Anda di halaman 1dari 20

WRAP UP

Skenario 1
LEKAS LELAH BILA BEKERJA

Disusun oleh
KELOMPOK B4
Ketua
Sekretaris

:
:

Muhammad Nurhanif
Mutiara Adysti

(1102013182)
(1102013190)

Anggota

Muhammad Rezki
Muta Mimmah
Muthia Farah Ashma
Mutiah Chairunnisah
Sekar Cesaruni
Nabilla Risdiana Putri
Muhammad Iskandar

(1102013184)
(1102013186)
(1102013187)
(1102013189)
(1102012264)
(1102012188)
(1102010183)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2014/2015

Skenario 1
Yani, 19 tahun, emmeriksakan diri ke dokter dengan keluhan sering merasa
lekas lelah setelah melakukan aktivitas. Keluhan ini sudah dialami 3 bulan terakhir.
Sebelumnya tidak pernah mengalami hal seperti ini.
Pada anamnesis tambahan didapatkan keterangan bahwa sejak usia kanakkanak pola makan Yani tidak teratur, jarang makan sayur, ikan, maupun daging,
hanya tahu/tempe dan kerupuk. Tidak dijumpai riwayat penyakit yang diderita
sebelumnya dan riwayat pengobatan tidak jelas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
Wajah terlihat lelah, TD 110/60 mmHg, frekuensi nadi 88 x/menit, frekuensi
pernapasan 20 x/menit, suhu tubuh 36,8 TB=160 cm, BB= 60 kg,
konjungtiva palpebral inferior pucat.
Pemeriksaan jantung paru dan abdomen dalam batas normal.
Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium hematologi rutin, hasilnya
sebagai berikut:
Pemeriksaan
Hemoglobin (Hb)
Hematokrit (Ht)
Eritrosit
MCV
MCH
MCHC
Leukosit
rombosit

Kadar
10,5 g/dL
37 %
4,75 x
/ l
70 fL
20 pg
22 %
6500 / l
300.000 / l

Nilai Normal
12 - 14 g/dL
37 - 42 %
3,9 5,3 x
/ l
82 92 fL
27 31 pg
32 36 %
5000 10.000 / l
150.000 400.000 / l

LO 1: Memahami dan Menjelaskan Eritropoiesis


1.1 Definisi Eritropoiesis
1.2 Mekanisme Eritropoiesis
1.3 Morfologi & Sifat Fisik Eritrosit
1.4 Kelainan / Abnormalitas Eritrosit
LO 2: Memahami dan Menjelaskan Hemoglobin
2.1 Definisi Hemoglobin
2.2 Struktur Hemoglobin
2.3 Biosintesis & Fungsi Hemoglobin
2.4 Interaksi Hemoglobin dengan O2
LO 3: Memahami dan Menjelaskan Anemia
3.1 Definisi Anemia
3.2 Etiologi Anemia
3.3 Klasifikasi
3.4 Manifestasi Klinis
3.5 Pemeriksaan Laboratorium
LO 4: Memahami dan Menjelaskan Anemia Defisiensi Besi
4.1 Definisi
4.2 Etiologi
4.3 Patofisiologi
4.4 Manifestasi Klinis
4.5 Pemeriksaan Fisik
4.5 Diagnosis & DD
4.7 Penatalaksanaan
4.8 Pencegahan
4.9 Prognosis

LO 1: Memahami dan Menjelaskan Eritropoiesis


1.1 Definisi Eritropoiesis
Eritropoesis adalah proses pembuatan eritrosit, pada janin dan bayi proses ini
berlangsung di limfa dan sumsum tulang, tetapi pada orang dewasa terbatas hanya
pada sumsum tulang. (Dorland edisi 31)
1.2 Mekanisme Eritropoiesis
Sel darah berasal dari sel stem hemopoetik pluripoten yang berada pada
sumsum tulang / Pluripotent Stem Cell (PSC). Sel ini kemudian akan membentuk
bermacam macam sel darah tepI. Asal sel yang akan terbentuk selanjutnya adalah sel
stem commited, Sel ini akan dapat meghasilkan Unit pembentuk koloni eritrosit /
Colony Forming Unit (CFU-E) dan Unit granulosit dan monosit (CFU-GM).
Pada eritropoesis, CFU-E membentuk banyak sel Proeritroblas sesuai dengan
rangsangan. Proeritroblas akan membelah berkali-kali menghasilkan banyak sel darah
merah matur yaitu Basofil Eritroblas
Apabila sumsum tulang mengalami kelainan, misalnya fibrosis, eritropoesis
akan terjadi di luar sumsum tulang seperti pada lien dan hati maka proses ini disebut
juga sebagai eritropoesis ekstra meduler

