Anda di halaman 1dari 23

Case Report Session

HIFEMA

OLEH :
Fadhil Alfino Azmi

1010312024

Harris Putra Reza

1010312036

Mailia Ulfa

0910312118

PRESEPTOR
Dr. Hendriati, Sp. M

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Anatomi Bola Mata
Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh
tiga lapisan. Dari luar ke dalam, lapisanlapisan tersebut adalah : (1)
sklera/kornea, (2) koroid/badan siliaris/iris, dan (3) retina. Sebagian besar
mata dilapisi oleh jaringan ikat yang protektif dan kuat di sebelah luar, sklera,
yang membentuk bagian putih mata1.

Bola mata terbenam dalam corpus adiposumorbitae, namun terpisah darinya oleh
selubung fascia bola mata. Bola mata terdiri atas tiga lapisan dari luar ke dalam, yaitu
:

1.Tunica Fibrosa
Tunica fibrosa terdiri atas bagian posterior yang opaque atau sklera dan
bagian anterior yang transparan atau kornea.Sklera merupakan jaringan ikat padat
fibrosa dan tampak putih. Daerah ini relatif lemah dan dapat menonjol kedalam bola
mata oleh perbesaran cavum subarachnoidea yang mengelilingi nervus opticus.Jika

tekanan intraokular meningkat, lamina fibrosa akan menonjol keluar yang


menyebabkan discus menjadi cekung bila dilihat melalui oftalmoskop(1).
Sklera juga ditembus oleh n. Ciliaris dan pembuluh balik yang terkait yaitu
vv.vorticosae. Sklera langsung tersambung dengan kornea di depannya pada batas
limbus. Kornea yang transparan, mempunyai fungsi utama merefraksikan cahaya
yang masuk ke mata;. Tersusun atas lapisan-lapisan berikut ini dari luar ke dalam
sama dengan: (1) epitelkornea (epithelium anterius) yang bersambung dengan epitel
konjungtiva. (2) substansi apropria, terdiri atas jaringan ikat transparan. (3) lamina
limitans posterior dan (4) endothel (epithelium posterius) yang berhubungan dengan
aqueous humour.

2.Lamina vasculosa
Dari belakang ke depan disusun oleh sama dengan : (1) choroidea (terdiri atas
lapis luar berpigmen dan lapis dalam yang sangat vaskular) (2) corpus ciliare
(kebelakang bersambung dengan choroidea dan ke anterior terletak di belakang tepi
perifer iris) terdiri atas corona ciliaris, procesus ciliaris dan musculus ciliaris (3) iris
(adalah diafragma berpigmen yang tipis dan kontraktil dengan lubang di pusatnya
yaitu pupil) iris membagi ruang diantara lensa dan kornea menjadi bilik mata depan
dan bilik mata belakang, serat-serat otot iris bersifat involunter dan terdiri atas seratseratsirkuler dan radier1.
Bilik mata depan terletak antara persambungan kornea perifer dengan iris.
Pada bagian ini, terdapat jalinan trabekula yang dasarnya mengarah ke badan siliar.
Bagian dalam jalinan ini yang menghadap ke bilik mata depan dikenal sebagai jalinan
uvea. Bagian luar jalinan ini yang terletak dekat kanalis schlemm dikenal sebagai
jalinan korneoskleral. Serat-serat longitudinal otot siliaris menyisip ke dalam jalinan
trabekula tersebut.Kanal schlemn merupakan kapiler yang dimodifikasi yang
mengelilingi kornea. Dindingnya terdiri dari satu lapisan sel. Pada dinding sebelah
dalam terdapat lubang lubang sebesar 2 U, sehingga terdapat hubungan langsung
antara trabekula dan kanal schlemn. Dari kanal schlemn, keluar saluran kolektor, 20

30 buah, yang menuju ke pleksus vena di dalam jaringan sclera dan episkelera dan
vena siliaris anterior di badan siliar.

