Brodie Abses.
Lesi ini, awalnya ditemukan oleh Brodie pada tahun 1832, merupakan bentuk lokal osteomielitis
subakut, dan sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Insiden tertinggi (sekitar 40%) pada
dekade kedua. Lebih dari 75% kasus terjadi pada pasien laki-laki. Onset ini sering
membahayakan, dan untuk manifestasi sistemik pada umumnya ringan atau tidak ada. Abses,
biasanya terlokalisasi di metaphysis dari tibia atau tulang paha, dan dikelilingi oleh sclerosis
reaktif. Sesuai teori tidak terdapatnya sekuester, namun gambaran radiolusen mungkin akan
terlihat dari lesi ke lempeng epifisis. Abses tulang mungkin menyebrang ke lempeng epifisis
namun jarang terlokalisir.(Adam, 2004)
C. Osteomielitis Kronik.
Osteomielitis kronis merupakan hasil dari osteomielitis akut dan subakut yang tidak diobati.
Kondisi ini dapat terjadi secara hematogen, iatrogenik, atau akibat dari trauma tembus. Infeksi
kronis seringkali berhubungan dengan implan logam ortopedi yang digunakan untuk mereposisi
tulang. Inokulasi langsung intraoperatif atau perkembangan hematogenik dari logam atau
permukaan tulang mati merupakan tempat perkembangan bakteri yang baik karena dapat
melindunginya dari leukosit dan antibiotik. Pada hal ini, pengangkatan implan dan tulang mati
tersebut harus dilakukan untuk mencegah infeksi lebih jauh lagi. Gejala klinisnya dapat berupa
ulkus yang tidak kunjung sembuh, adanya drainase pus atau fistel, malaise, dan fatigue.
Penderita osteomielitis kronik mengeluhkan nyeri lokal yang hilang timbul disertai demam dan
adanya cairan yang keluar dari suatu luka pascaoperasi atau bekas patah tulang. Pemeriksaan
rongent memperlihatkan gambaran sekuester dan penulangan baru. (Hidiyaningsih, 2012)
Penangan osteomielitis kronik yaitu debridemant untuk mengeluarkan jaringan nekrotik dalam
ruang sekuester, dan penyaliran nanah. Pasien juga diberikan antibiotik yang sesuai dengan hasil
kultur. Involukrum belum cukup kuat untuk menggantikan tulang asli yang telah hancur menjadi
sekuester sehingga ekstrimitas yang sakit harus dilindungi oleh gips untuk mencegah patah
tulang patologik, dan debridement serta sekuesterektomi ditunda sampai involukrum menjadi
kuat.
Pemeriksaan penunjang:
Studi laboratorium
Penelitian berikut diindikasikan pada pasien dengan osteomielitis:
-Pemeriksaan darah lengkap:
Jumlah leukosit mungkin tinggi, tetapi sering normal. Adanya pergeseran ke kiri biasanya
disertai dengan peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear. Tingkat C-reaktif protein
biasanya tinggi dan nonspesifik; penelitian ini mungkin lebih berguna daripada laju endapan
darah (LED) karena menunjukan adanya peningkatan LED pada permulaan. LED biasanya
meningkat (90%), namun, temuan ini secara klinis tidak spesifik. CRP dan LED memiliki
peran terbatas dalam menentukan osteomielitis kronis seringkali didapatkan hasil yang normal.
-Kultur :
Kultur dari luka superficial atau saluran sinus sering tidak berkorelasi dengan bakteri yang
menyebabkan osteomielitis dan memiliki penggunaan yang terbatas. Darah hasil kultur, positif
pada sekitar 50% pasien dengan osteomielitis hematogen. Bagaimanapun, kultur darah positif
mungkin menghalangi kebutuhan untuk prosedur invasif lebih lanjut untuk mengisolasi
organisme. Kultur tulang dari biopsi atau aspirasi memiliki hasil diagnostik sekitar 77% pada
semua studi.
