Anda di halaman 1dari 39

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sub Penelitian I. Kultur Jaringan


Umum
Kultur jaringan tanaman terdiri dari sejumlah teknik untuk menumbuhkan
organ, jaringan dan sel tanaman secara in vitro sehingga mampu tumbuh menjadi
tanaman utuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam kultur
jaringan tanaman antara lain bahan tanaman yang digunakan sebagai sumber
eksplan, metode sterilisasi yang digunakan, lingkungan kerja, alat dan bahan
kimia yang digunakan serta proses penanaman yang dilakukan.
Pada penelitian ini digunakan dua jenis bahan tanaman sebagai sumber
eksplan yaitu bahan tanaman berupa bibit gaharu berumur 4 bulan yang tumbuh
di rumah kaca dan bahan tanaman yang tumbuh dalam botol berupa planlet
berumur 14 minggu. Secara umum penggunaan bahan tanaman berupa bibit dari
rumah kaca berbeda dengan bahan tanaman berupa planlet yang masih hidup di
dalam botol (hasil kultur In vitro) dalam proses induksi, multiplikasi dan keragaan
planlet yang dihasilkan. Eksplan yang berasal dari tunas adventif lebih mudah
untuk diperbanyak dibanding eksplan yang berasal dari tunas aksilar. Hal ini
terlihat dari jumlah eksplan yang tumbuh, eksplan yang terkontaminasi dan waktu
munculnya tunas pertama. Kedua sumber eksplan tersebut memiliki tingkat
meristematik sel yang berbeda. Eksplan yang berasal dari tunas adventif lebih
juvenil dan sel-selnya lebih bersifat meristematik dibanding eksplan yang berasal
dari tunas aksilar, sehingga secara umum proses perkembangan dan induksi tunas
dari eksplan yang berasal dari tunas adventif lebih cepat dibanding eksplan yang
berasal dari tunas aksilar. Pierik (1987), menyatakan bahwa keberhasilan inisiasi
dan morfogenesis dari suatu eksplan dalam kultur in vitro sangat ditentukan oleh
genotipe, umur tanaman, umur jaringan/organ, fisiologi tanaman, kesehatan
tanaman, kondisi pertumbuhan letak eksplan dari tanaman (topofisis), ukuran
eksplan, perlukaan, metode inokulasi, perawatan eksplan dan persiapan atau
perlakuan terhadap tanaman induk.

34

Persentase Pencokelatan, Terkontaminasi dan


Jumlah Eksplan yang Tumbuh
Dalam penelitian ini, eksplan yang berasal dari tunas aksilar berjumlah 84
eksplan dan yang berasal dari tunas adventif berjumlah 84 eksplan, setiap botol
ditanam 1 eksplan, total keseluruhannya sebanyak 168 eksplan atau botol. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa eksplan yang berasal dari rumah kaca yaitu
tunas aksilar persentase tumbuhnya lebih rendah yaitu 58,33% dibanding eksplan
yang berasal dari tunas adventif yaitu 77,38%. Total eksplan yang tumbuh adalah
sebanyak 144 eksplan atau 67.86%. Perbandingan eksplan yang mengalami
pencokelatan, terkontaminasi, tidak tumbuh, dan tumbuh disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Persentase Pencokelatan, Terkontaminasi, Tidak Tumbuh dan Tumbuh
dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar dan Tunas Adventif
Parameter
Pencokelatan
Terkontaminasi
Tidak tumbuh
Tumbuh

Eksplan Aksilar (n=84)


6 (7,14%)
18 (21.42%)
11 (13.09%)
49 (58.33%)

Eksplan Adventif (n=84)


0 (0%)
11 (13.09%)
8 (9.52%)
65 (77.38%)

Tabel 4 menunjukkan bahwa pencokelatan hanya terjadi pada eksplan yang


berasal dari tunas aksilar yaitu sebanyak 7,14%, sedangkan eksplan yang berasal
dari tunas adventif tidak mengalami pencokelatan. Terjadinya pencokelatan pada
eksplan yang berasal dari tunas aksilar disebabkan oleh senyawa fenolik yang
terkandung di dalam eksplan. Hal ini merupakan salah satu kendala kultur
jaringan pada tanaman berkayu. Eksplan yang digunakan jika mengalami
pencokelatan akan dapat menyebabkan kematian eksplan. Untuk meminimalisir
terjadinya pencokelatan perlu dilakukan berbagai perlakuan seperti memberikan
antioksidan baik pada media maupun pada eksplan prakultur, dengan harapan
eksplan yang ditanaman dapat tumbuh dengan baik.
Selain menggunakan antioksidan, ukuran dan umur eksplan juga sangat
mempengaruhi terjadinya pencokelatan. Pada tanaman berkayu umumnya
semakin besar ukuran atau semakin tua umur ekplan yang digunakan maka
terjadinya pencokelatan semakin tinggi karena senyawa fenolik yang terdapat di
dalam eksplan semakin tinggi, dan sebaliknya semakin kecil ukuran atau umur
eksplan yang digunakan maka persentase pencokelatan semakin rendah. Dalam

35

hal ini lebih dianjurkan menggunakan eksplan yang berasal dari jaringan yang
bersifat meristematik. Eksplan yang sehat dan segar dapat dipindahkan dari media
lama ke media baru. Pada penelitian ini penulis tidak menggunakan antioksidan
tetapi eksplan diinkubasi pada ruangan gelap selama satu minggu dengan tujuan
untuk mengurangi terjadinya pencokelatan.
Yusnita (2003), menyatakan bahwa masalah yang sering dihadapi dalam
kultur jaringan tanaman berkayu adalah terjadinya pencokelatan atau penghitaman
bagian eksplan. Pada waktu jaringan terkena stres mekanik, seperti pelukaan pada
waktu proses isolasi eksplan, proses sterilisasi, metabolisme senyawa berfenol
pada eksplan sering terangsang. Senyawa berfenol ini sering bersifat toksik,
menghambat pertumbuhan, bahkan dapat mematikan jaringan eksplan. George
dan Sherrington (1984), menyarankan beberapa tindakan untuk mengatasi
terjadinya pencokelatan yaitu dengan menggunakan arang aktif atau PVP,
merendam dengan asam sitrat atau asam askorbat, menggunakan pengkelat seperti
EDTA, perlakuan pH rendah dan inkubasi dalam ruang gelap.
Pada eksplan yang berasal dari tunas adventif tidak mengalami pencokelatan
hal ini diduga karena eksplan masih relatif muda, bersifat heterotrof sehingga
senyawa fenolik yang terkandung di dalam eksplan relatif rendah. Pencokelatan
pada eksplan biasanya terjadi pada pangkal eksplan dan diikuti dengan pelepasan
zat phenolik ke dalam media tumbuh.
Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah eksplan yang terkontaminasi adalah
sebanyak 21,42% dari tunas aksilar dan 13,09% dari tunas adventif. Secara umum
sterilisasi berhasil dengan baik, karena dari 168 botol yang ditanam hanya 29
botol yang terkontaminasi (17,26%). Tingginya jumlah terkontaminasi pada
eksplan tunas aksilar ini diduga eksplan yang berasal dari rumah kaca banyak
membawa mikroorganisme sumber kontaminan. Meskipun sudah dilakukan
sterilisasi dengan baik, namun mikroorganisme masih sering terbawa oleh eksplan
(mikroorganisme endophytic).
Hutchinson et al. (1995), menyatakan bahwa tanaman yang berasal dari
lapangan memiliki mikroflora yang dapat mematikan eksplan sebelum kultur
berkembang. Kesalahan dan tidak berhasilnya sterilisasi dapat menyebabkan
eksplan 100% terkontaminasi. Salah satu cara untuk mengurangi kontaminasi

36

adalah dengan menumbuhkan tanaman di rumah kaca, perlakuan tanaman dengan


fungisida dan insektisida sebelum dikultur. Ditambahkan juga bahwa lamanya
waktu yang digunakan dalam proses sterilisasi tergantung dari jenis bahan
tanaman yang digunakan dan konsentrasi bahan kimia. Bahan tanaman yang
sukulen membutuhkan waktu yang lebih singkat dibanding bahan tanaman seperti
batang, pucuk, dan biji. Sebaiknya konsentrasi bahan kimia yang digunakan
memiliki konsentrasi yang rendah, sehingga waktu sterilisasinya dibuat lebih
lama.
Berdasarkan dari pengamatan yang dilakukan ada beberapa penyebab
terjadinya kontaminasi pada media kultur jaringan yaitu 1). Sterilisasi eksplan
yang kurang tepat sehingga eksplan belum benar-benar steril, 2). Sterilisasi media
kultur yang belum tepat, ini ditandai dengan masih adanya media yang
terkontaminasi meskipun tidak dilakukan inokulasi, 3). Proses inokulasi, dimana
sering terjadi kontaminasi saat memasukan eksplan ke dalam media kultur, yang
perlu diperhatikan adalah usahakan eksplan yang sudah disteril sesedikit mungkin
menyentuh benda lain, 4). Saat membuka dan menutup botol, sebaiknya jangan
menghadap hembusan udara laminar atau menghadap inokulan, jika menghadap
laminar ini dikuatirkan masuknya partikel debu yang terbawa oleh hembusan
udara laminar yang masuk ke dalam media kultur.
Selain terjadinya pencokelatan dan terkontaminasi, total dari eksplan yang
diinokulasi terdapat 19 eksplan yang tidak tumbuh atau tidak mengalami
organogenesis tetapi masih hidup dan berwarna kuning kehijauan yang
menyerupai kalus. Apabila kalus ini dibiarkan terus berkembang maka akan
terbetuk tunas-tunas baru.
Tingginya jumlah eksplan yang tidak tumbuh pada eksplan yang berasal
dari tunas aksilar diduga karena eksplan yang digunakan secara fisiologis tidak
seragam, sehingga kemampuan eksplan untuk berkembang sangat bervariasi.
Kemungkinan lainnya adalah eksplan membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk beradaptasi pada kondisi dan lingkungan tempat tumbuh yang baru. Pada
eksplan yang berasal dari tunas aksilar terjadi perubahan lingkungan tanaman
yaitu dari lingkungan autotrof menjadi heterotrof, dari lingkungan alam menjadi
lingkungan yang terkontrol, sehingga membutuhkan waktu untuk beradaptasi,

