Anda di halaman 1dari 61

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

JURNAL PENELITIAN KESEHATAN SUARA FORIKES


Diterbitkan oleh:
FORUM ILMIAH KESEHATAN (FORIKES)
Penanggungjawab:
Ketua Forum Ilmiah Kesehatan
Pemimpin Redaksi:
Subagyo, S.Pd, M.M.Kes
Anggota Dewan Redaksi:
H. Trimawan Heru Wijono, S.K.M, S.Ag, M.Kes
H. Sukardi, S.S.T, M.Pd
Hj. Rudiati, A.P.P, S.Pd, M.M.Kes

Penyunting Pelaksana:
Budi Joko Santosa, S.K.M, M.Kes
Handoyo, S.S.T
Suparji, S.S.T, M.Pd

Sekretariat:
Hery Koesmantoro, S.T, M.T
Ayesha Hendriana Ngestiningrum, S.S.T
Sri Martini, A.Md
Alamat:
Jl. Cemara RT 01 RW 02 Ds./Kec. Sukorejo, Ponorogo
Kode Pos: 63453 Telepon: 085235004462
Jl. Danyang-Sukorejo RT 05 RW 01 Serangan, Sukorejo, Ponorogo
Kode Pos: 63453 Telepon: 081335718040
E-mail dan Website:
suaraforikes@gmail.com dan www.suaraforikes.webs.com
Terbit setiap tiga bulan, terbit perdana bulan Januari 2010
Harga per-eksemplar Rp. 25.000,00
Jurnal Penelitian Kesehatan
Suara Forikes

ii

Volume
IV

Nomor
4

Halaman
175 - 231

Oktober
2013

ISSN
2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

EDITORIAL

PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL

Salam dari Redaksi

Kami menerima artikel asli berupa hasil penelitian atau


tinjauan hasil penelitian kesehatan, yang belum pernah
dipublikasikan, dilengkapi dengan: 1) surat ijin atau
halaman pengesahan, 2) jika peneliti lebih dari 1 orang,
harus
ada
kesepakatan
urutan
peneliti
yang
ditandatangani oleh seluruh peneliti. Dewan Redaksi
berwenang untuk menerima atau menolak artikel yang
masuk, dan seluruh artikel tidak akan dikembalikan
kepada pengirim. Dewan Redaksi juga berwenang
mengubah artikel, namun tidak akan mengubah makna
yang terkandung di dalamnya. Artikel berupa karya
mahasiswa (karya tulis ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, dsb.)
harus menampilkan mahasiswa sebagai peneliti utama.

Para pembaca yang berbahagia,


selamat berjumpa kembali dengan
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara
Forikes. Alhamdulillah, sekarang ini
kita masih dapat bertemu kembali
pada penerbitan Volume IV Nomor
4.
Kali ini disajikan sepuluh judul
artikel hasil penelitian karya para
sejawat dari berbagai penjuru tanah
air. Terimakasih kami sampaikan
para sejawat yang telah turut serta
mengembangkan jurnal ini hingga
sekarang.
Semoga kiprah jurnal ini dapat
memperkaya perbendaraan karya
ilmiah di tanah air kita, khususnya
dalam bidang kesehatan. Jika ingin
mendapatkan keterangan lebih
jauh,
para
pembaca
dapat
menghubungi kami melalui surat,
telepon, atau e-mail.
Para
pembaca
dapat
pula
menikmati isi jurnal ini melalui
publikasi
website
kami
www.suaraforikes.webs.com, portal
garuda dikti, serta portal PDII LIPI.
Terimakasih,
semoga
bisa
berjumpa kembali dalam penerbitan
berikutnya pada bulan Januari 2014
yang akan datang.

Redaksi

Persyaratan artikel adalah sebagai berikut:


1. Diketik dengan huruf Arial 9 dalam 2 kolom, pada
kertas HVS A4 dengan margin kiri, kanan, atas, dan
bawah masing-masing 3,5 cm.
2. Jumlah maksimum adalah 10 halaman, berbentuk
softcopy (flashdisk, CD, DVD atau e-mail).
Isi artikel harus memenuhi sistematika sebagai berikut:
1. Judul ditulis dengan ringkas dalam Bahasa Indonesia
atau Bahasa Inggris tidak lebih dari 14 kata,
menggunakan huruf kapital dan dicetak tebal pada
bagian tengah.
2. Nama lengkap penulis tanpa gelar ditulis di bawah
judul, dicetak tebal pada bagian tengah. Di bawahnya
ditulis institusi asal penulis.
3. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa
Inggris dicetak miring. Judul abstrak menggunakan
huruf kapital di tengah dan isi abstrak dicetak rata kiri
dan kanan dengan awal paragraf masuk 1 cm. Di
bawah isi abstrak harus ditambahkan kata kunci.
4. Pendahuluan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri
dan kanan dan paragraf masuk 1 cm.
5. Metode ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan
kanan, paragraf masuk 1 cm. Isi bagian ini disesuaikan
dengan bahan dan metode penelitian yang diterapkan.
6. Hasil Penelitian ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri
dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Kalau perlu, bagian
ini dapat dilengkapi dengan tabel maupun gambar (foto,
diagram, gambar ilustrasi dan bentuk sajian lainnya).
Judul tabel berada di atas tabel dengan posisi di
tengah, sedangkan judul gambar berada di bawah
gambar dengan posisi di tengah.
7. Pembahasan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri
dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Pada bagian ini, hasil
penelitian ini dibahas berdasarkan referensi dan hasil
penelitian lain yang relevan .
8. Simpulan dan Saran ditulis dalam Bahasa Indonesia
rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Simpulan
dan saran disajikan secara naratif.
9. Daftar Pustaka ditulis dalam Bahasa Indonesia, bentuk
paragraf menggantung (baris kedua dan seterusnya
masuk 1 cm) rata kanan dan kiri. Daftar Pustaka
mengacu pada Sistim Harvard.
Redaksi

iii

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

DAFTAR JUDUL
No

Judul dan Penulis

Halaman

KINERJA BIDAN PUSKESMAS DALAM PELAYANAN MTBS DI WILAYAH


PUSKESMAS KOTA MALANG
Yuniar Angelia Puspadewi, Atik Mawarni

175 - 179

FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERKAIT DENGAN KINERJA


BIDAN DESA DALAM KUNJUNGAN NEONATAL DI KABUPATEN PATI,
TAHUN 2012
Ferry Rachmawatie Suryaningtyas, Sri Achadi Nugraheni, Atik
Mawarni

180 - 184

PERBEDAAN KEJADIAN DIARE PADA BAYI 0-6 BULAN YANG DIBERI ASI
DENGAN YANG DIBERI SUSU FORMULA (DI BPS ASRI Desa Baturetno
Kecamatan Tuban Kabupaten Tuban)
Suwarni, Sri Utami, Evi Yunita Nugrahini

185 - 190

HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK DI DALAM RUMAH DENGAN


GANGGUAN PERNAPASAN PADA PEROKOK PASIF
Sunarto, Bambang Sunarko, Retnowati Hadirini

191 - 199

HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN PENGETAHUAN IBU HAMIL DENGAN


KEPATUHAN MELAKUKAN KUNJUNGAN ANTENATAL DI KELURAHAN
PERDAGANGAN KECAMATAN BANDAR
Renny Sinaga

200 - 205

GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG HUBUNGAN SEKSUAL


PRANIKAH TERHADAP PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DI SMK
KESEHATAN SAHATA PEMATANGSIANTAR PERIODE
Tiamin Simbolon

206 - 211

PENGARUH BERBAGAI DOSIS EKSTRAK UMBI GADUNG (Dioscorea


hispida) TERHADAP MORTALITAS LARVA Aedes aegypti
Tuhu Pinardi, Sigit Gunawan, Sujangi

212 - 215

PERBEDAAN BERAT BADAN BAYI USIA 3-5 BULAN YANG DIPIJAT DAN
TIDAK DIPIJAT (Di Kelurahan Tawanganom Kecamatan Magetan Tahun
2013)
Amelia Yuliana, Agung Suharto, Tinuk Esti Handayani

216 - 219

KUNJUNGAN KELUARGA
GIZI BALITA
Ruslaini, Sugiyanto

KE POSYANDU MENINGKATKAN STATUS

220 - 226

10

GAMBARAN PRAKTEK KELUARGA SADAR GIZI DI DUSUN KEPEL DESA


BANJARSARI KECAMATAN MADIUN KABUPATEN MADIUN TAHUN 2011
Tunik Ismiyatun, Tutiek Herlina, Hery Sumasto

227 - 231

iv

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

PENDAHULUAN
KINERJA BIDAN PUSKESMAS DALAM
PELAYANAN MTBS
DI WILAYAH PUSKESMAS KOTA
MALANG

Yuniar Angelia Puspadewi


(Prodi Kebidanan
STIKES Widyagama Husada Malang)
Atik Mawarni
(FKM Universitas Diponegoro Semarang)

ABSTRAK

Latar belakang: Hasil pelaksanaan MTBS di


Kota Malang yang berupa cakupan pada
tahun 2010 sebesar 58,07 % dan pada tahun
2011
mengalami
penurunan
sebesar
49,38%, hal ini memperlihatkan bahwa
cakupan pelayanan MTBS di Kota Malang
masih dibawah target yaitu
80 %.
Berdasarkan survei pendahuluan didapatkan
kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan
MTBS belum optimal. Tujuan: Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis kinerja bidan
puskesmas dalam pelayanan MTBS di
wilayah puskesmas Kota Malang. Metode:
Jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif,
informan utama adalah bidan puskesmas
sebanyak 8 orang, informan triangulasi
adalah 4 kepala puskesmas, Kasie KIA
Dinas Kesehatan dan 8 ibu balita. Data
dikumpulkan dengan wawancara mendalam
dan observasi, analisis data menggunakan
metode
content analysis. Hasil: Belum
semua bidan dilatih MTBS, bidan puskesmas
memberikan pelayanan MTBS belum sesuai
standar terkait dengan
persiapan alat,
pemberian pelayanan maupun penerapan
jadual pelayanan. Ketersediaan tenaga
maupun fasilitas belum terpenuhi sedangkan
belum semua alat
dimanfaatkan dalam
pelayanan. Supervisi dari DKK maupun
puskesmas
belum
sesuai
dengan
kebutuhan. Saran: Disarankan kepada Dinas
Kesehatan dan Kepala Puskesmas untuk
meningkatkan
pengetahuan
dan
kemampuan
seperti
seminar,
diklat,
pelatihan teknis dan sosialisasi
standar
secara berkala serta melakukan supervisi
yang terjadwal dalam rangka untuk
meningkatkan kualitas, kuantitas dan
ketepatan waktu pelayanan MTBS.
Kata Kunci: Kinerja, bidan, MTBS.

175

Latar Belakang
Pada tahun 2008 sampai dengan 2010,
Angka Kematian Bayi di Kota Malang
berturut-turut sebesar
29,90 per 1000
kelahiran hidup, 29,30 per 1000 kelahiran
hidup dan 27,85 per 1000 kelahiran hidup
semuanya belum mencapai target MDGs
yaitu 17 per 1000 kelahiran hidup.
Sedangkan Kematian Balita pada tahun
2009 sampai dengan 2011 dilaporkan
sebanyak 10 balita, 7 balita dan 6 balita
dengan
kasus
diare,
gizi
buruk,
bronkopneumonia, kejang, dll. Sebagian
besar penyebab kematian bayi dan balita
dapat dicegah dengan teknologi sederhana
di tingkat pelayanan kesehatan dasar, salah
satunya adalah Manajemen Terpadu Balita
1
Sakit (MTBS) . Hasil kegiatan MTBS di
Kota Malang yang berupa cakupan hasil
kegiatan pelayanan MTBS , pada tahun
2010 sebesar 58,07 % dan pada tahun 2011
2
mengalami penurunan sebesar 49,38% .
Hal ini menunjukkan
bahwa cakupan
pelayanan MTBS di Kota Malang belum
mencapai target yaitu 80 % , padahal
pelaksanaan MTBS di Kota Malang sudah
diterapkan pada semua puskesmas sejak
tahun 2008.
Sesuai
dengan
Izin
dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan (Permenkes
No. 1464/MENKES/PER/X/2010)
pada
pasal 13 yaitu bidan yang menjalankan
program pemerintah
adalah
bidan
puskesmas
yang berwenang melakukan
pelayanan kesehatan, salah satunya adalah
penanganan bayi dan balita sakit sesuai
pedoman yang ditetapkan yaitu pedoman
3
yang digunakan adalah MTBS . Salah satu
tugas pokok dan fungsi bidan Puskesmas
yaitu memberikan pengobatan ringan bagi
ibu, bayi dan anak yang berkunjung ke
bagian KIA di Puskesmas dan membantu
kepala puskesmas dalam melaksanakan
4
kegiatan di Puskesmas
. Pelaksanaan
pelayanan MTBS di Kota Malang sudah
diterapkan pada semua puskesmas sejak
tahun 2008,
petugas puskesmas yang
dilatih hanya dokter dan bidan, sedangkan
perawat belum ada yang dilatih MTBS
sehingga pelayanan hanya dilakukan oleh
Bidan Puskesmas dan Dokter Puskesmas.
Menurut Bernardin and Russel terdapat
enam kriteria dasar untuk mengukur kinerja
yaitu: 1) Quality , 2) Quantity , 3) timeliness,
4) Cost-effectiveness , 5) Need for
5
supervision dan 6) interpersonal impact.
Menurut Gibson selain variabel individu
ada juga variabel organisasi yang berefek
terhadap perilaku dan kinerja individu,

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

variabel tersebut adalah


sumber daya,
kepemimpinan,
supervisi,
imbalan,
kebijakan, struktur organisasi dan desain
6
pekerjaan . Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis kinerja bidan puskesmas
dalam pelayanan MTBS di wilayah
puskesmas Kota Malang ditinjau dari aspek
kualitas,
kuantitas,
ketepatan
waktu,
efektifitas sumber daya, kebutuhan supervisi,
hubungan interpersonal dan kepemimpinan.
METODE PENELITIAN
Jenis
penelitian
adalah
deskriptif
kualitatif, sebagai informan utama adalah
bidan puskesmas di wilayah puskesmas
Kota malang yang berjumlah 8 orang. Data
dikumpulkan dengan wawancara mendalam
(indepth interview)
terhadap pelayanan
MTBS oleh bidan puskesmas, selanjutnya
dilakukan
pengolahan
data
dengan
menggunakan metode analisis isi (content
analysis).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kualitas Dalam Pelayanan
Kualitas pelayanan MTBS oleh bidan
puskesmas
adalah
bagaimana
bidan
puskesmas dalam melakukan persiapan
pelayanan MTBS dilihat dari persiapan alat
dan formulirnya serta
bagaimana bidan
puskesmas dalam menerapkan standar
pelayanan MTBS pada setiap kunjungan
awal maupun kunjungan ulang. Dari 8 bidan
puskesmas, sebagian besar
telah
melakukan persiapan secara lengkap, antara
lain
mempersiapkan
timbangan,
thermometer, timer/arloji, dan formulir MTBS.
Sebagian kecil belum mempersiapkan alat
secara lengkap,
hal ini sesuai dengan
ungkapan
salah
satu
bidan
yaitu:
Termometer,
Timer,
Formulir
MTBS
menurut saya sudah lengkap bu, karena
saya belum pernah ikut pelatihan MTBS jadi
alat yg lengkap itu seperti apa saya kurang
tahu .
Sedangkan penerapan standar MTBS
untuk semua kunjungan awal maupun
kunjungan ulang diperoleh hasil dari 8 bidan
puskesmas semuanya belum melaksanakan
pelayanan MTBS sesuai standar yang
meliputi penilaian awal, klasifikasi, tindakan
dan konseling. Penilaian awal berupa
pemeriksaan tanda bahaya umum belum
dilakukan, dimana langkah tersebut dapat
digunakan untuk
mengetahui sedini
mungkin apabila balita mempunyai masalah
kesehatan dengan kondisi berat, sehingga
dapat segera dilakukan penanganan.
Langkah-langkah dalam pelayanan MTBS

176

ISSN: 2086-3098

yaitu petugas harus mampu menilai anak


sakit, berarti melakukan penilaian dengan
cara anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Berdasarkan pedoman PWS-KIA dinyatakan
bahwa berdasarkan standar pelayanan
MTBS, bidan harus melakukan pemeriksaan
secara komprehensif. Dimana hal tersebut
berkaitan dengan persiapan alatalat
pemeriksaan
MTBS
yang
meliputi
termometer,
timer/arloji,
timbangan,
stetoskop, buku pedoman, dan dokumentasi
7
berupa formulir MTBS serta buku register .
Kuantitas Dalam Pelayanan MTBS
Hasil cakupan pelayanan MTBS dalam 1
tahun terakhir, didapatkan dari 8 bidan
puskesmas hanya sebagian kecil (2 bidan)
saja yang dapat memenuhi target sebesar
80%.
Hal ini disebabkan karena bidan
merasa
beban
tugas
yang
harus
diselesaikan cukup banyak sedangkan
jumlah tenaga sedikit dan banyak kegiatan
seperti posyandu, pelatihan atau mungkin
ada yang ijin. Sebagaimana diungkapkan
oleh salah satu bidan sebagai berikut:
Cakupan kurang lebih 50% soalnya
tenaganya
kurang
dan
sering
ke
posyandu..
Dalam
kaitannya
dengan
hasil
penanganan kasus selama 1 tahun terakhir,
didapatkan dari 8 bidan puskesmas
sebagian besar ( 6 bidan) mengatakan
bahwa periode 1 tahun ini belum pernah ada
kasus balita yang perlu penanganan khusus
karena kasus yang ditangani terbanyak
adalah kasus demam dan batuk pilek biasa.
Sesuai pedoman Departemen Kesehatan
disebutkan bahwa salah satu tugas pokok
bidan
puskesmas
dalam
pelayanan
kesehatan ibu dan anak adalah peningkatan
deteksi
dini
tanda
bahaya
dan
penanganannya sesuai standar pada bayi
4
dan anak balita.
Ketepatan Waktu Dalam Pelayanan MTBS
Dalam kaitannya dengan standar jadual
pelayanan MTBS untuk kunjungan awal
maupun kunjungan ulang, diperoleh hasil
dari 8 bidan puskesmas semuanya belum
melaksanakan pelayanan MTBS sesuai
standart jadual pelayanan dengan alasan
kalau pelayanan diberikan terlalu lama akan
membuat
pasien
menunggu
lama,
sebagaimana yang diungkapkan salah satu
bidan sebagai berikut: Kalau menggunakan
MTBS ya sekitar 5-10 menit , tapi ya tidak
semua kasus bu kalau terlalu lama kasihan
pasien yang lainnya ...
Sedangkan
untuk
pelaksanaan
pencatatan
hasil
pelayanan
MTBS,

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

didapatkan dari 8 bidan puskesmas


semuanya belum tertib terutama dalam
pengisian formulir MTBS.
Sebagaimana
yang dipaparkan Departemen Kesehatan,
bahwa salah satu manfaat dari pencatatan
dan pelaporan adalah untuk memantau hasil
kegiatan dan mengambil tindakan koreksi
secara cepat serta membuat analisis untuk
perbaikan program, sehingga dapat segera
8
ditindaklanjuti.
Efektifitas Sumber Daya dalam Pelayanan
MTBS
Berkaitan dengan dana operasional
kegiatan pelayanan MTBS, dari 8 bidan
puskesmas didapatkan 5 bidan puskesmas
tidak tahu mengenai dana yang digunakan ,
akan tetapi 3 bidan puskesmas lainnya
mengatakan bahwa untuk kegiatan MTBS
dana yang dibutuhkan hanya untuk
penggandaan formulir MTBS saja, hal ini
sesuai yang diungkapkan salah satu bidan
puskesmas sebagai berikut: Kalau untuk
MTBS ya paling hanya fotocopy formulirnya
aja bu, kalau formulir habis ya kita ajukan ke
pimpinan untuk fotocopy formulir..
Dengan
demikian
untuk
dapat
melaksanakan
program
MTBS,
para
pelaksana harus mendapat
dana yang
dibutuhkan agar program berjalan lancar.
Dana sebagai syarat kelancaran sebuah
program harus dialokasikan secara tepat,
demikian juga kelancaran dalam proses
penyediaan dan penggunaannya. Proses
tersebut
yang
menyebabkan
belum
maksimalnya
kegiatan
pelaksanaan
pelayanan MTBS. Sebaliknya penyediaan
dana yang cukup untuk operasional kegiatan
akan menjadi salah satu pendorong motivasi
petugas kesehatan untuk bekerja lebih
optimal. Penyediaan dana diperlukan untuk
menjamin kesinambungan akses dan
9
layanan yang berkualitas.
Terkait
dengan
ketersediaan
dan
kelengkapan alat serta pemanfaatan alat
didapatakan semua bidan puskesmas sudah
memiliki alat lengkap namun belum
memanfaatkan alat tersebut dengan baik.
Terkait dengan kendala tenaga dan fasilitas
dalam pelayanan MTBS, diperoleh hasil
sebagian
besar
bidan
puskesmas
mengatakan bahwa tenaga masih kurang
demikian juga untuk ruangan sangat sempit
sehingga mengganggu proses pelayanan
MTBS. Fasilitas yang lengkap dan sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan
(Standart of personals and facilities)
diharapkan dapat meningkatkan kualitas
mutu layanan. Sumber daya merupakan
faktor yang perlu ada untuk terlaksananya
suatu perilaku. Fasilitas yang tersedia

177

ISSN: 2086-3098

hendaknya dalam jumlah serta jenis yang


memadai dan selalu dalam keadaan siap
pakai. Untuk melakukan tindakan harus
ditunjang fasilitas yang lengkap, sebelumnya
10
harus sudah disiapkan.
Kebutuhan
Akan
Pelayanan MTBS

Supervisi

Dalam

Berkaitan dengan kegiatan supervisi


diperoleh hasil semua bidan puskesmas
menyatakan bahwa kegiatan supervisi yang
dilaksanakan selama ini tidak terjadual dan
belum dilaksanakan secara rutin, baik oleh
Kepala Puskesmas maupun dari Dinas
Kesehatan. Bidan merasa perlu adanya
bimbingan dan evaluasi dari kepala
puskesmas sehingga dapat meningkatkan
kinerja. Hal tersebut sesuai dengan
ungkapan salah satu bidan sebgai berikut:
Satu tahun sekali dari dinas ada supervisi,
kalau puskesmas tidak ada jadwal untuk
melakukan supervise ...
Menurut
Azwar,
supervisi
adalah
melakukan pengamatan secara langsung
dan berkala oleh atasan terhadap pekerjaan
yang dilaksanakan oleh bawahan untuk
kemudian apabila ditemukan masalah
segera diberikan petunjuk atau bantuan yang
11.
bersifat langsung guna mengatasinya.
Hubungan Kerjasama Dalam MTBS
Hubungan interpersonal (kerjasama)
dalam pelayanan MTBS adalah hubungan
antara bidan puskesmas dengan kepala
puskesmas, dokter pemberi pelayanan,
petugas gizi, petugas apotik serta sesama
rekan kerja dalam lingkup puskesmas.
Diperoleh hasil semua bidan puskesmas
mengatakan bahwa selama ini mereka saling
berkoordinasi dengan baik, seperti bila ada
kasus yang memerlukan rujukan ke dokter
atau ke petugas gizi maka bidan akan
melakukannya
dengan
tepat. Hal ini
sesuai yg diungkapkan oleh bidan sebagai
berikut: Semua bagus, ntuk apotik sesuai
dengan yg kita resepkan , untuk gizi kalau
kita kesulitan dalam memberikan KIE kita
rujuk ke petugas gizi begitu juga dokternya
.
Jalinan kerja sama dengan orang penting
yang ada di lingkup puskesmas sangat
penting, baik pada lintas sektor maupun
pada lintas program dalam memberikan
pelayanan kesehatan, sehingga
agar
program berjalan secara efektif dan efisien
maka
pengelolaan
program
harus
didasarkan
pada
prinsip-prinsip
kerja
12
sama.

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

Kepemimpinan Dalam Pelayanan MTBS


Kepemimpinan dalam pelayanan MTBS
adalah kepemimpinan kepala puskesmas
dalam
pengarahan dan pemberian
dukungan dalam pelayanan MTBS. Terkait
dengan bentuk arahan yang diberikan kepala
puskesmas kepada bidan dalam hal
peningkatan pelayanan MTBS, sebagian
besar bidan puskesmas mengatakan bahwa
arahan yang diberikan kepala puskesmas
hanya
mengingatkan
untuk
lebih
meningkatkan lagi dalam memberikan
pelayanan. Sesuai dengan pendapat Umar
(2002) kepemimpinan adalah sebagai proses
pengarahan dan mempengaruhi aktivitas
yang berkaitan dengan tugas dari para
anggota kelompok , (A.F Stoner yang dikutip
12 .
Umar)
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

ISSN: 2086-3098

tersedia dan lengkap akan tetapi belum


semuanya dimanfaatkan dalam pelayanan.
5. Kebutuhan Akan
Pelayanan MTBS.

Supervisi

Dalam

Semua bidan puskesmas membutuhkan


supervisi dan
bimbingan langsung dari
atasan
sebagai bentuk perhatian untuk
memotivasi dalam melaksanakan pekerjaan
yang
menjadi
tanggung
jawabnya,
khususnya dalam pelayanan MTBS secara
rutin dan terjadwal.
6. Hubungan
Interpersonal
Pelayanan MTBS.

Dalam

Semua bidan puskesmas telah menjalin


kerja sama cukup baik dengan Kepala
Puskesmas, dokter, petugas gizi, petugas
apotik dan rekan sekerja. Selama ini bidan
puskesmas sudah melakukan koordinasi
lintas program sehingga dapat membantu
dalam meningkatkan pelayanan MTBS.

1. Kualitas Dalam Pelayanan MTBS


7. Kepemimpinan dalam Pelayanan MTBS
Belum
semua
bidan
puskesmas
melaksanakan pelayanan MTBS sesuai
standar, hal ini ditunjukkan meskipun
fasilitas/ alat telah dimiliki oleh bidan
puskesmas
akan
tetapi
pada
saat
memberikan pelayanan belum semuanya
memanfaatkan
alat tersebut dengan
alasan tidak semua alat diperlukan dalam
pemeriksaan, tergantung pada kasusnya.
2. Kuantitas Dalam Pelayanan MTBS
Belum semua bidan puskesmas dapat
mencapai hasil cakupan pelayanan MTBS
sesuai target yang ditetapkan, hal ini
disebabkan karena bidan puskesmas
mempunyai banyak kegiatan lainnya dalam
waktu bersamaan.
3. Ketepatan
MTBS

Waktu

Dalam

Pelayanan

Arahan
yang
diberikan
kepala
puskesmas
merupakan
bentuk
kepemimpinan dalam pelayanan MTBS ,
telah dilakukan untuk mengingatkan bidan
puskesmas agar lebih meningkatkan lagi
dalam memberikan pelayanan MTBS.
Saran
Disarankan bagi Dinas Kesehatan dan
Puskesmas untuk dapat:
1. Meningkatkan
pengetahuan
dan
kemampuan petugas MTBS melalui
seminar, diklat, pelatihan teknis dan
sosialisasi standar secara berkala.
2. Meningkatkan kualitas supervisi, tidak
hanya melalui
pengawasan laporan
namun juga pengawasan saat kegiatan
berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA

Belum
semua
bidan
puskesmas
melaksanakan pelayanan MTBS sesuai
dengan standar jadual pelayanan,
hal
tersebut disebabkan apabila
standar
diterapkan mengakibatkan pasien menunggu
terlalu lama.
4. Efektifitas
Sumber
Pelayanan MTBS

Daya

2. Dinas Kesehatan Kota Malang. Laporan


Kegiatan KIA. Sie Kesga, Juni 2009

Dalam

Semua bidan telah memanfaatkan dana


pelayanan MTBS untuk penggandaan
formulir MTBS. Sedangkan alat alat telah

178

1. Depkes RI. Manajemen Terpadu Balita


Sakit (MTBS), Modul 1 8, Edisi Revisi
Dirjen Kesehatan RI Jakarta, 2008.

3. Permenkes
RI,
nomor
1464/MENKES/PER/X/2010, tentang Izin
dan Penyelenggaraan Praktik Bidan
4. Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia, Pedoman Kinerja Puskesmas

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

Jilid I, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia,
Jakarta,
1991.
tidak
dipublikasikan.
5. Bernardin,John, and Joyce E.A.Russel:
Human Resource Management, Second
edition,
Mc-Graw
Hill,
Book
Co.Singapore,1998
6. Gibson, James L. John M. Ivancevich
J.H. Donelly Jr.Organization: Behaviour,
th
Structure, Procesess,7 , ed, Irwan,
Boston,1996
7. Depkes RI.Petunjuk Teknis Penggunaan
Buku Kesehatan Ibu dan Anak, Depkes
Ri dan JICA, Jakarta,2009
8. PP I. Standar Pelayanan Kebidanan.
Jakarta: IBI; 2006.
9. Hasibuan M. Manajemen Sumber Daya
Manusia. Jakarta: Bumi Aksara; 2009.
10. McCloy R, JP, Cudeck. R Comfimatory
test Of Model Performance Determinan ;
Jurnal Of Aplied Psychology, 79,44,493505.
11. Azwar.A.Pengantar
Administrasi
kesehatan, Binarupa Aksara: Jakarta,
1996
12. Umar. Riset Sumber Daya Manusia
dalam Organisasi, Cetakan ke VII.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2002.