Anatomi Bilik Mata Depan dan Jaringan Sekitar

3.Tunica sensoria (retina)


Retina terdiri atas pars pigmentosa luar dan pars nervosa di dalamnya.
Permukaan luarnya melekat pada choroidea dan permukaan dalamnya berkontak
dengan corpus vitreum. Tiga perempat posterior retina merupakan organ reseptornya.
Ujung anterior membentuk cincin berombak, yaitu ora serrata, di tempat inilah
jaringan syaraf berakhir. Bagian anterior retina bersifat non-reseptif dan hanya terdiri
atas sel-sel pigmen dengan lapisan epitel silindris di bawahnya. Bagian anterior retina
ini menutupi procesus ciliaris dan bagian belakang iris.

4. Vaskularisasi Bola Mata


Pemasok utama orbita dan bagian-bagiannya berasal dari arteri ophtalmica,
yaitu cabang besar pertama arteri karotis interna bagian intrakranial. Cabang ini
berjalan di bawah nervus optikus dan bersamanya melewati kanalis optikus menuju
ke orbita. Cabang intraorbital pertama adalah arteri sentralis retina, yang memasuki

nervus optikus sebesar 8-15 mm di belakang bola mata. Cabang-cabang lain arteri
oftalmika adalah arteri lakrimalis, yang memvaskularisasi glandula lakrimalis dan
kelopak mata atas, cabang-cabang muskularis ke berbagai otot orbita, arteri siliaris
posterior longus dan brevis, arteri palpebra medialis ke kedua kelopak mata, dan
arteri supra orbitalis serta supra troklearis1.

Vaskularisasi pada Bola Mata


Arteri siliaris posterior brevis memvaskularisasi koroid dan bagian nervus
optikus. Kedua arteri siliaris longus memvaskularisasi badan siliar, beranastomosis
satu dengan yang lain, dan bersama arteri siliaris anterior membentuk sirkulus
arteriosus major iris. Arteri siliaris anterior berasal dari cabang-cabang muskularis
dan menuju ke muskuli rekti. Arteri ini memvaskularisasi sklera, episklera, limbus,
konjungtiva, serta ikut membentuk sirkulus arteriosus major iris1.

Drainase vena-vena di orbita terutama melalui vena oftalmika superior dan


inferior, yang juga menampung darah dari vena verticoasae, vena siliaris anterior, dan
vena sentralis retina. Vena oftalmika berhubungan dengan sinus kavernosus melalui
fisura orbitalis superior dan dengan pleksus venosus pterigoideus melalui fisura
orbitalis inferior.

1.2 Definisi Hifema Traumatik


Hifema traumatik adalah perdarahan pada bilik mata depan akibat robekan
pembuluh udarah iris perifer atau pada badan siliar anterior yang menyebabkan
perubahan pada rongga iris-lensa dan pelebaran sklera di area equator, yang
mengarah terjadinya kerusakan pada pembuluh arteri mayor iris, cabang arteri pada
badan siliar dan kerusakan arteri-vena pada koroid.2

1.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat insiden hifema adalah 17-20 per 100.000 penduduk per
tahun. Insiden hifema traumatika telah diperkirakan sebesar 12 orang luka per
100.000 penduduk per tahun dengan laki-laki tiga sampai lima kali lebih sering
dibandingkan perempuan. 70% hifema traumatika terjadi pada anak-anak dengan
puncak insiden pada usia 10-20 tahun.3

1.4 Etiologi
Trauma kecil pada mata yang dalam waktu tiga sampai lima hari dapat
menyebabkan keadaan yang lebih berat karena proses perdarahan yang masih terus
berlangsung. Keadaan ini sering ditemukan pada trauma tumpul atau pada trauma
tertutup. Trauma tumpul sering didapatkan saat sedang berolahraga seperti terkena
siku lawan, terkena objek terbang, terpukul stick, terkena bola kasti. Juga dapat
disebabkan terkena bahan-bahan kimia, terjatuh dan perkelahian.4

1.5 Klasifikasi
a) Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi:
1.

Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan yang


disebabkan pecahnya pembuluh darah iris dan badan silier akibat trauma
pada segmen anterior bola mata.

2.

Hifema akibat tindakan medis (misalnya kesalahan prosedur operasi mata).