37

sedangkan eksplan yang berasal dari tunas adventif tidak membutuh waktu yang
lama untuk beradaptasi pada media baru. Selanjutnya, eksplan yang berasal dari
tunas adventif lebih bersifat meristematik dibanding yang berasal dari tunas
aksilar, sehingga faktor lingkungan, keadaan sel dan perlakuan ZPT di dalam
media kultur sangat mempengaruhi perkembangan eksplan. Selain itu, faktor lain
yang menyebabkan tingginya jumlah eksplan yang tidak tumbuh pada eksplan
yang berasal dari tunas aksilar adalah bahan sterilisi yang digunakan yaitu HgCl2
yang memiliki sifat toksik, dan tidak stabil apabila digunakan dalam waktu yang
lama selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan kematian pada
eksplan (Hendaroyono dan Wijayanti, 1994). Sebaliknya, sodium hipoklorida
(NaOCl) yang bersifat kurang toksik, mengandung unsur Na dan Cl, sejenis
logam organik yang lebih stabil, dapat membunuh jamur dan spora-sporanya,
sedangkan ion klor berfungsi untuk menurunkan oksidasi fenol. Penggunaan
kedua bahan sterilisasi tersebut diduga sebagai salah satu penyebab kematian,
kontaminasi dan banyaknya eksplan yang tidak tumbuh pada eksplan yang berasal
dari tunas aksilar.
Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh BAP dan TDZ Terhadap Pertumbuhan
Eksplan Tunas Aksilar dan Adventif
Hasil pengamatan terhadap dua sumber eksplan yang ditanam pada media
yang diberi perlakuan ZPT BAP atau TDZ menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata pada taraf uji 0,01 DMRT. Rekapitulasi hasil sidik ragam tersebut disajikan
pada Tabel 5 dan Lampiran 2.
Tabel 5. Rekapitulasi Sidik Ragam (Anova) Pengaruh Perlakuan BAP atau TDZ
terhadap Pertumbuhan Eksplan Tunas Aksilar dan Adventif.
Eksplan
Tunas Aksilar
Tunas Adventif

Jumlah Tunas
0,000**
0,000**

Panjang Tunas
0,000**
0,000**

Jumlah Daun
0,000**
0,000**

** Berbeda sangat nyata pada 0,01 DMRT.

Tabel 5 menunjukkan bahwa media yang diberi perlakuan ZPT BAP atau
TDZ memberikan pengaruh yang sangat nyata (DMRT 0,01) terhadap semua
parameter yang diamati yaitu Jumlah Tunas, Panjang Tunas dan Jumlah Daun,
baik pada eksplan tunas aksilar maupun tunas adventif.

38

1. Jumlah Tunas
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa baik eksplan yang berasal dari tunas
aksilar maupun tunas adventif yang ditanam pada media dasar MS dengan
penambahan ZPT BAP atau TDZ berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas
yang dihasilkan selama 12 MST (Lampiran 2). Rata-rata jumlah tunas kumulatif
akibat pengaruh pemberian BAP atau TDZ pada eksplan yang berasal dari tunas
aksilar dan adventif dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14.
Hasil pengamatan terhadap jumlah tunas planlet gaharu selama 12 MST
menunjukkan bahwa eksplan yang berasal dari tunas aksilar yang diberi perlakuan
BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm memberikan respons yang terbaik dan
optimum terhadap proses induksi tunas dan menghasilkan rata-rata jumlah tunas
tertinggi yaitu sebanyak 5,67 dan 5,28 tunas (Gambar 13).
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, eksplan yang berasal dari tunas aksilar
yang ditanam pada media dengan perlakuan BAP 0,50 ppm tidak berbeda nyata
dengan perlakuan BAP 0,75 ppm tetapi berbeda nyata dengan perlakuan BAP 1,0
ppm dan kontrol dalam menghasilkan jumlah tunas (Gambar 13). Pada media
yang diberi perlakuan TDZ menunjukkan bahwa perlakuan TDZ 0,25 ppm
berbeda nyata dengan perlakuan TDZ 0,50 ppm, TDZ 0,75 ppm dan kontrol

6
5
4
3
2
1
0

5.67 a

5.33 a
4.44 b

2.67 c

0,5

0,75

Konsentrasi BAP

1,0

Jum lah Tunas

Jum lah Tu nas

(Gambar 13).
6
5
4
3
2
1
0

5.28 a
4.39 b
3.17 c

2.67 c

0,25

0,50

0,75

Konsentrasi TDZ

Gambar 13. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Tunas,
dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar.
Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada 0,01 DMRT.

Eksplan yang berasal dari tunas adventif yang ditanam pada media yang
diberi perlakuan BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm juga memiliki respon yang

39

terbaik dan lebih optimum dalam menghasilkan rata-rata jumlah tunas yaitu secara
berturut-turut 6,11 dan 5,61 tunas (Gambar 14).
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan BAP 0,50 ppm tidak
berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 atau BAP 1,0 tetapi berbeda nyata
dengan kontrol (Gambar 14). Media yang diberi perlakuan TDZ 0,25 ppm berbeda
nyata dengan perlakuan TDZ 0,50 dan kontrol, tetapi perlakuan TDZ 0,50 ppm

J u m la h T u n a s

6.11 a

6
4

5.22 ab

4.55 b

2.61 c

2
0
0

0,5

0,75

Konsentrasi BAP

1,0

J u m la h T u n a s

tidak berbeda nyata dengan perlakuan TDZ 0,75 ppm (Gambar 14).
6
5
4
3
2
1
0

5.61 a
3.89 b
2.61 c

0,25

0,50

3.33 b

0,75

Konsentrasi TDZ

Gambar 14. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Tunas,
dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif.
Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada 0,01 DMRT.

Gambar 13 dan 14 terlihat bahwa baik pada eksplan tunas aksilar maupun
tunas adventif dengan perlakuan BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm adalah
perlakuan yang terbaik dan optimum dalam menghasilkan jumlah tunas,
sedangkan pada perlakuan lainnya terjadi penurunan dalam menghasilkan jumlah
tunas. Jumlah tunas yang terendah dihasilkan oleh kontrol. Hal ini berarti bahwa
konsentrasi BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm dapat meningkatkan jumlah tunas,
sedangkan pada perlakuan lainnya terjadi penurunan jumlah tunas. Hal ini
didukung oleh pernyataan Tiwari et al. (2000) bahwa konsentrasi sitokinin yang
tinggi dapat menyebabkan jumlah tunas berkurang, dan BAP melebihi kadar
optimum yang dibutuhkan tanaman umumnya menyebabkan perkembangan tajuk
atau tunas terhambat.
Abidin (1983), menyatakan bahwa ZPT pada tanaman adalah senyawa
organik yang bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote),
menghambat (inhibit) dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan. Hormon

40

tumbuhan adalah zat organik yang dihasilkan oleh tanaman, yang dalam
konsentrasi rendah dapat mengatur proses fisiologi, yang disintesis pada bagian
tertentu dari tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana
zat tersebut dapat menimbulkan pengaruh secara biokimia, fisiologis dan
morfologis (Wattimena, 1988).
Sesuai dengan fungsinya, baik ZPT BAP maupun TDZ adalah merupakan
ZPT yang termasuk ke dalam kelompok sitokinin yang banyak digunakan untuk
memacu pertumbuhan tunas dalam kultur jaringan tanaman. Walaupun ZPT
tersebut berasal dari golongan yang sama tetapi mempunyai daya aktivitas yang
berbeda. Pemberian konsentrasi BAP atau TDZ yang tepat dan tidak melebihi
dosis mampu menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak dan vigour.
Sebaliknya pemberian konsentrasi yang melebihi kebutuhan eksplan akan
menghambat induksi tunas yang terbentuk. Seperti yang terlihat pada Gambar 13
dalam penelitian ini, baik pada eksplan tunas aksilar maupun eksplan tunas
adventif, semakin tinggi konsentrasi BAP maupun TDZ yang digunakan, maka
jumlah tunas semakin menurun. Pada konsentrasi yang rendah memberikan hasil
yang lebih baik. Meskipun demikian, visualisasi perkembangan eksplan
menunjukkan bahwa pada dua sumber eksplan yang ditanam pada konsentrasi
yang lebih tinggi terlihat adanya mata tunas yang akan berkembang menjadi
tunas, hal ini mengindikasikan bahwa ada kemungkinan bertambahnya jumlah
tunas pada perlakuan konsentrasi BAP atau TDZ yang lebih tinggi, tetapi proses
pertumbuhannya terlihat lebih lambat, sehingga dapat dikatakan bahwa
konsentrasi BAP yang tinggi tidak meningkatkan jumlah tunas.
Secara alamiah tanaman sudah mengandung hormon pertumbuhan seperti
sitokinin yang dinamakan dengan hormon endogen. Kebanyakan hormon endogen
ditanaman terdapat pada jaringan meristem yaitu jaringan yang aktif tumbuh dan
membelah. Sehingga pemberian hormon eksogen sangat mempengaruhi kerja
hormon endogen sebagai fungsinya dalam proses cytokinesis (proses pembelahan
sel) pada berbagai organ tanaman. Pemberian hormon eksogen dengan konsentrasi
yang melebihi kebutuhan tanaman dapat menyebabkan pembentukan tunas
terhambat.

