Anda di halaman 1dari 15

1

A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang ditularkan melalui udara, dimana
bakteri basil yang infeksius terhirup (droplet) di udara (Jurdao& Otilia VV,
2011). Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama
menyerang parenkim paru. Tuberkulosis dapat juga ditularkan ke bagian
tubuh lainnya, termasuk meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Smeltzer
& Brenda, 2001).
Hemaptoe (batuk darah) adalah darah berdahak yang dibatukkan yang
berasal dari saluran pernafasan bagian bawah. Dikatakan batuk darah masif
apabila jumlah darah yang keluar 600 ml dalam waktu 24 jam. Hemaptoe
adalah ekspetorasi darah / mukus yang berdarah (Anonimous, 2012).
Hemaptoe (hemoptysis) adalah batuk dengan sputum yang mengandung darah
yang berasal dari paru atau percabangan bronkus (Kusmiati & Laksmi, 2011).
Hemaptoe diklasifikasikan menjadi (Tafti SF dkk, 2005):
1. Hemaptoe masif : perdarahan lebih dari 200cc per 24 jam
2. Hemaptoe moderat : perdarahan kurang dari 200cc per 24 jam
3. Hemaptoe ringan : sputum dengan bercak darah.
B. Penularan dan Faktor-faktor Risiko
Tuberkulosis ditularkan dari orang ke orang oleh transmisi melalui
udara. Individu terinfeksi , melalui berbicara, batuk, bersin, tertawa, atau
bernyanyi, melepaskan droplet besar (lebih besar dari 100) dan kecil (1-5).
Droplet yang besar menetap, sementara droplet yang kecil tertahan di udara
dan terhirup oleh individu yang rentan. Individu yang berisiko tinggi untuk
tertular tuberkulosis adalah (Smeltzer & Brenda, 2001):
1. Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB aktif.
2. Individu imunosupresif (termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka
yang dalam terapi kortikosteroid, atau mereka yang terinfeksi HIV).
3. Pengguna obat-obat IV dan alkoholik

4. Setiap individu dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (mis.
Diabetes, gagal ginjal kronis, silikosis, penyimpangan gizi, bypass
gastrektomi atau yeyunoileal)
5. Imigran dari negara dengan insiden TB yang tinggi (Asia Tenggara, Afrika,
Amerika Latin, Karibia)
6. Setiap individu yang tinggal di institusi (mis, fasilitas perawatan jangka
panjang, institusi psikiatrik, penjara)
7. Individu yang tinggal di daerah perumahan substandar kumuh
8. Petugas kesehatan
C. Etiologi
Agens infeksius utama, Mycobacterium tuberculosis, adalah bakteri
batang aerobik tahan asam yang tumbuh lambat dan sensitif terhadap panas dan
sinar

ultraviolet.

Mycobacteriumtuberculosiskompleksterdiri

daristrain

limaspesies yaitu M. tuberkulosis, M.canettii, M.africanum, M. microti, dan


M.bovisdan duasubspesies yaitu M. capraedan M.Pinnipedii. Mikobakteriini
ditandai dengan99,9% kesamaanpada tingkatnukleotidadanhampir identik
dengan

urutan

16SrRNAtetapiberbeda

dalamhalinangtropisme,

fenotipedanpatogenisitas(Jurdao & Otilia VV, 2011).M. Bovis dan M. Avium


pernah, pada kejadian yang jarang, berkaita dengan terjadinya infeksi
tuberkulosis(Smeltzer & Brenda, 2001).
Hemaptoeadalah gejalapernafasannon-spesifik dan memiliki hubungan
yang signifikan denganTB paru (Tafti SF et al, 2005). Etiologi hemaptoe antara
lain (Flores & Sunder, 2006) :
1. Infeksi: penyakit paru inflamasi

kronis

(bronkhitis

akut/

kronis,

bronchiectasis (fibrosis cystic), abses paru, aspergilloma, tuberkulosis.


