Anda di halaman 1dari 11

MYELODISPLASIA SINDRIOM

A. DEFINISI
Mielodisplasia adalah suatu kelompok heterogen dari kelainan hematologi
yang ditandai dengan sitopenia yang berhubungan dengan dismorfik (bentuk
abnormal) dan biasanya pada seluler sumsum tulang, dan diakibatkan oleh
produksi sel darah yang tidak efektif. Lima klasifikasi ditetapkan: anemia
refraktori (refractory anemia (RA)), anemia refraktori dengan cincin sideroblast
(refractory anemia with ringed sideroblasts (RARS)), anemia refraktori dengan
blast yang kelebihan (refractory anemia with excess blasts (RAEB)), anemia
refraktori dengan blast yang kelebihan dalam transformasi (refractory anemia
with excess blasts in transformation (RAEB-t)), dan leukemia mielomonositik
kronik

(myelomonocytic

leukemia

(CMML)).

Klasifikasi

WHO

(2002)

menetapkan bahwa perbedaan antara RAEB-t dengan akut myeloid leukemia


berubah-ubah dan mengelompokkan mereka bersama-sama sebagai leukemia
akut, catatan bahwa CMML mempunyai sifat sebagai penyakit mieloproliferatif,
dan terpisah dari anemia refraktori (Young, 2008).
Klasifikasi MDS oleh WHO

Penyakit

Frek.

Temuan Darah

RA

5-10%

Anemia
Tanpa atau
sedikit blast

Temuan Sumsung
Tulang
Hanya displasia
eritroid

Prognosis

6% berubah menjadi leukemia

< 5% blast
<15% sideroblast
cincin

RARS

10-12%

Anemia

Hanya displasia
eritroid

Tanpa blast
< 5% blast

1-2% berubah menjadi leukemia

>15% sideroblast
cincin
3

Refractory
cytopenia

24%

Sitopenia

Displasia pada 10% Tergantung klinis


se
11% berubah menjadi leukemia
< 5% blast

with multilineage

Tanpa atau
sedikit blast

dysplasia (RCMD)

Tanpa Auer rods Tanpa Auer rods

RCMD with
ringed

15%

<1109/L
monosit

<15% sideroblast
cincin

Sitopenia

Displasia pada 10%


se

Tanpa atau
sedikit blast

sideroblasts
(RCMD-RS)

< 5% blast

Tanpa Auer rods Tanpa Auer rods

Refractory anemia 40%


with
(RAEB-1
excess blasts-1
(RAEB+2)

<1109/L
monosit

15% sideroblast
cincin

Sitopenia

Displasia unilineage Kegagalan sumsum tulang progresif


atau multilineage
25% berubah menjadi leukemia
5-9% blast

< 5% blast
Tanpa Auer rods

Tanpa Auer rods

1)

<110 /L
monosit

Refractory anemia
with

Sitopenia

5-19% blast
excess blasts-2
(RAEB-

Displasia unilineage Kegagalan sumsum tulang progresif


atau multilineage
33% berubah menjadi leukemia
10-19% blast

Auer rods
Auer rods

2)

Myelodysplastic
syndrome,
unclassified

<1109/L
monosit
Belum diketahui Sitopenia
Tanpa atau
sedikit blast

Displasia pada
myeloid atau
platelet lineage

Belum diketahui

(MDS-U)

Tanpa Auer rods < 5% blast


Tanpa Auer rods

MDS with isolated Belum diketahui Anemia


del
<5% blast
(5q)
Platelet normal
atau meningkat

Normal atau
Belum diketahui
peningkatan
megakariosit dengan
nucleus
hipolobulated
< 5% blast
Tanpa Auer rods
Isolated del(5q)

