Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Di Indonesia diperkirakan terdapat 100 penderita kanker baru untuk setiap 100.000 penduduk per
tahunnya. Prevalensi penderita kanker meningkat dari tahun ke tahun akibat peningkatan angka harapan
hidup, sosial ekonomi, serta perubahan pola penyakit (Tjindarbumi, 1995). Menurut hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1992, kanker menduduki urutan ke-9 dari 10 penyakit terbesar
penyebab utama kematian di Indonesia. Angka proporsi penyakit kanker di Indonesia cenderung
meningkat dari 3,4 (SKRT 1980) menjadi 4,3 (SKRT 1986), 4,4 (SKRT 1992), dan 5,0 (SKRT 1995).
Data Profil Kesehatan RI 1995 menunjukkan bahwa proporsi kanker yang dirawat inap di rumah sakit di
Indonesia mengalami peningkatan dari 4,0% menjadi 4,1%. Selain itu, peningkatan proporsi penderita
yang dirawat inap juga terjadi peningkatan di rumah sakit DKI Jakarta pada 1993 dan 1994, dari 4,5%
menjadi 4,6%.
Kanker payudara sering ditemukan di seluruh dunia dengan insidens relatif tinggi, yaitu 20% dari
seluruh keganasan (Tjahjadi, 1995). Dari 600.000 kasus kanker payudara baru yang didiagnosis setiap
tahunnya. Sebanyak 350.000 di antaranya ditemukan di negara maju, sedangkan 250.000 di negara yang
sedang berkembang (Moningkey, 2000). Di Amerika Serikat, keganasan ini paling sering terjadi pada
wanita dewasa. Diperkirakan di AS 175.000 wanita didiagnosis menderita kanker payudara yang mewakili
32% dari semua kanker yang menyerang wanita. Bahkan, disebutkan dari 150.000 penderita kanker
payudara yang berobat ke rumah sakit, 44.000 orang di antaranya meninggal setiap tahunnya (Oemiati,
1999). American Cancer Society memperkirakan kanker payudara di Amerika akan mencapai 2 juta dan
460.000 di antaranya meninggal antara 1990-2000 (Moningkey, 2000).
Kanker payudara merupakan kanker terbanyak kedua sesudah kanker leher rahim di Indonesia
(Tjindarbumi, 1995). Sejak 1988 sampai 1992, keganasan tersering di Indonesia tidak banyak berubah.
Kanker leher rahim dan kanker payudara tetap menduduki tempat teratas. Selain jumlah kasus yang
banyak, lebih dari 70% penderita kanker payudara ditemukan pada stadium lanjut (Moningkey, 2000).
Data dari Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa Case
Fatality Rate (CFR) akibat kanker payudara menurut golongan penyebab sakit menunjukkan peningkatan
dari tahun 1992-1993, yaitu dari 3,9 menjadi 7,8 (Ambarsari, 1998).
Gejala permulaan kanker payudara sering tidak disadari atau dirasakan dengan jelas oleh penderita
sehingga banyak penderita yang berobat dalam keadaan lanjut. Hal inilah yang menyebabkan tingginya
angka kematian kanker tersebut. Padahal, pada stadium dini kematian akibat kanker masih dapat dicegah.
Tjindarbumi (1982) mengatakan, bila penyakit kanker payudara ditemukan dalam stadium dini, angka

