PENDAHULUAN
Pada pelaksanaannya masih banyak hambatan, mengingat secara geografis Indonesia beriklim
tropis dan terdiri dari beribu-ribu pulau dan fasilitas kesehatan yang kurang memadai, sedang
syarat mutlak keberhasilan program adalah tingginya persentase populasi target yang harus
dicakup yaitu sebesar 80% atau lebih, sehingga sirkulasi kuman patogen dapat diputuskan 1,5.
I .2. Tujuan
Tujuan penulisan refrat ini antara lain untuk mengetahui definisi, etiologi, transmisi dan
epidemiologi, distribusi dan insidens, patologi, patogenesis, manifestasi klinik, diagnosis,
diagnosis banding, komplikasi, pengobatan, pencegahan dan kontrol, prognosis dari pertusis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.Definisi
Pertusis adalah infeksi pernapasan akut yang diuraikan dengan baik pada tahun 1500.
Prevalensi di seluruh dunia sekarang berkurang hanya karena imunisasi aktif. Syndenham yang
pertama kali menggunakan istilah pertusis pada tahun 1670. Penyakit ini di tandai oleh suatu
sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat spasmodik dan paroksimal disertai nada yang
meninggi , karena penderita berupaya keras untuk menarik nafas sehingga pada akhir batuk
sering di sertai bunyi yang khas (whoop), sehingga penyakit ini disebut Whooping Cough
1,2,3,4,6
Karena tidak semua penderita dengan penyakit ini mengeluarkan bunyi whoop, maka oleh
beberapa ahli, penyakit ini disebut Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang
sangat intensif. Selain penyakit ini juga sering disebut Tussis Quinta, batuk rejan
3,4,6
. Penyakit
ini dapat ditemukan pada semua umur, mulai dari bayi sampai dewasa. Dengan kemajuan
perkembangan antibiotika dan program imunisasi maka mortalitas dan morbilitas penyakit ini
menurun, namun demikian penyakit ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan bila
mengenai bayi bayi 1,2,3,4,6.
II.2.Etiologi
Pertusis pertama kali dapat di isolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan Gengou, kemudian
pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan dalam media buatan. Genus
Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertusis, B.parapertusis, B.bronkiseptika, dan B. avium.
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis dan perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang
disebabkan oleh Bordetella parapertusis dan Aadenovirus (tipe1,2,3 dan 5). Bordetella pertusis
termasuk kokobasilus, Gram negative, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5 1 um dan diameter 0,2
0,3 um, tidak bergerak, tidak berspora. Dengan pewarnaan toloidin biru, dapat terlihat granula
bipolar metakromatik dan mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan B. pertusis, diperlukan
suatu media pembenihan yang disebut bordet gengou (potato blood glycerol agar) yang ditambah
penisilin G 0,5 ug/ml untuk menghambat pertumbuhan organism lain. Dengan sifat sifat
pertumbuhan kuman aerob murni, membentuk asam, tidak membentuk gas pada media yang
mengandung glukosa dan laktosa, sering menimbulkan hemolisis
1,2,3,4,5,6
. Organisme yang
didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Fase dalam biakan dapat merangsang
pembentukan varian yang avirulen (fase 2, 3 atau 4). Strain 1 berperan untuk penularan penyakit
dan menghasilkan vaksin yang efektif. Bordetella pertusis dapat mati dengan pemanasan pada
suhu 500 C selama setengah jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (00 100 C).
Faktor-faktor kevirulenan Bordetella pertusis :
Toksin pertussis: histamine sensitizing factor (HSF), lymphocytosis promoting factor, Islet
activating protein (IAP).
Adenilat siklase luarsel.
Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA) , PT-HA (pertussis toxin-HA).
Toksin tak stabil panas (heat labile toxin).
Secara morfologis terdapat beberapa kuman yang menyerupai Bodetella Pertusis seperti
Bordetella Parapertusis dan Bordetella Bronchoseptica. Untuk membedakan jenis jenis kuman
ini, maka di tentukan dengan reaksi aglutinasi yang khas atau tes tertentu 1,2,3,4,6.
