Gen apoptin yang terdiri dari 121 asam aminoberasal dari chicken anemia virus
(CAV) virus non-enveloped yang resistant terhadap inaktivasi termal dan perlakuan oleh
pelarut lipid (von Bulow and Schat, 1997). Apoptin iniakan di kloning dalam E.coli. Dalam
masalah ini vektor, host, dan modifikasi yang dipilih kelompok kami adalah sebagai berikut.
JENIS VEKTOR
Kelompok kami memilih vektor pBluescript II SK + sebagai vektor yang akan
dimasukkan gen apoptin yang telah dimodifikasi.pBluescript II phagemids (plasmids dengan
phage origin) adalah vektor yang di design untuk kloning untuk menyederhanakan kloning
yang digunakan biasanya dan prosedur sequencing.
Genotip
Fungsi
endA1
supE44
thi-1
JENIS MODIFIKASI
Gen apoptin akan dimodifikasi dengan menambahkan histidine, arginin, dan situs
restriksi yang dipilih.Kelompok kami memilih modifikasi gen apoptin tersebut menggunakan
teknik PCR.Prinsip dasarnya adalah dengan membuat salinan dari DNA yang akan di
rekombinankan ke dalam vector. Pada mekanisme cloning PCR ini. Dibuat primer yang
sesuai dengan sisi restriksi. Desain primer DNA insert yang dibutuhkan untuk adalah
penambahan 3-6 bp DNA diujung untuk tempat memotongnya enzim restriksi endonuklease
karena enzim restriksi endonuklease memotong ditengah segmen, bukan diujung. Kemudian
penambahan sisi restriksi yang tepat dan sesuai dengan sisi restriksi vektor yang akan
digunakan. Oleh karena itu, kami harus mendesign primer yang sesuai dengan modifikasi
yang diinginkan. Pembahasan design primer untuk modifikasi gen apoptin akan di jelaskan di
strategi pemecahan masalah.
Sisi restriksi, DNA insert, dan pasangan basa tambahan serta kodon start dan stop
yang telah di desain dan terdenaturasi menjadi ssDNA akan di annealdengan DNA Primer.
DNA Primer akan memasangkan basa-basa yang komplementer yang sesuai dengan basa
nitrogen dari kodon start, kodon stop, sisi resstriksi, kode DNA yang akan di sisipkan tanpa
ada celah dan di sambungkan secara langsung.
Keuntungan dari PCR adalah metode ini lebih efisien karena memiliki basa nitrogen yang
lebih sedikit daripada cloning biasa. Pada cloning PCR, sifat DNA rekombinan dengan
beberapa penambahan sifat dan beberapa modifikasi seperti sisi restriksi dapat di
sambungkan secara langsung tanpa terdapat celah basa nitrogen (scar) sehingga metode ini
lebih efisien. Metode cloning PCR juga cenderung berlangsung lebih cepat
Setelah gen apoptin dimasukkan ke dalam vektor, vektor tersebut akan dimasukkan ke
dalam sel host. Kelompok kami memilih sel host E.coli XL-1 Blue MRF yang cocok untuk
vektor pBluescript II SK yang telah dijelaskan sebelumnya. Secara garis besar tahapan
strategi pemecahan masalah mengekspresikan gen apoptin digambarkan dalam diagram di
bawah ini.
Modifikasi Gen
Apoptin : PCR
Penyisipan Gen
pada Vektor
pBluescript II SK
Transformasi
Vektor pada host
E.coli XL-1 Blue
MRF'
Screening
Gambar 3.3. Urutan basa gen apoptin. Sumber: Lee, M.-S. (2012). Efficient Production of an Engineered
Apoptin from Chicken Anemia Virus in a Recombinant E. coli for Tumor Therapeutic Applications. Lee et al.