179

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

PENDAHULUAN
FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL
TERKAIT DENGAN
KINERJA BIDAN DESA
DALAM KUNJUNGAN NEONATAL
DI KABUPATEN PATI, TAHUN 2012
Ferry Rachmawatie Suryaningtyas
(Akademi Kebidanan Duta Dharma Pati)
Sri Achadi Nugraheni
(FKM Universitas Diponegoro Semarang)
Atik Mawarni
(FKM Universitas Diponegoro Semarang)
ABSTRAK
Latar belakang: Kunjungan Neonatal di
Kabupaten Pati selama 3 tahun terakhir
cenderung mengalami fluktuasi, 93,75%
pada tahun 2009, 90,79% pada tahun 2010
dan 97,02% pada tahun 2011. Keadaan ini
menunjukkan belum semua bidan desa
melaksanakan Kunjungan Neonatal. Tujuan:
Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis
faktor internal dan faktor eksternal yang
berhubungan dengan kinerja bidan desa
dalam kunjungan neonatal di Kabupaten
Pati. Metode: Jenis penelitian adalah studi
kuantitatif dengan pendekatan crosssectional. Subjek sejumlah 82 bidan desa
yang dipilih secara Cluster. Pengumpulan
data
dilakukan
dengan
wawancara
menggunakan kuesioner terstruktur. Data
dianalisis secara univariat, bivariat dan
multivariat. Hasil: Rerata umur bidan desa
30 tahun, rerata masa kerja 5,7 tahun,
91,5% berstatus kawin,
70,7% memiliki
pengetahuan baik dan sebagian besar
62,2% memiliki motivasi baik. Sebagian
besar bidan desa 75,6% menyatakan
supervisi baik, 51,2% memiliki persepsi
kepemimpinan baik, 56,1% belum pernah
mengikuti
pelatihan
kegawatdaruratan
neonatal dan sebagian besar 65,9%
menyatakan kompensasi yg diterima baik.
Simpulan: Faktor yang berhubungan dengan
kinerja adalah
pengetahuan, supervisi,
kompensasi dan motivasi kerja. Saran:
Disarankan kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten Pati, untuk meningkatkan kinerja
bidan desa dalam kunjungan neonatal perlu
dilakukan secara bersama sama kegiatan
peningkatan
supervisi yang disertai
pemberian kompensai
dan perbaikan
motivasi kerja.
Kata

Kunci:

180

kinerja, bidan,
Neonatal

Latar Belakang
Program penempatan bidan di desa
merupakan salah satu terobosan yang
dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan
anak. Salah satu tugas bidan desa adalah
melakukan pelayana bayi neonatal baik
kunjungan pertama (KN1), kunjungan kedua
(KN2), kunjungan ketiga (KN3) dan
kunjungan neonatal secara lengkap. Pada
tahun 2011 hasil cakupan KN1 dan KN
lengkap di Kabupaten Pati belum optimal,
dari 29 puskesmas terdapat 12 puskesmas
yang gagal mencapai target untuk KN1,
demikian juga terdapat 17 puskesmas yang
1
gagal mencapai target untuk KN lengkap.
Keadaan ini menggambarkan bahwa
kinerja bidan desa dalam kunjungan
neonatal belum baik. Kondisi tersebut juga
menunjukan bahwa penurunan AKB berjalan
dengan lambat dengan kualitas kinerja
pelayanan tenaga kesehatan pada bayi
1, 2, 3
masih rendah.
Kinerja adalah keluaran yang dihasilkan
oleh fungsi-fungsi atau indikator-indikator
suatu pekerjaan dalam waktu tertentu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
ada dua yaitu faktor internal dan faktor
eksternal.
Faktor
internal
yang
mempengaruhi kinerja adalah umur, status
perkawinan, masa kerja, pengetahuan, dan
motivasi. Sedangkan faktor eksternal yang
mempengaruhi kinerja adalah supervisi,
kepemimpinan, pelatihan, kompensasi dan
4, 5
rekan kerja.
Berdasarkan latar belakang tersebut
diatas maka dilakukan penelitian yang
bertujuan untuk menganalisis faktor internal
dan faktor eksternal yang berhubungan
dengan kinerja bidan desa dalam kunjungan
neonatal di Kabupaten Pati.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian adalah studi kuantitatif
dengan pendekatan Crossectional. Populasi
penelitian adalah seluruh bidan desa di
kabupaten Pati sebanyak 434 orang,
sampel dipilih secara Cluster sebanyak 82
bidan desa. Data dianalisis secara univariat,
bivariat
dan
multivariat
dengan
menggunakan Distribusi Frekuensi, Chi
6
Square dan Regresi Logistik.

kunjungan

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan Tabel 2, sebagian dari


bidan desa (58,5%) berumur > 30 tahun.
Hal ini dapat dijadikan gambaran bahwa
bidan desa di Kabupaten Pati termasuk ke
dalam angkatan kerja yang cukup produktif
dan relatif masih dapat dikembangkan untuk
8
mendapatkan hasil kerja yang lebih optimal.
Terkait dengan status perkawinan hampir
semua bidan desa (91,5%) berstatus kawin,
kondisi ini akan memotivasi untuk bekerja
lebih giat lagi sehingga memperoleh hasil
kerja lebih baik yang dapat dipergunakan
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
8
keluarga dibandingkan yang belum kawin.
Terkait dengan masa kerja, diperoleh ratarata sebesar 5,7 tahun, masa kerja
berhubungan
negatif
dengan
keluar
masuknya karyawan dan sebagai salah satu
peramal tunggal paling baik tentang keluar
8
masuknya karyawan.
Untuk pengetahuan,
sebagian besar bidan desa
(70,7%)
mempunyai pengetahuan baik. Pengetahuan
merupakan akumulasi dari hasil proses
pendidikan baik yang diperoleh secara
formal maupun non formal yang memberi
kontribusi pada seseorang di dalam
pemecahan masalah, daya cipta, termasuk
dalam melakukan atau menyelesaikan
pekerjaan, dengan pengetahuan luas
seorang individu mampu melaksanakan
9
tugasnya dengan baik. Mengenai motivasi,
sebagian
dari
bidan
desa
(62,2%)
mempunyai
motivasi
baik.
Handoko
menyatakan motivasi adalah keadaan dari
pribadi
seseorang
yang
mendorong
keinginan individu untuk melakukan kegiatan
7
tertentu guna mencapai tujuan.

Kinerja Bidan Desa dalam Kunjungan


Neonatal di Kabupaten Pati
Kinerja Bidan Desa dalam kunjungan
neonatal digambarkan pada Tabel 1 sebagai
berikut:
Tabel 1. Distribusi Kinerja Bidan Desa
dalam Kunjungan Neonatal
di Kabupaten Pati Tahun 2012
Kinerja
Kurang Baik
Baik
Total

Frekuensi
28
54
82

Persentase
34,1
65,9
100%

Berdasarkan Tabel 1 diperoleh hasil


bahwa sebagian besar bidan desa (65,9%)
mempunyai kinerja baik. Kinerja didefinisikan
seperti perilaku yaitu sesuai yang dilakukan
oleh seseorang secara sebenarnya dan
7
dapat diobservasi.
Deskripsi Faktor Internal
Dalam Kunjungan Neonatal

Bidan Desa

Gambaran faktor internal Bidan Desa


yang terdiri dari umur, status perkawinan,
masa kerja, pengetahuan, motivasi terdapat
pada Tabel 2 sebagai berikut:
Tabel 2. Distribusi Faktor Internal
Bidan Desa dalam Kunjungan Neonatal
di Kabupaten Pati Tahun 2012
Variabel
Umur

Status
Perkawinan

Masa Kerja

Pengetahuan

Motivasi

181

Kategori
Muda
< 30 TH
Tua
> 30 TH

f
Median
& SD
30 + 5,6
tahun

Kawin

77

Tidak
5
Kawin
Baru
Median
< 5,7 TH
& SD
5,7 + 4,2
Lama
tahun
> 5,7 TH

Deskripsi Faktor Eksternal Bidan Desa


Dalam Kunjungan Neonatal

41,5%
58,5%
91,5%

Tabel 3. Distribusi Faktor Eksternal


Bidan Desa dalam Kunjungan Neonatal
di Kabupaten Pati Tahun 2012

8,5%

Variabel
Supervisi

57,3%

Kepemimpinan

42,7%

Pelatihan
Kompensasi

Baik

58

70,7%

Kurang
Baik

24

29,3%

Baik

58

62,2%

Kurang
Baik

31

37,8%

Kategori
Baik
Kurang Baik
Baik
Kurang Baik
Pernah
Belum Pernah
Baik
Kurang Baik

f
62
20
42
40
48
36
54
28

%
75,6%
24,4%
51,2%
48,8%
56,1
49,9
65,9%
24,1%

Gambaran faktor eksternal Bidan Desa


yang terdiri dari persepsi supervisi, persepsi
kepemimpinan, pelatihan dan kompensasi
terdapat pada Tabel 3.
Sebagian besar bidan desa (75,6%)
mempunyai persepsi baik terhadap supervisi
yang dilakukan oleh puskesmas. Secara

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

182

p value
0,011

11 22,9 37 77,1

6,492

17 50,0 17 50,0

27 36,0 48 64,0
28 34,1 54 65,9
23 48,9 24 51,1
5

14,3 30 85,7

28

34,1 54 65,9

21 87,5

12,5

7 12,1 51 87,9
28 34,1 54 65,9
21 67,7 10 32,3
7 13,7 44 86,3
28 34,1 54 65,9

0,247

85,7

0,001

0,0001

14,3

0,0001

1,342

28 34,1 54 65,9

10,711

Kategori

< 30
tahun
Umur
> 30
tahun
Total
Status Tidak
per- Kawin
kawin- Kawin
an
Total
< 5,7
Tahun
Masa
> 5,7
Kerja
Tahun
Total
Kurang
Penge- Baik
tahuan Baik
Total
Kurang
Motiva- Baik
si
Baik
Total

Kinerja Bidan Desa


Kurang
Baik
Baik
f
%
f
%

42,954

Berdasarkan Tabel 4, terdapat hubungan


yang bermakana anatara umur dengan
kinerja ( p =0,011 ). Karyawan yang sudah
lama bekerja di sebuah perusahaan dapat
mengalami peningkatan kinerja, karena lebih
berpengalaman daripada yang muda.
Karyaawan muda umumnya mempunyai fisik
yang lebih kuat, dinamis, kreatif, tetapi cepat
bosan,
kurang
bertanggung
jawab,
cenderung absensi, turn over-nya tinggi.
Karyawan lebih tua kondisi fisiknya kurang,
tetapi bekerja ulet dan bertanggung jawab
11
besar, absensi dan turn over-nya rendah.
Terkait dengan status perkawinan diperoleh
hasil tidak berhubungan secara bermakna
dengan kinerja ( p =0,247 ), hasil tersebut
bertentangan dengan teori hubungan status
perkawinan dan kinerja yaitu perkawinan

Tabel 4. Hubungan Faktor Internal


dengan Kinerja Bidan Desa

25,018

Hubungan Faktor Internal Dengan Kinerja


Bidan Desa Dalam Kunjungan Neonatal.

menuntut tanggung jawab keluarga yang


lebih besar, sehingga peningkatan posisi
dalam pekerjaan menjadi sangat penting,
atau mungkin saja karena sudah kawin
11
menjadi rajin bekerja.
Masa Kerja
berhubungan sangat bermakna dengan
Kinerja ( p=0,001 ). Mereka yang
berpengalaman dipandang lebih mampu
dalam pelaksanaan tugas, makin lama masa
kerja seseorang kecakapan mereka akan
lebih baik, karena sudah menyesuaikan
12
dengan pekerjaannya.
Pengetahuan
berhubungan sangat bermakna dengan
kinerja
(p
=0,0001).
Pengetahuan
merupakan kumpulan informasi yang
dipahami, diperoleh dari proses belajar
selama hidup dan dapat digunakan sewaktuwaktu sebagai alat penyesuaian diri baik
terhadap
diri
sendiri
maupun
12
lingkungannya.
Motivasi
kerja
berhubungan sangat bermakna dengan
kinerja ( p =0,0001). Motivasi mempunyai arti
mendasar sebagai inisiatif penggerak
perilaku seseorang secara optimal, hal ini
disebabkan karena motivasi merupakan
kondisi internal, kejiwaan dan mental
manusia seperti aneka keinginan, harapan,
kebutuhan, dorongan dan kesukaan yang
mendorong individu untuk berperilaku kerja,
untuk mencapai kepuasan atau mengurangi
13
ketidakseimbangan.

Variabel

sederhana supervisi adalah untuk membuat


atau mendapatkan para karyawan yang
menjadi bawahannya melakukan apa yang
diinginkan dan apa yang harus mereka
lakukan dengan menggunakan kemampuan
motivasi, komunikasi dan kepemimpinan
untuk mengarahkan karyawan mengerjakan
sesuatu
yang
ditugaskan
kepada
10
bawahannya.
Untuk persepsi terhadap
kepemimpinan, masih cukup banyak bidan
desa dalam katagori kurang baik (48,8%).
Kepemimpinan adalah seni atau proses
untuk mempengaruhi orang lain sehingga
mereka bersedia dengan kemampuan
sendiri dan secara antusias bekerja untuk
7
mencapai tujuan organisasi. Terkait dengan
pelatihan, masih cukup banyak bidan desa
(49,9%) yang belum pernah mendapatkan
pelatihan (56,1%). Pelatihan merupakan
bagian dari pendidikan yang
bersifat
spesifik, praktis dan segera. Spesifik berarti
pelatihan berhubungan dengan bidang
pekerjaan yang dilakukan, praktis dan
segera berarti yang sudah dilatihkan dapat
dipraktikkan.
Umumnya
pelatihan
dimaksudkan
untuk
memperbaiki
penguasaan berbagai ketrampilan kerja
9
dalam waktu yang relatif singkat. Terkait
dengan kompensasi, sebagian dari bidan
desa (65,9%) dalam katagori
baik .
Kompensasi merupakan pengakuan dan
penghargaan
manajemen
terhadap
karyawan, kompensasi yang proposional
akan memotivasi dan memuaskan karyawan,
sebaliknya
kompensasi
yang
tidak
proposional akan menimbulkan keluhan,
penurunan prestasi, kepuasan kerja dan
menurunnya moral pekerja, begitu juga
halnya jika persepsi karyawan terhadap
7
kompensasi kurang baik.

ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

Hubungan Faktor Eksternal


Dengan
Kinerja Bidan Desa Dalam Kunjungan
Neonatal.
Analisis hubungan
antara variabel
eksternal dengan kinerja bidan desa dalam
kunjungan neonatal terdapat pada Tabel 5.

p value
0,0001
0,003
0,0001
0,0001

Hubungan secara bersama sama antara


variabel internal dan eksternal terhadap
kunjungan neonatal
dilakukan dengan
regresi logistik dengan hasil pada tabel 6
sebagai berikut:

15,122

Hubungan Multivariat antara faktor


internal dan eksternal dengan kinerja
bidan desa dalam kunjungan neonatal .

8,279

14 70,0 6 30,0
14 22,6 48 77,4

25,246

Baik
Supervisi Kurang
baik
Total
Kurang
Persepsi
Baik
KepeBaik
mimpinan
Total
Tidak
Pernah
Pelatihan
Pernah
Total
Kurang
Kompen- Baik
sasi
Baik
Total

Kinerja Bidan Desa


Kurang
Baik
Baik
f
%
f
%

28 34,1 54 65,9
20 50,0 20 50,0
8 19,0 34 81,0
28 34,1 54 65,9
23 63,9 13 36,1
5 10,9 41 89,1
28 34,1 54 65,9
18 64,3 10 35,7
10 18,5 44 81,5
28 34,1 54 65,9

Berdasarkan Tabel 5, terdapat hubungan


sangat bermakna antara supervisi dengan
kinerja (p= 0,0001).
Supervisi adalah
melakukan pengamatan secara langsung
dan berkala oleh atasan terhadap pekerjaan
yang dilakukan oleh bawahan untuk
kemudian apabila ditemukan masalah
segera diberikan petunjuk dan bantuan yang
14
bersifat langsung guna mengatasinya.
Terkait dengan kepemimpinan, terdapat
hubungan
sangat
bermakna
antara
kepemimpinan dengan kinerja (p = 0,003).
Dalam suatu organisasi kepemimpinan
merupakan hal yang penting karena ada
bukti bahwa kepemimpinan berpengaruh
terhadap kinerja dan kepemimpinan berarti
kemampuan
untuk
mengendalikan
organisasi
melalui
perencanaan,
pengorganisasian,
penggerakkan
dan
pengawasan dalam rangka mencapai
8
tujuan. Untuk variabel pelatihan, terdapat
hubungan sangat bermakna antara pelatihan
dengan kinerja ( p= 0,0001). Pelatihan
merupakan serangkaian aktivitas yang
dirancang untuk meningkatkan pengetahuan,
kemampuan, ketrampilan, sikap dan kinerja
sumber daya manusia.
Aktivitas ini
mengajarkan keahlian baru, memperbaiki
keahlian yang ada dan mempengaruhi sikap
14
dan tanggung jawab para karyawan.

183

Dalam kaitannya dengan kompensasi,


terdapat hubungan sangat bermakna antara
kompensasi dengan kinerja ( p= 0,0001 ),
suatu kompensasi akan dapat meningkatkan
atau menurunkan prestasi kerja atau
memotivasi karyawan. Jika para karyawan
berpersepsi kompensasi mereka tidak
memadai, prestasi kerja, motivasi maupun
kepuasan kerja dapat menurun drastis.
Program-program kompensasi sangatlah
penting untuk mendapatkan perhatian yang
sungguh-sungguh karena mencerminkan
adanya usaha organisasi atau perusahaan
untuk mempertahankan kinerja sumber daya
15
manusia.

17,176

Kategori

Variabel

Tabel 5. Hubungan Faktor Eksternal


dengan Kinerja Bidan Desa

ISSN: 2086-3098

Tabel 6. Uji Regresi Logistik Variabel Bebas


dengan Variabel Terikat
Variabel

p
value

Exp.(B)

Umur

0,050

0,009

Status
Perkawinan

0,873

0,249

Masa Kerja

0,069

25,855

Pelatihan

0,260

19,948

Pengetahuan

0,013

75,798

Motivasi Kerja 0,024

24,517

Kepemimpinan 0,887

0,818

Supervisi

0,046

23,109

Kompensasi

0,020

33,458

Keterangan
Tidak Ada
Pengaruh
Tidak Ada
Pengaruh
Tidak Ada
Pengaruh
Tidak Ada
Pengaruh
Ada
Pengaruh
Ada
Pengaruh
Tidak Ada
Pengaruh
Ada
pengaruh
Ada
pengaruh

Berdasarkan Tabel 6 dapat disimpulkan


bahwa ada 4 (empat) variabel yang
berhubungan dengan kinerja bidan desa
dalam kunjungan neonatal (p value < 0,05
dan nilai Exp. (B) > 2), variabel tersebut
adalah
pengetahuan,
motivasi
kerja,
supervisi dan kompensasi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Median umur bidan desa 30 tahun dan
median masa kerja 5,7 tahun. Hampir

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

semua bidan desa (91,5%) berstatus


kawin,
sebagaian besar bidan desa
(70,7%) memiliki pengetahuan baik dan
sebagian bidan desa (62,2%) memiliki
motivasi kerja baik.
2. Sebagian bidan desa 65,9 % sudah
melaksanakan
kunjungan
neonatal
dengan baik, sebagian besar bidan desa
(75,6%) menyatakan supervisi telah
dilakukan dengan baik, sebagian bidan
desa
(51,2%)
memiliki
persepsi
kepemimpinan baik, sebagian bidan desa
(56,1%)
belum
pernah
mengikuti
pelatihan kegawatdaruratan neonatal dan
sebagian
bidan
desa
(65,9%)
menyatakan kompensasi yg diterima
baik.
3. Dari semua variable yg diteliti, yang
berpengaruh terhadap kinerja bidan desa
dalam kunjungan neonatal adalah
pengetahuan, supervisi, kompensasi dan
motivasi kerja.
Saran
Untuk meningkatkan kinerja bidan desa
dalam kunjungan neonatal perlu dilakukan
secara bersama sama kegiatan peningkatan
pengetahuan
yang disertai peningkatan
supervisi, pemberian kompensai
dan
peningkatan motivasi kerja.
DAFTAR PUSTAKA.

ISSN: 2086-3098

8. Robbins, S.P. Prilaku Organisasi, Jilid II,


Edisi bahasa Indonesia, PT Prenhalindo,
Jakarta, 1996
9. S.J. Wells, Forget the Formal Training.
Try Chating at the Water Cooler, New
York Times, hal 11, 1998
10. Depkes RI. Pedoman Pembinaan Teknis
Bidan di Desa, Dirjend Binkesmas,
Jakarta, 1997
11. Muchlas, M. Perilaku Organisasi II,
Program Pendidikan Pasca Sarjana
Magister Manajeman Rumah Sakit,
UGM, Yogyakarta, 1997
12. Suwarto, FX. Perilaku Keorganisasian,
Buku Panduan Mahasiswa, penerbit
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Edisi
I, 1999
13. Bernardin,John, and Joyce E.A.Russel:
Human Resource Management, Second
edition,
Mc-Graw
Hill,
Book
Co.Singapore,1998
14. Rivai, Veithzal. Performance Appraisal,
PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2005
15. Hasibuan, M.S.P. Manajemen Sumber
Daya Manusia. Edisi Revisi, Jakarta :
Bumi Aksara, 2002

1. Dinas Kesehatan Kabupaten Pati, Profil


Kesehatan Kabupaten Pati, 2011
2. Dinas Kesehatan Kabupaten Pati Profil
Kesehatan Kabupaten Pati, 2009
3. Dinas Kesehatan Kabupaten Pati Profil
Kesehatan Kabupaten Pati, 2010
4. Berry, LM, Houston, JP, Psycology at
work : An Introduction to industrial and
organizational psychology. Brown &
Benchmark, Ltd. 1993
5. Timpe. Seri Manajeman Sumber Daya
Manusia, Cetakan ke II, PT Elex Media
Komputindo
Kelompok
Gramedia,
Jakarta, 1999
6. Dahlan, S. Statistik Untuk Kedokteran
dan Kesehatan. Salemba Medika,
Jakarta, 2009
7. Handoko, H. Manajemen Personalia Dan
Sumber Daya Manusia. Edisi 2, BPFE,
Yogyakarta, 1995

184

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

PERBEDAAN KEJADIAN DIARE PADA


BAYI 0-6 BULAN YANG DIBERI ASI
DENGAN YANG DIBERI SUSU FORMULA
(DI BPS ASRI Desa Baturetno Kecamatan
Tuban Kabupaten Tuban)
Suwarni
(Jurusan Kebidanan,
Poltekkes Kemenkes Surabaya)
Sri Utami
(Jurusan Kebidanan,
Poltekkes Kemenkes Surabaya)
Evi Yunita Nugrahini
(Jurusan Kebidanan,
Poltekkes Kemenkes Surabaya)
ABSTRAK
Latar belakang: Masyarakat masih banyak
yang kurang memahami pentingnya ASI
sehingga cakupan ASI Eksklusif rendah
justru pemberian susu formula meningkat.
Berdasarkan survei awal bulan Oktober
sampai Desember 2009 di BPS ASRI Desa
Baturetno Kec.Tuban Kab. Tuban, dari 60
bayi yang ada terdapat 30 (50%) bayi hanya
diberi ASI saja, 20 (33,3%) bayi diberi susu
formula dan 10 diberi ASI dan PASI. Dari
bayi yang diberi ASI terdapat 7 bayi (23,3%)
yang mengalami diare dan bayi yang diberi
PASI terdapat 8 bayi (40%) yang mengalami
diare. Metode: Jenis penelitian ini adalah
analitik dengan pendekatan Cross Sectional.
Teknik pengambilan sampel dengan Simple
Random Sampling dengan besar sampel 28
bayi yang berusia 0-6 bulan yang periksa di
BPS ASRI. Penelitian dilakukan pada bulan
April sampai Juni 2010 di BPS ASRI Desa
Baturetno Kec. Tuban Kab. Tuban. Variabel
independent adalah bayi usia 0-6 bulan yang
diberi ASI dan susu formula, sedangkan
variabel dependent dadalh kejadian diare.
Instrumen yang digunakan adalah kuesioner.
Data dianalisis dengan uji Chi Square
dengan = 0,05. Hasil: Paling banyak bayi
11 (39,3%) diberikan ASI. Sebanyak 18
(64,3%) bayi tidak mengalami diare. Hasil
analisis uji chi square diperoleh p = 0,025.
Karena p < yaitu p = 0,025 lebih kecil dari
0,05 maka diartikan bahwa H1 diterima
sehingga dapat diartikan bahwa ada
perbedaan kejadian diare pada bayi 0-6
bulan yang diberi ASI dengan yang diberi
PASI di BPS ASRI Desa Baturetno
Kecamatan Tuban Kabupaten Tuban.
Simpulan: Bayi yang diberi ASI saja
sebagian besar tidak mengalami kejadian
diare dan bayi yang diberi PASI sebagian
besar mangalami diare.
Kata Kunci: ASI, Susu formula, Kejadian
Diare

185

ISSN: 2086-3098

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diare merupakan gangguan pencernaan
yang sering dialami oleh semua orang
terutama bayi dan anak-anak. Hal ini
disebabkan daya kebal tubuh relatif kurang
sehingga
mudah
terserang
infeksi
(Soegijanto S, 2002). Dari hasil pengamatan
di lapangan, bayi yang mendapat ASI
Eksklusif sampai 6 bulan frekuensi terkena
diare sangat kecil, sedangkan pada
kelompok bayi yang mendapat susu formula
lebih sering mengalami diare (Purwanti,
2004). Para ahli menyarankan agar para ibu
memberikan
ASI
Eksklusif,
tidak
memberikan makanan apapun kepada bayi
kecuali ASI selama 6 bulan pertama sejak
lahir karena menyusui merupakan cara
terbaik dan paling ideal dalam pemberian
makanan bayi baru lahir dan bagian tak
terpisahkan dari proses reproduksi (IDAI
Jaya, dr. Badrul Hegar, SpA(k), Kompas, 1
April 2006).
Secara medis, diare dapat diartikan
sebagai peningkatan frekuensi buang air
besar yang disertai perubahan kotoran
menjadi lebih encer dan cair. Diare dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari
infeksi,
malabsorbsi,
makanan
dan
psikologis. Malabsorbsi yang sering terjadi
pada bayi adalah intoleransi laktosa
(ketidakmampuan mencerna laktosa akibat
kekurangan enzim lactase). Intoleransi
laktosa dapat terjadi terhadap susu sapi
murni atau pada susu formula (Anonim,
2006). Umumnya diare pada bayi datang
akibat pencernaan bayi kemasukan bakteri,
sumbernya bisa dari kurang higienisnya saat
pemberian susu formula, tetapi bisa juga
karena si kecil alergi terhadap protein susu
sapi
yang
terkandung
dalam
susu
formula.(Kusnan, 2006).
Menurut laporan Departemen Kesehatan
bahwa pemberian ASI Eksklusif mengalami
penurunan. Pada tahun 2008 sebanyak
42,4% dan turun menjadi 39,5% pada tahun
2009,
sebaliknya susu formula justru
mengalami peningkatan dari 10,8% menjadi
32,45% (Depkes RI, 2009). Berdasarkan
data Dinas Kesahatan Kabupaten Tuban
pada tahun 2009 angka kejadian diare pada
bayi dan balita sebesar 22,72% (Laporan
Diare Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban
2009), dari Laporan Puskesmas Kebonsari
Kabupaten Tuban tahun 2009, bayi 1
tahun yang mengalami diare sebanyak 63
bayi dari 696 bayi yang berkunjung di
Puskesmas (9,05%). Berdasarkan survey
awal bulan Oktober sampai Desember 2009,
di BPS ASRI Desa Baturetno Kecamatan

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

Tuban Kabupaten Tuban dari 30 bayi yng


diberi ASI terdapat 7 bayi (23,3%) yang
mengalami diare dan dari 20 bayi yang diberi
susu formula terdapat 8 (40%) yang
mengalami diare.
Dampak yang ditimbulkan dari diare
adalah terjadi kekurangan cairan (dehidrasi),
gangguan keseimbangan asam basa,
hipoglikemia, gangguan gizi dan gangguan
sirkulasi serta pada keadaan tertentu infeksi
akibat kuman-kuman ini juga dapat
menyebabkan perdarahan (Mansjoer Arif,
2000:470). Selain itu, bila setelah diare tidak
dilakukan terapi gizi dengan sempurna, bayi
akan terancam kekurangan gizi yang bisa
berlanjut ke gangguan pertumbuhan.
Berdasarkan uraian latar belakang di
atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang Perbedaan Kejadian
Diare pada Bayi 0-6 bulan yang diberi ASI
sehingga perlu dilakukan penelitian tentang
Perbedaan kejadian Diare pada Bayi 0-6
bulan yang diberi ASI dengan yang Diberi
Susu Formula di BPS ASRI Desa Baturetno
Kecamatan Tuban Kabupaten Tuban.

ISSN: 2086-3098

Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi pemberian ASI dan susu
formula pada bayi 0 6 bulan di BPS
ASRI Desa Baturetno Kecamatan Tuban
Kabupaten Tuban.
2. Mengidentifikasi kejadian diare pada bayi
0 6 bulan yang diberi ASI dan yang
diberi susu formula di BPS ASRI Desa
Baturetno Kecamatan Tuban Kabupaten
Tuban
3. Menganalisis perbedaan kejadian diare
pada bayi yang diberi ASI dengan yang
diberi susu formula.
Hipotesis
Hipotesa dalam penelitian ini adalah: ada
perbedaan kejadian diare pada bayi yang
diberi ASI dengan bayi yang diberi susu
formula di BPS ASRI Desa Baturetno
Kecamatan Tuban Kabupaten Tuban.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian

Identifikasi Masalah
Menurut Ngastiyah (2005) faktor-faktor
yang menjadi penyebab diare adalah 1)
faktor infeksi yang meliputi infeksi bakteri,
infeksi virus, infeksi parasit, infeksi
parenteral, 2) Faktor malabsorbsi meliputi
malabsorbsi karbohidrat, malabsorbsi lemak,
malabsorbsi protein, 3) Faktor makanan, 4)
Faktor psikologis, 5) faktor sanitasi
lingkungan (Anonim, 2004), 6) Pendapatan
keluarga (Ahmadi, 1997), 7) Faktor
pendidikan (Notoatmojo, 2003), 8) Faktor
budaya (Anonim, 2006).
Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan kejadian diare
pada bayi 06 bulan yang diberi ASI dengan
yang diberi susu formula di BPS ASRI Desa
Baturetno Kecamatan Tuban Kabupaten
Tuban?

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Menganalisis Perbedaan Kejadian Diare
pada Bayi yang Diberi ASI dengan yang
Diberi Susu Formula di BPS ASRI Desa
Baturetno Kecamatan Tuban Kabupaten
Tuban.

186

Penelitian
ini
menggunakan
jenis
penelitian
analitik.
Penelitian
ini
dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan
kejadian diare pada bayi yang diberi ASI
dengan bayi yang diberi susu formula di BPS
ASRI Desa Baturetno Kecamatan Tuban
Kabupaten Tuban.
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan
cross sectional yaitu jenis penelitian yang
menekankan pada waktu pengukuran atau
observasi data variabel independent dan
variabel dependent hanya satu kali satu saat
(Nursalam, 2003).
Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Cara
Pengambilan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah
semua bayi usia 0 6 bulan yang periksa ke
BPS ASRI Desa Baturetno Kecamatan
Tuban Kabupaten Tuban sebanyak 60
bayi.
Sampel yang diambil dalam penelitian ini
adalah sebagian bayi usia 0-6 bulan yang
periksa ke BPS ASRI yang memiliki kriteria
inklusi sebagai berikut :
1. Bayi yang tidak sedang sakit infeksi
kronis
2. Bayi yang tidak KEP, ibu dan bayi yang
bersedia di teliti.
Besar sampel adalah banyaknya anggota
yang akan dijadikan sampel. Besar sampel

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

yang digunakan dalam penelitian ini dengan


menggunakan rumus:

NZ 2 p.q
n
d 2 ( N 1) Z 2 p.q
Keterangan :
n = besar sampel
N = besar populasi
Z = nilai standar normal untuk
(1,96)

= 0,05

p = perkiraan proporsi (0,5)


q = 1-p atau 100% -p (0,5)
d = tingkat kepercayaan atau ketepatan yang
diinginka (0,05)
(Dikutip dari Zainudin M, 2000)

Perhitungan:

60(1,96) 2 x0,05x0,05
0,05 (60 1) (1,96) 2 x0,05x0,05

ISSN: 2086-3098

Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini pengumpulan data
dilakukan oleh peneliti sendiri dengan
memberikan informed consent, kemudian
menyebarkan kuesioner terhadap ibu-ibu
yang membawa bayinya dengan usia 0-6
bulan untuk periksa ke BPS ASRI Desa
Baturetno Kecamatan Tuban Kabupaten
Tuban. Sedangkan instrumen pengumpulan
data dengan memberikan kuisioner.
Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Dalam penelitian ini data yang terkumpul
akan dianalisis dengan uji statistik Chi
2
Square ( ) dengan = 0,05 menggunakan
program
SPSS
versi
12.0
untuk
menganalisa asosiasi suatu variabel dan
juga pengaruh suatu variabel. Uji ini
bertujuan
untuk
mengetahui
pengaruh/perbedaan
pada
variabel
independen terhadap variabel dependent.
Bila uji statistik menunjukkan p < 0,05
artinya ada perbedaan yang signifikan pada
variabel independen terhadap variabel
dependent (Sugiono, 2002).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

60 (3,8416 ) x0,05 x0,05


0,0025 x59 (3,8416 ) x0,05 x0,05 )
57 ,624

1,1079

Pemberian ASI/PASI

Distribusi
responden
berdasarkan
pemberian ASI/PASI disajikan dalam tabel
berikut:

n 52 ,01 52
Karena besar sampel terlalu besar maka
dilakukan konversi:

Tabel 1. Distribusi Pemberian ASI/PASI


kepada Bayi
di BPS Asri Kelurahan Baturetno Tuban
April-Mei 2010
Makanan
ASI
PASI
ASI dan PASI
Total

Teknik pengambilan sampel pada


penelitian ini menggunakan teknik Simple
Random Sampling. Yaitu pengambilan
sampel anggota populasi dilakukan secara
acak tanpa memperhatikan setara yang ada
dalam populasi itu (Sugiono, 2002).
Variabel Penelitian
Variabel independent dalam penelitian ini
adalah bayi yang diberi ASI dan bayi yang
diberi susu formula. Variabel dependent dari
penelitian ini adalah kejadian diare pada
bayi.