B. EPIDEMIOLOGI DAN PREVALENSI


MDS idiopatik merupakan penyakit pada usia tua, usia rata-rata saat onset
mulai muncul adalah 68 tahun. Jumlah penderita pria sedikit lebih banyak
dibandingkan penderita perempuan. MDS merupakan bentuk gagal sumsum
tulang yang umum, dengan angka laporan insiden 35 hingga lebih dari 100
penderita dari setiap satu juta penduduk pada populasi umum, dan 120 hingga
lebih dari 500 penderita dari setiap satu juta penduduk usia lanjut. MDS jarang
diderita anak-anak, namun leukemia monositik dapat terjadi. MDS yang terkait
dengan terapi tidak berhubungan dengan tingkatan usia dan terjadi pada sekitar
15 % pasien yang tengah menjalani terapi kombinasi modalitas kanker. Angka
kejadian MDS terus meningkat, seiring semakin dikenalnya sindrom ini oleh
dokter dan meningkatnya usia harapan hidup (Young, 2008).
C. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
MDS disebabkan oleh paparan dari lingkungan seperti radiasi dan benzene,
beberapa factor risiko yang lain telah dilaporkan secara tidak konsisten. MDS

sekunder terjadi sebagai efek toksik dari terapi kanker, biasanya dengan
kombinasi radiasi dan radiomimetic alkylating agent seperti busulfan, nitrosourea,
atau prokarbazin (dengan masa laten 5-7 tahun) atau DNA topoisomerase inhibitor
(2 tahun). Baik anemia aplastik yang didapat setelah terapi yang imunosupresif
maupun anemia Fanconi, keduanya dapat berkembang menjadi MDS. MDS
merupakan kelainan stem sel hemopoitik klonal yang mengarah pada gangguan
proliferasi dan diferensiasi sel. Abnormalitas sitogenik ditemukan pada sekitar
separuh pasien, dan beberapa spesifik lesi yang sama juga terlihat pada leukemia
yang sesungguhnya, aneuploid lebih sering terjadi disbanding translokasi.
Manifestasi hemtologik merupakan hasil dari akumukasi dari lesi genetic
multiple: hilangnya tumor supresor gen, aktifnya mutasi onkogenik, atau
perubahan merugikan lainnya. Abnormalitas sitogenik tidak terjadi secara acak
(hilangnya semua atau 5,7,dan 20, trisomi 8) dan berhubungan debgan etiologi
(11q23 following topoisomerase II inhibitors); leukemia mielomonositik kronik
sering berhubungan dengan t(5;12) yang menghasilkan gen chimeric tel-PDGF.
Jenis dan jumlah abnormalitas sitogenik berhubungan kuat dengan kemungkinan
berubah menjadi leukemia dan harapan hidup. Mutasi dari N-ras (onkogen), p53
dan IRF-I (tumor supresor gen), Bcl-2 (antiapoptotik gen), dan beberapa yang lain
telah dilaporkan namun terjadi lambat pada rangkaian yang berkembang menjadi
leukemia. Apoptosis pada sel sumsum tulang meningkat pada MDS, agaknya
berhubungan dengan perubahan genetik ini atau sebagai respon imun.
Patofisiologi imun diduga berhubungan dengan trisomi 8 MDS, yang sering
memberi reaksi secara klinis terhadap terapi imunosupresif (Young, 2008).
D. KRITERIA DIAGNOSIS
1. GEJALA KLINIS
Diagnosis MDS harus dipertimbangkan pada setiap pasien, khususnya pada
pasien tua dengan persisten sitopenia atau monositosis yang tidak dapat
dijelaskan. Pemeriksaan yang teliti terhadap apusan darah tepi dan sumsum tulang
diperlukan untuk membuktikan kebenaran ciri-ciri sitologi displastik dalam satu