BMC Biotechnology, 12(27))http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22672291)
Gen apoptin tersebut dimodifikasi dengan menambahkan histidin (CAT , CAC) di C terminal
untuk mempermudah proses pemurnian apoptin dan menambahkan arginine (CGT, CGC,
CGA, CGG, AGA, AGG) di N terminal untuk memudahkan proses penetrasi apoptin pada
vektor yang diinginkan. Selain penambahan asam amino tersebut, gen apoptin juga akan
ditambahkan start/stop kodon dan situs enzim restriksi yang berada pada vektor. Oleh karena
itu, kita harus mengetahui situs enzim restriksi pada vektor yang kita inginkan. Secara garis
besar, gen apoptin akan dimodifikasi menjadi gambar di bawah ini :
Modifikasi gen apoptin akan dilakukan dengan cara PCR. Oleh karena itu, perlu
dilakukan design primer untuk memperbanyak gen apoptin (VP3) dari gen chicken anemia
virus (CAV) serta memperpanjang gen tersebut dengan histidine, arginin, dan situs enzim
restriksi. Primer jenis pertama adalah primer untuk mengambil dan memperbanyak gen
apoptin dari gen chicken anemia virus (CAV). Primer ini mengambil 21 urutan basa yang
berada di ujung gen apoptin. Dari sequence gen apoptin pada Gambar 3.3, maka design
primer jenis pertama akan seperti gambar di bawah ini :
Setelah gen apoptin diperbanyak, gen apoptin akan diperpanjang oleh histidine dan
arginin serta enzim restriksi dengan bantuan PCR. Oleh karena itu, dibutuhkan primer jenis
kedua yang mengandung histidine, arginin, dan situs enzim restriksi. Gen apoptin ini akan
disisipkan antara situs BamHI dan NotIpada pBluescript II SK + sehingga situs untuk enzim
restriksi di ujung kiri adalah BamHI (GGA TCC) dan situs restriksi di ujung kanan adalah
NotI (GC GGC CGC). Urutan basa untuk primer jenis kedua ini adalah :
Pada 3 primer sequence situs restriksi yang dimasukkan adalah komplementer basa NotI,
agar ketika disintesis akan terbentuk urutan basa NotI yang sebenarnya(GC GGC CGC).
Setelah proses PCR ini, gen apoptin sudah termodifikasi seperti Gambar 3.4. Namun, DNA
yang dihasilkan dari proses PCR ini masih memiliki ujung rata (blunt end) sehingga untuk
memasukkan gen apoptin termodifikasi ke dalam vektor perlu sedikit perlakuan tambahan
yang akan dijelaskan selanjutnya.
III.2 Memasukkan Gen yang Telah dimodifikasi pada Vektor
Dalam memasukkan gen apoptin yang termodifikasi ke dalam vektor, kami
menambahkan enzim restriksi terlebih dahulu. Langkah pertama dalam mekanisme ini adalah
memilih enzim yang sesuai dengan situs restriksi yang dipilih untuk diberikan pada gen
apoptin yang termodifikasi sehingga menghasilkan ujung sticky end.Enzim restriksi yang
sesuai dengan situs restriksi yang sudah ditambahkan pada gen apoptin adalah BamHI dan
NotI. Sticky end yang dihasilkan oleh enzim restriksi seperti gambar di bawah ini :
Gambar 3.7. Mekanisme pemotongan ujung sticky end pada gen dan vektor serta pengikatan DNA insert pada
vektor. (Sumber: http://users.rcn.com/jkimball.ma.ultranet/BiologyPages/M/Making_rDNA.gif)
Penambahan enzim restriksi BamHI dan NotI tidak hanya ditambahkan pada gen apoptin,
namun juga pada vektor sehingga didapatkan juga ujung sticky end pada vektor seperti pada
gambar 3.7. Oleh karena itu, gen apoptin dapat masuk ke vektor.
Tahap selanjutnya adalah tahap penyambungan (ligasi) DNA insert kedalam vector.