187

Frekuensi Persentase
11
39,3
7
25,0
10
35,7
28
100

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui


bahwa bayi yang hanya diberi ASI sebanyak
11 bayi (39,3%), dan yang diberi PASI
sebanyak 7 bayi (25%), sedangkan bayi
yang diberi ASI dan PASI ada 10 bayi
(35,7%).
Hal ini sesuai dengan pendapat Depkes
RI (2001) yang menyatakan bahwa Air Susu
Ibu (ASI) adalah makanan terbaik dan
alamiah untuk bayi, Sri Purwanti H (2004)
juga mengatakan bahwa ASI adalah sebagai
mukjizat, hal ini dapat dipahami dari hasil
penelitian yang menunjukkan tidak ada
makanan di dunia ini yang sesempurna ASI.
Alasan pemberian ASI menurut Diah
(2008) adalah karena keunggulan ASI yang

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

meliputi kandungan gizi yang sesuai dengan


kebutuhan
bayi,
menunjang
aspek
psikologis, mudah dicerna dan diserap,
selalu bersih dan segar, aman, murah,
menyempurnakan
pertumbuhan
bayi,
melindungi
tubuh
dari
penyakit,
memperindah kulit, gigi, dan bentuk rahang,
tersedia pada suhu yang tepat dan akan
tercipta hubungan yang erat dan hangat
antara bayi dan ibunya. Senada dengan hal
di atas Utami (2000) juga menyatakan
bahwa manfaat utama pemberian ASI
khususnya ASI Eksklusif adalah sebagai
nutrisi, meningkatkan daya tahan tubuh bayi,
meningkatkan kecerdasan, meningkatkan
jalinan kasih sayang.
Pendapat di atas sesuai dengan keadaan
yang terjadi di BPS ASRI Desa Baturetno
Kecamatan Tuban Kabupaten Tuban, bahwa
dari 28 ibu yang menjadi responden ada
39,3% yang sudah memberikan ASI saja
pada bayinya. Dengan demikian banyak ibu
yang hanya memberikan ASI saja pada
bayinya karena ASI bisa diberikan kapan
saja, lebih praktis dalam pemberiannya
karena tidak perlu repot membuat, hemat
karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk
membeli, sehingga biayanya bisa digunakan
untuk kepentingan yang lain

Kejadian Diare

Tabel 2. Distribusi Kejadian Diare


pada Bayi
di BPS Asri Kelurahan Baturetno Tuban
April-Mei 2010
Kejadian Diare
Ya
Tidak
Total

Frekuensi Persentase
10
35,7
18
64,3
28
100

Dari Tabel 2 dapat dijelaskan bahwa


sebagian besar bayi tidak mengalami
kajadian diare yaitu sejumlah 18 bayi (64,3
%).
Menurut Soegianto (2002) diare adalah
keluarnya tinja berbentuk cair sebanyak tiga
kali atau lebih dalam dua jam pertama,
dengan temperatur rectal diatas 38C.
Anonim (2006) juga mengatakan secara
medis diare dapar diartikan sebagai
peningkatan frekuensi buang air besar yang
disertai perubahan kotoran menjadi lebih
encer dan cair. Bayi dikatakan diare bila
buang air besar dengan konsistensi encer
dan frekuensi 4x/hari.

188

ISSN: 2086-3098

Hubungan antara Pemberian ASI/PASI


dan Kejadian Diare
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
hubungan antara pemberian makan dan
kejadian diare seperti pada tabel dibawah ini:
Tabel 3. Hubungan antara Pemberian
ASI/PASI dan Kejadian Diare pada Bayi
di BPS Asri Kelurahan Baturetno Tuban
April-Mei 2010
Kejadian Diare
Tidak
Ya
f
%
f
%
ASI
10 90,9 1
9,1
PASI
2 28,6 5 71,4
ASI & PASI 6
60
4
40
Total
18
10
Pemberian
Makanan

= 0,05

Total
f
%
11 100
7 100
10 100
28

p= 0,025

Dari Tabel 3 dapat dijelaskan bahwa bayi


yang diberi ASI saja sebagian besar tidak
mengalami kejadian diare, yaitu 90,9%.
Pada bayi yang hanya diberi PASI sebagian
besar mengalami diare, sedangkan bayi
yang diberi ASI dan PASI sebagian besar
60% tidak mengalami diare.
Menurut pendapat Utami (2000), ASI
merupakan sumber gizi yang sangat ideal
dengan komposisi yang seimbang dan
disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan
bayi. ASI adalah makanan yang paling
sempurna
baik
kualitas
maupun
kuantitasnya.
ASI bisa meningkatkan daya tahan tubuh
bayi karena ASI mengandung kolostrum. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Utami
(2000) yang mengatakan bahwa kolostrum
mengandung zat kekebalan 10-17 kali lebih
banyak dari susu matang (mature). Zat
kekebalan yang terdapat pada ASI antara
lain akan melindungi bayi dari penyakit diare.
ASI juga akan menurunkan kemungkinan
bayi terkena penyakit infeksi telinga, batuk,
pilek dan penyakit alergi.
Dari analisa statistic diperoleh p = 0,025.
Karena 0,025 lebih kecil dari 0,05 maka
disimpulkan bahwa Ho ditolak dan H1
diterima sehingga dapat diartikan bahwa ada
perbedaan kejadian diare pada bayi 0 -6
bulan yang diberi ASI dengan yang diberi
PASI di BPS ASRI Desa Baturetno
Kecamatan Tuban Kabupaten Tuban.
Hasil analisis didapatkan ada perbedaan
bayi yang diberi ASI dan PASI terhadap
kejadian diare. Idealnya pada bayi yang
diberi ASI saja, tidak akan terkena diare
karena ASI adalah makanan terbaik untuk
bayi. Namun hasil penelitian masih ada bayi
yang diberi ASI tetapi mengalami diare.

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

Kejadian diare bisa terjadi pada bayi baik


yang diberikan PASI maupun yang hanya
diberikan ASI saja. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa kejadian diare bisa
terjadi pada bayi yang hanya diberikan ASI
saja walapun hanya sebesar 9,1%. Menurut
pendapat Kusnan (2006) bahwa bayi dengan
pemberian ASI yang menderita diare
biasanya karena ibunya mengkonsumsi
makanan tertentu yang ternyata membawa
reaksi alergi terhadap bayinya atau karena
ibu kurang menjaga kebersihan payudara.
Kejadian diare sebagian besar (71,4 %)
terjadi pada bayi yang diberikan PASI, Hal
ini sesuai dengan pendapat Kusnan (2006),
umumnya diare pada bayi datang akibat
pencernaan
bayi
kemasukan
bakteri,
sumbernya bisa dari kurang higienisnya saat
pemberian susu formula, tetapi bisa juga
karena si kecil alergi terhadap protein susu
sapi yang terkandung dalam susu formula.
Purwanti (2004) juga menyatakan bahwa
dari hasil pengamatan di lapangan, bayi
yang mendapat ASI Eksklusif sampai 6
bulan frekuensi terkena diare sangat kecil,
sedangkan pada kelompok bayi yang
mendapat susu formula lebih sering
mengalami diare.
Pada bayi yang diberikan ASI dan PASI
sebagian besar (60%) juga tidak mengalami
diare. Walaupun diberikan PASI yang
merupakan penyebab terbesar terjadinya
diare, tetapi bayi sudah mempunyai
kekebalan karena bayi juga diberikan ASI
yang mengandung kolostrum. Hal ini sesuai
dengan pendapat Yayah K Husaini (2001)
yang
mengatakan
ASI
mengandung
kolostrum yang memiliki kandungan 15%
protein yang berguna untuk membantu
pencernaan bayi, sehingga kotoran yang
dikeluarkan tidak terlalu keras, dan tidak
terlalu lembek, serta mengandung zat
antibodi yang memberikan kekebalan
terhadap berbagai penyakit infeksi.
Terjadinya kasus diare sebesar 40%
pada bayi yang diberikan ASI dan PASI
antara lain
bisa disebabkan karena
pemberian PASInya. Pemberian PASI yang
tidak tepat dan kurang dijaga kebersihannya
merupakan pemicu terjadinya diare. Hal ini
sesuai dengan pendapat Anonim (2006)
yang mengatakan umumnya diare pada bayi
datang akibat pencernaan bayi kemasukan
bakteri, sumbernya bisa dari kurang
higienisnya saat pemberian susus formula.

Kabupaten Tuban diberikan susu formula.


Sebagian besar bayi yang diberikan ASI
tidak mengalami diare dan yang diberi PASI
sebagian besar mengalami diare. Ada
perbedaan kejadian diare pada bayi 0 6
bulan di BPS ASRI Desa Baturetno
Kecamatan Tuban Kabupaten Tuban yang
diberi ASI dan yang diberi susu formula.

SIMPULAN DAN SARAN

Krisnatuti D. 2002. Menyiapkan Makanan


Pendamping ASI. Jakarta :PuspaSwara.

Simpulan
Sebagian besar bayi 06 bulan di BPS
ASRI Desa Baturetno Kecamatan Tuban

189

Saran
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai
bahan
masukan
untuk
memberikan
penyuluhan bagi masyarakat sebagai upaya
meningkatkan pemberian ASI Eksklusif
daripada susu formula. Penyuluhan dapat
dimulai
sejak
ibu
hamil
yaitu
menginformasikan tentang pentingnya ASI
dan perawatan payudara. Bagi ibu hamil dan
ibu meneteki diharapkan lebih banyak
mencari informasi baik secara aktif maupun
pasif melalui membaca buku-buku literatur
maupun penyuluhan-penyuluhan dari tenaga
kesehatan tentang ASI Eksklusif sebagai
upaya mencegah terjadinya diare pada bayi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Tumbuh Kembang Anak.
Jakarta : EGC.
___________, 2006. Diare Bukan
Sepele. Kamis, 12 Oktober 2006.

Hal

Arikunto
Suharsimi..
2006.
Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Pratek.
Yogyakarta: Rineka Cipta.
Depkes RI. 2001. Manajemen
Jakarta : Depkes RI.

Laktasi.

___________. 2008. Diare. Jakarta: Depkes


RI.
___________.
2009.
Jakarta: Depkes RI.

ASI.

Effendi,
Nasrul.
2003.
Keperawatan Kesehatan
Jakarta: EGC.

Eklsklusif.

Dasar-dasar
Masyarakat.

Hidayat, Alimul Aziz. 2006. Pengantar


Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba
Medika.

Kumala, Poppy. 1998. Kamus Kedokteran


Dorland. Jakarta : EGC.

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

54

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

Mansjoer, Arif.
2001. Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.
Muchtadi, Deddy. 2002. Gizi untuk Bayi :
ASI, Susu Formula dan Makanan
Tambahan.Jakarta :EGC.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit.
Jakata : EGC
Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka
Cipta.
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan
Metodologi
Penelitian
dan
Ilmu
Keperawatan. Jakarta :Salemba Medika.
Purwanti Sri Hebertin. 2004. Konsep
Penerapan ASI Eksklusif.Jakarta : EGC.
Ramaiah, Savitri. 2006. All You Wanted To
Know About Diare. Jakarta : PT. Bhuana
Ilmu Populer.
Roeli, Utami. 2000. Mengenal ASI Eksklusif.
Jakarta: Trubus Agriwidya.
Soetjiningsih. 2003. ASI Petunjuk untuk
Tenaga Kesehatan. Jakarta: EGC.
___________.
2002. Tumbuh Kembang
Anak. Jakarta : EGC.
Soegijanto, Soegeng. 2007. Ilmu Penyakit
Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan.
Jakarta : Salemba Medika.
Sugiyono,
Metode
Bandung: Alfabeta.

Penelitian

Bisnis.

Pola Makan Bayi. 2006. Jakarta :Depkes RI :


www.litbang.depkesRI.go.id.

190

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK DI


DALAM RUMAH DENGAN GANGGUAN
PERNAPASAN PADA PEROKOK PASIF
Sunarto
(Prodi Kebidanan Magetan,
Poltekkes Kemenkes Surabaya)
Bambang Sunarko
(Prodi Kesehatan Lingkungan Surabaya,
Poltekkes Kemenkes Surabaya)
Retnowati Hadirini
(Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan)
ABSTRAKS
Latar belakang: Banyak kasus ulang
penyakit ISPA karena berbagai sebab,
termasuk akibat asap rokok. Perokok pasif
beresiko lebih besar menderita sakit
gangguan pernapasan, memperburuk asma,
dan memperberat angina pectoris, namun
kajian ilmiah di kabupaten Magetan belum
pernah dilakukan. Tujuan: Penelitian ini
bertujuan untuk membuktikan berapa besar
faktor resiko perokok pasif terhadap kejadian
penyakit
ISPA.
Metode:
Rancangan
penelitian adalah case control. Populasi
kasus adalah insiden ISPA Mei 2012 di
Puskesmas Panekan. Kontrol adalah orang
sehat di wilayah Kecamatan Panekan. Besar
sampel kasus 106 yang diambil secara
sistematik random sampling. Besar sampel
kontrol 106 orang sehat dengan asal daerah,
usia, jenis kelamin yang sama dengan
kasus, dan tak pernah di diagnosa ISPA.
Pembuktian hipotesis dengan uji Chi Square
dan besar resiko dihitung dengan odd ratio
dengan <0,05. Hasil: Dari 106 penderita
ISPA, 82,1% merupakan kasus ulang
(kambuh). Persepsi penderita terhadap
penyebab kekambuhan, 17,9% karena asap
rokok dan siasanya karena penyebab lain
(kuman 28,3%, minum es 22,6%, kelelahan
18,9% selebihnya karena cuaca, ketularan
orang lain). Proporsi penyakit ISPA dari
paparan perokok pasif: 42,5%, sedangkan
proporsi orang sehat terpapar perokok pasif
sebesar 27,4%. Rerata usia pertama kali
merokok= 16,3 tahun, rerata jumlah batang
rokok yang dirokok perhari 9,3 batang, dan
umur kebiasaan merokok setiap hari secara
rutin adalah 18,5 tahun. Tingkat pendidikan
menengah memiliki andil terhadap anggota
rumah tangga untuk merokok di dalam
rumah (p=0,000) dan ini tidak di ikuti oleh
jenis pekerjaan (p=0,821). Ada hubungan
antara perokok pasif dengan kejadian ISPA
dengan tingkat kemaknaan p=0,030 dan
besar OR = 2.
Kata kunci: Perokok Pasif, ISPA, Perilaku
Merokok.

191

ISSN: 2086-3098

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Proporsi kebiasaan merokok pada
masyarakat Indonesia semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Secara nasional
prevalensi perokok aktif setiap hari sebesar
34,7%, sedangkan prevalensi perokok di
propinsi Jawa Timur sebesar 31,4%
(Riskesdas, 2010). Rata-rata jumlah batang
rokok yang dihisap tiap hari oleh lebih dari
separuh (52,3%) perokok adalah 1-10
batang, dan sekitar 20 persen sebanyak 1120 batang per hari. Rata-rata umur merokok
secara nasional adalah 17,6 tahun.
Prevalensi perokok dalam rumah lebih
banyak pada laki-laki, berstatus kawin,
tinggal di pedesaan dan berpendidikan
rendah, bekerja sebagai petani dan
cenderung meningkat dengan meningkatnya
tingkat sosial ekonomi (Riskesdas, 2010).
Menurut data WHO, 4,9 juta orang
meninggal setiap tahun karena kanker,
penyakit jantung, dan kondisi lain yang
berkaitan dengan kebiasaan merokok.
Tanpa ada penanganan yang memadai
maka pada tahun 2025 jumlah orang yang
meninggal akibat penyakit yang terkait rokok
melebihi 10 juta kematian tiap tahun dengan
sekitar 70% diantaranya di negara
berkembang termasuk Indonesia (Aditama,
2001).
Menurut Almatsier (2003), udara yang
mengandung asap rokok akan mengganggu
kesehatan orang yang berada di ruangan
atau lingkungan terdekat, karena asap rokok
mengandung lebih dari 4000 zat berbahaya.
Orang-orang yang tidak merokok dan berada
di sekitar perokok disebut perokok pasif.
Asap yang dihembuskan para perokok
dibedakan atas asap utama (main stream
smoke) dan asap samping (side stream
smoke). Asap utama dihirup langsung oleh
perokok,
sedangkan
asap
samping
merupakan asap tembakau yang disebarkan
ke udara bebas yang dihirup oleh perokok
pasif (passive smoker) (Hanafiah, dkk.,
1993).
Prevalensi penyakit ISPA di kabupaten
Magetan pada tahun 2007 sebesar 7,5%,
sedangkan untuk propinsi Jawa Timur pada
tahun yang sama
sebesar 6,38%
(Riskesdas, 2007). Berdasarkan karakteristik
pasien penyakit ISPA paling banyak di derita
bayi dibawah usia lima tahun (Balita), tidak
terdapat perbedaan antara daerah pedesaan
maupun perkotaan dan ratio antara laki-laki
dan perempuan sama (Riskesdas, 2007).
Angka kejadian kasus ISPA di kabupaten
Magetan tahun 2011 tertinggi dibandingkan
kasus yang lain yaitu sebesar 74.720 kasus.

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

Perokok pasif mempunyai resiko yang


lebih besar untuk menderita sakit, seperti
gangguan pernapasan, memperburuk asma,
dan
memperberat
angina
pectoris.
Gangguan pernapasan yang terjadi adalah
batuk-batuk, sesak napas, sesak dada,
hidung berair, bersin-bersin/flu, tenggorokan
terasa kering dan gatal-gatal. Apabila
keluhan-keluhan tersebut terjadi secara terus
menerus dan dalam jangka waktu yang lama
akan menyebabkan terjadinya penyakit paru
obstruktif menahun (PPOM). Khususnya
bagi anak dapat meningkatkan resiko
serangan infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) dan gangguan paru-paru di masa
mendatang. Adapun faktor-faktor yang
menunjang terjadinya penyakit akibat
merokok pasif adalah kebiasaan merokok
dalam keluarga meliputi jumlah perokok
dalam keluarga, lama merokok anggota
keluarga, dan jumlah rokok yang dihisap
anggota keluarga. (Riyadina, 1995).
Tingginya angka kesakitan karena
gangguan pernapasan nampaknya belum
dipahami oleh seluruh masyarakat dan
diimbangi oleh perilaku hidup bersih dan
sehat di Kabupaten Magetan. Hal ini terlihat
dari data hasil Pemantauan/Kajian PHBS
Tatanan Rumah Tangga di Kabupaten
Magetan Tahun 2011, dimana Rumah
Tangga Sehat baru mencapai 33,76 % dari
target Nasional pencapaian indikator PHBS
sebesar 65%. Faktor dominan rendahnya
cakupan PHBS karena masih banyak
keluarga yang merokok di dalam rumah.
Kondisi ini belum selaras dengan tujuan
pembangunan
kesehatan
untuk
meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemauan hidup sehat bagi setiap penduduk
agar dapat mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal. Masyarakat diharapkan
mampu berdaya dan berpartisipasi aktif
dalam memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatannya sendiri, sehingga mampu
menjadi subyek dalam pembangunan
kesehatan. Faktor dominan yang sangat
berpengaruh disini adalah faktor lingkungan
dan perilaku.
Identifikasi Faktor Penyebab Masalah
Faktor penyebab timbulnya masalah
kambuhnya penyakit gangguan pernapasan
(ISPA) sangat erat kaitannya dengan faktor
yang mempengaruhi derajat kesehatan yaitu;
faktor keturunan, lingkungan, pelayanan
kesehatan dan faktor perilaku (Bloom).
Kebiasaan merokok di dalam rumah juga
berkaitan dengan faktor lingkungan dan
faktor perilaku, sehingga konsep teoritis
yang mempengaruhi kedua variabel yang
diteliti yaitu kebiasaan merokok di dalam

192

ISSN: 2086-3098

rumah dan kambuhnya penyakit ISPA


sangat berkaitan dengan faktor perilaku dan
faktor lingkungan.
Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang
dan identifikasi faktor penyebab masalah di
atas maka rumusan masalah penelitian
adalah : Apakah Ada Hubungan Kebiasaan
Merokok Di Dalam Rumah Dengan
Gangguan Pernapasan ISPA Pada Perokok
Pasif di Kecamatan Panekan Kabupaten
Magetan ?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Mengetahui
hubungan
kebiasaan
merokok di dalam rumah dengan gangguan
pernapasan ISPA pada perokok pasif di
Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan.
Tujuan Khusus
1. Diketahuinya karakteristik dan kebiasaan
merokok
masyarakat
kecamatan
Panekan.
2. Diketahuinya hubungan karakteristik
dengan kebiasaan merokok masyarakat
kecamatan Panekan.
3. Menghitung proporsi kejadian gangguan
pernapasan ISPA pada kelompok
perokok pasif di wilayah Puskesmas
Panekan.
4.
Menghitung proporsi kejadian tanpa
gangguan pernapasan ISPA pada
kelompok perokok pasif di wilayah
Puskesmas Panekan.
5.
Menganalisis besar Rasio Odds
paparan asap rokok terhadap kejadian
gangguan pernapasan ISPA
Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan dan informasi
untuk pengambilan kebijakan dan
pengembangan
program
promosi
kesehatan
dan
pemberdayaan
masyarakat
2. Sebagai bahan studi perbandingan dan
masukan bagi penelitian sejenis di masa
yang akan datang.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah kesimpulan teoritis yang
masih harus dibuktikan kebenarannya
melalui analisis terhadap bukti-bukti empiris
(Sugiono, 2007). Dari kerangka konseptual
di atas hipotesis yang diajukan adalah ada

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

hubungan kebiasaan merokok di dalam


rumah dengan gangguan pernapasan ISPA
pada perokok pasif.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah
survey observasional. Rancangan penelitian
berupa case controle. Tempat penelitian
adalah di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Panekan Kabupaten Magetan. Populasi
terjangkau dalam penelitian ini adalah
semua pasien dengan diagnosa Infeksi
Saluran Pernapasan Atas (ISPA) di wilayah
kerja UPTD Puskesmas Panekan sejumlah
6891 orang. Populasi kasus dalam penelitian
ini adalah pasien dengan diagnosa Infeksi
Saluran Pernapasan Atas (ISPA) di wilayah
kerja UPTD Puskesmas Panekan pada
bulan Mei 2012 sejumlah 394 kasus.
Sedangkan Populasi kontrol dalam penelitian
ini adalah orang sehat tidak terdiagnosa
ISPA di pada bulan Mei 2012. Jumlah
sampel kasus dan kontrol masing-masing
106 orang.
Teknik pengambilan sampel secara
systematic random sampling. Langkah yang
dilakukan peneliti dalam teknik sampling ini
adalah; membuat list daftar nama-nama
pasien yang terdiagnosa ISPA selama bulan
Mei 2012 sebanyak 394 pasien yang berasal
dari regester. Langkah selanjutnya setelah
list daftar nama-nama pasien dibuat, adalah
melakukan penentuan sampel terpilih
dengan cara sistematik menggunakan
bantuan tabel angka random (TAR).
Sedangkan sampel kontrol sejumlah 106
orang yang sehat, ditentukan secara
snowball sampling mengikuti daerah sampel
kasus terpilih secara proporsional sesuai
daerah sampel kasus masing-masing.
Kriteria sampel kontrol adalah penduduk
tetap di wilayah Puskesmas Panekan dan
dinyatakan sehat atau tidak menderita ISPA
berdasarkan
skrening
pemeriksaan
kesehatan atau riwayat kesehatan dari hasil
wawancara. Matching berdasarkan jenis
kelamin dan umur.
Variabel bebas (independent variable)
dalam penelitian ini adalah kebiasaan
merokok di dalam rumah. Sedangkan
variabel terikat (dependent variable) dalam
penelitian ini adalah kejadian gangguan
pernapasan ISPA pada perokok pasif.
Teknik
pengumpulan
data
untuk
memperoleh
data
penyakit
ISPA
menggunakan teknik studi dokumentasi dari
catatan regester pasien di UPTD Puskesmas
Panekan. Sedangkan untuk memperoleh
data perilaku atau kebiasaan merokok
menggunakan metode wawancara langsung
secara terstruktur kepada responden oleh

193

ISSN: 2086-3098

tenaga surveyor /enumerator. Instrumen


dalam penelitian ini adalah kuesioner
terstruktur tentang perilaku merokok sebagai
pedoman wawancara. Kuesioner ini sudah
baku
karena
mengadopsi
kuesioner
Riskesdas tahun 2010 yang diterbitkan oleh
Badan Litbang Kesehatan Kemenkes RI.
Bahan dasar analisis adalah tabulasi
data yang telah disusun secara rapi dan
sesuai kode-kode yang telah ditetapkan di
definisi operasional. Untuk menjawab tujuan
penelitian tentang proporsi penyakit ISPA
menggunakan bantuan tabel silang 2 x 2
kemudian
dihitung
sesuai
rumus
penghitungan proporsi untuk penelitian case
control. Untuk menjawab besar odd ratio
kejadian
ISPA
akibat
terpapar
perilaku/kebiasaan
merokok
pasif
menggunakan rumus: OR = ad/bc atau
menggunakan pendekatan uji statistik ChiSquare. Untuk membuktikan hipotesis
penelitian juga menggunaan pendekatan
statistik
Chi-Square
dengan
tingkat
kesalahan < 0,05.
HASIL PENELITIAN
Gambaran Riwayat Penyakit ISPA
Frekuensi Kekambuhan Penyakit ISPA
Dari 106 kasus ISPA, terdapat 87 kasus
(82%) yang menyatakan peyakit ISPA-nya
sering kambuh ( sakit lebih dari 2 kali dalam
rentang waktu 2 bulan terakhir). Gambaran
lengkap sebagaimana Gambar 1 berikut:

100
80
60
40
20
0

87

19

Baru
Pertama

Sering / > 2
kali Sakit
ISPA

Gambar 1. Distribusi Kekambuhan ISPA


Kasus di Puskesmas Panekan Tahun 2012

Persepsi Masyarakat terhadap Penyebab


Penyakit ISPA
Persepsi dari 106 orang yang menderita
ISPA terhadap penyebab ISPA, terdapat 30
orang (28%) yang menyatakan karena
penyebab kuman, 24 orang (23%) karena
minum es, 19% karena banyak aktivitas dan
selebihnya karena ketulran orang lain

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

maupun karena cuaca. Gambaran lengkap


sebagaimana Gambar 2 berikut:

35
30
25
20
15
10
5
0

Gambaran Perilaku Merokok


Usia Pertama Kali Merokok, Jumlah Batang
Rokok Per Hari yang di Isap, dan Usia Mulai
Merokok Setiap Hari

30
24

20
10

14
8

ya
in n
La
a
ac
Cu
n
ara ivitas
tul
it
Ke
Ak
ak
ny
Ba
Es
m
nu
Mi
n
ma
Ku
Gambar 2. Persepsi Masyarakat Terhadap
Penyebab Penyakit ISPA
di Puskesmas Panekan Tahun 2012

Persepsi Masyarakat terhadap Penyebab


Kekambuhan Penyakit ISPA
Dari 87 orang yang penyakit ISPA-nya
sering kambuh, 25 orang diantaranya
mempersepsikan bahwa penyakit ISPA-nya
kambuh karena kena kuman (29%), 19
orang mempersepsikan bahwa penyakit
ISPA-nya kambuh karena sering minum es
(22%), karena banyak aktivitas 17 orang
(19%), karena cuaca 13 orang (15%),
selebihnya karena ketularan dan faktor lain.
Gambaran lengkap sebagaimana Gambar 3
berikut:

30
25
20
15
10
5
0

ISSN: 2086-3098

25
19

17
13
5

Dari 140 anggota rumah tangga yang


diwawancarai dan memiliki kebiasaan
merokok, rata-rata usia pertama kali
merokok adalah 16,3 tahun, rata-rata jumlah
batang rokok yang di rokok setiap hari 9,3
batang, dan umur kebiasaan merokok setiap
hari secara rutin adalah 18,5 tahun.
Kebiasaan Merokok di Dalam Rumah
Dari 140 anggota rumah tangga yang
diwawancarai
dan
memiliki
kebiasan
merokok, 98 orang (70%) diantaranya biasa
merokok di dalam rumah. Gambaran
lengkap sebagaimana Gambar 4 berikut:

150
100
50
0

98
42

Merokok di
Dalam Rumah

Tidak
Merokok di
Dalam Rumah

Gambar 4. Kebiasaan Merokok Anggota


Rumah Tangga
di Wilayah Puskesmas Panekan Tahun 2012

Hubungan Tingkat Pendidikan dan Jenis


Pekerjaan Terhadap Kebiasaan Merokok
di Dalam Rumah

an

a
nny
Lai
ca
Cua
an
ular
as
Ket
tivit
Aki
yak
Ban
Es
um

Min

Kum

Tingkat pendidikan anggota rumah


tangga perokok dikategorikan berpendidikan
sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah
(Tamat SMP dan SMA) ada kecenderungan
meningkatkan frekuensi merokok mereka di
dalam rumah. Sedangkan jenis pekerjaan
tidak
berkaitan
langsung
dengan
kecenderungan untuk merokok di dalam
rumah semakin meningkat. Jenis pekerjaan
petani lebih banyak menyumbang paparan
asap rokok di dalam rumah. Gambaran
lengkap sebagaimana Tabel 1 berikut ini:

Gambar 3. Persepsi Masyarakat Terhadap


Penyebab Kekambuhan Penyakit ISPA
Kasus di Puskesmas Panekan Tahun 2012

194

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

Tabel 1. Kebiasaan Merokok


di Dalam Rumah Berdasarkan
Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan
Kebiasaan
Merokok
Chidi Dalam
Variabel
Square
Rumah
Ya Tidak
Tidak
3
1
X2=74,9
Sekolah
05
p=0,000
Tidak Tamat 9
2
SD
Tamat SD 38
12
Tingkat
13
Pendidikan Tamat SMP 21
Tamat SMA 26
12
Tamat PT 0
2
Tidak
1
0
Tamat PT
Tidak Kerja 3
3
X2=
Sekolah
2
1
9,151
TNI/POLRI 1
2
p= 0,821
Jenis
PNS
3
1
Pekerjaan
Swasta
37
18
Petani
46 13
Buruh
3
3
Lainnya
3
0

Hubungan Faktor Risiko Perokok Pasif


Terhadap Kejadian ISPA
Matching variabel kelompok kontrol
didasarkan pada kesamaan jenis kelamin
dan strata usia, artinya diupayakan
kelompok kontrol diambil dari daerah yang
sama dengan kasus, dan usia dikategorikan
sebanding meski tidak sama persis.

Tabel 2. Hubungan Antara Perokok Pasif


dengan Kejadian ISPA
di Wilayah Puskesmas Panekan tahun 2012
Variabel
Perokok
Pasif

Ya
Tidak

Total
2

Kejadian ISPA
Ya
Tidak
45
29
42,5% 27,4%
61
77
57,5% 72,6%
106
106

Total
74
138
212

X = 5,315 > X tab 0,05(1)=3,84 ; p=0,030;


OR = (45x77) : (29x61) = 1,99

Hasil uji Chi Square didaptkan hasil nilai


2
2
X hitung = 5,315 > X tabel 0,05(1)=3,84
sehingga hipotesis kerja ditolak dengan
tingkat kemaknaan hasil p=0,030 < tingkat
kesalahan =0,05, jadi paparan asap rokok
dari perokok pasif berhubungan dengan
kejadian penyakit ISPA. Sedangkan besar
nilai odd ratio = 1,95. Artinya kejadian ISPA

195

ISSN: 2086-3098

1,95 kali lebih besar terpapar dari faktor


resiko perokok pasif.
Proporsi penyakit ISPA dari paparan
perokok pasif sebesar 42,5%, sedangkan
proporsi orang sehat terpapar perokok pasif
sebesar
27,4%.
Gambaran
lengkap
sebagaimana Tabel 2.
Hubungan Faktor Risiko Perokok Pasif
Terhadap Kekambuhan Penyakit ISPA
Dari 45 orang yang terpapar perokok
pasif, 80% merupakan prevalensi ISPA
selebihnya merupakan insiden. Sedangkan
dari 61 bukan perokok pasif prevalensi ISPA
sebesar 83,6% dan selebihnya merupakan
insiden (kasus baru). Gambaran lengkap
sebagaimana Tabel 3.

