Anda di halaman 1dari 4

Nama

Azka

: Nafila Alifia

NIM
:
14/364512/PN/13624
Jurusan
: Budidaya
Pertanian
Hingga saat ini, sistem pembagian tanah masih menjadi suatu permasalahan yang cukup rumit.
Apalagi bila disangkut pautkan dengan adat, aturan agama, dan Undang-Undang mengenai ahli
waris. Pembagian tanah warisan ini dapat menuai berbagai konflik seperti rusaknya hubungan
persaudaraan apabila tidak dilakukan secara adil.
Adanya sistem pembagian tanah warisan itu menyebabkan semakin kecilnya lahan yang dimiliki
oleh setiap generasi penerusnya. Hal ini menyangkut dengan potensi lahan sebagai sumber utama
produksi bahan pangan, sandang, dan papan. Semakin sempit lahan yang dimiliki, maka semakin
kecil pula hasil yang diperoleh. Bahkan, tak sedikit yang mengalih fungsikan lahan tersebut
menjadi perumahan atau bangunan-bangunan lain karena lahannya terlalu sempit sehingga
dianggap kurang potensial bila digunakan sebagai lahan pertanian. Padahal seiring berjalannya
waktu jumlah penduduk semakin meningkat dan kebutuhan pasokan pangan juga meningkat.
Apabila sistem pembagian lahan seperti ini terus dilakukan, maka akan sangat berbahaya karena
lahan yang seharusnya digunakan sebagai sumber utama penghasil bahan makanan semakin
sedikit sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan.
Untuk mengatasinya, salah satu cara yang menurut saya adil adalah sistem pembagian warisan
seperti yang dilakukan oleh masyarakat Jepang seperti yang telah dijelaskan di dalam artikel
Land Inheritance Must Be Reformed yang dimuat oleh The Jakarta Post. Mereka tidak
memecah lahan sejumlah anak yang mereka miliki, melainkan menggantikannya dengan nilai
lain yang dianggap setara dengan harga lahan tersebut seperti biaya pendidikan sehingga anak
tersebut mudah mencari pekerjaan di luar sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhannya.
Sementara, anak lain yang dianggap kurang sukses akan mendapatkan lahan untuk memenuhi
kebutuhannya.
Adil tidak harus sama rata. Biaya pendidikan dapat dianggap setara dengan nilai lahan warisan
tersebut. Anak yang disekolahkan hingga menempuh jenjang pendidikan tinggi tentu
memerlukan biaya yang tidak sedikit. Apabila dia telah lulus dan mendapatkan pekerjaan yang
layak, maka penghasilannya tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhannya, bahkan
dia dapat membeli lahan dan rumah sendiri. Sementara, anak lain yang tidak mendapatkan
pendidikan tinggi dapat mengolah lahan warisan orangtunya sehingga hasilnya dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Logikanya apabila ada dua petak lahan yaitu lahan subur dan lahan tandus, maka yang lebih
memerlukan pupuk adalah lahan yang tandus. Lahan tandus tersebut apabila diberi pupuk dan
diolah dengan benar akan menjadi subur serta menghasilkan hasil yang memuaskan. Sementara,
lahan yang sudah subur apabila diberi pupuk, perubahan hasilnya tidak sesignifikan tanah yang

tandus tadi. Begitu pula dengan pembagian lahan tersebut. Apabila lahan tersebut diberikan
kepada anak yang telah sukses dan penghasilannya sudah mencukupi kebutuhannya, maka lahan
tersebut tidak akan begitu berarti bahkan akan terlantar karena ia telah sibuk dengan
pekerjaannya di luar sector pertanian yang penghasilannya lebih banyak. Sementara, apabila
lahan diberikan kepada anak yang tidak terlalu sukses dan bersedia mengolah lahan tersebut,
maka dia akan mendapatkan penghasilan dari lahan yang ia olah tersebut sehingga dia bisa
sesukses saudaranya yang bekerja di luar sektor pertanian tersebut.
Saya sangat setuju dengan sistem pembagian warisan seperti yang dijelaskan di dalam artikel
Land Inheritance Must Be Reformed. Menurut saya, sistem pembagian warisan seperti itu akan
lebih bijaksana dan tentu dapat mengatasi masalah perpecahan kepemilikan lahan yang
menyebabkan semakin sempitnya lahan pertanian. Akan tetapi, sistem seperti ini memang belum
lazim diterapkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga memerlukan musyawarah
keluarga terlebih dahulu sebelum menerapkannya agar tidak menyebabkan konflik dalam
keluarga tersebut.

