Anda di halaman 1dari 29

1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1
BAB I : PENDAHULUAN 2
BAB II : SKENARIO KASUS 3
BAB III : PEMBAHASAN
1. KARSINOMA KOLON 4
2. ASPEK HUKUM 5
3. PROSEDUR TINDAKAN MEDIS 9
4. INFORMED CONSENT 13
5. REKAM MEDIS 16
6. ASPEK ETIKA 20
7. DAMPAK HUKUM 27
BAB IV : KESIMPULAN 28
BAB V : DAFTAR PUSTAKA 29





2

BAB I
PENDAHULUAN
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pola pikir masyarakat
sekarang ini pun kian maju oleh karena mudahnya pengaksesan informasi, termasuk informasi
kesehatan. Hal itu membuat sebagian besar masyarakat menjadi lebih kritis dalam menilai setiap
tindakan medis yang diperolehnya. Sehingga hubungan dokter-pasien yang pada awalnya adalah
hubungan yang bersifat paternalistic lambat laun berubah menjadi hubungan yang kontraktual di
mana dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas, yang meskipun memiliki perbedaan
kapasitas dalam membuat keputusan, tetapi saling menghargai. Dokter akan mengemban
tanggung jawab atas segala keputusan teknis, sedangkan pasien tetap memegang kendali
keputusan penting, terutama yang terkait dengan nilai moral dan gaya hidup pasien. Hubungan
kontrak mengharuskan terjadinya pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya
kesepakatan, namun juga memberikan peluang kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan
keputusan kepada dokter.






3

BAB II
SKENARIO KASUS

Seorang pasien berumur 62 tahun datang ke rumah sakit dengan karsinoma kolon yang
telah terminal. Pasien masih cukup sadar, berpendidikan cukup tinggi. Ia memahami benar posisi
kesehatannya dan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini. Ia juga memiliki
pengalaman pahit sewaktu kakaknya menjelang ajalnya dirawat di ICU dengan peralatan
bermacam-macam tampak sangat menderita, dan alat-alat tersebut tampaknya hanya
memperpanjang penderitaannya saja. Oleh karena itu, ia meminta kepada dokter apabila dia
mendekati ajalnya agar menerima terapi yang minimal saja (tanpa antibiotika, tanpa peralatan
ICU, dan lain-lain), dan ia ingin mati dengan tenang dan wajar. Namun, ia tetap setuju apabila ia
menerima obat-obatan penghilang rasa sakit bila memang dibutuhkan.









4

BAB III
PEMBAHASAN
KARSINOMA KOLON
Karsinoma kolon atau kanker usus besar adalah suatu bentuk keganasan yang terjadi pada
kolon, rektum, dan appendiks. Di negara maju, kanker ini menduduki peringkat ke tiga yang
paling sering terjadi, dan menjadi penyebab kematian yang utama di dunia barat.
Mula-mula gejalanya tidak jelas, seperti berat badan menurun (sebagai gejala umum
keganasan) dan kelelahan yang tidak jelas sebabnya. Setelah berlangsung beberapa waktu
barulah muncul gejala-gejala lain yang berhubungan dengan keberadaan tumor dalam ukuran
yang bermakna di usus besar. Makin dekat lokasi tumor dengan anus biasanya gejalanya makin
banyak. Bila kita berbicara tentang gejala tumor usus besar, gejala tersebut terbagi tiga, yaitu
gejala lokal, gejala umum, dan gejala penyebaran (metastasis).
Gejala lokalnya adalah, antara lain :
Perubahan kebiasaan buang air.
Perubahan frekuensi buang air, berkurang (konstipasi) atau bertambah (diare)
Sensasi seperti belum selesai buang air, (masih ingin tapi sudah tidak bisa keluar) dan
perubahan diameter serta ukuran kotoran (feses). Keduanya adalah ciri khas dari kanker
kolorektal
Perubahan wujud fisik kotoran/feses
Feses bercampur darah atau keluar darah dari lubang pembuangan saat buang air besar,
feses bercampur lender.
Feses berwarna kehitaman, biasanya berhubungan dengan terjadinya perdarahan di
saluran pencernaan bagian atas.
Timbul rasa nyeri disertai mual dan muntah saat buang air besar, terjadi akibat sumbatan
saluran pembuangan kotoran oleh massa tumor.
Adanya benjolan pada perut yang mungkin dirasakan oleh penderita.
Timbul gejala-gejala lainnya di sekitar lokasi tumor, karena kanker dapat tumbuh
mengenai organ dan jaringan sekitar tumor tersebut, seperti kandung kemih (timbul darah pada
5