41

Pemberian hormon eksogen BAP dapat merangsang pembentukan tunas


yang berbeda. Salah satu kinerja BAP adalah memacu pembentukan RNA
(Ribonucleic Acid) dan enzim (Wattimena, 1988). Pendugaan ini berdasarkan
pada fenomena yang terjadi jika terdapat zat penghambat sintesis RNA atau
protein, maka kinerja sitokinin terhambat. Salisbury dan Ross (1995), menyatakan
bahwa sitokinin mendorong pembelahan sel dalam jaringan dengan meningkatkan
laju sistesis protein.
Menurut Davies (2004), di dalam tanaman variasi dan distribusi sitokinin
tidak merata tergantung dari spesies, jaringan dan tahap perkembangan tanaman.
Meskipun beberapa sitokinin telah diidentifikasi, fungsinya secara fisiologi
terhadap suatu spesies, namun secara lengkap belum dapat dipahami. Sitokinin
dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok utama yaitu dalam bentuk aktif,
dalam bentuk translokasi dan dalam bentuk tersimpan dan tidak aktif.
Pemberian TDZ 0,25 ppm pada media perlakuan memberikan jumlah tunas
yang terbaik dibanding perlakuan yang lainnya, baik pada eksplan tunas aksilar
maupun tunas adventif, sedangkan pada perlakuan lainnya terjadi penurunan
jumlah tunas. Hal ini diduga karena semakin tinggi konsentrasi TDZ yang
digunakan dapat menyebabkan toksik bagi tanaman.
Khawar et al. (2004), juga melaporkan bahwa penggunaan TDZ pada
konsentrasi tinggi dapat menurunkan regenerasi tunas, regenerasi tunas tertinggi
dihasilkan pada media MS dengan konsentrasi TDZ 0,25 ppm. Hasil penelitian
Gajdosova et al. (2006), juga melaporkan bahwa penggunaan TDZ pada
kosentrasi tinggi dapat menghambat regenerasi tunas dan menyebabkan
pencokelatan (nekrosis) pada eksplan. Ozturk et al. (2004), menyatakan
konsentrasi TDZ yang sangat rendah lebih efektif dalam proliferasi tunas dan
meningkatkan jumlah tunas yang terbentuk.
Penggunaan TDZ pada konsentrasi yang lebih rendah umumnya dapat
menghasilkan proses induksi dan multiplikasi tunas yang lebih baik (Yunita,
2004; Thomas dan Puthur, 2004; Huetteman dan Preece, 1993; Onamu, et al.
2003; dan Gyves et al. 2001).
Thidiazuron menurut Lu (1993) dapat menstimulasi pembelahan sel dan
proliferasi tunas aksilar dan efektif untuk tanaman berkayu. Thidiazuron telah

42

banyak digunakan untuk kultur jaringan tanaman karena mempunyai aktivitas


menyerupai sitokinin.
Lu (1993), menyatakan bahwa TDZ dapat mendorong terjadinya perubahan
sitokinin ribonukleotida menjadi nukleotida yang lebih aktif. Menurut Thomas
dan Katterman (1986), TDZ dapat mendorong sintesis sitokinin alami. Kemudian
Suttle (1985), menyatakan bahwa komponen organik TDZ pada konsentrasi tinggi
dapat meningkatkan produksi etilen yang menghambat pertumbuhan tunas dan
Tang et al. (2002), menyatakan TDZ pada level tinggi kurang efektif
dibandingkan dengan BAP dalam regenerasi tunas pada eksplan daun cherry yang
diteliti.

2. Panjang Tunas
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa baik eksplan yang berasal dari tunas
aksilar maupun tunas adventif yang ditanam pada media dasar MS dengan
penambahan ZPT BAP atau TDZ berpengaruh sangat nyata terhadap panjang
tunas planlet gaharu (Lampiran 2).
Hasil pengamatan pada panjang tunas menunjukkan bahwa eksplan berasal
dari tunas aksilar yang ditanam pada media yang diberi perlakuan BAP 0,50 ppm
atau TDZ 0,25 ppm menghasilkan jumlah tunas yang terbanyak yaitu secara
berturut-turut 3,15 cm dan 2,88 cm (Gambar 15). Hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa eksplan tunas aksilar yang diberi perlakuan BAP 0,50 ppm
berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm dan kontrol, tetapi perlakuan BAP
0,75 ppm tidak berbeda nyata dengan BAP 1,0 ppm (Gambar 15). Berbeda dengan
media yang diberi perlakuan TDZ, media yang diberi perlakuan dengan TDZ 0,25
ppm berbeda nyata dengan perlakuan TDZ 0,50 ppm, TDZ 0,75 ppm dan kontrol
(Gambar 15).

3.15 a
2.5 b

3
2

2.5 b

1.63 c

1
0
0

0,5

0,75

Pan jan g T u n as (cm )

Pan jan g T u n as (cm )

43

3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0

2.88 a

2.7 b
2.12 c

1.63 d

1,0

Konsentrasi BAP

0,25

0,50

0,75

Konsentrasi TDZ

Gambar 15. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Panjang Tunas,
dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar.
Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada 0,01 DMRT.

Pada eksplan tunas adventif dengan perlakuan BAP 0,50 ppm atau TDZ
0,25 ppm menghasilkan panjang tunas yang terpanjang dibanding perlakuan
lainnya yaitu secara berturut-turut 2,79 cm dan 2,67 cm (Gambar 16), sedangkan
perlakuan lainnya (BAP 0,75 ppm, BAP 1,0 ppm, TDZ 0,50 ppm dan TDZ 0,75
ppm ) terjadi penurunan panjang tunas. Nilai terendah dihasilkan oleh kontrol
yaitu 1,6 cm.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan BAP 0,50 ppm
berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm, tetapi perlakuan BAP 0,75 ppm
tidak berbeda nyata dengan BAP 1,0 ppm dan kontrol. Media yang diberi
perlakuan TDZ 0,25 ppm berbeda nyata dengan TDZ 0,50 ppm, tetapi perlakuan

3
2.5
2
1.5
1
0.5
0

2.79 a
1.6 b

0,5

1.94 b

1.79 b

0,75

1,0

Konsentrasi BAP

Panjan g T un as (cm )

P an jan g T u n as (cm )

TDZ 0,50 ppm tidak berbeda nyata dengan TDZ 0,75 ppm dan kontrol.

3
2.5
2
1.5
1
0.5
0

2.67 a
1.6 b

0,25

1.63 b

1.6 b

0,50

0,75

Konsentrasi TDZ

Gambar 16. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Panjang Tunas,
dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif.
Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada 0,01 DMRT.

44

Panjang tunas planlet gaharu berumur 12 MST dari dua sumber eksplan
yang dicobakan baik eksplan dari tunas aksilar maupun adventif menunjukkan
adanya perbedaan dalam menghasilkan rata-rata panjang tunas, namun media
yang diberi perlakuan ZPT BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm menunjukkan ratarata panjang tunas yang terpanjang dibanding dengan perlakuan lainnya (Gambar
15 dan 16). Perlakuan dengan konsentrasi BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm
adalah konsentrasi yang optimum dalam menghasilkan rata-rata panjang tunas.
Hal ini menunjukkan bahwa BAP atau TDZ pada konsentrasi rendah lebih
optimum dalam memacu pertumbuhan tunas dibanding dengan konsentrasi BAP
atau TDZ yang lebih tinggi. Pada perlakuan lainnya (BAP 0,75 ppm, BAP 1,0,
TDZ 0,50 dan TDZ 0,75) mengalami penurunan panjang tunas. Hal ini berarti
bahwa semakin tinggi konsentrasi ZPT baik BAP atau TDZ maka panjang tunas
yang dihasilkan semakin menurun.
Semakin tinggi konsentrasi BAP, maka panjang tanaman semakin pendek.
Keadaan ini diduga akibat periode inkubasi eksplan yang terlalu lama pada media
yang mengandung sitokinin, sehingga perpanjangan batang terhambat. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Moncalean et al. (2001), bahwa konsentrasi BAP yang
tinggi dapat menyebabkan tinggi tanaman terhambat. Damayanti (2004), juga
menyatakan bahwa BAP tidak memperpanjang tinggi tanaman Dianthus
caryophillus, bahkan sebaliknya menyebabkan tanaman terlihat lebih pendek dan
roset
Herawan dan Hardi (2005), menyatakan bahwa BAP merupakan derivat
sitokinin yang keberadaannya dalam medium tumbuh memacu pembelahan sel-sel
di bagian apikal bakal tunas, sehingga mempengaruhi perkembangan tunas.
Sitokinin disintesis di dalam akar dan didistribusikan ke tunas untuk pertumbuhan
tunas. Penambahan sitokinin dari luar sangat diperlukan karena akar yang
mensintesis sitokinin belum terbentuk dalam tahap induksi kultur jaringan.
Menurut Suryowinoto (1996), secara umum sitokinin eksogen diperlukan untuk
merangsang diferensiasi mata tunas dengan menghasilkan tunas yang panjang.
Pertumbuhan tunas aksiler sama dengan pertumbuhan tunas pucuk yang ditandai
dengan adanya aktivitas pembelahan jaringan meristem apikal.