Dalam memasukkan DNA Insert kedalam Vektor dibutuhkan keefektifan yang tinggi agar
DNA insert dapat masuk kedalam Insert. Untuk itu disiapkan bahan-bahan Insert DNA dan
DNA vector dengan Komposisi 3:1. Dalam metode ini digunakan 75 ng insert dan 25 ng
DNA vector. Dalam metode ini dibutuhkan bahan sebagai berikut:
Alkaline Phospate
Alkaline phosfat digunakan untuk mendegradasi ujung 5 dan ujung 3 agar tidak
terjadi self ligation atau peristiwa menyambungnya ujung-ujung dalam vector sendiri
atau ujung vector yang lain setelah restriksi. Peristiwa self ligation akan menyebabkan
DNA insert tidak dapat kembali masuk kedalam karena ujung 5 dan 3 pada vector
saling berikatan.
Dengan menambahkan alkaline phosphate, ujung 5-fosfat dan ujung 3-fosfat akan
terdegradasi menjadi 5-OH dan 3-OH. Ujung-ujung tersebut akan tidak menyambung
satu sama lain, namun insert masih dapat berikatan dengan kedua ujung tersebut. DNA
insert telah membawa dua ujung fosfat dan ujung dua OH masing-masing satu pada tiap
ujungnya. Kedua ujung fosfat pada insert akan berikatan pada ujung OH pada vector.
Namun karena pada vector fosfat telah menjadi OH maka sisi OH pada vector dan pada
insert tidak dapat berikatan. Hal tersebut akan menyebabkan adanya nick atau celah, nick
ini tidak menjadi masalah dalam proses penyambungan. Proses penambahan alkaline
phospat dilakukan sebelum penambahan insert. Sebelum dimasukkan insert, vektor harus
steril dari segala kegiatan fosfat.
Gambar 3.8. Mekanisme pencegahan self ligation dengan alkaline fosfat (Sumber: Anam, Khairul. 2009.
Laporan Praktikum Genetika Molekuler. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor)
Buffer
Penambahan buffer bertujuan untuk menjaga pH dari DNA agar tetap stabil selama
penambahan zat-zat tertentu. Buffer biasanya dilengkapi dengan ATP. ATP ini beguna
sebagai kofaktpor pada enzim ligase sehingga dapat mempercepat reaksi pengikatan.
Komposisi buffer adalah 66 mM tris HCl 10 mm
MgCl2
Polietilene glikol (PEG 6000). Penambahan PEG membuat DNA ligase dapat bekerja
dengan lebih cepat. Penambahan buffer ini membuat aktivitas enzim DNA ligase T7
bekerja dua kali lebih cepat.
Pelarut
Penambahan pelarut yang digunakan adalah ddH20. Pelarut ini digunakan untuk
melarutkan DNA. Penambhan pelarut dapat membantu proses pemurnian dan proses
vakum. Namun pelarut ini dapat mempengaruhi pH dari DNA.
DNA Ligase
DNA ligase dalam proses ini berguna untuk menyambungkan DNA insert dengan
vector. DNA ligase yang digunakan adalah T7 DNA ligase. T7 DNA ligase berasal dari
strain E-coli yang mengandung rekombinangene pengkode T7 DNA ligase Seperti telah
diketahui sebelumnya, enzim restriksi menyebabkan ujung ujung vector dan DNA Insert
berbentuk sticky end, T7 DNA ligase sangat efektif untuk ligase DNA dengan ujungujung sticky end. T7 DNA ligase dapat menyabungkan ujung-ujung yang terdapat nick.
Telah diketahui sebelumnya bahwa penambhana alkaline phosfat dapat menyebabkan
nick pada ikatan DNA insert dan DNA vector. T7 DNA ligase adalah enzim yang
membutuhkan ATP dalam reaksinya sehingga penambahan buffer dengan ATP sangat
membantu reaksi pengikatan yang dilakukan oleh DNA ligase.