Proeritoblast: sel besar dengan kromatin jarang, terdapat satu atau dua
nucleolus, dan sitoplasmanya basofilik
Eritroblas basofilik: terdapat cicin sitoplasma basofilik dan inti yang lebih
padat tanpa nucleolus yang jelas
Eritroblas polikromatofilik: Sel ini memperlihatkan berkurangnya ribosom
basofilik dan peningkatan kadar hemoglobin asidofilik didalam sitoplasmanya.
Akibatnya, sel ini memiliki beragam warna didalam sitoplasmanya.
Eritroblas ortokromatofilik (normoblas): ukuran sel semakin mengecil,
pemadatan material inti, dan sitoplasma eosinofilik yang lebih seragam. Pada
tahap ini, eritrosit yang belum matang mengeluarkan inti.
Retikulosit: Terdapat ribosom yang dapat diwarnai sitoplasmanya
4

Eritrosit

Faktor-faktor Eritropoesis
Dipengaruhi oleh hormon eritropoietin. Eritropoietin adalah suatu
glikoprotein yang mengandung 165 residu asam amino dan 4 rantai oligosakarida
yang penting untuk aktivitasnya secara in vivo.
Eritopoietin meningkatkan jumlah sel induk yang peka eritropoietin di
sumsum tulang. Sel-sel induk ini kemudian berubah menjadi prekursor sel darah
merah dan akhirnya menjadi eritrosit matang.
Eritropoietin meningkat pada saat terjadi anemia, hipoksia, insufisiensi paru
dan perdarahan. Sebaliknya, eritropoietin akan menurun bila volume darah merah
meningkat di atas normal akibat transfusi dan juga akibat dari insufisiensi ginjal.
(Ganong 2008)

Eritropoeitin
Dihasilkan oleh: sel interstisial peritubular ginjal,hati
Stimulus pembentukan eritroprotein: tekanan O2 dalam jaringan ginjal.
penyaluran O2 ke ginjal merangsang ginjal mengeluarkan hormon eritropoetin ke
dalam darah merangsang eritropoiesis di sumsum tulang dengan merangsang
proliferasi dan pematangan eritrosit jumlah eritrosit meningkatkapasitas darah
mengangkut O2 dan penyaluran O2 ke jaringan pulih ke tingkat normal stimulus
awal yang mencetuskan sekresi eritropoetin hilang sampai diperlukan kembali.
Pasokan O2 ke jaringan akibat peningkatan massa eritrosit/Hb dapat lebih mudah
melepaskan O2 : stimulus eritroprotein turun
Fungsi: mempertahankan sel-sel precursor dengan memungkin sel-sel tsb terus
berproliferasi menjadi elemen-elemen yg mensintesis Hb.
Bekerja pada sel-sel tingkat G1
Hipoksia: rangsang fisiologis dasar untuk eritropoeisis karena suplai O2 & kebutuhan
mengatur pembentukan eritrosit.
Zat yang diperlukan untuk Eritropoiesis :
1) Zat Besi (Fe)
Untuk sintesis Hb
Kebutuhan 2 4 mg/hari
Disimpan : 60% (Hb), 10% (mioglobin, enzim), 30%
(feritin,hemosiderin)
6-8% diserap di duodenum, dipengaruhi oleh: HCl, vit C
2) Vitamin B12 dan asam folat
Untuk sintesis DNA (protein)
Absorbsinya memerlukan faktor intrinsik (sel parietal lambung)
3) Vitamin E, B6, B1
4) Hormon tiroksin, androgen

Destruksi Eritrosit
Destruksi yang terjadi karena proses penuaan disebut proses senescence,
sedangkan destruksi patologis disebut hemolisis. Hemolisis dapat terjadi
intravaskuler, dapat juga ekstravaskuler, terutama pada sistem RES, yaitu lien
dan hati. Hemolisis yang terjadi pada eritrosit akan mengakibatkan terurainya
komponen-komponen hemoglobin menjadi berikut:
1. Komponen protein yaitu globin yang akan dikembalikan ke pool protein
dan dapat dipakai kembali.
2. Komponen heme akan pecah menjadi dua, yaitu: (a) Besi: yang akan
dikembalikan ke pool besi dan dipakai ulang. (b) Bilirubin: yang akan
dieksresikan melalui hati dan empedu.
Eritrosit hemolisis atau proses penuaan
Hemoglobin
Globin

Hem
Fe

Asam amino
Pool protein

Disimpan/
digunakan lagi

CO

Pool besi

Protoporfirin
Bilirubin
indirek

Disimpan/
digunakan lagi

Hati
Bilirubin
direk
Empedu

Feses:
sterkobilinogen

Urin
Urobilinogen

1.3 Morfologi & Sifat Fisik Eritrosit


Sel darah merah berbentuk cakram bikonkaf
dengan diameter sekitar 7.6 mikron, tebal bagian
tepi 2 mikron dan bagian tengahnya 1 mikron atau
kurang, tersusun atas membrane yang sangat tipis
sehingga sangat mudah terjadi difusi oksigen,
karbondioksida dan sitoplasma, tetapi tidak
mempunyai inti sel.

