Anda di halaman 1dari 27

ASKEP EFUSI PLEURA

MATA KULIAH: Sistem Respirasi


DOSEN: Ns. Mulyadi, M.Kep

Disusun oleh:
Nama : DANIEL MAWU
NRI : 120114030
Kelas : A1
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
MANADO
2013

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN EFUSI PLEURA

A. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. DEFINISI
Efusi pleura adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada rongga pleura, cairan
tersebut mengisi ruangan yang mengelilingi paru. Cairan dalam jumlah yang berlebihan dapat
mengganggu pernapasan dengan membatasi peregangan paru selama inhalasi. Terdapat empat
tipe cairan yang dapat ditemukan pada efusi pleura : Cairan serusa (hidrothorax),Darah
(hemothotaks),Chyle (chylothoraks), dan Nanah (pyothoraks atau empyema).
Efusi pleural adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural, proses penyakit primer
jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan
jernih, yang mungkin merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus
(Baughman C Diane, 2000).
Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara
permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya
merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural
mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang
memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanne, 2002).
Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan dalam rongga pleura.
(Price C Sylvia, 1995)
2. EPIDEMIOLOGI
Efusi pleura sering terjadi di negara-negara yang sedang berkembang, salah satunya di
Indonesia. Hal ini lebih banyak diakibatkan oleh infeksi tuberkolosis. Bila di negara-negara
barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif, keganasan, dan
pneumonia bakteri. Di Amerika efusi pleura menyerang 1,3 juta org/th. Di Indonesia TB Paru
adalah peyebab utama efusi pleura, disusul oleh keganasan. 2/3 efusi pleura maligna
mengenai wanita. Efusi pleura yang disebabkan karena TB lebih banyak mengenai pria.
Mortalitas dan morbiditas efusi pleura ditentukan berdasarkan penyebab, tingkat keparahan
dan jenis biochemical dalam cairan pleura.

3. PENYEBAB/FAKTOR PREDISPOSISI
Dalam keadaan normal, cairan pleura dibentuk dalam jumlah kecil untuk melumasi
permukaan pleura (pleura adalah selaput tipis yang melapisi rongga dada dan membungkus
paru-paru). Bisa terjadi 3 jenis efusi yang berbeda:
1)

Efusi Transudat dapat disebabkan oleh biasanya disebabkan oleh suatu kelainan pada

tekanan normal di dalam paru-paru. Seperti kegagalan jantung kongestif (gagal jantung kiri),
sindroma nefrotik, asites (oleh karena sirosis kepatis), syndroma vena cava superior, tumor,
sindroma meig.
2)

Efusi Eksudat disebabkan oleh infeksi, TB, preumonia, tumor, infark paru, radiasi,

penyakit kolagen. Kanker, tuberkulosis dan infeksi paru lainnya, reaksi obat, asbetosis dan
sarkoidosis merupakan beberapa contoh penyakit yang bisa menyebabkan efusi pleura
eksudativa.
3)

Efusi hemoragis dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma,

infark paru,

tuberkulosis.
Penyebab lain dari efusi pleura adalah:
v

Gagal jantung

Kadar protein darah yang rendah

Sirosis

Pneumonia

Blastomikosis

Koksidioidomikosis

Tuberkulosis

Histoplasmosis

Tumor

Pembedahan jantung

Cedera di dadA

Obat-obatan (hidralazin, prokainamid, isoniazid, fenitoin,klorpromazin, nitrofurantoin,

bromokriptin, dantrolen, prokarbazin)


v

Pemasanan selang untuk makanan atau selang intravena yang kurang baik.

Berdasarkan sumber lain, penyebab efusi pleural yaitu:

Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti pada
dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, sindroma meig (tumor
ovarium) dan sindroma vena kava superior.

Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis, pneumonia, virus),


bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura, karena tumor
dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. Di Indonesia 80% karena
tuberculosis.

Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses penyakit neoplastik,
tromboembolik, kardiovaskuler, dan infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari empat
mekanisme dasar :

Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik

Penurunan tekanan osmotic koloid darah

Peningkatan tekanan negative intrapleural

Adanya inflamasi atau neoplastik pleura

4. PATOFISIOLOGI
Cairan di rongga pleura jumlahnya tetap karena adanya keseimbangan antara produksi
oleh pleura parietalis dan absorbsi oleh pleura viseralis. Keadaan ini dapat dipertahankan
karena adanya keseimbangan antara tekanan hidrostatis pleura parietalis.
Didalam rongga pleura terdapat + 5ml cairan yang cukup untuk membasahi seluruh
permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis. Cairan ini dihasilkan oleh kapiler pleura
parietalis karena adanya tekanan hidrostatik, tekanan koloid dan daya tarik elastis. Sebagian
cairan ini diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil lainnya (1020%) mengalir ke dalam pembuluh limfe sehingga pasase cairan disini mencapai 1 liter
seharinya.
Terkumpulnya cairan di rongga pleura disebut efusi pleura, hal ini terjadi bila
keseimbangan antara produksi dan absorbsi terganggu misalnya pada hyperemia akibat
inflamasi, perubahan tekanan osmotic (hipoalbuminemia), peningkatan tekanan vena (gagal
jantung).
Akumulasi cairan pleura dapat terjadi apabila:
1. Tekanan osmotik koloid menurun dalam darah pada penderita hipoalbuminemia dan
bertambahnya permeabilitas kapiler akibat ada proses keradangan atau neoplasma