3.

Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan silier, sehingga
pembuluh darah pecah.

4.

Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah (contohnya juvenile
xanthogranuloma).

5.

Hifema akibat neoplasma (contohnya retinoblastoma).

b) Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi atas 2 yaitu:


1.

Hifema primer, timbul segera setelah trauma hingga hari ke 2.

2.

Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma.

c) Berdasarkan tampilan klinisnya dibagi menjadi beberapa grade (Sheppard) :


1.

Grade I

: darah mengisi kurang dari sepertiga COA (58%)

2.

Grade II

: darah mengisi sepertiga hingga setengah COA (20%)

3.

Grade III

: darah mengisi hampir total COA (14%)

4.

Grade IV

: darah memenuhi seluruh COA (8%)

1.6 Patofisiologi
Trauma tumpul yang mengenai mata memindahkan volume cairan ke perifer
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan hidrolik pada lensa, akar iris dan
trabekular meshwork. Jika tekanan ini melebihi kekuatan tarik dari struktur okular
maka pembuluh darah di iris perifer dan permukaan badan siliar dapat pecah
menyebabkan terjadinya hifema. Hal ini dapat menyebabkan ruptur sklera, biasanya
di limbus dan di insersi otot dibagian posterior, dimana sklera lebih tipis dan tidak
dilindungi oleh tulang orbital. Trauma berat dapat menyebabkan subluksasi lensa,
dialisis retina, avulsi saraf optik dan/atau perdarahan vitreous.2

1.7 Diagnosis
Gambaran klinik dari penderita dengan hifema adalah : (5,8)
Adanya anamnesis trauma, terutama mengenai matanya.
Ditemukan perdarahan pada bilik depan bola mata
Kadang-kadang ditemukan gangguan tajam penglihatan.
Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari konjungtiva dan perikorneal.
Penderita mengeluh nyeri pada mata, fotofobia (tidak tahan terhadap sinar),
sering disertai blefarospasme.

Gambar 1. Ilustrasi hifema

Gambar 2. Hifema pada bilik mata depan

Gambar 3. Hifema pada bilik mata depan


Terdapat penumpukan darah yang terlihat dengan mata telanjang bila
jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul dibagian
bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan.

Selain itu, dapat terjadi peningkatan tekanan intra okular, sebuah keadaan yang harus
diperhatikan untuk menghindari terjadinya glaukoma. (8)

1.8 Pemeriksaan Penunjang


Hifema banyak ditemukan pada ras kulit hitam. Pada hifema ditemukan sel
sabit. Sel sabit mudah menimbulkan penyumbatan jala trabekula sehingga
menyebabkan peninggian TIO, bahkan pada hifema yang sedikit. (7,9)
Foto X-ray dan/atau CT-scan dibutuhkan untuk menyingkirkan tumor
intraokuler atau benda asing, yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan lainnya.(7,10)
Pada hifema sebaiknya dilakukan pemeriksaan tekanan bola mata untuk
mengetahui apakah sudah terjadi peninggian tekanan bola mata. Pemeriksaan
funduskopi diperlukan untuk mengetahui akibat trauma pada segmen posterior bola
mata. Kadang-kadang pemeriksaan ini tidak mungkin karena terdapat darah pada
media penglihatan. Pada funduskopi kadang-kadang terlihat darah dalam badan kaca.
Pemberian midriatika tidak dianjurkan kecuali untuk mencari benda asing pada polus
posterior. (5,6)
Pemeriksaan USG ditujukan untuk mengetahui adanya kekeruhan pada
segmen posterior bola mata, dan dapat diketahui tingkat kepadatan kekeruhannya.
Pemeriksaan USG dilakukan pada keadaan dimana oftalmoskopi tidak dapat
dilakukan oleh adanya kekeruhan kornea, bilik mata depan, lensa, karena berbagai
sebab atau perdarahan didalam bilik mata depan (hifema total). (7,8)