Fungsi :
1. Eritrosit mentranspor O2 ke seluruh jaringan melalui pengikatan Hb
terhadap oksigen.
2. Hemoglobin eritrosit berikatan dengan CO2 untuk ditranspor ke paru-paru,
tetapi sebagian besar CO2 yang dibawa plasma berada dalam bentuk ion
bikarbonat.
Suatu enzim (karbonat anhidrase) dalam eritrosit
memungkinkan sel darah merah bereaksi dengan CO2 untuk membentuk
ion bikarbonat. Ion bikarbonat berdifusi keluar dari eritrosit dan masuk ke
dalam plasma.
3. Eritrosit berperan penting dalam pengaturan pH darah karena ion
bikarbonat dan hemoglobin merupakan buffer asam-basa.
4. Ketika eritrosit berada dalam tegangan pembuluh darah yang sempit,
eritrosit akan melepaskan ATP yang akan menyebabkan dinding jaringan
untuk berelaksasi dan melebar.
5. Eritrosit juga melepaskan senyawa S-nitrosotiol saat hemoglobin
terdeoksigenasi yang juga berfungsi untuk melebarkan pembuluh darah
dan melancarkan arus darah supaya darah menuju ke daerah tubuh yang
kekurangan oksigen.

Kadar normal eritrosit:


Pria: 4,5 5,5 juta / l
Wanita: 4 5 juta /
1.4 Kelainan / Abnormalitas Eritrosit
Tidak semua eritrosit dalam keadaan normal. Eritrosit juga memiliki
keabnormalitasan dalam bentuk, warna hingga ukuran, atau dengan kata lain
mengukur eritrosit dengan 3S ( Size, Shape, Stain)
a. Berdasarkan Ukuran
- Mikrositik: Sel ini dapat berasal dari fragmentasi eritrosit yang normal
seperti pada anemia hemolitik, anemia megaloblastik dan dapat pula terjadi
pada anemia defisiensi besi.
- Makrositik: Makrosit adalah eritrosit yang berukuran lebih dari 8 um. Sel ini
didapatkan pada anemia megaloblastik.
- Anisositosis: Eritrosit dengan ukuran yang tidak sama besar. Terlihat pada
anemia mikrositik yang bersamaan dengan anemia makrositik seperti pada
anemia gizi.

b. Berdasarkan Bentuk
-

Ovalosit: Eritrosit lonjong / oval


Sperosit: Eritrosit lebih bulat, lebih kecil, lebih tebal dari eritrosit normal
Schitosit / Fragmentosit: Sel ini merupakan pecahan eritrosit
Sel Target: Eritrosit yang mempunyai masa kemerahan di bagian tengahnya
Sel Sabit / Sickle Cell
Sel Burr: Eritrosit yang kecil / fragmentosit yang memounyai duri satu / lebih
pada permukaannya
Sakantosit: Sel ini disebabkan oleh metabolism fosfolipid. Eritrosit
mempunyai tonjolan-tonjolan berupa duri
Teardrop Cell: Eritrosit mirip tetesan air mata
Poikolisitosis: Bentuk eritrosit bermacam-macam

c. Berdasarkan Warna
-

Hipokrom: Eritrosit pucat karena kadar hemoglobin yang turun


Polikrom: Eritrosit yang lebih besar dan lebih biru daripada eritrosit normal

LO 2: Memahami dan Menjelaskan Hemoglobin


2.1 Definisi Hemoglobin
Hemoglobin adalah molekul protein pada sel arah merah yang berfungsi
sebagai media transport oksigen dari paru paru ke seluruh jaringan tubuh dan
membawa karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru. Kandungan zat besi yang
terdapat dalam hemoglobin membuat darah bewarna merah. Nilai normal hemoglobin
adalah sebagai berikut:
Anak-anak
11 13 gr/dl
Lelaki dewasa
14 18 gr/dl
Wanita dewasa
12 16 gr/dl
Jika nilainya kurang dari nilai diatas bisa dikatakan anemia, dan apabila nilainya
kelebihan akan mengakibatkan polinemis.
2.2 Struktur Hemoglobin
Molekul hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus heme,
suatu molekul organik dengan satu atom besi. Hemoglobin tersusun dari empat
molekul protein (globulin chain) yang terhubung satu sama lain. Hemoglobin normal
orang dewasa (HbA) terdiri dari 2 alpha-globulin chains dan 2 beta-globulin chains,
sedangkan pada bayi yang masih dalam kandungan atau yang sudah lahir terdiri dari
beberapa rantai beta dan molekul hemoglobinnya terbentuk dari 2 rantai alfa dan 2
rantai gama yang dinamakan sebagai HbF. Pada manusia dewasa, hemoglobin berupa
tetramer (mengandung 4 subunit protein), yang terdiri dari masing-masing dua

