Anda di halaman 1dari 12

Program Pendidikan Dokter Layanan Primer dan Implikasinya

pada Dinamika Pendidikan Kedokteran di Indonesia


Ditulis sebagai wujud ISMKI dalam mengawal kebijakan pendidikan kedokteran di Indonesia
Manado, 27 September 2013

Oleh: Vicha Annisa, Sriwulan Rosalinda Putri, Eddy Yuristo NS

Laporan tahunan WHO: Primary Helath Care : Now More Than Ever, pada tahun 2008,
menyatakan secara lugas bahwa negara dengan layanan kesehatan primer yang kuat dan
mumpuni mampu menciptakan sistem layanan kesehatan yang tidak hanya bermutu, namun
hemat dalam pembiayaannya. Pemerintah Indonesia, sebagaimana tercermin dalam UU No
40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), telah sadar sepenuhnya
dengan peran sistem pelayanan primer yang vital dalam memenuhi hajat sehat masyarakat
luas.
Hampir 10 tahun waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan. 1 Januari 2014, Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN), salah satu bentuk implementasi SJSN, secara resmi dan bertahap
mulai diselenggarakan secara nasional. JKN merupakan suatu sistem dengan tujuan luhur -
agar semua masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang merata dan tidak
diskriminatif. Berdasar peta jalan Jaminan Kesehatan Nasional, 121,6 juta
1
masyarakat
Indonesia akan terlayani dan menjadi peserta JKN pada 1 Januari 2014, ketika BPJS (Badan
Pelaksana Jaminan Sosial) Kesehatan pertama kali beroperasi. Untuk melayani semua
pesertanya, JKN menguatkan sistem pelayanan berjenjang, yang terdiri dari pelayanan
primer, pelayanan sekunder pada dokter spesialis, dan pelayanan tersier pada dokter
subspesialis. JKN mengedepankan sistem pelayanan primer yang diharapkan mampu menjadi
ujung tombak penyelenggaraan, menyelesaikan 80% permasalahan, mengupayakan upaya
promotif-preventif, dan sekaligus mencegah kebocoran anggaran.
Program JKN mengedepankan sistem pelayanan primer sekaligus mendayagunakan
peran dokter layanan primer sebagai garda utama sistem pelayanan kesehatan. Mengingat
pentingnya dokter pelayanan primer pada JKN, tentu dibutuhkan suatu daftar kompetensi
terukur dokter layanan primer yang dapat digunakan oleh BPJS. Implikasinya adalah

1
Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional, dalam
http://www.djsn.go.id/Peta%20Jalan%20Jaminan%20Kesehatan%20Nasional%20%202012-2019.pdf,
diakses 14 Oktober 2013


penyesuaian sistem pendidikan kedokteran terhadap sistem JKN. Pemerintah lantas
berinisiatif untuk merancang produk perundangan, yang salah satu tujuannya,
mengakomodasi proses persiapan dan pendidikan dokter layanan primer melalui pengesahan
UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. UU No 20 tahun 2013
memperkenalkan istilah Dokter Layanan Primer sebagai strata baru pendidikan kedokteran di
Indonesia. Sebagai tambahan, hanya dokter layanan primer, dokter spesialis, dan dokter
subspesialis yang bisa masuk dan berada di dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional.
Kelak, hanya dokter layanan primer dan dokter praktik umum yang telah mengikuti program
yang dapat menjadi dokter-dokter penyedia pelayanan kesehatan primer. Semua dokter-
dokter fresh graduated harus mengikuti pendidikan dokter layanan primer bila ingin menjadi
bagian dari sistem sebagai penyedia pelayanan kesehatan primer. Bila tidak, seorang dokter
praktik umum tanpa kompetensi dokter layanan primer hanya bisa berpraktik swasta di
tengah-tengah sistem JKN yang membuat masyarakat tak perlu membayar tiap kali berobat.