2. Neoplasma: karsinoma bronchogenik, metastase pulmonal, adenoma
bronkial, sarcoma.
3. Benda asing/ trauma: aspirasi benda asing, fistula trakeovaskular, trauma
dada, broncholith.
4. Pembuluh darah pulmonal/ cardiac: gagal ventrikel kiri, stenosis katup
mitral, infark/emboli pulmonal, perforasi arteri pulmonal (komplikasi dari
kateter arteri pulmonal).

5. Alveolar hemoragik: sindrom Goodpasteur, vasculitide sistemik/ penyakit


vaskular kolagen, obat-obatan (nitrofurantoin, isocyanate, trimellitic
anhydrid, D-penicillamine, kokain), koagulopati.
6. Iatrogenik: post biopsi paru, rupturnya arteri pulmonal dari kateter SwanGanz
7. Lain-lain: malformasi arterivenous pulmonal, bronkial telangiectasia,
pneumoconiosis.

Microbacterium tuberculosa Droplet infection Masuk lewat jalan napas Menempel pada paru

Keluar dari tracheobionchial bersama secretDibersihkan oleh makrofag

Sembuh tanpa pengobatan

D. Patofisiologi

Menetap di jaringan paru

Terjadi proses peradangan

Pengeluaran zat pirogen


Tumbuh dan berkembang di sitoplasma makrofag

Mempengaruhi hipotalamus
Sarang primer/afek primer (focus ghon)
Hipertermi

Mempengaruhi sel point

Komplek primer

Limfangitis Lokal

Limfadinitis regional

saluran pencernaan, tulang) melalui media


(bronchogen,
percontinuitum,
limfogen)
Sembuh
sendiri tanpa
pengobatanhematogen,
Sembuh
dengan bekas fibrosis

Radang tahunan bronkus Pertahanan primer tidak adekuat

Berkembang menghancurkan jaringan ikat Pembentukan


sekitar
tuberkel Kerusakan membran alveolar

Menurunnya permukaan efek paru


Pembentukan sputum berlebihan
Bagian tengah nekrosis
Membentuk jaringan keju
Alveolus
Secret keluar saat batuk

Alveolus mengalami konsolidasi dan eksudasi

Batuk produktif (batuk terus menerus


Perdarahan

PK
Distensi abdomen
infeks
i
Kurang
Terhirup orang
sehat
Mual, muntah
Terjadi robekan pembuluh
pengetahdarah pada paru-paru
uan

Droplet infection

Batuk berat

Resiko infeksi

Intake nutrisi kurang

Gambar 1.jalan
Patofisiologi
Ketidakefektifan bersihan
napas Hematoma Paru (Nurarif AH & Hardhi K, 2013;
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan t
Anonimous, 2012)

Hemaptoe

Nyeri akut

Fisik (batuk)

Psikologis
Ansietas, takut

Gangguan rasa nyaman

E. Tanda dan Gejala


1. Padahemaptoe, darah adalahberbusakarenadicampur dengan udaradan lendir
dan kadang-kadanglendiryangbernoda darah.
2. Kuantitasmungkin berbeda denganjumlah

yangkecil

karenairitasi

tenggorokanatau jumlah yang besardalam kasuskanker.