air seni, timbul gelembung udara, dan lain-lain), vagina (keputihan yang berbau, muncul lendir
berlebihan, dan lain-lain). Gejala-gejala ini terjadi belakangan, menunjukkan semakin besar
tumor dan semakin luas penyebarannya.
ASPEK HUKUM
(PERMENKES No.1419/MENKES/PER/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter
dan Dokter Gigi pasal 17) Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahlu harus memberika penjelasan kepada pasien
tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan dan mendapat persetujuan pasien
Pasien berhak menolak tindakan yang dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri
pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang
jelas tentang penyakitnya.
Pemberian obat-obatan juga harus dengan persetujuan pasien dan bila pasien meminta
untuk dihentikan pengobatan, maka terapi harus dihentikan kecuali dengan penghentian terapi
akan mengakibatkan keadaan gawat darurat atau kehilangan nyawa pasien
Dalam Pedoman Penegakkan Disiplin Kedokteran tahun 2008 seorang dokter dapat
dikategorikan melakukan bentuk pelanggaran disiplin kedokteran apabila tidak memberikan
penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarganya
dalam melakukan praktik kedokteran.


6

Hak Pasien atas Informasi Penyakit dan Tindakan Medis dari Aspek Hukum Kedokteran.
Merima pelayanan praktik kedokteran mempunyai hak mendapatkan penjelasan secara
lengkap tentang tindakan medis yang akan diterimanya (Undan-Undang No. 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran pasal 52). Penjelasan tersebut sekurang-kurangnya mencakup :
1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis
2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
3. Alternatif tindakan lain dan resikonya
4. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. (Pasal 45 ayat 3).
Dalam praktek kedokteran dikenal dua macam euthanasia yaitu:
a. Euthanasia pasif: Ialah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan
memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Alasan yang lazim dikemukakan
dokter ialah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan
pasien, tidak mengurangi keadaan sakitnya yang memang sudah parah.
b. Euthanasia pasif:
Tindakan dokter berupa penghentian pengobatan pasien yang menderita sakit keras,
yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian
pemberian obat ini berakibat mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang
dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup tinggi, sedangkan fungsi pengobatan
menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
7

Tindakan upaya dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut
penelitian medis masih mungkin bisa sembuh. Umumnya alasannya adalah
ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi padahal biaya pengobatannya yang
dibutuhkan sangat tinggi.


Secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk
euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien atau korban itu sendiri
(voluntary euthanasia).


Pasal 344 KUHP. Yang menyatakan : Barang siapa merampas nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan
pidana penjara palinglama dua belas tahun.

Maka disimpulkan, bahwa pembunuhan atas
permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam
konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang
dan tidak dimungkinkan dilakukan pengakhiran hidup seseorang sekalipun atas permintaan
orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai
perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Dalam
ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, Barang siapa sengaja merampas nyawa
orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP menyatakan, Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih
dulu merampas nyawa oranglain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati
atau pidana penjaraseumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.