2. Terjadi peningkatan:
Permeabilitas kapiler (keradangan, neoplasma)
Tekanan hidrostatis di pembuluh darah ke jantung/ vena pulmonalis (kegagalan jantung
kiri)
Tekanan negatif intra pleura (atelektasis)
(Alsagaf H, Mukti A, 1995, 145).
Efusi pleura berarti terjadi pengumpulan sejumlah besar cairan bebas dalam kavum pleura.
Kemungkinan penyebab efusi antara lain (1) penghambatan drainase limfatik dari rongga
pleura, (2) gagal jantung yang menyebabkan tekanan kapiler paru dan tekanan perifer
menjadi sangat tinggi sehingga menimbulkan transudasi cairan yang berlebihan ke dalam
rongga pleura (3) menurunnya tekanan osmotik koloid plasma yang menyebabkan transudasi
cairan yang berlebihan (4) infeksi atau setiap penyebab peradangan apapun pada permukaan
pleura dari rongga pleura, yang memecahkan membran kapiler dan memungkinkan
pengaliran protein plasma dan cairan ke dalam rongga secara cepat (Guyton dan Hall , Egc,
1997, 623-624).

5. KLASIFIKASI
Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, effusi dibagi menjadi unilateral dan
bilateral. Efusi yang unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik dengan penyakit
penyebabnya. Akan tetapi efusi yang bilateral ditemukan pada penyakit-penyakit berikut:
Kegagalan jantung kongestif, sindroma nefrotik, asites, infark paru, lupus eritematosus
systemic, tumor dan tuberkolosis.
Berdasarkan jenis cairannya dibedakan menjadi:
a.

Hemotoraks (darah di dalam rongga pleura) biasanya terjadi karena cedera di dada.

Penyebab lainnya adalah:


pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga
pleura
kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta) yang kemudian
mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura
Gangguan pembekuan darah.
Darah di dalam rongga pleura tidak membeku secara sempurna, sehingga biasanya mudah
dikeluarkan melelui sebuah jarum atau selang.

b.

Empiema (nanah di dalam rongga pleura) bisa terjadi jika pneumonia atau abses paru

menyebar ke dalam rongga pleura.


Empiema bisa merupakan komplikasi dari:
v

Pneumonia

Infeksi pada cedera di dada

Pembedahan dada

Pecahnya kerongkongan

Abses di perut.

c.

Kilotoraks (cairan seperti susu di dalam rongga dada) disebabkan oleh suatu cedera

pada saluran getah bening utama di dada (duktus torakikus) atau oleh penyumbatan saluran
karena adanya tumor.

6. GEJALA KLINIS
Gejala yang paling sering ditemukan (tanpa menghiraukan jenis cairan yang
terkumpul ataupun penyebabnya) adalah sesak nafas dan nyeri dada (biasanya bersifat tajam
dan semakin memburuk jika penderita batuk atau bernafas dalam). Kadang beberapa
penderita tidak menunjukkan gejala sama sekali.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan: batuk,cegukan,pernafasan yang cepat,dan nyeri
perut. Sekitar 25% penderita efusi pleura keganasan tidak mengalami keluhan apapun pada
saat diagnosis ditegakkan.
Gejala lainnya:

Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah

cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada
pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat,

batuk, banyak riak.


Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan
cairan pleural yang signifikan.

Gejala klinis dari efusi pleura biasanya disebabkan oleh penyakit dasar pneumonia akan
menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis. Sementara efusi malignan dapat
mengakibatkan dispnea dan batuk. Efusi pleura yang dibahas akan menyebabkan sesak nafas.

Area yang mengandung cairan atau menunjukkan bunyi nafas minimal atau tidak sama sekali
mengahsilkan bunyi datar, pekak saat diperkusi. Bila terdapat efusi pleura kecil sampai
sedang, dispnea mungkin saja tidak terjadi.
7. PEMERIKSAAN FISIK
v

Inspeksi : pada pasien efusi pleura bentuk hemithorax yang sakit mencembung, iga

mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan


mediastinum ke arah hemithorax kontra lateral yang diketahui dari posisi trakhea dan ictus
kordis. RR cenderung meningkat dan Pernapasannya biasanya dyspneu.

Palpasi : Fremitus tokal menurun terutama untuk efusi pleura yang jumlah cairannya
> 250 cc. Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang

tertinggal pada dada yang sakit.


Perkusi : Suara perkusi redup sampai peka tegantung jumlah cairannya. Bila
cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas atas cairan
berupa garis lengkung dengan ujung lateral atas ke medical penderita dalam posisi
duduk. Garis ini disebut garis Ellis-Damoisseaux. Garis ini paling jelas di bagian

depan dada, kurang jelas di punggung.