Dokter Praktik Umum dan Dokter Layanan Primer
Selama ini, kita acapkali dibingungkan dengan dua istilah berikut, dokter umum dan
dokter layanan primer. Penggunaan istilah-istilah tersebut sering tumpah tindih dan
overlapping. Pada UU No 20 Tahun 2013, istilah Dokter Layanan Primer tak dideskripsikan
secara rinci dan hanya disebutkan untuk diatur kembali melalui peraturan pemerintah
2
.
Penggunaan istilah ini penting, mengingat selama ini istilah dokter layanan primer seringkali
diidentifikasi sebagai dokter-dokter lulusan fakultas kedokteran/program studi pendidikan
dokter. Sementara di pasal 8 ayat 3 UU No 20 tahun 2013, dokter layanan primer adalah
jenjang baru pendidikan yang dilaksanakan setelah program profesi dokter dan program
interrnship, serta setara dengan jenjang pendidikan profesi spesialis.
Menurut dr. Sugito Wonodirekso, M.S., DPU, PKK, Ketua Umum Perhimpunan Dokter
Keluarga Indonesia (PDKI), perbedaan dua istilah sebenarnya dapat dilakukan melalui
identifikasi terhadap tingkat pendidikan masing masing
3
. Lulusan fakultas
kedokteran/program studi pendidikan dokter dapat dianggap sebagai dokter layanan primer

2
Pasal 7 ayat 9 UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
3
Sugito Wonodirekso, Danny Pattiradjawane. 2010. Peran Depkes dalam Pemberdayaan,
Pendayagunaan, dan Pengembangan Karir Dokter Layanan Primer dalam Rangka Mencapai Target
MDGs. Majalah Kedokteran Indonesia Vol 60: Nomor 3, Maret 2010. Dalam
indonesia.digilabsjournal.org.


dasar (basic primary care doctor) karena kewenangannya hanya sebatas pelayanan primer.
Mereka sebenarnya dapat juga dianggap sebagai dokter praktik umum atau dalam bahasa
inggris dikenal sebagai General Practitioner. Istilah ini digunakan karena cakupan batasan
pelayanan yang diberikan tidak dibatasi oleh usia, jenis kelamin, sistem organ, dan jenis
penyakit pasien. Istilah dokter praktik umum, dan bukan dokter umum, disepakati untuk
digunakan sebagai terjemahan dari istilah General Practitioner, dalam Muktamar IDI tahun
2000 di Malang.
Terkait UU No 20 tahun 2013, perlu ditekankan bahwa sebenarnya dokter-dokter fresh-
graduated adalah dokter layanan primer dasar (basic primary care doctor), yang memerlukan
suatu proses pendidikan lanjutan untuk menjadi dokter layanan primer paripurna (advanced
primary care doctor). Di Inggris dan negara-negara persemakmuran Britania, proses
penddikan lanjutan ini adalah berupa proses magang selama 3 tahun untuk dokter-dokter
lulusan fakultas kedokteran di tempat praktek dokter-dokter senior bersertifikat selama 3
tahun.
Di berbagai kesempatan yang dihadirkan
4
, pengurus besar PDKI menyampaikan suatu
gambaran proses pendidikan dokter layanan primer paripurna yang berlangsung selama 2
tahun dan 1 tahun masa internship. Gambaran yang disampaikan PDKI bersesuaian dengan
pasal 8 ayat 3 UU No 20 Tahun 2013 bahwa program dokter layanan primer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan kelanjutan dari program profesi Dokter dan program
internsip yang setara dengan program dokter spesialis.. Gambaran yang disampaikan PDKI
ini disebut sebagai pendidikan generalis, bukan-namun-setara spesialis, bagi dokter-dokter
yang berminat untuk melanjukan studi di pendidikan dokter layanan primer. Gelar yang
rencananya akan diberikan bagi dokter yang telah lulus program pendidikan dokter layanan
primer adalah SpFM (Spesialis Famili Medisin).
dr. Sugito menjelaskan, dalam suatu bahan kuliah, kompetensi yang membedakan dokter
praktik umum, dokter keluarga dan dokter layanan primer (Spesialis Famili Medisin)
digambarkan melalu tabel sebagai berikut.
5

Paket A B C D
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2

4
Kuliah Pakar Indonesian Medical Olympiad, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
5
Sugito Wonodirekso, Kompetensi Dokter Layanan Primer. Dalam
http://www.scribd.com/doc/153709381/Kompetensi-Dokter-Layanan-Primer.