subunit alfa dan beta yang terikat secara nonkovalen. Subunit-subunitnya mirip secara
struktural dan berukuran hampir sama
Pada pusat molekul terdapat cincin heterosiklik yang dikenal dengan porfirin
yang menahan satu atom besi; atom besi ini merupakan situs/loka ikatan oksigen.
Porfirin yang mengandung besi disebut heme Tiap subunit hemoglobin mengandung
satu heme, sehingga secara keseluruhan hemoglobin memiliki kapasitas empat
molekul oksigen. Pada molekul heme inilah zat besi melekat dan menghantarkan
oksigen serta karbondioksida melalui darah, zat ini pula yang menjadikan darah kita
berwarna merah.

2.3 Biosintesis Hemoglobin


Sintesis hemoglobin dimulai dalam proeritoblas dan dilanjutkan sedikit dalam
reetikulosit. Hemoglobin terdiri dari suksinil koA yang berikatan dengan glisin untuk
membentuk pirol. Kemudian 4 pirol akan bergabung membentuk protoporfirin IX
yang kemudian bergabung dengan besi membentuk Heme. Masing- masing molekul
heme bergabung dengan satu rantai globin yang dibuat pada poliribosom, lalu
bergabunglah tetramer yang terdiri dari empat rantai globin dan heme nya membentuk
hemoglobin. Pada saat sel darah merah tua dihancurkan, bagian globin dari
hemoglobin akan dipisahkan, dan hemenya diubah menjadi biliverdin. Lalu sebagian
besar biliverdin diubah menjadi bilirubin dan diekskresikan ke dalam empedu.
Sedangkan besi dari heme digunakan kembali untuk sintesis hemoglobin. Pada
langkah terakhir jalur ini, besi (sebagai Fe 2+)
digabungkan ke dalam
protoporfirin IX dalam reaksi yang dikatalisis oleh ferokelatase (dikenal sebagai
heme sintase).
Sifat rantai hemoglobin menentukan afinitas ikatan hemoglobin terhadap
oksigen.
Peranan Fe pada Biosintesis Hemoglobin
Besi diserap dalam bentuk fero (Fe2+). Karena bersifat toksik di dalam tubuh,
besi bebas biasanya terikat ke protein. Besi diangkut di dalam darah (sebagai Fe 3+ )
oleh protein, apotransferin. Besi membentuk kompleks dengan apotransferin menjadi
transferin. Besi dioksidasi dari Fe 2+
menjadi Fe 3+ oleh feroksidase yang
dikenal sebagai seruloplasmin (enzim yang mengandung tembaga). Besi dapat
diambil dari simpanan feritin, diangkut dalam darah sebagai transferin dan
9

diserap oleh sel yang memerlukan besi melalui proses endositosis diperantarai oleh
resptor (misalnya oleh retikulosit yang sedang membentuk hemoglobin). Apabila
terjadi penyerapan besi berlebihan dari makanan, kelebihan tersebut disimpan
sebagai hemosiderin, suatu bentuk feritin yang membentuk kompleks dengan besi
tambahan yang tidak mudah dimobilisasi segera.

