PENGARUH OKSIGEN
HIPERBARIK TERHADAP
KARSINOMA NASOFARING
Disusun oleh :
Nevan Bayu Sunggoro
2008.04.0.0084
2009.04.0.0064
A. Karsinoma Nasofaring
I. PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling
banyak dijumpai diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma
nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas , dengan frekuensi tertinggi
(bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening
dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki
tempat pertama (KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di
daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%,
laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase
rendah).
II. ANATOMI
Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah
transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.
dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insiden tinggi KNF meningkat
setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun
setelahnya.
Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga
kekerapan cukup tinggi pada penduduk CIna bagian selatan, Hongkong, Vietnam,
Thailand, Malaysia, Singapura,dan Indonesia.
Dijumpainya
semua
kasus
Epstein-Barr
KNF
telah
Viru s
(EBV),
pada
hampir
keberadaan virus tersebut. Selain itu Banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi
timbulnya karsinoma nasofaring seperti letak geografis, rasial, jenis kelamin,
pekerjaan, lingkungan kebiasaan hidup, kebudayaan, social ekonomi, dan lain-lain.
Kebiasaan mengkonsumsi ikan asin, merokok, terkena paparan asap polutan
seperti asap rokok, dupa, bahan kimia, ventilasi yang buruk, dan masih banyak lagi
merupakan faktor resiko timbulnya karsinoma nasofaring.
IV. PATOFISIOLOGI
EBV
Lingkunga
n
Genetik
Karsinoma Nasofaring
1. Sel
yang
terinfeksi
oleh
virus
epstein-barr
dapat
sel
(NPYR)
dan
nitrospiperidine
(NPIP),
yang
hidung.
Gejala telinga berupa tinnitus, rasa tidak nyaman sampai nyeri di telinga.
Gejala saraf berupa gangguan saraf otak, seperti diplopia, parestesia daerah
pipih, neuralgia trigeminal, paresis/paralysis arkus faring, kelumpuhan otot
4.
VI. DIAGNOSA
Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan
daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak
akan terlalu sulit untuk ditemukan.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus EBV
telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring.
Stadium Il
: 1. Kemo-radioterapi, atau
: 2. Radioterapi dosis tinggi pada tumor primer di
nasofaring dan radiasi profilaktik di leher
Stadium III
: 1. Kemo-radioterapi, atau
: 2. Radioterapi dosis tinggi / teknik hiperfraksinasi
ditujukan pada tumor primer di nasofaring dan kelenjar
leher bilateral (bila ada)
: 3. Diseksi leher mungkin dapat dikerjakan misalnya pada
tumor leher persisten atau rekuren asalkan tumor primer
di nasofaring sudah terkontrol.
Stadium IV
: 1. Kemo-radioterapi, atau
RADIOTERAPI KNF
Radioterapi sampai sekarang masih merupakan terapi pilihan utama untuk
penderita KNF (Hsu, 1982, Chew, 1987; Sham, 1990; Susworo, 1990; Fu, 1993;
Hussey, 1993; Suhartati, 1999). Radioterapi sebagai terapi utama untuk KNF yang
belum ada metastasis jauh. Radiasi yang diberikan diharapkan dapat memperbaiki
kuaiitas hidup dan memperpanjang kelangsungan hidup penderita: KNF termasuk
dalam golongan penyakit kanker yang dapat disembuhkan dengan penyinaran
(radiocurable), terutama bila masih dini (stadium I, II).
Pertimbangan pemilihan radiasi sebagai pengobatan pilihan utama untuk
KNF terutama didasarkan fakta bahwa secara histopatologis kebanyakan (75%95%) KNF dari jenis karsinoma undifferensiated (WHO tipe 3) dan karsinoma
non keratinisasi (WHO tipe 2) yang sangat radiosensitif (Shanmugaratnam, 1988).
Alasan lainnya adalah faktor anatami nasofaring yang terletak didasar
tengkorak dengan banyak organ vital menyebabkan tindakan pembedahan
ekstensif untuk memperoleh daerah bebas tumor (free margin) sangat sulit
dikerjakan (Bailet, 1992; Neel, 1993).
X.
sangat tinggi yaitu sekitar 40% - 80% (Sham, 1989; Sarraf, 1990; Ali dan Al
Sarraf, 1999).
XI.
PROGNOSIS
Angka ketahanan hidup 5 tahun pasca radioterapi konvensional untuk
KNF stadium dini (I, II) cukup tinggi yaitu 76% (Hoppe, 1976). Sedangkan untuk
KNF stadium lanjut loko-regional, kurang dari 40% (Tan et al, 1997; Prasad,
2000).
XII.
FOLLOW UP
Tidak seperti keganasan kepala leher yang lainnya, karsinoma nasofaring
mempunyai resiko terjadinya rekurensi, dan follow up jangka panjang diperlukan.
Kekambuhan tersering terjadi kurang dari 5 tahun, 5-15% kekambuhan sering
terjadi antara 5-10 tahun, sehingga pasien KNF perlu di follow up setidaknya 10
tahun setelah terapi.
terkontrol.
Proses neovaskularisasi (arteri-arteriol-kapiler-venule-vena) pada sel
tumor terganggu dan berbeda dengan jaringan yang mengalami luka
biasa. Pada tumor terdapat kapiler dan arteriovenous yang besar tanpa
kapiler penghubung, sehingga darah mengalir dari satu vena ke vena
yang lain.
terhadap
jejas
berupa
repair-redistribusi-repopulasi-reoksigenasi.
