Anda di halaman 1dari 28

Jenis-jenis Anemia

Anemia mikrositik
1.Anemia defisiensi besi
Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi
tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang
pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb) berkurang.
Gambaran diagnosis etiologis dapat ditegakkan dari petunjuk patofisiologi, patogenesis,
gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, diagnosis banding, penatalaksanaan dan terapi.
Beberapa zat gizi diperlukan dalam pembentukan sel darah merah. Yang paling penting
adalah zat besi, vitamin B12 dan asam folat, tetapi tubuh juga memerlukan sejumlah kecil
vitamin C, riboflavin dan tembaga serta keseimbangan hormone, terutama eritroprotein.
Tanpa zat gizi dan hormone tersebut, pembentukan sel darah merah akan berjalan lambat dan
tidak mencukupi, dan selnya bisa memiliki kelainan bentuk dan tidak mampu mengangkut
oksigen sebagaimana mestinya.
PATOFISIOLOGI
Zat besi (Fe) diperlukan untuk pembuatan heme dan hemoglobin (Hb).Kekurangan Fe
mengakibatkan kekurangan Hb.Walaupun pembuatan eritrosit juga menurun, tiap eritrosit
mengandung Hb lebih sedikit daripada biasa sehingga timbul anemia hipokromik
mikrositik.3
ETIOLOGI
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi,
serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.
1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari :

Saluran Cerna : akibat dari tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis,
hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
Saluran genitalia wanita : menorrhagia, atau metrorhagia.
Saluran kemih : hematuria
Saluran napas : hemoptoe.
2. Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi
(bioavaibilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah
daging).

3. Kebutuhan besi meningkat : seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan
kehamilan.
4. Gangguan absorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
Pada orang dewasa, anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan
perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai
penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki ialah perdarahan
gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sementara itu,
pada wanita paling sering karena menormetrorhagia.
PATOGENESIS
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan zat besi sehingga cadangan zat besi makin
menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini disebut iron depleted state. Apabila
kekurangan zat besi berlanjut terus maka penyediaan zat besi untuk eritropoesis berkurang
sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit, tetapi anemia secara klinis belum
terjadi, keadaan ini disebut iron deficient erythropoiesis.Selanjutnya timbul anemia
hipokromik mikrositer sehingga disebut iron deficiency anemia.1
GEJALA KLINIS
Anemia pada akhirnya menyebabkan kelelahan, sesak nafas, kurang tenaga dan gejala
lainnya. Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tidak dijumpai pada anemia jenis
lain, seperti :
1. Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah
menghilang.
2. Glositis : iritasi lidah
3. Keilosis : bibir pecah-pecah
4. Koilonikia : kuku jari tangan pecah-pecah dan bentuknya seperti sendok.1
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah :
1. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit : didapatkan anemia hipokrom mikrositer dengan
penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV, MCHC dan MCH
menurun. MCH < 70 fl hanya didapatkan pada anemia difisiensi besi dan thalassemia mayor.
RDW (red cell distribution width) meningkat yang menandakan adanya anisositosis.Indeks
eritrosit sudah dapa mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Kadar
hemoglobin sering turun sangat rendah, tanpa menimbulkan gejala anemia yang mencolok
karena anemia timbul perlahan-perlahan. Apusan darah menunjukkan anemiahipokromik
mikrositer, anisositosis, poikilositosis, anulosit, sel pensil, kadang-kadang sel target. Derajat
hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan

thalassemia. Leukosit dan trombosit normal. Retikulosit rendah dibandingkan derajat anemia.
Pada kasus ankilostomiasissering dijumpai eosinofilia.1
2. Apus sumsum tulang : Hiperplasia eritropoesis, dengan kelompok-kelompok normo-blast
basofil. Bentuk pronormoblast-normoblast kecil-kecil, sideroblast.2
3. Kadar besi serum menurun <50 mg/dl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat >350
mg/dl, dan saturasi transferin < 15%.
4. Feritin serum. Sebagian kecil feritin tubuh bersirkulasi dalam serum, konsentrasinya
sebanding dengan cadangan besi jaringan, khususnya retikuloendotel. Pada anemia defisensi
besi, kadar feritin serum sangat rendah, sedangkan feritin serum yang meningkat
menunjukkan adanya kelebihan besi atau pelepasan feritin berlebihan dari jaringan yang
rusak atau suatu respons fase akut, misalnya pada inflamasi. Kadar feritin serum normal atau
meningkat pada anemia penyakit kronik.
5. TIBC (Total Iron Banding Capacity) meningkat.
6. Feses : Telur cacing Ankilostoma duodenale / Necator americanus.
7. Pemeriksaan lain : endoskopi, kolonoskopi, gastroduodenografi, colon in loop,
pemeriksaan ginekologi.1
DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang diteliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Secara laboratorik untuk
menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dapat dipakai kriteria diagnosis anemia
defisiensi besi sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.

Adanya riwayat perdarahan kronis atau terbukti adanya sumber perdarahan.


Laboratorium : Anemia hipokrom mikrosister, Fe serum rendah, TIBC tinggi.
Tidak terdapat Fe dalam sumsum tulang (sideroblast-)
Adanya respons yang baik terhadap pemberian Fe.1,2

DIAGNOSIS BANDING
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya, seperti :
1. Thalasemia (khususnya thallasemia minor) :

Hb A2 meningkat
Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun.

2. Anemia kaena infeksi menahun :

Biasanya anemia normokromik normositik. Kadang-kadang terjadi anemia hipokromik


mikrositik.
Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun.
3. Keracunan timah hitam (Pb) :

Terdapat gejala lain keracunan P.


1
Terdapat ring sideroblastik pada pemeriksaan sumsum tulang.
Anemia sideroblastik :
PENATALAKSANAAN
1. Mengatasi penyebab perdarahan kronik, misalnya pada ankilostomiasis diberikan
antelmintik
yang
sesuai.
2. Pemberian preparat Fe :
Pemberian preparat besi (ferosulfat/ferofumarat/feroglukonat) dosis 4-6 mg besi
elemental/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis, diberikan di antara waktu makan. Preparat besi
ini diberikan sampai 2-3 bulan setelah kadar hemoglobin normal.
3. Bedah
Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti perdarahan karena diverticulum
Meckel.
4. Suportif
Makanan gizi seimbang terutama yang megandung kadar besi tinggi yang bersumber dari
hewani (limfa, hati, daging) dan nabati (bayam, kacang-kacangan).
TERAPI
Setelah diagnosis ditegakan maka dibuat rencana pemberian terapi, terapi terhadap
anemia difesiensi besi dapat berupa :

Terapi kausal: tergantung penyebabnya,misalnya : pengobatan cacing tambang,


pengobatan hemoroid, pengubatan menoragia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau
tidak maka anemia akan kambuh kembali.
Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh :
1. Besi per oral : merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah, dan
aman.preparat yang tersedia, yaitu:
A. Ferrous sulphat (sulfas ferosus): preparat pilihan pertama (murah dan efektif).
Dosis: 3 x 200 mg.

B. Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate,harga


lebih mahal, tetepi efektivitas dan efek samping hampir sama.
C. Besi parenteral
Efek samping lebih berbahaya,serta harganya lebih mahal. Indikasi, yaitu :
1.

Intoleransi oral berat;


Kepatuhan berobat kurang;
2. Kolitis ulserativa;
3. Perlu peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi, hamil trimester akhir).
2.anemia sideroblastik
Definisi
Anemia Sideroblastic disebabkan oleh produksi abnormal cincin sideroblasts, yang
disebabkan baik secara genetik maupun secara tidak langsung sebagai bagian dari sindrom
myelodysplastic, yang dapat berkembang menjadi keganasan dalam hematological (terutama
leukemia akut myelogenous).
Gejala
Kulit pucat, kelelahan, pusing dan pembesaran limpa dan hati. Penyakit jantung, kerusakan
hati dan gagal ginjal dapat disebabkan oleh penumpukan besi pada organ-organ ini.
Penyebab
Penyebab anemia ini adalah kegagalan sepenuhnya pembentukan bentuk molekul heme,
sehingga terjadi biosintesis hanya sebagian dalam mitokondria. Hal ini menyebabkan
endapan besi di dalam mitokondria yang membentuk sebuah cincin di sekeliling inti
pembentukan sel darah merah. Kadang-kadang kelainan ini mewakili suatu tahap dalam
evolusi dari sumsum tulang yang mungkin pada akhirnya dapat menjadi leukemia akut.
* Racun: keracunan seng
* Drug-induced: etanol, isoniazid, kloramfenikol, cycloserine
* Nutrisi: pyridoxine atau defisiensi tembaga
* Genetik: ALA sintase defisiensi (X-linked)
Diagnosis
Aspirasi sumsum tulang: ditemukan cincin sideroblasts mengelilingi sideroblasts terlihat
dalam tulang sumsum. Anemia dapat ditemukan mulai dari stadium ringan sampai berat,
ditandai dengan adanya anisocytosis dan poikilocytosis. Dapat ditemukan sel target dan