Pasal 356 (3) KUHP Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang
berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum.
8

Pasal 304 KUHP dinyatakan, Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau
membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan
kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
denda paling banyak tiga ratus rupiah

.
Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut
dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun.
KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya
euthanasia aktif dan dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja
menghilangkan nyawa seseorang. Akibatnya, dokter sering dipersalahkan dalam tindakan
euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah
tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi
penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum
diketahui pengobatannya.
Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar
bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang
sangat menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP.
Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia antara lain 338, 340, 344, 345, dan 359.
Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara lain pasal 1313,
1314, 1315, dan 1319 KUH Perdata. Secara formal tindakan euthanasia di Indonesia belum
memiliki dasar hukum sehingga selalu terbuka kemungkinan terjadinya penuntutan hukum
terhadap euthanasia yang dilakukan.
9

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berperan dalam menghadapi perkembangan iptekdok, telah
menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai Pernyataan Dokter
Indonesia tentang Informed Consent. Disebutkan di sana, manusia dewasa dan sehat rohani
berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak
berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk
kepentingan pasien itu sendiri. Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai Pernyataan
Dokter Indonesia tentang Mati. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan
dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap
dokter dan rumah sakit masih memiliki pandangan dan kebijakan yang berlainan.
Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 dan 344
KUHP.

Dalam hal ini terdapat apa yang disebut concursus idealis yang diatur dalam pasal 63
KUHP, yang menyebutkan bahwa: (1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan
pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang
dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (2) Jika suatu perbuatan yang
masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus,
maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas lex
specialis derogat legi generalis, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan yang
sifatnya umum.
PROSEDUR TINDAKAN MEDIS
Perawatan penderita tergantung pada tingkat staging kanker itu sendiri. Terapi akan jauh
lebih mudah bila kanker ditemukan pada stadium dini. Tingkat kesembuhan kanker stadium 1
dan 2 masih sangat baik. Namun bila kanker ditemukan pada stadium yang lanjut, atau
10

ditemukan pada stadium dini dan tidak diobati, maka kemungkinan sembuhnya pun akan jauh
lebih sulit.
Klasifikasi menurut kanker usus besar menurut Dukes :
Stadium 1 : Kanker terjadi di dalam dinding kolon
Stadium 2 : Kanker telah menyebar hingga ke lapisan otot kolon
Stadium 3 : Kanker telah menyebar ke kelenjar-kelenjar limfa
Stadium 4 : Kanker telah menyebar ke organ-organ lain.
Tujuan pengobatan kanker ada dua, yaitu kuratif dan paliatif. Pengobatan kuratif
merupakan upaya yang ditujukan untuk mencapai kesembuhan penyakit kanker. Sementara
pengobatan paliatif ditujukan pada penderita kanker yang sudah tidak memungkinkan kembali
dicapainya kesembuhan.
Di antara pilihan terapi untuk penderitanya, pilihan operasi masih menduduki peringkat
pertama, dengan ditunjang oleh kemoterapi dan/atau radioterapi (mungkin diperlukan).
Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan abdomen dan rektal
Pemeriksaan Penunjang meliputi :
Pengujian darah samar
Enema barium: tumor dan kelainan lain pada kolon memberikan gambaran
bayangan gelap pada gambaran rontgen.
Kolonoskopi.
Biopsi: ditemukan adenokarsinoma.
11

Ultrasonografi: melihat metastasis kanker ke kelenjar getah bening di hati
dan abdomen.
CT scan
Pemeriksaan antigen karsinoembrionik (CEA)
Indikasi / Penatalaksanaan Medis
Pengobatan pada pasien tergantung pada tahap penyakit dan komplikasi yang
berhubungan. Endoskopi, ultrasonografi dan laparoskopi telah terbukti berhasil dalam
pentahapan kanker kolorektal. Pengobatan medis untuk kanker kolorektal paling sering dalam
bentuk pendukung atau terapi adjuvan. Terapi adjuvan biasanya diberikan selain pengobatan
bedah. Pilihan mencakup kemoterapi, terapi radiasi atau imunoterapi.
Medika Mentosa
1. Kemoterapi
- 5-flurouracil merupakan obat pilihan untuk kemoterapi karsinoma kolon.