Tabel 3. Hubungan Antara Perokok Pasif


dengan Kekambuhan ISPA
di Wilayah Puskesmas Panekan tahun 2012
Kekambuhan
ISPA
Ya
Tidak
36
9
Ya
80%
20%
Perokok Pasif
51
10
Tidak
83,6% 16,4%
Total
87
19
Variabel

Total
45
61
106

PEMBAHASAN
Merokok dapat menyebabkan kanker,
serangan jantung, impotensi, dan gangguan
kehamilan dan janin. Ungkapan ini
merupakan larangan yang ada di setiap
bungkus rokok. Namun, larangan ini tidak
sepenuhnya
ditaati
oleh
perokok.
Kenikmatan merupakan dalih yang selalu
diungkapkan oleh perokok setiap ditanya
mengapa tidak mentaati larangan itu,
padahal dibalik kenikmatan itu ada
penderitaan baik penderitaan diri sendiri
maupun orang lain (perokok pasif).
Meskipun tidak eksplisif tersurat adanya
penyakit ISPA di dalam ungkapan larangan
merokok, namun penyakit ISPA ini paling
sering terjadi akibat terpapar asap rokok
yang masuk ke paru-paru. Hasil penelitian
secara retrospektif terhadap 106 penderita
ISPA dan 106 orang sehat sebagai kontrol,
didapatkan hasil orang yang terpapar asap
rokok secara pasif 1,95 kali lebih besar
terjadi kekambuhan penyakit ISPA yang
dideritanya. Hasil penelitian ini mendukung
laporan penelitian Nasution, dkk (2009) yang
melaporkan
bahwa
prevalensi
ISPA

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

berhubungan bermakna dengan paparan


asap rokok.
Proporsi penyakit ISPA dari paparan
perokok pasif sebesar 42,5%, sedangkan
proporsi orang sehat terpapar perokok pasif
sebesar 27,4%. Hasil ini mendukung laporan
Nasution, dkk (2009) yang meneliti pengaruh
paparan asap rokok terhadap kejadian ISPA,
bahwa proporsi ISPA akibat terpapar asap
rokok dilaporkan sebesar 40,8%. Lebih
besarnya proporsi dari hasil penelitian ini
karena sejak awal penelitian ini tidak di
rancang hanya meneliti kelompok ISPA
dengan umur tertentu, namun upaya untuk
matching
kelompok,
peneliti
sudah
menyamakan area penelitian, kategori umur,
kategori jenis kelamin, pendidikan dan
pekerjaan.
Menurut Gutierrez-Ramirez, dkk (2008),
penderita ISPA yang berada di dalam
lingkungan dengan asap rokok memiliki
kemungkinan pneumonia lebih tinggi. Lebih
lanjut menurut Gueterrez-Ramirez ini bila
penderita ISPA yang berusia Balita bila
diberi suplemen vitamin A resikonya menjadi
turun.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
keluhan pernapasan, batuk pilek dan
sebagainya ternyata 20%-42,5% terjadi pada
subyek perokok dan balita yang orang
tuanya perokok atau anggota rumah tangga
ada yang merokok. Dari hasil wawancara
diketahui bahwa kekambuhan penyakit ISPA
pada anak dan balita sering terjadi pada
orang tua perokok dibanding dengan orang
tua bukan perokok.
Bila dihubungkan dengan perilaku
merokok anggota rumah tangga yang
diwawancarai, rata-rata mereka merokok 9 10 batang per hari. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian Kementerian kesehatan
tahun 2010 yang melaporkan bahwa ratarata perokok di Indonesia menghabiskan 9 10 batang per hari. Perokok pasif yang
tinggal di lingkungan perokok aktif memiliki
kadar nikotin dalam darah jumlahnya sama
dengan perokok aktif yang merokok 10
batang per hari (Sugito, 2007).
Hasil penelitian menggambarkan bahwa
insiden kekambuhan penyakit ISPA akibat
terpapar asap rokok secara pasif (perokok
pasif) sebesar 26,8% dari total 106 kasus.
Upaya untuk menurunkan insiden ini adalah
menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat
di setiap tataran rumah tangga (PHBSRumah Tangga). Pendidikan kesehatan dan
penyuluhan kesehatan kepada masyarakat
merupakan media yang baik untuk
mengurangi jumlah perokok bahkan tak
henti-hentinya untuk kampanye berhenti
merokok.

196

ISSN: 2086-3098

Perilaku merokok adalah perilaku yang


dipelajari. Proses belajar ini dimulai dari
masa anak-anak sedangkan proses menjadi
perokok pada masa remaja. Proses belajar
merokok bersifat vertikal dan horizontal
(Dian Kumalasari, 2012). Secara Vertikal
keberanian
merokok
karena
mereka
mencontoh keluarga utamanya orang tua.
Kalau orang tua (bapak) memiliki kebiasaan
merokok dihadapan istri dan anak-anaknya,
maka anak-anaknya akan mencontoh
bapaknya merokok. Sedangkan secara
horizontal artinya mereka belajar dari teman
sebayanya.
Upaya untuk memutus mata rantai
perilaku belajar merokok ini adalah ; 1) orang
tua (bapak) harus memberi contoh pada
anaknya bahwa bapak tidak merokok, 2)
mengarahkan anak dibawah usia 10 tahun
untuk
tidak
bergaul
dengan
teman
sebayanya yang perokok. Pertemanan
dengan
kelompok
sebaya
ini
yang
kelihatannya sulit untuk diamati dan
dipantau, sehingga peran orang tua, guru,
tokoh masyarakat harus selalu giat
memberikan teguran manakala ada remaja
yang merokok.
Di bagian awal telah dilaporkan bahwa
terdapat hubungan antara paparan asap
rokok (perokok pasif) dengan kejadian ISPA.
Secara patofisiologis, setiap seseorang yang
menghirup asap rokok, maka nikotin turut
masuk ke dalam paru-paru, kemudian
diserap secara cepat ke dalam aliran darah
sehingga kadar nikotin dalam darah tinggi
dan menyebar ke seluruh tubuh. Kadar
nikotin yang terdapat di arteri pulmunalis
pasca menghirup asap rokok akan
mengakibatkan alveoli menyempit, sehingga
kadar oksigen yang terikat oleh hemoglobin
menjadi
rendah.
Rendahnya
rasio
oksihemoglobin ini akan memperparah
alevoli sehingga menjadi kolaps. Akibat
lanjut dari kolapnya alveoli adalah sesak
napas yang merupakan keluhan awal
terjadinya penyakit ISPA (Sugito,2007).
Di sisi lain asap rokok dapat menurunkan
fungsi cillia (rambut-rambut) pada saluran
trakea. Fungsi cillia adalah membersihkan
udara yang dihirup/di inspirasi. Apabila
fungsi cillia turun, maka racun seperti timbal,
kadmium dan unsur racun lainnya tidak
mampu di saring sehingga meracuni paruparu.
Terdapat dua tipe asap rokok yang
merupakan paparan terjadinya ISPA yaitu; 1)
asap primer, asap yang dihisap dari dalam
rokok, dan 2) asap sekunder, asap yang
keluar dari rokok yang terbakar. Kedua asap
ini memiliki komposisi kimia yang berbeda.
Asap sekunder memiliki konsentrasi zat-zat
berbahaya lebih tinggi dibanding asap

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

primer. Hampir 85% asap yang beredar di


sekitar perokok merupakan asap sekunder
(Sugito, 2007). Asap sekunder inilah diduga
ikut berperan meningkatkan insiden ISPA di
kecamatan Panekan. Hasil penelitian
membuktikan bahwa perokok pasif memiliki
resiko 1,95 kali lebih besar mengalami
kekambuhan penyakit ISPA.
Penyebab utama penyakit ISPA adalah
mikroorganisme
(kuman).
Namun
kecenderungan
peningkatan
kadar
nitrosamin yang dibawa asap sekunder yang
dihisap perokok pasif menjadi pencetus
kekambuhan penyakit ISPA (Abdul Jabar,
2008). Seorang perokok pasif yang berada di
suatu ruangan yang penuh asap rokok
selama satu jam saja, maka dia akan
menghisap nitrosamin sama banyaknya
dengan merokok sebanyak 35 batang. Kadar
nitrosamin yang tinggi dalam darah memicu
alveoli menyempit sehingga orang menjadi
sesak napas.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa
tingkat pendidikan berkaitan dengan perilaku
merokok anggota rumah tangga sedangkan
jenis pekerjaan petani memberikan peran
yang cukup besar berkaitan dengan perilaku
merokok di dalam rumah. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian Kementerian
Kesehatan tahun 2010 yang melaporkan
bahwa prevalensi perokok dalam rumah
lebih banyak pada laki-laki, berstatus kawin,
tinggal di pedesaan dan berpendidikan
rendah, bekerja sebagai petani dan
cenderung meningkat dengan meningkatnya
tingkat sosial ekonomi (Riskesdas, 2010).
Upaya
yang
ditawarkan
untuk
mengurangi insiden ISPA akibat perilaku
merokok antara lain; 1) meyakinkan bahwa
kepuasan merokok jangan diukur dari
variabel emosional sesaat perokok seperi;
merokok mengakibatkan kejantanan, mood
meningkat, lahirnya ide baru, dan seterusnya
namun harus diukur dari pertimbangan
rasional. Manakala merokok secara rasional
merugikan
kesehatan,
meningkatkan
pengeluaran harian, kemudaratan lebih
tinggi dari manfaat maka harus berhenti
merokok segera, 2) pemerintah harus
mampu mengendalikan peredaran rokok
illegal yang dipasaran cukup banyak dan
ternyata kadar TAR dan Nikotin dari rokok
illegal justru lebih tinggi, 3) pabrik rokok
harus taat undang-undang, artinya kadar
minimal TAR di setiap batang rokok harus
tepat sesuai kadar paling minimal yang
diperbolehkan undang-undang.
Penelitian di Inggris menemukan bahwa
perokok pasif yang terpapar asap rokok
dalam jumlah cukup di atas ambang batas di
lingkungan kerjanya meningkatkan kejadian
penyakit gangguan pernapasan yang cukup

197

ISSN: 2086-3098

berat pada para pekerja (Abdul Jabar, 2008).


Oleh karena itu diperlukan penelitian lanjutan
untuk mengurai pengaruh asap rokok pada
variabel kematian, penyakit jantung, penyakit
gangguan metabolisme, impotensi, penyakit
kanker, penurunan berat janin dan
sebagainya khususnya di wilayah kabupaten
Magetan.
Secara epidemiologis penyebab penyakit
berasal dari faktor agent, environment dan
faktor host. Faktor lingkungan memegang
peranan yang cukup penting dalam
menentukan terjadinya proses interaksi
antara pejamu dengan unsur penyebab
dalam proses terjadinya penyakit. Keadaan
fisik sekitar manusia berpengaruh terhadap
manusia baik secara langsung maupun tidak
terhadap lingkungan-lingkungan biologis dan
lingkungan sosial manusia.
Polusi asap rokok dan polusi lainnya
merupakan pencemaran kondisi lingkungan
fisik udara yang sangat berkaitan dengan
penyakit ISPA. Penyakit ISPA tergolong air
borne
diasease
karena
salah
satu
penularannya melalui udara yang tercemar
dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran
pernapasan,
maka
udara
secara
epidemiologi mempunyai peranan yang
besar pada transmisi penyakit infeksi saluran
pernapasan.
Kualitas udara yang merupakan salah
satu transmisi timbulnya penyakit golongan
air borne disease sangat dipengaruhi oleh
faktor asap dalam ruangan yang bersumber
dari perokok, penggunaan bahan bakar
kayu/arang/minyak tanah dan penggunaan
obat nyamuk bakar. Disamping itu ditentukan
oleh ventilasi, tata ruangan dan kepadatan
penghuninya. Kelemahan penelitian ini
faktor-faktor predominan di atas tidak
sepenuhnya dikendalikan oleh karenanya
diperlukan penelitian lanjutan secara regresi
untuk menentukan manakan faktor dominan
yang menyebabkan kejadian penyakit ISPA
dari faktor environment/lingkungan.
Faktor
lain
adalah
keberadaan
host/subyek yang diteliti; seperti faktor
suplemen vitamin A dan keadaan gizi tidak
dikendalikan dalam melakukan matching
kelompok kontrol, sehingga mempengaruhi
hasil penelitian. Namun sesuai dengan
jurnal-jurnal penelitian yang dilaporkan
bahwa nilai odd ratio sebesar 1,95 untuk
paparan asap rokok sekunder (perokok
pasif) cukup diterima secara ilmiah verifikatif.
Dengan batas kesalahan sebesar tidak lebih
dari 3%, hasil penelitian ini bisa digunakan
untuk meregulasi kebijakan pemerintah
berkaitan dengan industri rokok, kampanye
bebas asap rokok, kampanye bumi bersih
dan hijau, pencapaian cakupan PHBS-

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

rumah tangga dan kebijakan pemerintah


lainnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan
maka kesimpulan penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Terdapat hubungan antara paparan
perokok pasif terhadap kejadian ISPA,
dimana orang yang memiliki riwayat ISPA
kekambuhannya 1,95 kali lebih besar
manakala terpapar asap rokok secara
pasif.
2. Proporsi penyakit ISPA dari paparan
perokok pasif sebesar 42,5%, sedangkan
proporsi orang sehat terpapar perokok
pasif sebesar 27,4%.
3. Insiden kekambuhan penyakit ISPA
akibat terpapar asap rokok secara pasif
(perokok pasif) sebesar 26,8% dari total
106 kasus.
4. Rata-rata usia pertama kali merokok dari
anggota rumah tangga yang disurvey
adalah 16,3 tahun, rata-rata jumlah
batang rokok yang di rokok setiap hari
9,3 batang, dan umur kebiasaan merokok
setiap hari secara rutin adalah 18,5
tahun.
5. Tingkat pendidikan menengah diduga
cukup memiliki andil anggota rumah
tangga biasa merokok di dalam rumah,
sedangkan variabel jenis pekerjaan tidak
memiliki tren meningkatkan kebiasaan
merokok anggota rumah tangga di dalam
rumah.
6. Persepsi masyarakat terhadap penyebab
kekambuhan atau penyebab penyakit
ISPA sebagian besar bukan karena asap
rokok tetapi karena faktor lain yaitu
karena kuman, minum es dan banyak
melakukan aktifitas sedikit karena cuaca.
Saran
Untuk penyempurnaan penelitian, maka
saran penelitian berikutnya adalah sebagai
berikut :
1. Perlunya perubahan strategi pemutusan
mata rantai perilaku merokok pemula dari
startegi massa ke strategi perilaku rumah
tangga dan teman sebaya dengan
penanaman contoh dari orang tua.
2. Perlu diterbitkan peraturan bersama
antara
kepala
dinas
pendidikan,
kesehatan dan kementerian agama di
kabupaten berkaitan dengan regulasi
masuk anak sekolah dan jam-jam
istirahat termasuk sangsi anak yang

198

ISSN: 2086-3098

diketahui merokok dalam sekolah


maupun di luar sekolah.
3. Perlu penertiban industri rokok illegal,
karena kadar TAR dan Nikotin pada
rokok illegal lebih tinggi dibanding rokok
legal dengan peraturan daerah yang
betul-betul ditaati oleh semua industri
rokok tanpa mematikan peluang bisnis
mereka.
4. Meskipun
masyarakat
dikategorikan
perokok ringan karena rata-rata batang
rokok yang dihisap 9-10 batang per hari,
perlu ditingkatkan kampanye PHBStataran rumah tangga dan peduli
lingkungan bersih dan hijau.
5. Perlunya penelitian lebih lanjut berkaitan
dengan polusi asap rokok dengan
menyertakan variabel predominan seperti
suplemen
vitamin
A,
imunisasi,
kecukupan gizi, patogen kuman, jumlah
kadar TAR dan Nitrosamin pada
penderita ISPA.
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, Tjandra Yoga, 1996. Rokok dan
Kesehatan. Jakarta, UI Press
Agnesia Adnan, 2010. Faktor Risiko
Kejadian Infeksi Saluran Napas Akuta
pada Balita. www.pediatri.or.id. Diakses
tanggal 11 Oktober 2012
Badan Litbangkes Kemenkes RI, 2010.
Riskesdas 2010, Jakarta.
Danusantosa, H, 1997. Rokok dan Perokok.
Jakarta. Aksara
Depkes RI, 2007. Laporan Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi
Jawa Timur tahun 2007. Badang
Litbangkes, Jakarta.
Depkes RI, 2007. Buku Saku Pneumonia
Balita. Sub Direktorat ISPA, Jakarta.
Djauzi Samsuridjal, 2010. Raik Kembali
Kesehatan; Mencegah Berbagai Penyakit
Hidup Sehat untuk Keluarga. Jakarta,
Group Kompas.
Efendi M, 2002. Penggunaan Cognitive
Behavior Therapy untuk mengendalikan
kebiasaan Merokok di Kalangan Siswa
Melalui Peningkatan Perceived Self
Efficacy
Berhenti
Merokok.
www.padangexpress.com.
Diakses
tanggal 12 Oktober 2012
Guetirrez-Ramirez SF, Molina-Salinas GM,
Garcia-Guerra
JF,
dkk.
2007.

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

Enviromental
tobacco
smoke
anpneumonia in children living in
Monterrey, Mexico. Revsalud publica
[sitasi
26
November
2008];9:7685.Diunduh
dari:
http://www.scielosp.org/pdf/rsap/v9n1/v9
n1a08.pdf.
Husaini Aiman, 2007. Tobat Merokok;
Rahasia&Cara
Empatik
Berhenti
Merokok. Jakarta, Penerbit Puataka
IIMaN
Medicall Record, 2012. Puskesmas Panekan
Kabupaten Magetan. Prevalensi Penyakit
ISPA bulan Mei 2012.
Mutadin Z, 2007. Remaja dan Rokok.
www.sekolahindonesia.com.
Diakses
tanggal 12 Oktober 2012
Nasution Kholisah, dkk. 2009. ISPA pada
Balita di Daerah Urban Jakarta. Jurnal
Pediatri 2009;11(4):223-228.
Neneng, 2009. Rokok dan Kesehatan.
www.inshare.com. Diakses tanggal 11
Oktober 2012.
Ogden, Jane, 2000. Helath Psychology;
Buckingham, open university press.
Riyadina W, 1995. Pengaruh Paparan Rokok
Terhadap Kesehatan. Majalah Kesehatan
Masyarakat Indonesia: 52; 33-34
Sirait, dkk, 2001. Perilaku Merokok di
Indonesia. Jurnal Fakultas Kesehatan
Masyarakat.
Medan,
Universitas
Usmatera Utara
Sitepoe, Mangku, 2000. Kekhususan Rokok
di Indonesia. Jakarta, PT Gramedia
Widiasarana.
Sugito, 2007. Stop Merokok, Mudah, Murah,
Cepat. Jakarta, Penebar Swadaya.
Susanna, Dewi. Budi H, Hendra F. 2003.
Penentuan Kadar Nikotin dalam Asap
Rokok.
(Jurnal).
Depok:
Fakultas
Kesehatan
Masyarakat
Universitas
Indonesia
Wantania JM, Naning R, Wahani A. 2008.
Infeksi saluran pernapasan akut. Dalam:
Rahayoe NN, Supriyatno B, Setiyanto
DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi
Anak.Edisi Pertama. Jakarta: Pusat
Penerbitan
Ikatan
Dokter
Anak
Indonesia;h.286-7.

199

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

PENDAHULUAN
HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN
PENGETAHUAN IBU HAMIL DENGAN
KEPATUHAN MELAKUKAN KUNJUNGAN
ANTENATAL DI KELURAHAN
PERDAGANGAN KECAMATAN BANDAR
Renny Sinaga
(Prodi Kebidanan Pematangsiantar,
Poltekkes Kemenkes Medan)

ABSTRAK
Latar belakang: Asuhan Antenatal pada ibu
hamil merupakan program terencana berupa
observasi, edukasi dan penanganan medik
pada ibu hamil untuk memperoleh suatu
kehamilan dan persalinan yang aman yang
perlu dilakukan secara teratur. Namun,
cakupan
pelayanan
antenatal
yang
merupakan salah satu indikator yang
menggambarkan kesehatan ibu dan anak
yang dipantau melalui K1 dan K4 masih jauh
dari target indikator Standar Pelayanan
Minimal Kesehatan. Kepatuhan melakukan
kunjungan antenatal dipengaruhi oleh
karakteristik
seperti,
usia,
paritas,
pendidikan, pekerjaan, dan pengetahuan
tentang seberapa pentingnya melakukan
kunjungan antenatal terhadap ibu hamil
tersebut dan janin dalam kandungannya.
Tujuan: Tujuan penelitian untuk mengetahui
Hubungan Karakteristik dan Pengetahuan
Ibu Hamil dengan Kepatuhan Melakukan
Kunjungan
Antenatal
di
Kelurahan
Perdagangan
I
Kecamatan
Bandar
Kabupaten Simalungun Periode Maret-Mei
2013. Metode: Jenis Penelitian observational
menggunakan metode survey dengan
pendekatan cross sectional. Populasi semua
ibu hamil sebanyak 48 orang. Data dianalisa
menggunakan uji statistic chi-square dengan
tingkat kepercayaan 90%. Hasil: Dari hasil uji
Chi-square pada tingkat kepercayaan =
0,05 diperoleh ada hubungan umur,
pekerjaan, pendidikan dan pengetahuan
dengan kepatuhan melakukan kunjungan
antenatal. Saran: Diharapkan kepada tenaga
kesehatan agar meningkatkan upaya
promontif berupa program penyuluhan
tentang kesehatan ibu hamil meliputi
pelaksanaan ANC sesuai standar dan jadwal
kunjungan.
Kata

Kunci:

200

usia, paritas, pendidikan,


pekerjaan,
engetahuan,
kepatuhan, antenatal

Latar Belakang
Perkembangan pelayanan antenatal di
Indonesia, ternyata belum menunjukkan
hasil yang bermakna dalam menurunkan
angka kematian ibu, dalam mendeteksi
faktor resiko dan kasus resiko tinggi. Itulah
sebabnya
muncul
konsep
antenatal
terintegrasi yang merupakan keterpaduan
berbagai program untuk meningkatkan
kualitas asuhan pada ibu hamil untuk
mengatasi permasalah kesehatan atau
penyakit yang masih cukup tinggi di
Indonesia. Permasalahan terkini yang ada
pada ibu hamil di Indonesia adalah Malaria
pada ibu hamil, TB pada ibu hamil, Human
Immunodeficiency virus (HIV), Prevention of
mother to child transmission(PMTCT), sifilis
kongenital, anemia ibu hamil,ibu hamil
dengan Kekurangan Enegri Kronis (KEK),
ibu hamil dengan gondok endemik, cacingan
pada ibu hamil, tetanus neonatorum dan
permasalahan intelegensi pada anak.
Permasalah tersebut dapat dicegah atau
diketahui secara dini apabila pelayanan
antenatal dilakukan dengan efektif secara
berkesinambungan, (Kusmiyati,2010)
Cakupan
pelayanan
antenatal
merupakan salah satu indikator yang
menggambarkan kesehatan ibu dan anak
yang dipantau melalui K1 dan K4. Dimana,
Bidan dalam hal ini paling sedikit
memberikan
4x
pelayanan
antenatal
pemeriksaan meliputi anamnesis serta
pemantauan ibu dan janin secara saksama
guna
memberikan
penilaian
apakah
perkembangan berlangsung normal. Dengan
melakukan kunjungan ANC secara teratur,
kelainan dalam kehamilan juga dapat segera
terdeteksi seperti anemia, kurang gizi,
hipertensi, PMS dan lain sebagainya. Hal ini
sesuai dengan standar ke 4 dalam standar
pelayanan antenatal yaitu pemeriksaan dan
pemantauan antenatal, (Farodis, 2012)
Cakupan antenatal ibu hamil K4 di
Kabupaten Simalungun Tahun 2010 adalah
sebesar 71,03%, sedangkan cakupan K1
mencapai 80,02%. Dengan demikian terjadi
drop out K4 sebesar 9,81%. Untuk cakupan
kunjungan ibu hamil K1 tahun 2008 ternyata
lebih rendah dibanding tahun 2007 (82,11%),
sedangkan cakupan kunjungan K4 lebih
tinggi dari tahun 2007 (69, 17%). Namun,
masih jauh dari target indikator Standar
Pelayanan Minimal Kesehatan (SPM) 2010
yakni 95%. (Profil Kesehatan Kabupaten
Simalungun, 2009).
Berdasarkan survey awal yang dilakukan
di Kelurahan Perdagangan I Kecamatan
Bandar Kabupaten Simalungun bulan Maret

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

2013 data yang diperoleh terdapat 40 orang


ibu hamil. Setelah dilakukan wawancara
kepada 6 orang ibu hamil di Kelurahan
Perdagangan
I
Kecamatan
Bandar
Kabupaten Simalungun diketahui 4 orang ibu
hamil dengan usia <35 tahun dan 2 orang
>35 tahun, dengan 3 ibu hamil Nullipara, 2
ibu hamil multipara dan 1 ibu hamil
grandemultipara dan 1 ibu hamil dengan
pendidikan terakhir SD, 3 ibu hamil dengan
pendidikan terakhir SMP dan 2 ibu hamil
dengan pendidikan terakhir SMA. Dari hasil
wawancara ternyata 4 orang ibu hamil
kurang
mengetahui
tentang
Asuhan
Antenatal, bahkan ada yang tidak pernah
melakukan ANC. Alasan ibu tersebut karena
faktor pekerjaan dan juga ibu beranggapan
bahwa pemeriksaan kehamilan hanya perlu
di lakukan saat akan bersalin saja.
Dari data diatas, peneliti tertarik
melakukan penelitian
yang berjudul
Hubungan Karakteristik dan Pengetahuan
Ibu Hamil dengan Kepatuhan Melakukan
Kunjungan
Antenatal
di
Kelurahan
Perdagangan
I
Kecamatan
Bandar
Kabupaten Simalungun Maret-Mei 2013.

ISSN: 2086-3098

Tabel 1. Distribusi Umur, Paritas, Pendidikan


dan Pekerjaan Ibu Hamil yang Melakukan
Kunjungan Antenatal Berdasarkan
di Kelurahan Perdagangan I
Kecamatan Bandar Kabupaten Simalungun
Periode Maret-Mei 2013
No
1

4
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian ini adalah penelitian
observational yang menggunakan metode
survey, dengan pendekatan cross sectional
dimana data yang menyangkut variabel
risiko dan variabel akibat, akan dikumpulkan
dalam
waktu
yang
bersamaan.
Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan data primer melalui kuesioner
dengan pertanyaan tertutup yang disusun
oleh peneliti.
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh ibu hamil di Kelurahan Perdagangan
I
Kecamatan
Bandar
Kabupaten
Simalungun. Dengan Jumlah populasi 40
orang dan semuanya menjadi objek
penelitian. Analisa data yang digunakan
univariat dan bivariat dengan menggunakan
2
uji statistic Chi-Square (x )

10
33
5
48

20,8
68,8
10,4
100

4
22
10
11
1
48

8,3
45,8
20,8
22,9
2,1
100

8
10
22
8
48

16,7
20,8
45,8
16,7
100

31
17
48

64,6
35,4
100

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui dari


48 responden yang didata berdasarkan umur
ibu mayoritas adalah kelompok umur 20-35
tahun sebanyak 33 orang (68,8%),.Paritas
ibu mayoritas adalah Primipara sebanyak 22
orang (45,8%) .Pendidikan ibu mayoritas
adalah berpendidikan SMA sebanyak 22
orang (45,8%) dan Pekerjaan ibu mayoritas
adalah Bekerja sebanyak 31 orang (64,6%)
dan minoritas tidak bekerja sebanyak 17
orang (35,4%).
Tabel 2. Distribusi Pengetahuan Ibu Hamil
yang Melakukan Kunjungan Antenatal
di Kelurahan Perdagangan I Kecamatan
Bandar Kabupaten Simalungun
Periode Maret-Mei 2013

HASIL PENELITIAN
Setelah dilakukan penelitian tentang
Hubungan Karaktristik dan Pengetahuan Ibu
Hamil dengan Kepatuhan Melakukan
Kunjungan
Antenatal
di
Kelurahan
Perdagangan
I
Kecamatan
Bandar
Kabupaten Simalungun Periode Maret-Mei
2013 sebagai berikut:

Sosiodemografi
Umur
< 20 tahun
20-35 tahun
> 35 tahun
Jumlah
Paritas
Nullipara
Primipara
Sekundipara
Multipara
Grandemultipara
Jumlah
Pendidikan
SD
SMP
SMA
PT
Jumlah
Pekerjaan
Bekerja
Tidak Bekerja
Jumlah

No
1
2
3

Pengetahuan Ibu
tentang
Kunjungan Asuhan
Antenatal
Baik
Cukup
Kurang
Jumlah

4
24
20
48

8,3
50,0
41,7
100

Berdasarkan Tabel 2 bahwa dari 48


responden
menunjukkan
bahwa
pengetahuan ibu mayoritas adalah kategori

201

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

cukup sebanyak 24 orang (50,0%) dan


minoritas adalah kategori sangat baik
sebanyak 4 orang ( 8,3%).
Tabel 3. Hubungan Karakteristik Ibu Hamil
dengan Kepatuhan Melakukan
Kunjungan Antenatal
di Kelurahan Perdagangan I
Kecamatan Bandar Kabupaten Simalungun
Periode Maret-Mei 2013

No Karakteristik

Umur
a. < 20 tahun
b. 20-35 tahun
c. > 35 tahun
Jumlah
2 Paritas
a. Nullipara
b. Primipara
c. Sekundipara
d. Multipara
e. Grande
multipara
Jumlah
3 Pendidikan
a. SD
b. SMP
c. SMA
d. PT
Jumlah
4 Pekerjaan
a. Bekerja
b. Tak Bekerja
Jumlah

Kepatuhan Melakukan
Kunjungan Antenatal
Tidak
Patuh
TOTAL
Patuh
F % f % f
%

18
1
19

37,5
2,1
39,6

10
15
4
29

20,8
31,3
8,3
60,4

10
33
5
48

20,8 0,005
68,8
10,4
100

3
10
3
3

6,3
20,8
6,3
6,3

1
11
7
9

2,1
22,9
14,6
18,8

4
21
10
12

8,3 0,312
43,8
20,8
25,0

2,1 1

2,1

19 39,6 29 60,4 48 100


1
10
8
19

2,1
20,8
16,7
39,6

8
9
12
29

16,7
18,8
25,0
60,4

8
10
22
8
48

16,7 0,000
20,8
45,8
16,7
100

7 14,6 24 50,0 31 64,6 0,001


12 25,0 5 10,4 17 35,4
19 39,6 29 60,4 48 100

Berdasarkan Tabel 3, diketahui dari


responden pada umur < 20 tahun sebanyak
10 ibu hamil,umur 20-35 tahun sebanyak 33
ibu hamil, terdapat 18 ibu hamil (37,5%)
patuh melakukan kunjungan antenatal dan
umur > 35 tahun sebanyak 5 ibu hamil, 4 ibu
hamil (8,3%) tidak patuh melakukan
kunjungan antenatal. Dari hasil uji chi-squre
hubungan
umur
dengan
kepatuhan
melakukan kunjungan antenatal diperoleh
nilai probalitas 0,005 dengan tingkat
kepercayaan = 0,05 dimana p < yang
berarti nilai probabilitas lebih kecil dari
tingkat kepercayaan artinya ada hubungan
antara umur ibu dengan kepatuhan
melakukan kunjungan antenatal.
Berdasarkan paritas, pada Nullipara
sebanyak 4 ibu hamil, terdapat 3 ibu hamil
(6,3%) yang patuh melakukan kunjungan
antenatal, pada Primipara sebanyak 21 ibu
hamil, terdapat 10 ibu hamil (20,8%) patuh
melakukan kunjungan antenatal, pada
sekundipara sebanyak 10 ibu hamil, terdapat
7 ibu hamil (14,6%) tidak patuh melakukan
kunjungan antenatal, pada multigravida
sebanyak 12 ibu hamil, terdapat 9 ibu hamil

202

ISSN: 2086-3098

(18,8%) tidak patuh melakukan kunjungan


antenatal. Dari hasil uji chi-squre hubungan
paritas dengan kepatuhan melakukan
kunjungan
antenatal
diperoleh
nilai
probalitas 0,312 dengan tingkat kepercayaan
= 0,05 dimana p > yang berarti nilai
probabilitas lebih besar dari tingkat
kepercayaan artinya tidak ada hubungan
antara paritas ibu dengan kepatuhan
melakukan kunjungan antenatal.
Berdasarkan
pendidikan,
pada
pendidikan SD sebanyak 8 ibu hamil,
terdapat 8 ibu hamil (16,7%) tidak patuh
melakukan kunjungan antenatal, pada
pendidikan SMP sebanyak 10 ibu hamil, 9
ibu hamil (18,8%) tidak patuh melakukan
kunjungan antenatal, pada pendidikan SMA
sebanyak 22 ibu hamil, terdapat 12 ibu hamil
(25,0%) tidak patuh melakukan kunjungan
antenatal, pada pendidikan Perguruan Tinggi
sebanyak 8 ibu hamil, terdapat 8 ibu hamil
(16,7%)
patuh
melakukan
kunjungan
antenatal. Dari hasil uji chi-squre hubungan
pendidikan dengan kepatuhan melakukan
kunjungan
antenatal
diperoleh
nilai
probalitas 0,000 dengan tingkat kepercayaan
= 0,05 dimana p < yang berarti nilai
probabilitas
lebih
kecil
dari
tingkat
kepercayaan artinya ada hubungan antara
pendidikan
ibu
dengan
kepatuhan
melakukan kunjungan antenatal.
Berdasarkan pekerjaan, pada ibu hamil
yang bekerja sebanyak 31 ibu hamil,
terdapat 7 ibu hamil (14,6%) patuh
melakukan kunjungan antenatal dan 24 ibu
hamil (50,0%) tidak patuh melakukan
kunjungan antenatal, pada ibu hamil yang
tidak bekerja, terdapat 12 ibu hamil (25,0%)
patuh melakukan kunjungan antenatal dan 5
ibu hamil (10,4%) tidak patuh melakukan
kunjungan antenatal. Dari hasil uji chi-squre
hubungan pekerjaan dengan kepatuhan
melakukan kunjungan antenatal diperoleh
nilai probalitas 0,001 dengan tingkat
kepercayaan = 0,05 dimana p < yang
berarti nilai probabilitas lebih kecil dari
tingkat kepercayaan artinya ada hubungan
antara pekerjaan ibu dengan kepatuhan
melakukan kunjungan antenatal.
Dari hasil uji chi-squre hubungan
pengetahuan dengan kepatuhan melakukan
kunjungan
antenatal
diperoleh
nilai
probalitas 0,000 dengan tingkat kepercayaan
= 0,05 dimana p < yang berarti nilai
probabilitas
lebih
kecil
dari
tingkat
kepercayaan artinya ada hubungan antara
pengetahuan
ibu
dengan
kepatuhan
melakukan kunjungan antenatal.

