Skenario 1
LEKAS LELAH BILA BEKERJA
Disusun oleh
KELOMPOK B4
Ketua
Sekretaris
:
:
Muhammad Nurhanif
Mutiara Adysti
(1102013182)
(1102013190)
Anggota
Muhammad Rezki
Muta Mimmah
Muthia Farah Ashma
Mutiah Chairunnisah
Sekar Cesaruni
Nabilla Risdiana Putri
Muhammad Iskandar
(1102013184)
(1102013186)
(1102013187)
(1102013189)
(1102012264)
(1102012188)
(1102010183)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2014/2015
Skenario 1
Yani, 19 tahun, emmeriksakan diri ke dokter dengan keluhan sering merasa
lekas lelah setelah melakukan aktivitas. Keluhan ini sudah dialami 3 bulan terakhir.
Sebelumnya tidak pernah mengalami hal seperti ini.
Pada anamnesis tambahan didapatkan keterangan bahwa sejak usia kanakkanak pola makan Yani tidak teratur, jarang makan sayur, ikan, maupun daging,
hanya tahu/tempe dan kerupuk. Tidak dijumpai riwayat penyakit yang diderita
sebelumnya dan riwayat pengobatan tidak jelas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
Wajah terlihat lelah, TD 110/60 mmHg, frekuensi nadi 88 x/menit, frekuensi
pernapasan 20 x/menit, suhu tubuh 36,8 TB=160 cm, BB= 60 kg,
konjungtiva palpebral inferior pucat.
Pemeriksaan jantung paru dan abdomen dalam batas normal.
Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium hematologi rutin, hasilnya
sebagai berikut:
Pemeriksaan
Hemoglobin (Hb)
Hematokrit (Ht)
Eritrosit
MCV
MCH
MCHC
Leukosit
rombosit
Kadar
10,5 g/dL
37 %
4,75 x
/ l
70 fL
20 pg
22 %
6500 / l
300.000 / l
Nilai Normal
12 - 14 g/dL
37 - 42 %
3,9 5,3 x
/ l
82 92 fL
27 31 pg
32 36 %
5000 10.000 / l
150.000 400.000 / l
Proeritoblast: sel besar dengan kromatin jarang, terdapat satu atau dua
nucleolus, dan sitoplasmanya basofilik
Eritroblas basofilik: terdapat cicin sitoplasma basofilik dan inti yang lebih
padat tanpa nucleolus yang jelas
Eritroblas polikromatofilik: Sel ini memperlihatkan berkurangnya ribosom
basofilik dan peningkatan kadar hemoglobin asidofilik didalam sitoplasmanya.
Akibatnya, sel ini memiliki beragam warna didalam sitoplasmanya.
Eritroblas ortokromatofilik (normoblas): ukuran sel semakin mengecil,
pemadatan material inti, dan sitoplasma eosinofilik yang lebih seragam. Pada
tahap ini, eritrosit yang belum matang mengeluarkan inti.
Retikulosit: Terdapat ribosom yang dapat diwarnai sitoplasmanya
4
Eritrosit
Faktor-faktor Eritropoesis
Dipengaruhi oleh hormon eritropoietin. Eritropoietin adalah suatu
glikoprotein yang mengandung 165 residu asam amino dan 4 rantai oligosakarida
yang penting untuk aktivitasnya secara in vivo.
Eritopoietin meningkatkan jumlah sel induk yang peka eritropoietin di
sumsum tulang. Sel-sel induk ini kemudian berubah menjadi prekursor sel darah
merah dan akhirnya menjadi eritrosit matang.
Eritropoietin meningkat pada saat terjadi anemia, hipoksia, insufisiensi paru
dan perdarahan. Sebaliknya, eritropoietin akan menurun bila volume darah merah
meningkat di atas normal akibat transfusi dan juga akibat dari insufisiensi ginjal.
(Ganong 2008)
Eritropoeitin
Dihasilkan oleh: sel interstisial peritubular ginjal,hati
Stimulus pembentukan eritroprotein: tekanan O2 dalam jaringan ginjal.
penyaluran O2 ke ginjal merangsang ginjal mengeluarkan hormon eritropoetin ke
dalam darah merangsang eritropoiesis di sumsum tulang dengan merangsang
proliferasi dan pematangan eritrosit jumlah eritrosit meningkatkapasitas darah
mengangkut O2 dan penyaluran O2 ke jaringan pulih ke tingkat normal stimulus
awal yang mencetuskan sekresi eritropoetin hilang sampai diperlukan kembali.
