulit
dipengaruhi oleh
sirkulasi dan mobilitas
jaringan dapat menjadi
rapuh dan cenderung
untuk infeksi berat.
b. Untuk meningkatkan
sirkulasi jaringan dan
mencegah statis
c. Potensial jalan masuk
organisme pathogen
pada adanya gangguan
sistem imun, hal ini
meningkatkan resiko
infeksi dan pelambatan
proses penyembuhan
d. Meningkatkan abalik
16

- Observasi perbaikan
luka /penyembuhan
lesi bila ada.
perhatikan dengan
ketat terhadap
pembentukan ulkus.

Kolaborasi
Gunakan pelindung,
misalnya lotion sesuai
dengan indikasi.
vena menurunkan statis
vena/pembentukan
edema.


Menghindari kerusakan
kulit dengan
mencegah/menurunkan
tekanan pada
permukaan kulit.
3. Intoleransi aktivitas
b.d tidak seimbangnya
suplai dan kebutuhan
O2
(anemia)
Tujuan : Setelah
dilakukan intervensi
keperawatan 3x24
jam, diharapkan
menunjukkan
penurunan tanda
fisiologis intorelansi
Kriteria Hasil :
- Adanya
peningkatan toleransi
aktivitas (termasuk
aktivitas sehari-hari)
- Berpartisipasi
dalam aktivitas sehari-
hari sesuai tingkat
kemampuan
Mandiri
a. Kaji kemampuan
pasien untuk
melakukan aktivitas.
Catat laporan
kelelahan dan
keletihan
b. Awasi TD, nadi
pernapasan, selama
dan sesudah aktivitas



c. Rencanakan latihan
aktivitas dengan
pasien, termasuk
aktivitas yang pasien
pandang perlu

d. Gunakan teknik
penghematan energi


a. Mempengaruhi
pilihan
intervensi/bantuan



b. Manifestasi
kardiopulmonal dari
upaya jantung dan paru
untuk membawa jumlah
oksigen adekuat ke
jaringan
c. Meningkatkan secara
bertahap tingkat
aktivitas sampai normal
dan memperbaiki tonus
otot tanpa kelemahan.
d. Mendorong pasien
melakukan banyak
dengan membatasi
penyimpangan energi
17




e. Anjurkan pasien
berhenti bila terjadi
nyeri dada, kelemahan
atau pusing terjadi
Kolaborasi :
Berikan terapi oksigen
tambahan
dan mencegah
kelemahan
e. Stress berlebihan
dapat menimbulkan
kegagalan



Memeksimalkan
sediaan oksigen untuk
kebutuhan seluler.





















18

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistemik Lupus Eritematosus adalah suatu sindrom yang melibatkan
banyak organ dan memberikan gejala klinis yang beragam. Perjalanan penyakit ini
dapat ringan atau berat, secara terus-menerus, dengan kekambuhan yang
menimbulkan kerusakan jaringan akibat proses radang yang ditimbulkannya.
Gejala utama Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah kelemahan umum,
anoreksia, rasa mual, demam dan kehilangan berat badan. Penyebab dari penyakit
lupus meliputi pengaruh faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap
respons imun.
Penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis
gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan
organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari
pemeriksaan serologis.

B. Saran
1. Bagi Bagi Mahasiswa
Diharapkan dapat memahami tentang asuhan keperawatan dan penatalaksanaan
pada pasien SLE agar nantinya dapat memberikan asuhan keperawatan yang
tepat.
2. Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat dapat memahami tentang penyakit SLE serta
penanganannya sehingga bisa lebih meningakatkan status kesehatan
masyarakat pada umumnya.








19

DAFTAR PUSTAKA

http://kumpulan-askep3209.blogspot.com/2012/06/sle.html
http://www.perkuliahan.com/makalah-kesehatan-sistemik-lupus-
eritmatasus/#ixzz3EDwHeC2K
http://princyleni.blogspot.com/2012/01/askep-sistemik-lupus-erytamotosus.html
http://wineralways.blogspot.com/2012/05/makalah-sle.html
http://odasunrisenurse.blogspot.com/2011/05/sistemic-lupus-eritematosus-s-l-
e.html
http://joevania.blogspot.com/2013/01/askep-sle-sistemic-lupus-
erithemathosus.html
http://cupdate1.blogspot.com/2014/04/askep-sle-systemic-lupus-
erithematosus.html
http://catatassangperempuan.blogspot.com/2014/09/makalah-sle-lupus-
eritematosus-sistemik.html

Anda mungkin juga menyukai