harapan hidupnya (life expectancy) tinggi, berkisar antara 85 s.d. 95%. Namun, dikatakannya pula bahwa
70-90% penderita datang ke rumah sakit setelah penyakit parah, yaitu setelah masuk dalam stadium lanjut.
Kelainan-kelainan pada payudara bukanlah merupakan fenomena biolgik semata, melainkan lebih
daripada itu ialah juga merupakan fenomena psikologik, psikoseksual, dan psikososial, terlebih lagi
apabila kelainan ini tergolong dalam penyakit kanker payudara. Oleh karena itu, dalam menghadapi pasien
dengan kasus kelainan payudara, maka hendaknya dilakukan pendekatan yang bersifat holistik.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana aspek psikis pada pasien kanker payudara dan penatalaksanaannya?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana aspek psikis pada pasien dengan kanker payudara serta penatalaksanaannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Arti Payudara Ditinjau dari Sudut Psikologis, Psikoseksual, dan Psikososial
Menyusui bukanlah merupakan fenomena kontak biologis antara fisik ibu dan anak saja,
melainkan secara psikologi mempunyai arti yang penting bagi perkembangan jiwa anak. Secara
psikoanalitik hal tersebut dikemukakan bahwa kegagalan dalam proses menyusui dapat menyebabkan
psikotrauma. Kekecewaan dalam masa kanak-kanak (childhood frustration), khususnya yang dialami
selama periode menyusui (suckling) dapat menjurus pada gangguan perkembangan jiwa (kepribadian).
Sikap seseorang dalam hubungannya dengan dunia luar dipengaruhi oleh sampai berapa jauhnya
security feeling yang diperolehnya selama masa bayi. Secara naluriah, seorang ibu menginginkan
payudaranya dihisap, dan di pihak lain bayi ingin mulutnya menghisap sesuatu, yang dalam hal ini ialah
putting payudara ibu. Dalam proses di atas terjadilah kontak fisik antara dua individu dimana
kehangatan tubuh dan kasih sayang, cinta saling terjalin, terjadilah sesuatu kenikmatan dan kepuasan
seksual, khususnya bagi bayi yang disebut dalam fase oral. Bila masa menyusui itu berakhir, maka
naluri tersebut akan mengendap dalam alam tak sadar, dan akan muncul kembali bila ia memasuki masa
pubertas. Bila naluri muncul dalam masa itu, maka keinginan berkontak dengan bagian-bagian tubuh
lain tidak lagi merupakan breast feeding, melainkan bertumbuh dan menjelma dalam bentuk
rangsangan-rangsangan seksual (sexual sensation) sebagai pemenuhan akan sexual cravings.
Adalah suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa payudara bukanlah semata-mata untuk
breast feeding, melainkan mempunyai nilai khusus dalam bidang psikoseksual. Payudara sebagai
suatu bagian tubuh amat penting artinya bagi wanita, yang berfungsi sebagai daya tarik (sexual
attractiveness, sex appeal) terhadap kaum pria. Di samping itu juga merupakan daerah sensitif yang
sangat peka terhadap rangsangan untuk membangkitkan sensual sensation. Menyadari betapa
pentingnya arti payudara tersebut, maka berbagai usaha dijalankan agar bentuk payudara tetap menarik
dan menggairahkan.
Beberapa contoh untuk maksud di atas antara lain; senam untuk membesarkan payudara, cream
yang dioleskan, dan pemakaian obat-obat tradisional (jamu-jamuan). Dewasa ini terdapat kecenderungan
untuk menggunakan obat-obatan dan zat-zat kimia tertentu, yang mengandung bahan berbahaya.
Misalnya hormon estrogen bila pemakaiannya di luar pengawasan medis dapat berakibat buruk.
Demikian pula operasi plastik dapat memasukkan plastic sponges dan fluid filled plastic bags dan
juga suntikan silicone, semuanya itu dimaksudkan agar payudara mempunyai bentuk yang fantastis.
Sudah tentu prosedur operasi plastik yang tidak fisiologis ini lambat laun dapat menjurus kearah
penumbuhan kanker. Dapat dianggap adanya benda-benda asing itu merupakan faktor presdisposisi
terbentuknya jaringan patologis, kanker misalnya. Dari sudut antropologis, berbagai bangsa mempunyai
3

selera sendiri-sendiri tentang bentuk yang bagaimanakah yang menggairahkan itu. Misalnya bentukbentuk conic, discoid, hemispheric, elongated dan pendulous breast, dan sebagainya.
Zaman semakin berkembang, maka penilaian pun terhadap bentuk payudara berubah pula.
Semula orang menilai keindahan payudara itu dari sudut seni, tetapi nampaknya daya tarik tersebut
dipakai pula dalam usaha-usaha komersil dalam bentuk iklan, bahkan tidak jarang pula menjurus ke arah
pornografi. Di samping itu diciptakan pula berbagai bentuk BH sedemikian rupa sehingga payudara itu
bisa push up. Dari uraian di atas ternyata bahwa payudara memegang peran penting, tidak saja dilihat
dari segi biologik, tetapi juga psikologik dan segi business.
2.2 Faktor Keterlambatan (Reasons for Delay) dalam Mendeteksi Kanker Payudara
Payudara bagi seorang wanita mempunyai nilai tersendiri, oleh karena itu tidaklah sukar untuk
dipahami bahwa adanya kelainan pada payudara dapat menjurus kepada gangguan-gangguan psikiatrik
pada individu yang bersangkutan. Sebab, kelainan biopatologik payudara tersebut bagi seorang wanita
lebih bersifat suatu psikotrauma. Reaksi anxietas (kecemasan), depresi (kemurungan) dan gangguan
neurotik (kejiwaan) lainnya dapat diterangkan dengan psikologik di atas.
Rasa takut atau kecemasan (phobia) dari wanita terhadap kanker semakin meningkat
(Tjindarbumi, D, 2003), hal ini disebabkan karena:
1. Kanker payudara merupakan penyebab utama dalam kejadian (incidence) dan kematian (mortality)
oleh kanker pada wanita.
2. Kanker payudara merupakan penyebab kematian utama pada wanita, oleh karena kanker payudara
mulai dari usia 35 sampai 45 tahun.
3. Menurunnya angka kematian terhadap kanker payudara pada tahuntahun terakhir ini relative tidak
besar, bila penyakit ini sudah ditemukan dalam stadium lanjut.
4. Usia harapan hidup (life expectancy) adalah 85% hingga 95%, bila penyakit ini ditemukan sendiri.
Terlebih lagi dalam menghadapi kelainan payudara dengan diagnosa carcinoma, hendaknya
jangan melihat pasien yang bersangkutan itu sebagai kasus biopatologik, melainkan hendaknya dapat
menilainya sebagai individu. Suatu pendekatan yang bersifat humanistik adalah sangat dianjurkan,
dengan demikian sebagai tenaga medis melihat kasus itu secara keseluruhan, bukan sematamata
terpaku pada payudara itu sebagai salah satu bagian dari tubuh.
Tindakan operatif (mastectomy) sebagai suatu treatment of choice, adalah memang tepat.
Namun bagaimana dikemukakan diatas penilaian terhadap segi psikiatrik baik pre operatif maupun
postoperatif harus juga dipertimbangkan. Kondisi mentalemosional pasien harus disiapkan menghadapi
kenyataan yang frustatif sifatnya, demikian pula sesudah menjalani operasi.
Tindakan operatif adalah suatu terapi yang drastic mempunyai konsekuensi yang jauh lebih kuat
daripada terapi farmakologi. Berbeda dengan sikap pasien yang menghendaki operasi plastic untuk
kepentingan kosmetik, maka sikap pasien yang akan menjalani operasi pengangkatan payudara