2.4 Interaksi Hemoglobin dengan O2


Reaksi haemoglobin dengan O2 menjadikanya sebagai suatu sistem
pengangkut O2 yang tepat.Hem yang merupakan ssusunan dari porfirin dengan inti
fero. Masing masing dari tiap atom fero. Dalam pengikatan ini ion besi tetap
berbentuk ferro karena itu reaksi yang terjadi dengan O2 adalah reaksi oksigenasi.Hb4
+ 4 O2 Hb4O. Reaksi pengikatan ini berlangsung sangat cepat dan membutuhkan
waktu kurang dari 0,01 detik
Pada proses pengikatan O2 terbentuklah konfigurasi rilex yang akan
memaparkan lebih banyak tempat pengikatan O2.Dapat meningkatkan affinitas
terhadap O2 hingga 500 kali lipat. Pada reaksi deoksihemoglobin unit globin akan
terikat erat dalam konfigurasi tense / tegang yang akan menurunkan affinitas terhadap
O2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengikatan antara oksigen dan hemoglobin
adalah suhu, pH, dan 2,3 bifosfogliserat. Peningkatan pada suhu dan penurunan pH
akan menggeser kurva ke kanan. Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen adalah kurva
yang menggambarkan hubungan % saturasi kemampuan hemoglobin mengangkut O2
dengan PO2 yang memiliki bentuk signoid khas yang disebabkan oleh interkonversi
T-R.Jika kurva bergeser kanan maka akan diperlukan PO2 yang lebih tinggi agar
hemoglobin dapat mengikat sejumlah O2. Penurunan suhu dan peningkatan pH
menggeser kurva oksigen ke kiri dimana diperlukan lebih sedikit PO2 untuk mengikat
sejumlah O2. Berkurangnya affinitas terhadap O2 ketika pH darah turun sering disebut
sebagai reaksi Bohr
2,3 bifosfogliserat banyak terdapat pada eritrosit, merupakan suatu rantai
anion bermuatan tinggi yang berikatan pada -deoksihaemoglobin. Peningkatan 2,3
bifosfogliserat akan menggerser kurva ke kanan yang akan mengakibatkan banyak O2
yang dilepas ke jaringan. 2,3 bifosfogliserat akan menurun jika pH darah turun akibat

10

dari terhambatnya proses glikolisis. Hormon tiroid, pertumbuhan dan androgen akan
meningkatkan kadar 2,3 bifosfogliserat
Mendaki ke prmukaan yang lebih tinggi akan meningkatkan kadar 2,3
bifosfogliserat sehingga terjadi peningkatan penyediaan O2 pada jaringan, hal ini
terjadi karena meningkatnya pH darah.
Kadar 2,3 bifosfogliserat akan
meningkat pada anemia dan penyakit yang
menimbulkan hipoksia kronik. Keaadaan ini
akan memudahkan pengangkutan O2 ke
jaringan melalui peningkatan PO2 saat O2
dilepaskan di kapiler perifer.

LO 3: Memahami dan Menjelaskan


Anemia
3.1 Definisi Anemia
Anemia adalah berkurangnya hingga dibawah normal sel darah merah (SDM),
kualitas hemoglobin (protein pembawa oksigen) dan volume packed red bloods cell
(hematocrit) per 100 ml darah (Price, 2006)
Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan
komponen darah, elemen tidak adekuat / kurangnya nutrisi yang dibutuhkan untuk
pembentukan sel darah merah, yang mengakibatkan penurunan kapasitas
pengangkutan oksigen darah (Smeltzer, 2002)
3.2 Etiologi Anemia
1. Karena cacat sel darah merah (SDM)
Sel darah merah mempunyai komponen penyusun yang banyak sekali. Tiaptiap komponen ini bila mengalami cacat atau kelainan, akan menimbulkan masalah
bagi SDM sendiri, sehingga sel ini tidak berfungsi sebagai mana mestinya dan
dengan cepat mengalami penuaan dan segera dihancurkan. Pada umumnya cacat
yang dialami SDM menyangkut senyawa-senyawa protein yang menyusunnya. Oleh
karena kelainan ini menyangkut protein, sedangkan sintesis protein dikendalikan
oleh gen di DNA.
2. Karena kekurangan zat gizi
Anemia jenis ini merupakan salah satu anemia yang disebabkan oleh faktor
luar tubuh, yaitu kekurangan salah satu zat gizi. Anemia karena kelainan dalam
SDM disebabkan oleh faktor konstitutif yang menyusun sel tersebut. Anemia jenis
ini tidak dapat diobati, yang dapat dilakukan adalah hanya memperpanjang usia
SDM sehingga mendekati umur yang seharusnya, mengurangi beratnya gejala atau
bahkan hanya mengurangi penyulit yang terjadi.

