Nama
NIM
Rombongan
Kelompok
Oleh :
: Ita Pratiwi K
: B1J012042
: II
:3
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kultur jaringan yaitu suatu cara untuk mempelajari populasi sel-sel hidup
diluar organisme. Cara ini juga dikenal sebagai penanaman in vitro. Kultur
jaringan dibagi menjadi 3 kategori, yaitu kultur sel, kultur jaringan, dan kultur
organ. Kultur sel mencakup penanaman sel-sel yang terus membelah, sampai
kemudian sel-sel ini dipindahkan ke dalam tabung percobaan yang baru karena
jumlahnya yang terus meningkat. Kultur jaringan biasanya mencakup pemindahan
potongan jaringan suatu embrio (eksplan) ke dalam suatu kultur. Sedangkan kultur
organ terdiri atas potongan jaringan atau potongan organ yang telah berkembang
baik. Kultur jaringan berperan dalam kemungkinan untuk percobaan pengamatan
morfogenesis (asal perkembangan bentuk biologis, dan struktur), nutrisi sel-sel,
interaksi antar sel, dan sejumlah fenomena biologis yang penting (Tufan,
Akdogan, dan Adiguzel, 2004).
Banyak hal yang menjadi masalah untuk menentukan apakah sifat-sifat sel
yang dikultur sama dengan sifat sel in vivo, karena perubahan-perubahan
lingkungan sel dalam kultur, proliferasi sel in vitro yang tidak terjadi seperti in
vivo, interaksi antar-sel dengan sel dan sel dengan matriks menurun, karena
kemurnian turunan sel kehilangan heterogenitas dan bentuk 3 dimensinya yang
ada pada in vivo, dan juga perubahan lingkungan hormonal ataupun nutrisi.
Lingkungan kultur sel menyebabkan sel untuk menyebar, migrasi, dan proliferasi
sel yang tidak mengalami deferensiasi khusus. Adanya lingkungan yang sesuai,
nutrisi, hormon dan substrat merupakan dasar untuk jaringan itu supaya dapat
menunjukkan tanda-tanda fungsi khusus (Barski et al.,1961).
B. Tujuan
Tujuan praktikum iniadalah dapat membekali mahasiswa dengan
keterampilan untuk melakukan kultur dengan metode submerge.
II.
Persiapan Alat
1. Meja kerja yang akan digunakan disterilkan dengan tissue dan spray
alkohol.
2. Alat bedah, pipet tip, kain lap, cawan petri, tabung falcon, dan well Plate
disterilisasi dengan sterilizer.
3. Air disterilisasi dengan autoklaf.
4. Sterilisasi ruang dengan disinari dengan UV (dalam Laminar Air Flow).
Persiapan Pelaksanaan
Proses Kultur
1. Well plate yang berisi medium kultur yang telah diekuibrasi dikeluarkan
dari inkubator. Masukkan 10 oosit kedalam masing-masing well plate.
Tutup well plate dengan baik dan dimasukkan ke dalam inkubator.
2. Semua alat yang sudah tidak digunakan dibersihkan.
1. Hari kedua diamati kondisi telur dan inti oosit yang telah direndam pada
medium kultur + GnRH analog (ovaprim).
2. Diamati kondisi telur dengan memindahkan oosit dari medium kultur +
ovaprim ke medium PBS. Kemudian oosit diletakkan pada cavity slide dan
diamati dibawah mikroskop
3. Diamati inti oosit dengan memindahkan oosit dari medium medium PBS
ke dalam larutan penjernih dan didiamkan selama 2 menit. Kemudian oosit
diletakkan pada cavity slide dan diamati inti oositnya dibawah mikroskop.
1.
III.