Studi pencitraan
Radiografi
Bukti radiografi dari osteomielitis akut pertama kali diusulkan oleh adanya edema jaringan
lunak pada 3-5 hari setelah terinfeksi. Perubahan tulang tidak terlihat untuk 14-21 hari dan pada
awalnya bermanifestasi sebagai elevasi periosteal diikuti oleh
lucencies kortikal atau meduler. Dengan 28 hari, 90% pasien menunjukkan beberapa kelainan.
Sekitar 40-50% kehilangan fokus tulang yang menyebabkan terdeteksinya lucency pada film
biasa.
MRI
MRI efektif dalam deteksi dini dan lokalisasi operasi osteomyelitis.
Penelitian telah menunjukkan keunggulannya dibandingkan dengan radiografi polos, CT,
dan scanning radionuklida dan dianggap sebagai pencitraan pilihan. Sensitivitas berkisar
antara 90-100%. Tomografi emisi positron (PET) scanning memiliki akurasi yang mirip
dengan MRI.
Radionuklida scanning tulang
Tiga fase scan tulang, scan gallium dan scan sel darah putih menjadi pertimbangan pada
pasien yang tidak mampu melakukan pencitraan MRI. Sebuah fase tiga scan tulang memiliki
sensitivitas yang tinggi dan spesifisitas pada orang dewasa dengan temuan normal
pada radiograf. Spesifisitas secara dramatis menurun dalam pengaturan operasi sebelumnya atau
trauma tulang. Dalam keadaan khusus, informasi tambahan dapat diperoleh dari
pemindaian lebih lanjut dengan leukosit berlabel dengan 67 gallium dan / atau indium 111.
CT scan
CT scan dapat menggambarkan kalsifikasi abnormal,pengerasan, dan kelainan intracortical. Hal
ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin untuk
mendiagnosis osteomyelitis tetapi sering menjadi pilihan pencitraan ketika MRI tidak tersedia.
Ultrasonografi
Teknik sederhana dan murah telah menjanjikan, terutama pada anak dengan osteomielitis akut.
Ultrasonografi dapat menunjukkan perubahan sejak 1-2 hari setelah timbulnya gejala. Kelainan
termasuk abses jaringan lunak atau kumpulan cairan dan elevasi periosteal.
Ultrasonografi memungkinkan untuk petunjuk ultrasound aspirasi. Tidak memungkinkan untuk
evaluasi korteks tulang.
Diagnosis banding pada osteomielitis
Osteomielitis mudah didiagnosis secara klinis, pemeriksaan radiologis dan tambahan seperti CT
dan MRI jarang diperlukan. Namum demikian, seringkali osteomielitis memiliki gejala klinis
yang hampir sama dengan yang lain. Khususnya dalam keadaan akut, gejala klinis yang muncul
sama seperti pada histiocytosis sel Langerhans atau sarkoma Ewing. Perbedaan pada setiap
masing-masing kondisi dari jaringan lunak. Pada osteomielitis, jaringan lunak terjadi
pembengkakan yang difus. Sedangkan pada sel langerhan histiocytosis tidak terlihat secara
signifikan pembengkakan jaringan lunak atau massa. Sedangkan pada ewing sarkoma pada
jaringan lunaknya terlihat sebuah massa. Durasi gejala pada pasien juga memainkan peranan
penting untuk diagnostik. Untuk sarkoma ewing dibutuhkan 4-6 bulan untuk menghancurkan
tulang sedangkan osteomielitis 4-6 minggu dan histiocytosis sel langerhans hanya 7-10 hari.
Terapi
Osteomielitis akut harus diobati segera. Biakan darah diambil dan pemberian antibiotika
intravena dimulai tanpa menunggu hasil biakan. Karena Staphylococcus merupakan kuman
penyebab tersering, maka antibiotika yang dipilih harus memiliki spektrum antistafilokokus. Jika
biakan darah negatif, maka diperlukan aspirasi subperiosteum atau aspirasi intramedula pada
tulang yang terlibat. Pasien diharuskan untuk tirah baring, keseimbangan cairan dan elektrolit
dipertahankan, diberikan antipiretik bila demam, dan ekstremitas diimobilisasi dengan gips.