(mastektomi), lazimnya menunjukkan ekspresi yang mencerminkan rasa takut (anxiety), depresi
(depression) begitu ia mnendengar bahwa tiada jalan lain kecuai operasi.
Hal tersebut di atas, tidak saja hanya pada kanker payudara, tetapi juga bagi kasus-kasus kanker
alat-alat tubuh lainnya. Sikap negativitik (penolakan) tersebut menyebabkan banyak kasus-kasus yang
seharunya mempunyai peognosa baik, menjadi sebaliknya. Sebab, biasanya pasien mencoba dahulu
dengan berbagai cara lain, misalnya berbagai usaha tradisional dan tidak jarang pula kearah tindakantindakan mistik magik (perdukunan). Pasuen dalam keadaan demikian biasanya amat mudah terpengaruh
(suggestible), memakai jamu ini dan itu, ke pengobatan tusuk jarum, dan sebagainya. Dan, biasanya
bula telah gagal ke pengobatan alternatif barulah memeriksakan diri ke dokter, sementara itu tindakan
operatif mengalami kesulitan mengingat stadium yang sudah lanjut dengan prognosis yang lebih buruk.
Dalam hal ini, maka diagnosa dini dan terapi (tindakan) dini merupakan jaminan bagi prognosa
yang lebih baik. Tetapi ada beberapa faktor yang menyebabkan keterlambatan yang terletak pada diri
penderita. Antara lain misalnya, faktor sosial ekonomi (biaya operasi mahal), faktor pendidikan/
ketidaktahuan (ignorancy), dan faktor psikologik. Dr. Mitchell A. Gold dari Prancis Delafield Hospital
(1964), mengemukakan adanya faktorfaktor psikologik yang menghambat datangnya pasien untuk
memeriksakan diri ke dokter, sebagai berikut:
1. Rasa takut
Pasien tidak saja takut menderita kanker dan takut akan dioperasi, melainkan rasa takut itu berlebihan
dalam hubungan emosional dengan suaminya terganggu. Misalnya, pasien merasa tidak menarik
(attractive) lagi bagi suaminya dan khawatir jika suaminya menikah lagi.
2. Rasa rendah diri dan malu
Sebagian wanita diliputi rasa bimbang dan ragu untuk berkonsultasi pada dokter meskipun ia tahu
adanya kelainan pada payudaranya, ia menutupnutupi dengan berbagai alasan. Bahkan banyak di
antara mereka yang menganggapnya sebagai bisul biasa dan cukup diberi dengan salep kulit, diolesi
minyak dan ramuan tradisional.
3. Tidak pernah meraba atau memperhatikan payudara sendiri
Gold mendapatkan bahwa 47% dari kasuskasus ternyata tidak pernah mengalami suatu emotional
sensation dengan payudaranya. Sebagian dari mereka seolaholah mengabaikan tentang keadaan
payudaranya seperti mereka tidak pernah meraba dalam arti massage, sehingga tidak bisa merasakan
adanya tumor saat masih kecil.
4. Sikap negativistic
Wanita yang dibesarkan dalam suasana yang kurang baik (a harsh ang hostile environment),
cenderung untuk menarik diri dan bersikap negativistik (penolakan). Sering di antara mereka
menunda mencari pertolongan dokter sampai gejalagejala kanker payudara stadium lanjut, barulah
memeriksakan diri ke dokter.
5. Depresi