- Lemavisole serta leucovorin digunakan untuk pasien stadium 3 pasca
operasi.
2. Agen biologic
Contoh obat yang digunakan adalah bevacizumab (Avastin) dan Panitumumab
(Vectibix).
3. Radioterapi
Peran radioterapi dalam pengobatan kanker kolon masih terbatas tetapi radioterapi
tetap menjadi modalitas terapi standar. Untuk memperkecil tumor, mencapai hasil yang
lebih baik dari pembedahan, dan untuk mengurangi resiko kekambuhan. Untuk tumor
12

yang tidak dioperasi atau tidak dapat disekresi, radiasi digunakan untuk menghilangkan
gejala secara bermakna
4. Terapi simptomatik
Termasuk antibiotic, analgesik dan lain-lain. Antara analgesik yang dugunakan
adalah golongan non steroid seperti aspirin dan ibuprofen dan golongan opiod seperti
morfin, fentanil, oxycodone,codein dan tramadol. Pemberian dimulai dengan analgesik
lemah dosis rendah dan ditingkatkan sesuai kebutuhan pasien.
Non Medika Mentosa
1. Pembedahan
Pembedahan masih merupakan terapi pilihan untuk memperpanjang kehidupan
pasien. Prosedur pembedahan pilihan adalah sebagai berikut (Doughty & Jackson,
1993) :
Reseksi segmental dengan anostomosis (pengangkatan tumor dan porsi
usus pada sisi pertumbuhan, pembuluh darah dan nodus limfatik)
Reseksi abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid 12 isbandin
(pengangkatan tumor dan porsi sigmoid dan semua 12isban serta sfingter anal )
Kolostomi sementara diikuti dengan reseksi segmental dan anostomosis
serta reanastomosis lanjut dari kolostomi (memungkinkan dekompresi usus awal dan
persiapan usus sebelum reseksi)
Kolostomi 12isbandin atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi obstruksi
yang tidak dapat direseksi).


2. Diet
13

Berdasarkan kajian, pasien yang mengamalkan pemakanan daging merah, biji-bijian,
lemak dan makanan bergula tinggi lebih rentan untuk kambuh 13 isbanding pasien yang
mengamalkan diet tinggi serat dan protein.
INFORMED CONSENT
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara
dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan
dilakukan terhadap pasien.
Informed consent memiliki tiga elemen, yaitu:
1. Threshold elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke
arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini
diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk
membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki
kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat
kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang
reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan
berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia
telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap
tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga
kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.
14

2. Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding
(pemahaman).
Pengertian berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga
medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat
mencapai pemahaman yang adekuat.
Dalam hal ini, seberapa baik informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari
3 standar, yaitu :
o Standar Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan
bagaimana BIASANYA dilakukan dalam komunitas tenaga medis.
Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan
nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang tidak bermakna (menurut medis) tidak
diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.
o Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi,
sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat
keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis
memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.
15

o Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap
cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.
3. Consent elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan
authorization (persetujuan).
Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien
juga harus bebas dari tekanan yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah
akan dibiarkan apabila tidak menyetujui tawarannya.
Consent dapat diberikan :
a. Dinyatakan (expressed)
o Dinyatakan secara lisan
o Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan
bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko
mempengaruhi kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan
tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh
persetujuan tertulis.
b. Tidak dinyatakan (implied)
16

Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan
tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.
Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang
paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari.
Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan
lengannya ketika akan diambil darahnya.
REKAM MEDIS
Dalam pelayanan kedokteran/kesehatan, terutama yang dilakukan para dokter baik di
rumah sakit maupun praktik pribadi, peran pencatatan rekam medis (RM) sangat penting dan
sangat melekat dengan kegiatan pelayanan tersebut. Dengan demikian, ada ungkapan bahwa
rekam medis adalah orang ketiga pada saat dokter menerima pasien. Hal tersebut dapat dipahami
karena catatan demikian akan berguna untuk merekam keadaan pasien, hasil pemeriksaan serta
tindakan pengobatan yang diberikan pada waktu itu. Catatan atau rekaman itu menjadi sangat
berguna untuk mengingatkan kembali dokter tentang keadaan, hasil pemeriksaan, dan
pengobatan yang telah diberikan bila pasien datang kembali untuk berobat ulang setelah
beberapa hari, beberapa bulan, bahkan setelah beberapa tahun kemudian. Dengan adanya rekam
medis, ia bisa mengingat atau mengenali keadaan pasien saat diperiksa sehingga lebih mudah
melanjutkan strategi pengobatan dan perawatannya. Namun, kini makin dipahami bahwa peran
rekam medis tidak terbatas pada asumsi yang dikemukakan di atas, tetapi jauh lebih luas. Oleh
karena itu, para tenaga kesehatan masa kini harus memahami dengan baik hal-hal yang berkaitan
dengan rekam medis.
17