Pappenheimer bodies. MCV menurun. Hitung jenis bergeser ke arah kiri. Leukosit dan
trombosit normal. Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia erythroid dengan pematangan.
Lebih dari 40% dari eritrosit berkembang adalah dikelilingi sideroblasts. Besi serum,
persentasi dan saturasi feritin meningkat. TIBC yang berkurang adalah normal. Hemosiderin
sumsum tulang meningkat.
Pemeriksaan penunjang
* Peningkatan kadar feritin
* Penurunan total kapasitas mengikat besi
* Peningkatan hematokrit sekitar 20-30%
* Serum Iron: Tinggi
* Saturasi transferin meningkat
* Sel hidup rata-rata volume atau MCV biasanya normal atau sedikit meningkat, walaupun
mungkin kadang-kadang rendah, yang menyebabkan kebingungan dengan kekurangan zat
besi.
* Pada keracunan timbal, ditemukan bintik kasar basophil pada sel darah merah
* Spesifik test: pewarnaan Prusian Blue di sumsum tulang . Menunjukkan cincin yang
mengelilingi sideroblasts.
Penatalaksanaan
Kadang-kadang, anemia dapat menjadi sangat parah sehingga diperlukan transfusi. Pasienpasien ini biasanya respon dengan terapi eritropoietin. Pada beberapa kasus telah dilaporkan
bahwa tingkat heme dapat ditingkatkan melalui penggunaan pyrodoxine dosis tinggi (Vitamin
B6.)
Dalam kasus yang parah transplantasi sumsum tulang juga merupakan pilihan dengan
informasi yang terbatas tentang tingkat keberhasilan. Dalam kasus akibat isoniazid
sideroblastic anemia, penambahan B6 dapat digunakan untuk memperbaiki anemia.

3.sindrom thalasemia
a. Definisi
Thalassemia merupakan kelompok heterogen anemia hemolitik herediter yang diturunkan
dari kedua orangtua kepada anak-anaknya secara autosomal resesif yang secara umum
terdapat penurunan kecepatan sintesis pada satu atau lebih rantai polipeptida hemoglobin.
Secara molekuler thalassemia dibedakan atas thalassemia dan thalassemia . Namun
berdasarkan gejala klinisnya, thalassemia terbagi menjadi thalassemia minor, thalassemia
mayor dan thalassemia intermedia.

b. Patofisiologi
Penyebab anemia pada thalassemia bersifat primer dan sekunder. Primer adalah
berkurangnya sintesis HbA dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel
eritrosit intramedular. Sedangkan yang sekunder ialah karena defisiensi asam folat,
bertambahnya volume plasma intravaskular yang mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi
eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati.
Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai
alfa atau beta dari hemoglobin berkurang.
Terjadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi berulang, peningkatan
absorbsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis, serta proses
hemolisis.
c. Patogenesis
o Thalassemia Alfa
Pada thalassemia alfa terjadi mutasi pada kromosom 16 yang menyebabkan tidak
terbentuknya rantai globin . Pada newborn yang masih memiliki Hb F (22), kekurangan
rantai globin menyebabkan terdapat rantai globin yang tidak berpasangan. Rantai globin
yang tidak berpasangan tersebut, kemudian akan membentuk tetramer sebagai Hb Barts.
Sedangkan pada bayi > 6 bulan (dimana kadar HbF sama dengan orang dewasa) terdapat Hb
A (22), kekurangan rantai globin menyebabkan rantai tidak berpasangan yang
kemudian membentuk tetramer sebagai HbH.
Pembentukan tetramer ini mengakibatkan eritropoiesis yang kurang efektif. Tetramer HbH
cenderung mengendap seiring dengan penuaan sel, menghasilkan inclusion bodies. Proses
hemolitik merupakan gambaran utama kelainan ini. Hal ini semakin berat karena HbH dan
Hb Barts adalah homotetramer yang tidak mengalami perubahan allosentrik yang diperlukan
untuk transpor oksigen. Seperti mioglobin, mereka tidak bisa melepas oksigen pada tekanan
fisiologis. Sehingga tingginya kadar HbH dan Hb Barts sebanding dengan beratnya hipoksia
o Thalassemia Beta
Pada thalassemia beta terjadi mutasi pada kromosom 11 yang menyebabkan tidak
terbentuknya rantai globin yang mengakibatkan kelebihan rantai globin pada HbA
(22). Kelebihan rantai akan mengendap pada membran sel eritrosit dan prekursornya.
Hal ini menyebabkan pengrusakan prokursor eritrosit yang hebat intramedular. Eritrosit yang
mencapai darah tepi memiliki inclusion bodies yang menyebabkan pengrusakan di lien dan
oksidasi membrane sel, akibat pelepasan heme dari denaturasi hemoglobin dan penumpukan
besi pada eritrosit. Sehingga pada thalassemia disebabkan oleh berkurangnya produksi dan
pemendekan umur eritrosit dan memberikan gambaran anemia hipokrom dan mikrositer.
Terjadinya eritropoesis yang berlangsusng tidak efektif mengakibatkan jumlah eritrosit
normal yang dibutuhkan menjadi berkurang. Hal ini menimbulkan peningkatan eritropoesis
dalam sumsum tulang (intramedular), dan bila masih belum mencukupi akan dibantu dengan
eritropoesis ekstramedular pada hati dan limpa.
Sebagian kecil precursor eritrosit memiliki kemampuan membuat rantai menghasilkan HbF
extra uterine. Pada thalassemia sel ini sangat terseleksi dan kelebihan rantai lebih kecil
karena sebagian bergabung dengan rantai membentuk HbF. Kombinasi anemia pada

thalassemia dan eritrosit yang kaya HbF dengan afinitas oksigen tinggi , menyebabkan
hipoksia berat yang menstimulasi produksi eritropoetin. Hal ini mengakibatkan peningkatan
masa eritroid yang tidak efektif dengan parubahan tulang, peningkatan absorbsi besi,
metabolisme yang tinggi dan gambaran klinis thalassemia mayor. Penimbunan lien dengan
eritrosit abnormal mengakibatkan pembesaran limpa yang diikuti dengan terperangkapnya
eritrosit, leukosit dan trombosit dalam limpa, sehngga menimbulkan gambaran
hiperplenisme.
.
d. Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir dengan talasemia beta mayor tidak anemia. Gejala awal pucat (karena
pecahnya sel darah merah) mulanya tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun
pertama kehidupan dan pada kasus yang berat terjadi dalam beberapa minggu setelah lahir.
Bila penyakit ini tidak ditangani dengan baik, tumbuh kembang masa kehidupan anak akan
terlambat. Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan lemak tubuh, dan dapat disertai demam
berulang akibat infeksi. Anemia berat dan lama bisanya menyebabkan pembesaran jantung.
Terdapat hepatomegali (pada kasus thalassemia berat) dan splenomegali yang dapat
menyebabkan penderita mudah terserang infeksi. Ikterus ringan mungkin ada. Terjadi
perubahan pada tulang yang menetap, yaitu terjadinya bentuk muka mongoloid akibat sistem
eritropoiesis yang hiperaktif. Adanya penipisan korteks tulang panjang, tangan, dan kaki
dapat menimbulkan fraktur patologis. Penyimpangan pertumbuhan akibat anemia dan
kekurangan gizi menyebabkan perawatan pendek. Kadang-kadang ditemukan epistaksis,
pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, pembesaran ginjal dan batu empedu. Pasien menjadi
peka terhadap infeksi terutama bila limpanya telah diangkat sebelum usia 5 tahun dan mudah
mengalami septisemia yang dapat mengakibatkan kematian. Dapat timbul pansitopenia akibat
hipersplenisme. Selain itu terdapa pula Osteoporosis
Hemosiderosis terjadi pada kelenjar endokrin (keterlambatan menars dan gangguan
perkembangan sifat seks sekunder), pankreas (diabetes), hati (sirosis), otot jantung (aritmia,
gangguan hantara, gagal jantung), dan perikardium (perikarditis).
e. Diagnosis Banding
o Thalassemia
o Anemia Hemolitik
o Hemoglobinopathy struktural
f. Pemeriksaan Penunjang
Anemia biasanya berat, dengan kadar Hb berkisar 3-9 g/dL. Eritrosit memperlihatkan
anisositosis, poikilositosis, dan hipokromia berat. Sering ditemuakn sel target dan tear drop
cell. Normoblas (eritrosit berinti) banyak dijumpai pasca splenoktomid. Gambaran sumsum
tulang memperlihatkan eritropoiesis yang hiperaktif sebanding dengan anemianya. Diagnosis
definitif ditegakkan dengan pemeriksaan elektroforesis Hb. Pada talasemia beta kadar HbF
bervariasi 10-90%, sedangkan dalam keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1%.
Pada pemeriksaan laboratorium, penderita thalassemia berat memiliki penurunan
Hemoglobin (2-5 g/dl), hematokrit, eritrosit, MCV, MCHC, MCH, namun terjadi kenaikan
retikulosit. Pada anak-anak, jumlah hemoglobin normal adalah 10 16 gr/dl, jumlah AL