Auskultasi : Suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi duduk cairan
makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi atelektasis dari parenkian
paru, mungkin saja akan ditemukan tanda-tanda auskultasi dari atelektasis kompresi
di sekitar batas atas cairan. Ditambah lagi dengan tanda i e artinya bila penderita
diminta mengucapkan kata-kata i maka akan terdengar suara e sengau, yang disebut

egofoni (Alsagaf H, Ida Bagus, Widjaya Adjis, Mukty Abdol, 1994,79)


Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan
cairan pleural yang signifikan.

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium :
Rontgen dada : Rontgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk
mendiagnosis efusi pleura, yang hasilnya menunjukkan adanya cairan.

CT scan dada: CT scan dengan jelas menggambarkan paru-paru dan cairan dan bisa
menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau tumor.
USG dada: USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan yang
jumlahnya sedikit, sehingga bisa dilakukan pengeluaran cairan.
Torakosentesis : Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan
melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui torakosentesis
(pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang dimasukkan diantara sela iga ke dalam
rongga dada dibawah pengaruh pembiusan lokal).
Biopsi:Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya, maka dilakukan
biopsi, dimana contoh lapisan pleura sebelah luar diambil untuk dianalisa.
Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh, penyebab
dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan.Biopsi pleura perlu dipikirkan setelah hasil
pemeriksaan sitologik ternyata negatif. Diagnosis keganasan dapat ditegakkan dengan biopsi
pleura tertutup pada 3060% penderita. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa biopsi yang
dilakukan berulang (dua sampai empat kali) dapat meningkatkan diagnosis sebesar 24%.
Biopsi pleura dapat dilakukan dengan jarum.
Analisa cairan pleura : Efusi pleura didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik, dan di konfirmasi dengan foto thoraks. Dengan foto thoraks posisi lateral decubitus
dapat diketahui adanya cairan dalam rongga pleura sebanyak paling sedikit 50 ml, sedangkan
dengan posisi AP atau PA paling tidak cairan dalam rongga pleura sebanyak 300 ml. Pada
foto thoraks posisi AP atau PA ditemukan adanya sudut costophreicus yang tidak tajam.
Bronkoskopi : Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber cairan
yang terkumpul.
Bila efusi pleura telah didiagnosis, penyebabnya harus diketahui, kemudian cairan pleura
diambil dengan jarum, tindakan ini disebut thorakosentesis. Setelah didapatkan cairan efusi
dilakukan pemeriksaan seperti:
1. Komposisi kimia seperti protein, laktat dehidrogenase (LDH), albumin, amylase, pH, dan
glucose

2. Dilakukan pemeriksaan gram, kultur, sensitifitas untuk mengetahui kemungkinan terjadi


infeksi bakteri
3. Pemeriksaan hitung sel
4. Sitologi untuk mengidentifikasi adanya keganasan

Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan radiologik mempunyai nilai yang tinggi dalam menegakkan diagnosis efusi
pleura, meskipun tidak berguna dalam menentukan faktor penyebabnya. Pada foto toraks
terlihat perselubungan homogen dengan batas atas yang cekung atau datar, dan sudut
kostofrenikus yang tumpul; cairan dengan jumlah yang sedikit hanya akan memberikan
gambaran berupa penumpulan sudut kostofrenikus. Cairan berjumlah kurang dari 100 ml
tidak akan terlihat pada foto toraks yang dibuat dengan teknik biasa. Bayangan homogen baru
dapat terlihat jelas apabila cairan efusi lebih dari 300 ml. Apabila cairan tidak tampak pada
foto postero-anterior (PA), maka dapat dibuat foto pada posisi dekubitus lateral.
10. THERAPY/TINDAKAN PENANGANAN
Jika jumlah cairannya sedikit, mungkin hanya perlu dilakukan pengobatan terhadap
penyebabnya. Jika jumlah cairannnya banyak, sehingga menyebabkan penekanan maupun
sesak nafas, maka perlu dilakukan tindakan drainase (pengeluaran cairan yang terkumpul).
Efusi karena gagal jantung penatalaksanaannya:
1.

Diuretik

2.

Torakosentesis diagnostik bila:

a.

Efusi unilateral

b.

Efusi menetap dengan terapi diuretic

c.

Efusi bilateral, ketinggian cairan berbeda bermakna

d.

Efusi+febris

e.

Efusi+nyeri dada pleuritik

Efusi pleura karena pleuritis tuberculosis pengobatannya:


Obat anti tuberkulosis(minimal 9 bulan)+ kortikosteroid dosis 0,75-1mg/kg BB/ Hari selama
2-3 minggu, setelah ada respons diturunkan bertahap+ torakosentesis terapeutik, bila sesak
atau efusi>tinggi dari sela iga,
Efusi pleura keganasan

Penanganan efusi pleura keganasan hampir selalu bersifat paliatif dengan tujuan untuk
mengurangi gejala-gejala dan mencegah pembentukan cairan pleura. Pengobatan terhadap
kanker primer dapat diberikan apabila diketahui lokasinya serta terdapat pengobatan untuk
tumor tersebut. Penanganan paliatif pada efusi pleura keganasan dapat berupa aspirasi cairan,
pleurodesis, dan pembedahan.
Aspirasi Cairan Pleura
Cairan pleura dapat dikeluarkan dengan jalan aspirasi secara berulang atau dengan
pemasangan selang toraks yang dihubungkan dengan Water Seal Drainage (WSD). Cairan
yang dikeluarkan pada setiap kali pengambilan sebaiknya tidak lebih dari 1000 ml untuk
mencegah terjadinya edema paru akibat pengembangan paru secara mendadak.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1.