3. Darahmungkinberwarna merah terangatau mungkinberwarna kekuningan.
4. Jikabatukdisertai dengandemam tinggi, sesak napas, pusing,nyeri dada
dandarahdalam urin ataufeses, pasien harus mendapatkan perhatianmedis
yang mendesaktanpa penundaan (Anonimous, 2012).
F. Pemeriksaan Penunjang(Flores & Sunder, 2006)
1. Pemeriksaaan laboratorium (Hb, Ht)
2. Bronkoskopi
3. CT scan dada. Mendeteksi adanya aneurysm dan malformasi arterivenous
atau bronchiectasis yang terkadang tidak terlihat pada radiografi dada.
4. X-Ray dada. Bermanfaat untuk menentukan sumber lokasi perdarahan jika
terdapat masa, lesi atau alveoli hemoragik.
5. Sputum sitologi
G. Penatalaksanaan Medis
Dalam kasustuberkulosis, yang merupakan masalahkesehatan nasional,
rejimenyang tepat dariobat anti-TBC dapat diberikan (Nakhoda N, 2012).ada
umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan biasanya
berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis yang masif.
Tujuan pokok terapi ialah (Anonimous, 2011):
1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku
2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi
3. Menghentikan perdarahan
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport
kardiopulmaner dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang
merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan hemoptisis
masif (Anonimous, 2011).
Masalah utama dalam hemoptoe adalah terjadinya pembekuan dalam
saluran napas yang menyebabkan asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat
kegawatan hemoptoe paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang

multipel. Hemoptoe dalam jumlah kecil dengan refleks batuk yang buruk dapat
menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat menimbukan renjatan
hipovolemik (Anonimous, 2011).
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah (Anonimous,
2011):
1. Terapi konservatif
a.

Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring (lateral
decubitus). Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang sakit untuk
mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat.

b. Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.


c.

Batuk secara perlahan lahan untuk mengeluarkan darah di dalam saluran


saluran napas untuk mencegah bahaya sufokasi.

d. Dada dikompres dengan es kap, hal ini biasanya menenangkan penderita.


e.

Pemberian obat obat penghenti perdarahan (obat obat hemostasis),


misalnya vit. K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom.

f.

Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.

g.

Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan yang


terjadi.

h.

Pemberian oksigen.

i.

Tindakan selanjutnya bila mungkin:


1) Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi
2) Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah dengan
bronkoskopi dan pemberian adrenalin pada sumber perdarahan.

2. Terapi pembedahan
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan.
Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan:
a.

Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.

b.

Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian


pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan
tindakan operasi.

c.

Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya hemoptoe


yang berulang dapat dicegah.

H. Masalah Keperawatan
Pengkajian (Anonimous, 2011)
1. Jumlah dan warnadarah
2. Lamanyaperdarahan
3. Batuknyaproduktifatautidak
4. Batukterjadisebelumatausesudahperdarahan
5. Sakit dada, substernalataupleuritik
6. Hubungannyaperdarahandengan : istirahat, gerakanfisik, posisibadan dan
batuk
7. Wheezing
8. Riwayatpenyakitparuataujantungterdahulu
9. Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah
10. Perokok berat dan telah berlangsung lama
11. Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
12. Hematuria yang disertai dengan batuk darah
13. Untuk membedakan antara batuk darah dengan muntah darah dapat
digunakan petunjuk sebagai berikut :
Keadaan
1. Prodromal

Hemoptoe
Rasa tidak enak di

Hematemesis
Mual, stomach distress

2. Onset

tenggorokan, ingin batuk


Darah dibatukkan, dapat

Darah dimuntahkan dapat

3. 3. Penampilan

disertai batuk
Berbuih

disertai batuk
Tidak berbuih

darah
4. Warna
5. 4. Isi

Merah segar
Lekosit, mikroorganisme,

Merah tua
Sisa makanan

6. 5. Reaksi
7. 6. Riwayat

makrofag, hemosiderin
Alkalis (pH tinggi)
Menderita kelainan paru

Asam (pH rendah)


Gangguan lambung,

Penyakit
Dahulu
8. 7. Anemi
9. 8. Tinja

kelainan hepar
Kadang-kadang
Warna tinja normal

Selalu
Tinja bisa berwarna

Guaiac test (-)

hitam, Guaiac test (-)

14. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dicari gejala/tanda lain di luar paru yang dapat
mendasari terjadinya batuk darah, antara lain : jari tabuh, bising sistolik dan
opening snap, pembesaran kelenjar limfe, ulserasi septum nasalis,
teleangiektasi (Anonimous, 2011).
I. Diagnosa Keperawatan(NANDA International, 2009; Carpenito LJ, 2007)
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d obstruksi jalan nafas (sekresi
dibronkus, mukus yang berlebihan); fisiologis (infeksi).
2. Nyeri akut b.d agen injuri (fisik).
3. Kurang pengetahuan b.d kurangnya paparan informasi.
4. Ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor biologi
(hemaptoe).
5. Gangguan rasa nyaman
6. PK infeksi
J. Rencana Tindakan (Ackley & Ladwig, 2011; Carpenito LJ, 2007; Nurarif AH
& Hardhi K, 2013; MoorheadS, et all. 2008)
1. Diagnosa 1: Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d obstruksi jalan nafas
(sekresi dibronkus, mukus yang berlebihan); fisiologis (infeksi) ditandai
dengan adanya batuk, suara nafas tambahan (wheezing), perubahan pada
pola dan respiratory rate, sputum berlebihan.
Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 24 jam diharapkan bersihan
jalan klien menjadi efektif.
NOC: Patensi jalan napas, status respirasi.
Kriteria hasil:
a) Suaranafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dipsneu (mampu
mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah)
b) Menunjukkan jalan napas yang paten (irama nafas, frekuensi pernapasan
dalam rentang normal, tidak ada suara napas abnormal)
c) Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat menghambat
jalan napas.
NIC label: Manajemen jalan napas
1. Auskultasi suara napas 1 -4 jam. Suara napas normal jelas atau krakels
tersebar dibagian dasar yang jelas dengan napas dalam. Adanya krakles
kasar diakhir inspirasi mengindikasikan adanya cairan di jalan napas,

wheezing mengindikasikan adanya sumbatan jalan napas (Fauci et al,


2008)
2. Pantau

pola

napas,

meliputi

rate,

kedalaman

dan

upaya

bernapas.Respiratory rate normal untuk dewasa tanpa dispneu adalah 1216 (Bickley & Szilagyi, 2009). Dengan adanya sekresi pada jalan napas
respiratori rate akan meningkat.
3. Berikan oksigen sesuai order.Pemberian oksigen dapat memperbaiki
hipoksemia (Wong & Elliot, 2009).
4. Observasi sputum, warna, bau, dan volume.Sputum normal adalah bening
atau abu-abu dan minimal; sputum abnormal adalah hijau, kuning atau
terdapat bercak darah; berbau; dan biasanya dalam jumlah banyak.
5. Dorong pemberian cairan lebih dari 2500ml/ hari kecuali klien dengan
gangguan jantung atau ginjal.Cairan membantu meminimalisasi keringnya
mukosa dan memaksimalkan kerja silia untuk mengeluarkan sekresi.
6. Berikan pengobatan seperti obat koagulan, dan antitusif. Obat koagulan
diberikan untuk menghentikan perdarahan dan obat golongan antitusif
untuk mengurangi batuk pada klien melalui penekanan pusat saraf batuk.
7. Berikan kompres dingin dibagian leher dan dada klien. Kompres dingin
memberikan

efek

vasokontriksi

pada

pembuluh

darah

sehingga

perdarahan dapat dikontrol.


2. Diagnosa 2: Nyeri akut b.d agen injuri (fisik) ditandai dengan perubahan
nafsu makan, perubahan respiratory rate, melaporkan nyeri secara verbal.
Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 2 jam diharapkan nyeri yang
dirasakan klien berkurang.
NOC: Tingkat nyeri, kontrol nyeri.
Kriteria hasil:
a) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
b) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen
nyeri
c) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi, dan tanda nyeri)
d) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
NIC label: Manajemen nyeri
1. Lakukan pengkajian menyeluruh pada nyeri termasuk lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi.Pengkajian menyeluruh pada nyeri termasuk lokasi,