adalah 9000-12.000/ l, AL pada anak-anak adalah 200.000-400.000 / l darah, dan


Hematokrit pada anak-anak adalah 33-38 volume %.
g. Diagnosis Antenatal
Dapat dilakukan baik dengan memeriksa sintesis rantai globin dalam darah janin yang
diambil dengan foetoskopi atau dengan memakai pemeriksaan cDNA (cDNA probes) untuk
dicangkok (hybridize) dengan DNA janin yang diperoleh baik dengan amniosentesis atau
dengan biopsi trifoblas. Prosedurnya mengandung risiko, tetapi diindikasikan untuk
mencegah kelahiran anak dengan -thalassemia mayor. Jika orang tua dan dokter setuju,
prosedur ini juga dapat dipakai untuk mencegah kelahiran anak dengan cacat hemoglobin
mayor lain.
h. Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ditemukan cara yang dapat menyembuhkan thalassemia. Namun
terdapat beberapa terapi untuk mengurangi gejala yang ditimbulkannya:
o Atasi anemia dengan transfusi PRC. Transfusi hanya diberikan bila Hb <8g/dL. Sekali
diputuskan untuk diberi transfusi darah, Hb harus selalu dipertahakan di atas 12 g/dL tidak
melebihi 15 g/dL. Bila tidak terdapat tanda gagal jantung dan Hb sebelum transfusi di atas 5
g/dL, diberikan 10-15 mg/kgBB per satu kali pemberian selama 2 jam atau 20 mL/kgBB
dalam waktu 3-4 jam. Bila terdapat tanda gagal jantung, pernah ada kelainan jantung, atau Hb
<5 g/dL, dosis satu kali pemberian tidak boleh lebih dari 5 ml/kgBB dengan kecepatan tidak
lebih dari 2 mL/kgBB/jam. Sambil menunggu persiapan transfusi darah diberikan oksigen
dengan kecepatan 2-4 1/menit. Setiap selesai pemberian satu seri transfusi, kadar Hb pasca
transfusi diperiksa 30 menit setelah pemberian transfusi terakhir. Untuk mengeluarkan besi
dari jaringan tubuh diberikan kelasi besi, yaitu Desferal secara im atau iv.
o Usaha untuk mencegah penumpukan besi (hemochromatosis) akibat transfusi dan akibat
patogenesis dari thalassemia dapat dilakukan dengan pemberian iron chelator yaitu
desferoksamin (desferal R) sehingga mengingkatkan ekskresi besi dalam urine. Desferal
diberikan dengan infusion bag atau secara subkutan.
o Pemberian asam folat 5 mg/hari secara oral untuk mencegah krisis megaloblastik.
o Usaha untuk mengurangi proses hemolisis dengan splenektomi jika splenomegali cukup
besar dan terbukti adanya hipersplenisme sehingga membatasi gerak pasien, menimbulkan
tekanan intraabdominal yang mengganggu napas dan berisiko mengalami ruptur.
Hipersplenisme dini ditandai dengan jumlah transfusi melebihi 250 mL/kgBB dalam 1 tahun
terakhir dan adanya penurunan Hb yang drastis. Hipersplenisme lanjut ditandai oleh adanya
pansitopenia. Splenektomi sebaiknya dilakukan pada umur 5 tahun ke atas saat fungsi limpa
dalam sistem imun tubuh telah dapat diambil alih oleh organ limfoid lain.
o Imunisasi terhadap virus hepatitis B dan C perlu dilakukan untuk mencegah infeksi virus
tersebut melalui transfusi darah.
o Terapi definitif dengan transplantasi sumsum tulang perlu dipertimbangkan pada setiap
kasus baru dengan talasemia mayor. Transplantasi yang berhasil akan memberikan
kesembuhan permanen.
o Secara berkala dilakukan pemantauan fungsi organ, seperti jantung, paru, hati, endokrin
termasuk kadar glukosa darah, gigi, telinga, mata, dan tulang.

i. Prognosis
Tidak ada pengobatan untuk Hb Barts. Pada umumnya kasus penyakit Hb H mempunyai
prognosis baik, jarang memerlukan transfuse darah atau splenektomi dan dapat hidup biasa.
Thalassemia alfa 1 dan thalassemia alfa 2 dengan fenotip yang normal pada umumnya juga
mempunyai prognosis baik dan tidak memerlukan pengobatan khusus.
Transplantasi sumsum tulang alogenik adalah salah satu pengobatan alternative tetapi hingga
saat ini belum mendapatkan penyesuaian hasil atau bermanfaat yang sama di antara berbagai
penyelidik secara global.
Thalassemia homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang mencapai usia
decade ke 3, walaupun digunakan antibiotic untuk mencegah infeksi dan pemberian chelating
agents (desferal) untuk mengurangi hemosiderosis (harga umumnya tidak terjangkau oleh
penduduk Negara berkembang). Di Negara maju dengan fasilitas transfuse yang cukup dan
perawatan dengan chelating agents yang baik, usia dapat mencapai decade ke 5 dan kualitas
hidup juga lebih baik.
Anemia makrositik
Anemia Megaloblastik
Anemia yang disebabkan karena kekurangan Vitamin B12 dan asam folat.
Etiologi
1.Faktor diet.
Asupan gizi yang kurang mengandung vit B12 dan asam folat. Vit B 12 banyak pada
produk-produk hewani. Asam folat banyak pada hati, sayuran hijau.
2. Malabsorbsi.
Dari faktor lambung, ileal resection, jejunal resection, gluten enteropathy Chrons disease.
3. Turnover yang meningkat.
Kehamilan, prematur, penyakit keganasan, anemia hemolitik kronik (sickle cell an)
4. Renal loss.
Defisiensi folat, Congestive Heart Failure, Dialisa.
5. Obat-obatan.
Obat anti kejang, sulphasalazine dan alkohol.
Anemia megaloblastik sering disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 dan asam folat yang
mengakibatkan sintesis DNA terganggu. Defisiensi ini mungkin sekunder karena malnutrisi,
malabsorpsi, kekurangan faktor intrinsik (seperti terlihat pada anemia pernisiosa dan
postgastrekomi) infestasi parasit, penyakit usus dan keganasan, serta agen kemoterapeutik.

Individu dengan infeksi cacing pita (dengan Diphyllobothrium latum) akibat makan ikan
segar yang terinfeksi, cacing pita berkompetisi dengan hospes dalam mendapatkan vitamin
B12 dari makanan, yang mengakibatkan anemia megaloblastik (Beck, 1983).
Walaupun anemia pernisiosa merupakan prototip dari anemia megaloblastik defisiensi folat
lebih sering ditemukan dalam praktek klinik. Anemia megaloblastik sering kali terlihat pada
orang tua dengan malnutrisi, pecandu alkoholatau pada remaja dan pada kehamilan dimana
terjadi peningkatan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan fetus dan laktasi. Kebutuhan ini
juga meningkat pada anemia hemolitik, keganasan dan hipertiroidisme. Penyakit celiac dan
sariawan tropik juga menyebabkan malabsorpsi dan penggunaan obat-obat yang bekerja
sebagai antagonis asam folat juga mempengaruhi.
Pemeriksaan Penunjang:
Serum Vit B12 assay.
Serum & red cell folat assay.
Tes fungsi hati dan fungsi tiroid
Hitung retikulosit
Serum protein elektroforesis.
Serum parietal cell & intrinsic factor antibodies.
Sumsum tulang (untuk membedakan dengan myelodisplasia, aplastic anemia, myeloma)
Endoscopy. (gastric biopsy untuk B12 defisiensi atau duodenal biopsy untuk folat defisiensi)
Gejala klinis
Gejala anemia, ikterus ringan, Glositis (lidah warna merah daging dan nyeri, Stomatitis
angularis, gejala malabsorbsi ringan.
Gambaran pada pemeriksaan darah :
Indeks erytrocyt : MCV > 100 fl
Hapusan darah tepi : anisositosis, poikilositosis, ovalosit, Howell jolly bodies, Oval
macrocyt, hipersegmented neutrophil nuclei.
Pada kasus yang berat bisa terjadi penurunan jumlah WBC dan Platelet.
Pencegahan anemia pada penderita anemia megaloblastik
Kebutuhan minimal folat setiap hari kira-kira 50 mg mudah diperoleh dari diet rata-rata.
Sumber yang paling melimpah adalah daging merah (misalnya hati dan ginjal) dan sayuran
berdaun hijau yang segar. Tetapi cara menyiapkan makanan yang benar juga diperlukan
untuk menjamin jumlah gizi yang adekuat.