DPU x x x x x
DLP x x x x X x X x x X x x x X x
Penjelasan tentang masing-masing kompetensi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
Paket Keterangan
Paket A Konsep Kedokteran Keluarga
A1 Konsep dan Wawasan
A2 Prinsip dan Pelayanan Dokter Keluarga
A3 Pengaruh Keluarga, Komunitas, dan Lingkungan
A4 Tugas dan Fungsi Dokter Keluarga dalam Pelayanan Primer
Paket B Manajemen Klinik Dokter Keluarga
B1 Manajemen Sumber Daya Manusia
B2 Manajemen Fasilitas
B3 Manajemen Informasi
B4 Manajemen Dana
Paket C Keterampilan Klinik
C1 Keterampilan Klinis Non-Bedah
C2 Keterampilan Mengatasi Keadaan Klinis Umum
C3 Keterampilan Mengatasi Masalah Klinis Khusus
C4 Keterampilan Menggunakan Sarana Penunjang
C5 Keterampilan Medis Teknis Bedah
Paket D Keluasan Penerapan Ilmu dan Wawasannya
D1 Masalah Kesehatan Kelompok Usia
D2 Masalah Kesehatan Kelompok Khusus

Problematika
Pada Muktamar AIPKI VII Manado, Dokter Layanan Primer dibahas oleh Komisi I.
Acara dimulai dengan presentasi dari dr. Pandu Riono, MPH, PhD (Dosen FKM UI) selaku
Ketua Kolegium Dokter Primer Indonesia (KDPI) mengenai pengertian, urgensi, dan tupoksi
Dokter Layanan Primer, serta penjelasan tentang kolegium. Telah dijelaskan bahwa Dokter
Layanan Primer merupakan layanan tingkat primer pada pelayanan di era SKN yang dimulai


1 Januari 2014, yang disetarakan dengan dokter spesialis dan sub-spesialis. Berikut poin-poin
pentingnya yang dapat tercatat.
1. Dokter Layanan Primer diharapkan dapat menjadi dokter yang berperan holistik, bukan
hanya dokter yang berorientasi curative, namun juga berorientasi pada kedokteran
keluarga, kedokteran okupasi, kedokteran komunitas, kemampuan manajerial,
kepemimpinan. Selain itu, Dokter Layanan Primer diharapkan dapat menjadi ahli dalam
prediktor based on research time, epidemiologi, memiliki keahlian khusus sesuai dengan
penyakit yang mewabah/dominan di daerah kerjanya.
2. Dokter umum yang telah lulus ujian kompetensi (sejak Agustus 2013 disebut exit exam),
bahkan yang telah mengikuti Interenship dianggap belum memenuhi kompetensi yang
diharapkan pada sistem Jaminan Kesehatan Nasional.
3. Dokter Layanan Primer diharapkan bisa berperan sebagai gate keeper yang akan
menangani 80% kasusnya sendiri hingga tuntas, sedangkan 20% kasus akan diserahkan
ke pelayanan kesehatan jenjang berikutnya. Hal ini harus dilakukan mengingat akan
terjadi pemborosan biaya apabila setiap kasus yang ditangani harus dirujuk.
4. Dokter Praktek Umum, fresh graduated Fakultas Kedokteran, dianggap sebagai stem
cell yang bisa menjadi apa saja, Peneliti, Klinisi, Dokter Layanan Primer bahkan berkarir
di bidang politik.
5. Dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Kedokteran, Dokter Layanan
Primer dimasukan dalam tingkat 8 dimana tingkat 9 merupakan standar tertinggi.
Kualifikasi Sumber Daya Tingkat 8 yang dimaksud mendeskripsikan bahwa Dokter
Layanan Primer dihasilkan melalui Program Pendidikan Dokter Spesialis. Pada Diskusi
Publik UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran di FKUI, Program
Pendidikan Dokter Layanan Primer disebut sebagai Generalis, bukan spesialis.
Pendidikan Generalis, setara dengan pendidikan spesialis. Penyebutan generalis karena
ranah kompetensi Dokter Layanan Primer tidak tercakup pada sistem organ atau keahlian
tertentu saja.
6. Saat bekerja, dibutuhkan pengetahuan bahwa DLP bekerja dalam sistem yang memiliki
clinical pathway. Strata pendidikan baru, salah satunya, diperlukan untuk mendidik
dokter layanan primer yang mengetahui cara kerja sistem Jaminan Kesehatan Nasional.
Proses pendidikan Generalis, Dokter Layanan Primer, akan dibiayai oleh negara. Selain
itu, berdasar pasal 31 Ayat 1 Huruf B UU No 20 Tahun 2013 bahwa setiap mahasiswa