Perbaikan klinis biasanya terlihat dalam 24 jam setelah pemberian antibiotika. Jika tidak
ditemukan perbaikan, maka diperlukan intervensi bedah.
Terapi antibiotik biasanya diteruskan hingga 6 minggu pada pasien dengan osteomielitis. LED
dan CRP sebaiknya diperiksa secara serial setiap minggu untuk memantau keberhasilan terapi.
Pasien dengan peningkatan LED dan CRP yang persisten pada masa akhir pemberian antibiotik
yang direncanakan mungkin memiliki infeksi yang tidak dapat ditatalaksana secara komplit. CReactive Protein (CRP) Adalah suatu protein fase akut yang diproduksi oleh hati sebagai respon
adanya infeksi, inflamasi atau kerusakan jaringan. Inflamasi merupakan proses dimana tubuh
memberikan respon terhadap injury . Jumlah CRP akan meningkat tajam beberapa saat setelah
terjadinya inflamasi dan selama proses inflamasi sistemik berlangsung. Sehingga pemeriksaan
CRP kuantitatif dapat dijadikan petanda untuk mendeteksi adanya inflamasi/infeksi akut.
Berdasarkan penelitian, pemeriksaan Hs-CRP dapat mendeteksi adanya inflamasi lebih cepat
dibandingkan pemeriksaan Laju Endap Darah (LED). Terutama pada pasien anak-anak yang sulit
untuk mendapatkan jumlah sampel darah yang cukup untuk pemeriksaan LED.
Sedangkan LED adalah merupakan salah satu pemeriksaan rutin untuk darah. Proses
pemeriksaan sedimentasi (pengendapan) darah ini diukur dengan memasukkan darah kita ke
dalam tabung khusus selama satu jam. Makin banyak sel darah merah yang mengendap maka
makin tinggi LED-nya. Tinggi ringannya nilai pada LED memang sangat dipengaruhi oleh
keadaan tubuh kita, terutama saat terjadi radang. Nilai LED meningkat pada keadaan seperti
kehamilan ( 35 mm/jam ), menstruasi, TBC paru-paru ( 65 mm/jam ) dan pada keadaan infeksi
terutama yang disertai dengan kerusakan jaringan. Jadi pemeriksaan LED masih termasuk
pemeriksaan penunjang yang tidak spesifik untuk satu penyakit. Bila dilakukan secara berulang
laju endap darah dapat dipakai untuk menilai perjalanan penyakit seperti tuberkulosis, demam
rematik, artritis dan nefritis. LED yang cepat menunjukkan suatu lesi yang aktif, peningkatan
LED dibandingkan sebelumnya menunjukkan proses yang meluas, sedangkan LED yang
menurun dibandingkan sebelumnya menunjukkan suatu perbaikan. (Hidiyaningsih, 2012).
Dengan range pengukuran yang luas, pemeriksaan Hs-CRP sangat baik dan penting
untuk: Mendeteksi Inflamasi/infeksi akut secara cepat (6-7 jam setelah inflamasi)
Hs-CRP meningkat tajam saat terjadi inflamasi dan menurun jika terjadi perbaikan
sedang LED naik kadarnya setelah 14 hari dan menurun secara lambat sesuai dengan
waktu paruhnya.
Pemeriksaan Hs-CRP dapat memonitor kondisi infeksi pasien dan menilai efikasi terapi
antibiotika.
Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibiotika, tulang yang terkena harus
dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik diangkat dan daerah itu diiringi secara
langsung dengan larutan salin fisiologis steril. Tetapi antibiotik dianjurkan. Pada osteomielitis
kronik, antibiotika merupakan adjuvan terhadap debridemen bedah. Dilakukan sequestrektomi
(pengangkatan involukrum secukupnya supaya ahli bedah dapat mengangkat sequestrum).