Jaringan tumor akan mati, sedangkan jaringan normal akan tetap bertahan. Efek
sampingnya jaringan yang hidup yang mendapat radiasi dosis tinggi akan
mengalami hipoksia, hiposelular, dan hipovaskular.
V. PENELITIAN HUBUNGAN OHB DALAM TREATMENT KARSINOMA
NASOFARING
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keadaan hipoksia mengakibatkan
tumor menjadi resisten terhadap terapi radiasi dan kemoterapi. Keadaan hipoksia
mengakibatkan
peningkatan
dari
metabolism
sel
tumor,
angiogenesis,
radioterapi pada pasien yang diterapi dengan terapi hiperbarik (Quoc Chuong,
2004).
Percobaan pada tikus yang ditanam tumor di daerah abdomen dengan
menggunakan terapi hiperbarik tanpa disertai dengan terapi radioterapi dengan
tekanan 2,1 ATA dalam waktu 90 menit per hari selama 8 hari menyatakan tidak
ada perubahan dari tumor (Schonmeyr, 2008).
Penelitian utnuk menyembuhkan salah satu efek samping radioterapi pada
pasien carcinoma nasofaring yaitu mandibular necrosis dengan terapi hiperbarik
pada tekanan 1,9 2,5 ATA menunjukkan keberhasilan yang tinggi pada tekanan
2,4 ATA dalam waktu 90 menit (Wrefford Brown, 2003).
Penelitian untuk melihat efek terapi hiperbarik dikombinasikan dengan
kemoterapi (menggunakan obat 5-Fluorouracil) terhadap proliferasi dan
metastasis karsinoma nasofaring menunjukkan hasil bahwa pengobatan OHB
sederhana setelah 48 jam dan 72 jam dapat menghambat proliferasi sel karsinoma
nasofaring, selain itu terdapat sinergisme antara terapi hiperbarik dengan
pemberian 5-FU setelah 48-72 jam pengobatan dalam menghambat proliferasi sel
kanker nasofaring (Peng Zheng, 2008).
VI. PEMBAHASAN
Sampai saat ini pemberian radioterapi merupakan gold standart bagi pasien
yang menderita karsinoma nasofaring, terutama mereka yang menderita stadium
dini (stadium 1 dan 2), dikarenakan pada stadium ini, tumor bersifat radiosensitif .
Efek radioteapi bagi pasien yang menderita karsinoma nasofaring dapat dibagi
menjadi dua; (1) Manfaat pada pasien post radioterapi; kita mengetahui bahwa
terkadang jaringan yang awalnya normal dan tumbuh di sekitar sel kanker akan
terkena efek radiasi dan menjadi rusak akibat hipoksia, hiposeluler, dan
hipovaskular, khususnya bagi pasien yang menjalani radioterapi. OHB disini
berperan untuk menyembuhkan luka pada jaringan normal yang rusak akibat
radiasi melalui mekanisme dengan memodulasi nitrit okside (NO) pada sel
endotel. Padas el endotel ini OHB juga meningkatkan intermediet vascular
endothelial growth faktor (VEGF). Melalui siklus Krebs terjadi peningkatan
NADH yang memicu peningkatan fibroblast. Fibroblast yang diperlukan untuk
sintesis proteoglikan dan bersama dengan VEGF akan memacu kolagen sintesis
pada proses remodeling, yang merupakan salah satu tahap dalam proses
penyembuhan luka. Manfaat (2) OBH meningkatkan sensitivitas radioterapi,
karena pada saat hipoksia sensitivitas sel tumor menurun, sehingga dengan OHB
yang meningkatkan perfusi akan tercipta kondisi hiperoksia yang menyebabkan
sensitivitas el tumor meningkat.
Pengobatan pasien dengan stadium 3 dan 4, terapinya berbeda dengan
pasien stadium 1,2. Tidak hanya berfokus pada pemberian radioterapi, tetapi juga
harus dikombinasikan dengan obat-obatan kemoterapi dan pembedahan. Beberapa
peneliti melaporkan melakukan nasofaringektomi pada penderita KNF. Menurut
Wei (2003) nasofaringektomi terutama di indikasikan untuk KNF stadium dini
yang persisten atau mengalami kekambuhan (rekuren) setelah menjalani
radioterapi dosis lengkap. Pembedahan berupa diseksi leher radikal (RND) dapat
dilakukan bila dijumpai tumor persisten atau rekurensi di kelenjar leher, dengan
persyaratan bila tumor primer di nasofaring sudah terkontrol (Brennen, 2002).
VII.
KESIMPULAN
Pemberian radioterapi masih menjadi pilihan utama bagi penderita
karsinoma nasofaring.
Berbagai pendapat mengenai pengaruh OHB pada penderita karsinoma
OHB
pada
beberapa
penelitian
berhasil
meningkatkan efek untuk membunuh sel kanker, terapi OHB hanya sebagai
adjuvant, terapi untuk pasien kanker harus dikombinasikan dengan obatobatan, kemoterapi, hormonal, dan pembedahan.
VIII.
DAFTAR PUSTAKA
Majalah Kedokteran Tropis Indonesia Volume 14, Nomor 2, Juli 2003
Mahdi, H. et al. 2009. Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik
Surabaya Lakesla
Jain KK, 1996. Text Book of Hyperbaric Medicine. Toronto : Hogrefe and
Huber, p 12-23, p 61-64, p 331-334