1,3,4
pada anak pria. Banyak peneliti mengemukakan bahwa bayi kulit lebih hitam pada usia muda
mempunyai insinden lebih tinggi daripada bayi kulit putih, diduga perbedaan rasial ini
dihubungkan dengan tingkat kekebalan 1,3,4,6,7.
II.5.Patologi
Penularan terutama melalui saluran pernapasan dimana Bordetella Pertusis akan terikat
pada silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini akan mengalami multiplikasi disertai
pengeluaran toksin, sehingga menyebabkan inflamasi dan nekrose trakea dan bronkus. Mukosa
akan mengalami kongesti dan infiltrasi limfosit dan polimorfonukleus lekosit. Di samping itu
terjadi hiperplasi dari jaringan limfoid peribronkial diikuti oleh proses nekrose yang terjadi pada
lapisan basal dan pertengahan epitel bronkus. Lesi ini merupakan tanda khas pada pertusis. Pada
pemeriksaan postmortem dapat dijumpai infiltrasi peribronkial dan pneumonia interstitial
2,3
. Di
samping itu dapat dijumpai perubahan - perubahan patologis di organ lain seperti hati dan otak.
Pada otak dapat dijumpai adanya perdarahan otak atrofi kortikal. Perdarahan pada otak dapat
masif dan mengenai parenkim atau ruang subaraknoid terutama pada pertusis enselopati 2,3.
II.6.Patogenesis
Bordetella pertusis setelah dikeluarkan melalui sekresi udara pernafasan kemudian
melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella
pertusis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan
pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul penyakit sistemik 4,6. Filamentous hemaglutinin
(FHA), Lymphositosis promoting factor (LPF)/ pertusis toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan
dalam perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan Bordetella pertusis,
kemudian bermultiplikasi dan menyebar keseluruh permukaan epitel saluran pernafasan. Proses
ini tidak invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan
Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita
kenal dengan whooping cough. Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan
oleh karena pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit
B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel unit A yang aktif
pada daerah aktifasi enzim membran sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag
ke daerah infeksi 1,3,4,6,8.
Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek pengatur sintesis protein
di dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target
termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamin dan serotonin,
efek memblokir beta adrenergik dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan
konsentrasi gula darah
4,6
limfoid peribronchial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi silia
sebagai pembersih akan terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh
Streptococcus Pneumonia, H. influenza dan Staphylococcus aureus). Penumpukan mukos akan
menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis
disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenisasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnue saat
terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah
akibat pengaruh toksin langsung atakah sekunder akibat anoksia. Terjadi perubahan fungsi sel
yang reversible, pemulihan tampak bila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan
mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit 4,6.
Dermonecrotic toxin adalah heat labile cystoplasmic toxin menyebabkan kontraksi otot
polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan iskemia dan nekrosis trakea.
Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA, menyebabkan siliostasis, dan diakhiri dengan
kematian sel. Pertusis lipopolysacharida (endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal
pathogenesis penyakit ini. Kadang kadang Bordetella pertusis hanya menyebakan infeksi yang
ringan, karena tidak menghasilkan tosin pertusis 4,6.
II.7.Manifestasi Klinik
Masa inkubasi pertusis 6 10 hari (rata rata 7 hari), dimana perlangsungan penyakit ini
68 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung 3 stadium yaitu stadium
kataralis (prodromal, preparoksimal), stadium akut paroksismal (paroksismal, spasmodik), dan
stadium konvalesens. Manisfestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status
imunisasi. Gejala pada anak yang berumur <2 tahun yaitu batuk paroksismal (100%), whoops
(60 70%), emesis (66 80%), dispnue (70 80%) dan kejang (20 25%). Pada anak yang
lebih besar manifestasi klinis tersebut lebih ringan dan lama sakit lebih pendek, kejang jarang
pada anak >2 tahun. Suhu jarang >38,4 0 C pada semua golongan umur. Penyakit yang
disebabakan Bordetella parapertusis atau Bordetella bronkiseptika pada semua golongan umur
lebih ringan daipada Bordetella pertusis dan juga lama sakit lebih pendek. Ketiga stadium
pertusis diuraikan dibawah ini 2,3,4,6.