Kadang harus dilakukan pengangkatan tulang untuk memajankan rongga yang dalam menjadi
cekungan yang dangkal (saucerization). Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati
diangkat supaya dapat terjadi penyembuhan yang permanen.Pada beberapa kasus, infeksi sudah
terlalu berat dan luas sehingga satu-satunya tindakan terbaik adalah amputasi dan pemasangan
prothesa. Bila proses akut telah dikendalikan, maka terapi fisik harian dalam rentang gerakan
diberikan. Kapan aktivitas penuh dapat dimulai tergantung pada jumlah tulang yang terlibat.
Pada infeksi luas, kelemahan akibat hilangnya tulang dapat mengakibatkan terjadinya fraktur
patologis. (Hidiyaningsih, 2012)
Adanaya sequester.
2.
Adanya abses.
3.
4.
Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space) atau dipasang tampon agar
dapat diisi oleh jaringan granulasi atau dilakukan grafting dikemudian hari. Dapat dipasang
drainase berpengisap untuk mengontrol hematoma dan mebuang debris. Dapat diberikan irigasi
larutan salin normal selama 7 sampai 8 hari. Dapat terjadi infeksi samping dengan pemberian
irigasi ini. (Canale, 2007)
Rongga yang didebridemen dapat diisi dengan graft tulang kanselus untuk merangsang
penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat diisi dengan transfer tulang
berpembuluh darah atau flup otot (dimana suatu otot diambil dari jaringan sekitarnya namun
dengan pembuluh darah yang utuh). Teknik bedah mikro ini akan meningkatkan asupan darah;
perbaikan asupan darah kemudian akan memungkinkan penyembuhan tulang dan eradikasi
infeksi. Prosedur bedah ini dapat dilakukan secara bertahap untuk menyakinkan penyembuhan.
Debridemen bedah dapat melemahkan tulang, kemudian memerlukan stabilisasi atau penyokong
dengan fiksasi interna atau alat penyokong eksterna untuk mencegah terjadinya patah tulang.
Saat yang terbaik untuk melakukan tindakan pembedahan adalah bila involukrum telah cukup
kuat; mencegah terjadinya fraktur pasca pembedahan. (Canale, 2007)
Kegagalan pemberian antibiotika dapat disebabkan oleh (Hidiyaningsih, 2012):
1. Pemberian antibiotik yang tidak cocok dengan mikroorganisme penyebabnya
2. Dosis yang tidak adekuat
3. Lama pemberian tidak cukup
4. Timbulnya resistensi
5. Kesalahan hasil biakan
6. Pemberian pengobatan suportif yang buruk
7. Kesalahan diagnostik
8. Pada pasien yang imunokempremaise
1. Komplikasi
Komplikasi dari osteomielitis antara lain (Anonim, 2012) :
1. Kematian tulang (osteonekrosis)
Infeksi pada tulang dapat menghambat sirkulasi darah dalam tulang, menyebabkan kematian
tulang. Jika terjadi nekrosis pada area yang luas, kemungkinan harus diamputasi untuk mencegah
terjadinya penyebaran infeksi.
1. Arthritis septic
Dalam beberapa kasus, infeksi dalam tuolang bias menyebar ke dalam sendi di dekatnya.
1. Gangguan pertumbuhan
Pada anak-anak lokasi paling sering terjadi osteomielitis adalah pada daerah yang lembut, yang
disebut lempeng epifisis, di kedua ujung tulang panjang pada lengan dan kaki. Pertumbuhan
normal dapat terganggu pada tulang yang terinfeksi.
1. Kanker kulit
Jika osteomielitis menyebabkan timbulnya luka terbuka yang menyebabkan keluarnya nanah,
maka kulit disekitarnya berisiko tinggi terkeba karsinoma sel skuamosa.