11

3. Karena perdarahan
Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan
kurangnya jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena
perdarahan besar dan dalam waktu singkat ini secara nisbi jarang terjadi. Keadaan
ini biasanya terjadi karena kecelakaan dan bahaya yang diakibatkannya langsung
disadari. Akibatnya, segala usaha akan dilakukan untuk mencegah perdarahan dan
kalau mungkin mengembalikan jumlah darah ke keadaan semula, misalnya
dengan tranfusi.
4. Karena otoimun
Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan
menghancurkan bagian-bagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan. Keadaan ini
sebanarnya tidak seharusnya terjadi dalam jumlah besar. Bila hal tersebut terjadi
terhadap SDM, umur SDM akan memendek karena dengan cepat dihancurkan oleh
sistem imun
3.3 Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi
morfologi didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin.
a. Makrositik: Ukuran SDM bertambah besar, Hb meningkat
- Anemia Megloblastik: Kekurangan vit. B12, kekurangan asam folat dan
gangguan sintesis DNA
- Anemia non-Megaloblastik: Eritropoiesis diperceat dan peningkatan luas
permukaan membrane
b. Mikrositik: Ukuran SDM mengecil karena defisiensi besi, gangguan sintesis
globin, porfirin & heme serta gangguan metabolism besi lainnya.
- Mikrositik Hipokrom: Defisiensi besi, thalassemia, anemia sideroblastik,
ACD
c. Normositik: Ukuran SDM tidak berubah, baisanya karena kehilangan darah
yang parah sehingga meningkatka volume plasma secara berlebihan
- Normositik Normokrom: Penyakit-penyakit hemolitik, gangguan endokrim,
ginjal dan hati.
Klasifikasi derajat anemia yang umum dipakai adalah :
Ringan Sekali
Hb 10 g/dl cut off point
Hb 8 g/dl Hb 9,9 g/dl
Ringan
Hb 6 g/dl 7,9 g/dl
Sedang
Hb < 6 g/dl
Berat

12

3.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis bergantung pada:
Kecepatan timbulnya anemia, umur individu, mekanisme kompensasi, tingkat
aktivitasnya, keadaan penyakit yang mendasari & parahnya anemia tersebut.
Gejala anemia sangat bervariasi, tetapi pada umumnya dapat dibagi menjadi 3
golongan besar, yaitu:
1. Gejala umum anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia, atau anemic syndrome.
Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada semua jenis
anemia pada kadar hemoglobin yang sudah menurun di bawah titik
tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan mekanisme
kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin.
Gejala-gejala tersebut jika diklasifikasikan menurut organ yang
terkena adalah sebagai berikut:
a) System kardiovaskular : lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi,
sesak nafas, angina pectoris dan gagaljantung
b) System saraf : sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata
berkunang-kunang, kelemahan otot, iritabel.
c) Sistem urogenital : gangguan hadidan libido menurun
d) Epitel : pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun,
rambut tipis dan halus
2. Gejala khas masing-masing anemia
1. Anemia defisiensi besi : disfagia, atropi papil lidah, stomatitis
angularis
2. Anemia defisiensi asam folat : lidah merah (buffy tongue)
3. Anemia hemolitik : icterus dan hepatosplenomegali
4. Amemia aplastik : pendarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda
infeksi
3. Gejala akibat penyakit dasar
Disebabkan karena penyakit yang mendasari anemia misalnya, anemia
defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang.
Karena factor-faktor seperti pigmentasi kulit, suhu dan kedalaman serta
distribusi kapiler mempengaruhi warna kulit maka, warna kulit bukan merupakan
indeks pucat yang diandalkan. Lebih baik menilai kepucatan lewat warna kuku,
telapak tangan dan membrane mukosa mulut serta konjungtiva.
Pada pasien anemia, disertai hasil pemeriksana fisik takikardia dan bising
jantung (suara yang disebabkan oleh kecepatan aliran darah) yang terdengar
menggambarkan beban kerja dan curah jantung yang meningkat.

13

3.5 Pemeriksaan Laboratorium


1. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit : didapatkan anemia hipokrom mikrositer
dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV, MCHC
dan MCH menurun. MCH < 70 fl hanya didapatkan pada anemia difisiensi besi dan
thalassemia mayor. RDW (red cell
distribution width) meningkat yang menandakan adanya anisositosis.Indeks eritrosit
sudah dapa mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Kadar
hemoglobin sering turun sangat rendah, tanpa menimbulkan gejala anemia yang
mencolok karena anemia timbul perlahan-perlahan. Apusan darah menunjukkan
anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis, anulosit, sel pensil,
kadang-kadang sel target. Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus
dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Leukosit dan trombosit normal.
Retikulosit rendah dibandingkan derajat anemia. Pada kasus ankilostomiasis sering
dijumpai eosinofilia.
2. Apus sumsum tulang : Hiperplasia eritropoesis, dengan kelompok kelompok
normo-blast basofil. Bentuk pronormoblast-normoblast kecilkecil, sideroblast.
3. Kadar besi serum menurun <50 mg/dl, total iron binding capacity (TIBC)
meningkat >350 mg/dl, dan saturasi transferin < 15%.
4. Feritin serum. Sebagian kecil feritin tubuh bersirkulasi dalam serum,
konsentrasinya sebanding dengan cadangan besi jaringan, khususnya retikuloendotel.
Pada anemia defisensi besi, kadar feritin serum sangat rendah, sedangkan feritin
serum yang meningkat menunjukkan adanya kelebihan besi atau pelepasan feritin
berlebihan dari jaringan yang rusak atau suatu respons fase akut, misalnya pada
inflamasi. Kadar feritin serum normal atau meningkat pada anemia penyakit kronik.
5. TIBC (Total Iron Banding Capacity) meningkat.
6. Feses : Telur cacing Ankilostoma duodenale / Necator americanus.
7. Pemeriksaan lain : endoskopi, kolonoskopi, gastroduodenografi, colon in loop,
pemeriksaan ginekologi.
LO 4: Memahami dan Menjelaskan Anemia Defisiensi Besi
4.1 Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya
persediaan besi untk eritropoiesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron
store) sehingga pembentukan hemoglobin berkurang.

