PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peritonitis merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada
penderita bedah dengan mortalitas sebesar 10-40%. Beberapa peneliti
mendapatkan angka ini mencapai 60% bahkan lebih dari 60%.1
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi
akibat
penyebaran
infeksi
dari
organ-organ
abdomen (misalnya
untuk
melakukan
tindakan
bedah
harus
segera
morbiditas
dan
mortalitas.
Ketepatan
diagnosis
dan
memberikan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian atau
seluruh selaput peritoneum parietale ataupun viserale pada rongga abdomen.
Peritonitis merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut
dan kronis. Seringkali disebabkan dari penyebaran infeksi yang berasal dari organorgan di cavum abdomen. Penyebab tersering adalah perforasi dari organ lambung,
colon, kandung empedu dan apendiks. Infeksi dapat juga menyebar dari organ lain
yang menjalar melalui darah.3
Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik
dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu
kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut
peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary
peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal,
peritonitis diketagori sebagai primary peritonitis.3
2.2 Anatomi dan Fisiologi
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks.
Di bagian belakang, struktur ini melekat pada tulang belakang, di sebelah atas pada
iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri atas beberapa
lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kutis dan subkutis; lemak
subkutan dan fasia superfisial (fasia Scarpa); kemudian ketiga otot dinding perut,
m.oblikus abdominis eksternus, m.oblikus abdominis internus, dan m.tranversus
abdominis; dan akhirnya lapis preperitoneal, dan peritoneum. Otot di bagian depan
terdiri atas sepasang otot rektus abdominis dengan fasianya yang di garis tengah
dipisahkan oleh linea alba.1
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut.
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kranikaudal diperoleh
pendarahan dari cabang aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior. Dari
kaudal, a.iliaka sirkumfleksa superfisialis, a.pudenda eksterna, dan a.epigastrica
inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun
vertikal tanpa menimbulkan gangguan pendarahan. Persarafan dinding perut dilayani
secara segmental oleh n.torakalis VI s/d XII dan n.lumbalis I.
testis, anus
Regio digunakan untuk pemeriksaan yang lebih rinci atau lebih spesifik,
yaitu dengan menarik dua garis sejajar dengan garis median dan garis transversal
yang menghubungkan dua titik paling bawah dari arkus kosta dan satu lagi yang
menghubungkan kedua spina iliaka anterior superior (SIAS). Bedasarkan
pembagian yang lebih rinci tersebut permukaan depan abdomen terbagi menjadi
9 regio4:
Colon ascendens
tipis mengkilap yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga
abdominal. Lapisan membran yang membatasi dinding abdomen dinamakan
peritoneum parietale, sedangkan bagian yang meliputi organ dinamakan
peritoneum viscerale. Di sekitar dan sekeliling organ ada lapisan ganda peritoneum
yang membatasi dan menyangga organ, menjaganya agar tetap berada di
tempatnya, serta membawa pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf.
Mesenterium ialah bangunan peritoneal yang berlapis ganda, bentuknya
seperti kipas, pangkalnya melekat pada dinding belakang perut dan ujungnya yang
mengembang melekat pada usus halus. Di antara dua lapisan membran yang
membentuk mesenterium terdapat pembuluh darah, saraf dan bangunan lainnya
yang memasok usus. Bagian mesenterium di sekitar usus besar dinamakan
mesokolon. Lapisan ganda peritoneum yang berisi lemak, menggantung seperti
celemek di sebelah atas depan usus bernama omentum majus. Bangunan ini
memanjang dari tepi lambung sebelah bawah ke dalam bagian pelvik abdomen dan
kemudian melipat kembali dan melekat pada colon tranversum. Ada juga membran
yang lebih kecil bernama omentum minus yang terentang antara lambung dan
liver.5
Gambar 4: peritoneum
Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat 100cc cairan peritoneal
yang mengandung protein 3 g/dl. Sebagian besar berupa albumin. Jumlah sel
normal adalah 33/mm3 yang terdiri dari 45% makrofag, 45% sel T, 8% sisanya
8
terdiri dari NK, sel B, eosinofil, dan sel mast serta sekretnya terutama prostasiklin
dan PGE2. Bila terjadi peradangan jumlah PMN dapat meningkat.
Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui
limfe diafragma sedang sisanya melalui peritoneum parietalis.5
Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan
partikel termasuk bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel
difragma yang berhubungan dengan lacuna limfe untuk bergerak le limfe
substernal. Kontraksi diafragma menutup stomata dan mendorong limfe ke
mediastinum.5
Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis dan
mencegah terjadinya perlekatan. Peritoneum menangani infeksi dengan 3 cara:
1. Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragma
Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri
kearah stomata. Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian
bawah, bakteri yang turut dalam aliran dapat bersarang di bagian atas dan dapat
menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis, yaitu nyeri perut atas yang
disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii.6
Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan
intersisiel ke rongga peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu,
asam lambung, dan enzim pancreas memperbesar pergeseran cairan ini.7
2. Penghancuran bakteri oleh sel imun
Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil,
makrofag, sel mast, dan limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi.8
Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi
zat vasoaktif yang mengandung histamine dan prostaglandin. Histamine dan
prostaglandin yang dilepas sel mast dan makrofag menyebabkan vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum sehingga menimbulkan
10
Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi
appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon
(paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta
strangulasi usus halus.9
Table 1. Penyebab peritonitis sekunder
Regio asal
Esophagus
Penyebab
Boerhaave syndrome
keganasan
11
(Adenokarsinoma,
Lympoma,
Saluran
Empedu
Pancreas
Usus kecil
Keganansan
Diventrikulitis
Colitis
Appendiksitis
salpingitis,
tubo
ovarium
12
ovarium
abses,
kista
Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan
akibat tindakan operasi sebelumnya.9
Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized
(peritonitis) dan localized (abses intra abdomen).
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous Bacterial
Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi
intraabdomen, namun biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat penyakit
hati kronik. Akibat asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal
sehingga menjadi translokasi bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe
mesenterium, kadang-kadang terjadi pula penyebaran hematogen jika telah terjadi
bakteremia. Sekitar 10-30% pasien dengan sirosis dan asites akan mengalami
komplikasi seperti ini. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi
risiko terjadinya peritonitis dan abses. Hal tersebut terjadi karena ikatan opsonisasi
yang rendah antarmolekul komponen asites.
Sembilan puluh persen kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba.
Patogen yang paling sering menyebabkan infeksi ialah bakteri gram negatif, yakni
40% Eschericia coli, 7% Klebsiella pneumoniae, spesies Pseudomonas, Proteus,
dan gram negatif lainnya sebesar 20%. Sementara bakteri gram positif, yakni
Streptococcus pneumoniae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan golongan
Staphylococcus sebesar 3%. Pada kurang dari 5% kasus juga ditemukan
mikroorganisme anaerob dan dari semua kasus, 10% mengandung infeksi campur
beberapa mikroorganisme.
Sedangkan peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering
terjadi, disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ
dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius
tergantung penyebab asalnya. Berbeda dengan SBP, peritonitis sekunder lebih
13
banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian
atas. Pada pasien dengan supresi asam lambung dalam waktu panjang, dapat pula
terjadi infeksi gram negatif. Kontaminasi kolon, terutama dari bagian distal, dapat
melepaskan ratusan bakteri dan jamur. Umumnya peritonitis akan mengandung
polimikroba, mengandung gabungan bakteri aerob dan anaerob yang didominasi
organisme gram negatif.
Sebanyak 15% pasien sirosis dengan asites yang sudah mengalami SBP
akan mengalami peritonitis sekunder. Tanda dan gejala pasien ini tidak cukup
sensitif dan spesifik untuk membedakan dua jenis peritonitis. Anamnesis yang
lengkap, penilaian cairan peritoneal, dan pemeriksaan diagnostik tambahan
diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan tata laksana yang tepat untuk pasien
seperti ini.2,9
2.4 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan
obstuksi usus.10
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ.
Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan
elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.10
14
lebih lanjut
meningkatkan
tekanan
intra
abdomen,
membuat
bahan
permukaan peritoneum
yang
atau
menginfeksi
bila
infeksi
tersebar
menyebar,
luas
dapat
pada
timbul
15
Sumbatan
yang
lama
pada
usus
atau
obstruksi
usus
abdominalis
adalah
penyakit
infeksi
akut
usus
halus
yang disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari
makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung,
16
sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri
di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi
perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus
biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang
disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri
tekan, defansmuskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.10
Perforasi
tukak
peptik
khas
ditandai
oleh
perangsangan
dinding
apendiks
mempunyai
keterbatasan
sehingga
sehingga
menimbulkan
perforasi
10
17
dan
akhirnya mengakibatkan
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai
organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai
dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia
sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat
dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah
lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi
gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula
tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena
perangsangan peritoneum.10
2.5 Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di
dalam rongga abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor
yaitu: lamanya penyakit, perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan
kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta tingkat kesehatan penderita secara
umum.11
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal
dari awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal
meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi,
adanya udara bebas pada cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang
merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus.
Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu,
gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok.12
2.5.1 Gejala
Nyeri abdomen
18
Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini
termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua
telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat.11
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya
berada pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka
berbaring dengan lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena
setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen.13
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan
tingkat kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal
19
diagnosis dan perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak
berkurang.11
Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor.
Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke
lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata.11
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan
kuman gram negative dimana dapat menyebabkan terjadinya tahap yang
menyerupai syok. Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari
penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat
memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang
terlihat pada manusia.11
2.5.2 Tanda
Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau
komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat
dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai
mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi,
berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat
menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui
dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu
mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.13
Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya
distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak
menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal
20
dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi
abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan
distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik.11
Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara
usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal
sampai hampir tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan
ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop
lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba
hilang pada abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus
yang mengalami strangulasi.11
Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman
21
Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada
kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang
kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai
terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat
langsung pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna.
Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang
sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk
menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen.
Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang
menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih
luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter. Orang
yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di
kebanyakan
kasus
hal
tersebut
dapat
dilakukan
dengan
mengalihkan
perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu
proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi
lokal, atau dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan
lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik
peradangan yang maksimal.11
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut
melakukan spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada
peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti papan.13
2.6 Pemeriksaan Penunjang
2.6.1 Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara
riwayat penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan
adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel
darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat
22
tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat
mengerahkan mekanisme pertahanannya.11
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan
didominasi oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan,
meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata.13
Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes
fungsi hepar dan ginjal dapat dilakukan.12
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak
protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel
diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi
memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar
diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.12
2.6.2 Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya
mencakup foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak
dapat memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang
menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak
difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya
udara bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos
abdomen.11
Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :4
1. Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior (AP).
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal,
proyeksi AP.
23
penebalan
dnding
usus,
gambaran
2. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi
usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air
fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjangpanjang kemungkinan gangguan di kolon. Gambaran yang diperoleh
adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
24
Jadi gambaran radiologis pada ileus obstruktif yaitu adanya distensi usus partial,
air fluid level, dan herring bone appearance.6
Sedangkan pada ileus paralitik didapatkan gambaran radiologis yaitu:
25
1.Distensi usus general, dimana pelebaran usus menyeluruh sehingga kadangkadang susah membedakan anatara intestinum tenue yang melebar atau
intestinum crassum.
2.Air fluid level
3.Herring bone appearance
Bedanya dengan ileus obstruktif : pelebaran usus menyeluruh sehingga
air fluid level ada yang pendek pendek (usus halus) dan panjang panjang
(kolon) karena diameter lumen kolon lebih lebar daripada usus halus. Ileus
obstruktif bila berlangsung lama dapat menjadi ileus paralitik.11
Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada
foto polos abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG
(ultrasonografi).
Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan
foto polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus
peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda utama radiologi
adalah:4
1.Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang,
dan kekaburan pada cavum abdomen.
2.Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air sub diafragma berbentuk bulan
sabit (semilunair shadow).
26
3.Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling
tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan
dinding abdomen.
27
Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada cavum
abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas
subdiafragma atau intra peritoneal.6,11
intravena
pemberian antibiotik yang sesuai
pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainnya
bila mungkin dengan mengalirkan nanah keluar
tindakan-tindakan menghilangkan
28
Resusitasi Cairan
Peradangan
yang
menyeluruh
pada
membran
peritoneum
Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi
29
dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan
antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari
uji sensitivitas.11
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi
seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis
trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida.
Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu,
selama dan setelah operasi.13
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram
harus segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan
dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin
juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta
unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur
merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap
penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik
daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi.11
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan
aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.13
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk
gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob.12
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting
daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal
awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan
aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal
merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH
intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian
antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel
darah putih yang normal.12
30
abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah
udara pada usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung
kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan
respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative
termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan
urinalisis.13
2.7.2
Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi
31
Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk
Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter)
32
Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan
peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum
peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang
terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan
kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah
pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula.
Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan.
Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang
tidak dapat direseksi.13
2.7.3
Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang
tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk
perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping
pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada
keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin
yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan
umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan
keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih
awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder.12
2.8 Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi
komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis
intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama
postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan
distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya
33
34
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum-lapisan membrane serosa
membran serosa rongga abdomen dan meliputi visera. Penyebab yang paling
serius dari peritonitis adalah terjadinya suatu hubungan (viskus) ke dalam rongga
peritoneal dari organ-organ intra-abdominal (esofagus, lambung, duodenum,
intestinal, colon, rektum, kandung empedu, apendiks, dan saluran kemih), yang
dapat disebabkan oleh trauma, darah yang menginfeksi peritoneal, benda asing,
obstruksi dari usus yang mengalami strangulasi, pankreatitis, PID (Pelvic
Inflammatory
Disease)
dan
bencana
vascular
(trombosis
dari
DAFTAR PUSTAKA
35
1. Wim de Jong. Sjamsuhidayat. R. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:
EGC.
2. Arief M., Suprohaita, Wahyu.I.K,Wieiek S, 2000. Bedah Digestif, dalam Kapita
Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid:2, Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
3. Brian, J. Peritonitis and Abdominal Sepsis. 2011.
4. Marshall, JC. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection. Critical
Care Medicine. 2003, 31(8) : 2228-37
5. Evans, HL. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized Disease) is not An
Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients with Intra Abdominal
Infection. Surgical Infection (Larchmt). 2001. 2(4) : 255-63
6. Hau, T. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci. 2003. 33: 131-4
7. Heemken, R.. Peritonitis: Pathophydiology and Local Defense Mechanisms.
Hepatogastroenterology. 1997. 44(16): 927-36
8. Iwagaki, H. Clinical Value of Cytokine Antagonists in Infectious Complications.
Res CommunMol Pathol Pharmacol. 1997. 96(1): 25-34
9. Schrock. T. R. 2000. Peritonitis dan Massa Abdominal dalam Ilmu Bedah, Ed.7,
alih bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.
10. Fauci et al, Harrisons Principal Of Internal Medicine Volume 1, McGraw Hill,
Peritonitis. 2008. 44(16): 927-36
11. Cole et al. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. Appelton-Century
Corp. 1970 Hal 784-795.
12. Doherty, Gerard. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment
12ed. USA: The McGraw-Hill Companies. 2006.
13. Schwartz et al.. Priciple of Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill. 1989 .
Hal 1459-1467
36