Misalnya 50% sampai 90% folat dapat hilang pada cara memasak yang memakai banyak air.
Folat diabsorpsi dari duodenum dan jejunum bagian atas, terikat pada protein plasma secara
lemah dan disimpan dalam hati. Tanpa adanya asupan folat persediaan folat biasanya akan
habis kira-kira dalam waktu 4 bulan. Selain gejala-gejala anemia yang sudah dijelaskan
penderita anemia megaloblastik sekunder karena defisiensi folat dapat tampak seperti
malnutrisi dan mengalami glositis berat (radang lidah disertai rasa sakit), diare dan
kehilangan nafsu makan. Kadar folat serum juga menurun (<4 mg/ml).
Penatalaksanaan
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya pengobatan bergantung pada identifikasi dan
menghilangkan penyebab dasarnya. Tindakan ini adalah memperbaiki defisiensi diet dan
terapi pengganti dengan asam folat atau dengan vitamin B12. penderita kecanduan alkohol
yang dirawat di rumah sakit sering memberi respon spontan bila di berikan diet seimbang.
Anemia Perniciosa
Penyakit ini mengenai semua sel tubuh yang disebabkan karena malabsorbsi vit B12. Hal ini
bisa dikarenakan kekurangan factor intrinsic lambung karena autoimun terhadap sel parietal
lambung. Wanita lebih banyak daripada Pria. Terutama pada usia 45 65 tahun. Seringkali
berhubungan dengan orang dengan golongan darah A.
Gejala Klinik
-

kelelahan dan kelemahan

retinal haemorrhages

dyspnoea

lemon tinge to skin

paraesthesia

retrobulbar neuritis

Sore red tongue

mild splenomegali

Diarrhea, dementia

mild pyrexia ( < 38 C )

Etiologi
-

Menurunnya asupan vit B12: vegetarian, alcohol, geriatri.

- Defisiensi intrinsic factor (protein yang membantu penyerapan absorbsi vitamin B12 di
lambung.
-

Gangguan di usus (Chrons disease dan lain-lain).

Pemeriksaan Penunjang
Gambaran pada pemeriksaan darah :
-

Hb 3 11 g/dl, MCV >110 fl, hipersegmented PMN.

Mild neutropenia, mild trombositopenia.

Hapusan darah tepi : anemia makrositter.

Schilling test :
-

untuk menentukan defek malabsorbsi vit B 12 .

Penatalaksanaan
Prinsip terapi pada anemia perniciosa ini adalah dengan mencukupi kebutuhan Vitamin B12
yang kurang dengan penambahan suplemen vitamin B12, mencegah komplikasi dan
memberikan terapi apabila ada penyakit yang mendasari terjadinya anemia perniciosa.

Anemia normositik
Penyebab dan patofisiologi anemia normositik normokrom
Anemia normositik normokrom dapat terjadi karena
a. Hemolitik
b. Pasca perdarahan akut
c. anemia aplastik
d. sindrom mielodisplasia
e. alkoholism
f. anemia pada penyakit hati kronik
Patofisiologi anemia ini terjadi karena pengeluaran darah / destruksi darah yang berlebih
sehingga menyebabkan Sumsum tulang harus bekerja lebih keras lagi dalam eritropoiesis.
Sehingga banyak eritrosit muda (retikulosit) yang terlihat pada gambaran darah tepi. Jika
retikulosit tidak ditemukan, maka dicurigai adanya anemia aplastik, anemia def besi dan b12
yang tidak diobati, terapi radiasi, masalah endokrin, kegagalan sumsum tulang, sindrom
mielodisplasia, dan alkoholism.

Anemia hemolitik
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh pemecahan eritrosit yang meningkat.
Normal masa hidup sel eritrosit dalam sirkulasi darah berkisar diantara 100-120 hari. Setelah
kira-kira 120 hari eritrosit tersebut mengalami penghancuran oleh sistim RE, terutama di
limpa. Apabila proses penghancuran tersebut berlangsung lebih cepat dari waktu yang
tersebut diatas maka umur eritrosit memendek.
Timbulnya anemia akibat faktor yang lebih mendasar yaitu ketidakmampuan sumsum tulang
meningkatkan produksi eritrosit yang cukup sebagai kompensasi dari umur eritrosit yang
memendek. Bila sumsum tulangnya normal, maka dia mampu untuk mengkompensasi
berkurangnya umur eritrosit 4-6 kali dan mencegah terjadinya anemia sehingga terjadilah
keadaan yang disebut penyakit hemolitik terkompensasi. Banyak hal yang dapat
menyebabkan hemolitik, sebaiknya penyebab-penyebab hemolitik tersebut dibagi 2 kategori:

1. Kelainan intra korpuskular. Hampir selalu herediter, dimana eritrosit abnormal sejak
pembentukannya dalam sumsum tulang.
2. Kelainan ekstra korpuskular. Hampir selalu didapat sesudah lahir, dimana eritrosit
dibentuk normal oleh sumsum tulang tetapi rusak oleh sesuatu didalam sirkulasi.
Anemia hemolitik herediter biasanya disebabkan cacat intrinsik eritrosit. Darah normal yang
ditransfusikan bertahan sama lama pada pasien ini seperti pada resipient sehat. Anemia
hemolitik didapat biasanya merupakan perubahan ekstra korpuskular atau lingkungan, darah
normal yang ditransfusikan akan mempunyai umur yang sama pendek seperti sel eritrosit
pasien itu sendiri.
Klasifikasi
a) Anemia hemolitik herediter.
1. Cacat pada membran.
2. Cacat pada metabolisme.
3. Cacat pada hemoglobin.
b) Anemia hemolitik didapat
1. Gangguan proses immunologis
- Anemia hemolitik autoimmun
- Isoimun
2. Sindrom fragmentasi
3. Hipersplenisme
4. Skunder :
- Penyakit ginjal
- Penyakit hati
5. Paroxysimal Nocturnal Hemoglobin (PNH)
6. Lain-lain ; infeksi, zat kimia, toksin, obat-obatan.
Pada beberapa penelitian sering ditemukan masa hidup eritrosit memendek pada penderita
sirosis hati. Mengapa terjadi penurunan umur eritrosit ini, alasanya belum diketahui dengan
pasti. Pada sirosis hati dijumpai adanya perubahan yang khas pada lipid membran eritrosit,
dimana rasio kolesterol dan fosfolipid membran eritrosit berubah dan sebagai akibatnya
terbentuk kelainan morfologi eritrosit berupa makrosit tipis, target sel dan makrosit tebal.
Bila kegagalan fungsi hati semakin berat, penimbunan kolesterol dalam membran eritrosit
tanpa disertai penimbunan lesitin mengakibatkan terbentuknya spur sel (sel taji, akantosis).