Pasokan O2 ke jaringan akibat peningkatan massa eritrosit/Hb dapat lebih mudah
melepaskan O2 : stimulus eritroprotein turun
Fungsi: mempertahankan sel-sel precursor dengan memungkin sel-sel tsb terus
berproliferasi menjadi elemen-elemen yg mensintesis Hb.
Bekerja pada sel-sel tingkat G1
Hipoksia: rangsang fisiologis dasar untuk eritropoeisis karena suplai O2 & kebutuhan
mengatur pembentukan eritrosit.
Zat yang diperlukan untuk Eritropoiesis :
1) Zat Besi (Fe)
Untuk sintesis Hb
Kebutuhan 2 4 mg/hari
Disimpan : 60% (Hb), 10% (mioglobin, enzim), 30%
(feritin,hemosiderin)
6-8% diserap di duodenum, dipengaruhi oleh: HCl, vit C
2) Vitamin B12 dan asam folat
Untuk sintesis DNA (protein)
Absorbsinya memerlukan faktor intrinsik (sel parietal lambung)
3) Vitamin E, B6, B1
4) Hormon tiroksin, androgen
Destruksi Eritrosit
Destruksi yang terjadi karena proses penuaan disebut proses senescence,
sedangkan destruksi patologis disebut hemolisis. Hemolisis dapat terjadi
intravaskuler, dapat juga ekstravaskuler, terutama pada sistem RES, yaitu lien
dan hati. Hemolisis yang terjadi pada eritrosit akan mengakibatkan terurainya
komponen-komponen hemoglobin menjadi berikut:
1. Komponen protein yaitu globin yang akan dikembalikan ke pool protein
dan dapat dipakai kembali.
2. Komponen heme akan pecah menjadi dua, yaitu: (a) Besi: yang akan
dikembalikan ke pool besi dan dipakai ulang. (b) Bilirubin: yang akan
dieksresikan melalui hati dan empedu.
Eritrosit hemolisis atau proses penuaan
Hemoglobin
Globin
Hem
Fe
Asam amino
Pool protein
Disimpan/
digunakan lagi
CO
Pool besi
Protoporfirin
Bilirubin
indirek
Disimpan/
digunakan lagi
Hati
Bilirubin
direk
Empedu
Feses:
sterkobilinogen
Urin
Urobilinogen
Fungsi :
1. Eritrosit mentranspor O2 ke seluruh jaringan melalui pengikatan Hb
terhadap oksigen.
2. Hemoglobin eritrosit berikatan dengan CO2 untuk ditranspor ke paru-paru,
tetapi sebagian besar CO2 yang dibawa plasma berada dalam bentuk ion
bikarbonat.
Suatu enzim (karbonat anhidrase) dalam eritrosit
memungkinkan sel darah merah bereaksi dengan CO2 untuk membentuk
ion bikarbonat. Ion bikarbonat berdifusi keluar dari eritrosit dan masuk ke
dalam plasma.
3. Eritrosit berperan penting dalam pengaturan pH darah karena ion
bikarbonat dan hemoglobin merupakan buffer asam-basa.
4. Ketika eritrosit berada dalam tegangan pembuluh darah yang sempit,
eritrosit akan melepaskan ATP yang akan menyebabkan dinding jaringan
untuk berelaksasi dan melebar.
5. Eritrosit juga melepaskan senyawa S-nitrosotiol saat hemoglobin
terdeoksigenasi yang juga berfungsi untuk melebarkan pembuluh darah
dan melancarkan arus darah supaya darah menuju ke daerah tubuh yang
kekurangan oksigen.
b. Berdasarkan Bentuk
-
c. Berdasarkan Warna
-
subunit alfa dan beta yang terikat secara nonkovalen. Subunit-subunitnya mirip secara
struktural dan berukuran hampir sama
Pada pusat molekul terdapat cincin heterosiklik yang dikenal dengan porfirin
yang menahan satu atom besi; atom besi ini merupakan situs/loka ikatan oksigen.
Porfirin yang mengandung besi disebut heme Tiap subunit hemoglobin mengandung
satu heme, sehingga secara keseluruhan hemoglobin memiliki kapasitas empat
molekul oksigen. Pada molekul heme inilah zat besi melekat dan menghantarkan
oksigen serta karbondioksida melalui darah, zat ini pula yang menjadikan darah kita
berwarna merah.
diserap oleh sel yang memerlukan besi melalui proses endositosis diperantarai oleh
resptor (misalnya oleh retikulosit yang sedang membentuk hemoglobin). Apabila
terjadi penyerapan besi berlebihan dari makanan, kelebihan tersebut disimpan
sebagai hemosiderin, suatu bentuk feritin yang membentuk kompleks dengan besi
tambahan yang tidak mudah dimobilisasi segera.
