Anda di halaman 1dari 25

1

BAB 1
PENDAHULUAN

Asma merupakan suatu penyakit kronis yang menyebabkan gejala respiratorik
seperti suara mengi, sesak nafas, batuk atau rasa tertekan di dada, dimana hal ini
pada kehidupan sehari-hari dapat menyebabkkan rasa ketidaknyaman bagi
pasien.
1
Asma masih merupakan permasalahan kesehatan serius di berbagai
negara di dunia, yang dapat terjadi pada semua kelompok umur. Prevalensi asma
semakin meningkat di beberapa negara terutama negara berkembang. Hal ini
dapat menyebabkan tingginya biaya pengobatan dan meningkatnya beban
kesehatan untuk pasien dan komunitasnya, terkait dengan menurunnya
produktifitas penderita asma di tempat kerja.
1,2,3

Asma terjadi pada sekitar 300 juta penduduk di seluruh dunia. Secara global
prevalensi asma berkisar antara 1% sampai 18% dari populasi negara yang
berbeda. WHO memperkirakan 15 juta orang mengalami ketidakmampuan dalam
setahun akibat beban ekonomi yang ditimbulkan oleh biaya pengobatan dan
penurunan prodiktifitas akibat asma. Kematian diseluruh dunia akibat asma
diperkirakan sebanyak180.000 tiap tahunnya.
2,4
Pada SKRT 1992, asma, bronkitis
kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) ke-4 di Indonesia
atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/
1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000.
4,5

Faktor risiko dari asma berasal dari interaksi antara faktor pejamu (host factor)
dan faktor lingkungan. Faktor pejamu meliputi predisposisi genetik yang
mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) ,
hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras. Dengan adanya predisposisi
genetik untuk terjadinya asma, faktor lingkungan seperti alergen, sensitisasi
lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status
sosioekonomi dan besarnya keluarg, dapat memicu terjadinya asma dan
eksaserbasinya.
5

2

Penanganan asma pada mayoritas pasien dapat ditangani dengan protokol
imunologis dan farmakoterapi yang tepat. Namun, tidak dapat disingkirkan bahwa
ada beberapa kasus yang tergolong kompleks dan menimbulkan masalah dalam
penanganan asma. Faktor faktor yang dapat mempersulit penanganan asma
dapat berupa faktor psikologis seperti fobia terhadap golongan steroid, ketagihan
rokok, penggunaan obat terlarang, ataupun ketidakpedulian pasien terhadap
penyakitnya, sementara itu terdapat pula faktor sosioekonomis berupa
kemiskinan, akses menuju pusat pelayanan kesehatan, serta kemungkinan paparan
alergen yang tinggi terkait lingkungan di rumah ataupun tempat kerja.
6
Oleh
karena itu, diperlukan evaluasi yang lebih komprehensif menyangkut aspek bio-
psiko-sosial di dalam menangani kasus asma di masyarakat.
2,3














3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Asma
Asma merupakan penyakit heterogen yang biasanya memiliki karakteristik berupa
inflamasi saluran nafas kronis, yang ditandai oleh adanya gejala respiratorik
seperti mengi, sesak napas, rasa tertekan di dada, dan batuk, yang intensitasnya
berbeda dari waktu ke waktu, tergantung dari variasi derajat obstruksi jalan nafas
ekspirasi yang terjadi.
2

2.2 Epidemiologi
Asma bronkial dapat terjadi pada semua umur namun sering dijumpai pada awal
kehidupan. Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur 10 tahun
dan sepertiga bagian lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun. Pada usia anak-anak,
terdapat perbandingan 2:1 untuk laki-laki dibandingkan wanita, namun
perbandingan ini menjadi sama pada umur 30 tahun. Angka ini dapat berbeda
antara satu kota dengan kota yang lain dalam negara yang sama.
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia,
hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di
berbagai propinsi di Indonesia. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan
emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) ke-4 di Indonesia atau sebesar
5,6 %. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5 7 %.
6,7,8

2.3 Faktor risiko
Faktor resiko terkait asma sebaiknya dibedakan menjadi dua kelompok yaitu
faktor yang menyebabkan perkembangan asma muncul dan faktor yang memicu
adanya gejala asma. Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara
faktor pejamu (host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk
predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu
4

genetik asma, alergik (atopi), hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras.
Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi
asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan
atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor
lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara,
infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga.
5
Tabel 1. Faktor Risiko Asma
Faktor Pejamu
Prediposisi genetik
Atopi
Hiperesponsif jalan napas
Jenis kelamin
Ras/ etnik
Faktor Lingkungan
Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi
asma
Alergen di dalam ruangan
Mite domestik
Alergen binatang
Alergen kecoa
Jamur (fungi, molds, yeasts)
Alergen di luar ruangan
Tepung sari bunga
Jamur (fungi, molds, yeasts)
Bahan di lingkungan kerja
Asap rokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Polusi udara
Polusi udara di luar ruangan
Polusi udara di dalam ruangan
Infeksi pernapasan
Hipotesis higiene
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Besar keluarga
Diet dan obat
Obesitas
Lingkungan
Mencetuskan eksaserbasi dan atau`menyebabkan gejala-gejala asma
menetap
Alergen di dalam dan di luar ruangan
5

Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
Infeksi pernapasan
Exercise dan hiperventilasi
Perubahan cuaca
Sulfur dioksida
Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan
Ekspresi emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan (a.l. parfum, bau-bauan merangsang, household spray)