Dalam Undang-undang Kesehatan, walaupun tidak ada bab yang mengatur tentang rekam
medis secara khusus, secara implisit Undang-undang ini jelas membutuhkan adanya rekam medis
yang bermutu sebagai bukti pelaksanaan pelayanan kedokteran/ kesehatan yang berkualitas.
Kewajiban dokter untruk membuat rekam medis dalam pelayanan kesehatan dipertegas
dalam UUPK seperti terdapat pada pasal 46: (1). Setiap dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis. (2) Rekam medis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan
kesehatan. Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas
yang memberikan pelayanan atau tindakan. Selanjutnya dalam pasal 79 diingatkan tentang sanksi
hukum yang cukup berat, yaitu denda paling banyak Rp.50.000.000,- bila dokter terbukti sengaja
tidak membuat rekam medis.
Dalam Permenkes No. 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang RM, disebut pengertian RM
adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.
Isi RM
Di rumah sakit didapat dua jenis RM, yaitu:
RM untuk pasien rawat jalan
RM untuk pasien rawat inap
Untuk pasien rawat jalan, termasuk pasien gawat darurat, RM memiliki informasi pasien,
antara lain:
a. Identitas dan formulir perizinan (lembar hak kuasa)
18

b. Riwayat penyakit (anamnesis) tentang :
keluhan utama
riwayat sekarang
riwayat penyakit yang pernah diderita
riwayat keluarga tentang penyakit yang mungkin diturunkan
c. Laporan pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan laboratorium, foto rontgen,
scanning, MRI, dan lain lain.
d. Diagnosis dan/atau diagnosis banding
e. Instruksi diagnostik dan terapeutik dengan tanda tangan pejabat kesehatan yang
berwenang.
Untuk rawat inap, memuat informasi yang sama dengan yang terdapat dalam rawat jalan,
dengan tambahan :
Persetujuan tindakan medik
Catatan konsultasi
Catatan perawat dan tenaga kesehatan lainnya
Catatan observasi klinik dan hasil pengobatan
Resume akhir dan evaluasi pengobatan.
Secara umum kegunaan RM adalah:
1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut
ambil bagian dalam memberi pelayanan, pengobatan dan perawatan pasien. Dengan
membaca RM, dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang terlibat dalam merawat pasien
(misalnya, pada pasien rawat bersama atau dalam konsultasi) dapat mengetahui penyakit,
19

perkembangan penyakit, terapi yang diberikan, dan lain-lain tanpa harus berjumpa satu sama
lain. Ini tentu merupa-kan sarana komunikasi yang efisien.
2. Sebagai dasar untuk perencanaan pengobatan/perawatan yang harus diberikan
kepada pasien. Segala instruksi kepada perawat atau komunikasi sesama dokter ditulis agar
rencana pengobatan dan perawatan dapat dilaksanakan.
3. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan
pengobatan selama pasien berkunjung/dirawat di rumah sakit. Bila suatu waktu diperlukan
bukti bahwa pasien pernah dirawat atau jenis pelayanan yang diberikan serta perkembangan
penyakit selama dirawat, tentu data dari RM dapat mengungkapkan dengan jelas.
4. Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan
kepada pasien. Baik buruknya pelayanan yang diberikan tercermin dari catatan yang ditulis
atau data yang didapati dalam RM. Hal ini tentu dapat dipakai sebagai bahan studi ataupun
evaluasi dari pelayanan yang diberikan.
5. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter dan
tenaga kesehatan lainnya. Bila timbul permasalahan (tuntutan) dari pasien kepada dokter
maupun rumah sakit, data dan keterangan yang diambil dari RM tentu dapat diterima semua
pihak. Di sinilah akan terungkap aspek hukum dari RM tersebut. Bila catatan dan data terisi
lengkap, RM akan menolong semua yang terlibat. Sebaliknya, bila catatan yang ada hanya
sekedarnya saja, apalagi kosong pasti akan merugikan dokter dan rumah sakit. Penjelasan
yang bagaimanapun baiknya tanpa bukti tertulis, pasti sulit dipercaya.
6. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian
dan pendidikan. Setiap penelitian yang melibatkan data klinik pasien hanya dapat diper-
20