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

Tabel 4. Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil


dengan Kepatuhan Melakukan
Kunjungan Antenatal
di Kelurahan Perdagangan I
Kecamatan Bandar Kabupaten Simalungun
Periode Maret-Mei 2013
Variabel
(Pengetahuan)
Kategori
Baik
Cukup
Kurang
Jumlah

Kepatuhan Melakukan
Kunjungan Antenatal
Tidak
Patuh
TOTAL
Patuh
f
% f
% f
%

4 8,3
4 8,3
15 31,3 9 18,8 24 50,0 0,000
20 41,7 20 41,7
19 39,6 29 60,4 48

100

ISSN: 2086-3098

21 ibu hamil (43,8%)mdan yang paling


sedikit adalah Grandemultipara sebanyak 1
ibu hamil (2,1%).
Paritas diperkiran ada kaitannya dengan
kemampuan ibu hamil dalam mencari
informasi tentang pengetahuan dalam
mencapaian pelayanan kesehatan ibu hamil.
Keadaan ini dihubungkan dengan pengaruh
pengalaman sendiri maupun orang lain
terhadap
pengetahuan
yang
dapat
mempengaruhi perilaku saat ini atau
kemudian. Kehamilan dan persalinan yang
berulang akan membuat seorang ibu
memiliki semakin banyak pengalaman dalam
kehamilannya, ( Pinem, 2009).

PEMBAHASAN

Pendidikan

Hubungan
Karakteristik
dengan
Kepatuhan Kunjungan Antenatal

Menurut Depkes (2005), bahwa latar


belakang pendidikan individu merupakan
masalah mendasar yang dapat menentukan
keberhasilan suatu program kesehatan. Hal
ini juga terlihat pada penelitian Elija 2012,
hasil uji Chi square menunjukkan adanya
hubungan pendidikan terhadap pelaksanaan
ANC dengan nilai p = 0,000.
Pendidikan akan membuat seseorang
terdorong ingin tahu, mencari pengalaman
sehingga informasi yang diterima akan
menjadi pengetahuan. Tingkat pendidikan
ibu yang rendah mengakibatkan kurangnya
pengetahuan
ibu
dalam
menghadapi
masalah (Notodmodjo, 2007). Hal ini sesuai
dengan
pendapat
Mutalazim
2008
mengatakan seseorang yang berpendidikan
lebih tinggi akan dapat mengambil
keputusan lebih rasional, umumnya lebih
terbuka untuk menerima perubahan ataupun
hal baru dibandingkan seseorang yang
berpendidikan
rendah.Rendahnya
pendidikan dasar ibu didaerah penelitian ini
merupakan faktor penyebab mendasar yang
sangat mempengaruhi tingkat kemampuan
untuk mengakses pelayanan kesehatan
khususnya pelaksanaan ANC.

Umur Ibu Hamil


Dalam penelitian ini ditemukan tertinggi
adalah pada ibu hamil kelompok umur 20-35
tahun sebanyak 33 ibu hamil (68,8%) dan
yang paling sedikit adalah umur > 35 tahun
sebanyak 5 ibu hamil (10,4%). Umur ibu
merupakan salah satu variabel yang
berhubungan erat dengan kesehatan
individu. Umur reproduksi sehat pada
seorang wanita adalah 20-35 tahun.
Penelitian Talenta 2012 juga menunjukkan
adanya hubungan umur terhadap kepatuhan
melakukan kunjungan ANC dengan nilai p =
0,002.
Ibu yang berumur 20-35 tahun, disebut
sebagai masa dewasa dan disebut juga
masa reproduksi, di mana pada masa ini
diharapkan orang telah mampu untuk
memecahkan
masalah-masalah
yang
dihadapi dengan tenang secara emosional,
terutama dalam menghadapi kehamilan,
persalinan, nifas, dan merawat bayinya
nanti. Ibu dengan umur < 20 tahun dan > 35
tahun merupakan kelompok resiko tinggi
untuk hamil (Manuaba, 2001). Wanita yang
hamil pada usia kurang dari 20 tahun,
keadaan rahim dan alat-alat reproduksi ibu
belum berkembang dengan baik, sehingga
perlu diwaspadai kemungkinan mengalami
persalinan yang sulit. Wanita yang hamil
pada umur > 35 tahun, kondisi rahim dan
alat-alat reproduksi tidak sebaik umur 20-35
tahun, (Depkes, 2007).
Paritas
Dalam penelitian ini, dilihat dari 48
responden yang didata, ditemukan paritas
yang terbanyak adalah primipara sebanyak

203

Pekerjaan
Dalam penelitian ini, Berdasarkan
pekerjaan ibu mayoritas adalah Bekerja
sebanyak 31 orang (64,6%) dan minoritas
tidak bekerja sebanyak 17 orang (35,4%).
Hasil uji Chi square menunjukkan adanya
hubungan pekerjaan terhadap pelaksanaan
ANC dengan nilai p = 0,001.Bekerja
umumnya merupakan kegiatan yang menyita
waktu bagi ibu-ibu yang mempunyai
pengaruh terhadap kehidupan keluarga. Hal
ini juga terlihat pada penelitian Elija 2012,
hasil uji Chi square menunjukkan adanya
hubungan pekerjaan terhadap pelaksanaan
ANC dengan nilai p = 0,000. Status

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

Pekerjaan di daerah penelitian ini juga


merupakan
faktor
penyebab
yang
mempengaruhi ibu untuk melaksanakan
kunjungan antenatal. Dikarenakan mayoritas
ibu yang bekerja menyebabkan ibu tidak
memiliki waktu yang cukup untuk melakukan
kunjungan antenatal.
Seorang yang memerlukan banyak waktu
dan tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan
yang dianggap penting dan memerlukan
perhatian
dengan
adanya
pekerjaan.
Masyarakat yang sibuk hanya memiliki waktu
yang sedikit untuk memperoleh informasi.
Dengan terbukanya kesempatan bekerja dan
tuntutan untuk bekerja membantu ekonomi
keluarga maka sebagian ibu-ibu memilih
bekerja di luar rumah. Dengan bekerja ibu
tidak memiliki waktu yang cukup untuk
memeriksakan
kehamilannya
dan
menyebabkan ibu tidak patuh dalam
melakukan
kunjungan
kehamilannya,
(Notoadmojo,2007).
Hubungan
Pengetahuan
terhadap
Kepatuhan Kunjungan Antenatal
Dari hasil penelitian ditemukan dari 48
responden persentase tertinggi adalah
berpengetahuan cukup 24 ibu (50,0 %) dan
persentase
terendah
berpengetahuan
kurang sebanyak 4 ibu (8,3 %). Hasil uji Chi
square menunjukkan adanya hubungan
pengetahuan terhadap pelaksanaan ANC
dengan nilai p = 0,000.
Hal ini sesuai dengan teori bahwa
pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang. Hal ini juga
terlihat pada penelitian Talenta 2012,
menunjukkan
adanya
hubungan
pengetahuan terhadap pelaksanaan ANC.
Seseorang yang memiliki pengetahuan tidak
hanya sekedar tahu (know) tetapi mampu
memahami, mengaplikasikan, menganalisa
dan mensintesisnya, (Notoadmodjo,2010).
Hasil penelian di Kelurahan Perdagangan I
Kecamatan Bandar Kabupaten Simalungun
menunjukkan ibu dengan pengetahuan
kurang cenderung tidak patuh dalam
melakukan kunjungan antenatal dan dapat
diambil kesimpulan bahwa kepatuhan
melakukan kunjungan antenatal dipengaruhi
pengetahuan seseorang.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Mayoritas ibu hamil adalah pada kelopok
umur 20-35 tahun sebanyak 33 orang
(68,8%), paritas ibu mayoritas adalah
Primipara
sebanyak
22
orang

204

ISSN: 2086-3098

(45,8%),mayoritas adalah berpendidikan


SMA sebanyak 22 orang (45,8%),dan pada
umumnya ibu bekerja sebanyak 31orang
(64,6%),dan rata-rata pengetahuan ibu pada
kategori cukup sebanyak 24 orang (50,0%).
Hasil
uji
Chi-square
diperoleh
hasil,umur,pendidikan,
pekerjaan
dan
pengetahuan ibu berhubungan dengan
kepatuhan
ibu
melakukan
kunjungan
antenatal
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang
diperoleh disarankan kepada ibu hamil tetap
mempertahankan
kesadarannya
untuk
melakukan kunjungan antenatal dan lebih
peduli
lagii
terhadap
kesehatan
kehamilannya dengan berupaya menambah
pengetahuannya dengan cara membaca
leaflet-leaflet
dan
majalah-majalah
kesehatan yang berhubungan dengan
kehamilan terutama tanda bahaya pada
kehamilan
serta
memeriksakan
kehamilannya
dengan
teratur,
Perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut tentang
hubungan hubungan karakteristik dan
pengetahuan ibu hamil dengan kepatuhan
melakukan kunjungan antenatal dengan
variabel dan desain penelitian yang lebih
sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, 2012, Buku Ajar Asuhan Kebidanan
Ibu I (KEHAMILAN), Surakarta, Rohima
Press
Bartini, 2012, ANC Asuhan Kebidanan Pada
Ibu Hamil Normal Dilengkapi Panduan
Praktikum
dan
Senam
Hamil,
Yogyakarta, Haikhi.
Sulistio, 2007. Safemother-Hood, online
Available
at:http://www.google.com
Accesed 07 Maret 2013
BKKBN, 2007, Angka Kematian Ibu dan
Bayi,
online
Available
at:<http://www.BKKBN.go.id> Accesed
05 Maret 2013
DINKES, 2010, Profil Dinas Kesehatan
Pematangsiantar.
Upnv, 2011, Kepatuhan Pasien, online
Available
at:http://www.unpv.ac.id
Accesed 11 Maret 2013

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

Kusmiyati, dkk, 2009, Perawatan Ibu Hamil


(Asuhan
Ibu
Hamil),
Yogyakarta,
Fitramaya.
Mufdlilah, 2009, ANC Fokus Antenatal Care
Focused,Pemeriksaan
......Kehamilan
Fokus Dilengkapi dengan Pijat Ibu Hamil,
Yogyakarta, Nuha ......Medika.
Notoatmodjo,
2010,
Ilmu
Perilaku
Kesehatan, Jakarta, PT Rineka Cipta
Notoatmodjo, 2010, Metodologi Penelitian
Kesehatan, Jakarta, PT Rineka ......Cipta
Pantikawati, dkk, 2010, Asuhan Kebidanan I
(Kehamilan),
Yogyakarta,
Nuha
......Medika
Rukiyah, dkk, 2009, Asuhan Kebidanan 1
(Kehamilan), Jakarta, CV Trans Info
Media
Farodis,
2012,
Panduan
Lengkap
Manajemen Kebidanan, Yogyakarta, DMedika
www.Provinsi Sumatera Utara.Com, Angka
Kematian Ibu Dan Angka ......Kematian
Bayi, 20 Februari 2013.

205

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

PENDAHULUAN
GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA
TENTANG HUBUNGAN SEKSUAL
PRANIKAH TERHADAP PENYAKIT
MENULAR SEKSUAL DI SMK
KESEHATAN SAHATA
PEMATANGSIANTAR PERIODE
Tiamin Simbolon
(Prodi Kebidanan Pematangsiantar,
Poltekkes Kemenkes Medan)
ABSTRAK
Latar belakang: Pengetahuan yang kurang
tentang perilaku seksual yang benar dan
aman akan berisiko terjadinya penyakit
menular seksual. Untuk itu kaum muda perlu
mengumpulkan pengetahuan dalam upaya
meningkatkan status kesehatan agar mereka
dapat terhindar dari penyakit menular
seksual. Tujuan: Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengetahuan remaja
tentang
hubungan
seksual
pranikah
terhadap penyakit menular seksual di SMK
Kesehatan SAHATA
Pematangsiantar.
Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif
dengan menggunakan data primer yang
didapat dari hasil kuesioner yang diajukan
kepada responden, sampel yang digunakan
sebanyak 69 responden. Data yang
diperoleh melalui proses editing, coding dan
tabulating. Hasil: Didapatkan 42 (60,87%)
responden berumur 16 tahun, menganut
agama Kristen Protestan 38 (55,1%),
responden dengan suku Batak 53 (76,8%),
54 (78,3%) responden tinggal di asrama,
orang tua responden dengan pendapatan
sedang 35 (50,7%), 25 (36,2%) responden
memperoleh informasi dari orang tua, 34
(49,3%) berpengetahuan sangat baik
tentang definisi hubungan seksual pranikah,
pengetahuan responden tentang faktor
penyebab hubungan seksual pranikah yang
memiliki pengetahuan baik 33 orang
(47,8%),
31
(44,9%)
responden
berpengetahuan tidak baik tentang definisi
penyakit menular seksual, pengetahuan
responden tentang jenis penyakit menular
seksual yang memiliki pengetahuan tidak
baik 31 orang (44,9%), 39 (56,5%)
responden berpengetahuan sangat baik
tentang risiko melakukan hubungan seksual
terlalu dini. Saran: Diharapkan remaja dapat
memperluas
pengetahuan
tentang
hubungan seksual pranikah terhadap
penyakit menular seksual.
Kata kunci: Pengetahuan, Remaja,
Hubungan seksual Pranikah,
Penyakit Menular seksual.

206

Latar Belakang
Pada saat masyarakat dunia menjadi
semakin maju dan meningkat kesejahtraan
materialnya,
kejahatan
remaja
juga
meningkat. Maka ironisnya, ketika Negaranegara dan bangsa-bangsa menjadi lebih
kaya dan makmur, kemudian kesempatan
untuk maju bagi setiap individu menjadi
semakin banyak, kejahatan remaja justru
semakin
berkembang
dengan
pesat.
Misalnya, di Amerika Serikat, 80% remaja
mengaku pernah melakukan hubungan
seksual, dan 92% remaja mengaku
terserang penyakit menular seksual yaitu
Acquired Immuno Deficiency Syndrome
(AIDS), (Kartono,2008).
World
health
organization
(WHO)
melaporkan bahwa terdapat lebih dari 11 juta
kasus penyakit menular seksual (PMS)
khusus untuk jenis sifilis, klamidia, dan
gonore saja. Hasil data Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurus
masalah HIV/AIDS mencatat sekitar 39,4
juta kasus HIV/AIDS. Sekitar 8,2 juta ODHA
(orang dengan HIV/AIDS) dimana 2,3 juta
orang adalah perempuan (Munir,2008).
Jumlah penderita yang terdata hanya
sebagian kecil, Prevalensi infeksi menular
seksual di Indonesia sangat tinggi ditemukan
di kota Bandung, yakni dengan prevalensi
infeksi gonore sebanyak 37,4%, chlamydia
34,5%, dan syphilis 25,2%; Di kota Surabaya
prevalensi infeksi chlamydia 33,7%, syphilis
28,8% dan gonorrhea 19,8%; Sedang di
Jakarta prevalensi infeksi gonorrhea 29,8%,
syphilis 25,2% dan chlamydia 22,7% di
Medan, kejadian syphilis terus meningkat
setiap tahun. Peningkatan penyakit ini
terbukti sejak tahun 2003 meningkat 15,4%
sedangkan pada tahun 2004 terus
menunjukkan peningkatan menjadi 18,9%,
sementara pada tahun 2005 meningkat
menjadi 22,1%. Setiap orang bisa tertular
penyakit menular seksual. Kecenderungan
kian meningkatnya penyebaran penyakit ini
disebabkan perilaku seksual yang bergontaganti pasangan, dan adanya hubungan
seksual pranikah dan diluar nikah yang
cukup tinggi. Kebanyakan penderita penyakit
menular seksual adalah remaja usia 15-29
tahun, tetapi ada juga bayi yang tertular
karena tertular dari ibunya.Berdasarkan data
Kemenkes hingga akhir Juni 2010, terdapat
21.770 kasus AIDS dan 47.157 kasus HIV
positif. Persentase pengidap usia 20-29
tahun mencapai 48,1 persen dan usia 30-39
tahun sebanyak 30,9 persen (Lestari, 2008).
Permasalahan kesehatan reproduksi
remaja termasuk pada saat pertama kali

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

anak perempuan mendapat haid/menarche


yang bisa berisiko timbulnya anemia.
Pengetahuan yang kurang tentang prilaku
seksual yang benar dan aman dapat berisiko
terjadinya
penyakit
menular
seksual
termasuk HIV/AIDS. Seseorang berhak
terbebas dari kemungkinan tertular penyakit
menular seksual yang bisa berpengaruh
terhadap
fungsi
organ
reproduksi
(Widyastuti,2009).
Pada dasarnya, sebagian besar yang
mengalami kerugian akibat hubungan seks
diluar nikah adalah kaum perempuan.
Perasaan cinta yang dimiliki seorang
perempuan terlalu jauh dan berharap dapat
menjalin hubungan hingga pernikahan, inilah
yang menyebabkan remaja putri mau
melakukan hubungan seks diluar nikah. Bagi
perempuan, meskipun baru pertama kali
melakukan hubungan seksual, kemungkinan
hamil antara 20-25% (Dianawati,2006).
Dari hasil survey awal yang dilakukan
oleh penulis pada bulan September 2011,
terdapat remaja SMK Kesehatan SAHATA
Pematangsiantar sebanyak 69 orang yang
terdiri dari 2 jurusan yaitu 29 orang jurusan
Keperawatan dan 40 jurusan Farmasi, dan
berdasarkan tanya jawab yang dilakukan
penulis didapat 15 orang yang tidak
memahami tentang hubungan seksual
pranikah terhadap penyakit menular seksual,
pada umumnya mereka hanya mengetahui
tentang HIV/AIDS sedangkan untuk Sifilis,
Klamidia, Gonoroe dan Herpes pengetahuan
mereka masih kurang.
Dari latar belakang diatas, Penulis
tertarik
untuk
melakukan
penelitian
mengenai Gambaran Pengetahuan Remaja
Tentang Hubungan Seksual Pranikah
Terhadap Penyakit Menular Seksual Di SMK
Kesehatan
SAHATA
Pematangsiantar
Periode September 2011 Februari 2012.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui gambaran pengetahuan
remaja di SMK Kesehatan SAHATA
Pematangsiantar
tentang
hubungan
seksual pranikah dan penyakit menular
seksual berdasarkan umur, agama, suku,
tempat tinggal,l pendapatan orang tua
dan sumber informasi.
2. Mengetahui gambaran pengetahuan
remaja di SMK Kesehatan SAHATA
Pematangsiantar
tentang
hubungan
seksual pra nikah dan penyakit menular
seksual berdasarkan Definisi Hubungan
Seksual Pranikah, Faktor penyebab
terjadinya hubungan seksual pranikah
dan defenisi penyakit menular seksual

207

ISSN: 2086-3098

3. Mengetahui gambaran pengetahuan


remaja di SMK Kesehatan SAHATA
Pematangsiantar
tentang
hubungan
seksual pranikah dan penyakit menular
seksual berdasarkan Jenis
Penyakit
Menular seksual dan Resiko Melakukan
Hubungan Seksual terlalu dini.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian ini bersifat deskriptif
yang bertujuan untuk menggambarkan
pengetahuan remaja tentang hubungan
seksual pranikah terhadap penyakit menular
seksual.
Lokasi penelitian ini dilakukan di SMK
Kesehatan
SAHATA
Pematangsiantar.
Waktu Survei awal yang dilakukan pada
bulan Agustus tahun 2011 dan pelaksanaan
penelitian akan dilakukan pada bulan
September 2011.
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh remaja di SMK Kesehatan SAHATA
Pematangsiantar sebanyak 69 orang.
Jumlah
sampel
69
orang
dengan
menggunakan tehnik random (Acak). Teknik
random adalah jenis sistematik sampling
(tehnik random sistematis), Jumlah sampel
yang diinginkan ada 69 orang remaja, maka
intervalnya adalah jumlah populasi dibagi
sampel adalah setiap elemen yang
mempunyai nomor kelipatan 3 yaitu 3, 6, 9,
12 dan seterusnya sampai mencapai 69
orang remaja anggota sampel.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Umur Remaja
di SMK Kesehatan SAHATA
Pematangsiantar Tahun 2012
No
1
2
3

Umur
15 Thn
16 Thn
17 Thn
Total

F
14
42
13
69

%
20,29
60,87
18,84
100

Dari Tabel 1 didapati bahwa mayoritas


adalah umur 16 tahun sebanyak 42 orang
(18,84%).
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Agama Remaja
di SMK Kesehatan SAHATA
Pematangsiantar Tahun 2012
No
1
2

Agama
Kristen Protestan
Islam
Total

F
38
31
69

%
55,1
44,9
100

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

Dari Tabel 2 didapati bahwa mayoritas


adalah Agama Kristen Protestan sebanyak
38 orang (55,1

Dari Tabel 6 didapati bahwa mayoritas


adalah berasal dari Orangtua sebanyak 25
orang (36,2%).

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Suku Remaja


di SMK Kesehatan SAHATA
Pematangsiantar Tahun 2012

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Pengetahuan


Remaja tentang Definisi
Hubungan Seksual Pranikah
di SMK Kesehatan SAHATA
Pematangsiantar Tahun 2012

No
1
2

Suku
Batak
Jawa
Total

F
53
16
69

%
76,8
23,2
100

No
1
2
3
4

Dari Tabel 3 didapati bahwa Suku


Remaja Di SMK Kesehatan SAHATA
Pematangsiantar bulan September 2011 Februari 2012 yang paling banyak adalah
Suku Batak sebanyak 53 orang (76,8%)
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Tempat Tinggal
Remaja di SMK Kesehatan SAHATA
Pematangsiantar Tahun 2012
No
1
2

Tempat Tinggal
Kost
Tinggal di Asrama
Total

F
15
54
69

%
21,7
28,3
100

Dari Tabel 4 didapati bahwa mayoritas


adalah tinggal diasrama sebanyak 15 orang
(21,7%).
Tabel 5. Distribusi Frekuensi
Pendapatan Orangtua Remaja
di SMK Kesehatan SAHATA
Pematangsiantar Tahun 2012
Pendapatan Orangtua/Bulan
Tingkat pendapatan tinggi
(> Rp.1.500.000)
Tingkat pendapatan sedang
(Rp.1.000.000 1.500.000)
Tingkat pendapatan rendah
(< Rp.1.000.000)
Total

F
25

%
36,2

35

50,7

13

69

100

Dari Tabel 5 didapati bahwa mayoritas


adalah Tingkat Pendapatan sedang yaitu 35
orang (50,7%).
Tabel 6. Distribusi Frekuensi
Sumber Informasi Remaja
Tentang Hubungan Seksual Pranikah
Terhadap Penyakit Menular Seksual
di SMK Kesehatan SAHATA
Pematangsiantar Tahun 2012
Sumber nformasi
Orangtua
Guru
Teman Sebaya
Media Elektronik
Total

208

F
25
8
22
14
69

%
36,2
11,6
31,9
20,3
100

Definisi Hubungan
Seksual Pranikah
Sangat Baik
Baik
Tidak Baik
Sangat Tidak Baik
Total

34
29
6
69

49,3
42
8,7
100

Dari Tabel 7 didapati bahwa mayoritas


adalah Sangat baik sebanyak 34 orang
(49,3%)
Tabel 8. Distribusi Frekuensi Pengetahuan
Remaja Tentang Faktor Penyebab
Hubungan Seksual Pranikah
di SMK Kesehatan SAHATA
Pematangsiantar Tahun 2012

No
1
2
3
4

Faktor Penyebab
Hubungan Seksual
Pranikah
Sangat Baik
Baik
Tidak Baik
Sangat Tidak Baik
Total

32
33
4
-69

46,4
47,8
5,8
-100

Dari Tabel 8 didapati bahwa mayoritas


tingkat pengetahuan sangat baik sebanyak
33 orang (47,8%)
Tabel 9. Distribusi Frekuensi Pengetahuan
Remaja Tentang Definisi
Penyakit Menular Seksual
di SMK Kesehatan SAHATA
Pematangsiantar Tahun 2012
No
1
2
3
4

Definisi Penyakit
Menular Seksual
Sangat Baik
Baik
Tidak Baik
Sangat Tidak Baik
Total

11
22
31
5
69

15,9
31,9
44,9
7,2
100

Dari
Tabel
9
didapati
bahwa
Pengetahuan
Remaja tentang Definisi
Penyakit Menular mayoritas adalah Tidak
baik sebanyak 31 orang ( 44,9%) .

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

Tabel 10. Distribusi Frekuensi Pengetahuan


Remaja Tentang Jenis
Penyakit Menular Seksual
di SMK Kesehatan SAHATA
Pematangsiantar Tahun 2012
No
1
2
3
4

Jenis Penyakit
Menular Seksual
Sangat Baik
Baik
Tidak Baik
Sangat Tidak Baik
Total

14
20
31
4
69

20.3
29
44,9
5,8
100

Dari
Tabel
10
didapati
bahwa
Pengetahuan Remaja tentang Jenis Penyakit
Menular Seksual mayoritas adalah Tidak
banyak sebanyak 31 orang (44,9%).
Tabel 11. Distribusi Frekuensi Pengetahuan
Remaja Tentang Risiko
Melakukan Hubungan Seksual Terlalu Dini
di SMK Kesehatan SAHATA
Pematangsiantar Tahun 2012

No
1
2
3
4

Risiko Melakukan
Hubungan Seksual
Terlalu Dini
Sangat Baik
Baik
Tidak Baik
Sangat Tidak Baik
Total

39
25
5
69

56,5
36,2
7,2
100

Dari tabel 11 didapati bahwa Pengetahuan


Remaja tentang Jenis Penyakit Menular
Seksual mayoritas adalah Sangat baik
sebanyak 39 orang (56,5%).
PEMBAHASAN
Gambaran
Pengetahuan
Remaja
Tentang Hubungan Seksual Pranikah
Terhadap Penyakit Menular Seksual di SMK
Kesehatan
SAHATA
Pematangsiantar
Berdasarkan Umur.
Menurut
asumsi
peneliti,
umur
merupakan salah satu faktor penting untuk
mengetahui pengetahuan remaja tentang
kesehatan reproduksi, karena semakin
bertambahnya umur seseorang maka rasa
keingintahuannya
terhadap
kesehatan
reproduksi juga semakin tinggi, sedangkan
jika umur seorang remaja masih muda
kemungkinan rasa keingintahuannya masih
minim apalagi itu menyangkut masalah
seksualitas.
Faktor yang berpengaruh pada perilaku
seksual menunjuk kepada faktor nilai agama
di
masyarakat
yang
bersangkutan.