II.7.1.Stadium Katalaris (1 2 minggu)
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran nafas atas yaitu timbulnya rinore (pilek)
dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas
tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditegakan karena
sukar dibedakan dengan common cold. Selama stadium ini, sejumlah besar organisme tersebar
dalam inti droplet dan penderita sangat infeksius, namun tidak tampak sakit. Pada tahap ini
kuman paling mudah di isolasi. Selama masa ini penyakit sering tidak dapat dibedakan dengan
coomon cold. Batuk yang timbul mula mula malam hari, kemudian pada siang hari dan
menjadi semakin hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan melengket. Pada bayi lendir
dapat viskuos mukoid, sehingga dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, bayi terlihat sakit
berat dan iritabel 2,3,4,6.
II.7.2.Stadium Paroksimal (2 4 minggu)
Selama stadium ini, batuk menjadi hebat yang ditandai oleh whoop (batuk yang berbunyi
nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik napas pada akhir serangan batuk. Batuk
dengan sering 5 10 kali, selama batuk anak tidak dapat bernapas dan pada akhir serangan batuk
anak menarik napas dengan cepat dan dalam sehingga terdengar bunyi melengking (whoop) dan
diakhiri dengan muntah. Pada anak anak yang lebih tua, bunyi whoop ini sering tidak terdengar.
Juga pada bayi yang lebih muda serangan batuk hebat tidak di sertai bunyi whoop, tetapi
penderita sering dalam keadaan lemas, lelah, apneu, sianosis, muntah. Batuk paroksimal dapat
berlangsung terus menerus, selama beberapa bulan tanpa adanya infeksi aktif dan dapat menjadi
lebih berat. Selama serangan , muka penderita menjadi merah atau sianotis, mata tampak
menonjol, lidah menjulur keluar dan gelisah. Pada akhir serangan, penderita sering sekali
memuntahkan
lendir
kental.
Batuk
mudah
dibangkitkan
oleh
stress
emosional
(menangis,sedih,gembira) dan aktifitas fisik. Juga pada serangan batuk nampak pelebaran
pembuluh mata yang jelas di kepala dan leher, bahkan terjadi petekie di wajah,perdarahan
subkonjungtiva dan sklera bahkan ulserasi frenulum lidah. Walaupun batuknya khas, tetapi d luar
serangan batuk, anak akan keliatan seperti biasa. Setelah 1 2 minggu serangan batuk makin
meningkat hebat dan frekuen, kemudian menetap dan biasanya berlangsung 1 3 minggu dan
berangsur angsur menurun sampai whoop dan muntah menghilang 2,3,4,6.
II.7.3.Stadium Konvalesen (1 2 minggu)
Ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah muntah di mana puncak serangan
paroksimal berangsur angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu
dan akan menghilang sekitar 2 3 minggu. Pada beberapa penderita akan timbul serangan batuk
paroksimal kembali dengan gejala whoop dan muntah muntah. Episode ini terjadi berulang
-ulang untuk beberapa bulan malahan bisa sampai 1 2 tahun 2,4.
II.8.Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah riwayat kontak dengan pasien pertusis,
adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan
mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari
stadium saat pasien diperiksa. Pada pemerikssan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000
50.000/ Ul dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium
paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis, oleh karena respon
limfositosis juga terjadi pada infeksi lain. Isolasi Bordetella pertusis dari sekret nasofaring
dipakai untuk membuat diagnosis pertusis. Biakan positif pada stadium kataral 95 100%,
stadium parosismal 94% pada minggu ketiga dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya.
Serologi untuk antobiodi toksin pertusis. Tes serologi berguna untuk stadium lanjut penyakit dan
untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk
menentukan serum Igm, IgG dan IgA terhadap FHA dan PT menggambarkan respon imun primer
baik disebabakan oleh penyakit atau vaksinasi 3,4,6. IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling
sensitive dan spesifik untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setealah imunisasi
pertusis. Pemeriksaan lain yaitu toraks dapat memperlihatkan infiltrate perihiler, atelektasis atau
empisema 4.