gunakan bila telah direncanakan terlebih dahulu. Oleh karena itu, RM di rumah sakit
pendidikan biasanya tersusun lebih rinci karena sering digunakan untuk bahan penelitian.
7. Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medik pasien.
Bila pasien mau dipulangkan, bagian administrasi keuangan cukup melihat RM, dan segala
biaya yang harus dibayar pasien/keluarga dapat ditentukan.
8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan
pertanggungjawaban dan laporan.
Data dan infomasi yang didapat dari RM sebagai bahan dokumentasi, bila diperlukan
dapat digunakan sebagai dasar untuk pertanggungjawaban atau laporan kepada pihak yang
memerlukan masa mendatang.
ASPEK ETIKA
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu sikap
dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-buruk
dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak
jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori deontologi dan
teleologi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, Deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya
suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri (I Kant), sedangkan teleologi
mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat hasilnya atau akibatnya (D
Hume, J Bentham, JS Mills). Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi dan
budaya, sedangkan teleologi lebih ke arah penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi)
kepada azas manfaat (aliran utilitarian).
21

Etika adalah cabang ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu sikap
atau perbuatan dilihat dari moralitas. Etik deskriptif yaitu bidang sains yang mempelajari
moralitas merupakan pengatuan empiris tentang moralitas dan menjelaskan pandangan moral
tentang isu-isu yang terjadi pada ketika itu. Etika sendiri terbagi kepada :
Etika normatif : Penegakan terhadap apa yang benar secara moral dan mana yang salah
secara moral dalam kaitannya.
Etika metaetik: Memperlihatkan analisis dari kedua konsep moral yang telah disebutkan.
1

Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa: seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi. Jelasnya bahwa seorang
dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai
dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama.
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup insani. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk
memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya seorang
dokter tidak boleh melakukan:
1. Menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus),
2. Mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak
mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).

Sumpah dokter yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang berisikan
kewajipan-kewajipan dokter dalam berprilaku dan bersikap atau seperti code of conduct bagi
dokter.
1

22

Kode etik kedokteran Indonesia (KODEKI) dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik
Kedokteran Internasional yang berunsurkan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien,
kewajipan terhadap sesame dan kewajipan terhadap diri sendiri.
KODEKI berisikan:
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1:
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 2:
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi yang tertinggi.
Pasal 3:
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu
yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4:
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Pasal 5:
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya
diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
Pasal 6:
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat
menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7:
23

Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya.
Pasal 7a:
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b:
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan
berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter
atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien
Pasal 7c:
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
Pasal 7d:
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.
Pasal 8:
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat
dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan
pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 9:
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya
serta masyarakat, harus saling menghormati.
2
24


KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
Pasal 10:
Setiap dokten wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya
untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien kepada dokten yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11:
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan
dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
Pasal 12:
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13:
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali
bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
2

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
Pasal 14:
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 15:
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan persetujuan
atau berdasarkan prosedur yang etis.
2
25


KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI
Pasal 16:
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
Pasal 17:
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan.
2