14

4.2 Etiologi
Penyebab tersering defisiensi besi pada pria & wanita pasca menopause adalah
perdarahan (misalnya dari ulkus, gastritis / tumor saluran pencernaan) atau
maabsorbsi terutama setelah reaksi gaster. Besi tidak dapat diabsorbsi dengan baik.
Jika pasien makan dietd engan serat tinggi dan untuk wanita pra menopause,
penyebab terseringnya adalah karena menoragia (perdarahan menstruasi berlebihan).
Anemia defisiensi besi juga dapat disebabkan oleh rendahnya asupan besi (
tinggi serat, rendah vitamin C dan rendah daging), gangguan absorbsi serta
kehilangan besi karena perdarahan menahun.

4.3 Patofisiologi

Gambar diatas merupakan pathflow dari zat besi yang kita konsumsi seharihari. Pada penderita anemia defisiensi besi, berarti Fe yang masuk ke tubuh berkurang
sehingga makin sedikit heme yang dapat berikatan dengan globin. Otomatis Hb akan
turun dan terjadilah anemia mikrositik hipokrom. Jika jumlah efektif SDM berkurang,
maka lebih sedikit oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Kehilangan darah mendadak
(30% / lebih) menimbulkan simtomatologi sekunder hipovolemia dan hipoksia.
Namun dalam beberapa bulan tubuh segera menkompensasi dan menyesuaikannya.
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi
makin menurun. Jika cadanagan besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state
atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai dengan penurunan kadar ferritin
serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum
tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi

15

kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga


menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum
terjadi, keadaan ini disebut sebagai : iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini
kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free protophorphyrin atau
zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferrin menurun dan total iro
binding capacity (TIBC) meningkat.
Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor
transferrin dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoesis
semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul
anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron deficiency anemia. Pada saat ini
juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat
menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.
4.4 Manifestasi Klinis
Gejala khas defisiensi besi
Gejala yang khas ditemui pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis
lain adalah :
Koilonychia : kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh,
bergaris-garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip seperti
sendok.
Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap
karena papil lidah menghilang.
Stomatitis angularis (cheilosis) : adanya keradangan pada sudut
mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.
Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim seperti
tanah liat, es, lem, dll.
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly adalah kumpulan
gejala yang terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.
4.5 Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh
keluarga. Bila kadar Hb < 5g/dl ditemukan gejala iritabel dan anoreksia. Pucat
ditemukan bila kadar Hb < 7 g/dl Tanpa Organomegali Gangguan
pertumbuhan Rentan terhadap infeksi Penurunan aktivitas kerja Dapat ditemukan
koilonika (kuku sendok), atrofi glositis (lidah halus), angular cheilitis (ulkus di sudut
mulut), takikardi (jantung berdebar debar), gagal jantung, Koilonikia (kuku sendok),
Atrofi glositis (Lidah halus), Angular cheilitis (ulkus sudut mulut)

16

4.5 Diagnosis & Diagnosis Banding


Ada 3 tahad diagnosis anemia defisiensi besi :
1. Tahap pertama
Menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau
hematocrit. Cut off point anemia tergantung kriteria yang dipilih, apakah
kriteria WHO atau kriteria klinik.
2. Tahap kedua
Memastikan adanya defisiensi besi.
3. Tahap ketiga
Menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi.
Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu dan
tahap dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari
kriteria Kerlin et al) sebagai berikut :
Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV <80fL dan
MCHC <31% dengan salah satu dari :
1. Dua dari tiga parameter diibawah ini :
Besi serum <50 mg/dl
TIBC >350 mg/dl
Saturasi transferrin <15%
2. Feritin serum <20 mg/l
3. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perls stain) menunjukkan
cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif
4. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain
yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih
dari 2 g/dl
Diagnosis Banding
Anemia
defisiensi besi
Derajat anemia
MCV
MCH
Besi serum
TIBC
Saturasi
transferrin
Besi sumsum
tulang
Protoporfirin
eritrosit
Feritin serum
Elektofoesis Hb