Keadaan mental-emosional yang depresif (murung, lesu, kurang semangat, merasa tidak
berguna) membuat mereka bersikap masa bodoh dan tidak memperhatikan kesehatannya, termasuk
kondisi payudaranya.
6. Kompulsi
Para wanita dalam mengejar karier cenderung bertindak bersifat yang kompulsif, suatu gejala
dari kepribadian.
Neurotic (kejiwaan). Biasanya mereka tidak menyadari adanya perubahan-perubahan yang
bersifat patologik pada payudaranya. Karena kesibukan aktifitas kerja sedemikian rupa sehingga tidak
ada waktu untuk memeriksa sendiri payudaranya atau memeriksakan diri kepada dokter.
Dalam usaha memberikan penerangan kesehatan (health education), haruslah berhati-hati jangan
sampai justru menimbulkan rasa ketakutan yang bukan-bukan (phobic anxiety) yang dikenal dengan
cancerophobia. Amat dianjurkan bagi para wanita untuk melakukan pemriksaan sendiri (self
examination). Pemeriksaan oleh dokter terhadap payudara pasien hendaknya didahului dengan
penerangan dan pengertian akan maksud dan tujuan pemeriksaan itu. Lebih-lebih lagi kalau tidak ada
indikasi untuk itu, hal ini perlu dipertimbangkan agar maksud dokter untuk mencoba mengetahui gejalagejala dini (case finding, early diagnosis), tidak disalah tafsirkan yang bukan-bukan oleh pasien. Atau,
kalau tidak pasien sendiri yang melakukan palpasi (perabaan payudaranya sendiri, dan baru bila ada
kecurigaan dokter melakukan palpasi.
2.3 Reaksi Emosional
Bagi penderita kanker stadium lanjut dimana tindakan operatif sudah tidak dapat dilakukan
(inoperable) mempunyai problem sendiri. Kematian yang sudah menghadang diambang pintu tiada
terelakkan. Angka-angka statistic menunjukan bahwa para penderita kanker usianya tidak lebih dari 5
tahun untuk dapat bertahan (five years survival rate). Walaupun diagnosa itu sangat berat dan
menghilangkan harapan pasien namun menutupi diagnosa yang sesungguhnya adalah perbutan yang
tidak jujur.
Tidak semua orang dapat menghadapi kenyataan dan mempunyai kekuatan mental (egostrength)
yang tangguh, dan dapat toleran menghadapi musibah yang sedang dialaminya. Sebagaimana yang telah
disinggung dimuka, maka apakah sebaiknya penderita diberitahu atau tidak hal tersebut individual
sifatnya. Keputusan untuk memberitahukan hendaknya memperhatikan timing dan keadaan emosional
penderita.
Ada tiga fase reaksi emosional penderita manakala diberitahu bahwa penyakit yang dideritanya
itu adalah kanker stadium lanjut, yaitu :
1. Fase pertama, penderita akan merasakan shock mental.
2. Fase kedua, penderita diliputi oleh rasa takut (fear) dan depresi, fase ini biasanya cepat berlalu.
6