Mekanisme reaksi DNA ligase dimulai dengan hidrolisisi kofaktor ATP yang
menghasilkan enzim adenylate AMP yang berikatan kovalen dengan grup -amino
residu lysine pada sisi aktif dengan melepaskan pyrofosfat organic. Sebagian AMP
berpindah ke sisi 5 fosfat kemudian ikatan fosfodiester terbentuk antara ujung 3-OH
dengan 5-fosfat. Agar lebif efektif, reaksi DNA ligase T7 ini berlangsung pada suhu 25o
C dan pada pH 7,6 karena pada suhu tersebut enzim T7 DNA ligase dapat bekerja
optimal
Menggunakan koloni sel host yang segar dan di inokulasi dengan medium dan
pertumbuhan dengan aerasi sepanjang malam pada 37
Pada fase lag, sel yang telah di inokulasi dipanen dengan mensentrifugasi selama 10
menit.
Mencuci sel pelet dalam 250 ml es WB seperti gambar di bawah. Pertama,
menambahkan sedikit WB ke sel pellet, pipet ke atas dan ke bawah atau di vortex
secara perlahan sampai sel tersuspensi kembali. Lalu, mengisi botol sentrifuge
dengan WB es dan campuran.
Mensentrifuge suspensi sel kembali pada 5000 rpm selama 15 menit, setelah itu
perlahan tuang supernatant saat selesai mensentrifugasi.
Mencuci sel pelet dalam 250 ml es WB untuk kedua kalinya dengan teknik yang
sama. Mensentrifuge suspensi sel kembali pada 5000 rpm selama 15 menit.
Tuang supernatant dan meninggalkan sejumlah WB di bawah botol sentrifuge. Sel
pelet berada pada WB yang mengendap tersebut dan sel bisa langsung dipakai atau
disimpan (dibekukan).
Persiapan DNA plasmid (Vektor)
Untuk proses elektroporasi DNA harus memiliki kekuatan ionik yang rendah dan
ketahanan yang tinggi. DNA harus dimurnikan dengan pengenceran, presipitasi atau
dialisis. Untuk memurnikan DNA yang akan ditransformasi, DNA diencerkan dengan 10
mM Tris pH 8-8.3 sekitar 1-50 ng/l (jangan menggunakan TE). Gunakan 1 l dari 20 l
of suspensi sel untuk transformasi elektroporasi.
Elektroporasi
Menggunakan mikro pipet, pipet 20 lcampuran sel host dan DNA rekombinan
(konsentrasi 1l ) yang telah disiapkan sebelumnyaditaruh di dalam cuvette yang
berada diantara elektroda yang memiliki perbedaan potensial (kejutan).
Perbedaan potensial biasanya dibuat dengan charging kapasitor kemudian
discharging melintasi elektroda.
Perbedaan potensial menyebabkan pembentukan pori pada membran sel.
Pori tersebut membuat struktur membran sel menjadi permeable untuk proses
pemindahan DNA menuju sitoplasma dalam sel.
X-gal dan IPTG dapat keluar dari plate ampicillin. Pada kondisi ini tidak akan terjadi seleksi
warna, tetapi rekombinan akan mengekspresikan protein yang diduga racun tersebut dalam
tingkat yang lebih rendah.
Blue MRF hasil transformasi benar-benar memiliki hasil rekombinan dari proses transformasi.
Seperti yang kita ketahui, bahwa pada umumnya, bakteri tidak dapat hidup pada media yang
mengandung antibiotik. Untuk itu pada DNA plasmid pBluescript yang ditranformasikan
terdapat gen penyandi antibiotik resisten, yakni gen ampicilin resisten (ampR) agar bakteri host
[E.coli XL-1 Blue MRF] menjadi tahan hidup di media yang mengandung antibiotik. Jadi
bakteri yang tidak disisipi plasmid akan mati dengan sendirinya. Berikutnya adalah bagaimana
menentukan host cell yang plasmidnya memiliki gen apoptin. Pada kenyataanya tahapan ligasi
tidak selalu 100% berhasil menyambungkan vektor dan insertnya. Bisa saja vektor tersebut
berligasi sendiri (vector self-ligation), atau justru insert yang berligasi sendiri (insert selfligation).
Pada kasus ini, gen apoptin (insert) disisipkan di pertengahan gen lacZ yang merupakan
penyandi lacZ- subunit dari enzim -galaktosidase. Enzim ini dapat memecah substrat seperti
X-gal (suatu galaktosa yang dimodifikasi) menjadi galaktosa dan pre-chromophore 5-bromo-4kloro-3-hidroksindole, yang selanjutnya dioksidasi menjadi 5,5-dibromo-4,4-dikloro-indigo
yang berwarna biru (Gambar 1).