atau lebih hematopoietic lineages. Keberadaan granulosit dengan nuclear


hipopigmentasi,

yaitu,

anomali

pseudo-Pelger-Huet,

mononuclear

atau

mikromegakariosit, netrofil hipogranular atau megakariosit, makro-ovalosit, dan


akantosit mungkin akan jelas. Karena penemuan yang tunggal bukan merupakan
diagnosis MDS, kondisi yang poternsial memberikan kontribusi harus
dikeluarkan. Status gizi, penggunaan alcohol dan obat-obatan, paparan dengan
bahan kimia beracun, , terapi sebelumnya dengan antineoplastik atau radioterapi
dan factor risiko untuk HIV harus diperhatikan (List and Doll, 1998).
Perjalanan penyakit myelodysplastic syndrome (MDS) bisa berlangsung selama
beberapa tahun dengan anemia yang tidak diketahui sebabnya dan trombositopeni
atau neutropeni ringan. Gejala klinis yang muncul pada myelodysplastic
syndrome biasanya berkaitan dengan rendahnya jumlah sel-sel darah tepi, yaitu
anemia, atau trombositopeni atau neutropeni. Namun 50% dari penderita MDS
tidak merasakan gejala apa-apa, dan penyakit ii baru ditemukan dengan tidak
sengaja pada pemeriksaan darah rutin (Young, 2008).
Dari anamnesis, pasien biasanya datang dengan keluhan lemas, lesu, cepat
lelah saat beraktivitas yang disebabkan oleh anemia. Adanya kemungkinan
riwayat mimisan, gusi berdarah, badan mudah memar, sebagai manifestasi klinis
dari trombositopeni. Fungsi trombosit yang tidak baik merupakan penyebab lain
yang akan meningkatkan resiko terjadinya perdarahan. Adanya demam dan infeksi
bakteri atau jamur, seperti pneumonia dan infeksi saluran kemih, yang dikaitkan
dengan neutropeni. Batuk darah, hematuria, dan darah pada feses juga mungkin
terjadi. Adanya riwayat kemoterapi atau paparan radiasi merupakan fakta yang
penting (Young, 2008).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda anemia, seperti kulit dan membran
mukosa pucat. Bisa ditemukan petechie atau ekimosis pada kulit akibat
trombositopenia. Pada sekitar 20% penderita MDS ditemukan adanya
splenomegali. Lesi pada kulit yang langka seperti Sweets syndrome (febrile

neutrophilic dermatosis), juga mungkin muncul pada MDS. Sedangkan sindrom


autoimun jarang ditemukan (Harrison) (Young, 2008).
2. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pada pasien dengan myelodysplastic syndrome, ditemukan perubahan yang
signifikan pada perhitungan sel-sel darah tepi, dan abnormalitas pada sumsum
tulang.

a. Pemeriksaan Darah
Pada perhitungan sel-sel darah tepi, anemia muncul pada sebagian besar
kasus, baik berdiri sendiri maupun sebagai bagian dari bisitopeni atau
pansitopenia. Adanya neutropenia atau trombositopenia tanpa disertai anemia
jarang terjadi. Biasanya merupakan anemia makrositik, dan pada pemeriksaan
darah tepi biasanya tampak adanya bimorfik eritrosit dengan ukuran besar dan
jumlah kurang dari normal. Trombosit juga ditemukan dalam ukuran besar dengan
jumlah granula minimal.. neutrofil juga ditemukan mengalami hipogranulasi,
adanya hiposegmentasi, bentuk melingkar, atau segmen abnormal pada nucleus,
meliputi badan Dohle, dan mungkin mengalami penurunan fungsi. Adanya
mieloblast pada sirkulasi berhubungan dengan banyaknya blast pada sumsum
tulang, dan jumlah ini penting untuk klasifikasi dan prognosis. Jumlah total sel
darah putih biasanya normal atau rendah, kecuali pada leukemia mielomonositik
kronik. Seperti pada anemia aplastik, MDS dapat dihubungkan dengan populasi
klonal sel PNH (Young, 2008).
b. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Sumsum tulang biasanya normal atau hiposeluler, tetapi pada 20% kasus
hiposeluler ini dibingungkan dengan aplasia. Tidak ada karakteristik tunggal dari
sumsum tulang yang dapat membedakan MDS, tetapi berikut ini perlu