1.9 Tatalaksana
Pada dasarnya tatalaksana hifema ditujukan untuk: (7,9)
Menghentikan perdarahan atau mencegah perdarahan ulang
Mengeluarkan darah dari bilik mata depan
Mengendalikan tekanan bola mata
Mencegah terjadinya imbibisi kornea
Mengobati uveitis bila terjadi akibat hifema ini
Menemukan sedini mungkin penyulit yang mungkin terjadi

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka cara pengobatan penderita dengan


hifema pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitu :
A. PERAWATAN KONSERVATIF/TANPA OPERASI
1. Tirah baring sempurna (bed rest total)
Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala diangkat
(diberi alas bantal) 45.(8,9) Hal ini akan mengurangi tekanan darah pada pembuluh
darah iris serta memudahkan kita mengevaluasi jumlah perdarahannya. Ada
persesuaian pendapat dari banyak sarjana mengenai tirah baring sempurna ini sebagai
tindakan pertama yang harus dikerjakan bila menemui kasus hifema.
2. Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita dengan hifema tidaklah mutlak, tapi
cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat absorbsinya dan
menekan komplikasi yang timbul. Untuk maksud diatas digunakan obat-obatan
seperti :
(a) Koagulansia (5)
Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun parenteraI,
berguna untuk menekan/menghentikan perdarahan.
(b) Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat golongan
midriatika atau miotika, karena masing-masing obat mempunyai keuntungan dan
kerugian sendiri-sendiri, miotika memang akan mempercepat absorbsi, tapi
meningkatkan kongesti dan midriatika akan mengistirahatkan perdarahan. (7)
(c) Ocular Hypotensive Drug (7, 8)
Semua sarjana menganjurkan pemberian asetazolamid (Diamox) secara oral
sebanyak tiga kali sehari bilamana ditemukan adanya kenaikan tekanan intraokuler.
(d) Kortikosteroid (5)
Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi komplikasi
iritis dan perdarahan sekunder dibanding dengan antibiotika. Pemberian prednison 40

10

mg/hari secara oral segera setelah terjadinya hifema guna mengurangi perdarahan
sekunder.
(e) Obat-obat lain
Sedativa diberikan bila penderita gelisah. (5) Diberikan analgetika bila timbul
rasa nyeri. (7)
Pada hifema primer penderita dipulangkan dari perawatan bila sesudah 5 hari
perdarahan hilang atau dengan koagulum yang mengecil.
Pasien yang jelas memperlihatkan hifema yang mengisi lebih dari 5% kamera
anterior diharuskan tirah baring dan harus diberikan tetes steroid dan sikloplegik pada
mata yang sakit selama 5 hari. Mata diperiksa secara berkala untuk mencari adanya
perdarahan sekunder, glaukoma atau bercak darah di kornea akibat pigmen besi.
Perdarahan berulang terjadi pada 16-20% kasus dalam 2-3 hari. Penyulit ini memiliki
risiko tinggi menimbulkan glaukoma dan pewarnaan kornea. Beberapa penelitian
mengisyaratkan bahwa penggunaan asam aminokaproat oral untuk menstabilkan
pembentukan bekuan darah menurunkan risiko terjadinya perdarahan ulang. Dosisnya
adalah 100 mg/kg setiap 4 jam sampai maksimum 30 g/hari selama 5 hari. Apabila
timbul glaukoma maka tatalaksana cukup diberikan timolol 0,25% atau 0,5% dua kali
sehari; asetazolamid, 250mg oral empat kali sehari; dan obat hiperosmotik (manitol,
gliserol dan sorbitol). (6)
Hifema harus dievakuasi secara bedah apabila tekanan intraokuler tetap tinggi
(35 mmHg selama 7 hari atau 50 mmHg selama 5 hari) untuk menghindari kerusakan
saraf optikus dan pewarnaan kornea. Apabila pasien mengidap hemoglobinopati,
maka besar kemungkinannya cepat terjadi atrofi optikus glaukomatosa dan
pengeluaran bekuan darah secara bedah harus dipertimbangkan lebih awal.
Instrumen-instrumen vitrektomi digunakan untuk mengeluarkan bekuan darah
disentral dan lavase kamera anterior. Dimasukkan tonggak irigasi dan probe mekanis
disebelah anterior limbus melalui bagian kornea yang jernih untuk menghindari
keruskan iris dan lensa. Tidak dilakukan usaha untuk mengeluarkan bekuan dari
sudut kamera anterior atau dari jaringan iris. Kemudian dilakukan iridektomi perifer.
Cara lain untuk membersihkan kamera anterior adalah dengan evakuasi vesikoelastik,