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi Asma
2.4.1 Patogenesis
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis pada saluran pernapasan yang dapat
melibatkan peranan sel sel inflamasi dan mediator lainnya. Inflamasi kronis
mengakibatkan dilepaskannya beberapa macam mediator yang dapat mengaktivasi
sel target di saluran nafas dan mengakibatkan bronkokonstriksi, kebocoran
mikrovaskuler dan edema, hipersekresi mukus, dan stimulasi refleks saraf . Pada
asma terjadi mekanisme hiperresponsif bronkus dan inflamasi, kerusakan sel
epitel, dan kebocoran mikrovaskuler.
9,10

a. Inflamasi Saluran Napas pada Asma
Spektrum klinis dari asma sangatlah bervariasi dan pola seluler yang berbeda juga
telah dipelajari, namun dari semuanya itu keberadaan adanya inflamasi saluran
napas memang merupakan karakteristik yang selalu ada pada penderita asma.
Inflamasi saluran napas pada asma tergolong persisten atau menetap walaupun
gejala yang muncul bisa episodik dan berhubungan dengan derajat keparahan
asma serta intensitas dari inflamasi tidak bisa dinyatakan secara jelas. Inflamasi
akan berefek pada seluruh saluran napas termasuk saluran napas atas dan hidung,
walaupun efek fisiologisnya yang terlihat paling sering pada bronkus ukuran
sedang. Pola inflamasi pada saluran napas akan tampak sama pada kasus asma
baik yang alergi maupun tidak alergi serta asma akibat aspirin pada semua
kelompok umur.
9

6

Walaupun terdapat tipe alergi dan non-alergi, pada pasien akan tetap dijumpai
adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Oleh karena itu paling tidak
dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut. jalur imunologis yang
terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya
alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh Antigen Presenting Cells (APC) untuk
selanjutnya hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T helper).
Sel T helper inilah yang akan memberikan instruksi melalui interleukin atau
sitokin agar sel sel plasma membentuk IgE, serta sel sel radang lain seperti
mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit, serta limfosit untuk
mengeluarkan mediator mediator inflamasi seperti histamin prostaglandin,
leukotrien, platelet activating factor, bradikinin, tromboksan dan lain lain yang
akan mempengaruhi organ sasaran sehuingga menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding vascular, edema saluran napas, infiltrasi sel radang, sekresi
mukus dan fibrosis sub epitel, sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran
napas. Jalur non alergik selain merangsang sel inflamasi juga merangsang system
saraf autonom dengan hasil akhir juga berupa inflamasi dan hipereaktivitas
saluran napas.
11
Tabel 2. Sel inflamasi pada saluran napas penderita asma
9

Tipe sel Aksi
Sel mast mukosa Melepaskan mediator brokodilator seperti histamine, cysteinyl
leukotrin, dan prostaglandin D2 saat teraktivasi. Sel mast
mukosa diaktivasi oleh alergen melalui reseptor
immunoglobulin E(IgE) afinitas tinggi, juga oleh stimulasi
osmotik, yang berperan pada bronkokonstiksi yang diinduksi
olah raga, dan oleh koneksi neural.
Eosinofil Biasanya muncul pada saluran napas penderita asma, eosinoil
melepaskan protein dasar yang dapat merusak sel epitel
saluran napas. Eosinofil juga memproduksi cysteinyl leukotrin
dan growth factor. Pada kasus yang jarang yaitu asma yang
resisten steroid dengan eosinofilia, sebuah antibodi anti
interleukin 5 dapat mengurangi eksaserbasi asma.
7

T limfosit Meningkat pada saluran napas penderita asma, T limfosit
melepaskan sitokin spesifik, meliputi, interleukin (IL) 4,5,6,
dan 13, yang mengatur inflamasi eosinofilik dan produksi IgE
oleh limfosit B. Peningkatan jumlah sel Th2 dapat disebabkan
sebagian oleh penurunan jumlah sel T regulatorik yang
normalnya menghambat sel Th2. Pada asma berat, juga terjadi
peningkatan pada sel T innate tipe 2 (ILC2), dan juga sel Th1
dan Th17.
Sel dendritik Sel ini mempresentasikan allergen dari permukaan saluran
napas dan bermigrasi ke kelenjar limfe regional dimana
mereka berinteraksi dengan sel T regulatorik unuk secepatnya
memproduksi Th2 dari sel T naf.
Makrofag Meningkat pada saluran napas penderita asma, makrofag dapat
diaktivasi oleh allergen melalui reseptor IgE afinitas rendah
untuk melepaskan mediator inflamasi dan sitikin yang
memperbanyak respon inflamasi, terutama pada asma berat
Neutrofil Sel ini meningkat pada saluran napas dan sputum penderita
asma dan pada asma dengan merokok. Peran patofisiologis
dari sel ini belum jelas dan peningkatannya bahkan dapat
terjadi karena terapi kortikosteroid.