PENGKAJIAN

Pengumpulan Data
Data-data yang dikumpulkan atau dikaji meliputi :
a.

Identitas Pasien
Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari pertolongan

atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan efusi pleura didapatkan keluhan
berupa sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat
tajam dan terlokalisasi terutama pada saat batuk dan bernafas serta batuk non produktif.
b.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dengan efusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya tanda-tanda seperti

batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun dan
sebagainya. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah
dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhannya tersebut.
c.

Riwayat Penyakit Dahulu


Perlu ditanyakan apakah pasien pernah menderita penyakit seperti TBC paru, pneumoni,

gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui
kemungkinan adanya faktor predisposisi.

d.

Riwayat Penyakit Keluarga


Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit yang

disinyalir sebagai penyebab efusi pleura seperti kanker paru, asma, TB paru dan lain
sebagainya.
e.

Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta

bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.


f.
1)

Pengkajian Pola-Pola Fungsi Kesehatan


Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Adanya tindakan medis dan perawatan di rumah sakit mempengaruhi perubahan

persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan persepsi yang salah terhadap
pemeliharaan kesehatan.
2)

Pola nutrisi dan metabolisme


Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan pengukuran

tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi pasien. Pasien dengan efusi
pleura akan mengalami penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas dan penekanan pada
struktur abdomen. Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit. pasien
dengan efusi pleura keadaan umumnya lemah.
3)

Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan ilusi dan

defekasi sebelum dan sesudah MRS. Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan
lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain akibat pencernaan pada
struktur abdomen menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus.
4)

Pola aktivitas dan latihan


Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi dan pasien akan cepat

mengalami kelelahan pada aktivitas minimal. Disamping itu pasien juga akan mengurangi
aktivitasnya akibat adanya nyeri dada dan untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian
kebutuhan pasien dibantu oleh perawat dan keluarganya.
5)

Pola tidur dan istirahat

Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan berpengaruh terhadap
pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat, selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan dari
lingkungan rumah yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang
mondar-mandir, berisik dan lain sebagainya.
6)

Pola hubungan dan peran

Akibat dari sakitnya, secara langsung pasien akan mengalami perubahan peran, misalkan
pasien seorang ibu rumah tangga, pasien tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai seorang
ibu yang harus mengasuh anaknya, mengurus suaminya. Disamping itu, peran pasien di
masyarakat pun juga mengalami perubahan dan semua itu mempengaruhi hubungan
interpersonal pasien.
7)

Pola persepsi dan konsep diri


Persepsi pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang tadinya sehat, tiba-tiba

mengalami sakit, sesak nafas, nyeri dada. Sebagai seorang awam, pasien mungkin akan
beranggapan bahwa penyakitnya adalah penyakit berbahaya dan mematikan. Dalam hal ini
pasien mungkin akan kehilangan gambaran positif terhadap dirinya.
8)

Pola sensori dan kognitif


Fungsi panca indera pasien tidak mengalami perubahan, demikian juga dengan proses

berpikirnya.
9)

Pola reproduksi seksual


Kebutuhan seksual pasien dalam hal ini hubungan seks intercourse akan terganggu

untuk sementara waktu karena pasien berada di rumah sakit dan kondisi fisiknya masih
lemah.
10)

Pola penanggulangan stress


Bagi pasien yang belum mengetahui proses penyakitnya akan mengalami stress dan

mungkin pasien akan banyak bertanya pada perawat dan dokter yang merawatnya atau orang
yang mungkin dianggap lebih tahu mengenai penyakitnya.
11)

Pola tata nilai dan kepercayaan


Sebagai seorang beragama pasien akan lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan dan

menganggap bahwa penyakitnya ini adalah suatu cobaan dari Tuhan.

g.
1)

Pemeriksaan fisik
Status Kesehatan Umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara umum,

ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap

petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan dan ketegangan
pasien. Perlu juga dilakukan pengukuran tinggi badan berat badan pasien.
2)

Sistem Respirasi
Inspeksi pada pasien efusi pleura bentuk hemithorax yang sakit mencembung, iga

mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan


mediastinum ke arah hemithorax kontra lateral yang diketahui dari posisi trakhea dan ictus
kordis. RR cenderung meningkat dan pasien biasanya dyspneu.
Fremitus tokal menurun terutama untuk efusi pleura yang jumlah cairannya > 250 cc.
Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada
dada yang sakit.
Suara perkusi redup sampai peka tegantung jumlah cairannya. Bila cairannya tidak
mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas atas cairan berupa garis lengkung
dengan ujung lateral atas ke medical penderita dalam posisi duduk. Garis ini disebut garis
Ellis-Damoisseaux. Garis ini paling jelas di bagian depan dada, kurang jelas di punggung.
Auskultasi Suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi duduk cairan makin ke atas
makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi atelektasis dari parenkian paru, mungkin saja akan
ditemukan tanda-tanda auskultasi dari atelektasis kompresi di sekitar batas atas cairan.
Ditambah lagi dengan tanda i e artinya bila penderita diminta mengucapkan kata-kata i
maka akan terdengar suara e sengau, yang disebut egofoni (Alsagaf H, Ida Bagus, Widjaya
Adjis, Mukty Abdol, 1994,79).
h.

Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan medis dan laboratorium


1.

Pemeriksaan Radiologi
Pada fluoroskopi maupun foto thorax PA cairan yang kurang dari 300 cc tidak bisa

terlihat. Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa penumpukkan kostofrenikus. Pada
effusi pleura sub pulmonal, meski cairan pleura lebih dari 300 cc, frenicocostalis tampak
tumpul, diafragma kelihatan meninggi. Untuk memastikan dilakukan dengan foto thorax
lateral dari sisi yang sakit (lateral dekubitus) ini akan memberikan hasil yang memuaskan bila
cairan pleura sedikit (Hood Alsagaff, 1990, 786-787).
2.

Biopsi Pleura
Biopsi ini berguna untuk mengambil specimen jaringan pleura dengan melalui biopsi

jalur percutaneus. Biopsi ini digunakan untuk mengetahui adanya sel-sel ganas atau kuman-

kuman penyakit (biasanya kasus pleurisy tuberculosa dan tumor pleura) (Soeparman, 1990,
788).
i.

Pemeriksaan Laboratorium

Dalam pemeriksaan cairan pleura terdapat beberapa pemeriksaan antara lain :


a.

Pemeriksaan Biokimia

Secara biokimia effusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang perbedaannya dapat
dilihat pada tabel berikut :
Transudat

Eksudat

Kadar protein dalam effusi 9/dl

<3

>3

Kadar protein dalam effusi

< 0,5

> 0,5

Kadar LDH dalam effusi (1-U)

< 200

> 200

Kadar LDH dalam effusi

< 0,6

> 0,6

Kadar protein dalam serum

Kadar LDH dalam serum


Berat jenis cairan effusi

< 1,016

Rivalta

> 1,016

Negatif

Positif

Disamping pemeriksaan tersebut diatas, secara biokimia diperiksakan juga cairan pleura :
-

Kadar pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-penyakit infeksi, arthritis

reumatoid dan neoplasma


-

Kadar amilase. Biasanya meningkat pada paulercatilis dan metastasis adenocarcinona

(Soeparman, 1990, 787).


b.

Analisa cairan pleura

Transudat

: jernih, kekuningan

Eksudat

: kuning, kuning-kehijauan

Hilothorax

: putih seperti susu

Empiema

: kental dan keruh

Empiema anaerob

: berbau busuk

Mesotelioma

: sangat kental dan berdarah

c.

Perhitungan sel dan sitologi

Leukosit 25.000 (mm3):empiema


Banyak Netrofil

: pneumonia, infark paru, pankreatilis, TB paru

Banyak Limfosit

: tuberculosis, limfoma, keganasan.

Eosinofil meningkat : emboli paru, poliatritis nodosa, parasit dan


Eritrosit

jamur

: mengalami peningkatan 1000-10000/ mm3 cairan tampak kemorogis,

sering dijumpai pada pankreatitis atau pneumoni. Bila erytrosit > 100000 (mm3 menunjukkan
infark paru, trauma dada dan keganasan.
Misotel banyak

: Jika terdapat mesotel kecurigaan TB bisa disingkirkan.

Sitologi

: Hanya 50 - 60 % kasus- kasus keganasan dapat ditemukan sel ganas.

Sisanya kurang lebih terdeteksi karena akumulasi cairan pleura lewat mekanisme obstruksi,
preamonitas atau atelektasis (Alsagaff Hood, 1995 : 147,148)
d.

Bakteriologis
Jenis kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah pneamo cocclis, E-

coli, klebsiecla, pseudomonas, enterobacter. Pada pleuritis TB kultur cairan terhadap kuman
tahan asam hanya dapat menunjukkan yang positif sampai 20 % (Soeparman, 1998: 788).
Analisa Data
Setelah semua data dikumpulkan, kemudian dikelompokkan dan dianalisa sehingga
dapat ditemukan adanya masalah yang muncul pada penderita effusi pleura. Selanjutnya
masalah tersebut dirumuskan dalam diagnosa keperawatan.

PATOFISIOLOGI PEYIMPANGAN KDM

2.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Beberapa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan efusi

pleura antara lain :


Diagnosa keperawatan pre-op
1.

Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru

sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam rongga pleura


2.

Gangguan pertukaran gas berhubungan perubahan membran alveolar-kapiler.

3.

Nyeri dada berhubungan dengan peradangan pada rongga pleura.

4.

Hipertermia berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh secara mendadak ditandai

dengan demam.
5.

Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan anoreksia. akibat sesak nafas sekunder terhadap penekanan struktur abdomen.
6.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan

kebutuhan oksigen ditandai dengan kelelahan/kelemahan.


7.