Land inheritance system


must be reformed
Subejo, Tokyo | Opinion | Sat, August 29 2009, 2:10 PM
Landholding has become a very crucial issue around the world. Land as basic resource for food
production and has often been a source of conflict. The mechanism of land transfer determines
its productivity and benefit to its owner. In Indonesia, traditional custom, religious law and
formal state law mostly acknowledges that family members have equal rights to inherit property
from their parents.
This is particularly relevant to farming families. Even in the era before Indonesia's independence,
rural people widely bequeathed family property including farm land, livestock, furniture and
gold, to their offspring.
Initially, the redistribution of property, such as farm land, is intended to guarantee the next
generation enough area to secure their daily needs.
After the inheriting generation has set up their new household, they are expected to be
independent and capable of fulfilling their own needs with the resources bequeathed by their
parents. They can try to accumulate additional resources through purchase of more land, crop
sharing and or renting their land.
In practice this means that the size of land - more specifically of arable land - becomes smaller
and smaller. For instance, if a grandparent has one hectare of rice field and four children, and the
property is inherited equally, each child will get a quarter of a hectare.
If each child then has four children of their own and there is no additional accumulation of
property, each child in the third generation will get less than 0.1 hectare each. This amount of
land is not enough to support even a modest life. If there is no significant change of the
inheritance system, the future of farming looks gloomy.
Data from the Indonesian Agricultural Census confirms the continuously decreasing amount of
land owned by the average farmer. In the 10 years between 1993 and 2003, the average amount
of farming land per household has decreased from 0.50 to 0.40 hectare.
This figure conceals the reality in farming communities. Over a million farming households are
virtually landless and work as daily hired workers, their income dependant on the availability of
seasonal work.
The remarkable distribution through inheritance system will obviously lead to increasingly
smaller plots of land in the future.

Small plots of land are inefficient and less productive, meaning they are more likely to be
converted for other, non-agricultural purposes. The mass conversion of farm land, especially in
Java, where about one million hectares have been converted in the last 30 years, is connected to
this process of ever smaller scale ownership.
Policy makers and development planners should be aware of this problem. If the current system
of farming inheritance continues, it can be assumed that farming and food production will face
very serious problems in the future.
The idea of reducing division and physical distribution of farm land, as practiced in Japan,
should be considered. If a grandparent inherits one hectare of land, their succeeding generation
should manage almost the same size of land.
A relatively large plot of land allows enough space and flexibility for a household to optimize
their resources efficiently and has proved to be enough to meet daily needs and even to generate
additional resources for the next generation.
The introduction and implementation of new policies relating to the inheritance of farm land is
crucial. The government could offer credits to farmers to be used in lieu of the physical
distribution of land. The money could be used as investment for the higher education of family
members.
Family members with better education would hopefully easily get jobs outside the agriculture
sector. The family could select one member to inherit the farm. This scenario could prevent the
further division of farm land.
The average size of farm land is already too small. Therefore, the implementation of land
reforms promised by SBY-JK some five years ago, should be quickly realized.
The smooth implementation of a new mechanism of land inheritance will ensure the
sustainability of agricultural. Of course, reforming the inheritance system is not enough to
revitalize the Indonesian agricultural sector, and must be complemented with other policies that
offer incentives for farmers to improve productivity and quality.
The writer is a lecturer at Gadjah Mada University's School of Agriculture, a PhD candidate at
the University of Tokyo and chairman of the Indonesian Agricultural Science Association (IASA)
- Japan.

Source:
http://www.thejakartapost.com/news/2009/08/29/land-inheritance-system-must-bereformed.html

Anda mungkin juga menyukai