Tabel 3. Sel epitel pada saluran napas penderita asma
9

Tipe sel Aksi
Sel epitel saluran
napas
Sel ini merespon pada lingkungan mekanisnya,
mengekspresikan protein inflamasi multiple, dan melepaskan
sitokin, kemokin, dan mediator lemak untuk merespon
pertubasi fisik. Virus dan polusi udara juga berinteraksi
dengan sel epitel.
Sel otot polos
saluran napas.
Sel ini menunjukkan peningkatan proliferasi (hiperplasia) dan
pertumbuhan (hipertrofi) dan mengekspresikan sel inflamasi
yang mirip dengan sel epitel.
8

Sel endotel Sel endotel pada sirkulasi bronkus memiliki peran dalam
merekrut sel inflamasi dari sirkulasi ke saluran napas.
Fibroblast dan
myofibroblas
Sel ini memproduksi komponen jaringan ikat, seperti kolagen
dan proteoglikan yang berperan dalam remodeling saluran
napas.
Nervus saluran
napas
Nervus kolinergik dapat diaktivasi oleh refleks yang dipicu
pada saluran napas dan menyebabkan bronkokonstriksi dan
sekresi mucus. Saraf sensorik yang dapat disensitisasi oleh
stimuli inflamasi, termasuk neutrofin, menyebabkan
perubahan refleks dan gejala seperti batuk dan rasa tertekan di
dada, dan dapat melepaskan neuropeptida inflamasi.

Tabel 4. Mediator seluler yang berperan pada asma
9

Mediator Aksi
Kemokin Penting dalam rekrutmen sel inflamatorik ke saluran napas,
kebanyakan diekspresikan di sel epitel saluran napas. CCL11
(eotaxin), relatif selektif untuk eosinofil sedangkan CCL17
merekrit sel Th2.
Cysteinyl
leukotrin
Bronkokonstriktor yang potent dan mediator pro inflamatori
yang berasal terutama dari mast sel dan eosinofil. Cysteinyl
leukotrin adalah satu-satunya mediator yang apabila diinhibisi,
dihubungkan dengan perbaikan fungsi paru dan gejala asma.
Sitokin Mengatur respon inflamasi pada asma dan menentukan derajat
keparahan asma. Sitokin yang pening meliputi:
IL-1 beta dan TNF-, yang memperbanyak respon
inflamatorik
GM-CSF, yang memperpanjang masa hidup eosinofil
pada saluran napas.
Sitokin yang berasal dari Th2, meliputi
IL-5, yang diperlukan dalam diferensiasi dan
survival eosinofil.
9

IL-4, yang penting untuk diferensiasi Th2 dan
ekspresi IgE
IL-13, yang diperlukan untuk ekspresi IgE. Pada
pasien dengan asma tertentu dengan Th2 profil,
antibodi anti-IL 5, anti-IL 13 dan anti-IL 4 dan 13
telah terbukti memiliki manfaat terapeutik yang
sedikit.
Histamine Dilepaskan oleh sel amst, histamine berperan dalam
bronkokonstriksi dan respon inflamasi. Namun antihistamin
memiliki peran yang sedikit dalam penatalaksnaan asma
karena efikasinya yang terbatas, efek samping, dan
perkembangan toleransi terhadap antihistamin.
Nitric oxide Vasodilator potent yang diproduksi oleh aksi inducible nitric
oxide synthase pada sel epitel saluran napas. Kegunaan dari
nitric oxide eksirasi pada monitoring asma sedang
diinvestigasi karena hubungannya ddengan inflamasi saluran
napas eosinofilik.
Prostaglandin D2 Bronkokonstriktor yang berasal terutama dari sel mast.
Prostaglandin D2 terlibat dalam rekrutmen sel Th2 ke saluran
napas.
CCL: chemokine ligand; Th2: T helper 2 lymphocytes; TNF: tumor necrosis factor; GM-CSF: granulocyte macrophage
colony stimulating factor.

b. Perubahan Struktural pada Saluran Napas
Selain adanya respon inflamasi, terdapat juga karakteristik perubahan seluler yang
terjadi dan biasanya dijelaskan sebagai remodeling saluran napas. Beberapa
perubahan tersebut akan berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit dan
mengakitbatkan penyempitan lumen saluran napas yang irreversible. Perubahan
ini merupakan suatu respon perbaikan terhadap inflamasi kronis.
9


10

Tabel 5. Perubahan struktural pada saluran napas penderita asma
Jaringan Perubahan pada asma
Fibrosis
subepitelial
Deposisi serat kolagen dan proteoglikan di bawah membrane
basalis yang terlihat pada kebanyakan penderita asma, bahkan
sebelum awitan gejala, namun terdapat overlap yang banyak
dengan normal. Fibrosis juga terjadi pada lapisan lain dinding
saluran napas, dengan deposisi kolagen dan proteoglikan,
Peningkatan sel
otot polos
saluran napas
Konsekuensi dari hipertrofi dan hyperplasia, yang
berkontribusi terhadap menenebalnya dinding saluran napas.
Proses ini dapat berhubungan dengan keparahan penyakit dan
disebabkan oleh mediator inflamasi seperti growth factor.
Peningkatan
pembuluh darah
pada dinding
saluran napas.
Hal ini memperkuat peran growth factor seperti vascular
epithelial growth factor, YLK-40, dan tissue factor dan dapat
berkontribusi pada penebalan dinding saluran napas.
Hipersekresi
mucus
Disebabkan oleh peningkatan jumlah goblet sel pada epitel
saluran napas dan peningkatan ukuran kelenjar submukosa.