Dengan terbentuknya spur sel, umur eritrosit menjadi memendek, karena terjadi hemolisis
dan menandakan penyakit hati menjadi berat dan mempunyai prognosa jelek. Disamping itu
hemolisis juga diakibatkan oleh abnormalitas metabolisme eritrosit, dengan terbentuknya
Heinzbodies dan adanya penurunan ATP pada hipofosfatemia, serta oleh adanya
hipersplenisme yang menyebabkan umur eritrosit memendek.
Gejala Klinis
Gambaran klinis suatu anemia tergantung kepada :
a) Tingkat anemia (berat, sedang, dan ringan).
b) Etiologi anemia.
c) Kecepatan terjadinya anemia (akut atau kronis).
d) Umur penderita.
e) Kemampuan sistem kardiovaskular dan pulmonal untuk melakukan kompensasi akibat
anemia.
Apabila terjadi anemia pada seorang penderita maka kemampuan hemoglobin sebagai
pengangkut oksigen dari paru-paru sampai keseluruh jaringan tubuh akan mengalami
gangguan. Kapasitas pengangkut O2 akan menurun sampai batas tertentu kesetiap jaringan
dan menimbulkan hipoksia jaringan. Akibat hipoksia, setiap jaringan akan menimbulkan
reaksi berupa gejala dan tanda yang khas untuk masing- masing organ tubuh terutama organ
vital seperti otak, jantung, paru-paru, vaskular, dan muskuloskeletal.
Pada ummunya, gejala dan tanda anemia adalah mudah lemah, terutama waktu bekerja, pucat
pada selaput lendir mulut dan mata, gangguan kardiovaskular, jantung berdebar-debar, nadi
cepat atau sesak nafas. Adanya rasa nyeri pada dada (angina) bila disertai iskemia.
Gejala dan tanda amemia hemolitik secara umum pasien kelihatan pucat, ikterus serta
splenomegali.
Pemeriksaan laboratorium
Hasil laboratorium dibagi menjadi 3 kelompok :
a) Gambaran peningkatan penghancuran eritrosit :
1. Bilirubin serum meningkat, terutama inderek.
2. Urobilinogen urin meningkat.
3. Sterkobilinogen feses meningkat.
4. Haptoglobin serum tidak ada karena kompleks hemoglobin-hemoglobin ditarik oleh RE
sel.

b) Gambaran peningkatan produksi eritrosit :


1. Retikulositosis.
2. Hiperplasia eritrosit sumsum tulang.
c) Eritrosit rusak :
1. Fragilitas Osmotik, otohemolitis dan sebagainya.
2. Umur eritrosit memendek. Terbaik diperlihatkan oleh penandaan (labelling) 51Cr dengan
pemeriksaan tempat -tempat destruksi.
3. Morfologi : mikrosferosit, anisopoikilositosis, burr cell, hipokrom mikrositer, target cell,
sickle cell, sferosit.
Penatalaksanaan Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya. Bila
karena reaksi toksik imunologik yang didapat diberikan adalah kortikosteroid (prednison,
prednisolon) kalau perlu dilakukan splenektomi. Apabila keduanya tidak berhasil, dapat
diberikan obat-obatan sitostatik seperti klorambusil dan siklofosmid. Mengingat insiden yang
besar pada autoimun anemia hemolitik, maka jenis anemia ini akan dibahas secara khusus
seperti di bawah ini.
Anemia Hemolitik Autoimun (AIHA)
Kadang-kadang sistem kekebalan tubuh mengalami gangguan fungsi dan menghancurkan
selnya sendiri karena keliru mengenalinya sebagai bahan asing (reaksi autoimun). Jika suatu
reaksi autoimun ditujukan kepada sel darah merah, akan terjadi anemia hemolitik autoimun.
Anemia hemolitik autoimun memiliki banyak penyebab, tetapi sebagian besar penyebabnya
tidak diketahui (idiopatik).
Anemia hemolitik autoimun dibedakan dalam dua jenis utama, yaitu anemia hemolitik
antibodi hangat (paling sering terjadi) dan anemia hemolitik antibodi dingin.:
Antibodi tipe hangat (warm type) yang aktif pada suhu 37C (85%)
Antibodi tipe dingin (cold type) yang aktif pada suhu 4C (15%).
a. Anemia Hemolitik Antibodi Hangat.
Anemia Hemolitik Antibodi Hangat adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk
autoantibodi yang bereaksi terhadap sel darah merah pada suhu tubuh.
Autoantibodi ini melapisi sel darah merah, yang kemudian dikenalinya sebagai benda asing
dan dihancurkan oleh sel perusak dalam limpa atau kadang dalam hati dan sumsum tulang.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita. Sepertiga penderita anemia jenis ini menderita
suatu penyakit tertentu (misalnya limfoma, leukemia atau penyakit jaringan ikat,
terutama lupus eritematosus sistemik) atau telah mendapatkan obat tertentu, terutama
metildopa. Gejalanya seringkali lebih buruk daripada yang diperkirakan, mungkin karena

anemianya berkembang sangat cepat. Limpa biasanya membesar, sehingga bagian perut atas
sebelah kiri bisa terasa nyeri atau tidak nyaman.
Pengobatan tergantung dari penyebabnya. Jika penyebabnya tidak diketahui, diberikan
kortikosteroid (misalnya prednison) dosis tinggi, awalnya melalui intravena , selanjutnya peroral (ditelan).
Sekitar sepertiga penderita memberikan respon yang baik terhadap pengaobatan tersebut.
Penderita lainnya mungkin memerlukan pembedahan untuk mengangkat limpa, agar limpa
berhenti menghancurkan sel darah merah yang terbungkus oleh autoantibodi. Pengangkatan
limpa berhasil mengendalikan anemia pada sekitar 50% penderita. Jika pengobatan ini gagal,
diberikan obat yang menekan sistem kekebalan (misalnya siklosporin dan siklofosfamid).
Transfusi darah dapat menyebabkan masalah pada penderita anemia hemolitik autoimun.
Bank darah mengalami kesulitan dalam menemukan darah yang tidak bereaksi terhadap
antibodi, dan transfusinya sendiri dapat merangsang pembentukan lebih banyak lagi antibodi.
b. Anemia Hemolitik Antibodi Dingin.
Anemia Hemolitik Antibodi Dingin adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk
autoantibodi yang bereaksi terhadap sel darah merah dalam suhu ruangan atau dalam suhu
yang dingin. Anemia jenis ini dapat berbentuk akut atau kronik.
Bentuk yang akut sering terjadi pada penderita infeksi akut, terutamapneumonia tertentu
atau mononukleosis infeksiosa. Bentuk akut biasanya tidak berlangsung lama, relatif ringan
dan menghilang tanpa pengobatan.
Bentuk yang kronik lebih sering terjadi pada wanita, terutama
penderitarematik atau artritis yang berusia diatas 40 tahun. Bentuk yang kronik biasanya
menetap sepanjang hidup penderita, tetapi sifatnya ringan dan kalaupun ada, hanya
menimbulan sedikit gejala.
Cuaca dingin akan meningkatkan penghancuran sel darah merah, memperburuk nyeri sendi
dan bisa menyebabkan kelelahan dan sianosis(tampak kebiruan) pada tangan dan lengan.
Penderita yang tinggal di daerah bercuaca dingin memiliki gejala yang lebih berat
dibandingkan dengan penderita yang tinggal di iklim hangat.
Diagnosis ditegakkan jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi pada
permukaan sel darah merah yang lebih aktif pada suhu yang lebih rendah dari suhu tubuh.
Tidak ada pengobatan khusus, pengobatan ditujukan untuk mengurangi gejala-gejalanya.
Bentuk akut yang berhubungan dengan infeksi akan membaik degnan sendirinya dan jarang
menyebabkan gejala yang serius. Menghindari cuaca dingin bisa mengendalikan bentuk yang
kronik.

Anemia aplastic
Definisi Anemia aplastik merupakan suatu pansitopenia pada hiposelularitas sum-sum tulang.
Anemia aplastik didapat (Acquired qplastic anemia) berbeda dengan iatrogenic marrow
aplasia, hiposelularitas sum-sum setelah chemotherapy sitotoksik intensif. Anemia aplastik
dapat pula diturunkan : anemia Fancani genetic dan dyskeratosis congenital, dan sering
berkaitan dengan anomaly fisik khas dan perkembangan pansitopenia terjadi pada umur yang
lebih muda, dapat pula berupa kegagalan sum-sum pada orang dewasa yang terlihat normal.
Anemia aplastik didapat seringkali bermanifestasi yang khas, dengan onset hitung darah yang
rendah secara mendadak pada dewasa muda yang terlihat normal; hepatitis seronegatif atau
pemberian obat yang salah dapat pula mendahului onset ini. Diagnosis pada keadaan seperti
ini tidak sulit. Biasanya penurunan hitung darah moderat atau tidak lengkap, akan
menyebabkan anemia, leucopenia, dan thrombositopenia atau dalam beberapa kombinasi
tertentu.
Tabel 1. Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan.
Anemia aplastik berat
Anemia aplastik sangat
berat
Anemia aplastik bukan
berat

- Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50%


dengan <30% sel hematopoietik residu, dan
- Dua dari tiga kriteria berikut :
netrofil < 0,5109/l
trombosit <20109 /l
retikulosit < 20109 /l
Sama seperti anemia aplastik berat kecuali
netrofil <0,2109/l
Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia
aplastik berat atau sangat berat; dengan sumsum
tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari
tiga kriteria berikut :
- netrofil < 1,5109/l
- trombosit < 100109/l
- hemoglobin <10 g/dl
Etiologi Asal anemia aplastik telah dihubungkan dengan beberapa kejadian klinis terkait
(Table 2); namun, hubungan ini seringkali tidak tepat dan mungkin bukan etiologi. Walaupun
kebanyakan kasus anemia aplastik bersifat idiopatik, adanya riwayat medis memisahkan
kasus idiopatik dari kasus dengan dugaan etiologi seperti paparan obat.
Tabel 2. Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik.
Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)
Anemia aplastik sekunder
Radiasi
Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Efek regular
- Bahan-bahan sitotoksik
- Benzene
Reaksi Idiosinkratik

- Kloramfenikol
- NSAID
- Anti epileptik
- Emas
- Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
Virus
Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)
Penyakit-penyakit Imun
Eosinofilik fasciitis
Hipoimunoglobulinemia
Timoma dan carcinoma timus
Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
7. Idiopathic aplastic anemia
Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenita
Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)
Patofisiologi
Kegagalan sum-sum terjadi akibat kerusakan berat pada kompartemen sel hematopoetik.
Pada anemia aplastik, tergantinya sum-sum tulang dengan lemak dapat terlihat pada
morfologi spesimen biopsy dan MRI pada spinal. Sel yang membawa antigen CD34, marker
dari sel hematopoietik dini, semakin lemah, dan pada penelitian fungsional, sel bakal dan
primitive kebanyakan tidak ditemukan; pada pemeriksaan in vitro menjelaskan bahwa
kolam sel bakal berkurang hingga < 1% dari normal pada keadaan yang berat.
Suatu kerusakan intrinsic pada sel bakal terjadi pada anemia aplastik konstitusional: sel dari
pasien dengan anemia Fanconi mengalami kerusakan kromosom dan kematian pada paparan
terhadap beberapa agen kimia tertentu. Telomer kebanyakan pendek pada pasien anemia
aplastik, dan mutasi pada gen yang berperan dalam perbaikan telomere (TERC dan TERT )
dapat diidentifikasi pada beberapa orang dewasa dengan anomaly akibat kegagalan sum-sum
dan tanpa anomaly secara fisik atau dengan riwayat keluarga dengan penyakit yang serupa.
Anemia aplasia sepertinya tidak disebabkan oleh kerusakan stroma atau produksi faktor
pertumbuhan.
Kerusakan akibat Obat.
Kerusakan ekstrinsik pada sum-sum terjadi setelah trauma radiasi dan kimiawi seperti dosis
tinggi pada radiasi dan zat kimia toksik. Untuk reaksi idiosinkronasi yang paling sering pada

dosis rendah obat, perubahan metabolisme obat kemungkinan telah memicu mekanisme
kerusakan. Jalur metabolisme dari kebanyakan obat dan zat kimia, terutama jika bersifat polar
dan memiliki keterbatasan dalam daya larut dengan air, melibatkan degradasi enzimatik
hingga menjadi komponen elektrofilik yang sangat reaktif (yang disebut intermediate);
komponen ini bersifat toxic karena kecenderungannya untuk berikatan dengan makromolekul
seluler. Sebagai contoh, turunan hydroquinones dan quinolon berperan terhadap cedera
jaringan. Pembentukan intermediat metabolit yang berlebihan atau kegagalan dalam
detoksifikasi komponen ini kemungkinan akan secara genetic menentukan namun perubahan
genetis ini hanya terlihat pada beberapa obat; kompleksitas dan spesifitas dari jalur ini
berperan terhadap kerentanan suatu loci dan dapat memberikan penjelasan terhadap
jarangnya kejadian reaksi idiosinkronasi obat.
Table 3: Beberapa Obat dan Zat Kimia yang Berkaitan dengan Anemia
Aplastik
1
Agen yang secara rutin menyebabkan depresi sum-sum sebagai toksisitas
utama pada dosis biasa atau paparan yang normal.
2
Obat sitotoksik yang digunakan dalam kemoterapi kanker : alkylating
agents, antimetabolites, antimitotics, beberapa antibiotic
3
Agen yang biasanya namun tidak mutlak menyebabkan aplasia sum-sum:
Benzene
4
Agen yang terkait dengan anemia aplasia namun dengan kemungkinan yang
relative rendah
Chloramphenicol
Insektisida
Antiprotozoa: quinacrine dan chloroquine, mepacrine
Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (termasuk phenylbutazone,
indomethacin, ibuprofen, sulindac, aspirin)
Anticonvulsants (hydantoins, carbamazapine, phenacemide, felbamate)
Heavy metals (gold, arsenic, bismuth, mercury)
Sulfonamides: beberapa antibiotics, obat antithyroid (methimazole,
methylthiouracil, propylthiouracil), obat antidiabetes (tolbutamide,
chlorpropamide), carbonic anhydrase
Antihistamines (cimetidine, chlorpheniramine)
D-Penicillamine
Estrogens (kehamilan)
4
Agen yang keterkaitan dengan anemia aplastik belum jelas:
Antibiotik lainnya (streptomycin, tetracycline, methicillin, mebendazole,
trimethoprim/sulfamethoxazole, flucytosine)
Sedatives dan tranquilizers (chlorpromazine, prochlorperazine,
piperacetazine, chlordiazepoxide, meprobamate, methyprylon)
Allopurinol, Lithium, Methyldopa, Quinidine, Guanidine, Potassium
perchlorate Thiocyanate, Carbimazole
Autoimun
Penyembuhan pada fungsi sum-sum pada beberapa pasien yang dipersiapkan untuk
transplantasi sum-sum dengan antilymphocyte globulin (ALG) menjelaskan bahwa anemia
aplastik kemungkinan dimediasi imun. Seperti dengan hipotesis ini adalah seringnya
kegagalan transplantasi sum-sum dari kembar syngeneic, kemoterapi sitotoksik tidak

dilakukan, keadaan ini menyangkal absennya sel bakal sebagai penyebab dan keberadaan dari
faktor resipien yang menciptakan kegagalan sum-sum. Data laboratorium mendukung
peranan penting sistem imun pada anemia aplastik. Sel darah dan sel sum-sum tulang pada
pasien dapat menekan pertumbuhan sel bakal normal dan diambilnya sel T yang diamati pada
sum-sum tulang pasien anemia aplastik dapat memperbaiki pembentukan koloni in vitro.
Peningkatan jumlah sel T sitotoksik yang aktif ditemukan pada pasien anemia aplastik dan
biasanya menurun dengan terapi immunosupressif; penukuran sitokin menunjukkan respn
imun TH1 (interferon dan tumor necrosis factor). Interferon dan TNF memicu ekspresi Fas
pada sel CD34, menyebabkan apoptosis.; lokalisasi dari sel T yang teraktivasi pada sum-sum
tulang dan produksi lokal pada faktor pelarut kemungkinan penting dalam kerusakan sel
bakal.
Kejadian sistem imun dini pada anemia aplastik belum dipahami dengan baik. Analisis
ekspresi reseptor sel T menunjukkan oligoklonal dan respon sel T sitotoksik akibat antigen.
Banyak antigen exogen berbeda sepertinya mampu untuk menginisiasi respon imun
patologis, namun paling tidak beberapa sel T kemungkinan dapat membedakan self-antigen.
Jarangnya anemia aplastik walaupun seringnya paparan zat pemicu (obat-obatan dan virus
hepatitis) menandakan bahwa respon imun yang ditentukan secara genetic dapat
mengkonversi respon fisiologis normal menjadi suatu proses autoimun abnormal yang
berkelanjutan, termasuk polymorphisme pada histokompabilitas antigen, gen sitokin, dang en
yang mengatur polarisasi sel T dan fungsi efektor.
Manifestasi klinik Kompleks gejala anemia aplastik berkaitan dengan pansitopenia. Gejalagejala lain yang berkaitan dengan anemia adalah defisiensi trombosit dan sel darah putih.
Defisiensi trombosit dapat mengakibatkan:
(1) Ekimosis dan ptekie (perdarahan dalam kulit)
(2) Epistaksis (perdarahan hidung)
(3) Perdarahan saluran cerna
(4) Perdarahan saluran kemih
(5) Perdarahan susunan saraf pusat.
Defisiensi sel darah putih mengakibatkan lebih mudahnya terkena infeksi. Aplasia berat
disertai pengurangan atau tidak adanya retikulosit jumlah granulosit yang kurang dari
500/mm3 dan jumlah trombosit yang kurang dari 20.000 dapat mengakibatkan kematian dan
infeksi dan atau perdarahan dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Namun penderita
yang lebih ringan dapat hidup bertahun- tahun. Pengobatan terutama dipusatkan pada
perawatan suportif sampai terjadi penyembuhan sumsum tulang. Karena infeksi dan
perdarahan yang disebabkan oleh defisiensi sel lain merupakan penyebab utama kematian
maka penting untuk mencegah perdarahan dan infeksi.