45

Ndoye et al. (2003), melaporkan, peningkatan konsentrasi BAP hingga 5


mg/l dapat menurunkan panjang tunas dalam kultur in vitro dan BAP yang
dikombinasikan dengan NAA lebih efektif dalam multiplikasi tunas aksilar.
Herawan dan Hardi (2005) juga melaporkan hasil penelitiannya, bahwa media
yang ditambahkan BAP 0,5 mg/l merupakan konsentrasi yang paling optimum
untuk pertumbuhan tunas aksilar dibanding dengan penambahan hormon pada
konsentrasi yang lebih tinggi.
Menurut Heddy (1986), hormon pengatur tumbuh BAP, walaupun dengan
konsentrasi rendah, dapat mengatur proses fisiologis tumbuhan. Hal ini
disebabkan hormon pengatur tumbuh dipengaruhi oleh asam nukleat sehingga
langsung mempengaruhi sintesis protein dan mengatur aktivitas enzim.
Sama halnya dengan BAP, pemberian TDZ dengan konsentrasi semakin
tinggi pada dua sumber eksplan yang ditanam dapat menyebabkan panjang tunas
yang terbentuk semakin rendah. Menurut Lu (1993), pemberian TDZ pada
konsentrasi tertentu akan menghambat pertumbuhan tinggi tanaman.

3. Jumlah Daun
Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa media yang diberi
perlakuan BAP atau TDZ berpengaruh nyata terhadap jumlah daun yang
dihasilkan selama 12 MST baik eksplan yang berasal dari tunas aksilar maupun
eksplan yang berasal dari tunas adventif (Lampiran 2). Rata-rata jumlah daun
kumulatif dapat dilihat pada Gambar 17 dan 18.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa planlet gaharu untuk eksplan yang
berasal dari tunas aksilar yang diberi perlakuan BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm
merupakan konsentrasi yang optimum dalam menghasilkan rata-rata jumlah daun
planlet gaharu, hal ini dapat dilihat dari rata-rata jumlah daun yang dihasilkan
yaitu secara berturut-turut 6,5 dan 6,28 (Gambar 17). Pada perlakuan lainnya
terjadi penurunan jumlah daun, jumlah daun yang paling sedikit dihasilkan oleh
kontrol yaitu 4,33.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa eksplan tunas aksilar yang
diberi perlakuan BAP 0,50 ppm berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm,
BAP 1,0 ppm dan kontrol, sedangkan media yang diberi perlakuan TDZ 0,25 ppm

46

tidak berbeda nyata dengan TDZ 0,50 ppm, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan

7
6
5
4
3
2
1
0

6.5 a

6 b

5.39 c

4.33 d

8
Ju m lah Dau n

Jum lah Daun

TDZ 0,75 ppm dan kontrol (Gambar 17).

6.28 a

6 a

4.33 c

5.28 b

4
2
0

0,5

0,75

1,0

0,25

0,50

0,75

Konsentrasi TDZ

Konsentrasi BAP

Gambar 17. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Daun,
dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar.
Keterangan: Angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada 0,01 DMRT.

Eksplan tunas adventif yang ditanamn pada media yang diberi perlakuan
BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm lebih optimum dan menghasilkan rata-rata
jumlah daun yang terbanyak yaitu 7,22 dan 6,78 secara berturut-turut (Gambar
18). Pada perlakuan lainnya terjadi penurunan jumlah daun yang dihasilkan. Hasil
uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan BAP 0,50 ppm tidak berbeda
nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm, perlakuan BAP 1,0 ppm tidak berbeda
nyata dengan kontrol (Gambar 18). Perlakuan TDZ 0,25 ppm berbeda nyata
dengan perlakuan TDZ 0,50 ppm, tetapi perlakuan TDZ 0,50 ppm tidak berbeda
nyata dengan perlakuan TDZ 0,75 ppm dan kontrol (Gambar 18).
7.22 a

4.66 b

4.5 b

6.78 a

6.11 a

4
2
0

Ju m lah D au n

Ju m lah D au n

4.5 c

5.22 b

4.78 bc

0,50

0,75

4
2
0

0,5

0,75

Konsentrasi BAP

1,0

0,25

Konsentrasi TDZ

Gambar 18. Grafik Pengaruh BAP dan TDZ terhadap Rerata Jumlah Daun,
dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif.
Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada 0,01 DMRT.

47

Gambar 17 dan 18 memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ZPT


yang diberikan baik BAP maupun TDZ pada dua eksplan yang dicobakan, maka
rata-rata jumlah daun yang dihasilkan semakin menurun. Penambahan BAP atau
TDZ yang lebih tinggi tidak mampu meningkatkan jumlah daun. Hal ini
menunjukkan bahwa penambahan BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm pada media
mampu merangsang pembelahan sel di meristem apikal tunas dibanding pada
konsentrasi yang lebih tinggi. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Herawan dan Hardi (2005) pada tanaman murbei, semakin tinggi konsentrasi ZPT
yang diberikan maka jumlah daun murbei yang dihasilkan semakin rendah.
Suryowinoto (1996), menyatakan bahwa untuk meningkatkan jumlah daun
dalam kultur jaringan sering diperlukan ZPT, karena akan mempengaruhi
pertumbuhan termasuk pembelahan dan pembesaran sel, penambahan plasma dan
diferensiasi sel untuk kemudian membentuk organ-organ lain seperti tunas, akar,
daun dan sebagainya.
Menurut Strabala et al. (1996), auksin dan sitokinin berperan dalam
perkembangan primordia daun, dan posisi inisiasi primordia daun juga
dipengaruhi oleh transport auksin. Kemudian menurut Salisbury dan Ross (1995),
transportasi auksin bersifat basipetal dari tempat sintesisnya yaitu tunas apikal
atau pucuk. Pada tunas apikal pertumbuhan daun cenderung mengarah kebagian
terminal. Akibatnya terjadi dominasi apikal yang menghambat pertumbuhan tunas
aksilar. Pada tunas aksilar arah pertumbuhan daun sering mengarah ke bagian
lateral. Apabila tunas apikal dibuang, sumber auksin endogen hilang, maka
pertumbuhan daun pada tunas aksilar mengarah kebagian terminal menggantikan
pertumbuhan tunas apikal. Pertumbuhan planlet selengkapnya dapat dilihat pada
Gambar 19.

48

Gambar 19. Planlet Gaharu Berumur 12 MST pada Media MS.


Keterangan: A: BAP 0,50 ppm dan B: BAP 0,75 ppm Eksplan Tunas Adventif, C: BAP 0,50 ppm
Eksplan Tunas Aksilar, D: TDZ 0,25 ppm Eksplan Tunas Aksilar, E: TDZ 0,75 ppm
dan F: TDZ 0,25 ppm Eksplan Tunas Adventif.

Visualisasi Perkembangan Eksplan


Visualisasi perkembangan eksplan dilakukan sejak hari keenam eksplan
ditanam di dalam media perlakuan, sedangkan lima hari sebelumnya tidak
dilakukan pengamatan karena eksplan dalam tahap inkubasi dalam ruangan gelap.
Pengamatan dilakukan terhadap perkembangan dua sumber eksplan sejak awal
hingga akhir penelitian. Pengamatan pertama dilakukan terhadap jumlah eksplan
yang terkontaminasi dan pencokelatan. Dari 168 eksplan yang ditanam, 18
(21,42%) eksplan yang berasal dari tunas aksilar dan 11 (13,09%) eksplan dari
tunas adventif yang terkontaminasi. Jumlah yang mengalami pencokelatan hanya
terjadi pada eksplan yang berasal dari tunas aksilar yaitu 6 (7,14%) (Gambar 20).
Eksplan tunas adventif tidak mengalami pencokelatan karena hasil kultur in vitro
dan masih muda.