2.4.2 Patofisiologi
a. Penyempitan saluran napas
Penyempitan lumen saluran napas merupakan jalur akhir yang utama dan
menyebabkan timbulnya gejala serta perubahan fisiologis pada asma. Beberapa
faktor berperan pada perkembangan terjadinya penyempitan saluran napas.
9

Kontraksi otot polos saluran napas: terjadi karena respon terhadap mediator
bronkokonstriksi dan neurotransmitter dan merupakan mekanisme utama dari
penyempitan saluran napas. Dapat diatasi dengan bronkodilator.
11

Edema saluran napas: terjadi karena peningkatan kebocoran mikrovaskuler
sebagai respon terhadap mediator inflamasi. Edema saluran napas mungkin
memiliki peran yang cukup penting dalam eksaserbasi akut
Penebalan saluran napas: terjadi karena adanya perubahan struktur, sering
disebut remodelling. Penebalan saluran reversible dengan sempurna dengan
terapi saat ini dan mungkin berperan dalam manifestasi yang lebih parah.
Hipersekresi mucus: sebagai hasil dari peneingkatan sekresi mucus dan
eksudat inflamasi, hipersekresi mucus dapat menyebabkan oklusi lumen
(mucus plugging)
b. Hiperresponsif bronkus
Hiperresponsif bronkus adalah respon bronkus yang berlebihan akibat berbagai
rangsangan dan menyebabkan penyempitan bronkus. Peningkatan respons
bronkus biasanya mengikuti paparan alergen, infeksi virus pada saluran nafas atas,
atau paparan bahan kimia. Hiperesponsif bronkus dihubungkan dengan proses
inflamasi saluran napas.
Penyempitan saluran napas ini akan menyebabkan terbatasnya laju udara dan
gejala yang intermittent. Adapun mekanisme terjadinya hiperresponsif saluran
napas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Kontraksi berlebihan dari otot polos saluran napas yang menimbulkan
peningkatan volume dan atau kontraktilitas dari sel otot polos saluran napas.
Kontraksi saluran napas yang tidak berpasangan sebagai hasil dari perubahan
inflamasi pada dinding saluran napas dan dapat menyebabkan penyempitan
yang berlebihan dari saluran napas dan hilangnya maximum plateau dari
kontraksi sebagaimana ditemukan pada saluran napas yang normal saat
substansi bronkokonstriktor terhirup.
Penebalan dinding saluran napas oleh adanya edema dan perubahan struktur
melipatgandakan penyempitan lumen saluran napas akibat kontraksi otot
polos saluran napas dengan alasan geometris.
Saraf sensoris akan tersentisisasi oleh inflamasi dan menyebabkan
bronkokonstriksi sebagai respon dari stimulus sensoris.
2,9

12

Pemeriksaan histopatologi pada penderita asma didapatkan infiltrasi sel radang,
kerusakan epitel bronkus, dan produksi secret yang sangat kental. Meskipun ada
beberapa bentuk rangsangan, untuk terjadinya respon inflamasi pada asma
mempunyai ciri khas yaitu infiltrasi sel eosinofil dan limfosit T disertai pelepasan
epitel bronkus.
9

Pada saluran napas banyak didapatkan sel mast, terutama di epitel bronkus dan
dinding alveolus, sel mast mengandung neutral triptase. Triptase mempunyai
bermacam aktivitas proteolitik antara lain aktivasi komplemen, pemecahan
fibrinogen dan pembentukan kinin. Sel mast mengeluarkan berbagai mediator
seperti histamin, prostaglandin-D2 (PGD2), dan Leukotrien-C4 (LTC4) yang
berperan pada bronkokonstriksi.
2,9

c. Mekanisme kebocoran mikrovaskuler
Mekanisme kebocoran mikrovaskuler terjadi pada pembuluh darah venula akhir
kapiler. Beberapa mediator seperti histamin, bradikinin, dan leukotrin dapat
menyebabkan kontraksi sel endotel sehingga terjadi ekstravasasi makromolekul.
Kebocoran mikrovaskuler mengakibatkan edema saluran napas sehingga terjadi
pelepasan epitel, diikuti penebalan submukosa. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tahanan saluran napas dan merangsang konstraksi otot polos bronkus.
Adrenalin dan kortikosteroid dapat mengurangi kebocoran mikrovaskuler pada
saluran napas. Penurunan adrenalin dan kortikosteroid pada malam hari
mengakibatkan terjadinya pelepasan mediator dan peningkatan kebocoran
mikrovaskuler , hal ini berperan dalam terjadinya asma pada malam hari.
7
2.4.3 Mekanisme Khusus Dalam Konteks Spesifik
a. Eksaserbasi Akut
Perburukan sementara dari asma atau saat serangan akut dapat terjadi akibat
adanya paparan dari faktor resiko munculnya gejala asma atau pemicu seperti
olahraga, polutan udara dan pada kondisi cuaca tertentu yang ekstrim seperti
adanya badai. Perburukan yang semakin lama biasanya akibat adanya infeksi virus
pada saluran napas atas (biasanya rhinovirus dan respiratory syncytial virus) atau
13

paparan alergen yang meningkatkan inflamasi pada saluran napas bawah
(inflamasi akut atau kronis) yang bisa bertahan selama beberapa hari atau
minggu.
9
b. Asma Nokturnal
Mekanisme yang berperan pada perburukan asma pada malam hari tidak murni
bisa dijelaskan pasti namun diperkirakan akibat adanya ritme sirkandian dari
hormon yang bersirkulasi seperti epinephrine, kortisol dan melatonin serta
mekanisme neural seperti pola cholinergic. Peningkatan inflamasi saluran napas
pada malam hari memang banyak dilaporkan dan hal ini sebagai reflek penurunan
mekanisme anti-inflamasi endogen.
9
c. Inflamasi Saluran Napas yang I rreversible
Beberapa pasien dengan asma derajat berat akan berkembang ke keterbatasan
saluran napas yang progresif dan tidak sepenuhnya reversible dengan terapi yang
tersedia saat ini. Hal ini mungkin terjadi sebagai reflek terhadap perubahan
struktur saluran napas pada asma kronis.
9
2.5 Diagnosis dan Klasifikasi
2.5.1 Diagnosis
a. Anamnesis
Diagnosis dari asma dapat dipikirkan pada pasien melalui temuan klinis dari
anamnesis maupun pemeriksaan fisik yang selanjutnya apabila mengarah ke asma
maka dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk menunjang diagnosis. Diagnosa
penyakit asma bronkial perlu dipikirkan bilamana ada gejala batuk yang disertai
dengan wheezing (mengi) yang karakteristik dan timbul secara episodik. Gejala
batuk terutama terjadi pada malam atau dini hari, dipengaruhi oleh musim, dan
aktivitas fisik. Adanya riwayat penyakit atopic pada pasien atau keluarganya
memperkuat dugaan adanya penyakit asma. Gejala terjadi dan memburuk apabila
mendapat paparan seperti debu, bulu binatang, perubahan suhu tubuh, obat
14