10
dari terhambatnya proses glikolisis. Hormon tiroid, pertumbuhan dan androgen akan
meningkatkan kadar 2,3 bifosfogliserat
Mendaki ke prmukaan yang lebih tinggi akan meningkatkan kadar 2,3
bifosfogliserat sehingga terjadi peningkatan penyediaan O2 pada jaringan, hal ini
terjadi karena meningkatnya pH darah.
Kadar 2,3 bifosfogliserat akan
meningkat pada anemia dan penyakit yang
menimbulkan hipoksia kronik. Keaadaan ini
akan memudahkan pengangkutan O2 ke
jaringan melalui peningkatan PO2 saat O2
dilepaskan di kapiler perifer.
11
3. Karena perdarahan
Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan
kurangnya jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena
perdarahan besar dan dalam waktu singkat ini secara nisbi jarang terjadi. Keadaan
ini biasanya terjadi karena kecelakaan dan bahaya yang diakibatkannya langsung
disadari. Akibatnya, segala usaha akan dilakukan untuk mencegah perdarahan dan
kalau mungkin mengembalikan jumlah darah ke keadaan semula, misalnya
dengan tranfusi.
4. Karena otoimun
Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan
menghancurkan bagian-bagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan. Keadaan ini
sebanarnya tidak seharusnya terjadi dalam jumlah besar. Bila hal tersebut terjadi
terhadap SDM, umur SDM akan memendek karena dengan cepat dihancurkan oleh
sistem imun
3.3 Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi
morfologi didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin.
a. Makrositik: Ukuran SDM bertambah besar, Hb meningkat
- Anemia Megloblastik: Kekurangan vit. B12, kekurangan asam folat dan
gangguan sintesis DNA
- Anemia non-Megaloblastik: Eritropoiesis diperceat dan peningkatan luas
permukaan membrane
b. Mikrositik: Ukuran SDM mengecil karena defisiensi besi, gangguan sintesis
globin, porfirin & heme serta gangguan metabolism besi lainnya.
- Mikrositik Hipokrom: Defisiensi besi, thalassemia, anemia sideroblastik,
ACD
c. Normositik: Ukuran SDM tidak berubah, baisanya karena kehilangan darah
yang parah sehingga meningkatka volume plasma secara berlebihan
- Normositik Normokrom: Penyakit-penyakit hemolitik, gangguan endokrim,
ginjal dan hati.
Klasifikasi derajat anemia yang umum dipakai adalah :
Ringan Sekali
Hb 10 g/dl cut off point
Hb 8 g/dl Hb 9,9 g/dl
Ringan
Hb 6 g/dl 7,9 g/dl
Sedang
Hb < 6 g/dl
Berat
12
13
14
4.2 Etiologi
Penyebab tersering defisiensi besi pada pria & wanita pasca menopause adalah
perdarahan (misalnya dari ulkus, gastritis / tumor saluran pencernaan) atau
maabsorbsi terutama setelah reaksi gaster. Besi tidak dapat diabsorbsi dengan baik.
Jika pasien makan dietd engan serat tinggi dan untuk wanita pra menopause,
penyebab terseringnya adalah karena menoragia (perdarahan menstruasi berlebihan).
Anemia defisiensi besi juga dapat disebabkan oleh rendahnya asupan besi (
tinggi serat, rendah vitamin C dan rendah daging), gangguan absorbsi serta
kehilangan besi karena perdarahan menahun.
4.3 Patofisiologi
Gambar diatas merupakan pathflow dari zat besi yang kita konsumsi seharihari. Pada penderita anemia defisiensi besi, berarti Fe yang masuk ke tubuh berkurang
sehingga makin sedikit heme yang dapat berikatan dengan globin. Otomatis Hb akan
turun dan terjadilah anemia mikrositik hipokrom. Jika jumlah efektif SDM berkurang,
maka lebih sedikit oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Kehilangan darah mendadak
(30% / lebih) menimbulkan simtomatologi sekunder hipovolemia dan hipoksia.
Namun dalam beberapa bulan tubuh segera menkompensasi dan menyesuaikannya.