209

ISSN: 2086-3098

Walaupun agama mungkin tidak begitu


berpengaruh langsung pada tingkah laku
seksual masing-masing individu, dalam
masyarakat yang agamanya masih dijadikan
norma
masyarakat,
ada
semacam
mekanisme kontrol sosial. Mekanisme ini
mengurangi
kemungkinan
seseorang
melakukan tindakan seksual diluar batas
ketentuan agamanya. Inilah yang mungkin
menyebabkan masih rendahnya insiden
hubungan seks pada remaja di Indonesia.
Menurut asumsi peneliti pendidikan
agama
sangatlah
penting
dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari baik itu
dalam perbuatan, tingkah laku maupun
perkataan karena dengan adanya bekal
iman yang kuat pada diri remaja dia akan
lebih berfikir dalam mengerjakan suatu
pekerjaan apakah itu baik atau tidak, atau
apakah tindakannya tersebut bertentangan
dengan ajaran yang telah di dapat atau tidak,
karena pada dasarnya semua agama
mengajarkan kebaikan kepada umatnya.
Pola
harapan
orangtua
yang
menekankan agar anak selalu menurut pada
orangtua mungkin adalah dalam rangka agar
anak menjadi orang seperti yang dicitacitakan oleh orangtua. Hal ini mungkin sekali
berkaitan dengan norma-norma yang didapat
oleh remaja (Sarwono, 2007).
Salah satu yang menjadi penyebab seks
bebas dikalangan remaja adalah faktor
lingkungan, pemilik kost maupun pihak
orangtua makin longgar sehingga makin
banyak remaja yang terjebak ke dalam pola
kehidupan seks bebas karena berbagai
pengaruh yang terima baik dari teman dan
pengaruh lingkungan secara umum (
Hurlock,2004).
Menurut asumsi penulis kehidupan bebas
yang semakin dinikmati oleh remaja dengan
keadaan
lingkungan
sekitar
yang
mendukung semakin mempermudah remaja
dalam melakukan apapun perbuatan yang
mereka anggap membuat mereka bahagia
walaupun pada hakikatnya itu akan
menjerumuskan
mereka
pada
suatu
keadaan yang akan merugikan mereka.
Hubungan seksual tidak hanya diukur
dari kenikmatan semata. Namun juga
menyangkut seluruh
tanggung
jawab
diantara
kedua
belah
pihak.
Seks
merupakan kebutuhan dasar yang tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang,
(Dianawati,2004).
Menurut asumsi penulis, masih adanya
remaja yang memeiliki pengetahuan tidak
baik mengenai definisi hubungan seksual
diantaranya yaitu hendaknya orang tua
memberikan pendidikan seks kepada anak
sedini mungkin dan memberikan perhatian
kepada anak begitu juga anak bersikap lebih

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

terbuka kepada orang tua baik itu kehidupan


pribadinya agar anak mengerti lebih dini
sehingga dapat menghindari perbuatan yang
tidak baik ketika anak tersebut menginjak
remaja atau dewasa.
Faktor penyebab terjadinya hubungan
seksual pranikah yang paling utama adalah
orangtua menganggap tabu-larangan dalam
memberikan pendidikan seks. Orangtua
sendiri baik karena ketidaktahuannya
maupun karena sikapnya yang mentabukan
pembicaraan mengenai seks dengan anak
tidak terbuka terhadap anak, sehingga anak
ingin mencoba melakukan hubungan seksual
dengan lawan jenisnya, (Sarwono, 2004).
Salah satu akibat yang ditimbulkan dari
aktivitas seksual yang tidak sehat adalah
munculnya penyakit menular seksual (PMS).
Dengan semakin banyak mengetahui akibat
yang ditimbulkan dari aktivitas seksual, para
remaja diharapkan dapat menjaga dirinya
dari akibat-akibat tersebut. Selain itu,
diharapkan akan muncul kesadaran bahwa
apapun
yang
dilakukan pasti akan
menimbulkan dampak negatif maupun
positif, tergantung dari perbuatan yang
dilakukan, ( Dianawati, 2004).
Menurut asumsi penulis kurangnya
informasi yang didapat oleh remaja
menyebabkan banyak diantara mereka
memiliki pengetahuan yang tidak baik
mengenai definisi penyakit menular seksual,
dengan demikian memberikan pendidikan
seks kepada remaja baik itu oleh orang tua,
pihak sekolah maupun oleh media elektronik
akan meningkatkan pengetahuan remaja
tersebut sehingga akan mengurangi hal-hal
yang tidak diinginkan seperti dapat tertular
oleh penyakit menular seksual oleh karena
itu diharapkan dengan hal tersebut dapat
meningkatkan kesadaran remaja dalam
melakukan perbuatan yang akan dilakukan.
Salah satu akibat lain dari meningkatnya
aktivitas seksual pada remaja yang tidak
diimbangi dengan alat kontrasepsi adalah
meningkatnya penyakit kelamin di kalangan
remaja, itu bisa membahayakan jiwa
penderita
atau
bisa
menular
pada
keturunannya kalau seorang penderita pria
menikahi seorang wanita. Untuk mencegah
hal-hal
yang
tidak
dikehendaki
ini,
pendidikan seks sangat diperlukan, karena
tanpa informasi yang cukup, remaja
cenderung
menyalahgunakan
hasrat
seksualnya tanpa kendali dan tanpa
pencegahan sama sekali, (Sarwono, 2007).
Menurut asumsi penulis , dimana
pengetahuan remaja masih lebih banyak
yang tidak baik dikarenakan kurangnya
informasi yang di dapat mengenai Jenis-jenis
penyakit menular seksual, padahal hal
tersebut sangatlah penting, agar ketika

210

ISSN: 2086-3098

remaja memiliki hasrat untuk melakukan


hubungan seksual, remaja akan lebih
berhati-hati mengingat dampak buruk yang
dapat ditimbulkan akibat penyalahgunaan
hasrat seksual tersebut.
Menurut Notoatmodjo, 2007, faktor-faktor
yang paling terkait kondisi saat ini
menyebabkan perilaku seksual remaja
semakin menggejala akhir-akhir ini. Namun
begitu, banyak remaja tidak mengindahkan
bahkan tidak tahu resiko dan perilaku seksual
mereka terhadap kesehatan reproduksi baik
dalam waktu yang cepat maupun dalam
waktu yang paling panjang.
Menurut asumsi peneliti, masih adanya
remaja yang memiliki pengetahuan tidak baik
dikarenakan kurang pemberian informasi
tentang pendidikan seks berpengaruh
terhadap resiko melakukan hubungan seksual
terlalu dini, sehingga menyebabkan gangguan
seksual, seperti tidak ada gairah seksual,
sakit mencapai orgasme, vaginismus, serta
menderita disparenia atau perasaan sakit saat
melakukan
hubungan
seksual
serta
kehamilan yang tidak diinginkan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan
tentang Gambaran Pengetahuan Remaja
Tentang Hubungan Seksual Pranikah
Terhadap Penyakit Menular Seksual di SMK
Kesehatan
SAHATA
Pematangsiantar
Periode dapat disimpulkan:
1. Distribusi berdasarkan Umur terbanyak
16 tahun sebanyak 42 orang (60,8%) dan
paling sedikit umur 17 tahun sebanyak 13
orang (18,84%).
2. Distribusi berdasarkan Agama terbanyak
adalah
agama
Kristen
protestan
sebanyak 38 orang (55,1%) dan paling
sedikit adalah agama Islam sebanyak 31
orang (44,9%).
3. Distribusi berdasarkan Suku terbanyak
adalah suku Batak sebanyak 53 orang
(76,8%) dan suku yang paling sedikit
adalah suku Jawa sebanyak 16 orang
(23,2%).
4. Distribusi berdasarkan Tempat Tinggal
terbanyak tinggal dengan tinggal di
asrama sebanyak 54 orang (28,3%) dan
yang paling sedikit tinggal di Kost
sebanyak 15 orang (21,7%).
5. Distribusi
berdasarkan
Pendapatan
Orangtua/ Bulan yang terbanyak adalah
pendapatan sedang sebanyak 35 orang
(50,7%) dan yang paling sedikit adalah
pendapatan rendah sebanyak 9 orang
(13%)

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

6. Distribusi berdasarkan Sumber Informasi


terbanyak
berasal
dari
Orangtua
sebanyak 25 orang (36,2%) dan yang
paling sedikit berasal dari Guru sebanyak
8 orang (11,6%).
7. Distribusi berdasarkan Definisi Hubungan
Seksual Pranikah pengetahuan remaja
yang terbanyak Sangat baik sebanyak 34
orang (49,3%) adalah dan yang paling
sedikit adalah Tidak baik sebanyak 6
orang (8,7%).
8. Distribusi berdasarkan Faktor Penyebab
Hubungan
Seksual
Pranikah
pengetahuan remaja yang terbanyak
adalah baik sebanyak 33 orang (47,8%)
dan pengetahuan yang paling sedikit
adalah Tidak baik sebanyak 4 orang
(5,8%).
9. Distribusi berdasarkan Definisi Penyakit
Menular Seksual pengetahuan remaja
yang paling banyak adalah Tidak baik
sebanyak 31 orang ( 44,9 %)
dan
pengetahuan yang paling sedikit adalah
Sangat tidak baik sebanyak 5 orang
(7,2%).
10. Distribusi berdasarkan Jenis Penyakit
Menular Seksual pengetahuan remaja
yang terbanyak adalah Tidak baik
sebanyak 31 orang ( 44,9%)
dan
pengetahuan yang paling sedikit adalah
Sangat tidak baik sebanyak 4 orang
(5,8%).
11. Distribusi berdasarkan Risiko Melakukan
Hubungan
Seksual
Terlalu
Dini
sepengetahuan remaja yang terbanyak
adalah Sangat baik sebanyak 39 orang
(56,5%) dan pengetahuan yang paling
sedikit adalah Tidak baik sebanyak 5
orang (7,2%).

ISSN: 2086-3098

berhubungan seksualitas
menular seksual

dan

penyakit

DAFTAR PUSTAKA
Dianawati A, 2006, Pendidikan Seks Untuk
Remaja, Penerbit Kawan Pustaka,
Jakarta.
Hidayat A, A, A, 2007, Metode Penelitian
Kebidanan Teknik Analisis, Penerbit
Salemba Medika, Jakarta.
.Kartono, K, 2008, Kenakalan Remaja, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Lestari,2008. Prevalensi Remaja Yang
Melakukan Hubungan Seks Pranikah,
http://www.bkkbn.go.id, Pada tanggal 10
Februari 2011. Pada pukul 19:30 WIB
Munir,2008.Remaja dan Hubungan seks
Pranikah, http://www.google.com Pada
tanggal 15 Februari 2011.Pukul 14:00
WIB
Notoatmodjo,S,
Masyarakat,
Jakarta

2007, Ilmu Kesehatan


Penerbit Rineka Cipta,

----------,
2010,
Metodologi
Penelitian
Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta,
Jakarta.
Pinem S, 2009, Kesehatan Reproduksi Dan
Kontrasepsi,
Penerbit
Trans
Info
Media,Jakarta
Sarwono, W.S, 2010, Psikologi Remaja, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Saran
Bagi Institusi Pendidikan dapat bekerja
sama dengan Dinas Kesehatan (petugas
kesehatan) dalam memberikan penyuluhan
dan informasi tentang kesehatan reproduksi
remaja dan pendidikan seks remaja.
Sebaiknya remaja agar selalu mencari
nformasi baik dari buku ataupun media
elektronik sehingga dapat memiliki wawasan
pengetahuan luas
yang berhubungan
dengan seksualitas dan penyaki menular
seksual.
Bagi orangtua untuk memperhatikan
perubahan
yang
mendetail
tentang
perubahan psikologis yang dialami remaja
dengan cara memberikan penyuluhan
tentang seksualitas dan penyakit menular
seksual dan bagaimana cara mengatasi
masalah yang ada pada remaja yang

211

Tamiang,S.S, 2011, Kumpulan Gambargambar Penyakit Menular seksual,


http:/www.google.com, Pada tanggal 10
Juli 2011.. Pukul 15:30 WIB
Widyastuti,
Y.
Rahmawati,
A.
Purnamaningrum Y, 2009, Kesehatan
Reproduksi, Penerbit Fitramaya, Jakarta.
Wiknjosastro, H, 2006, Ilmu Kebidanan,
Yayasan
Bina
Pustaka
Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta.

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

PENDAHULUAN.
PENGARUH BERBAGAI DOSIS EKSTRAK
UMBI GADUNG (Dioscorea hispida)
TERHADAP MORTALITAS LARVA
Aedes aegypti
Tuhu Pinardi
(Prodi Kesehatan Lingkungan,
Poltekkes Kemenkes Surabaya)
Sigit Gunawan
(Prodi Kesehatan Lingkungan,
Poltekkes Kemenkes Surabaya)
Sujangi
(Prodi Kesehatan Lingkungan,
Poltekkes Kemenkes Surabaya)
ABSTRACT
Background: Dengue Haemorrhagic Fever
outbreaks pose for developing countries,
particularly the State of Indonesia. Over the
last 20 years, the incidence of dengue fever
outbreak continues to rise and hyperendemic
transmission has occurred, and across a
wide geographic area. Dengue fever cases
in these areas continue to increase into the
rainy season, an increasing number of
patients with dengue fever at the beginning
of the rainy season highs. Ministry of Health
of the Republic of Indonesia recorded a
number of cases of Dengue Hemorrhagic
Fever in 2009 reached about 150 thousand.
This figure is likely to be stable in 2010.
Efforts to overcome the disease Dengue
Hemorrhagic Fever has been done, but so
far the results have not been satisfactory so
that the most promising alternatives to
combat Dengue disease is by controlling the
vector density. Use bulbs gadung solution to
kill larvae of Aedes aegypti is expected to
address the decrease vector populations.
This study aimed to determine the effect of
various doses of extracts of gadung tuber
Dioscorea hispida against Aedes aegypti
mosquito larvae mortality. Method: The
design used in this study was completely
randomized design (CRD), consisting of one
control and five treatments, each consisting
of 5 replication. In the study as independent
variable was the concentration of various
doses: 10 ppm, 30 ppm, 50 ppm, 70 ppm
and 90 ppm extract gadung tubers Dioscorea
hispida and dependent variable mortality of
larvae of Aedes aegypti. Result: Research
shows the effect of solution gadung tuber
Dioscorea hispida against Aedes aegypti
larvae to variation in dose of 10 ppm, 30
ppm, 50 ppm, 70 ppm and 90 ppm with a
long exposure time 24 hours there was no
mortality of larvae of Aedes aegypti.
Keywords: Dioscorea hispida, larvae of
Aedes aegypti.

212

Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue yang disingkat
dengan DBD adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh virus dan ditularkan oleh
nyamuk. Di Indonesia kota yang pertama kali
dilaporkan
kejangkitan
DBD
adalah
Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968.
Jumlah kasus yang dilaporkan di Surabaya
waktu itu adalah 58 penderita yang dirawat,
24 (41 %) diantaranya meninggal dunia
(Sumarno, 1994).
Penyakit Demam Berdarah banyak
dikatakan sebagai risiko bagi negara
berkembang
maupun
negara
maju
sekalipun. Selama 20 tahun terakhir, insiden
wabah penyakit demam berdarah terus
meningkat dan transmisi hiperendemik telah
terjadi dan melintasi wilayah geografis yang
luas. Di Indonesia sendiri, penyakit demam
berdarah masih menjadi persoalan yang
serius. Tahun 2004, dalam waktu tiga bulan
(Januari - Maret) telah terjadi total 26.015
kasus di seluruh Indonesia, dengan 389
korban meninggal (Nurbeti, 2009).
Kasus Demam Berdarah Dengue di
Sumatera Selatan meningkat memasuki
musim hujan. Peningkatan jumlah penderita
demam berdarah pada awal musim hujan
tertinggi di Sumatera Selatan sejak tiga
tahun terakhir. Peningkatan terlihat sejak
November 2011 dengan 383 penderita.
Jumlah ini dua kali lipat dibandingkan
Oktober 2011 dengan 137 penderita. Pada
awal hingga pertengahan Desember 2011,
jumlah penderita yang terdata di Dinas
Kesehatan Propinsi Sumatra Selatan 156
orang.
Sepanjang
Januari
hingga
pertengahan Desember 2011, di Sumatra
Selatan tercatat ada 1.721 kasus demam
berdarah dengan angka kematian 19 jiwa.
Tahun 2010, jumlah penderita demam
berdarah di Sumatra Selatan 1.143 orang. Di
Rumah Sakit dr. Mohammad Hoesin (RSMH)
Palembang, sebulan terakhir, jumlah anak
yang dirawat karena demam berdarah 111
orang, lima kali lipat dari angka kejadian
rata-rata tertinggi tahun 2011, 21 orang per
bulan. (Lusia Kus Anna, 2012)
Korban
meninggal
akibat
demam
berdarah dengue di sejumlah daerah terus
bertambah. Empat (4) orang dilaporkan
meninggal di Palangkaraya dan sembilan (9)
orang di Kupang dan tiga (3) orang
meninggal di Lamongan Jawa Timur (Kamis,
29 Pebruari 2012 (Kus Anna, 2012).
Usaha untuk mengatasi penyakit DBD
melalui penelitian-penelitian baik secara
diagnosis yang cepat dan tepat, cara terapi
specifik (kausal) dan pengembangan vaksin

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

untuk pencegahan, sudah banyak dilakukan,


tetapi sampai saat ini hasilnya belum
memuaskan sehingga alternatif yang paling
memberi harapan untuk pemberantasan
penyakit
DBD
adalah
dengan
mengendalikan
kepadatan
vektornya
(Mardihusodo, 1997).
Dilaporkan ada tiga jenis nyamuk yang
dianggap penting sebagai vektor DBD di
Indonesia yaitu Aedes aegypti, Aedes
albopictus dan Aedes scutellaris, tetapi
sampai saat ini Aedes aegypti yang
dianggap vektor utama.
Berbagai cara pendekatan entomologis
dalam upaya pengendalian vektor DBD yang
dapat diterapkan. Ada yang masih dalam
pengembangan melalui penelitian-penelitian,
tetapi ada yang sudah rutin dilakukan. Cara
yang sudah rutin dilaksanakan sejak tahun
1950-an
sampai
sekarang
adalah
pengendalian secara kimiawi dengan
berbagai insektisida kimia sintetis. Cara ini
telah terbukti banyak menimbulkan dampak
negatif, seperti perkembangan ke arah
resistensi serangga sasaran, membunuh
serangga non sasaran, mengganggu kualitas
lingkungan hidup (WHO, 1991). Untuk
pemecahan masalah tersebut digalakkan
pemakaian insektisida yang berasal dari
tumbuhan. Indonesia terdapat lebih dari 50
species tanaman Dioscorea mengandung
tanin, saponin dan alkaloid yang mempunyai
potensi sebagai insektisida. (Chung,, 2001).
Untuk penerapan bioinsektisida terhadap
larva nyamuk Aedes aegypti di lapangan
masih memerlukan penelitian.
TUJUAN PENELITIAN
Menganalisa pengaruh berbagai dosis
ekstrak gadung (Dioscore hispida) terhadap
kematian larva nyamuk Aedes aegypti.

ISSN: 2086-3098

dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel


dalam penelitian ini adalah Larva Aedes
aegypti yang berumur 2 hari (Instar II) dan
yang berumur 3 hari (Instar III) dengan
jumlah penelitian 1500 ekor
HASIL PENELITIAN
Diskripsi Umbi Gadung
Umbi Gadung dalam penelitian ini
diperoleh langsung dari pasar Sayur
Kabupaten Magetan. Umbi Gadung yang
digunakan penelitian berwarna coklat muda,
tidak terlalu tua dan pada waktu diperoleh
dalam kondisi segar, tidak berjamur. Jumlah
umbi gadung yang digunakan dalam
penelitian sebanyak 20 Kg.
Pembuatan Larutan
Untuk pembuatan suatu ekstrak umbi
gadung (Diascorea hispida) terlebih dahulu
dilakukan seleksi. Umbi yang dipilih adalah
umbi yang segar, tidak rusak. Sebelum
dibuat larutan umbi Gadung dicuci bersih
untuk menghilangkan noda atau kotoran
yang menempel pada kulit luar Umbi
Gadung.
Pembuatan
ekstrak
umbi
gadung
(Dioscorea hispida) dengan konsentrasi : 10
ppm,30 ppm,50 ppm,70 ppm,90 ppm dengan
tahapan sebagai berikut:
1) Menimbang
umbi
gadung
sesuai
kebutuhan 10 gram,30 gram,50 gram,70
gram dan 90 gram.
2) Memblender / menggiling halus Umbi
gadung
dan
mencampur
dengan
aquades masing-masing 1 liter.
3) c.
4) Larutan umbi gadung dengan konsentrasi
10 ppm.30 ppm,50 ppm, 70 ppm dan 90
ppm siap untuk dijadikan penelitian.

METODE PENELITIAN
Hasil Hewan Uji.
Jenis dan Rancangan penelitian
Jenis
penelitian
adalah
Quasi
eksperimen,
yaitu:
penelitian
yang
mendekati percobaan sesungguhnya dan
Rancangan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL),
terdiri dari 1 kontrol dan 5 perlakuan yang
masing-masing terdiri dari 5 replikasi.

Hewan uji dalam penelitian adalah Larva


nyamuk Aedes aegypti
telah berumur 3
hari (stadium III) yang diperoleh dari
menetaskan telur nyamuk. Larva Aedes
aegypti dalam penelitian ini dibutuhkan
sebanyak 1500 ekor.

Populasi dan Sampel

Pengaruh Berbagai Dosis Ekstrak Umbi


Gadung Terhadap Mortalitas Larva Aedes
aegypti

Populasi dalam penelitian ini adalah


semua telur Aedes aegypti yang menetas
dalam tempat pembiakan Larva. Sampel
adalah sebagian dari populasi yang diambil
dari keseluruhan obyek yang diteliti dan

Penelitian tentang pengaruh pengaruh


berbagai dosis ekstrak umbi gadung
(dioscorea hispida) terhadap mortalitas larva
aedes aegypti dilaksanakan selama 4
minggu mulai tanggal 24 September s/d 20

213

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

Oktober 2012. Kegiatan dimulai dari


membuat larutan umbi gadung, pemilihan
hewan uji dan sampai uji penelitian.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium
Prodi Kesehatan lingkungan Kampus
Magetan.
Hasil pengamatan dan pengukuran dari
penelitian disajikan dalam bentuk tabel
sebagai berikut:
Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Uji kematian
Larva Aedes aegypti terhadap Pemberian
Larutan umbi Gadung dalam waktu 24 jam.
Dosis
Kontrol
10 ppm
30 ppm
50 ppm
70 ppm
90 ppm

Replikasi
Jumlah
Hewan Uji I II III IV V
50 ekor
0 0 0 0 0
50 ekor
0 0 0 0 0
50 ekor
0 0 0 0 0
50 ekor
0 0 0 0 0
50 ekor
0 0 0 0 0
50 ekor
0 0 0 0 0

%
0
0
0
0
0
0

Dari Tabel di atas: Rekapitulasi hasil uji


kematian Larva Aedes aegypti terhadap
pemberian larutan umbi gadung telah
didapatkan tingkat kematian pada Replikasi I
sampai dengan Replikasi V lama waktu
pemaparan sampai 24 jam tidak terdapat
kematian dengan prosentase 0%. Demikian
juga pada variabel kontrol tidak didapatkan
kematian larva Aedes aegypti.
PEMBAHASAN
Identifikasi Kandungan
(dioscorea hispida)

Umbi

Gadung

Asal Dioscorea distribusi geografis


mungkin berasal dari Timur Jauh, namun
tersebar secara luas terutama di daerah
tropis dan tidak ada tumpang tindih terjadi
sekarang antara spesies . Sekitar 600
spesies yang diketahui, dan 50 spesies
yang dibudidayakan atau digolongkan untuk
umbi-umbian yang dapat dimakan, dan
spesies Dioscorea terjadi di Asia Tenggara,
sekitar 8 memiliki penggunaan Obat atau
beracun. Dioscorea mengandung tanin,
saponin , alkaloid dan pati. Kandungan
dalam umbi gadung beracun kecuali pati (
tepung ). Menggunakan rimpang atau umbi
Dioscorea spp banyak. digunakan dalam
pengobatan tradisional, dan beberapa
spesies liar, seperti Dioscorea deltoidea,
Dioscorea prazeri, Dioscorea tokoro Makino
dan
zingiberensis
Secara
komersial
dieksploitasi karena mengandung diosgenin,
yang dapat digunakan sebagai prekursor
dalam produksi kontrasepsi oral, hormon
seks dan kortikosteroid.

214

ISSN: 2086-3098

Pestisida Botani
Beberapa contoh ramuan pestisida
botani yang telah dipublikasikan oleh
beberapa peneliti berikut ini sangat
sederhana, dapat dilakukan oleh siapa saja
tanpa memerlukan peralatan dan metode
yang rumit. Aturan dalam pemakaian
pestisida botani seperti pemakaian dosis dan
konsentrasi memang tidak seketat aturan
pemakaian pestisida sintetik. Kisaran
pemakaian dosis dan konsentrasi pada
pestisida botani bisa sangat lebar dan
berbeda dari satu tempat ke tempat lain.
Kandungan senyawa metabolit sekunder
tanaman bisa berbeda-beda tergantung
lokasi penanamannya.
Alkaloid sesungguhnya adalah racun,
senyawa tersebut menunjukkan aktivitas
phisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali
bersifat basa; lazim mengandung Nitrogen
dalam cincin heterosiklik ; diturunkan dari
asam amino ; biasanya terdapat aturan
tersebut adalah kolkhisin dan asam
aristolokhat yang bersifat
bukan
basa
dan tidak memiliki cincin heterosiklik dan
alkaloid quartener, yang bersifat agak asam
daripada bersifat basa.
Kematian
aegypti).

Hewan

Uji

Larva

Aedes

Hasil uji kematian larva nyamuk Aedes


aegypti terhadap pemberian larutan umbi
gadung (dioscorea hispida) dengan dosis
yang bervariasi 10 ppm, 30 ppm,50 ppm,70
ppm
dan
90
ppm
dalam
waktu
pemamaparan ( kontak ) terhadap larutan
umbi gadung (dioscorea hispida) 1 jam, 4
jam,8 jam,12 jam dan sampai 24 jam dengan
replikasi I,II,III,IV dan V tidak terdapat
kematian Larva Aedes aegypti.
1). Uji Kematian pada Dosis 10 ppm.
Pada uji kematian larva Aedes aegypti
terhadap umbi gadung (dioscorea hispida)
tidak terdapat kematian larva Aedes aegypti
dengan lima kali replikasi. Pada pemberian
dosis 10 ppm larutan
umbi gadung
(dioscorea hispida) dengan waktu kotak 24
jam kondisi Larva nampak segar tidak
terdapat tanda-tanda kematian, pergerakan
larva masih aktif bilamana di respon dan
posisi istirahat mengantung pada permukaan
air. Nampak pertumbuhan larva meningkat
menjadi lebih besar ( stadium 4 ).
2). Uji Kematian pada Dosis 30 ppm.
Pada uji kematian larva Aedes aegypti
terhadap umbi gadung (dioscorea hispida)

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

tidak terdapat kematian larva Aedes aegypti


dengan lima kali replikasi. Pada pemberian
dosis 30 ppm larutan
umbi gadung
(dioscorea hispida) dengan waktu kotak 24
jam; kondisi Larva masih sama
pada
pemberian dosis 10 ppm yaitu Larva nampak
segar tidak terdapat tanda-tanda kematian,
pergerakan larva masih aktif bilamana di
respon dan posisi istirahat mengantung pada
permukaan air.
3). Uji Kematian pada Dosis 50 ppm.
Pada uji kematian larva Aedes aegypti
terhadap umbi gadung (dioscorea hispida)
tidak terdapat kematian larva Aedes aegypti
dengan lima kali replikasi. Pada pemberian
dosis 50 ppm larutan
umbi gadung
(dioscorea hispida) dengan waktu kotak 24
jam; kondisi Larva nampak segar tidak
terdapat tanda-tanda kematian, pergerakan
larva masih aktif bilamana di respon dan
posisi istirahat mengantung pada permukaan
air. Bilamana dibanding dengan Kontrol
kondisi larva tidak terdapat perbedaan yang
berarti yaitu memiliki perilaku yang sama
dengan kondisi larva setelah pemberian
dosis 50 ppm.
4). Uji Kematian pada Dosis 70 ppm.
Pada uji kematian larva Aedes aegypti
terhadap umbi gadung (dioscorea hispida)
tidak terdapat kematian larva Aedes aegypti
dengan lima kali replikasi. Pada pemberian
dosis 70 ppm larutan
umbi gadung
(dioscorea hispida) dengan waktu kotak 24
jam; kondisi Larva nampak segar tidak
terdapat tanda-tanda kematian, pergerakan
larva masih aktif bilamana di respon dan
posisi istirahat mengantung pada permukaan
air. Bilamana dibanding dengan Kontrol
kondisi larva tidak terdapat perbedaan yang
berarti yaitu memiliki perilaku yang sama
dengan kondisi larva setelah pemberian
dosis 70 ppm.
5). Uji Kematian pada Dosis 90 ppm.
Pada uji kematian larva Aedes aegypti
terhadap umbi gadung (dioscorea hispida)
tidak terdapat kematian larva Aedes aegypti
dengan lima kali replikasi. Pada pemberian
dosis 90 ppm larutan
umbi gadung
(dioscorea hispida) dengan waktu kotak 24
jam; kondisi Larva tidak terdapat tandatanda kematian, pergerakan larva mulai tidak
aktif seperti yang terdapat pada pemberian
dosis; 10 ppm,30 ppm, 50 ppm dan 70 ppm.
Larva mulai nampak; bilamana di respon
pergerakannya lambat, banyak istirahat di
dinding tempat Uji ( wadah percobaan ) dan

215

ISSN: 2086-3098

posisi istirahat mengantung pada permukaan


air. Bilamana dibanding dengan Kontrol
kondisi larva ada perbedaan yang sedikit
yaitu kondisi larva pada dosis 90 ppm
gerakan larva mulai melemah sedangkan
pada
Kontrol kondisi larva memiliki
pergerakan yang lebih aktif.
SIMPULAN DAN SARAN
a. Identifikasi Kandungan Umbi Gadung
(dioscorea hispida)
Umbi gadung (Dioscorea hispida)
mengandung alkaloid dioscorina dan
dioconine yaitu suatu substansi yang
bersifat
basa,
saponin,
furanoid
norditerpena, tanin dan zat pati.
Larutan
Umbi
Gadung
(dioscorea
hispida) mempunyai toksisitas yang
sangat rendah untuk diterapkan sebagai
Insectisida/ Larvasida untuk membunuh
larva Aedes aegypti.
b. Hasil Uji Kematian Larva Aedes aegypti.
Dari Rekapitulasi
hasil uji kematian
Larva Aedes aegytpi terhadap larutan
umbi gadung (dioscorea hispida), pada
replikasi I sampai Replikasi V, dengan
pemberian dosis yang bervariasi 10 ppm,
30 ppm,50 ppm,70 ppm dan 90 ppm
dalam waktu pemaparan 24 jam tidak
terjadi kematian larva Aedes aegypti
terhadap
pemberian
larutan
umbi
gadung(dioscorea hispida) sedangkan
pada Kontrol tidak terdapat kematian.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Kardinan, 1999. Tinjauan Keadaan dan
Dasar-dasar
Pemikiran
dalam
Pemberantasan
Demam
Berdarah
Dengue di Indonesia, Sub.
Dit.
Arbovirosis, Direktorat P3M, Dep..Kes RI,
Jakarta.
Basan Madry, 1994, Pedoman Pengenalan
Pestisida, Dirjen Perkebunan, Direktorat
Bina
Perlindungan
Tanaman
Perkebunan, Jakarta.
Lusia Kus Anna, 2012, http://health.
kompas.com
/read/2012
/03/
01/
07094122/Kasus.Meninggal.akibat.DBD.
Terus.Bertambah. di.Daerah
Novizan. 2002. Petunjuk Pemakaian
Pestisida, Agromedia Pustaka, Jakarta
Chung, R.C.K., 2001. Dioscorea L. (Sumber
Daya
Tanaman
Asia
Tenggara)
http://www.proseanet.org. Diakses dari
Internet: 01-Okt-2012, Yayasan,Bogor,
Indonesia.