Dalam kepustakaan lain, disebutkan bahwa osteomielitis juga dapat menimbulkan komplikasi
berikut ini (Hidiyaningsih, 2012) :
1. Abses tulang
2. Bakteremia
3. Fraktur
4. Selulitis
D. Artritis septik
Septik arthritis merupakan hasil dari invasi bakteri di celah sendi, di mana
penyebaran terjadi secara hematogen, inokulasi langsung akibat trauma maupun
pembedahan, atau penyebaran dari osteomileitis atau selulitis yang berdekatan
dengan celah sendi.(2)
Etiologi
Biasanya, faktor predisposisi berhubungan dengan tipe dari organisme penyebab, seperti terlihat
pada table di bawah ini:
Late infection
S. epidermidis
Gram-positive cocci, anaerobs
Medical condition
Injecting drug abuse
Rheumatoid arthritis
Systemic lupus erythematosus, sickle cellanemia
Hemophilia
immunosuppression
Atypical gram negative bacilli (e.g Pseudomonas sp)
S. aureus
Salmonella sp
S. aureus (50%), streptococci, gram negative bacilli
S. aureus, mycobacterium sp, fungi
Patogenesis
Infeksi melalui hematogen pada sendi dimulai dari bakteremia sistemik yang menyerang
synovial cartilaginous junction dari ruang intravaskuler dan menyebar ke sinovium dan cairan
synovial. Reseptor kolagen yang ditemukan pada Staphylococcus aureus ikut berperan dalam
infeksi sendi. Selain itu, kurangnya keterbatasan membran basal dalam kapiler sinovium
memungkinkan bakteri mencapai ruang ekstravaskuler dari jaringan synovial melewati gap antar
kapiler sel endotel. Fibroblas dari synovial juga menghambat proses fagositosis dari bakteri.
Segera setelah terinfeksi, sinovium berubah menjadi hiperemi dan infiltrat mengandung sel
polimorfonuklear (PMN) yang akan meningkat secara cepat dalam beberapa hari kemudian.
Secara histologi, perubahan dari inflamasi akut menjadi kronik dengan meningkatnya sel
mononuklear (MN) dan limfosit, dan akan menjadi sel dominan penyebab inflamasi dalam waktu
13 minggu. Destruksi dari kartilago artikular akan menyebabkan terjadinya degradasi dari bahan
dasar, yang tampak dalam 4-6 hari setelah infeksi. Menurunnya bahan dasar, menurut Perry,
dimulai 2 hari setelah inokulasi karena adanya aktivasi enzim dari respon inflamasi akut,
produkasi toksin dan enzim dari bakteri, serta stimulasi dari limfosit T selama delayed immune
response. Antigen bakteri akan terdeposit di cairan sinovium dan spesifik toksin, seperti
enterotoksin dari staphylococcal, dimana produksinya dipengaruhi oleh proliferasi bakteri akibat
aktivasi limfosit T. Meningkatnya limfosit T dan penurunan dari bahan dasar, kolagen diarahkan
untuk kolagenesis, perubahan dari sifat mekanis kartilago artikuler, meningkatkan kepekaan
untuk memakai. Destruksi komplit dari artikular kartilago terjadi sekitar 4 minggu. Dislokasi
atau subluksasi dan osteomielitis bisa terjadi.
Gejala klinis
Faktor resiko septik arthritis sebagai berikut:
a. Keadaan gizi dan keadaan umum buruk
b. Tua atau bayi
c. Penyakit sistemik yang menekan system imun :
- Diabetes mellitus
- Gangguan faal ginjal
- Penyakit hati
- Keganasan
- Pecandu obat intravena atau alcohol
- Obat imunosupresan atau AIDS
d. Kelainan sendi lama
Septik arthritis lebih sering terjadi pada orang dewasa, walaupun gejala sisa paling serius dari
infeksi didapatkan pada anak-anak, khususnya jika sendi panggul ikut terkena, dan terdapat
keterlambatan penanganan. Anatomi berdasarkan usia dapat menjadi dasar terjadinya
komplikasi serius pada anak-anak, misalnya destruksi dari epifise dan berhubungan dengan
osteonekrosis dari tekanan intrakapsuler dan septik efusi. Sendi penyangga tubuh ekstremitas
bawah merupakan bagian dominan yang sering terkena sekitar 61-79%, walaupun semua
sendi bisa terkena, dan infeksi sendi multipel juga bisa terjadi. Pada arthritis hematogen,
sendi-sendi yang dapat terkena seperti sendi lutut, panggul, siku, bahu, dan ankle. Infeksi
sendi multipel banyak terjadi pada anak-anak. Pemeriksaan yang teliti untuk menentukan
apakah mengenai monoartikuler atau poliartikuler dibutuhkan sebelum direncanakan terapi.