3. Fase ketiga, muncul reaksi penolakan (denial) dan kemurungan, terkadang penderita menjadi panic
melakukan hal-hal yangtidak berarti dan sia-sia.
Setelah fase ini berlalu, pada akhirnya pendertita akan sadar dan menerima kenyataan bahwa
jalan hidupnya telah berubah. Sedikit banyak penderita telah berpikir dan berperasaan lebih realistis dan
mempercayakan sepenuhnya kepada dokter untuk kelanjutan pengobatan (manajemen dan kontrol).
2.4 Pentalaksanaan Pasien dengan Ca Mammae dengan Pendekatan Holistik
Kelainan-kelainan pada payudara bukanlah merupakan fenomena biolgik semata, melainkan
lebih daripada itu ialah juga merupakan fenomena psikologik, psikoseksual, dan psikososial, terlebih
lagi apabila kelainan ini tergolong dalam penyakit kanker payudara. Oleh karena itu, dalam menghadapi
pasien dengan kasus kelainan payudara, maka hendaknya dilakukan pendekatan yang bersifat holistik.
Yaitu pasien dipandang sebagai individu ditinjau dari segi biologic, psikologik, sosial dan spiritual.
Manusia hidup dalam empat dimensi:
a. Agama/ spiritual yang merupakan fitrah manusia, merupakan kebutuhan dasar manusia (basic
spiritual need), mengandung nilai-nilai moral, etika, dan hukum. Atau dengan kata lain seseorang
yang taat pada hukum, berarti ia bermoral dan beretika, berarti ia beragama.
b. Organo-biologik, mengandung arti fisik (tubuh atau jasmani) termasuk susunan syaraf pusat (otak),
yang perkembangannya memerlukan makanan yang bergizi, bebas dari penyakit, yang kejadiannya
sejak dari pembuahan, bayi dalam kandungan, kemudian lahir sebagai bayi, dan seterusnya melalui
tahapan anak, remaja, dewasa dan usia lanjut.
c. Psiko-edukatif, adalah pendidikan yang diberikan oleh orangtua termasuk pendidikan agama.
Orangtua merupakan tokoh imitasi dan identifikasi anak terhadap orangtuanya. Perkembangan
kepribadian anak melalui dimensi psikoedukatif ini hingga berhenti usia 18 tahun.
d. Sosial budaya, selain dimensi psikoedukatif diatas kepribadian seseorang juga dipengaruhi oleh
kultur budaya dari lingkuan sosial disekitarnya.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pembentukan faktor kepribadian, kondisi
fisik dan mental seseorang ditentukan oleh empat faktor tadi, yang amat penting bagi imunitas atau
kekebalan tubuh seesorang dalam menghadapi berbagai bentuk stress kehidupan. Bila kekebalan tubuh
orang itu lemah, ia mempunyai resiko lebih tinggi untuk menderita stress, cemas, dan depresi yang dapat
berlanjut pada munculnya sel-sel radikal pada salah satu organ tubuh (kanker) yaitu kanker payudara.
Menurut Nina I.S.H Supit (2003) penatalakasanaan kanker payudara telah mengalami kemajuan
yang sangat pesat, akan tetapi walaupun demikian angka kematian dan angka kejadian kanker payudara
masih tinggi, hal ini disebabkan penderita ditemukan pada stadium lanjut dan oleh karen itu, deteksi dini
dan diagnosa dini kanker payudara memegang peranan penting untuk memperbaiki prognosa disamping
faktor klinis lainnya.

Payudara adalah salah satu ciri-ciri seks sekunder bagi wanita, tidak saja sebagai salah satu
identitas bahwa ia adalah seorang wanita, melainkan mempunyai nilai tersendiri baik dari segi biologi,
psikologi, psikoseksual dan psikososial.
Pendekatan holistik kanker payudara adalah bukan ditujukan secara langsung terhadap aspekaspek psikiatrik kanker payudara, melainkan dicoba untuk melihatnya tidak semata dari segi biopatologi,
tetapi pengertian terhadap nilai payudara bagi seorang wanita. Bila hal diatas dapat dipahami, maka
usaha-usaha pencegahan, diagnosa dini maupun tindakan operatif yang akan diambil bila disertai dengan
pendekatan individual dimana faktor-faktor psikoterapeutik memegang peranan, maka komplikasikomplikasi psikiatrik yang mungkin timbul sebagai side efek psikologik dapat diusahakan
seminimalnya.
Menciptakan suasana hati yang positif serta meningkatkan semangat hidup dalam keoptimisan
sebagai wanita yang sejati, walaupun ia menderita kanker payudara. Pendekatan-pendekatan ini dapat
membantu pasien mengidentifikasi masalah dan seberapa jauh dia dapat mengontrol diri, membantu
meningkatkan rasa percaya diri bahwa pasien akan mendapatkan hasil yang lebih baik.
Untuk membantu agar penderita kanker dapat menyesuaikan diri dengan penyakit yang
dideritanya dan mengantisipasi agar tidak mengalami permasalahan lain yang dapat memperparah
kondisi fisik dan psikologis mereka, maka lakukanlah beberapa hal mendasar di bawah ini agar
kebutuhan emosional dan spiritualnya terpenuhi:
1. Yakinkan penderita bahwa mereka dapat membicarakan apa yang mereka rasakan secara privat
dengan orang yang mereka pilih;
2. Ciptakan suasana informal sehingga mendorong penderita untuk mengungkapkan perasaannya
dengan lebih nyaman
3. Jangan menyampaikan hal-hal yang tidak diminta oleh penderita
4. Gunakan bahasa yang mudah dipahami dan hindari penggunaan istilahistilah rumit yang tidak
mudah dimengerti. Cek kembali untuk mengetahui apakah penderita telah menangkap informasi
dengan benar
5. Tunjukkan bahwa Anda memperhatikan mereka dengan memandang penderita saat berbicara.
6. Jangan memberikan nasehat yang tidak diminta. Nasehat yang berlebihan justru tidak membantu
7. Mengacu pada usaha untuk memberikan dukungan yang sesuai dengan kondisi penderita. Biasanya
bantuan yang sangat berguna dimulai dengan membuat penderita mengevaluasi skedul hariannya
untuk merencanakan hidupnya lebih realistis sesuai dengan kondisinya saat itu. Cara ini dharapkan
mampu mencegah penderita masuk dalam tahap depresi.
8. Pahami masalah budaya dan hal-hal yang berhubungan dengan keyakinan yang dipegang teguh oleh
penderita dan keluarganya.
Dampak Kanker Terhadap Kualitas Hidup Pada Dimensi Sosial
Dimensi ini mengukur kualitas hidup individu dari seberapa baik manusia itu berinteraksi dan
berperan dalam lingkungan sosialnya. Kualitas hidup pada dimensi ini akan terganggu saat seseorang
menderita suatu penyakit sehingga menariknya dalam situasi terisolir dan membuat lingkungan sosial
8