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi
makin menurun. Jika cadanagan besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state
atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai dengan penurunan kadar ferritin
serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum
tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi
15
16
Anemia akibat
penyakit
kronik
Ringan
Trait
thalassemia
Anemia
Sideroblastik
Ringan
Ringan
Menurun/N
Menurun/N
Menurun <50
Menurun <300
Menurun
Menurun
Normal/
Normal/
Menurun/N
Menurun/N
Normal/
Normal/
Menurun/N
10-20%
Positif
Meningkat
>20%
Positif kuat
Meningkat
Meningkat
Normal
Meningkat
>20%
Positif dengan
ring sideroblast
Normal
Menurun <20
g/l
N
Normal 20-200
g/l
N
Meningkat >50
g/l
Hb. A2
meningkat
Ringan sampai
berat
Menurun
Menurun
Menurun <30
Meningkat
>360
Menurun
<15%
Negatif
Meningkat >50
g/l
N
17
4.7 Penatalaksanaan
1. Terapi kausal: tergantung penyebab penyakitnya, misalnya: pengobatan cacing
tambang, pengobatan hematoid. Terapi ini harus dilakukan, apabila tidak
dilakukan maka anemia akan kambuh kembali.
2. Pemberian preparat besi untuk pengganti kekurangan besi dalam tubuh:
a) Besi peroral
ferrous sulphat dosis 3 x 200 mg (murah)
ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferros succinate
(lebih mahal)
Sebaiknya diberikan pada saat lambung kosong, tetapi efek samping lebih
banyak dibanding setelah makan. Efek sampingnya yaitu mual, muntah, serta
konstipasi. Pengobatan diberikan selama 6 bulan setelah kadar hemoglobin
normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Kalau tidak, maka akan kembali
kambuh.
b) Besi parenteral
Efek sampingnya lebih berbahaya, dan harganya lebih mahal, indikasi:
Intoleransi oral berat
Kepatuhan berobat kurang
Kolitis ulserativa
Perlu peningkatan Hb secara cepat
Preparat yang tersedia: iron dextran complex, iron sorbital citric acid complex
diberikan secara intramuskuler atau intravena pelan.
Efek samping: reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah,
nyeri perut, dan sinkop.
Kebutuhan besi (mg) = ( 15-Hb sekarang ) x BB x 3
c) Pengobatan lain
Diet: makanan bergizi dengan tinggi protein (protein hewani)
Vitamin c: diberikan 3 x 100 mg perhari untuk meningkatan absorpsi besi
Transfusi darah: jarang dilakukan
18
4.8 Pencegahan
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka
diperlukan suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut
dapat berupa berikut :
1. Pendidikan kesehatan, yaitu :
Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, dan
perbaikan lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehingga
dapat mencegah penyakit cacing tambang.
Penyuluhan gizi : untuk mendorong konsumsi makanan yang
membantu absorpsi besi.
2. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik
paling sering di daerah tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat
dilakukan dengan pengobatan masal dengan anthelmentik dan perbaikan
sanitasi.
3. Suplementasi besi : terutama untuk segmen penduduk yang rentan, seperti
ibu hamil dan anak balita. Di Indonesia diberikan pada perepuan hamil dan
anak balita memakai pil besi dan folat.
4. Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada
bahan makan. Di negara barat dilakukan dengan mencampur tepung untuk
roti atau bubuk susu dengan besi.
4.9 Prognosis
Prognosis baik apabila penyebab anemia hanya karena kekurangan besi saja
dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat.
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa
kemungkinan sebagai berikut:
Diagnosis salah
19
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I.M ., 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC.
Guyton. Arthur. C (1994). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta:
EGC
Sherwood, Lauralee. (2013). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi
Keenam. Jakarta: EGC.
Sudoyo. W. Aru, Bambang, Setyohadi,dkk. (2006). Ilmu penyakit dalam 2 edisi
IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.
Dorland, W. A. Newman. (2002). Kamus Kedokteran Dorland. EGC 29.
http://www.medicalook.com/human_anatomy/organs/Blood.html
Desmawati. (2013). Sistem Hematologi dan Immunologi. Jakarta: In Media
Hoffbrand, Moss. (2013). Kapita Selekta Hematologi Edisi 6. Jakarta: EGC
Marcdante Karen, Robert, et al. (2011). Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial
Edisi Keenam. Jakarta: IDAI
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21400/4/Chapter%20II.pdf
20