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

PERBEDAAN BERAT BADAN BAYI USIA


3-5 BULAN
YANG DIPIJAT DAN TIDAK DIPIJAT
(Di Kelurahan Tawanganom Kecamatan
Magetan Tahun 2013)
Amelia Yuliana
(Alumnus Prodi Kebidanan Magetan,
Poltekkes Kemenkes Surabaya)
Agung Suharto
(Prodi Kebidanan Magetan,
Poltekkes Kemenkes Surabaya)
Tinuk Esti Handayani
(Prodi Kebidanan Magetan,
Poltekkes Kemenkes Surabaya)
ABSTRAK
Latar belakang: Pijat bayi merupakan
stimulasi taktil yang memiliki keuntungan
dalam proses tumbuh kembang bayi. Di
Kelurahan
Tawanganom,
Kecamatan
Magetan, Kabupaten Magetan tahun 2013
pada 10 ibu yang memiliki bayi usia 3-5
bulan terdapat 60% bayi yang sudah pernah
dipijat, 40% bayi yang belum pernah dipijat
ke ahli fisioterapi. Tujuan: Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui perbedaan berat
badan bayi usia 3-5 bulan yang dipijat dan
tidak dipijat. Metode: Jenis penelitian ini
adalah analitik dengan rancangan Quasy
Experimental Design berupa Non equivalent
control group design dengan populasi 20
bayi yang dipijat dan tidak dipijat. Penelitian
ini menggunakan sampel total populasi.
Variabel independent adalah pijat bayi,
sedangkan variabel dependent adalah berat
badan bayi, menggunakan skala rasio.
Instrumen pengumpulan data menggunakan
timbangan berat badan bayi dalam satuan
gram.
Uji
statistik
yang
digunakan
independent
Samplet
T-Test
dengan
probabilitas p=0,05. Kriteria penolakan H0
jika p<0,05. Hasil: Rerata peningkatan berat
badan bayi yang dipijat lebih besar dari pada
bayi yang tidak dipijat. Rerata berat badan
bayi sebelum dipijat 5840 g dan sesudah
dipijat 6460 g, rerata berat badan bayi awal 4
minggu yang tidak dipijat 5810 g dan akhir 4
minggu 6080 g. Hasil Independent T-Test
p=0,000 (< 0,05), maka H0 ditolak (ada
perbedaan berat badan bayi usia 3-5 bulan
yang dipijat dan tidak dipijat). Simpulan: Ada
perbedaan berat badan bayi usia 3-5 bulan
yang dipijat dan tidak dipijat. Saran:
Diharapkan orangtua bayi memijat bayinya
sendiri sehingga tumbuh kembang bayi bisa
optimal.
Kata kunci: Pijat bayi, berat badan bayi

216

ISSN: 2086-3098

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah
satu
tujuan
MDGs
yaitu
menurunkan angka kematian balita sebesar
dua pertiga dari tahun 1990 sampai dengan
tahun 2015. Indikator Angka Kematian Balita
yang paling penting adalah Angka Kematian
Bayi (AKB). AKB merupakan salah satu tolak
ukur untuk menilai sejauh mana ketercapaian
kesejahterahan rakyat sebagai hasil dari
pelaksanann
pembangunan
bidang
kesehatan. Departemen Kesehatan telah
mematok target penurunan angka kematian
bayi di Indonesia dari rata-rata 36 menjadi 23
per 1000 kelahiran hidup di tahun 2015.
Dengan memberikan pelayanan kesehatan
yang berkualitas dan terjangkau dapat
membantu penurunan angka kematian bayi.
Salah satu cara tradisional yang sering
dilakukan masyarakat Indonesia untuk
memelihara kesehatan bayi yaitu dengan
terapi sentuhan. Terapi ini cukup efektif,
efisien, ekonomis, dan aman. Apalagi kalau
yang melakukan orang tua si bayi sendiri,
karena merawat bayi sendiri merupakan
kebahagian yang tidak ternilai.
Sentuhan adalah bahasa pertama bagi
ibu dan bayi. Sebagai alat komunikasi utama,
sentuhan memainkan peran penting dalam
pembentukan hubungan awal orangtua dan
anak. Sentuhan dalam bentuk pijatan lembut
mengungkapkan rasa kasih sayang ibu dan
mampu memenuhi kebutuhan bayi akan
kontak fisik. Setiap perubahan emosional
menimbulkan
reaksi
otot.
Dengan
mengurangi ketegangan otot, pijat bayi
menenangkan
emosi
dan
membantu
meringankan
beberapa
trauma
dan
kecemasan yang berhubungan dengan masa
kelahiran, lingkungan yang baru, dan masa
penyapihan. Kulit memasok informasi terusmenerus ke sistem saraf pusat tentang
lingkungan sekitar tubuh, melalui sentuhan
kulit yang berdampak luar biasa pada
perkembangan fisik, emosi, dan tumbuh
kembang anak (Walker, 2011: 1-2).
Pijat merupakan stimulasi taktil yang
memberikan efek biokimia dan efek fisiologi
pada berbagai organ tubuh. Pijat yang
dilakukan secara benar dan teratur pada bayi
diduga memiliki berbagai keuntungan dalam
proses tumbuh kembang bayi. Pijat pada bayi
oleh orangtua dapat meningkatkan hubungan
emosional antara orangtua dan bayi, juga
diduga dapat meningkatkan berat badan bayi
(Rosalina, 2007:23).
Berbagai
penelitian
telah
banyak
dilakukan untuk membuktikan keuntunggan
pijat bayi. Penelitian yang dilakukan oleh
Dieter et al. (2003) meneliti efek pijat yang

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

dilakukan sebanyak 3 kali 15 menit tiap


harinya selama 5 hari pada bayi kurang
bulan. Hasilnya adalah terdapat rerata
peningkatan berat badan perhari 53% lebih
besar
pada
kelompok
yang
dipijat
dibandingkan kelompok kontrol.
Berdasarkan survei awal yang dilakukan
di Kelurahan Tawanganom, Kecamatan
Magetan tahun 2013 pada 10 ibu yang
memiliki bayi usia 3-5 bulan ditemukan 4 bayi
(40%) yang belum pernah dipijat salah satu
diantaranya by R berusia 5 bulan yang
berada di RW 03 Kelurahan Tawanganom,
pada bulan Februari 2013 dilakukan
penimbangan di posyandu dengan berat
badan 8600 gram dan pada bulan Maret
2013 di timbang mengalami peningkatan 200
gram menjadi 8800 gram, sedangkan 6 bayi
(60%) yang sudah pernah dipijat ke ahli
fisioterapi, salah satu diantaranya by N
berusia 5 bulan yang berada di RW 03
Kelurahan
Tawanganom,
pada
bulan
Februari 2013 dilakukan penimbangan di
posyandu dengan berat badan 7900 gram
dan pada bulan Maret 2013 di timbang
mengalami peningkatan 300 garam menjadi
8200 gram. Pada 10 bayi (0%) tersebut
belum pernah dilakukan pijat bayi oleh
orangtuanya.
Untuk mendukung terlaksananya pijat
bayi diharapkan bidan praktek mandiri
mengajarkan pada ibu pijat bayi untuk
dipraktekkan di rumah.
Untuk para
mahasiswa kebidanan diajarkan mengenai
pijat bayi sehingga sebagai calon tenaga
kesehatan dapat memberikan penyuluhan
dan pengertian yang mendalam mengenai
manfaat dan dampak yang terjadi setelah
dilakukan pemijatan, dan dihasilkan bayi
yang tumbuh dan berkembang secara
optimal.
Salah satu manfaat pijat bayi yaitu dapat
meningkatkan berat badan bayi, mengenai
perbedaan berat badan bayi yang dipijat dan
tidak dipijat belum banyak diidentifikasi, oleh
karena itu penting dilakukan penelitian ini
untuk mengetahui perbedaan berat badan
bayi usia 3 sampai 5 bulan yang dipijat dan
tidak dipijat di Kelurahan Tawanganom
Kecamatan Magetan tahun 2013.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di
atas, maka peneliti merumuskan masalah
penelitian Apakah ada perbedan berat
badan bayi usia 3-5 bulan yang dipijat dan
tidak dipijat di Kelurahan Tawanganom
Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan
tahun 2013.

217

ISSN: 2086-3098

Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui adanya perbedan
berat badan bayi usia 3-5 bulan yang dipijat
dan tidak dipijat di Kelurahan Tawanganom
Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan
tahun 2013.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah analitik dengan
rancangan Quasy Experimental Design
berupa Non equivalent control group design.
Penelitian
diadakan
di
Kelurahan
Tawanganom
Kecamatan
Magetan
Kabupaten Magetan. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh bayi usia 3
sampai 5 bulan di Kelurahan Tawanganom.
Besar populasi adalah 20 bayi yang di bagi
menjadi 2 kelompok yang dipijat orang dan
tidak dipijat. Penelitian ini menggunakan total
populasi. Pada penelitian ini mengunakan
teknik non probability (Non Random).
Pada penelitian ini variabel independen
adalah pijat bayi. Pada penelitian ini variabel
dependen adalah berat badan bayi usia 3-5
bulan. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah timbangan berat badan
bayi
dalam
satuan
gram.
Metode
pengumpulan data pada penelitian ini
melakukan penimbangan/mengukur berat
badan bayi yang dipijat dan tidak dipijat
setelah 8x pemijatan. statistik yang
digunakan adalah Independent Samplet TTest.

HASIL PENELITIAN
Perbedaan berat badan bayi usia 3-5
bulan yang dipijat dan tidak dipijat dapat
diketahui dengan uji perbedaan antara
sebelum dan sesudah dengan diawali uji
homogenitas untuk mengetahui apakah
beberapa varian populasi sama atau tidak,
Uji ini dilakukan sebagai prasyarat dalam
analisis Independent Sample T-Test.
Sebelum dilakukan uji Independent TTest dilakukan uji kesamaan varian
(homogenitas) dengan hasil uji F test nilai
signifikansi equal variance assumed adalah
0,018 < 0,05, maka H0 ditolak dan H1
diterima, jadi dapat diasumsikan bahwa
kedua
varian
berbeda.
Dengan
ini
penggujian uji t menggunakan
equal
variance not assumed.
Dari tabel Independent T-Test nilai t
hitung equal variance not assumed adalah
5,330. Kemudia pada t tabel diperoleh data
sebesar 2,101, Oleh karena t hitung > t tabel
(5,330 > 2,101) dan signifikansi 0,000 <

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

0,05, maka H0 ditolak dan H1 diterima artinya


ada perbedaan antara rerata berat badan
bayi yang dipijat dan tidak dipijat.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian berat badan
bayi usia 3-5 bulan yang dipijat dan tidak
dipijat, dapat diketahui rerata berat badan
bayi yang dipijat dan tidak dipijat. Dalam hal
ini, berat badan bayi yang dipijat
menunjukkan hasil berat badan bayi lebih
tinggi dibanding berat badan bayi yang tidak
dipijat 620:270, sedangkan hasil analisa
statistik dengan Independent T-Test didapat
nilai signifikansi 0,000 lebih kecil dari 0,05,
maka H0 ditolak dan H1 diterima. Kesimpulan
dari hipotesis yaitu ada perbedaan berat
badan bayi usia 3-5 bulan yang dipijat dan
tidak dipijat.
Meningkatnya berat badan bayi pada
bayi yang dipijat sesuai dengan teori tentang
Aktivitas Nervus Vagus mempengaruhi
mekanisme penyerapan makanan. Penelitian
Field dan Schanberg (1986) menunjukkan
bahwa pada bayi yang dipijat mengalami
peningkatan tonus nervus vagus (saraf otak
ke-10) yang akan menyebabkan peningkatan
kadar enzim penyerapan gastrin dan insulin.
Dengan demikian, penyerapan makanan
akan menjadi lebih baik yang dipijat
meningkat lebih banyak daripada yang tidak
dipijat (Roesli, 2011:11).
Aktifitas Nervus Vagus meningkatkan
ASI, Penyerapan makanan menjadi lebih
baik karena peningkatan aktivitas nervus
vagus menyebabkan bayi cepat lapar,
sehingga akan lebih sering menyusu pada
ibunya. Akibatnya, ASI akan lebih banyak
diproduksi. Seperti diketahui, ASI akan
semakin banyak diproduksi jika semakin
banyak diminta. Selain itu, ibu yang memijat
bayinya akan merasa lebih tenang dan hal
ini berdampak positif pada peningkatan
volume ASI (Roesli, 2011:11).
Dari teori dan kenyataan yang diperoleh
dari hasil penelitian dapat di ketahui bahwa
pijat bayi yang dilakukan secara rutin
memiliki pengaruh yang berbeda terhadap
peningkatan berat badan bayi. Bayi yang
dipijat
selama
4
minggu
memiliki
peningkatan lebih besar dibandingkan
dengan bayi yang tidak dipijat, dikarenakan
hormon stress pada bayi menurun, maka
bayi dapat menghisap ASI lebih banyak,
sehingga reproduksi ASI dan berat badan
bayi akan meningkat.

218

ISSN: 2086-3098

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian perbedaan
berat badan bayi yang dipijat dan tidak dipijat
di Kelurahan Tawanganom Kecamatan
Magetan Kabupaten Magetan dapat ditarik
beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Rerata berat badan bayi usia 3-5 bulan
sebelum dipijat 5840 g dan sesudah
dipijat 6460 g.
2. Rerata berat badan bayi usia 3-5 bulan
awal 4 minggu yang tidak dipijat 5810 g
dan akhir 4 minggu yang tidak dipijat
6080 g.
3. Ada perbedaan berat badan bayi usia 3-5
bulan sebelum dan sesudah dipijat.
4. Ada perbedaan berat badan bayi usia 3-5
bulan awal 4 minggu dan akhir 4 minggu
yang tidak dipijat.
5. Ada perbedaan berat badan bayi usia 3-5
bulan yang dipijat dan tidak dipijat.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka
peneliti ingin memberikan saran kepada
berbagai pihak yang terkait sebagai berikut:
1. Bagi masyarakat
Diharapkan bagi masyarakat untuk
melanjutkan pijat bayi secara rutin
sampai bayi usia 2 tahun, karena pijat
bayi terbukti memberikan efek yang baik
bagi pertumbuhan bayi dan juga dapan
menjaga kekebalan tubuh bayi.
2. Bagi institusi pendidikan
Diharapkan pendidik dapat memberikan
demontrasi gerakan-gerakan pijat bayi
kepada mahasiswa sehingga mahasiswa
dapat mengaplikasikannya di lahan
praktek.
3. Bagi Bidan
Diharapkan bidan membekali ibu-ibu
hamil untuk mengisi waktu luang tentang
pijat bayi pada saat ANC, sehingga ibu
dapat mengaplikasikannya setelah bayi
lahir.
4. Bagi peneliti berikutnya
Diharapkan
dilaksanakan
penelitian
lanjutan tentang pijat bayi yang lebih
berkualitas,
misalnya
dengan
mengunakan desain yang lebih baik
berupa
true
exsperiment
design,
menggunakan populasi yang lebih luas
dan sample yang lebih representatif,
dengan metode pijat bayi yang lebih baik
dan faktor-faktor lain yang belum sempat
diteliti karena keterbatasan peneliti,
mengingat pijat bayi sangat bermanfaat
di bidang kesehatan yang terbukti dapat
meningkatkan berat badan bayi.

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2010.
Apa
itu
MDGs.
http://mdgsindonesia.org/official/.
(diakses 4 April 2013)
Anonim. Memnatau Berta badan Bayi.
http://www.jurnalkesehatan.info. (diakses
4 April 2013)
Arikunto. 2005. Manageman
Jakarta: Rineka Cipta

Penelitian.

Dewi, N.Nyoman. 2011. Pengaruh Stimulasi


Pijat Bayi Terhadap Peningkatan Berat
Badan Pada Bayi Lahir Cukup Bulan.
http://etd.ugm.ac.id (diakses 11 Maret
2013).
Hidayat, A. Aziz Alinul. 2010. Metode
Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa
Data. Jakarta: Salemba Medika.
________. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan
Anak Untuk Pendidikan Kebidanan.
Jakarta: Salemba Medika
Maharani, Sabrina. 2009. Pijat dan Senam
Sehat Untuk Bayi. Jogjakarta: Kata Hati.

ISSN: 2086-3098

Rosalina. 2007. Fisiologi Pijat Bayi. Jakarta:


Trisakti Multi Media Johnson & Johnson
Indonesia.
Santi, Enidya. 2012. Buku Pintar Pijat Bayi
Untuk Tumbuh Kembang Optimal Sehat
& Cerdas. Yogyakarta: Pinang Merah
Publisher.
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang
Anak. Jakarta: EGC.
Subakti, Yazid dan Deri Rizki Anggraini.
2009. Keajaiban Pijat Bayi dan Balita.
Jakarta: PT Wahyu Media
Sugiyono. 2011. Statistika Untuk Penelitian.
Bandung: ALFABETA.
Sukmadinata. 2010. Metode Penelitian
Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Suparyanto. 2010. Konsep Berat Badan Bayi.
http://dr-suparyanto.blogspot.com. (diakses
30 Maret 2013)
Suryanah. 1996. Keperawatan Anak Untuk
Siswa SPK. Jakarta: EGC
Walker, Peter. 2011. Panduan Lengkap Pijat
Bayi. Jakarta: Puspa Swara.

Muscari, Mary E. 2005. Keperawatan


Pediatrik. Jakarta: EGC

Widyastuti, D, dan Widyani, R. 2008.


Panduan Perkembangan Anak 0 Sampai
1 Tahun. Jakarta: Puspa Swara.

Nasar, Sri. 2005. Makanan Bayi & Ibu


Menyusui. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama
Notoatmojdo, Soekidjo. 2010. Metode
Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.

Wong, L.Donna., dkk. 2009. Buku Ajar


Keperawatan Pediatrik Wong. Edisi 6.
Vol.1. Jakarta: EGC

Nursalam, 2008. Konsep dan Penerapan


Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan
Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen
Penelitian
Keperawatan.
Jakarta:
Salemba Medika.
Piyatno, Dwi. 2008. Mandiri
SPSS.Yogyakarta: Mediakom.

Belajar

Prasetyono, D.S. 2009. Teknik-Teknik Tepat


Memijat Bayi Sendiri. Jogjakarta: DIVA
Press
Riksani, Ria. 2012. Cara Mudah & Aman
Pijat Bayi. Jakarta: Dunia Sehat
Roesli, Utami. 2011. Pedoman Pijat Bayi.
Edisi Revisi XIII. Jakarta: Trubulus
Agriwidya

219

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

PENDAHULUAN
KUNJUNGAN KELUARGA KE
POSYANDU MENINGKATKAN
STATUS GIZI BALITA
Ruslaini
(Jurusan Keperawatan,
Poltekkes Kemenkes Bandung)
Sugiyanto
(Jurusan Keperawatan,
Poltekkes Kemenkes Bandung)
ABSTRAK
Latar belakang: Berdasarkan data Dinkes
Kota Bandung tahun 2010 di Kecamatan
Cibiru, jumlah status gizi buruk (BB/U)= 25
balita dan status gizi kurang 475 balita,
didukung dengan data dari puskesmas
Cibiru pada tahun 2011, kelurahan Cipadung
memiliki jumlah kunjungan paling rendah
yaitu 68% dibandingkan dengan 3 kelurahan
lainnya, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan kunjungan keluarga
ke Posyandu dengan status gizi Balita.
Status gizi kurang dan buruk (KEP)
merupakan salah satu keadaan yang sering
terjadi diperiode umur balita, pada umur
tersebut anak mengalami pertumbuhan yang
pesat dan merupakan masa peralihan antara
saat di sapih dan mulai mengikuti pola
makan orang dewasa, ada beberapa hal
yang dapat meningkatkan angka kejadian
status gizi KEP salah satu diantaranya
adalah tidak aktifnya keluarga membawa
anaknya mengunjungi Posyandu. Metode:
Jenis penelitian ini adalah metode komparatif
dengan pendekatan case control, sampel
yang diambil menggunakan teknik Purposive
Sampling sebanyak 96 responden, teknik
pengumpulan data dengan melakukan
observasi langsung ke tempat yang diteliti,
sedangkan pengolahan data menggunakan
analisis Chi Square. Hasil: Nilai p Value
0,005 < (0,05) yang berarti H0 ditolak.
Simpulan: Terdapat hubungan antara
kunjungan balita ke Posyandu dengan status
gizi balita dan responden yang mempunyai
kategori tidak aktif mengunjungi Posyandu
mempunyai resiko 3,987 kali lebih besar
terkena status gizi KEP dibandingkan
dengan responden dengan kategori aktif.
Berkaitan dengan hasil penelitian tersebut,
perlu
adanya
upaya
untuk
dapat
meningkatkan status gizi Balita dengan cara
penyuluhan dari Posyandu, serta adanya
kemandirian keluarga aktif membawa
balitanya ke Posyandu.
Kata Kunci : Kunjungan, status gizi

220

Latar Belakang
Masalah gizi pada hakikatnya adalah
masalah kesehatan masyarakat, namun
penanggulangannya tidak dapat dilakukan
dengan pendekatan medis dan pelayanan
kesehatan
saja.
Penyebab
timbulnya
masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena
itu pendekatan penanggulangannya harus
melibatkan berbagai sektor yang terkait.
(Supariasa,
2002).
Seperti
yang
diungkapkan oleh Tarwotjo (2003) bahwa
Upaya perbaikan gizi melibatkan berbagai
pihak seperti cukup tidaknya pangan yang
dimakan, dan seterusnya tergantung pada
persediaan, distribusi, dan produksi, daya
beli serta perilaku manusia. Di sisi lain juga
ditentukan pada keadaan kesehatan,
lingkungan, pelayanan kesehatan, perilaku
manusia dan seterusnya.
Kegiatan
posyandu
tidak
akan
membuahkan hasil yang maksimal bila
setiap keluarga tidak menyadari akan
manfaat dari posyandu sehingga keaktifan
dan peran serta keluarga terhadap posyandu
sangat kurang. Hal tersebut tercantum dalam
salah satu dari lima tugas kesehatan
keluarga
dalam
fungsi
keperawatan
kesehatan keluarga yaitu keluarga mampu
memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan
yang tepat (Sudiharto, 2007). Pemanfaatan
pelayanan kesehatan dapat diukur dari
keaktifan keluarga dalam hal tingkat
kunjungan ke pelayan kesehatan tersebut
(Posyandu). Keaktifan keluarga pada setiap
kegiatan posyandu tentu akan berpengaruh
pada keadaan status gizi anak balitanya,
karena salah satunya tujuan posyandu
adalah memantau peningkatan status gizi
masyarakat terutama anak balita dan ibu
hamil (Adisasmito, 2007). Menurut Depkes
RI (2004) Keaktifan keluarga diukur dengan
frekuensi kehadiran balita dalam kegiatan
posyandu, dimana dikatakan teratur jika
frekuensi penimbangan minimal 8 (delapan)
kali dalam waktu satu tahun dan dikatakan
tidak teratur jika frekuensi penimbangan
kurang dari 8 (delapan) kali dalam satu
tahun.
Pada kecamatan Cibiru memiliki jumlah
balita sebanyak 5.076 orang, persentasi
status gizi buruk berdasarkan (BB/U)
sebesar 9,96% atau 25 balilta dan status gizi
kurang 9,95% atau 475 balita. (Dinkes Kota
Bandung, 2010). Berdasarkan hasil studi
pendahuluan yang telah dilakukan peneliti ke
puskesmas Cibiru pada tanggal 31 Maret
2012, didapatkan data dari Rekapitulasi
Hasil Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS) Rumah Tangga, Kadarzi dan

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

Kematian Wanita Usia Subur (WUS) di


Kecamatan Cibiru Tahun 2011. Kelurahan
Pasir Biru memiliki jumlah balita sebanyak
973 balita dengan kunjungan 96,4%,
kelurahan Cipadung memiliki jumlah balita
sebanyak 1624 balita dengan kunjungan
68% , kelurahan Cisurupan memiliki jumah
balita sebanyak 806 balita dengan
kunjungan 95,5%, dan kelurahan Palasari
memiliki jumlah balita sebanyak 1253 balita
dengan kunjungan 99,2%. Dari data tersebut
peneliti menetapkan tempat penelitian dari
kelurahan yang persentasi kunjungannya
paling kecil yaitu kelurahan Cipadung
dengan populasi dari Rukun Warga (RW) di
kelurahan
Cipadung
yang
persentasi
kunjungannya paling besar dan paling kecil
yaitu RW 6 yang memiliki jumlah balita 50
balita dengan kunjungan 100% dan RW 1
yang memiliki jumlah balita 175 balita
dengan kunjungan 48,5%.
Dari hasil penelitian yang sudah
dilakukan oleh Puslitbang Gizi Bogor (2007)
dan Djukarni (2001) dapat diketahui bahwa
penimbangan balita secara rutin dan
diimbangi
dengan
penyuluhan
serta
pemberian makanan tambahan pada setiap
bulan penimbangan di posyandu dalam
kurun waktu 3 bulan dapat menurunkan
angka kasus gizi buruk dan gizi kurang.
Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian
untuk
mengetahui
adakah
hubungan kunjungan keluarga dalam
kegiatan posyandu dengan status gizi anak
balita di wilayah kerja Puskesmas Cibiru
kecamatan Cibiru.

ISSN: 2086-3098

Variabel dan Definisi Operasional


1. Status Gizi Balita (Variabel Dependen)
adalah keadaan seimbang antara asupan
zat gizi yang masuk (intake) dan zat gizi
yang diperlukan oleh tubuh, yang diukur
diukur dengan menggunakan klasifikasi
menurut Riskesdas (2007) menurut baku
WHO-NCHS yaitu KEP (< -2 SD) dan
Tidak KEP ( -2 SD) dengan alat berupa
Dacin
2. Kunjungan ke posyandu (Variabel
Independent) adalah angka kehadiran
keluarga
balita
dalam
kegiatan
Posyandu, yang didapatkan dari data
sekunder yakni KMS dan dokumentasi
kader berupa data kunjungan balita di
Posyandu.
Kunjungan
diklasifikasi
menjadi kunjungan aktif (lebih atau sama
dengan 8 kali pertahun dan tidak aktif
(kurang dari 8 kali pertahun menurut
Depkes R.I
Hipotesis Penelitian
Ada hubungan kunjungan keluarga
dalam kegiatan posyandu dengan status gizi
balita
METODE PENELITIAN
Tempat dan waktu penelitian:
Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja
Puskesmas
Cibiru,
Kota
Bandung,
Kecamatan Cibiru. Waktu penelitian bulan
Maret Juli Tahun 2012.

Rumusan Masalah
Desain penelitian
Apakah ada hubungan kunjungan
keluarga dalam kegiatan posyandu dengan
status gizi balita
Tujuan Penelitian
Mengetahui
hubungan
kunjungan
keluarga dalam kegiatan posyandu dengan
status gizi balita.

Desain/rancangan dari penelitian ini


adalah Case Control yang merupakan
penelitian epidemologik non-eksperimental
Yaitu rancangan penelitian epidemiologi
yang mempelajari hubungan antara paparan
(faktor penelitian) dan penyakit, dengan
cara membandingkan kelompok kasus dan
kelompok
kontrol
berdasarkan
status
paparannya.

Manfaat Penelitian
Populasi dan Sampel
1. Meningkatkan kualitas kesehatan anak
dengan meningkatnya kesadaran ibu
akan pentingnya kegiatan posyandu di
masyarakat, serta meningkatkan mutu
kesehatan generasi selanjutnya dimasa
yang akan datang
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai data dasar untuk penelitian
lanjutan yang berkaitan dengan status
gizi balita.

221

Populasi dalam penelitian ini adalah


seluruh ibu yang mempunyai balita di RW 1
dan 6 kelurahan Cipadung wilayah kerja
puskesmas Cibiru didapatkan sebanyak 225
balita.
Sampel yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagian ibu-ibu balita
yang berada di RW kelurahan Cipadung
wilayah kerja puskesmas Cibiru. Kriteria
inklusinya adalah:

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

Balita dengan umur 1 sampai 5 tahun


Keluarga telah berkunjung selama satu
tahun atau lebih
Bersedia dijadikan responden

Adapun jumlah sampel diambil dengan


menggunakan rumus Purposive Sampling.

( Z ) 2 xPxQ
n
d2
(Sopiyudin Dahlan, 2010)
Keterangan:
n = besar sampel minimal
Z = Defiat baku alfa untuk kepercayaan 5%
(1,96)
= 0,05
d = Tingka presisi/ketepatan yang diinginkan
(0,10)
P = Proporsi kategori variabel yang diteliti
(0.50)
Q = 1 P = 1- 0,50 = 0,50
Berdasarkan rumus diatas maka jumlah
sample yang akan dijadikan sebagai objek
penelitian adalah sebagai berikut:

(1,96 )2 x0,50 x0,50


(0,1) 2

0.9604
0.01

n 96,04 (dibulatkan menjadi 96 responden)

Jadi sampel yang dibutuhkan dalam


penelitian ini adalah sebanyak 96 responden
Pengumpulan Data
Jenis data adalah data primer dan
squnder. Pengumpulan data dilakukan
secara langsung, yaitu pengukuran berat
badan balita yang datang ke posyandu dan
melalui kunjungan dari rumah ke rumah
(door to door) dengan menggunakan dacin
berdasarkan umur balita (BB//U) DAN
Pengumpulan data yang dilakukan secara
tidak langsung, yaitu memperoleh data dari
KMS dan dokumen kader posyandu berupa
data kunjungan ibu balita dalam kegiatan
Posyandu dalam satu tahun.
Instrumen
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah dacin, KMS dan data
dokumentasi kader.
Cara pengumpulan data yaitu:
Menyampaikan
maksud
dan
tujuan
penelitian
Meminta data dari kader tentang keluarga
yang telah mengunjungi posyandu sesuai
kriteria sampel

222

ISSN: 2086-3098

Peneliti melakukan pengkajian mengenai


umur balita atau tanggal lahir balita pada
KMS dan memvalidasi kepada ibu balita
tentang umur balita,jenis kelamin sesuai
dengan data/catatan yang dimiliki peneliti
dari kader.
Melakukan penimbangan pada balita
menggunakan alat ukur dacin di posyandu
atau di rumah responden (jika pada hari
penimbangan
responden
tidak
mengunjungi posyandu).
Menghitung status gizi indeks BB/U
menggunakan rumus z-Skor dengan
klasifikasi
dari
RISKESDAS
(2007)
menurut rujukan WHO-NCHS.
Menanyakan tentang seberapa sering
keluarga tersebut mengunjungi posyandu
dalam satu tahun terakhir.
Pengolahan dan Analisa Data
Editing
Sebelum data diolah, data tersebut perlu
diedit. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki
kualitas
data
serta
menghilangkan
keraguan melalui wawancara.
Coding
Mengkode data dengan memberikan kode
pada masing-masing jawaban untuk
mempermudah pengolahan data.
Processing
Peneliti akan melakukan proses data agar
dapat dianalisa dengan cara memasukkan
data ke paket program komputer.
Cleaning
Peneliti akan melakukan pembersihan data
dengan mengecek kembali data yang
sudah dimasukkan ke dalam program
komputer apakah sudah benar.
Tabulating
Membuat tabulasi termasuk dalam kerja
memproses data, membuat tabulasi tidak
lain dari memasukkan data ke dalam tabel
yang digunakan yaitu tabel distribusi
frekuensi.
Analisis Data
Analisis Univariat dilakukan terhadap tiap
variabel dari hasil penelitian. Secara manual
perhitungan presentasi dari tiap variabel
menurut Hidayat (2009) menggunakan
rumus:

X nx

X 100 %

Keterangan :
X : Rata rata hitung sampel
xi : Nilai dalam suatu sampel
n : Total bayaknya pengamatan dalam suatu
sampel

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

Analisis bivariat pada penelitian ini


2
menggunakan uji statistik chi square (X )
dengan program komputer menggunakan
program SPSS versi 20. Taraf signifikasi
yang digunakan adalah 95% dengan nilai
kemaknaan 5%, selain itu peneliti mencari
koefisien korelasi (keeratan hubungan) dan
odd rasio (resiko). Rumus Chi Square hitung:

x2

( fo fe) 2
fe

Keterangan :
2
x : Chi square hitung
fo: Frekuensi yang diamati
fe: Frekuensi yang diharapkan
(Hidayat, 2009: 123)
HASIL PENELITIAN
Setelah data dikumpulkan dan dilakukan
pengolahan data,hasil penelitian kami
tampilkan seperti pada tabel dibawah ini:
Tabel 1. Hubungan Kunjungan Keluarga ke
Posyandu dengan Status Gizi Balita
di Kecamatan Cibiru Bandung
Status gizi
Kunjungan
KEP
Tidak Aktif
Aktif

F
%
39 60,9
9 28,1

Tidak KEP

Total

F
%
F
25 39,1 64
23 71,9 64

%
100
100

Chi square= 9,18


p-value= 0,005
OR= 3,978
2

Hasil uji Chi-square x hitung lebih besar


2
2
dari x tabel = x 0,05(1) = 3,84, demikian pula
dengan nilai p-value sebesar 0,005 yang
lebih kecil dari taraf signifikansi (0,05), hal
ini mengisyaratkan H0 diterima, Maka
terdapat
hubungan
antara
variabel
kunjungan keluarga ke Posyandu dengan
status gizi, dan untuk mengetahui besarnya
faktor resiko antara kunjungan keluarga ke
Posyandu dengan angka kejadian status gizi
KEP pada balita, maka digunakan teknik
analisis odd ratio.
Dari tabulasi di atas didapatkan odds
ratio sebesar sebesar 3,987 dibulatkan
menjadi 4 sehingga responden yang
mempunyai kategori tidak aktif di posyandu
mempunyai risiko 4 kali lebih besar terkena
status gizi KEP dibandingkan dengan
responden dengan kategori aktif di
posyandu.

