Penatalaksanaan
Vaginitis Simptomatis Akut
Klasifikasi penyakit KVV digunakan untuk menentukan pemilihan dan durasi
terapi anti jamur. Mayoritas wanita yang menderita KVV juga mengalami
vaginitis yang tak berkomplikasi (Tabel 45-1) yang mempunyai ciri khas
yaitu, sporadik, serangan dari C. albikans dengan derajat ringan sampai
sedang dengan frekuensi yang rendah dan serangan-seranagan ini terjadi
pada perempuan dewasa yang sehat tanpa faktor pendukung host yang
unik. Kebalikannya, pada 10-20% wanita yang terkena KVV dengan
komplikasi dimana serangannya lebih berat, terjadi berulang-ulang kali dan
seringkali disebabkan bukan oleh C. Albicans spp. Pasien KVV yang dengan
komplikasi seringkali juga merupakan wanita yang mepunyai faktor
pendukung lainnya misalnya seperti, diabetes yang tidak terkontrol dan
pasien dengan keadaan immunodepresan.
Menurut klasifikasi ini, para wanita dengan gejala dan tanda KVV yang berat
tidak memiliki respon yang baik terhadap terapi antijamur dengan dosis
tunggal atau dengan terapi jangka pendek. 24 Pendekatan ini telah diverifikasi
dalam sebuah penelitian, dimana pemakaian terapi dosis tunggal dan
pemakaian secara berkesinambungan dari flukonazole dibandingkan. 123
Dalam penelitian tersebut didapati bahwa terapi yang tepat pada KVV
memerlukan penanganan secara individual dan kasuistik serta durasi terapi
yang diperpanjang yaitu selama 5-7 hari. Hal-hal tersebut merupakan halhal yang mutlak dalam penanganan suatu KVV.
Terdapat berbagai macam obat golongan azol topikal yang efektif yang
sekarang tersedia dalam berbagai macam formula (Tabel 45-2). 133,134 Tidak
ada bukti yang kuat bahwa terdapat suatu formula yang memiliki tingkat
penyembuhan lebih tinggi pada suatu obat azole yang dibandingkan dari
suatu obat azole yang spesifik lainnya. 133,134 Secara rata-rata tingkat
penyembuhan pada obat azole topikal yaitu sekitar 80-90% yang dilihat dari
hilangnya suatu gejala dan hasil kultur mikologi yang negatif. Terapi sistemik
secara oral dari golongan azole memiliki efek terapetik yang sedikit lebih
tinggi, begitu juga dengan sebagaian besar dari para pasien mereka lebih
cenderung memilih obat oral karena bisa meminimalisasi efek samping lokal
dan juga obat oral dirasakan lebih praktis daripada obat topikal. 135 Walaupun
demikian golongan azole secara oral memiliki kekurangan berupa adanya
potensi terjadi toksik decara sistemik, hal ini biasanya sering dikaitkan pada
pemakaian ketokonazole, walaupun juga hal ini dapat terjadi pada
pemakaian itrakonazole dan flukonazole. Dalam sebuah penelitian metaanalisis yang dilakukan oleh Watson dkk. 136 ditemukan dari 17 percobaan
yang diterbitkan pada tahun 1989 dan 1995 yang melibatkan 2919
pengobatan antijamur terhadap KVV tanpa komplikasi, didapatkan hasil
bahwa pengobatan golongan azole secara oral maupun melalui vagina
memiliki efektivitas yang sama.
Penggunaan antimikotik secara topikal pada vagina merupakan suatu cara
yang aman dan tergolong bebas dari efek samping, walaupun pada
pemberian terapi regimen terkonazole dosis tinggi sering dihubungkan
dengan timbulnya demam dan gejala seperti flu yang merupakan hasil dari
withdrawal atau pemberhentian penggunaan obat secara tiba-tiba dari dosis
yang tinggi.137 Salah satu kekurangan dari golongan obat-obat azole ini ialah
mereka memiliki efektifitas yang rendah terhadap vaginitis yang disebabkan
oleh spesies Candida non-albicans.
Belakangan ini terdapat suatu kecenderungan untuk pemakaian terapi baik
secara oral maupun topikal dengan jangka waktu yang singkat. 133,138 Terapi
dengan dosis tunggal dengan cara oral maupun topikal dapat bekerja secara
efektif pada penyakit dengan derajat ringan sampai sedang. Terdapat
banyak obat dosis tunggal seperti clotrimazole secara vaginal (500mg supp)
dan flukonazole (150mg tablet oral), yang memiliki karakteristik
farmakokinetik yang mengakibatkan konsentrasi dari antimikotik tersebut
tetap bertahan dalam vagina sampai 5 hari setelah pemakaian dosis tunggal
dari obat-obat tersebut.139,140 Dengan demikian, terapi dosis tunggal
bukanlah merupakan terapi yang hanya dalam satu hari saja. Kolonisasi
dalam vagina yang asimptomatis bukanlah suatu indikasi untuk
mendapatkan terapi.