49

Persentase (%)

25

21.42

20
13.09

15
10
5

7.14
0

0
Kontam
Pencokelatan Pencokelatan
ekslpan aksilar
Eksplan Aksilar
Eksplan
Adventif

Kontam
eksplan
adventif

Gambar 20. Persentase Pencokelatan dan Terkontaminasi Eksplan dari Tunas


Aksilar dan Adventif yang Ditanam Pada Media MS Mengandung
BAP atau TDZ.
Pengamatan selanjutnya dilakukan terhadap proses perkembangan eksplan,
yang mana dari dua sumber eksplan yang ditanam baik eksplan tunas aksilar
maupun tunas adventif memiliki proses perkembangan yang berbeda. Perbedaan
ini disebabkan oleh daya adaptasi eksplan pada lingkungan tempat tumbuh yang
baru sangat mempengaruhi perkembangan eksplan. Pada eksplan yang berasal
dari tunas aksilar, perkembangan eksplan didahului oleh pembengkokan sehingga
membentuk seperti lingkaran atau menggulung (Gambar 21 A), sedangkan pada
eksplan yang berasal dari tunas adventif, proses perkembangan eksplan langsung
membesar dan memanjang (Gambar 21 B).

Gambar 21. Perbedaan Perkembangan Eksplan dalam Botol Kultur. Eksplan


Tunas Asilar (A) dan Eksplan Tunas Adventif (B).
Tahap selanjutnya, kedua eksplan tersebut pada bagian pangkal atau bagian
pemotongan terlihat mulai membengkak menyerupai bonggol yang berwarna
putih kekuningan, sedangkan pada bagian ujungnya mulai membentuk tunas

50

pertama, selanjutnya pada bonggol terlihat mata-mata tunas yang akan muncul
menjadi tunas.
Pada setiap eksplan yang ditanam, baik pada media yang diberi perlakuan
ZPT BAP maupun TDZ, terlihat proses perkembangan eksplan yang berbedabeda, hal ini disebabkan oleh eksplan yang digunakan memiliki tingkat juvenilitas
dan meristematik sel yang berbeda satu dengan yang lainnya, terutama eksplan
yang berasal dari tunas aksilar. Oleh karena itu tahap awal perkembangan eksplan
terlihat lebih bervariasi dalam proses pembentukan tunas. Hasil

pengamatan

menunjukkan bahwa eksplan yang berasal dari tunas aksilar lebih lambat dalam
induksi atau pembentukan tunas dibandingkan eksplan yang berasal dari tunas
adventif. Tunas pertama terbentuk pada minggu ke 5 pada eksplan yang berasal
dari tunas aksilar dan minggu ke 3 pada eksplan yang berasal dari tunas adventif.
Lambatnya proses pembentukan tunas pada eksplan yang berasal dari tunas
aksilar diduga karena eksplan berasal dari bibit yang diambil dari rumah kaca,
kemudian dilakukan sterilisasi dengan bahan sterilan, menyebabkan eksplan
tercekam akibat perlakuan mekanik sebelum inokulasi sehingga membutuhkan
waktu untuk beradaptasi pada kondisi dan lingkungan yang baru. Selain itu
eksplan yang berasal dari lapangan yang awalnya pada lingkungan autotrof
menjadi heterotrof. Berbeda dengan eksplan yang berasal dari tunas adventif.
Pada awalnya sudah berasal dari dalam botol atau lingkungan aseptik, sehingga
apabila dipindahkan pada lingkungan baru tidak terlalu stress dan tidak
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk beradaptasi. Kondisi ini akan terjadi
apabila eksplan yang ditanam tidak terkontaminasi.
Secara visual proses perkembangan eksplan sampai menjadi planlet antara
eksplan yang berasal dari tunas aksilar dan tunas adventif terlihat ada perbedaan.
Perbedaan ini terlihat dari bentuk bonggol, jumlah tunas, panjang tunas, jumlah
daun, dan bentuk daun (Tabel 6). Pengamatan bentuk bonggol terlihat bahwa
eksplan tunas aksilar memiliki bentuk bonggol agak lebih besar dibanding eksplan
tunas adventif. Tetapi jumlah tunas dan jumlah daun lebih banyak dihasilkan oleh
eksplan tunas adventif. Untuk panjang tunas, eksplan tunas aksilar lebih panjang
dibanding eksplan tunas adventif. Berdasarkan jumlah daun yang terbentuk
menunjukkan bahwa planlet yang berasal dari eksplan tunas aksilar lebih panjang

51

dan lebar-lebar, sedangkan eksplan tunas adventif terlihat lebih kecil-kecil dan
panjang.
Tabel 6. Perbedaan Visualisasi Perkembangan Eksplan Sampai 12 MST.
No. Bagian Yang Diamati
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Jumlah terkontaminasi
Pencokelatan
Bentuk eksplan umur 6 HST
Bentuk bonggol
Muncul tunas
Jumlah tunas
Panjang tunas
Jumlah daun
Bantuk daun
Bakal tunas / mata tunas
Warna planlet

Eksplan
Tunas Aksilar
Tunas Adventif
21.42 %
13.09 %
ada
tidak ada
melengkung
memanjang
lebih besar
besar
minggu ke 5
minggu ke 3
banyak
lebih banyak
lebih panjang
panjang
banyak
lebih banyak
lebar dan panjang
kecil dan panjang
lebih sedikit
lebih banyak
hijau
hijau

Sub Penelitian II. Evaluasi Stabilitas Genetik


Umum
Ekstraksi DNA dilakukan pada daun gaharu yang sudah ditetapkan sebagai
sampel untuk dianalisis dengan menggunakan teknik RAPD. Jumlah yang
digunakan adalah sebanyak 22 sampel yang terdiri dari 6 sampel dari pohon
induk, 4 sampel sebelum dikultur (sebelum diberi perlakuan BAP), 4 sampel hasil
kultur (hasil perlakuan BAP), 4 sampel sub kultur I dan 4 sampel sub kultur II.
Sampel diambil dari dua sumber eksplan yang ditanam yaitu yang berasal dari
tunas aksilar dan yang berasal dari tunas adventif (Gambar 10).
Ekstraksi DNA dilakukan bertujuan untuk memisahkan atau mengisolasi
DNA dari material daun yang lainnya, agar diperoleh DNA yang murni. Proses ini
diawali dengan penggerusan yaitu proses pemecahan dinding sel yang dibantu
oleh larutan CTAB ekstraksi untuk melisis dinding sel dan aktif pada kondisi
panas (65C), CTAB juga dapat menyebabkan protein dalam sel terdenaturasi.
Dalam penelitian ini, penggerusan daun gaharu dilakukan secara mekanik dengan
menggunakan mortar dan pestel. Penggerusan secara mekanik dengan
menggunakan metode ekstraksi CTAB (Murray and Thompson, 1980 dalam
Rimbawanto et al. 2004). Metode ini mengunakan buffer ekstraksi yang terdiri

52

dari 10% CTAB, I M Tris pH 9, 5 M NaCl, Mercaptoethanol, psd H2O dan 0,5 M
EDTA.
Daun gaharu yang berasal dari pohon induk dan dari bibit proses
penggerusan dilakukan lebih lama karena daun agak tua dan banyak mengandung
serat, sebaliknya pada daun gaharu dari tunas adventif atau hasil kultur jaringan
lebih mudah karena daun relatif masih muda dan sedikit mengandung serat. Untuk
lebih memudahkan dalam proses penggerusan dan untuk mengurangi aktivitas
enzim selama proses ekstraksi pada daun atau sampel yang lebih tua sebaiknya
penggerusan dilakukan dengan menggunakan nitrogen cair. Dalam penelitian ini
tidak menggunakan nitrogen cair, karena sampel yang digunakan relatif muda dan
masih mudah dalam proses penggerusan.
Selanjutnya dilakukan penambahan PVP 2% yang berfungsi untuk
menghambat enzim polifenol oksidase yang dapat mendegradasi rantai DNA dan
menyebabkan teroksidasinya senyawa fenol. Senyawa fenol yang teroksidasi
ditandai dengan warna cokelat pada jaringan tanaman yang akan diisolasi. Sampel
daun gaharu yang lebih tua menghasilkan warna cairan agak kekuningan,
sedangkan sampel daun gaharu yang muda terlihat lebih bening. Hal ini
menunjukkan bahwa daun gaharu yang tua masih mengandung senyawa polifenol
di dalam jaringannya. Larutan NaCl dalam bufer berfungsi sebagai larutan
isotonik yang memberikan tekanan osmotik bagi DNA dalam sel sehingga DNA
tidak rusak, sedangkan larutan basa tris memberikan kondisi pH yang optimum.
Setelah dilisis, DNA dipisahkan dari senyawa-senyawa pengotor seperti protein
dan

polisakarida

dengan

larutan

klorofrom

karena

klorofrom

mampu

mengendapkan protein yang terdenaturasi dan polisakarida melalui sentrifugasi.


Protein dan sebagian polisakarida akan terendapkan dalam fase organik sedangkan
asam nukleat larut dalam fase air. Pemurnian dengan larutan klorofrom ini
dilakukan dua kali agar didapatkan DNA murni. Pemurnian selanjutnya dengan
menggunakan etanol dan isopropanol. Pencucian dengan etanol dimaksudkan
untuk memisahkan senyawa lain yang masih ada seperti larutan CTAB dan
garam-garam yang menempel pada DNA.