program pendidikan dokter layanan primer, spesialis, dan subspesialis berhak menerima
insentif di Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan.
7. Penyelenggaraan Pendidikan Dokter Layanan Primer hanya dapat dilakukan di fakultas
kedokteran yang berakreditasi A yang bisa menyelenggarakan. Hal ini sesuai dengan
pasal 8 ayat 1 UU No 20 tahun 2013 bahwa Program dokter layanan primer, dokter
spesialis-subspesialis,dan dokter gigi spesialis-subspesialis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (5) huruf b hanya dapat diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran
dan Fakultas Kedokteran Gigi yang memiliki akreditasi kategori tertinggi untuk program
studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi.
Berkaitan dengan penyampaian poin-poin tersebut, forum mengajukan berbagai
pertanyaan dan sanggahan terkait Dokter Layanan Primer yang dapat dikerucutkan menjadi
tiga poin utama, yakni Urgensi Strata Baru Pendidikan Dokter Layanan Primer, Keterbatasan
Kuota, Kapitasi, dan Perkembangan sistem Jaminan Kesehatan Nasional.
Urgensi Strata Baru Pendidikan Dokter Layanan Primer
Sesuai dengan pasal 8 ayat 3 UU No 20 tahun 2013, dijelaskan bahwa pendidikan dokter
layanan primer merupakan jenjang pendidikan lanjutan setara spesialis yang dapat diikuti
oleh dokter lulusan program studi pendidikan dokter. Program pendidikan dokter layanan
primer tidak diwajibkan, namun diharuskan untuk dokter-dokter baru lulusan program studi
pendidikan dokter yang menginginkan untuk dibiayai sistem sebagai dokter layanan primer
pada Jaminan Kesehatan Nasional. Diisukan bahwa seluruh biaya pendidikan dokter layanan
primer akan dibiayai oleh negara. Sesuai dengan pasal 31 ayat 1 poin b bahwa peserta
program pendidikan dokter layanan primer, dokter spesialis, dan dokter subspesialis akan
mendapatkan insentif dari rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan.
Fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini adalah bahwa meningkatnya jumlah dokter
spesialis secara signifikan. Saat ini, selentingan kalau mau cepat kaya, dokter spesialis dulu
diterima sangat baik di kalangan mahasiswa kedokteran. Hal ini menyebabkan posisi
frontliner dokter-dokter praktik umum sebagai penyedia pelayanan kesehatan primer secara
tidak langsung termarginalkan dan degradasi minat mahasiswa kedokteran. Oleh sebab itu,
sesuai dengan amanat UU No 20 Tahun 2013, bahwa program pendidikan dokter layanan
primer akan menjadi jenjang pendidikan baru setara spesialis.
Pada Rapat Komisi I Muktamar AIPKI VII, urgensi strata baru pendidikan dokter
layanan primer dibahas dengan sangat hangat, bahkan cenderung kisruh. Pertanyaan


mengemuka dari beberapa unsur pimpinan dekanat beberapa institusi pendidikan dokter,
Universitas Islam Sultan Agung, Universitas Swadaya Gunung Jati, Universitas Kristen Krida
Wacana, dan Universitas Sriwijaya. Fokus pertanyaan adalah terkait hal-hal berikut.
1. Sosialisasi Program Pendidikan Dokter Layan Primer ke rumah sakit pendidikan.
Sampai saat ini, roadmap tentang pendidikan dokter layanan primer belum jelas dan
tertuliskan dalam peraturan pemerintah manapun (per Oktober 2013). Apabila
pendidikan dokter layanan primer dilaksanakan di rumah sakit pendidikan, tentu akan
terjadi permasalahan baru terkait daya tampung rumah sakit pendidikan.
2. Sosialisasi program penndidikan dokter layanan primer ke orang tua/perwalian
mahasiswa. Adanya jenjang strata baru tentu akan berimplikasi pada rencana masa
depan mahasiswa dan dianggap hanya mempersulit.
3. Berkaca dari hasil Uji Kompetensi, ada kesan bahwa dokter-dokter tamatan program
pendidikan dokter saat ini dianggap tidak kompeten untuk bisa bergabung dalam
sistem Jaminan Kesehatan Nasional sehingga strata baru pendidikan dokter layanan
primer dianggap perlu.