11

dan sebuah insisi yang lebih besar 180 berlawanan agar hifema dapat didorong
keluar. (6)
Glaukoma dapat timbul belakangan setelah beberapa bulan atau tahun akibat
penyempitan sudut. Dengan sedikit perkecualian, bercak darah di kornea akan hilang
secara perlahan dalam periode sampai setahun. (6)

B. OPERASI
1. Parasentesis (7,8)
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan darah
atau nanah dari bilik mata depan, dengan teknik sebagai berikut: dibuat insisi kornea
2 mm dari limbus kearah kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya bila
dilakukan penekanan pada bibir luka maka koagulum dari bilik mata depan keluar.
Bila darah tidak keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan garam
fisiologis. Biasanya luka insisi kornea pada parasentesis tidak perlu dijahit.
Tindakan pembedahan parasentesis dilakukan bila terlihat tanda-tanda
imbibisi kornea, glaukoma, hifema penuh dan berwarna hitam atau bila darah setelah
5 hari tidak memperlihatkan tanda-tanda berkurang. (5)
Untuk mencegah atrofi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila : (9)
Tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari
Tekanan bola mata maksimal > 35 mmHg selama 7 hari
Untuk mencegah imbibisi kornea dilakukan pembedahan bila : (7)
Tekanan bola mata rata-rata >25 mmHg selama 6 hari
Bila terlihat tanda-tanda dini imbibisi kornea
Untuk mencegah sinekia anterior perifer dilakukan pembedahan bila : (7)
Hifema total bertahan selama 5 hari
Hifema difus bertahan selama 9 hari

2. Melakukan irigasi bilik depan bola mata dengan larutan fisiologis.

12

1.10 Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan akibat hifema secara langsung dapat
menimbulkan retensi darah pada bilik mata depan. Komplikasi yang penting
diantaranya adalah :
1. Perdarahan sekunder (5,7)
Komplikasi ini sering terjadi pada hari ke 3 sampai ke 6, sedangkan
insidensinya sangat bervariasi, antara 10 - 40%. Perdarahan sekunder ini timbul
karena iritasi pada iris akibat traumanya, atau merupakan lanjutan dari perdarahan
primernya.
2. Glaukoma sekunder (5,7)
Timbulnya glaukoma sekunder pada traumatik hifema disebabkan oleh
tersumbatnya trabecular meshwork oleh butir-butir/gumpalan darah. Insidensinya
20%, sedang di RS Dr. Soetomo sebesar 17,5%. Gejala hifema sekunder :
Timbul rasa sakit baru pada mata
Hifema segar baru dalam bilik mata depan.
Terlihat garis darah mengalir pada iris
Penelitian oleh Bakri tahun 2005 melaporkan adanya oftalmia simpatetik yang
mengikuti hifema.
3. Hemosiderosis kornea (5)
Hemosiderosis ini akan timbul bila ada perdarahan/perdarahan sekunder
disertai kenaikan tekanan intraokuler. Gangguan visus karena hemosiderosis tidak
selalu permanen, tetapi kadang-kadang dapat kembali jernih dalam waktu yang lama
(2 tahun). Insidensinya 10%.