223

ISSN: 2086-3098

PEMBAHASAN
2

Hasil uji statistik


Chi-square x .
Menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan antara keluarga yang aktif
membawa Balita ke posyandu dengan
keluarga yang tidak aktif membawa balitanya
ke posyandu. Adanya hubungan yang positif
dan signifikan dari kunjungan keluarga ke
posyandu ini karena kegiatan di posyandu
telah
mampu
memperluas
wawasan
pengetahuan dan keterampilan keluarga
merawat Balita terutama dalam pemenuhan
nutrisi pada Balita.
Perilaku keluarga yang membawa
balitanya setiap bulan juga berhubungan
dengan pengetahuan dan sikap keluarga
terhadap Posyandu. Hal ini sesuai dengan
teori dari Saifuddin (2011), menurut
Saifudddin, upaya peningkatan partisipasi
masyarakat,
pengetahuan
dan
sikap
merupakan hal yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Artinya
semakin tinggi pengetahuan seseorang,
maka
kesadaran
untuk
mengunjungi
posyandu
semakin
besar
(frekuensi
kunjungan lebih sering).
Selain pengetahuan dan sikap ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
perilaku ibu balita mengunjungi Posyandu.
Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan
Lilik (2009) terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi kunjungan ibu balita ke
posyandu yaitu faktor pengetahuan ibu,
jarak, sarana prasarana, serta kurangnya
dorongan dari kader,tokoh masyarakat dan
agama. Penilaian pengetahuan dilihat dari
kemampuan ibu untuk menjelaskan tentang
peran dan fungsi posyandu serta sasaran
posyandu. Hasil penelitian membuktikan
bahwa pengetahuan berhubungan signifikan
dengan pemanfaatan posyandu. Jarak yang
cukup jauh ditunjang dengan kondisi jalan
yang rusak dapat mempengaruhi ibu balita
ke posyandu. Ketersediaan sarana yang
dibutuhkan
posyandu
menjadi
faktor
pendorong ibu balita ke posyandu. Sehingga
faktor kepuasan pelayanan tergantung pada
ketersediaan sarana prasarana.Faktor lain
yang
berpengaruh
terhadap
upaya
pemanfaatan terhadap pelayanan posyandu
adalah adanya dorongan dari kader selaku
penggerak masyarakat tidak hanya pada
pemberitahuan jadwal saja tapi kemampuan
kader untuk menggerakan masyarakat.
Tokoh
masyarakat
atau
agama
mempunyai
peran
tidak
hanya
mengumumkan jadwal tapi lebih pada upaya
menggerakan masyarakat Penelitian ini
didapatkan
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi kunjungan ibu balita ke
posyandu diantaranya: faktor pengetahuan

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ibu, jarak, sarana prasarana serta dorongan


kader / tokoh agama dan masyarakat. Untuk
meningkatkan peran serta ibu balita ke
posyandu diperlukan upaya pergerakan
masyarakat
melalui
peningkatan
pengetahuan masyarakat tentang posyandu
melalui penyuluhan. Upaya lain adalah
meningkatkan peran kader posyandu serta
tokoh agama dan masyarakat dalam
menggerakan masyarakat ke posyandu.
Status gizi dapat diketahui dengan
berbagai macam cara. Menurut Supariasa
(2002) status gizi dapat diukur dengan dua
cara yaitu secara langsung yang meliputi
pemeriksaan antropometri, klinis, dan
biokimia dan secara tidak langsung yaitu
melalui survei konsumsi makanan, statistik
vital, dan ekologi. Metode yang paling sering
digunakan dan mudah untuk dilakukan yaitu
penilaian secara antropometri, salah satu
cara yaitu dengan membandingkan antara
berat badan dengan umur, yang menurut
Supariasa (2002) merupakan cara yang
cukup efisien.
Pemantauan pertumbuhan juga dapat
dipantau melalui kartu menuju sehat (KMS).
Menurut Arisman (2004) KMS berfungsi
sebagai alat bantu pemantauan gerak
pertumbuhan, bukan hanya menilai status
gizi. Salah satu kegiatan posyandu yaitu
menimbang balita kemudian diikuti dengan
pengisian KMS berdasarkan berat badan
dengan umur sehingga dapat diketahui
dengan segera bila terdapat kelainan atau
ketidaksesuaian dengan grafik pertumbuhan
pada KMS.
Pada usia 4 tahun merupakan masa
yang rawan terhadap gizi, penyakit infeksi,
dan tekanan emosi atau stress. Pada umur
itu, sering terjadi asupan makanan anak
yang tidak mencukupi, dan anak sering
terkena penyakit infeksi kerena praktik
pemberian makanan dan kontak yang lebih
luas dengan dunia luar dan stres emosional
yang dihubungkan dengan masa penyapihan
(Supariasa, 2002).
Anak umur 1 sampai 4 tahun merupakan
periode ketika seorang anak tumbuh dengan
cepat sehingga kebutuhan akan zat-zat gizi
juga meningkat. Keadaan kurang gizi yang
sering dihubungkan dengan masa ini adalah
kurang
energi
protein
(KEP),
dan
kekurangan vitamin A. Keadaan defisiensi ini
dapat menimbulkan kematian pada periode
ini
(Learell,
1987).
Anemia
karena
kekurangan zat besi sering juga terjadi pada
periode umur ini akibat infeksi parasit dan
kebutuhan zat gizi yang meningkat.
(Supariasa, 2002).
Status
gizi
merupakan
ukuran
keseimbangan antara asupan zat gizi
dengan zat gizi yang dibutuhkan. Masalah

224

ISSN: 2086-3098

KEP atau gizi buruk pada balita disebabkan


oleh berbagai faktor, baik faktor penyebab
langsung maupun faktor penyebab tidak
langsung. Menurut teori dari Unicef (1992),
Johnson (1992), dan Persagi (1999) faktor
penyebab langsung timbulnya masalah gizi
buruk pada balita adalah adanya penyakit
infeksi serta konsumsi makanan yang tidak
mencukupi kebutuhannya, sedangkan faktor
penyebab tidak langsung merupakan faktor
penunjang timbulnya masalah gizi buruk
pada balita adalah kurangnya pengetahuan
ibu tentang kesehatan, social ekonomi (daya
beli) yang masih rendah, ketersediaan
pangan ditingkat keluarga yang tidak
mencukupi, pola konsumsi yang kurang baik,
serta fasilitas pelayanan kesehatan yang
masih sulit dijangkau. Hal ini juga sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh
Supariasa (2002) menyatakan ada dua
penyebab yang menyebabkan timbulnya
masalah gizi buruk. Menurut Supariasa,
faktor penyebab tidak langsung salah
satunya yaitu pemanfaatan pelayanan
kesehatan (Posyandu) serta pemeliharan
kesehatan.
Hal yang disebutkan teori diatas, sesuai
dengan hasil yang telah dilakukan bahwa
hasil penelitian, dapat dianalis untuk mencari
ada tidaknya hubungan antara variabel
kunjungan dengan status gizi dan ternyata
terdapat
hubungan,
sehingga
dapat
dikatakan bahwa terdapat hubungan antara
kunjungan keluarga ke Posyandu dengan
status gizi balita.
Pemeliharaan kesehatan dapat dilakukan
oleh keluarga yang merupakan suatu unit
terkecil dalam masyarakat. Upaya yang bisa
dilakukan keluarga dalam mencegah status
gizi KEP dan memonitor status gizi adalah
membawa anaknya secara rutin tiap
bulannya ke Posyandu, karena Posyandu
mempunyai 5 tugas pokok diantaranya,
kesehatan
ibu
dan
anak,
keluarga
berencana, Imunisasi, peningkatan gizi, dan
penanggulangan diare (Mubarak, 2009).
Dari hasil penelitian didapatkan odds
ratio sebesar 3,987 sehingga dapat
dikatakan
bahwa
responden
yang
mempunyai kategori kunjungan dalam
kegiatan posyandu tidak aktif mempunyai
resiko 4 kali lebih besar terkena status gizi
KEP dibandingkan dengan responden
dengan kategori kunjungan di posyandu
aktif. Hal ini membuktikan bahwa dengan
melakukan penimbangan setiap bulan pada
posyandu maka status gizi dan jalur
pertumbuhan anak dapat selalu terpantau,
sehingga bila ditemukan kelainan dalam
grafik pertumbuhan akan segera terdetesi
dan akan mudah untuk melakukan perbaikan
status gizi anak. Sesuai dengan penelitian

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi Bogor


(2007) dan Djukarni (2001) bahwa
penimbangan balita secara rutin dan
diimbangi
dengan
penyuluhan
serta
pemberian makanan tambahan pada setiap
bulan penimbangan di posyandu dalam
kurun waktu 3 bulan dapat menurunkan
angka kasus gizi buruk dan gizi kurang.

Arali. 2011. Program Perbaikan Gizi


Masyarakat di Puskesmas. Dikutip dari
http://www.arali2008.blogspot.com/Progr
amPerbaikanGiziMasyarakatdiPuskesma
sArali2008.OpinidariFaktaEmpiris.htm.
(Pada tanggal 16 Maret 2012)

SIMPULAN DAN SARAN

Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu


Pendekatan Praktek Revisi V. Jakarta :
PT Rineka Cipta

Simpulan
Berdasarkan
hasil
penelitian,dapat
disimpulkan bahwa Terdapat
Hubungan
kunjungan keluarga ke Posyandu dengan
status gizi balita.

_________. 2006. Prosedur Penelitian Suatu


Pendekatan Praktek. Jakarta : PT Rineka
Cipta
Arisman, MB. 2004. Gizi
Kehidupan. Jakarta. EGC

dalam

Daur

Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan
terkait dengan penelitian yang sudah
dilakukan adalah:
1. Puskesmas diharapkan dapat lebih
intensif dalam melaksanakan pembinaan
kepada kader-kader posyandu dalam
upaya
promosi
kesehatan
serta
memodifikasi metoda promosi kesehatan
yang lebih efektif kepada keluarga yang
memiliki balita mengenai status gizi
balita, serta bekerja sama dengan para
kader
dalam
upaya
penjaringan
(sweeping) keluarga yang tidak aktif
berkunjung ke Posyandu.
2. Masyarakat diharapkan ikut berpatisipasi
aktif dalam memajukan M UKBM
(Posyandu),
3. Ibu balita diharapkan memiliki kesadaran
serta kemandirian akan pentingnya ikut
serta dalam kegiatan Posyandu, karena
keaktifan
keluarga
mengunjungi
posyandu berpengaruh besar terhadap
kondisi status gizi bayi dan balitanya.
DAFTAR PUSTAKA
A.A, Gde Muninjaya. 2004. Manajemen
Kesehatan. Jakarta: EGC
Adisasmito, Wiku. 2007. Sistem Kesehatan.
Jakarta: PT Raja Grafindo
Ageng & Weni. 2010. Askep Neonatus dan
Anak. Yogya: Nuha Medika
Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu
Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Anwar,
Saifudin.
Pengukurannya.
Belajar.

225

2011.
Teori
dan
Jakarta:
Pustaka

Dahlan, M.Sopiyudin. 2010. Besar Sampel


dan cara Pengambilan Sampel. Jakarta:
Salemba Medika
Danim, Sudarwan. 2003. Riset Keperawatan
Sejarah & Metodologi. Jakarta: EGC
Depkes RI. 2003. Pedoman Deteksi Dini
Tumbuh Kembang Balita. Jakarta:
Depkes RI
_________. 2004. Partisipasi Masyarakat
dalam Bidang Kesehatan. Jakarta: Pusat
Penyuluhan Kesehatan RI.
_________.
2007.
Buku
Pedoman
Pemberian Makanan Pendamping ASI.
Jakarta:
Direktorat
Jendral
Bina
Kesehatan Masyarakat dan Direktorat
Gizi Masyarakat
Dinkes Kota Bandung. 2010. Profil
Kesehatan Kota Bandung Tahun 2010.
Bandung: Dinkes kota Bandung
Dinkes Propinsi Jawa Tengah. 2006. Profil
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah.
Semarang
Hidayat, Alimul Aziz. 2009. Metode
Penelitian Keperawatan dan Teknik
Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika
Hidayanti, Lilik. 2009. Analisis Faktor yang
Mempengaruhi Rendahnya Kunjungan
Ibu Balita ke Posyandu di Kecamatan
Karangjaya
Kabupaten
Tasikmaaya
Tahun
2009.
http://journal.unsil.ac.id/index.php/viewdo
wnload/96-lilik-hidayanti-m-si/403analisis-faktor-yang-mempengaruhirendahnya-kunjungan-ibu-balita-keposyandu-di-kecamatan-karangjaya-

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

kabupaten-tasikmalaya-tahun-2009
(Diambil pada tanggal 23 Juli 2012)
Holil, M Pari. 2010. Pedoman Pengukuran
Penilaian Status Gizi (PSG). Cimahi:
Politeknik Kesehatan Kemenkes R.I
Jurusan Gizi
Iryanti, Euis Nurhayati, dkk. 2009. Panduan
Penyusunan Karya Tulis Ilmiah (KTI).
Bandung: Politeknik Kesehatan Depkes
Bandung
Mubarak, Wahid Iqbal. 2009. Ilmu Kesehatan
Masyarakat: Teori dan Aplikasi. Jakarta:
Salemba Medika.
Muchtadi, Deddy. 2002. Gizi untuk Bayi; ASI,
Susu Formula, dan Makanan Tambahan.
Jakarta: Sinar Harapan

ISSN: 2086-3098

Santoso, Singgih. 2009. Panduan Lengkap


Menguasai Statistik dengan SPSS 17.
Jakarta: Elex Media Komputindo
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuntitatif
Kualitatif dan R&D. Jakarta: Alfabeta
Supariasa, I Dewa Nyoman, dkk. 2002.
Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
Tarwotjo, Ig. 2003. Aspek kesehatan dan gizi
anak balita. Direktorat Bina Gizi
Masyarakat: Yayasan Obor Indonesia.
Wikipedia.
2012.
Balita.
http://www.wikipedia.com (diakses 19
Maret 2012)
World Health Organization. 2009. Buku Saku
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit, Tim Adaptasi Indonesia (Alih
Bahasa). Jakata: WHO

Moehiji. 2002. Ilmu Gizi, Pengetahuan Dasar


Ilmu Gizi. Jakarta: Papas SinantiBharatara.
Notoatmodjo, Soekidjo, 2003. Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakrta: Rineka
Cipta
________. 2005. Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
________. 2007. Kesehatan Masyarakat
Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta
Nursalam. 2003. Konsep & Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika
Permaesih, Dewi.dkk. 2009. Kamus Gizi
Pelengkap Kesehatan Keluarga. Jakarta:
Kompas Media Nusantara
Proverawati. 2010. Buku Ajar Gizi untuk
Kebidanan. Jogjakarta: Nuha Meidka
Puskesmas Cibiru, 2011. Profil Kesehatan
UPT Puskesmas Cibiru. Bandung
Puslitbang Bogor. 2007. Cara Membuat
Status Gizi Balita Meningkat. Available at
:
http://victor-health.blogspot.com/
articles/2007/12/cara-membuat-status
gizibalita. html (diakses 30 Maret 2012)
Radiansyah, E. 2007. Penanggulangan Gizi
Buruk.
Available
:
at
http://www.dinkespurworejo.go.id
(diakses 18 Maret 2012)
Sandjaja dkk. 2009. Kamus Gizi Pelengkap
Kesehatan Keluarga. Jakarta: Kompas

226

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

PENDAHULUAN
GAMBARAN PRAKTEK KELUARGA
SADAR GIZI DI DUSUN KEPEL DESA
BANJARSARI KECAMATAN MADIUN
KABUPATEN MADIUN TAHUN 2011
Tunik Ismiyatun
(Dinas Kesehatan Madiun)
Tutiek Herlina
(Prodi Kebidanan Magetan,
Poltekkes Kemenkes Surabaya)
Hery Sumasto
((Prodi Kebidanan Magetan,
Poltekkes Kemenkes Surabaya)
ABSTRAK
Latar belakang: Masalah gizi utama saat ini
adalah Kurang Energi Protein (KEP),
Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY),
Anemia Gizi Besi (AGB), dan Kekurangan
Vitamin A (KVA). Pendekatan perbaikan gizi
akan lebih difokuskan pada peningkatan
status gizi melalui penggerakkan dan
pemberdayaan keluarga melalui program
Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi). Tujuan:
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui
gambaran praktek keluarga sadar gizi di
Dusun Kepel Desa Banjarsari Kecamatan
Madiun
Kabupaten
Madiun.
Metode:
Penelitian
ini
merupakan
penelitian
deskriptif. Populasi
sebesar 215 rumah
tangga dan seluruh populasi dijadikan
sampel. Pengumpulan data dilakukan
dengan kunjungan rumah, instrumen berupa
lembar observasi, pedoman wawancara dan
Iodina test. Analisa data dengan statistik
deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel
distribusi frekwensi. Hasil: Praktek kadarzi
indikator menimbang berat badan secara
teratur mencapai 59,6% dari target 80%,
kadarzi indikator memberikan ASI Eksklusif
mencapai 28,6% dari target 80%, kadarzi
indikator makan beraneka ragam mencapai
73,0% dari target 80%, kadarzi indikator
menggunakan garam beryodium mencapai
97,7% dari target 90% dan kadarzi indikator
memberikan suplemen gizi mencapai 89,1 %
dari target 80%. Simpulan: Praktek kadarsi di
Dusun Kepel Desa Banjarsari Kecamatan
Madiun Kabupaten Madiun untuk indikator
menimbang berat badan, memberikan ASI
Eksklusif dan makan beraneka ragam masih
dibawah
target
sedangkan
indikator
menggunakan
garam
beryodium
dan
memberikan suplemen gizi telah mencapai
target yang ditetapkan oleh pemerintah.
Saran:
Setiap
keluarga
diharapkan
melaksanakan program kadarzi sehingga
dapat meningkatkan status gizi anggota
keluarga.
Kata kunci : gizi, keluarga

227

Latar Belakang
Masalah gizi terjadi pada setiap siklus
kehidupan yaitu dimulai sejak dalam
kandungan (janin), lahir menjadi bayi, anak,
dewasa dan usia lanjut. Masalah gizi secara
tidak langsung dipengaruhi kualitas dan
jangkauan pelayanan kesehatan, pola asuh
yang tidak memadai serta ketahanan pangan
tingkat rumah tangga. Sampai saat ini
masalah gizi utama yang masih banyak
ditemukan di masyarakat antara lain: Kurang
Energi Protein (KEP); Gangguan Akibat
Kekurangan Yodium (GAKY); Anemia Gizi
Besi (AGB) dan Kekurangan Vitamin A
(KVA) (Depkes RI, 2006). AGB diderita oleh
8,1 juta anak balita, 10 juta anak usia
sekolah, 3,5 juta remaja putri dan 2 juta ibu
hamil. GAKY diderita oleh sekitar 3,4 juta
anak usia sekolah dan sekitar 10 juta balita
menderita KVA (Depkes RI, 2007).
Mencermati perkembangan masalah gizi
dan pengalaman di dalam pelaksanaan
program
gizi,
diperlukan
pergeseran
orientasi program perbaikan gizi, mengacu
pada
paradigma
sehat.
Pendekatan
perbaikan gizi akan lebih difokuskan pada
peningkatan
status
gizi
melalui
penggerakkan dan pemberdayaan keluarga
melalui
program Keluarga Sadar Gizi
(Kadarzi) yaitu
suatu keluarga
yang
mampu
mengenal,
mencegah dan
mengatasi masalah gizi setiap anggota
keluarganya (Depkes RI, 2007).
Tujuan Penelitian
Diketahuinya gambaran praktek Kadarzi
di Dusun Kepel Desa Banjarsari Kecamatan
Madiun Kabupaten Madiun.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif. Populasi
sebesar 215 rumah
tangga di dusun Kepel Desa Banjarsari
Kecamatan Madiun Kabupaten Madiun dan
seluruh populasi dijadikan sampel. Variabel
penelitian
yaitu praktek kadarzi , sub
variabel yaitu indikator : 1) Menimbang berat
badan secara teratur, 2) Memberikan ASI
eksklusif , 3) Makan beraneka ragam, 4)
Menggunakan garam beryodium dan 5)
Memberikan suplemen gizi sesuai anjuran:
pemberian Vitamin A dosis tinggi pada balita
6-59 bulan, pemberian TTD pada ibu hamil
dan pemberian Vitamin A dosis tinggi 2
kapsul pada ibu nifas. Pengumpulan data
dilakukan
dengan
kunjungan
rumah,
instrumen
berupa
lembar
observasi,

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

pedoman wawancara dan Iodina test.


Analisa data dengan statistik deskriptif dan
disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi.

ISSN: 2086-3098

Pemberian ASI saja kepada bayi sejak


lahir sampai umur 6 bulan (ASI Eksklusif )

HASIL PENELITIAN
80

Karakteristik Keluarga

71,4

70
60

Tabel 1. Karakteristik keluarga menurut


kadarzi di Dusun Kepel Desa Banjarsari
Kecamatan Madiun Kabupaten Madiun
tahun 2011

50
40
30

28,6

28,6

20
10

0 0

0 0 0

0 0 0

Karakteristik keluarga
Keluarga dengan ibu
hamil, bayi 0-6 bulan,
balita 6-59 bulan

Jumlah

Persentase

Keluarga dengan bayi


0-6 bulan, balita 6-59
bulan

1,8

Keluarga dengan ibu


hamil, balita 6-59
bulan

0,5

Keluarga dengan ibu


hamil

1,4

Keluarga dengan bayi


0-6 bulan

1,4

Keluarga
dengan
balita 6-59 bulan

44

20,5

Keluarga yang tidak


mempunyai
bayi,
balita, ibu hamil

160

74,4

Jumlah

215

100,0

Kebiasaan keluarga dalam menimbang


berat badan secara teratur

70,00%
60,00%
50,00%
40,00%
30,00%
20,00%
10,00%
0,00%

59,60 40,40
%
%

Baik

Belum
baik

Gambar 2. Kadarzi Berdasarkan Indikator


Pemberian ASI Eksklusif di Dsn Kepel
Desa Banjarsari Kec. Madiun Kab. Madiun
Tahun 2011
Kebiasaan keluarga dalam menyajikan
makanan gizi seimbang ( makan beraneka
ragam )

80%
60%
40%
20%
0%

73%
27%
Baik

Belum
baik

Gambar 3. Diagram Kadarzi Berdasarkan


Indikator Makan Beraneka Ragam
di Dsn Kepel Desa Banjarsari Kec. Madiun
Kab. Madiun Tahun 2011

Pemakaian garam beryodium

2,30%

m
lu
Be

ik
Ba

Baik

ba
ik

Belum
baik
97,70%

Gambar 1. Kadarzi Berdasarkan Indikator


Menimbang Berat Badan Secara Teratur
di Dusun Kepel Desa Banjarsari Kec. Madiun
Kab. Madiun Tahun 2011

228

Gambar 3. Kadarzi Berdasarkan Indikator


Menggunakan Garam Beryodium
di Dusun Kepel Desa Banjarsari Kec. Madiun
Kabupaten Madiun pada tahun 2011

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

Pemberian suplemen gizi bagi anggota


keluarga yang membutuhkan

ISSN: 2086-3098

PEMBAHASAN
Kebiasaan Keluarga dalam menimbang
berat badan secara teratur

Suplemen vitamin A biru pada bayi 6-11


bulan dan vitamin A merah pada balita 12-59
bulan

11,4

0
Baik
Belum
baik

88%

Gambar 5. Kadarzi Berdasarkan Indikator


Memberikan Suplemen Vitamin A Biru pada
Bayi 6-11 Bulan dan Vitamin A Merah pada
Balita 12-59 Bulan di Dusun Kepel Desa
Banjarsari Kecamatan Madiun
Kabupaten Madiun tahun 2011
Suplemen TTD pada ibu hamil
Data pemberian TTD pada sasaran 4 ibu
hamil didapatkan kriteria baik 4 ibu hamil
(100%)
Suplemen vitamin A merah pada ibu nifas

90

85,7

80
70
60
50
40
30
20
10

14,3
0

14,3
00

000

000

0
Baik

Belum
baik

Gambar 6. Kadarzi Berdasarkan Indikator


Memberikan Suplemen Vitamin A Merah
pada Ibu Nifas di Dusun Kepel Desa
Banjarsari Kecamatan Madiun
Kabupaten Madiun tahun 2011

229

Hasil penelitian menunjukkan 59,6%


balita ditimbang berat badannya dengan
teratur. Menurut Depkes RI (2007) target
balita ditimbang setiap bulan adalah 80%.
Meskipun balita ditimbang dengan kriteria
baik lebih tinggi dibandingkan dengan kriteria
belum baik tetapi belum memenuhi target
yang ditetapkan. Hal ini menunjukan peran
serta masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan
masih kurang. Kebiasaan
keluarga menimbang berat badan secara
teratur dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain: ibu-ibu yang sibuk dengan
pekerjaannya di sawah dan malas membawa
anaknya ke posyandu serta menganggap ke
posyandu tidak memberikan pengaruh yang
berarti. Selain itu ketakutan balita waktu
ditimbang dan anggapan ibu bahwa
imunisasi anaknya sudah lengkap membuat
ibu tidak mau datang ke posyandu. Untuk
mengatasi hal tersebut upaya yang perlu
dilakukan
antara
lain:
revitalisasi
posyandu/pelatihan kader, kunjungan rumah
.
Pemberian ASI saja kepada bayi sejak
lahir sampai umur 6 bulan (ASI Eksklusif )
Hasil penelitian didapatkan hanya 28,6
% bayi mendapatkan ASI Eksklusif. Menurut
Depkes RI (2007) target bayi 0-6 bulan diberi
ASI saja (ASI Eksklusif) adalah 80%. Angka
ini menunjukkan bahwa pemberian ASI
Eksklusif belum mencapai target yang
ditetapkan.
Ibu yang memberikan
PASI sebelum bayi usia 6 bulan 60% ,
dengan tujuan untuk memberikan rasa
kenyang karena jika hanya diberi ASI saja
bayi tidak akan merasa kenyang dan 40%
ibu memberikan PASI dengan alasan
bekerja di lokasi yang jauh dari tempat
tinggal dan membuat ibu merasa perlu
memberikan makanan atau minuman lain
selain ASI. Kenyataan ini tidak sesuai
dengan teori yang mengatakan bahwa ASI
merupakan makanan bayi yang paling
sempurna, bersih dan sehat. ASI dapat
mencukupi kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh
dan kembang dengan normal sampai
berusia 6 bulan (Depkes RI, 2007). Untuk
mengatasi ini hal tersebut upaya yang harus
dilakukan adalah dengan meningkatkan
kampanye ASI Eksklusif dan menggalakkan
program IMD.

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

Kebiasaan keluarga dalam menyajikan


makanan gizi seimbang (makan beraneka
ragam)

kesehatan, suplemen gizi diberikan pada


waktu kunjungan rumah oleh kader
kesehatan atau petugas kesehatan.

Hasil penelitian menunjukkan kebiasaan


makan beraneka ragam dengan kriteria baik
73,0%. Menurut Depkes RI (2007) target
yang ditetapkan adalah 80%. Hasil
wawancara dengan responden didapatkan
39% ibu belum menyajikan makanan
beraneka ragam dengan alasan pola makan
anak yang tidak suka sayur, 34% karena
kesibukan orangtua di sawah sehingga tidak
sempat menyiapkan makanan bagi keluarga
dan hanya menyediakan makanan instant
serta 25% karena alasan ekonomi sehingga
tidak mampu menyediakan buah setiap hari
bagi anak balitanya. Hal tersebut merupakan
masalah yang perlu mendapat perhatian
yang serius. Menurut Depkes RI (2005) pada
usia balita terjadi pertumbuhan dan
perkembangan yang sangat pesat. Karena
itu, kebutuhan zat gizi tiap satuan berat
badannya juga meningkat. Untuk mengatasi
masalah ini upaya yang harus dilakukan
adalah pelatihan kader, meningkatkan
penyuluhan
tentang
pentingnya
gizi
seimbang.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
1. Kebiasaan keluarga dalam menimbang
berat badan secara teratur mencapai
59,6%,
masih dibawah target yang
ditetapkan yaitu 80%.
2. Pemberian ASI saja kepada bayi sejak
lahir sampai usia 6 bulan (ASI Eksklusif)
mencapai 28,6%, masih dibawah target
yang ditetapkan yaitu 80%.
3. Penyajian makanan beraneka ragam
bagi keluarga mencapai 73,0%, masih
dibawah target yang ditetapkan yaitu
80%.
4. Penggunaan garam beryodium telah
mencapai 97,7%, target yang ditetapkan
90%.
5. Pemberian suplemen gizi bagi anggota
keluarga yang membutuhkan telah
mencapai 89,1%, target yang ditetapkan
80%.
Saran

Penggunaan garam beryodium


Hasil penelitian menunjukkan keluarga
yang menggunakan garam beryodium
97,7%. Menurut Depkes RI (2007) target
yang ditetapkan adalah 90% keluarga
menggunakan garam beryodium. Angka ini
menunjukkan bahwa indikator menggunakan
garam beryodium sudah memenuhi target
yang ditetapkan. Untuk meningkatkan
cakupan diperlukan KIE tentang cara
pemilihan, penggunaan dan penyimpanan
garam beryodium yang benar serta
pemantauan garam yang beredar di
pasaran.
Pemberian suplemen gizi bagi anggota
keluarga yang membutuhkan
Pemberian suplemen gizi pada balita
86,6%, ibu hamil 100% dan ibu nifas 85,7%.
Menurut Depkes RI 2007 target pemberian
suplemen gizi adalah 80% . Kesimpulan
bahwa memberikan suplemen gizi sesuai
anjuran sudah mencapai target yang
ditetapkan.
Keadaan
ini
disebabkan
suplemen gizi diberikan pada waktu balita,
ibu nifas dan ibu hamil berkunjung di tempat
pelayanan kesehatan. Tindakan di lapangan
yang telah dilaksanakan untuk meningkatkan
cakupan pemberian suplemen gizi sesuai
anjuran adalah bila balita, ibu hamil dan ibu
nifas tidak berkunjung ke tempat pelayanan

230

Diharapkan semua pelayanan kesehatan


terutama
pelayanan
kesehatan
gizi
masyarakat agar menyusun suatu program
untuk meningkatkan pelayanan gizi pada
masyarakat dan menjadikan hasil penelitian
ini sebagai bahan evaluasi program Kadarzi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2008.
http://pkmhajimena.blogspot.com/search/l
abel/Kadarzi (diakses 03-11-2008)
Arikunto S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Proses. Rineka Cipta:
Jakarta.
Depkes RI. 2006. Pedoman Operasional
Pengembangan
Desa
Siaga
bagi
Petugas Kesehatan Propinsi Jawa Timur.
Depkes RI: Jakarta.
_________. 2006. Buku Saku
Poskesdes. Depkes RI, Jakarta.

Bidan

_________. 2007. Pedoman Operasional


Keluarga Sadar Gizi di Desa Siaga.
Depkes RI, Jakarta.
_________. 2007. Pedoman Pendampingan
Keluarga menuju Sadar Gizi. Depkes RI:
Jakarta.

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Volume IV Nomor 4, Oktober 2013

ISSN: 2086-3098

_________. 2007. Pedoman Strategi KIE


Keluarga Sadar Gizi dan Pedoman
Pendampingan Keuarga menuju Kadarzi.
Depkes RI: Jakarta.
_________. 2007.
Gizi dan Kesehatan
Masyarakat. Raja Grafindo Persada:
Jakarta.
Ewik Zuriyah Dewi. 2009. Hubungan antara
pemberian PASI dengan pertumbuhan
berat badan bayi di Desa Darmorejo dan
Desa Wonorejo Kecamatan Mejayan
Kabupaten Madiun.
Kartiningsih. 2008. Gambaran pemilihan,
penggunaan dan penyimpanan garam
beryodium dengan kejadian GAKY pada
anak SD.
Notoatmodjo S. 2003.
Perilaku Kesehatan.
Jakarta

Pendidikan dan
Rineka Cipta :

____________. 2005. Metode Penelitian


Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta
Nursalam.
2003.
Konsep
dan
Penerapan
Metodologi
Penelitian
Ilmu Keperawatan. Jakarta, Salemba
Merdeka.
Sugiono. 2005. Statistika untuk Penelitian.
Alfabeta: Bandung.
Sudijono, A. 2006. Pengantar Statistik
Pendidikan. Raja Grafindo Persada:
Jakarta.
Sriani. 2008. Hubungan antara konsumsi
makanan sumber energi dengan status
gizi balita 1-3 tahun di Desa Kedungjati
Kecamatan Balerejo Kabupaten Madiun.
Sumiati. 2009. Gambaran Kadarzi di Desa
Lengkong Lor Kecamatan Ngluyu
Kabupaten Nganjuk.
Suyanto dan Ummi Salamah. 2009. Riset
Kebidanan Metodologi dan Aplikasi. Mitra
Cendikia: Yogyakarta.
Suryani. 2009. Hubungan antara rutinitas
kunjungan ke posyandu dengan status
gizi
di
Desa
Bulu
Kecamatan
Pilangkenceng Kabupaten Madiun.

231

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

Anda mungkin juga menyukai