obatan (aspirin dan beta blocker), olahraga, infeksi traktus respiratius (virus), dan
rokok.
1,3,11

b. Pemeriksaan Fisik
Karena gejala asma pada pasien bisa sangat bervariasi, temuan saat pemeriksaan
fisik sistem pernapasan bisa saja ditemukan normal. Temuan yang paling sering
pada pasien asma adalah adanya mengi (wheezing) saat auskultasi yang akan
mengkonfirmasi adanya obstruksi jalan napas. Namun pada beberapa pasien
dengan asma, wheezing bisa saja tidak ada atau hanya terdengar apabila pasien
diinstruksikan untuk melakukan ekspirasi paksa. Biasanya pada eksaserbasi asma
berat, wheezing tidak terdengar karena penurunan laju udara pada saluran napas
dan ventilasinya, tetapi dengan tanda eksaserbasi berat lainnya berupa sianosis,
penurunan kesadaran, kesulitan berbicara, takikardia, dada hiperinflasi, napas
menggunakan otot aksesoris dan resesi interkostal.
10
c. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis asma biasanya berdasarkan karakteristik gejala, dengan pengukuran
fungsi paru dan demonstrasi reversibilitas dari abnormalitas fungsi paru mampu
menunjang diagnosis. Pengukuran fungsi paru akan menampilkan ada tidaknya
obstruksi jalan napas, reversibilitasnya dan variabilitas sebagai konfirmasi
diagnosis asma. Beberapa metode dapat dilakukan untuk obstruksi jalan napas
namun hanya dua metode yang saat ini diterima secara menyeluruh pada pasien
selama 5 tahun yang lalu. Spirometri biasanya digunakan untuk menilai forced
expiratory volume dalam 1 detik (FEV1) dan forced vital capacity (FVC) dan
peak expiratory flow (PEF).
10,11,12
Istilah reversibility dan variability berkaitan dengan perubahan gejala oleh
perubahan penyempitan jalur napas yang terjadi secara spontan ataupun dalam
respon terhadap terapi. Reversibility secara umum dijelaskan sebagai perbaikan
cepat pada FEV1 atau PEF yang diukur dalam beberapa menit setelah inhalasi
bronkodilator aksi cepat, sebagai contoh pemberian 200 400 ug salbutamol atau
perbaikan dalam kurun waktu hari hingga minggu setelah pemberian terapi
15

kontrol berupa inhalasi glukokortikosteroid. Sedangkan istilah variability berarti
perbaikan pada gejala atau fungsi paru yang terjadi sepanjang waktu. Variability
dapat terjadi sepanjang satu hari penuh (diurnal variability) atau bisa juga dari
hari ke hari, bulan ke bulan ataupun per musim. Mengetahui riwayat variability
merupakan komponen esensial dalam diagnosis asma.
10,11

Uji faal paru dilakukan untuk menentukan berat ringannya obstruksi saluran
napas, variasi dari fungsi saluran napas, evaluasi hasil terapi, dan beratnya
serangan asma. Variasi nilai arus puncak ekspirasi (APE) 20% antara pagi dan
sore hari mempunyai nilai diagnostik terhadap asma, dan dapat menentukan
derajat hiperreaktivitas bronkus. Hal lain yang mendukung diagnosa asma antara
lain: adanya variasi pada arus puncak ekspirasi (APE) 15 % pada pagi dan sore
hari, kenaikan 15% pada APE atau volume ekspirasi detik 1 (VEP1) setelah
pemberian bronkodilator secara inhalasi, penurunan > 20% VEP1 setelah uji
provokasi bronkus.
10,13

Uji kulit dengan alergen dilakukan sebagai pemeriksaan diagnostik pada asma
ekstrinsik alergi. Keadaan alergi ini dihubungkan dengan adanya produksi
antibodi Ig E. Uji provokasi bronkus dapat menentukan derajat beratnya
hiperreaktivitas bronkus. Untuk uji provokasi dapat dilakukan inhalasi dengan
histamin, metakolin, sulfur dioksis, air dingin, atau dengan latihan fisik.
13

Pemeriksaan radiologis dilakukan hanya untuk menyingkirkan kemungkinan
adanya penyakit paru lain. Pemeriksaan patologi ditemukan adanya hipertrofi otot
polos bronkus, peningkatan sekresi mukus dalam lumen bronkus, edema pada
mukosa saluran nafas, inflamasi pada dinding dan lumen saluran napas dengan
infiltrasi sel eosinofil dan netrofil.
8,12