Anemia akibat
penyakit
kronik
Ringan

Trait
thalassemia

Anemia
Sideroblastik

Ringan

Ringan

Menurun/N
Menurun/N
Menurun <50
Menurun <300

Menurun
Menurun
Normal/
Normal/

Menurun/N
Menurun/N
Normal/
Normal/

Menurun/N
10-20%
Positif

Meningkat
>20%
Positif kuat

Meningkat

Meningkat

Normal

Meningkat
>20%
Positif dengan
ring sideroblast
Normal

Menurun <20
g/l
N

Normal 20-200
g/l
N

Meningkat >50
g/l
Hb. A2
meningkat

Ringan sampai
berat
Menurun
Menurun
Menurun <30
Meningkat
>360
Menurun
<15%
Negatif

Meningkat >50
g/l
N

17

Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:


1.
2.
3.
4.

Kadar HB kurang dari normal sesuai usia.


Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31% (N:32-25%)
Kadar Fe serum < 50 ug/dl (N:80-180ug/dl)
Saturasi Transferin < 15% (N:20-50%)

4.7 Penatalaksanaan
1. Terapi kausal: tergantung penyebab penyakitnya, misalnya: pengobatan cacing
tambang, pengobatan hematoid. Terapi ini harus dilakukan, apabila tidak
dilakukan maka anemia akan kambuh kembali.
2. Pemberian preparat besi untuk pengganti kekurangan besi dalam tubuh:
a) Besi peroral
ferrous sulphat dosis 3 x 200 mg (murah)
ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferros succinate
(lebih mahal)
Sebaiknya diberikan pada saat lambung kosong, tetapi efek samping lebih
banyak dibanding setelah makan. Efek sampingnya yaitu mual, muntah, serta
konstipasi. Pengobatan diberikan selama 6 bulan setelah kadar hemoglobin
normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Kalau tidak, maka akan kembali
kambuh.
b) Besi parenteral
Efek sampingnya lebih berbahaya, dan harganya lebih mahal, indikasi:
Intoleransi oral berat
Kepatuhan berobat kurang
Kolitis ulserativa
Perlu peningkatan Hb secara cepat
Preparat yang tersedia: iron dextran complex, iron sorbital citric acid complex
diberikan secara intramuskuler atau intravena pelan.
Efek samping: reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah,
nyeri perut, dan sinkop.
Kebutuhan besi (mg) = ( 15-Hb sekarang ) x BB x 3
c) Pengobatan lain
Diet: makanan bergizi dengan tinggi protein (protein hewani)
Vitamin c: diberikan 3 x 100 mg perhari untuk meningkatan absorpsi besi
Transfusi darah: jarang dilakukan

18

4.8 Pencegahan
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka
diperlukan suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut
dapat berupa berikut :
1. Pendidikan kesehatan, yaitu :
Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, dan
perbaikan lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehingga
dapat mencegah penyakit cacing tambang.
Penyuluhan gizi : untuk mendorong konsumsi makanan yang
membantu absorpsi besi.
2. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik
paling sering di daerah tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat
dilakukan dengan pengobatan masal dengan anthelmentik dan perbaikan
sanitasi.
3. Suplementasi besi : terutama untuk segmen penduduk yang rentan, seperti
ibu hamil dan anak balita. Di Indonesia diberikan pada perepuan hamil dan
anak balita memakai pil besi dan folat.
4. Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada
bahan makan. Di negara barat dilakukan dengan mencampur tepung untuk
roti atau bubuk susu dengan besi.

4.9 Prognosis
Prognosis baik apabila penyebab anemia hanya karena kekurangan besi saja
dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat.
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa
kemungkinan sebagai berikut:

Diagnosis salah

Dosis obat tidak adekuat

Preparat fe tidak kuat atau kadaluarsa

Kausa anemia Defisiensi besi yang belum teratasi

19

DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I.M ., 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC.
Guyton. Arthur. C (1994). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta:
EGC
Sherwood, Lauralee. (2013). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi
Keenam. Jakarta: EGC.
Sudoyo. W. Aru, Bambang, Setyohadi,dkk. (2006). Ilmu penyakit dalam 2 edisi
IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.
Dorland, W. A. Newman. (2002). Kamus Kedokteran Dorland. EGC 29.
http://www.medicalook.com/human_anatomy/organs/Blood.html
Desmawati. (2013). Sistem Hematologi dan Immunologi. Jakarta: In Media
Hoffbrand, Moss. (2013). Kapita Selekta Hematologi Edisi 6. Jakarta: EGC
Marcdante Karen, Robert, et al. (2011). Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial
Edisi Keenam. Jakarta: IDAI
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21400/4/Chapter%20II.pdf

20

Anda mungkin juga menyukai