II.9.Diagnosis Banding
Bordetella Parapertusis : Penyakitnya lebih ringan, kira- kira 5% dari penderita pertusis.
Dapat diidentifikasi secara khusus dengan tes aglutinasi 2.
Bordetella Bronchoseptica : Gejala penyakitnya sama dengan parapertusis, namun lebih
sering didapatkan pada binatang, dan mungkin ditemukan dalam saluran pernapasan pada orang
yang kontak dengan binatang tersebut 4.
Infeksi oleh Klamidia : Penyebabnya biasanya klamidia trakomatis. Pada bayi menyebabkan
pneumonia, oleh karena terkena infeksi dari ibu. Infeksi saluran pernapasan terjadi 2 12
minggu setelah lahir dengan gejala gejala pernapasan cepat, batuk paroksimal, tanpa demam
,eosinofilia. Pada thorak foto terlihat konsolidasi paru dan hiperinflasi. Diagnosis dengan isolasi
yaitu ditemukannya klamidia dari cairan saluran pernapasan. Penyakit ini disebut juga
Eosinophilic Pertusoid Pneumonitis 6.
Kolaps alveoli paru : akibat baatk paroksimal yang lama pada anak anak sehingga dapat
menyebabkan hipoksia berat pada bayi dapat menyebabkan kematian yang tiba tiba .
II.10.2.Pada Sistem Saraf Pusat
Terjadi kejang karena :
Hipoksi dan anoksia akibat apnue yang lama.
Perdarahan subarachnoid yang massif.
Enselopati akibat atrofi kortikal yang difus.
Gangguan elektrolit karena muntah.
II.10.3.Komplikasi komplikasi yang lain
Hemoptisis, akibat batuk yang hebat sehingga menyebabakan tekanan venous meningkat
dan kapiler pecah.
Epitaksis.
Hernia.
Prolaps rekti.
Malnutirsi karena anoreksia dan infeksi sekunder.
II.11.Pengobatan
II.11.1.Antimikroba
Berbagai antimikroba telah dipakai dalam pengobatan pertusis namun tidak ada
antimikroba yang dapat mengubah perjalanan penyakit ini terutama diberikan pada stadium
paroksimal. Oleh karena itu obat obat ini lebih dianjurkan pemakaiannya pada stadium
kataralis yang dini. Eritromisin merupakan antimikroba yang lebih efektif dibanding
kloramfenikol maupun tetrasiklin. Kebanyakan peneliti menganjurkan dosis 50mg/kg.bb/hari,
dalam 2 4 dosis, selama 5 7 hari 1,2,3,4,6.
II.11.2.Kortikosteroid
Beberapa peneliti menggunakan :
Betametason oral dengan dosis 0,05mg/kg.bb/24jam
Hidrokortison suksinat (Solukortef) intramuskuler dengan dosis 30mg/kg.bb/24jam, kemudian
diturunkan secara perlahan lahan da diberhentikan pada hari ke 8.
Prednisolon oral 2,5 5 mg/hari.
Dari beberapa peneliti ternyata bahawa kortikosteroid berfaedah dalam pengobatan
pertusis terutama pada bayi dengan serangan paroksimal.
II.11.3.Salbutamol
Beberapa peneliti menganjurkan bahwa salbutamol efektif terhadap pengobatan pertusis
dengan cara kerja sebagai berikut : Beta 2 adrenergik stimulant, mengurangi parokosismal,
mengurangi frekuensi dan lamanya whoop, mengurangi frekunensi apnue. Dosis yang dianjurkan
0,30,5 mg/kg.bb/hari, dibagi dalam 3 dosis.
II.11.4.Terapi suportif
a. Lingkungan perawatan yang tenang
b. Pemberian makanan, hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya diberikan makanan yang
berbentuk cair.
c. Bila penderita muntah muntah sebaiknya diberikan cairan dan elektrolit secara parenteral.
d. Pembersihan jalan napas.
e. Oksigen, terutama pada serangan baatuk yang hebat yang disertai sianosis.
II.12.Pencegahan Dan Kontrol
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini ialah dengan imunisasi. Banyak laporan
mengemukakan bahwa terdapat penurunan kejadian pertusis dengan adanya pelaksanaan
program imunisasi 1,2,3,4,5,6.