diperhatikan: perubahan diseritropoetik (terutama abnormalitas nuclear) dan


sideroblast cincin pada erythroid lineage; hipogranulasi dan hipopigmentasi pada
precursor granulositik, dengan peningkatan mieloblast; dan jumlah megakariosit
menurun dengan inti yang tidak teratur. Nucleus megaloblastik berhubungan
dengan hemoglobulinisasi pada erythroid lineage sering ditemukan. Prognosis
sangat dipengaruhi proporsi dari blast sumsum tulang. Analisis sitogenik dan
fluoresen in situ hibridisasi dapat menidentifikasi abnormalitas kromosom
(Young, 2008).

E. PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini biasanya kurang memuaskan. Pengobatan dengan tindakan
transplantasi sumsum tulang dapat meningkatkan survival rate hingga 50%
selama 3 tahun.
Kemoterapi tidak dianjurkan pada fase awal MDS, umumnya hanya
diberikan pada tipe RAEB, RAEB-T, CMML. Sejak 1968 pengobatan dengan
ARA-C dosis rendah yang diberikan pada pasien MDS dapat memberikan respons
rate antara 50-75% dan respons ini tetap bertahan 2-14 bulan setelah pengobatan.
Dosis ARA-C yang direkomendasi adalah 20mg/m2/hari secara drip atau
10mg/m2 secara subkutan setiap 12 jam selama 21 hari (Ashariati, 2008).
GM-CSF atau G-CSF dapat diberikan pada pasien MDS yang mengalami
pansitopenia untuk merangsang diferensiasi hematopoiesis progenitor cells. GMCSF diberikan dengan dosis 30-500 mcg/m2/hari atau G-CSF 50-1600 mcg/m2
(0,1-0,3 mcg/kgBB/hari/subkutan selama 7-14 hari) (Ashariati, 2008).
Penggunaan piridoksin, androgen, danazol, asam retinoat dapat sebagai
pengobatan MDS. Piridoksin 200mg/hari selama 2 bulan kadang-kadang dapat
memberikan respons pada tipe RASB walaupun sangat kecil. Danazol
600mg/hari/oral selama 3 bulan dapat meningkatkan trombosit terutama pada

MDS tipe trombopeni. 13-cis retinoic acid dengan dosis 1,0 mg/kgBB/hari/oral
dapat memberikan response rate 21-33% setelah 3 minggu pengobatan (Ashariati,
2008).
F. PROGNOSIS
Walaupun stratifikasi prognosis berguna untuk kategori diagnostik pasien
dengan MDS, pembatasan prognosis dengan klasifikasi FAB telah terbukti
dengan quite variable clinical within in FAB subgroup. Gambaran morfologi
termasuk dalam variabel.
IPSS untuk MDS ada dari pertimbangan workshop analisis risiko MDS
internasional, dibandingkan dengan system yang baru, resiko berdasarkan IPSS
telah dibuat untuk meningkatkan penggolongan prognosis dalam kasus MDS.
Dalam

analisis ini, sitogenik, morfologi dan data klinis digabung dan

dikumpulkan dari kelompok yang besar dari kasus MDS yang termasuk dalam
studi prognosis yang baru dilaporkan. FAB morfologi digunakan untuk
menentukan diagnosis MDS, selain itu gambaran darah tepi 4-6 minggu
digunakan untuk menyingkirkan etiologi cytopeni yang lain seperti : obat-obatan,
penyakit-penyakit yang lain, atau awal evolusi AML (Greenberg, et al, 2004).
Variabel independen untuk menentukan harapan hidup dan evolusi AML
berdasarkan persentase blast sumsum tulang, jumlah sitopeni dan subgroup
sitogenetik (baik, sedang, jelek ). Pasien dengan kelainan kromosom t8, 21 atau
inv 16 digolongkan dalam AML. Usia juga merupakan variabel yang lain untuk
menentukan harapan hidup, tapi bukan variabel untuk menentukan evolusi AML.
Prosentase sel blast sumsum tulang dibagi menjadi 4 kategori yaitu : 1. kurang
dari 5% , 2. 5%-10% , 3. 11%-20%, 4.21%-30% (Greenberg, et al, 2004).
Sitopeni ditetapkan oleh IPSS berdasarkan kadar hemoglobin <10 g/dl dan
hitung neutofil absolute (ANC) dibawah 1800/ml dan trombosit dibawah
100.000/ml. Pasien dengan kariotipe sumsum tulang yang normal del(5q), del
(20q) dany Y mempunyai prognosis yang baik (70%), sedangkan pasien yang