Jika gen lacZ masih utuh, maka koloni bakteri E.coliXL-1 Blue MRFakan berwarna biru
akibat pengaruh zat warna indigo yang dihasilkan. Tetapi jika insert (gen apoptin) berhasil
disisipkan (diligasikan) dengan vektor, otomatis gen lacZ-nya akan terdisrupsi (rusak) dan
ujung-ujungnya tidak mampu menghasilkan indigo yang berwarna biru, sehingga koloni akan
berwarna putih. Jadi hanya koloni putih yang tumbuh pada media yang mengandung antibiotik
dan X-Gal saja yang kemungkinan mengandung gen apoptin yang ditransformasikan. Inilah
mengapa proses ini disebut blue-white screening (Gambar 3.12).
Davis et al. (1994), menyebutkan terjadinya perubahan koloni yang berwarna putih
menjadi biru kembali, kemungkinan disebabkan adanya pergeseran kerangka baca (frameshift)
dari protein, atau mungkin disebabkan adanya aktivitas eksonuklease yang memotong fragmen
tersebut. Selanjutnya menurut Mangunwardoyo (2002), transforman yang dihasilkan ada yang
berwarna biru dan putih atau putih berubah menjadi biru, adanya warna biru karena senyawa Xgal dalam medium. Hal ini terjadi karena adanya -komplementasi di mana vektor plasmid
pBluescript pada bagian poli-lingkernya masing-masing mengkode 146 asam amino dari galaktosidase (-gal), sedangkan inangnya mengkode bagian C-terminal dan merupakan
komplemen dari -gal. Jika gen penyandi amino terminal -gal dari vektor plasmid dirusak
dengan adanya fragmen DNA, maka protein -gal tidak terbentuk, hal ini menyebabkan koloni
berwarna putih pada medium yang mengandung X-gal, sedangkan koloni yang melakukan
komplementasi berwarna biru.
diambil untuk kemudian dimurnikan. Teknik pemurnian yang digunakan adalah IMAC
(Immobilized Metal Affinity Chromatography). Kromatografi afinitas dipilih karena dianggap
cocok dengan strategi kloning yang menggunakan tag histidin dan arginin. Prinsip
kromatografi ini adalah pemisahan pengotor yang didasarkan pada interaksi non-kovalen
selektif dan spesifik antara molekul analit atau perbedaan afinitas, sehingga hasil yang
didapatkan menjadi lebih spesifik dan kemurniannya tinggi. Teknik ini menggunakan ligan
yang terikat secara kovalen pada solid support kromatografi yang mengikat ion logam.
Gen apoptin yang direkayasa sebelumnya mengandung histidin pada ujung Cterminalnya. Kehadiran His-Tag ini mengafilitasi proses pemurnian protein berdasarkan
afinitas selektif protein dengan polihistinin tersebut terhadap adsorben yang dilengkapi
pengkelat metal seperti Ni2+ atau Co2+. Interaksi antara residu histidin dengan ion logam ini
bersifat reversibel dan protein yang terikat dapat dielusi dengan imidazole atau dengan
merendahkan nilai pH. Karena imidazole indentik dengan rantai samping histidin, maka pada
saat konsentrasi imidazole ditingkatkan, imidazole akan menggantikan posisi pilihistidin pada
resin, dan polihistidin akan terleusi keluar. Sehingga diperolehlah protein gen apoptin murni.
Sebagai pembanding, teknik lain yang dapat digunakan dalam proses pemurnian adalah size
exclusion chromatography dengan prinsip pemurnian protein berdasarkan perbedaan ukuran
partikelnya atau gel filtration yang prinsipnya adalah trapping molekul protein di dalam
sebuah gel sebagai fase stasioner dari kolom kromatografi.
