Anda di halaman 1dari 2

MMOL, Jakarta: Kutipan pidato president pertama

Indonesia Soekarno tahun 1953 menyatakan


Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut
kembali, bangsa pelaut dalam arti yang seluasluasnya, bangsa pelaut yang mempunyai armada
niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada
militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut
menandingi Irama gelombang lautan itu sendiri
INDONESIA merupakan kepulauan terbesar didunia, antara pulau satu
dengan pulau lainnya dipisahkan oleh laut, tapi bukanlah menjadi
penghalang bagi setiap suku bangsa di Indonesia untuk saling
berhubungan dengan suku-suku di pulau lainnya. Sejak zaman bahari,
pelayaran dan perdagangan antar pulau telah berkembang dengan
menggunakan berbagai macam tipe perahu tradisional, nenek moyang
kita menjadi pelaut-pelaut handal yang menjelajahi untuk berinteraksi
dengan pihak luar. Bahkan, yang lebih mengejutkan lagi, pelayaran yang
dilakukan oleh orang-orang Indonesia (Nusantara) pada zaman bahari
telah sampai ke Mandagaskar, Australia dan beberapa wilayah Asia
Tenggara.
Nenek moyang bangsa Indonesia telah memahami dan menghayati arti
kegunaan laut sebagai sarana untuk menjamin berbagai kepentingan
antarbangsa seperti perdagangan dan komunikasi. Akan tetapi, penjajah
kolonial belanda mendesak bangsa Indonesia untuk lebih mengelolah
potensi darat ketimbang potensi kelautan yang mengakibatkan
menurunnya semangat dan jiwa bermaritim, pergeseran nilai budaya
dari maritim ke darat, serta orientasi masyarakat lebih condong ke hasilhasil daratan dengan melakukan ekspansi penanaman padi dan
palawija. Kemunduran ini tejadi semakin pesat terutama setelah
masuknya kekuasaan kolonial belanda ke Indonesia. Perjanjian Giyanti
pada tahun 1755 antara Belanda, Raja Surakarta dan Yogyakarta
mengakibatkan kedua raja tersebut harus menyerahkan perdagangan
hasil wilayahnya kepada belanda.
Kondisi hilangnya orientasi pembangunan maritim bangsa Indonesia
semakin jauh tatkala memasuki era Orde Baru. Kebijakan pembangunan

nasional lebih diarahkan ke pembangunan berbasis daratan (land based


oriented development) yang dikenal dengan agraris, bahakan dengan
bangga indonesia dideklarasikan sebagai negara agraris penghasil
produk rempah-rempah dan produksi pertanian yang spektakuler.
Kebijakan Orde Baru ini sejalan dengan perlakuan pemerintah kolonial
Belanda saat menjajah bangsa Indonesia.
Di titik lain, wilayah laut indonesia diserahkan begitu saja kepada
perusahaan-perusahaan yang mampu membayar insentif lebih besar di
banding mengembangkan dan membudidayakan masyarakat pesisir
yang akses ekonominya dapat dipenuhi hanya dengan melaut (nelayan).
Akhirnya, para pemodal asing terus melakukan eksploitasi terhadap
potensi laut, terutama apa yang biasa disebut dengan Liqued Natural
Gas (LNG) yang terletak di tengah laut (off shore). Maka tidak jarang
terjadi kekerasan pada para nelayan akibat pelarangan terhadap wilayah
tangkap ikan yang kini sepenuhnya telah dikuasai oleh para pemodal
asing
Kenyataan hari ini semakin menyadarkan kita, bahwa Indonesia
kehilangan kebanggaannya. Nenekku seorang pelaut, bak nyayian
sumbang. Berbagai permasalahan maritim kian lama kian menumpuk.
Menjadi fakta yang menyedihkan ketika sipadan ligitan terlepas dari
Indonesia. Mengembalikan jiwa maritim yang kuat bagi setiap warga
Indonesia menjadi sangat mendesak saat ini untuk mengembalikan
Indonesia sebagai negara maritim. Doktrin pemahaman tentang maritim
harus dilakukan melaui pendidikan maritim disetiap jenjang sekolah
formal dan informal, serta pembangunan kesadaran maritim bagi
masyarakat, NGO dan akdemisi.(HA).

Anda mungkin juga menyukai