4. Sinekia posterior
Sinekia posterior dapat terjadi pada penderita hifema akibat trauma.
Komplikasi ini sekunder terhadap iritis atau iridosiklitis. Walau demikian, komplikasi

13

ini jarang terjadi jika pasien ditangani dengan baik. Sinekia posterior lebih sering
terjadi pada pembedahan yang dilakukan untuk mengevakuasi hifema. (10)

5. Sinekia anterior perifer


Sinekia anterior perifer sering terjadi pada pasien yang ditangani secara
medis, namun hifema masih tertinggal di bilik mata depan untuk waktu yang cukup
lama, biasanya lebih dari 9 hari. Patogenesis sinekia anterior perifer mungkin
disebabkan iritis yang terjadi cukup lama disebabkan oleh trauma awal dan/atau
iritasi kimia akibat darah pada bilik mata depan. (10)
Pada hifema akibat trauma bila terjadi kemunduran tajam penglihatan dapat
dipikirkan kemungkinan adanya kerusakan langsung pada mata akibat trauma
tersebut, seperti luksasi lensa, ablasio retina dan edema makula. Hifema sekunder
yang terjadi pada hari ke 5-7 sesudah trauma biasanya lebih masif dibanding dengan
hifema primer dan dan memberikan rasa sakit sekali. (10)
Dapat terjadi keadaan yang disebut sebagai hemoftalmitis atau peradangan
intraokuler akibat adanya darah yang penuh dalam bola mata. Dapat juga terjadi
siderosis akibat hemoglobin atas siderin tersebar dan diikat oleh jaringan mata. (10)
6. Corneal Blood Staining (7)
Komplikasi ini terjadi pada sekitar 2 11 % kasus, terutama pada hifema
yang luas atau total, pasien dengan waktu pembekuan yang tidak normal dan adanya
kerusakan pada endotel kornea. Pada keadaankeadaan ini akan menimbulkan deposit
dari hemoglobin, hemosiderin dan degenerasi dari eosinofil di stroma kornea yang
menimbulkan warna kekuningan pada kornea yang mengakibatkan penurunan visus
dan ambliopia pada anakanak.

7. Atrofi papil
Atrofi papilla nervus optikus terjadi pada peningkatan TIO yang lama ataupun
bila terdapat kontusio pada N. optikus. Hal ini bisa terjadi pada TIO yang menetap
tinggi 50 mmHg selama 5 hari atau 35 mmHg selama 7 hari. (10)

14

1.11. Prognosis(7)
Prognosis hifema bergantung pada jumlah darah dalam bilik mata depan. Bila
darah sedikit di dalam bilik mata maka darah ini akan hilang dan jernih dengan
sempurna, sedangkan bila darah lebih dari setengah tingginya bilik mata depan, maka
prognosis buruk yang akan disertai dengan beberapa penyulit. Hifema yang penuh di
dalam bilik mata depan akan memberikan prognosis lebih buruk dibanding dengan
hifema sebagian.
Keberhasilan penyembuhan hifema tergantung dari tiga hal, yaitu: (8)
Jumlah kerusakan lain akibat hifema pada struktur mata (ruptur koroid,
pembentukan scar makula)
Apakah terjadi hifema sekunder
Apakah terjadi komplikasi akibat hifema seperti glaukoma, bercak darah pada
kornea dan atrofi optikus
Keberhasilan penyembuhan terjadi hampir 80 % pada hifema derajat 1.
sementara pada hifema derajat 4 angka kesembuhan mencapai 35%.

15

BAB II
KASUS
Seorang pasien laki-laki umur 8 tahun datang ke IGD RS Dr.M.Djamil
Padang tanggal 20 September 2014 dengan :
Keluhan Utama:
Mata kiri kabur sejak 3 hari sebelum masuk RS
Riwayat Penyakit Sekarang :
-

Mata kiri kabur dan terasa nyeri setelah terkena shuttlecock 3 hari sebelum
masuk RS

Pasien lalu berobat ke Sp.M dan diberi obat methylprednisolon 4 x 2mg,


Becom C 1x tablet, Polydex ed 4x1 OS dan dianjurkan istirahat.

Tidak terdapat darah mengalir keluar dari mata

Satu hari kemudian pasien merasa mata kiri makin kabur, lalu datang kembali
ke Sp.M dan dianjurkan ke RSUP Dr. M. jamil untuk dirawat.

Riwayat Penyakit Dahulu :


-

Pasien tidak memakai kacamata dan tidak pernah menderita trauma mata
sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga :


-

Tidak ada keluarga yang sakit seperti yang dikeluhkan pasien ini.

Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum

: tampak sakit sedang

Kesadaran

: compos mentis cooperatif

Tekanan darah

: 120/70 mmHg

Pernafasan

: torakoabdominal, frekuensi 25 x/mnt

Nadi

: teraba kuat, reguler, frekuensi 80x/ mnt

Suhu

: afebris

Kulit

: tidak ditemukan kelainan

KGB

: tidak membesar

Thorax

: dalam batas normal

Abdomen

: palpasi: hepar tidak teraba

16

Ekstremitas

: reflek fifiologis +/+


Reflek patologis-/-

STATUS

OD

OS

5/5

1/300

Refleks fundus

(+)

(+)

Silia/supersilia

Madarosis (-), trichiasis (-)

Madarosis (-), trichiasis (-)

Palpebra superior

Edema (-)

Edema (+)

Palpebra inferior

Edema (-)

Edema (-)

Margo palpebra

Edema(-)

Edema(-)

Aparat lakrimalis

Lakrimasi N

Lakrimasi N

Konjungtiva tarsalis

Hiperemis ()

Hiperemis ()

Folikel (-)

Folikel (-)

Papil (-)

Papil (-)

Hiperemis (-)

Hiperemis ()

Folikel (-)

Folikel (-)

Papil(-)

Papil(-)

Hiperemis ()

Injeksi konyungtiva (+)

Folikel ()

Injeksi siliar (+)

Papil (-)

Folikel (-)

OFTALMIKUS
Visus tanpa koreksi
Visus dengan koreksi

Konjungtiva forniks

Konjungtiva bulbi

Papil (-)

Sclera

Putih

Putih

Kornea

Bening

Bening

Cukup dalam

Koagulum (+), hifema (-)

Coklat, rugae (+)

Sukar dinilai

Kamera okuli anterior


Iris

17

Pupil

N , refleks (+)

semimidriasis, refleks (+)

Lensa

Bening

Sulit dinilai

Korpus vitreum

Jernih

Sulit dinilai

Fundus :
-

Media

Bening

Papil

Bulat, bts tegas, c/d : 0,3

Belum bisa dinilai

0,4
-

P. Darah

aa : vv = 2 : 3

Retina

perdarahan (-), eksudat (-)

makula

Rf fovea (+)

Tekanan bulbus okuli

N palpasi

Tidak dilakukan

Gerakan bulbus okuli

Bebas kesegala arah

Bebas kesegala arah

Gambar

Koagulum
Diagnosis kerja

Hifema Traumatika Grade III OS

Diagnosis banding
Terapi

Tirah baring dengan posisi kepala < 60 0

Tutup mata

SA ed 2x1 OS

Posop ed tiap jam OS

Timol 0,5% ed 2x1 OS

Glaukon pulvis 4x30mg

Methylprednisolon 1x12mg

18

Aspar K 2x120mg

19

BAB III
DISKUSI

Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa pasien merasa mata kirinya


menjadi kabur, nyeri, dan terdapat gumpalan darah di bola mata. Sebelumnya mata
kanan pasien terkena Shuttlecock oleh sepupunya yang bermain bulutangkis di
halaman rumah. Data yang diperoleh dari anamnesis menunjukkan bahwa pasien
mengalami trauma tumpul pada mata kirinya. Berdasarkan literatur, kelainan yang terjadi
akibat trauma tumpul pada mata bisa berupa kelainan orbita, kelainan kelopak mata, kelainan
konjungtiva, kelainan kornea, kelainan bilik mata depan, kelainan pupil dan iris, kelainan
lensa, kelainan fundus, perubahan tekanan bola mata, dan kelainan gerakan bola mata. Pada
kasus ini, berdasarkan kecepatan dan kekuatan trauma, kelainan yang muncul dapat berupa
kelainan konjungtiva, kelainan kornea, kelainan bilik mata depan, kelainan pupil dan iris, dan
kelainan lensa.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan visus mata kanan 5/5 dan kiri 1/300. Pada reflex
fundus (+) mata kanan dan kiri, konjungtiva tarsal dan forniks kanan dan kiri serta
konjungtiva bulbi kanan tidak hiperemis, konjungtiva bulbi kiri terdapat injeksi konjungtiva
dan injeksi silier. Kornea mata kanan dan kiri bening, kamera okuli anterior kiri terdapat
koagulum, kamera okuli anterior kanan cukup dalam, pupil kiri semimidriasis, refleks cahaya
(-), pupil kanan N, reflek cahaya (+) iris kanan dan kiri cokelat, rugae (+),lensa mata kanan
dan kiri bening. Pada pemeriksaan funduskopi mata kanan ditemukan papil optikus bulat,
batas tegas, C/D 0,3, retina perdarahan tidak ada, eksudat tidak ada, makula refleks fovea (+).
Pemeriksaan funduskopi mata kiri belum bisa dinilai. Berdasarkan data dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik didapatkan diagnosis kerja hifema Grade 3 mata kiri dan Glaukoma
sekunder mata kiri.