Gangguan pola tidur dan istirahat sehubungan dengan batuk yang menetap dan sesak

nafas serta perubahan suasana lingkungan


8.

Kurang pengetahuan mengenai kondisi, patofisiologis efusi pleural, aturan

pengobatan sehubungan dengan kurang terpajang informasi.

Diagnosa keperawatan post-op


1.

Nyeri berhubungan dengan faktor-fakor fisik (pemasangan water seat drainase

(WSD))
2.

Risiko infeksi berhubungan dengan pemasangan WSD dan terapi torakosintesis.

3.

Ansietas berhubungan dengan pemasangan WSD dan terapi torakosintesis.

3. PERENCANAAN
Menyusun prioritas :
Diagnosa keperawatan pre-op
1.

Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru

sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam rongga pleura


2.

Gangguan pertukaran gas berhubungan perubahan membran alveolar-kapiler.

3.

Nyeri dada berhubungan dengan peradangan pada rongga pleura.

4.

Hipertermia berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh secara mendadak ditandai

dengan demam.
5.

Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan anoreksia. akibat sesak nafas sekunder terhadap penekanan struktur abdomen.
6.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan

kebutuhan oksigen ditandai dengan kelelahan/kelemahan.


Diagnosa keperawatan post-op
1.

Nyeri berhubungan dengan faktor-fakor fisik (pemasangan water seat drainase (WSD))

2.

Risiko infeksi berhubungan dengan pemasangan WSD dan terapi torakosintesis.

3.

Ansietas berhubungan dengan pemasangan WSD dan terapi torakosintesis.

Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, dibuat rencana tindakan untuk mengurangi,


menghilangkan dan mencegah masalah klien.(Budianna Keliat, 1994, 16)
Pre-op
1.

Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru

sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.


Tujuan :

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien mampu
mempertahankan fungsi paru secara normal
Kriteria hasil :

Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal.

Pada pemeriksaan sinar X dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan.

Bunyi nafas terdengar jelas.

Intervensi :
a.

Identifikasi faktor penyebab.

Rasional : Dengan mengidentifikasikan penyebab, kita dapat menentukan jenis effusi pleura
sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.
b.

Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap perubahan yang

terjadi.
Rasional : Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, kita dapat
mengetahui sejauh mana perubahan kondisi pasien.
c.

Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan kepala

tempat tidur ditinggikan 60 90 derajat.


Rasional : Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa
maksimal.
d.

Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan respon pasien).

Rasional : Peningkatan RR dan tachcardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru.
e.

Lakukan auskultasi suara nafas tiap 2-4 jam.

Rasional : Auskultasi dapat menentukan kelainan suara nafas pada bagian paru-paru.
f.

Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan nafas dalam yang efektif.

Rasional : Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam. Penekanan otot-otot
dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif.
g.

Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan obat-obatan serta foto

thorax.
Rasional : Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan mencegah terjadinya
sianosis akibat hiponia. Dengan foto thorax dapat dimonitor kemajuan dari berkurangnya
cairan dan kembalinya daya kembang paru.

2. Gangguan pertukaran gas berhubungan perubahan membran alveolar- kapiler.


Tujuan :
Setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pertukaran gas dalam
alveoli adekuat.
Kriteria hasil:
-

Akral hangat

Tidak ada tanda sianosis

Tidak ada hipoksia jaringan

Saturasi oksigen perifer 90%

Tidak ada gejala disstres pernafasan

Intervensi :
a.

Kaji frekuensi, kedalaman, dan kemudahan bernafas.

Rasional :
Manifestasi distress pernafasan tergantung pada/indikasi derajat keterlibatan paru dan status
kesehatan umum.
b.

Awasi frekuensi jantung/irama

Rasional :
Takikardi biasanya ada sebagai akibat demam tetapi dapat sebagai respons terhadap
hipoksemia.
c.

Observasi warna kulit, membrane mukosa, dan kuku, cacat adanya sianosis ferifer

(kuku) atau sianosis sentral (sirkumoral).


Rasional :
Sianosis kuku menunjukkan vasokontriksi atau rsepon tubuh terhadap demam/menggigil.
Namun sianosis daun telinga, membrane mukosa, dan kulit sekitar mulut (membrane hangat)
menunjukkan hipoksemia sistemik.
d.

Kaji status mental

Rasional :
Gelisah, mudah terangsang, bingung, dan somnolen dapat menunjukkan
hipoksemia/penurunan oksigenasi serebral.
e.

Awasi suhu tubuh, sesuai indikasi. Bantu tindakan kenyamanan untuk menurunkan

demam dan menggigil.

Rasional :
Demam tinggi (umumnya pada pneumonia bacterial dan influenza) sangat meningkatkan
kebutuhan metabolic dan kebutuhan oksigen dan menggagu oksigenasi metabolic.
f.

Observasi penyimpangan kondisi, cacat hipotensi, banyaknya jumlah sputum merah

muda/berdarah, pucat, sianosis, perubahan tingkat kesadran, dipsnea berat, gelisah.


Rasional :
Syok dan edema paru adalah penyebab umum kematian pada pneumonia dan membutuhkan
intervensi medic segera.
Kolaborasi
a.

Berikan terapi oksigen dengan benar.