mengijinkan si penderita bebas dari peran sosialnya. Namun hal ini dapat menimbulkan beban bagi
orang lain, antara lain beban finansial atas pembiayaan pengobatan, ketidakmampuan untuk menjadi
semangat bagi lingkungannya dan lain-lain.
Umumnya penderita kanker memfokuskan pengobatan pada usaha melawan kanker dan
berusaha sembuh. Hal ini akan mempengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan termasuk kehidupan
seksual mereka.
Dalam masa pengobatan penderita akan mengalami berbagai perubahan dalam dirinya, yaitu
perubahan fisik, psikologis, emosional, spiritual dan sosial. Bagi mereka yang bekerja di bidang
kesehatan, biasanya lebih memfokuskan perhatian pada faktor medis, sementara mereka yang
seharusnya memberikan perhatian pada perubahan non-medis bahkan ketika menghadapi penderita nonkanker sekalipun tetap akan mengalami kesulitan bila harus membicarakan tentang perubahan seksual.
Penderita hendaknya diingatkan untuk melaporkan perubahan-perubahan yang mereka alami, termasuk
perubahan dalam aktivitas kehiodupan seksualitasnya sehingga sebelum menjadi tambah parah (yang
nantinya akan memperparah situasi menghadapi penyakit primernya yaitu kanker), hal ini sudah dapat
terdeteksi dan ditangani. Oleh karenanya, para pekerja kesehatan juga hendaknya dibekali dengan
pengetahuan dan ketrampilan untuk mendeteksi adanya perubahan seksualitas yang dialami oleh
penderita kanker, karena hal ini secara cepat akan mempengaruhi kualitas kehidupan mereka.
Dampak Kanker Terhadap Kualitas Hidup Pada Dimensi Spiritualitas
Pada dimensi ini, seringkali lebih ditekankan pada aspek keagamaan/ keyakinan yang dimiliki
oleh individu. Pada dimensi spiritualitas ini, manusia yang kuat akan mampu menjalani ketidakpastian
dan dari sini akan tumbuh dalam diri suatu penerimaan dan arti dari perjuangan hidup yang dijalani.
Diagnosa kanker pada kebanyakan penderita sering membawa mereka pada situasi keragu-raguan atas
keyakinan mereka sendiri yang diwarnai dengan rasa bersalah dan konflik bathin antara menerima dan
menolak kenyataan sakit ini.
Bagi penderita kanker, satu keinginan utama pada umumnya adalah untuk segera sembuh,
bagaimanapun dan apapun caranya. Demikian pula pihak keluarga menginginkan hal yang sama.
Dorongan untuk segera bebas dari kanker terutama didorong oleh rasa TAKUT (Fear) yang
mempengaruhi segala sendi kehidupan mereka, yang termanifestasi dalam bentuk takut akan kematian,
takut akan kanker itu sendiri dan takut bahwa banyak pihak akan menderita akibat penyakit ini (Bain,
2002). Dari kesemuanya ini yang paling berat menghantui seorang penderita kanker adalah bahwa
sewaktu-waktu ia dapat saja meninggal dunia dan ia merasa tidak siap. Di saat inilah unsur spiritualitas
muncul, seperti introspeksi terhadap perbuatan dosa yang telah dilakukan selama hidup, mengevaluasi
berbagai kemungkinan bahwa kanker yang diderita mungkin saja akibat kesalahan yang telah dilakukan
sebelumnya. Ketika unsur spiritualitas individu tersentuh dan penderita benar-benar MENCARI
SESUATU DALAM DIRINYA, biasanya ia akan tiba pada suatu PENEMUAN KEMBALI tentang

diri dan hubungannya dengan sang Pencipta. Namun dalam proses pencarian inilah biasanya penderita
akan melewati tahap-tahap denial (penyangkalan), marah sampai akhirnya menerima kenyataan.
Untuk dapat membantu penderita kanker dengan mempertimbangkan aspek spiritualitas ini,
maka akan bijaksana bila penderita dan keluarga melibatkan/memiliki teman bincang yang memiliki
keyakinan keagamaan yang sama, sehingga tidak terdapat konflik yang berpangkal dari perbedaan
keyakinan. Namun di sisi lain, pendampingan spiritual dalam menghadapi situasi sakit biasanya bersifat
universal,