Pada kasus ini seharusnya dilakukan pemeriksaan penunjang berupa


pemeriksaan PT/APTT untuk mengetahui adanya kelainan waktu pembekuan.
Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala diangkat (diberi
alas bantal) kurang dari 60. Hal ini akan mengurangi tekanan darah pada pembuluh
darah iris serta memudahkan kita mengevaluasi jumlah perdarahannya. Selain itu,
mata yang terkena trauma ditutup, untuk mengurangi pergerakan mata.

20

Obat-obatan yang diberikan antara lain sikloplegik untuk mengistirahatkan


perdarahan, antiinflamasi untuk mencegah inflamasi kornea karena hemosiderin, dan
antiglaukoma untuk menurunkan tekanan intra okuler.
Prognosis hifema bergantung pada jumlah darah dalam bilik mata depan. Bila
darah sedikit di dalam bilik mata maka darah ini akan hilang dan jernih dengan
sempurna. Sedangkan bila darah lebih dari setengah tingginya bilik mata depan, maka
prognosis buruk yang akan disertai dengan beberapa penyulit.
Keberhasilan penyembuhan hifema tergantung dari tiga hal, yaitu:
1. Jumlah kerusakan lain akibat hifema pada struktur mata (ruptur koroid,
pembentukan scar makula)
2. Apakah terjadi hifema sekunder
3. Apakah terjadi komplikasi akibat hifema seperti glaukoma, bercak darah pada
kornea dan atrofi optikus
Keberhasilan penyembuhan terjadi hampir 80 % pada hifema derajat 1. sementara
pada hifema derajat 4 angka kesembuhan mencapai 35%.

21

DAFTAR PUSTAKA

1.

American Academy of Ophtalmology, Orbit, Eyelids, and Lacrimal System.


Section 7. Singapore : America Academy of Ophtalmology, 2011.

2.

American Academy of Ophtalmology, External Disease and Cornea. Section


8. Singapore : America Academy of Ophtalmology, 2008. 398-399.

3.

Andreoli, Christhoper and Mathew F Gardiner. Traumatic Hyphema. Diakses


dari : http://uptodate.com

4.

Stoppler C Melissa. Hyphema Bleeding in Eye. Diakses dari :


http://emedicinehealth.com

5.

Sidarta I. Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: FKUI. 2004.
170.

6.

Vaughan D, Taylor A, Riordan E.P. Trauma. Dalam : Oftalmologi Umum.


Edisi 14. Widya Medika. 2000. 384-387.

7.

Ferenc K, Dante JP. Dalam : Ocular Trauma; Principles and Practice. Thieme:
New York. 2002. 45-53;95-108;280-284.

8.

Nana W. Trauma. Dalam : Ilmu Penyakit Mata. Jilid II. Jakarta. 1981. 312322.

9.

Sidarta I. Cedera Mata. Dalam : Ilmu Perawatan Mata. Jakarta: Sagung Seto.
2004. 169-175.

10.

Sheppard. John D. Hyphema. Diakses dari ; Http://www.eMedicine.com

22

Anda mungkin juga menyukai