Rasional :
Tujuan terapi oksigen adalah mempertahankan PaO2 diatas 60 mmHg. Oksigen diberikan
dengan metode yang memberikan pengiriman tepat dalam toleransi pasien.
b.

Awasi Analisa Gas Darah, nadi oksimetri.

Rasional :
Mengevaluasi proses penyakit dan memudahkan terapi paru.

3. Nyeri dada berhubungan dengan peradangan pada rongga pleura.


Tujuan :
Setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri
dada klien hilang.
Kriteria hasil :
Pasien mengatakan nyeri berkurang , hilang, atau dapat dikontrol serta tampak
rileks.
Intervensi :
a. Observasi karakteristik, lokasi, waktu, dan perjalanan rasa nyeri dada
tersebut
Rasional :
Membantu dalam mengevaluasi rasa nyeri.
b. Bantu klien melakukan tehnik relaksasi
Rasional :

Membantu mengurangi rasa nyeri.


c. Berikan analgetik sesuai indikasi
Rasional :
Untuk mengurangi/menghilangkan rasa nyeri.

4. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh secara mendadak


ditandai dengan demam.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi peningkatan
suhu tubuh.
Kriteria hasil :
Hipertermi/peningkatan suhu tubuh dapat teratasi dengan proses infeksi hilang.
Intervensi :
Mandiri
a.

Observasi tanda-tanda vital.

Rasional :
Dengan mengobservasi tanda-tanda vital klien perawat dapat mengetahui keadaan umum
klien, serta dapat memantau suhu tubuh klien.
b.

Pemberian kompres hangat pada pasien

Rasional :
Dengan pemberian kompres hangat dapat menurunkan demam pasieen.
c.

Berikan minum per oral

Rasional :
Klien dengan hipertermi akan memproduksi keringat yang berlebih yang dapat
mengakibatkan tubuh kehilangan cairan yang banyak, sehingga dengan memberikan minum
peroral dapat menggantikan cairan yang hilang serta menurunkan suhu tubuh.
d.

Ganti pakaian yang basah oleh keringat

Rasional :
Klien dengan hipertermi akan mengalami produksi keringat yang berlebihan sehingga
menyebabkan pakaian basah. Pakaian basah diganti untuk mencegah pasien kedinginan dan
untuk menjaga kebersihan serta mencegah perkembangan jamur dan bakteri.

Kolaborasi :
a.

Berikan obat penurun panas, misalnya antipiretik.

Rasional :
Obat tersebut digunakan untuk menurunkan demam dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus.
b.

Berikan selimut pendingin

Rasional :
Digunakan untuk mengurangi demam umumnya lebih besar dari 39,5-400C pada waktu
terjadi kerusakan/gangguan pada otak.
5. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia, akibat sesak nafas sekunder terhadap penekanan struktur abdomen.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi
terpenuhi
Kriteria Hasil :
Menunjukkan peningkatan berat badan.
Intervensi :
a. Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasional:
Berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun tujuan berat badan,
dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi.
b. Hindari makanan penghasil gas dan minuman berkarbonat
Rasional :
Dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu nafas abdomen dan
gerakan disfragma, dan dapat meningkatkan dispnea.
c. Berikan makan porsi kecil tapi sering.
Rasional :
Membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan
kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total.
d. Beri motivasi tentang pentingnya nutrisi.
Rasional : Kebiasaan makan seseorang dipengaruhi oleh kesukaannya, kebiasaannya, agama,
ekonomi dan pengetahuannya tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.

e. Auskultasi suara bising usus.


Rasional : Bising usus yang menurun atau meningkat menunjukkan adanya gangguan pada
fungsi pencernaan.
f. Sajikan makanan semenarik mungkin.
Rasional : Penyajian makanan yang menarik dapat meningkatkan nafsu makan.

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara


suplai dan kebutuhan oksigen ditandai dengan kelelahan/kelemahan.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan klien dapat melakukan
aktivitas dengan baik
Kriteria hasil :

Menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan tak

adanya dipsnea dan kelemahan berlebihan

Tanda-tanda vital dalam rentang normal.

Intervensi :
a.

Evaluasi respon klien terhadap aktivitas. Catat laporan dipsnea, peningkatan

kelemahan/ kelelahan dan perubahan tanda vital selama dan sesudah aktivitas.
Rasional :
Menetapkan kemampuan/kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan intervensi.
b.

Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi.

Dorong pengguanaa manajemen stress dan pengalih yang tepat.


Rasional :
Menentukan stress dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat.
c.

Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan

aktivitas dan istirahat.


Rasional :
Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan metabolic,
menghemat energy untuk penyembuhan. Pembatasan aktivitas ditentukan dengan respon
individual pasien terhadap aktivitas dan perbaikan kegagalan pernafasan.
d.

Bantu pasien memilih posisi yang nyaman untuk istiraha dan/ tidur.

Rasional :

Pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi, tidur di kursi, atau menunduk ke depan meja
dan bantal.
e.

Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan. Berikan kemajuan peningkatan

aktivitas selama fase penyembuhan.