Keterbatasan Kuota
Berdasar pasal 8 ayat 1 UU No 20 tahun 2013, pendidikan dokter layanan primer hanya
diselenggarakan oleh Program Pendidikan Dokter yang terakreditasi A. Program Pendidikan
Dokter terakreditasi A dapat bekerja sama dengan program pendidikan dokter terakreditasi B
sesuai dengan pasal 8 ayat 2. Peraturan teknis terkait bentuk kerja sama yang dimaksud
belum dijelaskan dalam peraturan perundangan apapun (per Oktober 2013).
Berdasar data Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi
6
(per 19 Oktober 2013),
hanya ada 16 Program Studi Pendidikan Dokter terakreditasi A di Indonesia. Sebaran fakultas
kedokteran menurut peta geografis Indonesia adalah 3 Program Studi Pendidikan Dokter di
Sumatera, 11 Program Studi Pendidikan Dokter di Jawa, 1 Program Studi Pendidikan Dokter
di Nusa Tenggara, dan 1 Program Studi Pendidikan Dokter di Sulawesi. Dua dari 16 program
studi pendidikan dokter yang dimaksud sedang dalam proses reakreditasi.
Saat ini, ada 73 program studi pendiidkan dokter yang beroperasi di Indonesia. Hal ini
tentu akan menyebabkan ketidaksinkronan antara jumlah dokter lulusan baru di Indonesia
dan kuota pendidikan dokter layanan primer, mengingat penyelenggaraan pendidikan dokter

6
Dalam http://ban-pt.kemdiknas.go.id/hasil-pencarian.php, diakses 18 Oktober 2013.


layanan primer akan memperhatikan daya dukung sarana prasarana pendidikan, tenaga
pendidik, dan rumah sakit serta wahana pendidikan. Ada pembatasan kuota ini menimbulkan
spekulasi bahwa pendidikan dokter layanan primer merupakan suatu kontrol pemerintah
terhadap jumlah dokter di sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Hal ini dipertegas pada pasal
10 UU No 20 tahun 2013.

Kapitasi
Tak dapat ditampik, perkiraan insentif yang akan didapatkan dokter layanan primer kelak
akan menjadi salah satu faktor kunci yang menentukan minat lulusan program studi
pendidikan dokter terhadap strata pendidikan dokter pelayanan primer. Sistem pembiayaan
kesehatan merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan pada pelaksanaan pelayanan
kesehatan berjenjang. Sistem pembayaran kapitasi nantinya akan diberlakukan bagi para
dokter layanan primer selaku penyedia pelayanan kesehatan (PPK) tingkat pertama.
Sementara itu, untuk sistem pembiayaan di rumah sakit bagi dokter akan dipakai sistem INA-
CBGs dimana klaim biaya pengobatan disesuaikan dengan diagnosis.
Dirut PT. Askes, dr. Fahmi Idris menyatakan bahwa besarnya biaya kapitasi yang
dibayarkan kepada dokter layanan primer jika nanti JKN sudah berjalan adalah sebesar 30%
dari jumlah iuran yang akan dibayar oleh peserta. Dalam hal ini, besarnya iuran yang akan
dibayarkan oleh peserta masih harus diperjuangkan karena secara langsung akan
mempengaruhi besarnya kapitasi per kepala.
Untuk kepesertaan diisukan bahwa 1 dokter layanan primer akan melayani kurang lebih
2500 orang, maksimal 3000 orang. Sampai sekarang keputusan terakhir dari pemerintah
untuk iuran adalah sebesar Rp19.500. Namun, besarnya iuran ini masih sangat mungkin
untuk berubah. Pada rapat Komisi I tentang Dokter Layanan Primer Muktamar AIPKI VII
Manado, pertanyaan tentang kapitasi mengemuka dari Dekanat FK Universitas Islam Malang.
Pertanyaan ini dijawab oleh dr. Pandu dan dinyatakan bahwa kapitasi hanya sebesar
Rp2.600,00 dan telah menjadi keputusan menteri keuangan.
Besar iuran telah disesuaikan dengan besarnya anggaran dana kesehatan yang ideal yaitu
sebesar 5% dari APBN. Jumlah APBN sekitar 1800 Triliyun, berarti idealnya anggaran
kesehatan sebesar Rp 90 T. Tetapi pada kenyataannya, anggaran kesehatan kita saat ini belum
mencapai 5% APBN, yaitu hanya sekitar Rp 25 T. Dibutuhkan pertimbangan yang matang