2.5.2 Klasifikasi
Tujuan dari penanganan asma adalah untuk mencapai dan menjaga kontrol
manifestasi klinis dari penyakit untuk waktu yang lama. Saat asma telah
terkontrol, pasien dapat dicegah untuk mengalami serangan eksaserbasi akut dari
asma, mencegah adanya gejala yang mengganggu baik saat siang hari ataupun
16

malam hari, dan tetap menjaga fisik pasien aktif.Penilaian kontrol asma sebaiknya
menyangkut kontrol dari manifestasi klinis (gejala, terbangun di malam hari,
penggunaan reliever, keterbatasan aktivitas, fungsi paru) dan kontrol perkiraan
resiko yang mungkin terjadi di masa mendatang pada pasien seperti adanya
eksaserbasi, penurunan secara cepat fungsi paru dan efek samping pengobatan.
10,13
Gambar 1. Tingkatan Kontrol Asma
2,3













Secara umum, pencapaian kontrol klinis yang baik dari asma akan mengurangi
resiko eksaserbasi. Namun, beberapa pasien mungkin akan masih mengalami
eksaserbasi walaupun dengan interval kontrol yang adekuat. Pada pasien yang
merokok pencapaian terkontrol biasanya lebih sulit dan masih terdapat resiko
eksaserbasi. Perlu diketahui tentang glukokortikosteroid inhalasi mampu untuk
memperbaiki kontrol klinis dan mengurangi resiko lanjut walaupun terdapat agen
17

farmakologis lainnya yang lebih efektif dalam memperbaiki penampakan kontrol
klinis dan beberapa lainnya mungkin lebih baik dalam mengurangi eksaserbasi,
sehingga perlu diketahui fenotip dari pasien untuk melihat masalah mana yang
lebih dominan terjadi.
10,13

Klasifikasi berdasarkan derajat keparahan asma sesuai gambaran klinis sebelum
terapi dapat dibedakan menjadi :
1,2
Tabel 6. Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis
Derajat asma Gejala Faal paru
I. Intermiten Bulanan
Gejala < 1x/minggu
Tanpa gejala diluar
serangan
Serangan singkat
Gejala malam 2x/bulan
APE 80%
VEP
1
80% nilai prediksi
APE 80% nilai terbaik
Variabilitas APE < 20%
II. Persisten
Ringan
Mingguan
Gejala > 1x/minggu, tapi <
1x/hari
Serangan dapat
mengganggu aktivitas dan
tidur
Membutuhkan
bronkodilator setiap hari
Gejala malam > 2x/bulan
APE 80%
VEP
1
80% nilai prediksi
APE 80% nilai terbaik
Variabilitas APE 20-30%
III. Persisten
Sedang
Harian
Gejala setiap hari
Serangan menggangu
aktivitas dan tidur
Membutuhkan
bronkodilator setiap hari
Gejala malam > 1x/minggu
APE 60-80%
VEP
1
60-80% nilai
prediksi
APE 60-80% nilai terbaik
Variabilitas APE > 30%
18

IV. Persisten
berat
Gejala terus menerus
Sering kambuh
Aktivitas fisik terbatas
Gejala malam sering
APE 60%
VEP
1
60% nilai prediksi
APE 60% nilai terbaik
Variabilitas APE > 30%

2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Terapi
Dalam penanganan asma terdapat 4 komponen yang harus bisa dilakukan kepada
semua pasien dengan asma untuk mencapai dan menjaga kontrol asma.
1,2
a. Komponen 1. Membentuk hubungan kerjasama antara pasien dan dokter
b. Komponen 2. Identifikasi dan mengurangi paparan terhadap faktor resiko
c. Komponen 3. Menilai, mengobati dan memantau asma
d. Komponen 4. Menangani eksaserbasi asma
a. Komponen 1. Membentuk hubungan kerjasama antara pasien dan dokter
Dalam penanganan asma diperlukan pembentukan kerjasama antara individu
dengan asma dan tim kesehatan yang merawatnya. Pada komponen ini penting
untuk memberikan komunikasi informasi dan edukasi terkait beberapa hal berikut:
Menghindari faktor resiko
Minum obat secara tepat
Memahami perbedaan antara obat controller dan reliever
Memantau kondisinya berdasarkan gejala yang dialami, dan jika relevan dapat
melakukan pengukuran PEF di rumah masing masing.
Mengetahui tanda saat asma memburuk dan melakukan aksi untuk
mengatasinya
Mencari lokasi pelayanan kesehatan terdekat dan tepat
Edukasi sebaiknya menjadi bagian integral dari seluruh interaksi antara tenaga
medis profesional dan pasien.
1