Bagi pasien kepuasan dari hasil terapi ditentukan dari hilangnya gejalagejala yang dirasakan. Keluhan gatal biasanya dapat hilang dalam beberapa
hari saja, sedangkan nyeri, rasa tak nyaman dan dispareunia bisa
menghilang lebih dari beberapa hari untuk bisa sembuh sempurna apalagi
setelah serangan yang berat.
dalam waktu yang lama (sekitar 1-2 minggu). 145 Diperlukan terapi dengan
durasi yang lama untuk bisa mengeradikasikan infeksi jamur. Walaupun
demikian, dengan aplikasi tunggal dengan menggunakan terapi klotrimazole
topikal dosis tinggi telah dibuktikan efektif dalam kehamilan, dan dapat
digunakan sebagai pilihan pertama dalam terapi vaginits akut pada
kehamilan.145,146 Pada waktu lalu, nistatin merupakan obat pilihan pertama
pada pasien dengan kehamilan pada trisemester pertama, walaupun semua
kelompok imidazole topikal bisa digunakan selama kehamilan dari
trisemester satu sampai tiga. Golongan azole secara oral dikontraindikasikan
pada kehamilan.147
serangan pada 12 bulan sebesar 43.9%, sedangkan pada para wanita yang
menerima plasebo ditemukan yang bebas serangan pada 6 bulan hanya
sebesar 35.9%, pada 9 bulan 27.8% dan yang bebas serangan selama 12
bulan hanya 21.9% saja.149 Waktu rata-rata terjadinya rekuren pada
kelompok yang menerima flukonazole ialah pada bulan ke 10.2 sedangkan
pada kelompok yang menerima plasebo rata-rata terjadi relaps ialah pada
bulan ke 4.0 (p<0.001). Tidak ditemukan adanya kasus resisten pada
C.albicans yang telah diisolasi atau pun kasus super infeksi terhadap
C.glabrata yang muncul. Tingkat keamanan flukonazole dan clotrimazole
sebagai profilaksis telah teruji sehingga keduanya bisa menggantikan peran
ketokonazole sebagai profilaksis yang mensupresi terjadinya KVVR. Apapun
jenis obat perawatan yang digunakan, relaps yang simptomatis dapat terjadi
dalam jangka waktu yang singkat setelah terapi terhenti pada setengah dari
pasien yang berhenti menerima terapi. 148-152 Relaps yang terjadi setelah
penghentian pemberian profilaksis supresif flukonazole berbeda-beda dan
bervariasi. Hal ini disebabkan oleh jenis original dari kandida yang
bertanggung jawab pada vaginitis pre-profilaksis dan juga dipengaruhi oleh
jenis organisme yang tetap rentan terhadap flukonazole. Kebanyakan dari
para ahli merekomendasi untuk memakai flukonazole sebagai obat
profilaksis.
Peran dari terapi terhadap pasangan seksual pria telah dibahas oleh Sobel,
dimana tidak ditemukan adanya efek positif pada beberapa penelitian yang
besar.133 Fong juga memiliki pendapat yang sama dimana beliau
mengevaluasi bahwa terapi sistemik ketokonazole pada pasangan pria gagal
untuk menurunkan angka rekurensi pada perempuan dengan KVVR, 153
walaupun demikian Spinillo dkk. dalam penelitian mereka melaporkan
adanya penurunan pada angka KVVR pada perempuan-perempuan yang
pasangan mereka juga diterapi untuk mencoba mengeradikasi organisme
Kandida.75 Dennerstein melaporkan adanya suatu penurunan angka
terjadinya rekuren pada KVVR dari 15 pasien selama periode waktu 3 bulan
pemakaian terapi depomedroksiprogesteron asetat. 154 Pada suatu penelitian
kecil yang menggunakan pasien sebagai kelompok kontrol mereka, Hilton
dkk. melaporkan kurangnya episode KVV pada wanita-wanita yang diterapi
dengan yogurt oral.155 Akibat dari kecilnya jumlah sampel dan kurangnya
kontrol pada penelitian ini, peran dari yogurt untuk mencegah terjadinya
vaginitis akibat kandida masih belum dapat dibuktikan.