untuk memutuskan berapa besar iuran yang akan dikenakan karena besarnya ketersediaan
dana akan mempengaruhi kualitas dari pelayanan kesehatan terhadap masyarakat kelak.
Sistem pembayaran kapitasi merupakan Prospective Payment System. Sistem
pembayaran kapitasi ini memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Kelebihan dari sistem
pembayaran kapitasi seperti layaknya pada siste, Jaminan Kesehatan Nasional adalah dokter
akan lebih terpacu untuk membuat rencana-rencana strategis dalam menanggulangi penyakit
di daerahnya. Artinya, akan ada peningkatan dalam pelayanan promotif dan preventif jika
sistem pembayaran kapitasi diberlakukan. Karena semakin sedikit biaya yang dikeluarkan
untuk pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif tingkat pertama) maka semakin besar
selisih antara biaya pengobatan dan kapitasi yang dibayarkan. Selisih ini merupakan hak bagi
PPK yang nantinya dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan PPK itu sendiri
maupun untuk mengembangkan lagi program promosi kesehatan di daerah tersebut sehingga
angka kesakitan dapat terus ditekan.
Dengan adanya sistem pembayaran kapitasi, maka anggaran untuk pelayanan kesehatan
sudah pasti akan tersedia. Tidak hanya pada sistem pembayaran kapitasi saja tapi secara
keseluruhan, sistem JKN ini memang dibuat untuk mengatasi kekhawatiran dokter dalam
masalah biaya pengobatan. Selain itu, sistem pembayaran kapitasi ini juga diharapkan dapat
meningkatan efisiensi serta efektifitas pelayanan kesehatan karena setiap dokter dituntut
untuk dapat menangani pasien secara tepat karena jika tidak, maka PPK lah yang akan
dituntut pertanggungjawabannya. Pelayanan kesehatan yang diberikan juga sesuai standar,
tidak lebih dan tidak kurang. Jika sistem pembayaran kapitasi ini berjalan sesuai dengan yang
diharapkan maka akan tercipta hubungan mutualisme antara PPK dan masyarakat.
Namun, ada beberapa hal yang perlu diawasi dalam pelaksanaan sistem pembayaran
kapitasi.Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah bagaimana jika besar insentif yang
diterima tidak sepadan dengan kebutuhan biaya pelayanan kesehatan. Dikhawatirkan, hal
seperti ini dapat memicu terjadinya underutilisasi dan juga dapat berpengaruh pada PPK
untuk lebih cenderung merujukkarena PPK takut rugi. Dibutuhkan PPKyang betul-betul
memahami sistem JKN secara keseluruhan dibutuhkan agar sistem ini dapat berjalan dengan
optimal. Pengawasan yang ketat terhadap berjalannya pelayanan sesuai dengan standar juga
diperlukan, seperti mengenakan sanki bagi dokter pelayanan primer yang merujuk kasus yang
seharusnya dapat ditangani sampai tuntas.


Perubahan lain dalam sistem pembiayaan kesehatan yang baru nanti yaitu, jika sekarang
biaya yang dikenakan dihitung per prosedur (INA-CBGs), maka nanti biaya yang akan
dikenakan sesuai dengan kasus. Jadi dokter nantinya harus menangani pasien dengan budget
yang telah diatur sesuai dengan kasusnya. Sehingga jika pasien masih belum sembuh
sementara budget sudah habis, maka dokter tersebut harus mengeluarkan uang tambahan di
luar budget tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas dokter
dalam menangani pasien.