II.12.1.Imunisasi pasif
Dapat diberikan Human Hiperimmune Globulin, ternyata beberapa penelitian diklinik
tidak efektif sehingga akhir akhir ini tidak lagi diberikan sebagai pencegahan atau pengobatan
pertusis 3,4,5.
II.12.2.Imunisasi aktif
Diberikan vaksin pertusis yang terdiri dari kuman Bordetella Pertusis yang telah
dimatikan unrtuk mendapatkan imunisasi aktif. Vaksinasi pertusis diberikan bersama sama
dengan vaksin difteri dan tetanus. Dosis pada imunisasi dasar dianjurkan 12 IU dan diberikan
tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Beberapa peneliti menyatakan bawa vaksin
pertusis sudah dapat diberikan pada umur 1 bulan dengan hasil yang baik sedangkan waktu
epidemik dapat diberikan lebih awal lagi yaitu pada umur 2 minggu dengan jarak 4 minggu.
Anak berumur lebih dari tujuh tahun tidak lagi memerlukan imunisasi rutin. Hasil imunisasi
pertusis tidak permanen oleh karena proteksi menurun selama adolesens, walaupun demikian
infeksi pada pasien yang lebih besar biasanya ringan hanya merupakan sumber infeksi Bordetella
pertusis pada bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (90,25 ml,i.m) telah dipakai untuk
mengkontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar. Salah satu efek samping setelah
imunisasi pertusis adalah demam 3,4,5.
Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat diberikan antikonvulsan setiap 4 6
jam untuk selama 48 72 jam. Anak dengan kelainan neurologi yang mempunyai riwayat
kejang, 7 kali lebih mudah terjadi kejang setelah imunisasi DPT dan mempunyai kesempatan 4
kali lebih tinggi bila hanya mempunyai riwayat kejang dalam keluarga. Maka pada anak dalam
keadaan demikian hendaknya tidak diberikan imunisasi pertusis, jadi hanya berikan imunisasi
DT 4,5. Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami enselopati dalam 7
hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalm 3 hari sebelum imunisasi,
menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotrensi hiporesponsif
dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan >40,5 0C dalam 2 hari. Eritromisin efektif untuk
pencegahan pertusis pada bayi baru lahir dari ibu dengan pertusis 4.
Kontak erat pada usia kurang dari 7 tahun yang sebelumnya telah diberikan imunisasi
hendaknya diberi booster. Booster tidak perlu diberikan bila telah diberikan imunisasi dalam
waktu 6 bulan terakhir, juga diberikan eritromisin 50mg/kgBB/24jam dalam 2 4 dosis selama
14 hari. Kontak erat pada usia lebih dari 7 tahun juga perlu diberikan erirtromisin sebagai
priofilaksis 4. Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran infeksi dan
mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan pasien pertusis tetapi belum pernah
imunisasi petusis hendaknya diberikan imunisasi pertusis selama 14 hari setelah kontak
diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan hemdaknya eritromisin diberikan sampai pasien
berhenti batuk atau setelah pasien mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertusis
monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi 4,5.
II.13.Prognosis
Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis yang lebih baik.
Pada bayi resiko kemtaian (0,5 1 %) disebabkan enselopati. Pada observasi jangka panjang,
apneu atau kejang akan menyebabkan gangguan intelektual dikemudian hari 4.
BAB III
PENUTUP
III.1.Kesimpulan
Pertusis di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat spasmodik dan
paroksimal disertai nada yang meninggi. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua umur, mulai
dari bayi sampai dewasa. Penyebabnya adalah Bordetella pertusis. Pertusis merupakan penyakit
menular dengan tingkat penularan yang tinggi, dimana penularan ini terjadi pada kelompok
masyarakat yang padat penduduknya dengan tingkat penularannya mencapai 99%, dapat
ditularkan melalui udara secara droplet, bahan droplet, memegang benda yang terkontaminasi
dengan sekret nasofaring. Penyebaran penyakit ini terdapat di seluruh dunia dan dapat
menyerang semua umur mulai 2 minggu sampai 77 tahun dan terbanyak pada penderita di bawah
1 tahun, di mana makin muda usia makin berbahaya.