Pendekatan alternatif pada perawatan anti jamur jangka panjang ialah
dengan menggunakan cara hiposensitisasi dengan menggunakan preparat
antigen kandida. Terdapat dua penelitian yang berhasil mendukung hasil ini,
tetapi metode ini masih sangat jarang digunakan.125,126
merupakan KVVR maka pengobatan perawatan harian dan asam borik dua
kali dalam seminggu haruslah diresepkan. Sayangnya, masih terdapat sedikit
penelitian yang dilaporkan menengenai keefektifan dari pengobatan
perawatan ini dan belum bisa dipastikan tentang efek jangka panjang dari
pemakaian asam borik secara intravaginal. Vaginits akibat C.krusei
ditemukan resisten terhadap terapi flukonazole tetapi biasanya memiliki
respon untuk terapi asam borik atau terapi dengan golongan azole lainnya.26
Sobel dkk. melaporkan bahwa pengalaman mereka dengan asam borik dan
terapi topikal flusitosin 17% pada perempuan-perempuan yang menderita
vaginits yang resisten terhadap obat golongan azole akibat c.glabrata.164
Asam borik dilaporkan mengalami keberhasilan sebanyak 70% dari pasien
simptomatis dan angka sukses dimana keberhasilan mencapai angka >90%
dicapai dengan tambahan pemberian flusitosin topikal. Pemakaian flusitosin
secara vaginal haruslah dibatasi karena adanya potensi untuk terjadinya
resistensi. Strain S.krusei yang diisolasi menunjukkan adanya resistensi
terhadap flusitosin.
Kandidiasis
Vulvovaginalis
dengan HIV Positif
pada
Perempuan
Sejak terjadinya onset dari epidemik AIDS, keberadaan dan prevalensi dari
kandidiasis oral
dan esofagal mulai diperhatikan. 168 Saat jumlah dan
persentasi wanita yang mengidap HIV bertambah pada tahun 1980an kasus
kandidiasis vaginalis juga dilaporkan bertambah. 169,170 Suatu hal yang sangat
disayangkan tapi tanpa data yang mendukung KVVR seringkali dihubungkan
dengan penyakit atau gejala klinis yang mendukung diagnosa AIDS pada
seseorang.171
Peningkatan prevalensi dari kandidiasis oral terjadi pada keadaan dimana
turunnya mekanisme pertahanan CMI mukosa mulut yang juga diperkirakan
juga berefek pada mukosa vagina.172 Lebih lanjut lagi, mengingat pemberian
antibiotik spektrum luas dengan kuantitas dan jumlah yang besar yang
diberikan sebagai profilaksis dan terapi pada wanita dengan HIV, juga
ditambah dengan kelemahan yang progresif dari pasien-pasien ini,
mengakibatkan terjadinya peningkatan angka kejadian kandida vaginitis
yang simptomatis, terutama pada mereka yang sudah termasuk dalam
keadaan immunodefisiensi berat.
Sebuah penelitian pada tahun 1987 di Walter Reed Pusat Kesehatan Militer,
menunjukkan bahwa 24 orang perempuan yang terinfeksi HIV memililki
riwayat kandidiasis vaginalis yang kronik selama hampir 1 tahun lamanya. 169
Semua pasien memiliki kandidiasis oral dan penurunan sel T-helper yang
berat dan semua pasien juga mengalami kelemahan tubuh yang signifikan.