sehingga

siapapun

sebenarnya

memiliki

kemampuan

memberikan

pendampingan

spiritualitas.
Peran Keluarga dan Teman
Kanker tidak hanya mempengaruhi penderita sendiri, tetapi juga pada keluarganya. Sangat
penting untuk memahami beberapa faktor berkaitan dengan keluarga penderita kanker:
1. Apakah dan bagaimana keluarga memberikan support pada penderita untuk tetap punya semangat
hidup yang tinggi. Kemampuan keluarga penderita kanker untuk memberikan dukungan sangatlah
penting.
2. Apakah penderita dan keluarganya mampu tetap mempertahankan hubungan interpersonal yang baik
seperti sebelum salah satu anggota keluarganya menderita kanker. Banyak penelitian menemukan
bahwa penderita yang mampu menjalin dan mempertahankan hubungan baik dengan anggota
keluarga yang lain lebih dapat menerima dan menyesuaikan diri dengan keadaan sakit kankernya.
Apabila hubungan antar anggota keluarga memang sudah tidak harmonis, maka diagnosa kanker
justru akan membuat keluarga tidak dapat diharapkan menjalankan fungsi suportif pada penderita.
3. Bagi pasangan (suami atau istri) dari penderita kanker, biasanya mereka juga merupakan pihak yang
diharapkan memberikan dukungan yang terbesar, namun pada kenyataannya pasangan biasanya
justru membutuhkan pendampingan emosional untuk menghadapi kenyataan ini.
4. Bila terdapat riwayat kanker pada keluarga, maka reaksi penderita dan keluarga akan berbeda karena
biasanya mereka lebih terbiasa dan lebih siap, walaupun reaksi awal biasanya tak berbeda dengan
mereka yang tidak mempunyai riwayat keluarga dengan kanker. Saat ini perawatan penderita kanker
sudah menekankan pentingnya pendekatan holistik, sehingga pemahaman para pekerja medis dan
profesi lain yang berkaitan (psikolog, pekerja sosial, agamawan, dan lain-lain) terhadap pentingnya
intervensi pada keluarga penderita kanker perlu terus ditingkatkan.
Intervensi Psikologis bagi Penderita Kanker
Banyak literatur dan penelitian tentang pengaruh intervensi psikologis pada penderita kanker
memberikan dampak positif pada kualitas hidup mereka. Dalam setiap tahap yang dilalui penderita
mulai sejak diagnosa sampai dengan menghadapi tahap akhir kehidupan, intervensi psikologis sangat
berperan.
Secara singkat pada makalah ini disampaikan bahwa pada mereka yang mengalami kesulitan
penyesuaian diri terhadap penyakit kanker dan pengobatannya, maka tim paliatif bersama-sama tim

10

psikologi merancang suatu intervensi untuk mengubah pola pikir dan perilaku melalui beberapa
pendekatan baik pendekatan individual, kelompok maupun yang melibatkan keluarga. Diharapkan
melalui intervensi ini, tiap dimensi kualitas hidup yang sudah dijelaskan di atas akan diperbaiki.
Pada penderita kanker yang memiliki kecemasan yang berlebihan maka ia akan diikut sertakan pada
program relaksasi, restrukturisasi kognitif, biofeedback dan cognitive-behaviour therapy. Penderita dan
keluarga bersama-sama diajak berdiskusi tentang masa depan dan kebutuhan individual, sehingga
penderita tidak kehilangan fungsinya sebagai manusia yang punya arti sosial. Pada intervensi psikologis
ini penting disadari bahwa reaksi psikologis terhadap suatu perubahan adalah suatu yang wajar namun
antisipasi terhadap dampak negatif berkelanjutan dari reaksi tersebutlah yang penting untuk dicegah.
Dalam hal ini, pekerja kesehatan khususnya perawat mempunyai peran besar dalam mendeteksi dan
menginformasikannya pada tim yang merawat penderita kanker.
2.5 Komplikasi Psikiatrik Penderita Kanker (Post Operatif)
Suatu penyelidikan psikologik telah dilakukan terhadap para penderita kanker dan yang telah
menjalani tindakan operatif. Berbagai reaksi kejiwaan, yaitu masing-masing penderita menunjukkan satu
atau lebih gejala-gejala tersebut. Keenam gejala klinis gangguan jiwa sebagai komplikasi psikiatrik
(kejiwaan) tersebut adalah :
1. Kecemasan (anxiety)
Reaksi kecemasan ini sering muncul tidak saja sewaktu penderita diberi tahu mengenai penyakitnya,
tetapi juga setelah menjalani operasi, kecemasan tersebut lazimnya mengenai hal finansial,
kekhawatiran tidak diterima di lingkungan keluarga atau masyarakat.
2. Ketergantantungan (dependency)
Perasaan ketergantantungan itu sering muncul pada permulaan sesudah operasi dilakukan. sering
kali disertai dengan kemunduran dalam prilaku (regressive behaviour). Hidupnya tidak saja
tergantung secara fisik, tetapi juga emosional dari orang lain.
3. Depresi
Perasaan depresi, murung, lesu tiada gairah dan semangat, mudah sedih, rasa putus asa, sering kali
menyertai penderita sesudah menjalani operasi dan selama dalam perawatan di rumah sakit.
4. Hipochondriasis
Keluhan-keluhan hipochondriasis (bagian perut antara iga dan pusar) seringkali terdapat pada
penderita sesudah keluar dari rumah sakit, merupakan suatu reaksi kelanjutan (late reaction).
Biasanya penderita yang menunjukkan keluhan-keluhan hipochondriasis adalah orang yang
sebenarnya mengharapkan bahwa penyakitnya itu amat serius dan tidak mungkin lagi ditanggulangi
dengan cara operasi sekalipun. Jadi meskipun ia sudah keluar dari rumah sakit dan dapat kembali