Tabel 1.Hasil Pengamatan Kultur Oosit Ikan Nilem Metode Submerge yang
Berkualitas Baik
Perlakuan
D0
D1
D2
D3
1
20%
22,2%
11,1%
10%
Ulangan (%)
2
3
4
0%
0%
10%
30%
10% 20%
11,1% 20%
0%
20%
20% 10%
5
11,1%
0%
0%
10%
6
0%
0%
0%
0%
xx
41,1%
82,2%
42,2%
70%
6,85%
13,7%
7,03%
11,6%
B. Pembahasan
Praktikum kali ini adalah melakukan kultur oosit dengan penambahan
hormone GnRH analog untuk pematangan oosit secara in vitro. Berdasarkan hasil
praktikum didapatkan hasil bahwa rata-rata telur yang baik pada perlakuan kontrol
sebesar 6,85%, pada perlakuan D1 sebesar 13,7%, pada perlakuan D2 sebesar
7,03% dan pada perlakuan D3 sebesar 11,6%. Kerusakan oosit yang sangat
mendominasi dimungkinkan karena inkubasi dilakukan selama 22 jam. Setelah 16
jam oosit matang dan memijah kemudian tidak terjadi fertilisasi maka oosit akan
mengalami degradasi. Selain itu, dapat juga diakibatkan karena lamanya oosit
terendam pada handling medium. Handling medium hanya mengandung medium
basal (DMEM) ditambah dengan antibiotik sedangkan medium kultur terdapat
suplementasi serum dan glutamine. Tidak adanya komponen serum dalam
handling medium memungkinkan terjadinya kegagalan. Menurut Acea (2013)
serum mengandung faktor pertumbuhan, yang berfungsi dalam proliferasi sel,
serta faktor adhesi dan aktivitas antitrypsin. Serum juga merupakan sumber
mineral, lipid, dan hormon. Serum tidak aktif dengan menginkubasi selama 30
menit pada +56C
Oolema yang tidak baik ditandai dengan adanya ruang perivitelin.
Terbentuknya ruang perivitelin pada oosit ikan dapat disebabkan karena kegagalan
tahapan oosit. Tahapan perkembangan oosit yang disertai dengan pembentukan
ruang
paravitelin
menunjukkan
bahwa
unsure-unsur
vitelogenin
untuk
diameter oosit. Perkembangan oosit dalam medium kultur atau kondisi in vitro
sangt dipengaruhi oleh kesesuaian mediumnya. Menurut Freshney (2000)
kelangsungan hidup sel, jaringan atau organ yang dikultur bergantung kepada
medium pertumbuhannya. Medium kultur yang baik harus mempu mendukung
pertumbuhan sel atau jaringan dengan menyediakan unsur unsur yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan seperti karbohidrat, asam amino, lemak, garam
dan mineral. Terdapat beberapa medium yang telah digunakan dalam kultur oosit
ikan antara lain M199 dan DMEM (Mortensen dan Arukwe, 2007).
Medium DMEM diketahui memiliki konsentrasi garam inorganik, asam
amino dan vitamin lebih tinggi dibandingkan dengan medium lainnya. Garam
organic yang terkandung dalam DMEM seperti CaCl 2 selama vitelogenesis
berperan sebagai perantara transportasi vitelogenin dalam darah yaitu dalam
bentuk persenyawaan Ca2+ (Yaron, 1995). Penambahan glutamine pada medium
kultur bertujuan untuk meningkatkan angka keberhasilan fertilisasi. Penambahan
glutamin ke dalam medium kultur dapat menggantikan peran Bovine Serum
Albumin yang mendukung proses perkembangan embrio secara in vitro
(Malole, 1990). Kemampuan dalam In Vitro Maturation tergantung pada seberapa
matang folikel sebelumnya. Ada beberapa tahap dalam folliculogenesis, dimulai
dengan folikel primordial, yang kemudian menjadi primer, sekunder, tersier awal
(antral), akhir tersier dan akhirnya folikel praovulasi (Cole et al, 1997).
Antibiotik tidak boleh digunakan secara rutin dalam kultur sel, karena
penggunaannya terus menerus mendorong pengembangan strain resisten
antibiotik dan memungkinkan kontaminasi tingkat rendah untuk bertahan, yang
dapat berkembang menjadi kontaminasi skala penuh setelah antibiotik akan
dikultur
secara in
vitro (Gordon
dkk.,
1994).
Adanya
tehnik in
ekstensif
selama
maturasi in
vivo.