Anamnesis
Anemia aplastik dapat muncul dengan mendadak atau memiliki onset yang berkembang
dengan cepat. Perdarahan merupakan gejala awal yang paling sering terjadi; keluhan mudah
terjadi memar selama beberapa hari hingga minggu, gusi yang berdarah, mimisan, darah
menstruasi yang berlebihan, dan kadang-kadang peteki. Adanya thrombositopenia,
perdarahan massif jarang terjadi, namun perdarahan kecil pada sistem saraf pusat dapat
berbahaya pada intracranial dan menyebabkan perdarahan retina. Gejala anemia juga sering
terjadi termasuk mudah lelah, sesak napas, dan tinnitus pada telinga. Infeksi merupakan
gejala awal yang jarang terjadi pada anemia aplastik (tidak seperti pada agranulositosis,
dimana faringitis, infeksi anorektal, atau sepsis sering terjadi pada permulaan penyakit).
Gejala yang khas dari anemia aplastik adalah keterbatasan gejala pada sistem hematologist
dan pasien sering merasa dan sepertinya terlihat sehat walaupun terjadi penurunan drastis
pada hitung darah. Keluhan sistemik dan penurunan berat badan sebaiknya mengarahkan
penyebab pasitopenia lainnya. Adanya pemakaian obat sebelumnya, paparan zat kimia, dan
penyakit infeksi virus sebelumnya mesti diketahui. Riwayat kelainan hematologis pada
keluarga dapat mengindikasikan penyebab konstitusional pada kegagalan sum-sum.
Pemeriksaan Fisik
Peteki dan ekimosis sering terjadi dan perdarahan retina dapat ditemukan. Pemeriksaan pelvis
dan rectal tidak dianjurkan namun jika dikerjakan, harus dengan hati-hati dan menghindari
trauma; karena pemeriksaan ini biasanya menyebabkan perdarahan dari servikal atau darah
pada tinja. Kulit dan mukosa yang pucat sering terjadi kecuali pada kasus yang sangat akut
atau yang telah menjalani transfusi. Infeksi pada pemeriksaan pertama jarang terjadi namun
dapat timbul jika pasien telah menjadi simptomatik setelah beberapa minggu. Limfadenopati
dan splenomegaly juga tidak sering terjadi pada anemia aplastik. Bintik Caf au lait dan
postur tubuh yang pendek merupakan tanda anemia Fanconi; jari-jari yang aneh dan
leukoplakia menandakan dyskeratosis congenital.
Pemeriksaan Laboratorium
Darah
Apusan menunjukkan eritrosit yang besar dan kurangnya platelet dan granulosit. Mean
corpuscular volume (MCV) biasanya meningkat. Retikulosit tidak ditemukan atau kurang dan
jumlah limfosit dapat normal atau sedikit menurun. Keberadaan myeloid immature
menandakan leukemia atau MDS; sel darah merah yang bernukleus menandakan adanya
fibrosis sum-sum atau invasi tumor; platelet abnormal menunjukkan adanya kerusakan perifer
atau MDS. Penderita mengalami pansitopenia yaitu kekurangan sel darah merah, sel darah
putih dan trombosit.
Secara morfologis sel-sel darah merah terlihat normositik dan normokrom, hitung retikulosit
rendah atau hilang dan biopsi sumsum tulang menunjukkan suatu keadaan yang disebut
pungsi kering dengan hipoplasia yang nyata dan terjadi pergantian dengan jaringan lemak.
Langkah-langkah pengobatan terdiri dari mengidentifikasi dan menghilangkan agen

penyebab. Namun pada beberapa keadaan tidak dapat ditemukan agen penyebabnya dan
keadaan ini disebut idiopatik. Beberapa keadaan seperti ini diduga merupakan keadaan
imunologis.
Sum Sum Tulang
Sum-sum tulang biasanya mudah diaspirasi namun menjadi encer jika diapuskan dan biopsi
specimen lemak terlihat pucat pada pengambilan. Pada aplasia berat, apusan dari specimen
aspirat hanya menunjukkan sel darah merah, limfosit residual, dan sel strome; biopsy (dimana
sebaiknya berukuran >1 cm) sangat baik untuk menentukan selularitas dan kebanyakan
menunjukkan lemak jika dilihat dibawah mikroskop, dengan sel hematopoetik menempati
<25% style="> sum-sum yang kosong, sedangkan hot-spot hematopoiesis dapat pula
terlihat pada kasus yang berat. Jika specimen pungsi krista iliaka tidak adekuat, sel dapat pula
diaspirasi di sternum. Sel hematopoietik residual seharusnya mempunyai morfologi yang
normal, kecuali untuk eritropoiesis megaloblastik ringan; megakariosit selalu sangat
berkurang dan biasanya tidak ditemukan. Sebaiknya myeloblast dicari pada area sekitar
spikula. Granuloma (pada specimen seluler) dapat mengindikasikan etiologi infeksi dari
kegagalan sum-sum.

Radiologi
Gambaran radiology yang sering ditemukan pada penderita anemia aplastik yaitu dengan
abnormalitas skelet, yang paling sering hipoplasia atau tidak adanya ibu jari dan anomaly
pergelangan tangan sisi radial.
- 50 % mengalami hipoplasia
- 25 % mengalami osteoporosis
- 25 % mengalami anomaly ginjal, ginjal atopik atau aplastik dan horse shoe kidney.
Diagnosis
Diagnosis anemia aplastik biasanya dilakukan dengan cepat, berdasar dari kombinasi
pansitopenia dengan sum-sum tulang kosong dan berlemak. Anemia aplastik merupakan
penyakit dewasa muda dan sebaiknya menjadi diagnosis utama pada seorang remaja atau
dewasa yang mengalami pansitopenia. Jika yang terjadi adalah pansitopenia sekunder,
diagnosis utama biasanya ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis : pembesaran
limpa seperti pada sirosis alkoholik, riwayat metastasis kanker, atau sistemik lupus
eritematosus, atau tuberculosis miliar pada gambaran radiologi Masalah diagnosis dapat
timbul dengan gambaran penyakit yang atipikal dan merata. Dimana pansitopenia sangat
umum terjadi, beberapa pasien dengan hiposelularitas pada sum-sum memiliki penurunan
hanya pada satu atau dua dari tiga jenis sel darah, seringkali memperlihatkan perkembangan
menjadi anemia aplastik yang jelas. Sum-sum tulang pada anemia aplastik sulit dibedakan
secara morfologis dengan aspirat pada penyakit didapat. Diagnosis dapat dipengaruhi oleh