19

b. Komponen 2. Identifikasi dan mengurangi paparan faktor resiko
Untuk meningkatkan kondisi asma yang terkontrol dan mengurangi kebutuhan
obat, pasien sebaiknya mulai menghindari faktor resiko yang menyebabkan
timbulnya gejala asma. Namun, banyak pasien yang memiliki faktor resiko yang
multipel di lingkungannya dan sulit untuk dihindari. Pengobatan untuk merawat
kontrol asma tidak terlalu sensitif.
1,2
Aktivitas fisik merupakan penyebab utama gejala asma namun bukan merupakan
paparan yang harus dihindari. Gejala dapat dicegah dengan inhalasi 2-agonist
kerja cepat sebelum olahraga.Pasien dengan derajat asma dari sedang hingga berat
sebaiknya disarankan untuk mendapatkan vaksinasi influenza setiap tahunnya,
atau setidaknya saat vaksinasi di populasi disarankan. Vaksin influenza termasuk
aman bagi orang dewasa atau anak diatas umur tiga tahun.
1,2
c. Komponen 3. Menilai, mengobati dan monitoring asma
Penilaian kontrol asma
Setiap pasien sebaiknya dinilai derajat kontrol asmanya untuk menentukan
regimen terapi saat ini, ketaatan regimen saat ini dan tingkatan kontrol asma.
Skema untuk menentukan asma jenis kontrol, terkontrol sebagian dan tidak
terkontrol dapat dilihat pada Gambar 1.
1,2
Pengobatan untuk mencapai Kontrol
Setiap pasien akan ditetapkan untuk mendapatkan salah satu dari 5 langkah terapi.
Lima langkah terapi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 yang merupakan terapi
untuk dewasa dan anak-anak diatas umur 5 tahun.
1,2
Pada setiap langkah terapi, pemberian reliever sebaiknya diberikan untuk
mengobati gejala dengan cepat. Namun, perlu diperhatikan seberapa banyak
reliever yang digunakan pasien, regular atau terdapat peningkatan penggunaan
yang mengindikasikan asma tidak terkontrol dengan baik.
1,2
20

Pada langkah kedua sampai langkah kelima pasien juga memerlukan satu atau
lebih medikasi controller regular yang akan mencegah timbulnya gejala dan
serangan akut dimulai kembali. Glukokortikosteroid inhalasi merupakan medikasi
controller yang paling efektif ada saat ini.
1,2
Untuk beberapa pasien yang baru didiagnosis dengan asma dan belum
mendapatkan pengobatan, maka pemberian terapi langsung dimulai sesuai
langkah kedua (atau jika pasien menunjukkan gejala yang lebih berat langsung
terapi sesuai langkah ketiga). Jika asma tidak terkontrol dengan regimen saat ini,
maka terapi sebaiknya ditingkatkan.
1,2
Gambar 2. Penatalaksanaan Asma Berdasarkan Tingkatan Kontrol.















21

Pasien yang tidak mampu mencapai kondisi yang terkontrol dan sudah
menggunakan terapi protokol keempat dapat digolongkan sebagai kasus difficult-
to-treat asma. Pada pasien ini, kesepakatan diperlukan untuk focus dalam
mencapai tingkatan kontrol terbaik yang mampu dirasakan dengan gangguan yang
minimal terhadap aktivitas dan gejala harian yang sedikit mungkin serta
minimalisir efek samping potensial dari terapi. Lakukan rujukan kepada
spesialisasi asma dapat juga sangat membantu.
10

Medikasi inhalasi merupakan pilihan utama karena dengan cara ini obat langsung
diantarkan menuju saluran napas tempat obat ini diperlukan yang akan
menghasilkan efek terapi yang potensial dengan efek samping sistemik yang
minimal. Medikasi inhalasi untuk asma tersedia dalam bentuk pressurized
metered-dose inhalers (pMDIs), breath-actuated MDIs, dry powder inhalers
(DPIs), dan nebulizers. Alat spacer memudahkan pasien menggunakan inhaler
dan mengurangi absorpsi sitemik serta efek samping glukokortikosteroid.
14,15

Monitor Untuk Mempertahankan Kontrol
Monitor terus menurus status pasien penting dilakukan untuk mempertahankan
kondisi asma terkontrol dan dapat memberikan terapi sesuai langkah dan dosis
terendah sehingga akan memberikan biaya minimal serta keamanan maksimal.
Pasien sebaiknya melakukan kontrol satu hingga 3 bulan setelah kunjungan
pertama dan setiap 3 bulan setelah itu. Setelah suatu periode eksaserbasi, follow
up sebaiknya dilakukan 2 minggu hingga 1 bulan.
10,14
Penyesuaian pengobatan:
10,14

Apabila asma tidak terkontrol pada regimen terapi saat ini maka lakukan
peningkatan (step up). Pada umumnya, perbaikan akan tampak selama 1 bulan
kemudian. Namun tetap perlu untuk mereview teknik pengobatan pasien,
kepatuhan konsumsi obat serta ketaatan untuk menghindari faktor resiko.
Apabila asma termasuk terkontrol sebagian, dapat dipikirkan untuk step up
terapi, bergantung pada apakah terdapat pilihan yang lebih efektif, aman dan
22

biaya dari setiap pilihan terapi serta kepuasan pasien dengan peralihan status
kontrol yang didapat.
Apabila status asma pasien sudah terkontrol setidaknya dalam 3 bulan terakhir,
maka dapat dilakukan penurunan (step down) secara perlahan dan bertingkat
dari terapi yang sudah didapat pasien. Tujuan utama melakukan penurunan
terapi adalah mendapatkan pengobatan yang paling minimal untuk
mempertahankan status kontrol.
Monitoring akan selalu penting dilakukan walaupun status pasien sudah terkontrol
karena asma merupakan penyakit yang sangat bervariasi. Pengobatan perlu
dilakukan penyesuaian secara periodik terhadap respon jika ada kehilangan status
kontrol akibat perburukan gejala atau munculnya serangan akut / eksaserbasi
kembali.
10,14
d. Komponen 4. Penanganan eksaserbasi
Eksaserbasi dari asma (serangan asma) merupakan suatu episode peningkatan
secara progresif keluhan sesak napas, batuk, suara napas mengi atau berat pada
dada ataupun kombinasi dari keluhan tersebut. Pada penanganan eksaserbasi tidak
diperbolehkan untuk menaksir terlalu rendah tingkat keparahan serangan, karena
asma dengan derajat berat dapat mengancam nyawa dan pengobatannya perlu
pemantauan ketat. Pasien dengan resiko tinggi sampai kematian memerlukan
perhatian ketat serta secepatnya ditangani sesuai prosedur kegawatdaruratan.
Pasien dengan resiko tinggi tersebut dijelaskan sebagai berikut :
10,14