Septik arthritis akut dapat menjadi sukar untuk terdiagnosa pada neonatus karena respon
inflamasi tidak jelas, dan gejala seperti demam, bengkak, eritema, dan nyeri mungkin
minimal atau bahkan tidak ada. Pada neonatus, gejala yang bisa didapatkan adalah infeksi di
tempat lain seperti kateter umbilkal, iritabilitas, gagal tumbuh, limb position tidak simetris.
Gejala sistemik yang sering terjadi adalah demam, keringat dingin, malaise.(1,4) Adakalanya
berkembang mengenai sendi lain sehingga menyebabkan poliatralgia. Nyeri progresif dan
seperti ditekan bila pasien bergerak.(1,5) Ketegangan lokal dan hangat juga menyertai akibat
pembengkakan soft tissue, dan teraba efusi jika sendinya superfisial.
Gejala klinis sesuai usia dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Manifestasi
klinik
septik
artritis
Usia
Manifestasi
Klinis
Bayi
Septisemia
Anak-anak
Demam ringan
Dewasa
Bekuan musin
Hitung leukosit
Normal
Baik
200/mm3
Osteoarthritis
Jernih kekuningan
Biasanya baik
1000/mm3
SLE
5000/mm3
Gout
10.000-20.000/mm3
RA
15.000-20.000/mm3
Syndrom Raiter
opaq
20.000/mm3
Artritis Septik
Kelabu,
purulen
berkabut Buruk
Baik
berkabut, Baik
50.000-75.000/mm3
Pemeriksaan Radiologi
Banyak teknik pemeriksaan radiologi yang tersedia untuk membantu mendeteksi adanya infeksi
sendi, dan walaupun dapat membantu dalam kecurigaan terhadap septik arthritis, tetapi
pemeriksaan ini bukanlah diagnosa pasti (gold standart). Tampakan signifikan pada pemeriksaan
X-ray tergantung dari durasi dan virulensi dari infeksi itu sendiri. Selama 2 minggu pertama,
kapsul sendi akan tampak distended, penebalan soft tissue, dan jaringan lemak tidak terlihat.
Pada neonatus, terjadi peningkatan tekanan intraartikuler dari efusi yang menyebabkan pelebaran
celah sendi pada gambaran radiologik. Dengan kemungkinan progresifitas yang mengarah ke
dislokasi patologik. Adanya hiperemia yang menetap dan tidak digunakan lagi, terjadilah
demineralisasi tulang subkondral dan meluas ke proksimal dan distal sendi. Struktur trabekular
secara progresif akan menghilang, dan kompaksitas dari tulang subkondral tampak tertekan.
Destruksi dari kartilago dicerminkan dari penyempitan dari celah sendi sampai tulang subkondral
tidak berada di tempatnya. Radiografi dapat digunakan untuk memonitor respon terapi dan
deteksi ketidakadekuatan mengatasi stadium dari penyakit, sperti destruksi sendi general,
osteomielitis, osteoarthritis, joint fusion, atau hilangnya tulang.
Ultrasonografi (USG) dapat digunakan untuk mendeteksi cairan sendi yang terletak lebih dalam.
Gambaran khas dari septik arthritis pada pemeriksaan USG berupa non-echo-free effusion yang
berasal dari bekuan darah. USG dapat digunakan sebagai panduan dalam melakukan aspirasi dan
drainase serta untuk memonitor status kompartmen intrartikuler, kapsul sendi, tidak mahal, dan
mudah digunakan, tetapi pemeriksaan ini sangat tergantung dari operator yang mengerjakannya.