Dalam periode follow up 30 bulan, 80% dari semua pasien telah mengidap
infeksi oportunistik yang berat. Para peneliti menekankan bahwa KVVR
merupakan salah satu keluhan yang selalu ada, bahkan sebelum terjadinya
kandidiasis oral dan hal ini merupakan satu-satunya indikasi klinis dari suatu
immunodefisiensi pokok yang berat. KVVR yang diasosiasikan dengan HIV
dikategorikan unik karena hanya memiliki perbaikan gejala klinis yang
singkat saja setelah pemberian obat antijamur dan dalam kasus-kasus
seperti ini sangat diperlukan terapi kontrol yang teru-menerus untuk
memperbaiki gejala yang ada. Para peneliti juga menyimpulkan bahwa para
wanita HIV positif yang dengan KVVR menunjukkan adanya suatu resiko yang
serius yang secara cepat dapat menjdi AIDS, demikian juga pada para pria
menyertai AIDS tingkat lanjut, tapi sampai saat ini belum ada penleitian yang
diterbitkan tentang hal ini. Duerr dkk. mengamati bahwa tingkat infeksi dari
kandidda di vagina tidak dapat meningkat sampai bila pemeriksaan CD4
telah jatuh sampai dibawah 200 sel/ L.171
Sebagian besar data yang didapat pada dekade kedua setelah epidemi HIV
mengenai KVV pada perempuan yeng terinfeksi HIV pada mulanya dilakukan
oleh penelitian-penelitian cross-sectional dan ada juga yang didapat dari
penelitian kohort secara longitudinal yang gagal untuk mengukur besarnya
derajat serangan dari simptomatis KVV pada pasien yang HIV yang dirawat
dnegan ART ataupun yang tidak dirawat. 174 Berdasarkan epidemiologi dari
KVV yang asimptomatis termasuk para pasien dengan hasil mikroskopis
positif kandida dan juga para pasien dengan kultur yang juga positif,
didapatkan hasil yang mengindikasikan bahwa terdapat suatu peningkatan
kecil pada penderita HIV positif yang juga menderita KVV yang tidak
mendapat terapi ART.175 Hasil pemeriksaan mikroskopis yang positif dalam
suatu penelitian epidemiologi juga merupakan suatu percobaan untuk
membedakan KVV dengan kolonisasi pada vagina. Secara garis besar,
peningkatan insidens dari KVV pada pasien HIV positif lebih kecil
dibandingkan peningkatan terjadinya kandidiasis orofangeal. 176 Bisa
dipastikan bahwa kolonisasi pada vagina lebih besar secara bermakna dan
lebih banyak ditemukan pada pasien dengan HIV positif, sedangkan durasi
dari kolonisasi keduanya berlawanan dengan kandida vaginitis. 176 CMI yang
diperlihatkan oleh perhitungan CD4 yang dihubungkan dengan peningkatan
terjadinya, kolonisasi dan kandidiasis oral tapi hal tersebut tidak
dihubungkan dengan terjadinya kolonisasi dan kandidiasis vaginal. 176 Lain
halnya dengan penelitian Duerr dkk. yang menggunakan pengertian yang
berbeda tentang KVV mendapatkan suatu hubungan antara hasil
pemeriksaan CD4 yang rendah dan KVV. Bagaimana pun juga, tanpa melihat
definisi apa yang dipakai untuk mendeskripsikan KVV, sampai saat ini belum
ada penelitian yang dapat menggambarkan apakah KVV lebih gampang atau
lebih susah untuk diterapi pada pasien yang terinfeksi HIV.175,177
Pemeriksaan mikrobiologi KVV pada pasien dengan positif HIV didapatkan
hasil yang sama pada pasien KVV yang tidak terinfeksi HIV. Walaupun
demikian terdapat suatu penelitian longitudinal yang mengindikasikan
bahwa dengan berjalannya waktu dapat muncul kemungkinan untuk
terjadinya peningkatan frekuensi dari isolaso kandida non-albicans spp,
terutama C.glabrata.178 Lebih lanjut lagi dengan berjalannya waktu, terdapat
peningkatan ringan pada isolasi kandida yang sudah memiliki
hiposensitivitas terhadap flukonazole.179 Sampai saat ini perubahanperubahan ini belum bisa diartikan bahwa terjadi perubahan pula pada
respon terapi penyakit ini.
Sama seperti jenis infeksi dan peradangan genitalis lainnya, kandida
vaginitis telah diasosiasikan dengan vaginal HIV dengan peningkatan level
RNA HIV pada sistem genitalis.180,181 Dengan demikian KVV dapat
memfasilitasi munculnya transimisi HIV walaupun cara kontribusinya yang
jelas masih belum diketahui.
Sebelumnya terdapat kontroversi terhadap masalah dari pemeriksaan HIV
pada kasus KVV.182 Kebanyakan perempuan yang mengalami episode tunggal
dari KVV jelas bukanlah pasien yang terinfeksi dengan HIV dan otomatis
tidak membutuhkan tes HIV. Bahkan pada kasus KVVR, masalahnya
sebenarnya sangat jelas karena pada sebagian besar pasien dengan KVVR
memiliki hasil HIV negatif. Hanya perempuan-perempuan dengan KVVR yang
juga disertai dengan faktor resiko untuk terinfeksi HIV yang perlu untuk di
tes. Lebih dari itu, bahkan semua perempuan-perempuan yang memiliki
faktor resiko tinggi haruslah di tes HIV walaupun tidak terdapat gejala
kandida vaginitis.