11

bekerja namun ia memakai keluhan-keluhan hipochondriasis itu sebagai alasan untuk tidak bekerja
dan menginginkan perhatian atau atensi dari sekelilingnya.
5. Paranoid (phantom phenomena)
Gejala ini terjadinya sesudah penderita dipulangkan dari rumah sakit. Penderita yang menunjukkan
reaksi paranoid ini biasanya mempunyai rasa bersalah / berdosa (guilty feelings) dan menyalahkan
dirinya karena telah melakukan suatu pantangan. Penyakit yag dideritanya dianggap sebagai suatu
hukuman bagi dirinya, dan dihantui oleh bagian tubuh tersebut.
6. Obsesi kompulsi
Penderita yang memperlihatkan reaksi obsesi kompulsi ini, lazimnya adalah mereka yang telah
menjalani operasi dimana berakibat hilangnya kontrol sphincter. Tindakan-tindakannya seolah-olah
ia kehilangan kontrol diri yang merupakan simbolisasi daripada loss of spincter control. Kata
spincter adalah otot yang mengatur membuka dan menutupnya lubang dubur. Dengan demikian
pengartian spincter di atas merupakan simbolisasi dari ketidakmampuan seseorang untuk
mengendalikan dirinya.
Sutherland dan Orbach mengemukakan bahwa setiap organ mempunyai arti psikologik
tersendiri bagi masing-masing individu. Oleh karena itu suatu tindakan operatif yang radikal, yang
mengakibatkan hilangnya bagian tubuh, mempunyai nilai psikologik sehingga tidak dapat dihindarkan
terjadi pula perubahan-perubahan terhadap self concept dan body image pada diri yang
bersangkutan.
Banyak di antara penderita kanker depresi mental sehingga cenderung untuk melakukan bunuh
diri. Beberapa hal berikut ini yang memperbesar resiko penderita kanker melakukan tindak bunuh diri,
antara lain:
a) Depresi dan rasa putus asa
b) Tidak mampu menahan rasa sakit
c) Menurunnya kesadaran atau delirium
d) Perasaan lepas kendali
e) Kelelahan
f) Kecemasan
g) Adanya gangguan psikopatologik sebelumnya, seperti penyalahgunaan NAZA (narkotika, alkohol,
dan zat adiktif), kelainan karakter dan gangguan jiwa berat (psikosis)
h) Problem keluarga akut
i)

Adanya riwayat percobaan bunuh diri sebelumnya

j)

Riwayat keluarga, ada yang bunuh diri.

12

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Payudara merupakan salah satu ciriciri seks sekunder yang mempunyai arti penting bagi wanita baik
dari segi biologic, psikologik, psikoseksual maupun psikososial. Apabila terjadi kelainankelainan pada
payudara, terlebih lagi apabila kelainan itu tergolong dalam penyakit kanker payudara dapat menimbulkan efek
psikologis pada penderita seperti rasa takut, rasa rendah diri dan malu, sikap negativistic, depresi, dan
kompulsi. Oleh karena itu, sikap tenaga medis dalam menangani pasien tersebut hendaknya dilakukan dengan
suatu pendekatan yang bersifat holistik yaitu pasien dipandang sebagai individu yang ditinjau dari segi
biologic, psikologik, sosial, dan spiritual. Hal itu dimaksudkan agar segi segi komplikasi psikiatrik
(kejiwaan) yang mungkin timbul dapat dihindarkan seminimal mungkin. Selain itu, diperlukan juga peranan
tenaga medis dalam case finding, diagnosa dan deteksi dini.

13

Anda mungkin juga menyukai