Sumber: Slide Kuliah dr. Fahmi Idris mengenai Sistem Kesehatan Nasional
7


Persiapan SJSN sampai saat ini
Pada Januari 2014 nanti BPJS Kesehatan akan mulai beroperasi. Jika pada tahun 2007
health insurance coverage di Indonesia sekitar 15%, pada tahun 2011 sekitar 60%, saat ini
sudah sekitar 80% yang telah tercakup jaminan kesehatan. Pada pelaksanaannya nanti, semua
fasilitas kesehatan yang dimiliki oleh pemerintah wajib untuk berpartisipasi sebagai PPK.
Tugas besar untuk BPJS adalah mengubah paradigma masyarakat tentang asuransi kesehatan.
Pun dengan mindset para tenaga kesehatan yang selama ini dominan pada pelayanan kuratif
saja. Perlu ditekankan bahwa dengan sistem kesehatan nasional yang baru nanti, tujuan yang

7
Bahan Kuliah Dr. dr. Fahmi Idris, M.Kes dalam Perkuliahan Blok 21 Program Pendidikan Dokter Universitas
Sriwijaya, Kelas 2010.


diinginkan adalah untuk mencegah peserta yang sehat menjadi sakit dan memberikan
pengobatan yang optimal untuk peserta yang sakit.
Masalah lain yang masih menjadi permasalahan kesehatan di Indonesia yaitu, disparitas.
Kesenjangan pelayanan kesehatan di Indonesia baik dari segi kuantitas SDM yang tidak
tersebar merata, fasilitas, tingkat sosial ekonomi masyarakat serta tingginya angka morbiditas
dan rendahnya kualitas kesehatan masyarakat harus dibenahi secara bertahap guna
mendukung berjalannya JKN ini agar mampu mencapai tujuannya untuk menyehatkan
Indonesia.
Pertanyaan tentang perkembangan sistem Jaminan Kesehatan Nasional juga dibahas di
Rapat Komisi I Muktamar AIPKI VII. Pada pembahasan terungkap bahwa penyediaan dokter
layanan primer menjelang diluluskannya dokter-dokter layanan primer sesuai amanat UU No
20 tahun 2013 akan dilaksanakan melalui pelatihan terhadap dokter-dokter praktik umum.

Penutup
Adanya strata baru pendidikan dokter layanan primer akan berimplikasi langsung
terhadap pola pikir mahasiswa kedokteran, utamanya, dalam menentukan dan memilah-milah
rancangan masa depan. Disahkannya UU No 20 tahun 2013 sejak 6 Agustus 2013 telah
membawa dampak yang sistematis pada sistem pendidikan kedokteran di Indonesia.
Peraturan perundangan dan peraturan teknis turunan UU No 20 tahn 2013 yang secara
fungsional penting untuk mengatur detail terkait penyelenggaraan dokter layanan primer
sangat ditunggu karena memang secara substansial Undang-undang tak mengatur hal-hal
teknis. Oleh sebab itu, mahasiswa kedokteran seharusnya sangat proaktif untuk bisa
mengawal kebijakan-kebijakan turunan berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden,
serta peraturan teknis seperti Keputusan Menteri atau Keputusan Dirjen dalam Kementerian
Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait teknis dan detail
penyelenggaraan Pendidikan Dokter Layanan Primer.
Peraturan Peralihan UU No 20 tahun 2013 pada pasal 63 menyebutkan bahwa
pemerintah harus membuat peraturan pelaksanaan harus diundangkan paling lambat dua
tahun sejak diundangkannya UU No 20 tahun 2013, yang berarti 6 Agustus 2015. Sementara
itu, sesuai dengan Pasal 60, rumah sakit pendidikan harus menyesuaikan setiap ketentuan
undang-undang paling lama hingga 3 tahun sejak diundangkannya UU No 20 tahun 2013,
yaitu 6 Agustus 2016. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 59 ayat 1, fakultas kedokteran harus


menyesuaikan setiap ketentuan undang-undang paling lama hingga 5 tahun sejak
diundangkannya UU No 20 tahun 2013, yakni 6 Agustus 2018.

Anda mungkin juga menyukai