Bioetika adalah salah satu cabang dari etik normatif di atas. Bioetik atau Biomedical
ethics adalah etik yang berhubungan dengan praktek kedokteran dan atau penelitian di bidang
biomedis.
Beberapa contoh pertanyaan di dalam bioetika adalah : Apakah seorang dokter
berkewajiban secara moral untuk memberitahukan kepada seorang yang berada dalam stadium
terminal bahwa ia sedang sekarat? Apakah membuka rahasia kedokteran dapat dibenarkan secara
moral? Apakah aborsi ataupun euthanasia dapat dibenarkan secara moral?
Pertanyaan bioetik juga dapat menyangkut tentang dapat dibenarkan atau tidaknya suatu
hukum dilihat dari segi etik, seperti: Apakah dapat dibenarkan membuat suatu peraturan
perundang-undangan yang mewajibkan seseorang untuk menerima tindakan medis yang bersifat
life-saving, meskipun bertentangan dengan keinginannya? Apakah dapat dibenarkan secara etik
apabila dibuat suatu hukum yang mengharuskan memasukkan seseorang sakit jiwa ke dalam
rumah sakit, meskipun bertentangan dengan keinginan pasien ? Apakah dapat dibenarkan
membuat suatu peraturan yang membolehkan tindakan medis apa saja yang diminta oleh pasien
kepada dokternya, meskipun sebenarnya tidak ada indikasi ?
26

Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, selain
mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar di atas, keputusan hendaknya juga
mempertimbangkan hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan juga
pelanggaran atas kebutuhan dasar di atas terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.
Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu
keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules dibawahnya.
Ke-4 kaidah dasar moral tersebut adalah :
1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian
melahirkan doktrin informed consent;
2. Princip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke
kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja,
melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya
(mudharat);
3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk
keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai "primum non nocere" atau "above all do no
harm".
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).
Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka), privacy
(menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan fidelity
(loyalitas dan promise keeping).
27

Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus dijadikan pedoman dalam mengambil
keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai panduan dalam
bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct). Sebagaimana diuraikan pada pendahuluan,
nilai-nilai dalam etika profesi tercermin di dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran.
Sumpah dokter berisikan suatu "kontrak moral" antara dokter dengan Tuhan sang penciptanya,
sedangkan kode etik kedokteran berisikan "kontrak kewajiban moral" antara dokter dengan peer-
group-nya, yaitu masyarakat profesinya.
DAMPAK HUKUM
Euthanasia dari segi hukum yang diantaranya dibahas pada Pasal 338, 340, 344, 345, dan
359 KUHP, tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang dan tidak dimungkinkan dilakukan
pengakhiran hidup seseorang sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut
tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana
bagi siapa yang melanggar larangan tersebut Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan
eutanasia. Secara formal tindakan euthanasia di Indonesia belum memiliki dasar hukum sehingga
selalu terbuka kemungkinan terjadinya penuntutan hukum terhadap euthanasia yang dilakukan.






28

BAB IV
KESIMPULAN

Seorang dokter itu haruslah senantiasa menerapkan etika profesi kedokteran yang
berlandaskan konsep dasar moral yaitu prinsip otonomi, prinsip beneficence, prinsip non-
maleficence, dan prinsip justice. Suatu tindakan medis terhadap pasien tanpa memperoleh
persetujuan terlebih dahulu dari pasien tersebut dapat dianggap sebagai penyerangan atas hak
orang lain atau melanggar hukum.
Namun, euthanasia dari segi hukum yang antaranya dibahas pada Pasal 338, 340, 344,
345, dan 359, tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang dan tidak dimungkinkan dilakukan
pengakhiran hidup seseorang sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut
tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana
bagi siapa yang melanggar larangan tersebut Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan
euthanasia.






29

BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta; 2007.
2. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC; 2007.
3. Samil RS. Etika Kedokteran Indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2001.
4. Daliyono. Bagaimana dokter berpikir dan bekerja. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama;
2006.
5. Hubungan dokter dan pasien. Diunduh dari :
http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/06/hubungan-dokter-pasien.html. Diakses
pada 22 Oktober 2014.
6. Referat Karsinoma Kolon. Diunduh dari: http://www.scribd.com/doc/49591109. Diakses
pada 22 Oktober 2014.

Anda mungkin juga menyukai