Pasien dengan riwayat asma hampir fatal yang memerlukan intubasi dan
ventilasi mekanik
Pasien yang pernah masuk rumah sakit atau datang ke unit gawat darurat
karena asma selama 1 tahun terakhir
Pasien yang saat ini menggunakan atau baru saja berhenti menggunakan
glukokortikosteroid oral
Pasien yang tidak menggunakan glukokortikosteroid inhalasi
Pasien yang selalu bergantung pada 2-agonist kerja cepat terutama pada
pasien yang menggunakan lebih dari satu canister salbutamol per bulan
23

Pasien dengan riwayat penyakit psikiatri atau masalah psikososial termasuk
penggunaan obat obat sedatif.
Pasien dengan riwayat ketidakpatuhan terhadap rencana pengobatan asma.
Pasien yang memerlukan penanganan medis segera antara lain:
Serangan berat:
Pasien merasakan sesak saat istirahat, duduk membungkuk, berbicara hanya
mampu per kata, gelisah, mengantuk, kebingungan, bradikardia, atau
respiratory rate lebih dari 30 kali per menit
Wheezing terdengar keras atau tidak terdengar
Denyut nadi lebih dari 120 kali per menit
PES kurang dari 60% dari nilai prediksi atau nilai terbaik personal walaupun
sudah mendapatkan terapi bronkodilator initial
Pasien sudah kelelahan
Respon terhadap terapi bronkodilator initial tidak tampak dan gejala bertahan
setidaknya selama 3 jam
Tidak terdapat perbaikan selama 2 6 jam setelah pemberian
glukokortikosteroid oral.
Terdapat perburukan lebih lanjut
Pasien dengan serangan ringan tergolong sebagai pasien dengan adanya reduksi
peak flow kurang dari 20%, terbangun di malam hari dan peningkatan penggunaan
2-agonist kerja cepat, dapat dirawat di rumah jika pasien sudah dipersiapkan dan
memiliki rencana tatalaksana asma pribadi termasuk memiliki langkah langkah
aksi penanganan. Sedangkan pasien dengan serangan sedang mungkin
memerlukan penanganan di klinik ataupun rumah sakit.
10,15
Serangan asma memerlukan penanganan segera sebagai berikut:
Inhalasi 2-agonist kerja cepat yang adekuat (dimulai dari 2 4 puff setiap 20
menit untuk 1 jam pertama, eksaserbasi ringan memerlukan 2 4 puff setiap 3
4 jam, dan eksaserbasi sedang memerlukan 6 10 puff setiap 1 2 jam)
24

Glukokortikosteroid oral (0,5 1 mg prednisolon/kg/hari) diberikan diawal
terapi serangan sedang atau serangan berat untuk membantu mengembalikan
reaksi inflamasi dan mempercepat pemulihan
Oksigen diberikan apabila pasien mengalami hipoksemia (saturasi O
2
< 95%)
Kombinasi terapi 2-agonist/ anticholinergic berhubungan dengan penurunan
resiko masuk rumah sakit dan peningkatan PEF dan FEV
1

Methylxantines tidak direkomendasikan jika digunakan sebagai tambahan
kombinasi terhadap 2-agonist dosis tinggi. Namun theophylline dapat
digunakan jika 2-agonist kerja cepat inhalasi tidak tersedia. Jika pasien sudah
biasa mengkonsumsi theophylline setiap harinya maka konsentrasi serum harus
diukur sebelum memberikan theophylline kerja cepat.
Pasien dengan eksaserbasi asma berat yang tidak berespon dengan
bronkodilator dan glukokortikosteroid sistemik dapat diberikan Magnesium
Sulphate IV 2 gram yang telah terbukti mampu mengurangi keperluan masuk
rumah sakit.
13,15

Terapi yang tidak direkomendasikan untuk mengobati serangan asma sebagai
berikut

:
10,13

Obat obat sedative
Obat Mukolitik (dapat memperburuk batuk)
Terapi fisik dada/fisioterapi (dapat meningkatkan ketidaknyamanan pasien)
Hidrasi dengan volume cairan yang banyak untuk dewasa dan anak-anak yang
lebih tua (dapat diberikan pada balita atau bayi)
Antibiotik (tidak mengobati serangan namun menjadi indikasi bagi pasien yang
juga memiliki pneumonia atau infeksi bakteri seperti sinusitis)
Epinephrine / adrenaline (dapat menjadi indikasi untuk penanganan
anaphylaxis akut dan angioedema namun tidak diindikasikan untuk serangan
asma)


25

2.6.2 Monitor respon terapi
Evaluasi gejala sebanyak mungkin termasuk juga evaluasi peak flow. Di rumah
sakit juga perlu dinilai saturasi oksigen, penilaian analisa gas darah pada pasien
yang diperkirakan mengalami hipoventilasi, kelelahan, distress berat atau peak
flow prediksi 30 50%.
10,13,14
2.6.3 Follow up
Setelah eksaserbasi kembali pulih, faktor yang menjadi presipitasi eksaserbasi
sebaiknya diidentifikasi dan strategi untuk implementasi menghindari alergen di
waktu mendatang serta untuk melakukan review ulang rencana medikasi pasien.
14

Anda mungkin juga menyukai