CT Scan, MRI, dan bone scans juga dapat digubakan untuk diagnosa septik arthritis, akan tetapi
pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan. CT lebih sensitif disbanding radiografi. CT dapat
menunjukkan penebalan soft-tissue, efusi sendi, dan formasi abses pada stadium awal infeksi.
Selain itu, CT dapat pula digunakan sebagai panduan salam melakukan aspirasi, monitor terapi,
dan membantu dalam pendekatan operatif. MRI dapat mendeteksi infeksi dan perluasannya, dan
sangat berguna untuk mendiagnosa infeksi yang sulit dicapai. MRI mempunyai resolusi yang
lebih besar daripada CT dan menunjukkan gambaran anatomi yang lebih detail daripada bone
scans. Dapat digunakan untuk membedakan apakah itu suatu infeksi tulang atau infeksi dari soft
tissue dan menunjukkan efusi sendi. (2)
Diagnosa Banding
Septik arthritis harus dibedakan dari arthropati akut lain seperti arthritis reaktif, lupue
eritematosus sistemik, rheumatoid arthritis, gout, pseudogout, artropathy neurogenik, dan lain
sebagianya. Penyebaran secara hematogen pada osteomileitis khususnya dari femur proksimal,
demam reumatik, dan trauma epifise dapat menunjukkan septik arthritis pada anak-anak.
Pengobatan secara serentak ataupun terbaru dengan injeksi lokal atau kortikosteroid sistemik,
keduanya dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi dan bertentangan dengan diagnosa.
Poliatralgia dapat terjadi pada infeksi virus sitemik dan reaksi alergi, tetapi gejala klinik dari
septik arthritis tidak tampak. Infeksi akut atau inflamasi dari struktur periartikuler seperti bursitis
septik dan teneosynovitis, osteomileitis, selulitis dan kalsifikasi tendinitis akut kemungkinan sulit
dibedakan dengan septik arthritis. aspirasi, pemeriksaan, dan kultur dari cairan sendi merupakan
pemeriksaan-pemeriksaan penting yang harus dilakukan dalam menegakkan diagnosa dari
infeksi sendi.
Komplikasi
Komplikasi terdiri dari destruksi sendi, osteomielitis, dan penyebaran ke tempat lain baik secara
langsung ataupun secara hematogen. Semakin cepat diagnosis dan diterapi dilaksanakan, maka
kemungkinan terjadinya komplikasi akan semakin kecil. Komplikasi yang dapat ditimbulkan
termasuk kerusakan sendi berupa osteoarthritis. Pada anak-anak, keterlibatan dari growth plates
dapat meningkatkan progresifitas dari deformitas dan pemendekan dari segment yang terkena.
Selain itu, komplikasi lain seperti dislokasi sendi, epifisiolisis, ankilosis, dan osteomielitis.
Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan pada septik arthritis akut: (1) drainase sendi harus adekuat, (2) antibiotik
harus diberikan untuk mengurangi efek sistemik dari sepsis, (3) sendi harus diistirahatkan dalam
posisi stabil.
A. Terapi Umum
Analgetik dan dan pembidaian dari sendi yang terkena pada posisi maksimal dan senyaman
mungkin untuk mengurangi nyeri. Adanya fokus infeksi dan kondisi medis harus
diindetifikasi dan diterapi sesuai penyakit yang ditemukan. Penggantian cairan dan
kecukupan nutrisi mungkin diperlukan.
B. Terapi Khusus
Terapi definitif yang diperlukan berupa drainase dari pus yang terdapat di sendi dan
memberikan terapi antibiotik yang efektif. Teknik dari drainase tergantung dari sendi yang
terkena, stadium infeksi, dan respon dari pasien. Walaupun sendi yang terinfeksi dapat
didrainase dengan hasil yang memuaskan melalui aspirasi berulang, namun pada sendi
panggul dan mungkin sendi yang lain yang sulit dilakukan drainase maka harus dilakukan
artrotomi sesegera mungkin setelah teridentifikasi dari septik atritritis. Indikasi lain dari
drainase dengan teknik pembedahan adalah septik arthritis dimana pusnya terlokalisir,
gagal dalam terapi nonoperatif, infeksi yang telah berlangsung lama, dan infeksi sendi
pasca pembedahan atau luka penetrasi.