Penanganan pada kandida vaginitis yang simptomatis pada pasien dengan
HIV positif sama persis dengan terapi pada pasien yang tidak mengidap HIV,
yaitu sebagai berikut: pada KVV tanpa komplikasi
haruslah diberikan
flukonazole jang ka pendek (150 mg dosis tunggal) atau topikal azole untuk
durasi yang singkat. Sangat berbeda dengan terapi pada KVV yang tak ada
komplikasi, terapi pada KVV dengan komplikasi haruslah dengan obat oral
sistemik atau obat topikal dengan durasi yang lama. Pada KVVR haruslah
diberikan terapi perawatan yaitu flukonazole setiap minggunya. 177 Tanpa
memperhatikan status HIV dari pasien-pasien ini, kadang kala terdapat
kegagalan terapi yang diakibatkan oleh infeksi c.glabrata yang resisten
terhadap flukonazole.
Penanganan pada KVV yang asimptomatis masih tetap menjadi
kontroversial. Pada perempuan dengan HIV negatif, terapi anti jamur pada
umumnya masih dilarang. Pada pasien dengan HIV positif dengan kandida
yang positif dari hasil pemeriksaan mikroskopis, 181 bisa saja diberikan terapi
antijamur walaupun asimptomatis dengan alasan secara teoritis dapat
menurunkan resiko terjadinya transmisi HIV walaupun hanya sedikit data
yang bisa dinilai apakah hal ini berguna atau tidak.183
Tidak ada suatu pemeriksaan rutin yang dapat dilakukan pada semua wanita
yang dapat mendeteksi adanya suatu faktor resiko yang dapat menyebabkan
KVV, kecuali pada pasien-pasien KVVR. Walaupun demikian, mengingat
etiologi KVV yang cukup kompleks, tidak ada
suatu langkah-langkah
universal yang dapat melindungi para perempuan dari mekanisme patogenik
KVV. Para ahli pada beberapa penelitian mulai mengevaluasi metode-metode
profilaksis yang dapat digunakan secara umum.
Skenario yang paling jelas adalah tersedianya pemberian antibiotik (sistemik
maupun lokal pada vagina) pada para wanita yang diketahui rentan terhadap
antibiotik induced KVV atau KVV yang disebabkan oleh penggunaan
antibiotik. KVV aibat post penggunaan antibiotik adalah suatu masalah yang
umum ditemukan pada praktek umum dokter dan para pasien biasanya
langsung mengambil langkah pengobatan pertama dengan menggunakan
probiotik Lactobacillus spp. untuk mencegah sekaligus mengobati gejala
yang mereka alami. Suatu penelitian terbaru yang dilakukan di Austalia oleh
Pirotta dkk.184 mereka menggunakan empat jenis terapi untuk mencegah
terjadinya KVV post antibiotik. Empat jenis obat yang digunakan ialah,
lactobacillus oral, plasebo oral, lactobacillus vaginal dan plasebo vaginal.
Sayangnya pemberian lactobacillus baik via oral maupun vaginal gagal untuk
mencegah terjadinya KVV postantibiotik. Banyak para dokter klinik yang
memakai dan mengusulkan agar flukonazole 15omg oral sebagai obat
profilaksis tapi tidak untuk pemakaian harian. Belum ditemukan adanya data
tentang teknis waktu pemberian profilaksis ini tetapi mengingat resiko yang
dapat terjadi, pemberian profilaksis pada KVV haruslah diberikan secara
selektif dan hanya dianjurkan pada wanita-wanita yang rentan terkena KVV
saja.
Profilaksis dengan menggunakan flukonazole telah dibahas dalam
hubungannya terhadap KVVR.149 Namun, pada kategori sekunder KVVR bisa
juga menggunakan flukonazole sebagai profilaksis dan biasanya dipakai
pada jangka waktu yang panjang contohnya seperti pada KVV dengan
masalah pokok dermatosis liken sklerosus atau vaginitis yang koesisten, DIV
atau BV. Seringkali
beberapa faktor pencetus bisa berakumulasi dan
menghasilkan KVVR sekunder seperti pada dermatosis pokok pada wanitawanita postmenopause yang diberikan steroid topikal serta estrogen topikal
yang sangat bisa memperbesar resiko terjadinya KVV (terdapat tiga faktor
resiko sekaligus), pada kasus tersebut merupakan hal yang wajar bila pasien
tersebut juga bisa diberikan flukonazole supresif untuk durasi waktu yang
panjang.
Tanpa Komplikasi
Ringan sampai sedang
dan,
<4 episode per tahun dan,
Mikroskopis
Faktor host
Pseudohifa/hifa dan,
Sehat, tidak hamil
Terapi
Dengan Komplikasi
Sedang sampai berat
atau,
4 episode per tahun
atau,
Budding sel saja atau,
Faktor memperberat
(seperti kehamilan,
diabetes,
immunokompromis
Terapi intensif (hindari
terapi jangka pendek)