mempunyai kelainan yang komplek (3 atau lebih kelainan kromosom), atau


kelainan kromosom 7 mempunyai prognosis yang jelek (16%). Pasien dengan
kategori yang komplek, sebagian besar mempunyai kelainan kromosom 5/7
dengan adanya kelainan yang lain (Greenberg, et al, 2004).
Untuk megembangkan IPSS untuk MDS, skor resiko relatif untuk tiap
variable yang signifikan (prosentase sel blast, subgroup sitogenetik, dan jumlah
sitopeni) digenerated. Dengan menggabungkan skor risiko untuk varibel utama,
pasien dibagi menjadi 4 kelompok resiko dalam segi harapan hidup dan evolusi
AML yaitu : rendah, sedang 1, sedang 2, dan tinggi (Greenberg, et al, 2004).
Tabel International Prognostic Scoring System (IPPS) untuk MDS

Blast sumsum tulang


Kariotipe
Sitopenia (lineages affected)

Skor
0
<5%
Bagus
0 atau 1

Kelompok risiko
Rendah
Sedang I
Sedang II
Tinggi

0
0,5-1,0
1,5-2,0
2,5

Variabel Prognostik

Skor

0,5
5-10%
Sedang
2 atau 3

1
Jelek

(Young, 2008).

1,5
11-20%

2
21-30%

DAFTAR PUSTAKA

1. Ashariati, A. 2006. Sindrom Dismielopoetik. In: Sudaryono, AW.,


Setiyohadi,B.,Alwi, I. (editors) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Pp: 663-5
2. Besa, EC. 2008. Myelodysplastic Syndrome. In: Adler, J., Chelmow, D.,
Elston, D., Ferguson, B., Geibel, J., Gellman, H., Griffing, G., Harris, J.,
Ho, S., Kulkarni, K., Lin, E., Lorenzo, C. (editors) Medscapes
Continually
Updated
Clinical
Reference.
http://emedicine.medscape.com/article/207347
3. Greenberg, PL., et al. 2004. Myelodisplatic Syndrome. In: Greenberg, PL.,
Attar, E., Battiwalla, M., Bennett, J., Bloomfield, J., DeCastro, C. (editors)
Practice Guidelines in Oncology .Vol.1. 2004. New York: National
Comprehensive Cancer Network (NCCN). Pp: 1-14
4. List, Alan F. and Doll, Donald C. 1998. The Myelodisplastic Syndromes.
In: Lee , R., Foerster, J., Lukens, J., Paraskevas, F., Greer, J., Rodgers, G.
(editors) Wintrobes Clinical Hematology, 10 th Ed. New York: Lippincott
William and Wilkins. P: 97
5. Theml, Herald, et al. 2004. Myelodisplasia (MDS). In: Theml, H., Diem,
H., Haferlach, T. (editors) Color Atlas of Hematology, 2nd Revised Ed.
New York: Thieme Stuttgart. Pp: 106-9
6. Young, Neals S. 2008. Aplastic Anemia, Myelodysplasia, and Related
Bone Marrow Failure Syndrome. In: Kasper, DL., Braunwald, E., Fauci,

A., Hauser, S., Longo, D., Jameson, J. (editors) Harrisons 17 th edition


Principles of Internal Medicine. New York: McGraw Hill. Pp: 668-71

Anda mungkin juga menyukai