53

DNA Pohon Induk Hasil Ekstraksi


Enam sampel yang digunakan untuk diekstraksi yang berasal dari pohon
induk menghasilkan resolusi pita DNA yang lebih seragam, hanya sampel nomor
satu yang memiliki resolusi pita yang kurang jelas (Gambar 22). Sehingga untuk
analisis PCR selanjutnya dilakukan pengenceran DNA, untuk sampel nomor 1
dilakukan pengenceran hingga 90 kali (1 l DNA dan 89 l aquabides),
sedangkan untuk sampel nomor 2 sampai 6 dilakukan pengenceran hingga 100
kali (1 l DNA dan 99 l aquabides).
pi1 pi2 pi3 pi4 pi5 pi6

80x 90x 90x 90x 90x 90x


Gambar 22. Profil DNA Hasil Ekstraksi Pohon Induk, Jumlah Sampel (pi1-pi6).
Perbandingan Pengenceran DNA (80x).
DNA Hasil Ekstraksi Sampel Sebelum Kultur Hingga Sub Kultur II
Hasil 16 sampel yang diekstraksi terlihat adanya resolusi pita DNA yang
bervariasi. Sampel nomor ad3 dan ak5 terlihat resolusi pita DNA yang paling
tipis. Selanjutnya, pada sampel yang berasal dari eksplan tunas adventif (ad) ada 4
sampel yang memberikan resolusi pita DNA yang paling jelas yaitu pada sampel
dengan kode ad1, ad2, ad7 dan ad8, sedangkan yang berasal dari tunas aksilar (ak)
ada 5 sampel yang memberikan resolusi pita DNA yang paling jelas ditunjukan
oleh sampel dengan kode ak1, ak2, ak3, ak7 dan ak8 (Gambar 23).

54

Eksplan Tunas Adventif (ad)

Eksplan Tunas Aksilar (ak)

80x 80x 20x 50x 40x 60x 80x 80x 80x 80x 80x 60x 30x 30x 80x 50x

Gambar 23. Profil DNA Gaharu Hasil Ekstraksi sebelum Kultur hingga Sub
Kultur II.
Keterangan: M: Marker, 80x: Perbandingan Pengenceran DNA. ad1-ad8: Eksplan dari Tunas
Adventif dan ak1-ak8: Eksplan dari Tunas Aksilar.

Primer Hasil Seleksi


Setiap organisme hidup memiliki DNA yang spesifik sehingga dalam
penelitian ini perlu dilakukan seleksi primer untuk mendapatkan primer yang
cocok yang digunakan selanjutnya dalam proses RAPD. Primer merupakan
sekuen DNA dengan urutan basa tertentu yang dibutuhkan oleh DNA cetakan
untuk pembentukan DNA baru. Primer dengan urutan basa yang komplemen
dengan urutan basa DNA cetakan akan diperpanjang oleh enzim polimerase DNA
dengan menambahkan dNTP sehingga membentuk DNA baru. Rimbawanto
(2004), menyatakan bahwa seleksi primer (primer screening) dimaksudkan untuk
mencari random primer yang menghasilkan penanda polimorfik, karena tidak
semua nukleotide primers dapat menghasilkan produk amplifikasi (primer positif)
dan dari primer positif tidak semuanya menghasilkan fragmen DNA polimorfik
Dalam penelitian ini digunakan primer dari Operon Technology. Dari 10
primer acak yang diseleksi dengan cara amplifikasi terhadap DNA daun gaharu
sebelum dikultur sampai pada subkultur ke 2, diperoleh 9 primer yang
menghasilkan profil pita amplifikasi yang bervariasi dan mempunyai ukuran
antara 200 sampai dengan 1500 pasang basa (pb) yaitu OPO-06, OPO-09, OPO10 , OPO-14, OPO-18, OPY-02, OPY-06, OPY-08, OPY-11, sedangkan satu
primer OPY-09 tidak teramplifikasi (Gambar 24). Dua primer yang menghasilkan

55

pita yang lebih jelas dan jumlah pita polimorfik yang lebih tinggi yaitu OPY-06
dan OPY-08 (Gambar 24) dan (Tabel 7), yang selanjutnya digunakan untuk
mengamplifikasi DNA dari 16 sampel daun gaharu yang diteliti.
M 1 2 3 4 5 6

7 8 9 10

Gambar 24. Profol DNA Hasil Seleksi 5 Primer OPO dan 5 Primer OPY Sampel
sebelum Kultur hingga Sub Kultur II.
Keterangan: M: Marker, 1: OPO-06, 2: OPO-09, 3: OPO-10 , 4: OPO-14, 5: OPO-18, 6: OPY-02,
7: OPY-06, 8: OPY-08, 9: OPY-09 dan 10: OPY-11.

Tabel 7. Jenis Primer, Urutan Basa dan Jumlah Pita DNA Genotipe Gaharu
No

Primer

Urutan Basa

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

OPO-06
OPO-09
OPO-10
OPO-14
OPO-18
OPY-02
OPY-06
OPY-08
OPY-09
OPY-11

5CCACGGGAAG3
5TCCCACGCAA3
5TCAGAGCGCC3
5AGCATGGCTC3
5CTCGCTATCC3
5CATCGCCGCA3
5AAGGCTCACC3
5AGGCAGAGCA3
5GTGACCGAGT3
5AGACGATGGG3

Jumlah Pita
Polimorfik
3
2
4
4
3
3
5
5
0
3

Tidak terjadinya amplifikasi segmen DNA (eksplan tunas aksilar dan tunas
adventif) dengan primer di atas disebabkan oleh DNA genom (eksplan tunas
aksilar dan adventif) tidak mempunyai sekuen komplemen dengan primer-primer
tersebut, karena salah satu syarat untuk terjadinya amplifikasi DNA dengan
primer arbitrary tunggal adalah kedua utas mempunyai sekuen komplemen dengan

56

primer yang digunakan. Dalam penelitian ini pencampuran DNA dilakukan secara
komposit terhadap 16 sampel yang dianalisis. DNA yang tidak teramplifikasi
diduga terjadi karena tingkat kemurnian DNA template hasil ekstraksi masih
rendah atau masih terdapat senyawa kontaminan seperti polifenol yang dapat
menghambat terjadinya reaksi PCR.
Dalam penelitian ini pencampuran DNA contoh (bulking) didasarkan pada
asumsi bahwa jika primer yang digunakan dapat mengamplifikasi bagian genom
yang berbeda antara 16 sampel/genom tanaman maka perbedaan tersebut akan
terdeteksi pada pola pita yang dihasilkan. Primer yang menghasilkan amplifikasi
pita DNA yang sedikit dan polimorfis yang rendah tidak digunakan untuk analisis
keragaman genetik tanaman dengan metode RAPD, sehingga dalam penelitian ini
hanya digunakan 2 primer yang memberikan resolusi pita-pita yang tajam dan
jelas untuk dianalisis RAPD pada 16 sampel daun gaharu sebelum hingga sub
kultur II yaitu OPY-06 dan OPY-08.
Resolusi dari setiap pita DNA hasil amplifikasi tidak selalu terlihat dengan
jelas. Hal ini disebabkan oleh jumlah fragmen yang diamplifikasi terdapat pada
tanaman. Makin banyak fragmen DNA yang teramplifikasi pada genom tanaman,
maka resolusi pita DNA yang dihasilkan akan semakin jelas. Pada genom
tanaman lebih kurang 90% dari DNA genom merupakan urutan berulang
(Weising et al. 1995). Disamping itu adanya kompetisi tempat penempelan primer
pada DNA genom menyebabkan salah satu fragmen akan diamplifikasi dalam
jumlah yang banyak dan fragmen lainya sedikit. Faktor lain yang mempengaruhi
DNA hasil amplifikasi terlihat tidak jelas adalah kemurnian dan konsistensi
cetakan DNA, DNA yang memiliki tingkat kontaminasi yang tinggi dari senyawasenyawa seperti polisakarida dan polifenol, dan konsentrasi cetakan DNA yang
terlalu kecil sering menghasilkan penanda RAPD yang kabur dan redup.
Hasil amplifikasi DNA dengan menggunakan primer yang sama pada
individu dalam satu populasi yang sama tidak semuanya memiliki intensitas,
jumlah dan ukuran pita yang sama. Perbedaan jumlah dan ukuran pita DNA yang
dihasilkan oleh setiap primer menggambarkan kompleksitas genom tanaman
(Grattapaglia et al. 1992). Karena pita DNA merupakan hasil berpasangannya
nukleotida primer dengan nukleotida genom tanaman, maka semakin banyak

57

primer yang digunakan akan semakin terwakili bagian-bagian genom dan semakin
tergambar keadaan genom tanaman yang sesungguhnya. Sebaran situs
penempelan primer pada DNA genom, jumlah fragmen yang diamplifikasi, serta
kemurnian dan konsentrasi DNA genom dalam reaksi mempengaruhi intensitas
pita DNA hasil amplifikasi (Weising et al. 1995).
Adanya perbedaan hasil intensitas ini disebabkan karena 1) makin banyak
fragmen DNA yang diamplifikasi pada tanaman genom, maka intensitas pita DNA
yang dihasilkan semakin tegas, 2) adanya kompetisi tempat penempelan primer
pada DNA genom yang menyebabkan salah satu fragmen akan diamplifikasi
dalam jumlah banyak dan fragmen lainnya sedikit, 3) kemurnian dan konsentrasi
cetakan DNA mempengaruhi efisiensi amplifikasi. DNA yang memiliki tingkat
kontaminasi yang tinggi dari senyawa-senyawa seperti polisakarida dan fenolik
seringkali menghasilkan fenotipe penanda RAPD yang kabur.
Secara teoritis polimorfisme yang dideteksi berdasarkan RAPD merupakan
hasil dari beberapa tipe kejadian, yaitu 1) insersi DNA berukuran besar pada
fragmen diantara sepasang situs penempelan primer yang mengakibatkan jarak
amplifikasi terlalu besar sehingga fragmen tersebut hilang atau tidak
teramplifikasi, 2) delesi pada bagian genom yang membawa satu atau dua situs
penempelan primer sehingga mengakibatkan hilangnya fragmen, 3) substitusi
nukleotida yang mengubah homologi antara primer dengan DNA genom sehingga
menyebabkan hilangnya fragmen atau mengubah ukuran fragmen, 4) insersi atau
delesi fragmen kecil DNA yang dapat mengubah ukuran fragmen yang
diamplifikasi (Weising et al. 1995).