10

karakteristik, durasi, frekuensi penting untuk menentukan penyebab utama


nyeri dan pengobatan yang efektif (Breivik et al, 2008; Ming Wah, 2008).
2. Kaji adanya nyeri secara rutin, biasanya dilakukan pada pemeriksaan TTV
dan selama aktivitas dan istirahat. Pengkajian nyeri merupakan tanda-tanda
vital fisiologis yang penting dan nyeri termasuk dalam kelima tanda-tanda
vital (APS, 2008).Nyeri akut sebaiknya dikaji saat istirahat (penting untuk
kenyamanan) dan selama bergerak (penting untuk fungsi dan menurunkan
risiko terjadinya kardiopulmonari dan tromboembolitik pada klien)(Breivik
et al, 2008).
3. Minta klien untuk menjelaskan pengalaman nyeri sebelumnya, keefektifan
intervensi manajemen nyeri, respon pengobatan analgetik termasuk efek
samping, dan informasi yang dibutuhkan. Memperoleh riwayat nyeri
individu membantu untuk mengidentifikasi faktor potensial yang mungkin
mempengaruhi keinginan pasien untuk melaporkan nyeri, seperti intensitas
nyeri, respon klien terhadap nyeri, cemas, farmakokinetik dari analgesik
(Kalkman et al, 2003; Deane & Smith, 2008; Dunwoody et al, 2008).
Regimen manajemen nyeri harus secara individu kepada klien dan
mempertimbangkan kondisi medis, psikologis dan fisiologis, usia, respon
sebelumnya terhadap analgesik.
4. Manajemen nyeri akut dengan pendekatan multimodal. Multimodal
analgesik mengkombinasikan dua atau lebih pengobatan, metode (Pasero,
2003a, 2009a). Manfaat dari pendekatan ini adalah dosis efektif terendah
dari setiap obat bisa diberikan, hasilnya efek samping dapat diminimalkan
seperti terjadinya oversedasi dan depresi respirasi (Pasero, 2003a; Parvizi
et al, 2007; APS, 2008).
5. Jelaskan pada klien mengenai pendekatan manajemen nyeri, termasuk
intervensi farmakologi dan nonfarmakologi. Salah satu langkah penting
untuk meningkatkan kemampuan kontrol nyeri adalah klien memahami
nyeri secara alami dengan baik, pengobatannya dan peran klien dalam
mengontrol nyeri (APS, 2008).
6. Minta klien untuk menjelaskan nafsu makan, eliminasi, dan kemampuan
untuk istirahat dan tidur. Administrasikan terapi dan pengobatan untuk
meningkatkan/ memperbaiki fungsi ini. Obat-obatan golongan opioid

11

dapat menyebabkan konstipasi yang biasanya terjadi dan menjadi masalah


yang signifikan dalam manajemen nyeri. Opioid menyebabkan konstipasi
dengan cara menurunkan motilitas usus danmengurangi sekresi mukosa
(Friedman &Dello Buono, 2001; Panchal, Muller-Schwefe, Wurzelmann,
2007).
7. Sebagai tambahan administrasi obat analgesik, dukung klien untuk
menggunakan metode nonfarmakologi untuk membantu mengontrol nyeri,
seperti distraksi, imaginary, relaksasi dengan menarik napas dalam. Strategi
perilaku-kognitif dapat menjadi sumber kontrol diri klien, keberhasilan
personal, dan berpartisipasi aktif dalam pengobatannya sendiri.
3. Diagnosa 3: Kurang pengetahuan b.d kurangnya paparan informasi ditandai
dengan memverbalkan masalah yang dialami.
Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 30 menit (1X pertemuan)
diharapkan pengetahuan klien bertambah.
NOC: Pengetahuan: proses penyakit, pengobatan.
Kriteria hasil:
a) Klien dan keluarga mampu menyatakan pemahaman tentang penyakit,
kondisi, prognosis dan program pengobatan.
b) Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang telah
dijelaskan perawat/ tim kesehatan lainnya.
NIC label: Mengajarkan: Proses penyakit (Ackley & Gail, 2010; Nurarif &
Hardhi, 2013)
1. Pertimbangkan kemampuan dan kesiapan klien untuk belajar (mis. mental,
kemampuan melihat dan mendengar, adanya nyeri, kesiapan emosional,
motivasi dan pengetahuan sebelumnya) ketika mengajarkan klien.
Mempermudah dalam memberikan penjelasan pada klien.
2. Gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat. Memudahkan klien
dalam memahami proses penyakit.
3. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit. Klien
mengetahui tanda dan gejala sehingga jika terjadi kegawatan, klien dapat
melapor kepada petugas kesehatan/ perawat dan mendapatkan penanganan
yang tepat.