Rasional :
Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplay dan kebutuhan oksigen.
Post-op
1. Nyeri berhubungan dengan faktor-fakor fisik (pemasangan water seat drainase
(WSD)
Tujuan :
Setelah diberi askep 3 x 24 jam diharapkan nyeri hilang .
Kriteria hasil :
Pasien mengatakan nyeri berkurang , hilang, atau dapat dikontrol serta tampak rileks dan
tidur/istirahat dengan baik.
Intervensi :
a. Tanyakan pasien tentang nyeri. Tentukan karakteristik nyeri, misalnya terusmenerus,sakit, menusuk, terbakar. Buat rentang ibtensitas pada skala 0-10.
Rasional :
Membantu dalam evaluasi gejala nyeri. Penggunan skala nyeri dapat membantu
pasien dalam mengkaji tingkat nyeri dan memberikan alat untuk evaluasi
keefektifan analdesik, meningkatkan control nyeri.
b. Kaji pernyataan verbal dan nonverbal nyeri pasien.
Rasional:
Kesesuaian antara petunjuk verbal/nonverbal dapat memberikan petunjuk
derajat nyeri.
c. Evaluasi keefektifan pemberian obat. Dorong pemakaian obat dengan benar
untuk mengontrol nyeri;ganti obat atau waktu sesuai ketepatan.
Rasional :
Persepsi nyeri dan hilangnya nyeri adalah subjektif dan pengontrolan nyeri
yang terbaik merupakan keleluasaan pasien. Boila pasien tidak mampu
memberi masukan, perawat harus mengobservasi tanda fisiologis dan
psikologis nyeri dan memberilan obat berdasarkan aturan.

2. Risiko infeksi berhubungan dengan pemasangan WSD dan terapi torakosintesis.


Tujuan :
Setelah diberi askep 3 x 24 jam diharapkan tidak terjadi/ adanya gejala gejala infeksi.
Kriteria hasil :
Tidak terjadi infeksi.
Intervensi :
a. Amankan selang dada untuk membatasi gerakan dan menghindari iritasi
Rasional :
Manghindari infeksi
b.Dorong teknik mencuci tangan dengan baik
Rasional :
Mencegah infeksi nosokomial saat pemasangan WSD
3. Ansietas berhubungan dengan pemasangan WSD dan terapi torakosintesis.
Tujuan:
Setelah diberi askep 2 x 24 jam diharapkan pasien mampu memahami dan menerima
keadaannya sehingga tidak terjadi kecemasan.
Kriteria hasil :
Pasien mampu bernafas secara normal, pasien mampu beradaptasi dengan
keadaannya.
Intervensi :
a. Berikan posisi yang menyenangkan bagi pasienJelaskan mengenai
penyakit dan diagnosanya.
Rasional : pasien mampu menerima keadaan dan mengerti sehingga dapat diajak kerjasama
dalam perawatan.
b. Bantu dalam menggala sumber koping yang ada.
Rasional : Pemanfaatan sumber koping yang ada secara konstruktifsangat bermanfaat dalam
mengatasi stress.
c. Pertahankan hubungan saling percaya antara perawat dan pasien.
Rasional : Hubungan saling percaya membantu proses terapeutik
d. Kaji faktor yang menyebabkan timbulnya rasa cemas.
Rasional : Tindakan yang tepat diperlukan dalam mengatasi masalah yang dihadapi klien dan
membangun kepercayaan dalam mengurangi kecemasan.

e.

Bantu pasien mengenali dan mengakui rasa cemasnya.

Rasional : Rasa cemas merupakan efek emosi sehingga apabila sudah teridentifikasi dengan
baik, perasaan yang mengganggu dapat diketahui.

4.

EVALUASI

Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan
tercapai dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang (US. Midar H, dkk,
1989).
Pre-op
1.

Tercapainya ketidakefektifan pola pernafasan (pola nafas normal), tidak adanya

penumpukkan cairan dalam rongga pleura, sianosis tidak ada dan tidak ada gejala hipoksia
dan tidak adanya sesak.
2.

Tercapai ventilasi yang adekuat dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang

normal dan tidak adanya gejala disstres pernapasan.


3.

Tidak adanya nyeri.

4.

Hipertermi dapat teratasi, demam tidak ada.

5.

Kebutuhan nutrisi sesuai dengan kebutuhan tubuh.

6.

Menunjukkan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas,

mendemonstrasikan penurunan tanda fisiologis intoleransi, dapat melakukan aktivitas dengan


baik, tak adanya dipsnea dan kelemahan berlebihan.
Post-op
1.

Tidak adanya nyeri.

2.

Infeksi tidak terjadi

3.

Ansietas dapat teratasi, tidak gelisah.


DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC

Suddart, & Brunner. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Price, Sylvia A, Patofisiologi : Konsep klinis proses-pross penyakit, Ed4. Jakarta.
EGC. 1995.
Syamsuhidayat, Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Jakarta, EGC,
1997.

https://www.google.com/search?q=askep+efusi+pleura&ie=utf-8&oe=utf8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefoxa#psj=1&q=askep+klien+dengan+efusi+pleura&rls=org.mozilla:en-US%3Aofficial
Tanggal 6 september 2013, jam 11.38

Anda mungkin juga menyukai