DNA Pohon Induk Hasil RAPD


Dalam penelitian ini primer yang menghasilkan amplifikasi pita DNA yang
sedikit dan polimorfisme yang rendah tidak digunakan untuk analisis keragaman
genetik dengan metode RAPD. Dua primer yang digunakan dalam proses
amplifikasi sampel DNA dari pohon induk (pi1 sampai dengan pi6) yaitu OPY-06
dan OPY-08 (Tabel 7). Penggunaan dua primer ini didasarkan atas seleksi
terhadap 10 primer yang telah dilakukan sebelumnya. Dua primer ini dianggap
menghasilkan amplifikasi yang lebih banyak dibanding 8 primer lainnya.

58

Berdasarkan hasil analisis dari dua primer yang digunakan untuk PCR DNA
pohon induk memperlihatkan pola pita yang dihasilkan cukup bervariasi seperti
yang terlihat pada Gambar 25.
M pi1

pi2 pi3 pi 4 pi5 pi6

pi1 pi2 pi3 pi4 pi5 pi6

1700 pb

1300 pb
1000 pb

1000 pb

300 pb

200 pb

Gambar 25. Profil DNA Pohon Induk Hasil RAPD.


Keterangan: M: Marker, A: Primer OPY-06, B: Primer OPY-08 dan pi1-pi6: Jumlah Sampel

Profil pita DNA pohon induk hasil amplifikasi dengan setiap primer untuk
setiap sampel pohon gaharu diinterpretasikan sebagai lokus untuk ukuran pita
yang sama. Lokus tersebut diubah dalam bantuk data biner yang digunakan untuk
menyusun matriks kemiripan. Berdasarkan Gambar 25 di atas, maka dilakukan
Cluster analysis untuk mengelompokan aksesi-aksesi yang diuji berdasarkan
kedekatan kekerabatannya. Sehingga dari Gambar 25 diperoleh dendogram
kemiripan genetik pohon induk seperti yang terlihat pada Gambar 26.

59

pi1
pi2
pi3
pi5
pi6
pi4
Coefficient

0,00

0,18

0,37

0,55

0,73

Gambar 26. Dendogram Kemiripan Genetik 6 Sampel dari Populasi Pohon Induk.
Gambar 26 adalah dendogram sampel dari populasi pohon induk yang
menunjukkan bahwa dari 6 sampel yang dianalisis terdapat 5 sampel yang
membentuk satu kelompok besar (pi2 sampai dengan pi6) dan satu sampel
terpisah (pi1). Hal ini menunjukkan bahwa hanya lima sampel yaitu pi2 hingga
pi6 yang memiliki tingkat kekerabatan dan jarak genetik yang lebih dekat yaitu 0
sampai dengan 0,37, sedangkan sampel pi1 terdapat pada jarak genetik 0,37
sampai dengan 0,73. Jarak genetik yang terkecil ditunjukkan oleh sampel pi5
dengan pi6 yaitu nol (Lampiran 3A).
Hasil analisis pada Tabel 8 menunjukkan bahwa 6 sampel dari pohon induk
memiliki nilai rata-rata he (heterozigositas harapan) sebesar 24,54% dengan lokus
polimorfik 69,44%. Populasi pohon induk menghasilkan jarak pasang basa antara
200 pb sampai 1400 pb untuk primer OPY-06 dan 300 pb sampai 2000 pb untuk
primer OPY-08 dengan 19 lokus untuk OPY-06 dan 17 lokus untuk OPY-08
(Lampiran 5). Ini mengindikasikan bahwa 6 individu dalam populasi tersebut
memiliki variasi genetik yang cukup tinggi. Hal ini diduga disebabkan oleh sistem
perkawinan tanaman gaharu/pohon induk, tanaman gaharu adalah jenis tanaman
biseksual atau hermaprodit yang menghasilkan gamet jantan dan betina pada
tanaman yang sama. Gamet dari tanaman yang sama mempunyai potensi untuk
bertemu dan bersatu membentuk zigot. Hal ini dapat terjadi dalam satu bunga
sering disebut menyerbuk sendiri (selfing), antar bunga dalam satu individu
(Geitonogami) atau penyerbukan dari tanaman yang berbeda (Xenogami)

60

(Finkeldey, 2005). Jenis pohon yang tumbuh dalam kerapatan populasi yang
tinggi lebih bervariasi dibanding kerapatan populasinya rendah, tetapi nilai he
dapat tinggi untuk banyak jenis walaupun pada populasi dengan kerapatan rendah.
Tabel 8. Nilai Rata-rata na, ne dan he untuk 6 Sampel Daun Gaharu Pohon Induk
Rata-rata
St. Dev

Jumlah Sampel
6

na
1,6944
0,4672

ne
1,3996
0,3262

he
0,2454
0,1803

na: Jumlah allel yang diamati, ne: Jumlah allel yang efektif, he: Keragaman genetik. Jumlah lokus
polimorfik 25 dan persentase lokus polimorfik 69,44%.

Dalam penelitian ini, populasi pohon induk untuk analisis keragaman


genetik ditanam pada areal tidak luas dan jumlah individu yang ditanam cukup
rapat hanya berjarak 3 sampai 4 meter (Gambar 27), dengan demikian
kemungkinan terjadinya perkawinan silang (open pollination) antar individu
cukup besar sehingga dapat menyebabkan terjadinya variasi genetik pada
keturunan berikutnya.

Gambar 27. Populasi Pohon Induk Tanaman Gaharu di Desa Cangkorawok,


Bogor.
DNA Hasil RAPD Sebelum Hingga Sub Kultur II
Dua dari sepuluh primer hasil seleksi yang digunakan yaitu OPY-06 dan
OPY-08 dapat mengamplifikasi DNA tanaman gaharu, baik sampel yang berasal
dari tunas aksilar (bibit) maupun sampel yang berasal dari tunas adventif (planlet).
Pada gambar 25 terlihat 16 sampel yang diamplifikasi dengan primer OPY-06 dan
pada gambar 26 dengan primer OPY-08. Nomor sampel ad1 sampai dengan ad8
adalah eksplan berasal dari tunas adventif (planlet) dan nomor sampel ak1 sampai
dengan ak8 adalah eksplan berasal dari tunas aksilar (bibit).

61

Amplifikasi dengan mengunakan dua primer yaitu OPY-06 dan OPY-08


menghasilkan fragmen DNA dengan ukuran yang bervariasi yaitu 225 pb sampai
dengan 1200 pb pada OPY-06 dan 325 pb sampai 1200 pb pada OPY-08 (Gambar
28 dan 29). Jumlah pasang basa tersebut dihitung berdasarkan jumlah lokus yang
dihasilkan dari proses amplifikasi DNA. Perbedaan hasil amplifikasi karena
adanya perbedaan jumlah tempat penempelan primer dan jarak antara dua primer
yang menempel pada DNA cetakan, sedangkan untuk perbedaan ketajaman dari
intensitas pita DNA yang terlihat merupakan hasil dari banyaknya situs
penempelan yang serupa dari sekuen DNA berulang.
Variasi kuantitas DNA hasil amplifikasi dicerminkan oleh variasi intensitas
pendaratan pita DNA di dalam gen. Semakin banyak fragmen DNA maka pita
DNA akan semakin jelas di atas sinar ultra violet. Menurut Finkeldey (2005),
amplifikasi dari potongan-potongan tersebut juga tergantung pada ada tidaknya
sekuensi komplementer terhadap primer pendek, sehingga penanda RAPD ini
hanya bersifat dominan dan tidak mungkin mengenali individu yang bersifat
heterozigot.
DNA hasil PCR sampel mulai dari sebelum hingga sub kultur II pada dua
sumber eksplan, selanjutnya dilakukan skoring terhadap ada atau tidaknya pita
yang teramplifikasi, hal ini bertujuan untuk mendapatkan nilai he dalam individu
maupun populasi. Menurut Finkeldey (2005), nilai he ditentukan berdasarkan
struktur alelik, ditambahkan juga bahwa suatu lokus gen dikatakan polimorfik jika
frekuensi dari alel yang paling sering ditemukan adalah kurang dari 95%.
Penggunaan primer OPY-06 menghasilkan 19 lokus dan OPY-08
menghasilkan 17 lokus (Lampiran 5). Masing-masing sumber eksplan
menunjukkan perbedaan jumlah pita yang dihasilkan mulai dari sebelum kultur
hingga sub kultur II. Seperti yang terlihat pada bibit pertama (ak1) dengan primer
OPY-06 hanya menghasilkan 9 lokus yang diberi nilai 1 yang memperlihatkan
adanya pita DNA, sedangkan sisanya 10 lokus tidak memperlihatkan pita DNA
diberi nilai 0, dan selanjutnya untuk OPY-08 masih pada bibit pertama
menghasilkan 5 lokus yang diberi nilai 1 dan 12 lokus diberi nilai nol, perubahan
genetik sebelum hingga sub kultur II tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5.