12

4. Diagnosa 4: Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d


faktor biologi (hemaptoe) ditandai dengan berat badan turun dengan intake
makanan yang tidak adekuat, nyeri dada, kesulitan menelan makanan.
Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 24 jam diharapkan kebutuhan
nutrisi klien terpenuhi.
NOC: Status nutrisi, status nutrisi: intake makanan dan minuman, status
nutrisi: intake nutrisi, kontrol berat badan.
Kriteria hasil:
a) Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan.
b) Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi.
c) Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti.
NIC label: Manajemen nutrisi (Ackley & Gail, 2010; Nurarif & Hardhi, 2013)
1. Pantau intake makanan. Pencatatan intake makanan membantu klien dan
perawat, mengakaji makanan yang biasa dimakan, pola makan ( Shay,
Sorbert & Seibert, 2009.
2. Tawarkan makanan yang biasa klien makan. Setiap orang menyukai
makanan yang biasa dimakan, terutama ketika mereka sakit (ORegan,
2009).
3. Berikan pengobatan antiemetik dan nyeri sesuai order dan keperluan.
Adanya mual/ muntah atau nyeri menimbulkan penurunan nafsu makan.
5. Diagnosa 5: Gangguan rasa nyaman ditandai dengan ansietas, takut, kurang
istirahat, ketidakmampuan untuk rileks.
Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 12 jam diharapkan klien
merasa nyaman.
NOC: Ansietas, rasa nyaman.
Kriteria hasil:
a) Mampu mengontrol kecemasan
b) Kualitas tidur dan istirahat adekuat
NIC label: Inspirasi harapan (Ackley & Gail, 2010; Nurarif & Hardhi, 2013)
1. Kaji tingkat kenyaman klien saat ini. Langkah ini dapat digunakan untuk
membantu meningkatkan rasa nyaman klien. Sumber pengkajian data
tingkat kenyamanan bisa berupa subjektif, objektif, primer, sekunder, fokus
(Kolcaba, 2003; Wilkinson & VanLeuven, 2007).
2. Instruksikan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi. Mambantu klien
untuk mendapatkan rasa nyaman tanpa teknik farmakologi.
6. Diagnosa 6: PK Infeksi

13

Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 24 jam diharapkan infeksi


dapat diatasi.
NOC (Carpenito, 2006)
Kriteria hasil:
a) Komplikasi dapat dicegah
b) Tidak terjadi distres pernapasan, tidak terjadi syok.
NIC label: Kontrol infeksi (Ackley & Gail, 2010; Nurarif & Hardhi, 2013)
1. Kaji tanda-tanda infeksi; suhu tubuh, nyeri, perdarahan, dan pemeriksaan
labolatorium ,radiologi. Mengetahui keadaan pasien.
2. Kaji tanda-tanda syok dan distress pernapasan. Monitor komplikasi.
3. Kolaborasi pemberian antibiotik yangsesuai. Mengatasi penyabab.