riwayat keluarga, hitung jenis darah yang abnormal, atau keberadaan dari anomali fisik yang
terkait. Anemia aplasia lebih sulit dibedakan dari variasi hiposeluler dari MDS : MDS
ditandai dengan penemuan abnormalitas morfologis, terutama megakariosit dan sel bakal
myeloid, dan abnormalitas sitogenik tipikal.
Pencegahan anemia aplastik dan terapi yang di lakukan
Prinsip pengobatan yang dilakukan yaitu :
- Hilangkan penyebab
- Hindari trauma, terutama pada selaput lender dan kulit
- Hindari infeksi.
- Stimulasi sumsum tulang (Hemopoiesis) dimana hormone androgen mengalami testosterone
dan oksimetolon
- Melakukan transfuse darah seminimal mungkin, jika Hb 8 9 gr / dl
- Mengganti stem cell yang rusak dengan cara mentransplantasi sumsum tulang
Tindakan pencegahan dapat mencakup lingkungan yang dilindungi (ruangan dengan aliran
udara yang mendatar atau tempat yang nyaman) dan higiene yang baik. Pada pendarahan
dan/atau infeksi perlu dilakukan terapi komponen darah yang bijaksana, yaitu sel darah
merah, granulosit dan trombosit dan antibiotik. Agen-agen perangsang sumsum tulang seperti
androgen diduga menimbulkan eritropoiesis, tetapi efisiensinya tidak menentu. Penderita
anemia aplastik kronik dipertahankan pada hemoglobin (Hb) antara 8 dan 9 g dengan tranfusi
darah yang periodik.
Penderita anemia aplastik berusia muda yang terjadi secara sekunder akibat kerusakan sel
induk memberi respon yang baik terhadap tranplantasi sumsum tulang dari donor yang cocok
(saudara kandung dengan antigen leukosit manusia S[HLA] yang cocok). Pada kasus-kasus
yang dianggap terjadi reaksi imunologis maka digunakan globulin antitimosit (ATG) yang
mengandung antibodi untuk melawan sel T manusia untuk mendapatkan remisi sebagian.
Terapi semacam ini dianjurkan untuk penderita yang agak tua atau untuk penderita yang tidak
mempunyai saudara kandung yang cocok.
Penatalaksanaan Anemia Aplastik
Anemia aplastik dapat disembuhkan dengan penggantian sel hematopoietik yang hilang (dan
sistem imun) dengan transplantasi stem cell, atau dapat diringankan dengan penekanan sistem
imun untuk mempercepat penyembuhan fungsi sum-sum tulang residual. Faktor pertumbuhan
hematopoietik memiliki keterbatasan manfaat dan glukokortikoid tidaklah bermanfaat.
Paparan obat atau zat kimia yang dicurigai sebaiknya dihentikan dan dihindari; namun,
penyembuhan spontan dari penurunan sel darah yang berat jarang terjadi, dan periode
menunggu sebelum memulai penanganan tidak dianjurkan kecuali hitung jenis darah hanya
sedikit menurun. Tindakan lain, yaitu diberikan :

- Kortikosteroid dengan trombositopenia berat


- Splenoktomi dengan kasus resisten
- Immunosupresif dengan kausa immunologic.
Prognosis
Sifat alami dari perkembangan anemia aplastik adalah penurunan kesehatan dan kematian.
Persiapan sel darah merah dan kemudian transfusi sel darah putih serta antibiotic platelet
terkadang berguna, namun hanya segelintir pasien memperlihatkan penyembuhan spontan.
Penentu utama prognosis adalah hitung darah, Prognosis bertambah buruk jika ditemukan
ciri-ciri sebagai berikut:
- Netrofil < 0,5 x 10 / L
- Platelet < 20 x 10 / L
- Retikulosit < 40 x 10 / L
Anemia Pasca Perdarahan
Definisi
Anemia Karena Perdarahan adalah berkurangnya jumlah sel darah merah atau jumlah
hemoglobin (protein pengangkut oksigen) yang disebabkan oleh perdarahan.
Etiologi
Perdarahan hebat merupakan penyebab tersering dari anemia.
Jika kehilangan darah, tubuh dengan segera menarik cairan dari jaringan diluar pembuluh
darah sebagai usaha untuk menjaga agar pembuluh darah tetap terisi.
Akibatnya darah menjadi lebih encer dan persentase sel darah merah berkurang.
Pada akhirnya, peningkatan pembentukan sel darah merah akan memperbaiki anemia. Tetapi
pada awalnya anemia bisa sangat berat, terutama jika timbul dengan segera karena
kehilangan darah yang tiba-tiba, seperti yang terjadi pada:
- Kecelakaan
- Pembedahan
- Persalinan
- Pecahnya pembuluh darah.
Yang lebih sering terjadi adalah perdarahan menahun (terus menerus atau berulang-ulang),
yang bisa terjadi pada berbagai bagian tubuh: Perdarahan hidung dan wasir : jelas terlihat.

Perdarahan pada tukak lambung dan usus kecil atau polip dan kanker usus besar) : mungkin
tidak terlihat dengan jelas karena jumlah darahnya sedikit dan tidak tampak sebagai darah
yang merah di dalam tinja; jenis perdarahan ini disebut perdarahan tersembunyi.
Perdarahan karena tumor ginjal atau kandung kemih; bisa menyebabkan ditemukannya darah
dalam air kemih. Perdarahan menstruasi yang sangat banyak.
Gejala Klinis
Hilangnya sejumlah besar darah secara mendadak dapat menyebabkan 2 masalah:
- Tekanan darah menurun karena jumlah cairan di dalam pembuluh darah berkurang
- Pasokan oksigen tubuh menurun karena jumlah sel darah merah yang mengangkut oksigen
berkurang.
Kedua masalah tersebut bisa menyebabkan serangan jantung, stroke atau kematian. Anemia
yang disebabkan oleh perdarahan bisa bersifat ringan sampai berat, dan gejalanya bervariasi.
Anemia bisa tidak menimbulkan gejala atau bisa menyebabkan:
- pingsan
- pusing
- haus
- berkeringat
- denyut nadi yang lemah dan cepat
- pernafasan yang cepat.
Penderita sering mengalami pusing ketika duduk atau berdiri (hipotensi ortostatik). Anemia
juga bisa menyebabkan kelelahan yang luar biasa, sesak nafas, nyeri dada dan jika sangat
berat bisa menyebabkan kematian. Berat ringannya gejala ditentukan oleh kecepatan
hilangnya darah dari tubuh. Jika darah hilang dalam waktu yang singkat (dalam beberapa jam
atau kurang), kehilangan sepertiga dari volume darah tubuh bisa berakibat fatal.
Jika darah hilang lebih lambat (dalam beberapa hari, minggu atau lebih lama lagi),
kehilangan sampai dua pertiga dari volumer darah tubuh bisa hanya menyebabkan kelelahan
dan kelemahan atau tanpa gejala sama sekali.
Manifestasi klinis menurut Brunner dan Suddart (2001):
a) Pengaruh yang timbul segera
Akibat kehilangan darah yang cepat terjadi reflek cardia vaskuler yang fisiologis berupa
kontraksi orteiola, pengurangan cairan darah atau komponennya ke organ tubuh yang kurang
vital (otak dan jantung). Gejala yang timbul tergantung dari cepat dan banyaknya darah yang
hilang dan apakah tubuh masih dapat mengadakan kompensasi. Kehilangan darah 200 ml

pada orang dewasa yang terjadi dengan cepat dapat lebih berbahaya daripada kehilangan
darah sebanyak 3000ml dalam waktu yang lama.
b) Pengaruh lambat
Beberapa jam setelah perdarahan terjadi pergeseran cairan ekstraseluler dan intravaskuler
yaitu agar isi iontravaskuler dan tekanan osmotik dapat dipertahankan tetapi akibatnya terjadi
hemodilati. Gejala yang ditemukan adalah leukositosis (15.000-20.000/mm3) nilai
hemoglobin, eritrosit dan hematokrit merendah akibat hemodilasi. Untuk mempertahankan
metabolisme, sebagai kompensasi sistem eritropoenik menjadi hiperaktif, kadang-kadang
terlihat gejala gagal jantung. Pada orang dewasa keadaan hemodelasi dapat menimbulkan
kelainan cerebral dan infark miokard karena hipoksemia. Sebelum ginjal kembali normal
akan ditemukan oliguria atau anuria sebagai akibat berkurangnya aliran ke ginjal.
Penatalaksanaan
Pengobatan tergantung kepada kecepatan hilangnya darah dan beratnya anemia yang terjadi.
Satu-satunya pengobatan untuk kehilangan darah dalam waktu yang singkat atau anemia
yang berat adalah transfusi sel darah merah. Selain itu, sumber perdarahan harus ditemukan
dan perdarahan harus dihentikan. Jika darah hilang dalam waktu yang lebih lama atau anemia
tidak terlalu berat, tubuh bisa menghasilkan sejumlah sel darah merah yang cukup untuk
memperbaiki anemia tanpa harus menjalani transfusi. Zat besi yang diperlukan untuk
pembentukan sel darah merah juga hilang selama perdarahan.
Karena itu sebagian besar penderita anemia juga mendapatkan tambahan zat besi, biasanya
dalam bentuk tablet.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Bakta, I.M ., 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC.
[2] Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H., 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta :
EGC.
[3] Weiss, G.,Goodnough, L.T., 2005. Anemia of Chronic Disease.Nejm, 352 : 1011-1023.
[4] Dunn, A., Carter, J., Carter, H., 2003. Anemia at the end of life: prevalence, significance,
and causes in patients receiving palliative care. Medlineplus. 26:1132-1139.

Anda mungkin juga menyukai