Selain
itu,
terdapat
tingkat homogeneity yang tinggi pada oosit yang dimaturasi in vivo pada level
ultrastruktur; hal ini jauh berbeda dengan heterogeneity ultrastruktur yang
ditunjukkan oosit dimaturasi in vitro, meskipun pada populasi sama akhirnya
diseleksi sebelum maturasi in vitro.
Sera (yaitu FCS dan OCS) dan BSA adalah suplemen protein yang paling
umum untuk media IVM. Alasan ilmiah untuk efek menguntungkan dari
penambahan serum tidak jelas diiketahui tetapi diterima secara umum bahwa
salah satu peran biologis utama serum adalah untuk mengimbangi elemen penting
yang hilang dari media dengan cara melayani sebagai reservoir untuk banyak
komponen yang bermanfaat, seperti energi dari substrat yang berbeda, steroid,
asam amino, asam lemak, vitamin dan faktor pertumbuhan. Serum juga berfungsi
sebagai pelindung terhadap senyawa ion dan molekul kecil yang dikeluarkan dari
perkembangan embrio. Namun, persyaratan keselamatan membatasi penggunaan
produk ini, terutama dalam sistem IVF manusia. Oleh karena itu, pengganti serum
sintetis diproduksi secara komersial, dan menggunakan sera sebagai pengganti
dalam media kultur telah memungkinkan para ilmuwan untuk mengembangkan
media kultur yang didefinisikan dengan baik untuk in vitro produksi embrio
(Sairkaya et al., 2003).
IV.
KESIMPULAN
DAFTAR REFERENSI
Acea. 2013. Culture and Monitoring of Animal Cells Basic Techniques.
Celligence, ACEA Biosciences, Inc. USA.
Barski, G., J. L. Biedler, and F. Cornefert. 1961. Modification of characteristics of
an in vitro mouse cell line after an increase of its tumor-producing
capacity. J. Nat. Cancer Inst. 26: 865-889.
Cole,H.H and P.T. Cupps. 1997. Reproduction In Domestic Animals. ThirdEdition.
Academic press Inc London.
Freshney, R.I. 200. Culture of Animals Cells: Fourth Edition, A Manual of Basic
Technique. John Willey&Sons. Inc Publishers, New York.
Gibco. 2013. Cell Culture Basics. Life Technologies Corporation. Indonesia.
Gordon, I. (1994). Laboratory Production of Cattle Embryos. Department of
Animal Science and Production. University College. Dublin. Ireland.
Malole, M.B M., 1990 Kultur Sel dan Hewan. Depdikbud Dirjen Dikti.
PusatAntar Universitas Bioteknologi. IPB. Bogor.
Mogas, T.M.J., M.D Izquerdo dan Paramio. 1996. Development Capacity of
InVitro Maturated and Fertilized Oocytes from Prepubertal and Adult
Goats.
Departement
de
Patologia
de
Produlecio. Animal
UniversityAutonoma de Barcelona. Spain.
Mortensen, A.S., and A, Arukwe. 2007. Interaction Between Estrogen and AhReceptor Signaling Pathway in Primary Culture of Salmon Hepatocytes
Exposed to Nonylphenol and 3,3, 4,4-Tetrachlorobiphenyl (Congener 77).
Comparative Hepatology. 6:2 (10-1186/1476-5926-6-2).
Sularto. 2002. Pengaruh Implantasi LHRH Dan Estradiol-17 Terhadap
Perkembangan Gonad Ikan Pangasius Djambal: Analisis Procrustes. Thesis.
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Trounson, A. 1992. The Production of Ruminant Embryos In Vitro. Anim
Reprod.Sci. 28:125-137.
Tufan, C. A., Akdogan, I., and Adiguzel, E. 2004. Shell-less culture of the chick
embryo as a model system in the study of developmental neurobiology.
Neuroanatomy. Vol 3 : 8-11.
Yaron, Z. 1995. Endocrine Control of Gametogenesis and Spawning Induction in
The Carp. Aquaculture, 129 : 49-73.
Sairkaya, Hakan., Yamur, Mehmet., NUR, Zekariya., Soylu, Mustafa Kemal.
2004. Replacement of Fetal Calf Serum with Synthetic Serum Substitute in
the In Vitro Maturation Medium: Effects on Maturation, Fertilization and