Daftar Pustaka
Ackley BJ, Ladwig GB. 2011. Nursing Diagnosis Handbook an Evidence-Based
Guide to Planning Care. United Stated of America : Elsevier.
Anonimous. 2011. Hemaptoe.
Diakses pada tanggal 22 April 2013
http://uzanxwsdcito.blogspot.com/2011/07/hemaptoe.html
Anonimous. 2012. Asuhan keperawatan pada pasien hemaptoe (batuk darah).
Diakses pada 22 April 2013.
http://mydocumentku.blogspot.com/2012/03/asuhan-keperawatan-padapasien-hemaptoe.html
Bicley LS, Szilagy P. 2009. Guide to Physical Examination, Ed 10. Philadelphia:
Lippincott, Williams and Wilkins.
Breivik H, Borchgrevink PC, Allen SM et al. 2008. Assesment of Pain. Br J
Anaesth; 101 (1): 17-24.

14

Carpenito, LJ.2007. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis. Jakarta :


EGC.
Deane G, Smith HS. 2008. Overview of Pain Management in Older Persons. Clin
Geriatr Med; 24: 185-20.
.
Dunwoody CF, K
renzischek DA, Pasero C et al. 2008. Assesment,
Physiologycal Monitoring, and Consequences of Inadequately Treated
Pain. J Perianesth Nurs; 23 (1A): S27.
Fauci A, Braunwald E, Kasper DL et al. 2008. Harrisons principles of internal
medicine, ed 17. New York: McGraw-Hill.
Flores RJ, Sunder S. 2006. Massive Hemoptysis. Hospital Physician: 37-43.
Jurdao L, Otilia VV. 2011. Review Articel Tuberculosis: New Aspect of An Old
Disease. International Journal of Cell Biology: 1-13.
Kalkman CJ, Visser K, Moen J et al. 2003. Preoperative Predication of Severe
Postoperative Pain. Pain; 57: 415-423.
Kolcaba K. 2003. Comfort Theory and Practice A Holistic Vision for Health Care.
New York: Springer.
Kusmiati T, Laksmi W. 2011. Terapi Bedah pada Penderita dengan Persistent
Hemoptysis. Majalah kKedokteran Respirasi, 2 (1); 26.
Ming Wah IJ. 2008. Pain Management in The Hospitalized Patient. Md Clin N
Am; 92: 371-385.
Moorhead, Sue, et all. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth
Edition.USA: Mosbie Elsevier.
Nakhoda N. 2012. Hemoptysis. mDhil.
Diakses pada tanggal 22 April.
http://www.mdhil.com/hemoptysis/
NANDA International. 2009. Nursing Diagnosis: Definition and Classification
2009-2011. USA: Willey Blackwell Publication.
Nurarif AH, Hardhi K. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosis Medis dan Nanda Nic Noc. Jilid 2. Yogyakarta: Mediaction.
ORegan P. 2009. Nutrition for Patients in Hospital. Nurs Stand; 23 (32): 35-41.

15

Parvizi J, Reines D, Steege J et al. 2007. CSI: investigating Acute Postoperative


Pain: Improving Outcomes and Clinical Horizons.
Pasero C. 2003a. Multimodal Balanced Analgesia in the PACU. J Perianesth Nurs;
18 (4): 265-268.
-----------. 2009a. Challenges in Pain Assesment. J Perianesth Nurs; 24 (1): 50-54.
Shay LE, Shobert JL, Seibert D et al. 2009. Adult Weight Management:
Translating Resource and Guidelines Into Practice. J Am Acad Nurse
Pract; 21 (4): 197-206.
Smeltzer SC, Brenda GB. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8.
Jakarta: EGC.
Tafti SF, Mehran M, Seyed MM, Mehdi KD. 2005. Outcome and Evaluation of
Hemoptysis in Patients with Old Pulmonary TB. Tanaffos; 4 (15) : 43-8.
The American Pain Society (APS). 2008. Principle of Analgesic Use in Acute and
Chronic Pain, ed. 6. Glenview, IL: The Society.
Wilkinson J, VanLeuven K. 2007. Fundamental of Nursing. Philadelphia: E.A
Davis.
Wong M, Elliot M. 2009. The Use of Medical Orders in Acute Care Oxygen
Therapy. Br J Nurs; 18 (8): 462-464.

Anda mungkin juga menyukai