BAB IV
PEMBAHASAN
Tidak ada tag yg terkandung dalam vektor, sehingga arginin dan histidine harus
ditambahkan di modifikasi.
sel
dapat
dimasukkan
dengan
DNA
target.
Pada
studi
tentang
electrotransformation E. coli, 80% sel menerima DNA asing (Miller and Nickoloff,
1995).
Jumlah DNA yang dibutuhkan untuk teknik ini sangat kecil sekitar 1l (Withers, 1995)
In vivo :Prosedur ini dapat dilakukan pada jaringan utuh (Weaver, 1995). Sebuah
makalah yang diterbitkan dalam Developmental Biology menunjukan keberhasilan
transfer DNA dengan fluorescent reporter genekedalam jaringan otak tikus (Saito, 2001).
Kekurangan :
Kerusakan sel: Jika listrik yang dialirkan terlalu kuat memungkinakan pori-pori yang
terbentuk terlalu besar atau gagal untuk menutup setelah pelepasan membran yang
menyebabkan kerusakan sel atau pecah (Weaver, 1995).
Transportasi Non-Spesifik: pengangkutan DNA rekombinan masuk dan keluar dari sel
pada masa electropermeability relatif spesifik. Hal ini dapat mengakibatkan
ketidakseimbangan ion yang kemudian bisa mengakibatkan fungsi sel tidak benar dan
kematian sel (Weaver, 1995)
Plasmid yang bisa menggunakan teknik ini hanya plasmid yang mempunyai lacZ
Hasil analisis hanya bisa dilihat dari warnanya saja, sehingga ketidaktelitian pengamat
berpengaruh kepada hasil analisis.
Jika sel host tidak memiliki ampR, proses ini bisa gagal karena terkena lingkungan yang
antibiotik
Dalam jangka waktu tertentu, terdapat beberapa rekombinan yang eksonukleasenya aktif
lalu memotong fragmen gen apoptin.
DAFTAR PUSTAKA
Anam, Khairul. 2009. Laporan Praktikum Genetika Molekuler. Sekolah Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor
Howe, Christopher. 2007. Gene Cloning and Manipulation. Cambridge University
Anonym,
New
DNA
ligase
and
Ligase
master
mix,
http://www.neb.uk.com/Product_Overview/DNA_Ligases.asp, Diakses 9-10-2013
Anonim, 2009, T7 DNA ligase https://www.neb.com/products/m0318-t7-dna-ligase, diakses
tanggal 9-10-2013
Anonim,
2010,
DNA
Structure,
http://fhs-biowiki.pbworks.com/w/page/12145760/DNA%20structure, Diakses 9-10-2013
Anonim, 2011, Making rDNA,
http://users.rcn.com/jkimball.ma.ultranet/BiologyPages/M/Making_rDNA.gif, Diakses
9-10-2013
Anonim. 2010. Choice of Vector E Coli Vectors Vector Features EMBL.
http://www.embl.de/pepcore/pepcore_service/cloning/choice_vector/ecoli/vectorfeature
s
Hanahan, D. (1983). Studies on transformation of Eschericia coli with plasmids. Journal of
Molecular Biology, 166, 557-580.
Hanahan, D., Jessee, J. & Bloom, F.R. (1991). Plasmid transformation of Escherichia coliand
other bacteria. Methods in Enzymology, 204, 63-113.
Lee MS, Sun FC, Huang CH, Lien YY, Feng SH, Lai GH, Lee MS, Chao J, Chen HJ, Tzen JT,
Cheng HY. Efficient production of an engineered apoptin from chicken anemia virus in a
recombinant E. coli for tumor therapeutic applications. Source School of Chinese
Pharmaceutical Sciences and Chinese Medicine Resources, China Medical University,
Taichung,
40402Taiwan,
Republic
of
China.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22672291
Summers, D. K. (1996). The Biology of Plasmids. Blackwell Science.
Wilson, G.G. & Murray, N.E. (1991). Restriction and modification systems Annual Reviews of
Genetics.
http://biology.hunter.cuny.edu/ (diakses pada 3 Desember 2013, pukul 20:08).