Antibiotik parenteral diindikasikan untuk septik arthritis. Jika kuman tidak tampak pada
pewarnaan gram dan sebelumnya pasien adalah seorang dewasa sehat, maka diagnosa
kerjanya adalah arthritis gonokokus, dan penisilin dapat menjadi pilihan terapi. Anak-anak
di bawah 4 tahun mempunyai insiden yang signifikan terhadap arthritis akibat H. influenza.
Pada orang dewasa, dimana pada pewarnaan gram ditemukan bakteri gram negatif, maka
pilihan terapinya adalah sefalosporin atau penisilin beta laktamase dan aminoglikosida.
Infeksi yang disebabkan oleh H.influenza, Streptococcus, Neisseria, memiliki respon terapi
yang baik dan lebih cepat, sehingga pemberiannya dapat dipersingkat (< 2 minggu).
Sedangkan, pada infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus dan bakteri basili gram
negatif, respon terapi lebih lambat sehingga membutukan waktu yang lebih panjang yaitu
sekitar 4-6 minggu. Pada infeksi sendi panggul dan bahu, pasien immunocompromise,
pasien dengan respon terapi jelek akan membutuhkan pengobatan yang lebih lama pula.
Ketika kuman telah teridentifikasi dari hasil kultur, maka pilihan antibiotik harus sesuai
dengan hasil yang telah ditemukan. Hasil kultur dan respon klinis sesudah itu digunakan
untuk memastikan regimen antibiotik. Antibiotik parenteral diteruskan dengan dosis tinggi
sampai inflamasi mereda secara signifikan. Tambahan antibiotik oral selama 3-4 minggu
biasanya diperlukan setelah pemberian antibiotik parenteral. Sebagian klinisi menyatakan
bahwa pemberian antibiotik parenteal harus diteruskan setidaknya sampai suhu dan kadar
CRP mencapai nilai mormal dengan terapi maintenance 4-6 minggu. Injeksi penisilin G 10
juta unit per 24 jam diberikan pada arthritis gonokokus dan diteruskan sampai perbaikan
klinis dicapai secara signifikan. Saat tanda lokal teratasi, antibiotik dapat diubah ke
ampisilin oral, 4 kali 500 mg per hari selama 7 hari.
Prognosa
Hasil yang memuaskan dicapai sekitar 70% atau bahkan lebih pada beberapa pasien septik
arthritis dengan diagnosis dan pengobatan dini. Destruksi sendi terutama sendi panggul pada
neonatus dan kekakuan sendi pada orang tua merupakan penyebab umum dari kegagalan terapi.
Jarang menyebabkan kematian. (1)
DAFTAR PUSTAKA
1. Doherty, Gerard M. Septic Arthritis, In: Current Surgical Diagnosis and Treatment
12th
Edition.
New
York:
McGraw-Hill.
2003.
pp
1199-1200
2. Canale, S Terry, James H Beaty. Infection arthritis, In: Campbell;s Operative
Orthopaedics Volume One 11th Edition. Philadelphia: Mosby Elsevier. 2008. pp 723728
3. De Jong, Wim, R Sjamsuhidajat. Artritis Septik akut, Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi
2.
Jakarta:
EGC.
2005.
Hal
905-907
4. Luqmani, Raashid, James Robb, Daniel Porter, et al. Acute Septic Artritis, In:
Textbook of Orthopaedics, Trauma and Rheumatology. Philadelphia: Mosby Elsevier.
pp
89-90
5. Apley, A Graham, Louis Solomon. Arthritis Septic Akut, Dalam: Buku Ajar Ortopedi
dan Fraktur Sistem Apley Edisi Ketujuh. Jakarta: Widya Medika. 1993. p 182
De Quervains Tenovaginitis