Penularan terutama melalui saluran pernapasan dimana Bordetella Pertusis akan terikat
pada silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini akan mengalami multiplikasi disertai
pengeluaran toksin, sehingga menyebabkan inflamasi dan nekrose trakea dan bronkus.
Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu
perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya
timbul penyakit sistemik. Masa inkubasi pertusis 6 10 hari (rata rata 7 hari), dimana
perlangsungan penyakit ini 6 8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat
berlangsung 3 stadium yaitu stadium kataralis (prodromal, preparoksimal), stadium akut
paroksismal (paroksismal, spasmodik), dan stadium konvalesens.
Diagnosis
banding
pertusis
adalah
bordetella
parapertusis,
bordetella
bronchoseptica, infeksi oleh klamidia, infeksi oleh adeno virus tipe 1,2,3,5
Komplikasi komplikasi dari pertusis. Pada saluran pernapasan : bronkopneumoinia,
otitis media, bronchitis, atelektasis, emfisema pulmonum, bronkiektasis, kolaps alveoli paru.
Pada sistem saraf pusat : kejang. Komplikasi komplikasi yang lain : hemoptisis, epitaksis,
hernia, prolaps rekti, malnutirsi karena anoreksia dan infeksi sekunder Pengobatan pertusis
terdiri dari, terapi kausal : antimikroba, eritromisin merupakan antimikroba yang lebih efektif
dibanding kloramfenikol maupun tetrasiklin dengan dosis 50mg/kg.bb/hari, dalam 2 4 dosis,
selama 5 7 hari. Kortikosteroid : betametason oral dengan dosis 0,05mg/kg.bb/24jam,
hidrokortison suksinat (Solukortef) dosis 30mg/kg.bb/24jam, Prednisolon oral 2,5 5 mg/hari.
Salbutamol, dosis yang dianjurkan 0,3 0,5mg/kg.bb/hari, dibagi dalam 3 dosis. Terapi suportif
yaitu lingkungan perawatan yang tenang, pemberian makanan, hindari makanan yang sulit
ditelan, sebaiknya diberikan makanan yang berbentuk cair. Bila penderita muntah muntah
sebaiknya diberikan cairan dan elektrolit secara parenteral, pembersihan jalan napas, oksigen,
terutama pada serangan batuk yang hebat yang disertai sianosis.
Pencegahan dan kontrol adalah Imunisasi pasif dapat diberikan Human Hiperimmune
Globulin, Imunisasi aktif diberikan vaksin pertusis yang terdiri dari kuman Bordetella Pertusis
yang telah dimatikan unrtuk mendapatkan imunisasi aktif. Vaksinasi pertusis diberikan bersama
sama dengan vaksin difteri dan tetanus. Dosis pada imunisasi dasar dianjurkan 12 IU dan
diberikan tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Prognosis tergantung usia, anak
yang lebih tua mempunyai prognosis yang lebih baik. Pada bayi resiko kematian (0,5 1 %)
disebabkan enselopati. Pada observasi jangka panjang, apneu atau kejang akan menyebabkan
gangguan intelektual dikemudian hari 1,2,3,4,5.
Daftar pustaka
1. Nelson E Waldo , Behrman E Richard, Kliegman Robert, Arvin M Ann. Nelson Textbook Of
Pediatric. Edisi 15, volume 2, cetakan I. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2000. Hal :
960 965.
2. Hassan Rusepno, Alatas Husein, et al. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 7, volume 2,
Cetakan XI. Pnerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1985. Hal : 564 568.
3. Rampengan T.H , Laurents I.R, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Edisi 1, Cetakan III.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997. Hal 20-33.
4. Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik Tropis. Edisi 2,
Cetakan I. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 2008. Hal 331337.
5. Ranuh IGN., Suyitno H., Hadinegoro SRS., Kartasasmita CB., Ismoedijanto, Soedjatmiko
(Ed.). Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi Ketiga. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI). 2008:144-151.
6. James D. Cherry. [Serial Online] Updated : 2 mei 2005. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May
2005, pp. 1422-1427. http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422