62

Eksplan Tunas Adventif (ad)

3 4

Eksplan Tunas Aksilar (ak)

1200 pb
1000 pb
750 pb

225 pb

Gambar 28. Profil Pita DNA Gaharu Hasil RAPD dengan Primer OPY-06
Eksplan Tunas Adventif (ad)

3 4

Eksplan Tunas Aksilar (ak)

1200 pb
1000 pb
700 pb
325 pb

Gambar 29. Profil Pita DNA Gaharu Hasil RAPD dengan Primer OPY-08
Keterangan Gambar 25 dan 26. (ad1, ad3, ad5, ad7): sampel eksplan tunas adventif, sebelum
hingga sub kultur II dengan perlakuan BAP 0,5 ppm; (ad2, ad4, ad6, ad8): eksplan
tunas adventif, sebelum hingga sub kultur II perlakuan BAP 1,0 ppm, dan (ak1, ak3,
ak5, ak7): eksplan tunas aksilar, sebelum hingga sub kultur II adalah perlakuan BAP
0,5 ppm; (ak2, ak4, ak6, ak8): eksplan tunas aksilar, sebelum hingga sub kultur II
adalah perlakuan BAP 1,0 ppm.

Banyaknya jumlah lokus yang dihasilkan dari dua primer tersebut


merupakan penggabungan dari hasil skoring sampel pohon induk dengan sampel

63

sebelum hingga sub kultur II. Terlihat bahwa jumlah DNA pohon induk yang
teramplifikasi menghasilkan jumlah lokus yang lebih banyak dibanding DNA
yang berasal dari sampel sebelum hingga sub kultur II (Gambar 25, 28, 29),
meskipun analisis RAPD dilakukan secara terpisah.
Untuk melihat perbedaan nilai he pada masing-masing tahapan mulai dari
pohon induk, sebelum dikultur, hasil kultur, sub kultur I dan subkultur II pada dua
sumber eksplan yang diteliti yaitu eksplan tunas aksilar (bibit) dan eksplan tunas
adventif (planlet) dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Perbedaan Nilai Heterozigositas Harapan (he) Per Tahapan
Tahapan
Pohon Induk
Sebelum Kultur
Hasil Kultur
Sub Kultur I
Sub Kultur II

Bibit 1
ak1
ak3
ak5
ak7

Bibit 2
Planlet 1
Kode Nomor Sampel
pi1 pi6
ak2
ad1
ak4
ad3
ak6
ad5
ak8
ad7

Planlet 2
ad2
ad4
ad6
ad8

he
0,2454
0,0729
0,0833
0,0903
0,0382

Keterangan: ak1-ak8: Eksplan Tunas Aksilar dan ad1-ad8: Eksplan Tunas Adventif.

Pada Tabel 9 terdiri dari 5 tahapan kultur, tahapan sebelum kultur hingga
sub kultur II terdiri dari 4 sampel per tahapan. Pada tahapan pertama yaitu ak1,
ak2, ad1 dan ad2 yang memiliki nilai he = 0,0729, selanjutnya terjadi peningkatan
nilai he pada tahap hasil kultur dan sub kultur I berturut-turut 0,0833 dan 0,0903
atau 8,33% dan 9,03%. Namun pada tahap sub kultur II terjadi penurunan nilai he
yang begitu signifikan yaitu 0,0382 atau 3,82%. Nilai he tertinggi dihasilkan oleh
sampel dari pohon induk yaitu 0.2454 atau 24,54%.
Besarnya keragaman genetik dalam setiap tahapan ditentukan berdasarkan
hubungan kemiripan genetik antara individu dengan individu lain dalam tahapan
yang sama, dengan cara membandingkan pita DNA dari setiap individu tanaman.
Berdasarkan pita DNA gaharu hasil amplifikasi dengan menggunakan dua primer
acak yang terseleksi, ditentukan matrik kemiripan genetik (matrik jarak genetik)
untuk menentukan hubungan kemiripan genetik antar individu dan antar tahapan
(Lampiran 3A-F).
Jika dilakukan perbandingan keragaman genetik dari pohon induk dengan
tahap sebelum hingga sub kultur II pada dua sumber eksplan yang diteliti, terlihat

64

berbeda sangat nyata yaitu untuk pohon induk 0,2454 atau 24,54%, sedangkan
nilai pada semua tahap hanya 0,0968 atau 9,68%. Hal ini dapat dikatakan pada
tingkat populasi induk variasi genetik pohon induk gaharu lebih tinggi dibanding
pada semua tahap kultur. Variasi genetik pada tahap sebelum hingga subkultur II
hanya berkisar antara 3,82% - 9,03%. Nilai tertinggi diperoleh pada tahap sub
kultur II dan yang terendah pada tahap subkultur II (Tabel 9).
Pada tahap sebelum kultur, hasil kultur dan sub kultur I terjadi peningkatan
nilai he, meskipun tidak signifikan tetapi dapat diduga bahwa terjadi perubahan
genetik pada tiga tahapan kultur jaringan tersebut. Meskipun variasi genetik atau
variasi somaklonal yang terjadi jauh lebih rendah dibanding dengan variasi
genetik dari pohon induk. Variasi somaklonal dikatakan tidak terjadi apabila nilai
he pada tahap sebelum kultur hingga sub kultur II adalah tetap atau tidak berubah.
Untuk melihat jarak genetik dan pengelompokan dari tiap tahapan tersebut dapat
dilihat pada Gambar 30.
pi1
SBK
HK
SubK1
SubK2
Coefficient

0,01

0,10

0,18

0,26

0,34

Gambar 30. Dendogram Kemiripan Genetik untuk Setiap Tahapan mulai dari
Pohon Induk, sebelum Kultur hingga Sub Kultur II.
Keterangan. pi: Pohon Induk, SBK: Sebelum Kultur, HK: Hasil Kultur, SubK1: Sub Kultur I dan
SubK2: Sub Kultur II.

Gambar 30 memperlihatkan bahwa sampel yang berasal dari tahap sebelum


kultur hingga sub kultur II membentuk satu kelompok besar, sedangkan sampel
dari pohon induk membentuk garis tersendiri, tetapi masih memiliki hubungan
dengan kelompok sebelum kultur hingga sub

kultur

II. Jarak genetik yang

65

terkecil terlihat pada tahap hasil kultur (HK) dengan Sub Kultur I (SubK1) yaitu
0.0142, dan jarak genetik yang tertinggi dihasilkan antara pohon induk (pi)
dengan tahap Sub Kultur II (SubK2) yaitu 0.3654 (Lampiran 3F). Kemiripan
genetik untuk masing-masing tahapan dapat dilihat pada Lampiran 3A-E.
Skirvin et al. (1993) dalam Soedjono (2003), menyatakan bahwa keragaman
dapat terjadi karena pembiakan vegetatif melalui kultur in vitro menggunakan
media dengan bahan kimia murni, atau lingkungan yang mengalami gangguan.
Variasi somaklonal berasal dari kultur sel pucuk, daun, akar atau organ tanaman
yang lain. Tanaman yang berasal dari variasi somaklonal dinamakan somaklon,
protoklon untuk yang dari protoplas, gametoklon dari gamet, dan kaliklon yang
berasal dari kalus. Pada umumnya setiap siklus regenerasi menghasilkan 13%
variasi somaklonal, meskipun tingkat perbedaannya dari 0 100%. Penggunaan
mutagen fisika atau kimia dosis tinggi terhadap hasil regenerasi sel seperti kalus,
protokorm atau eksplan sebelum membentuk plantlet secara in vitro, dapat
menghasilkan keragaman genetik yang lebih luas (Soertini et al. 1996 dalam
Soedjono, 2003).
Sementara itu pada tahap sub kultur II menunjukkan bahwa nilai variasi
genetik yang diperoleh lebih rendah dibandingkan pada tahap yang lain, hal ini
diduga mulai terjadi stabilisasi genetik karena media yang digunakan adalah
media MS tanpa ZPT dan ukuran eksplan yang digunakan pada tahap sub kulur II
lebih besar dibanding pada waktu penanaman awal. Selain itu, penurunan nilai he
pada tahap sub kultur II diduga disebabkan oleh pengaruh hormonal mulai
berkurang, sehingga diduga ada kemungkinan terjadinya aberasi genetik. Yeoman
dan Mc Leod (1977) dalam Harjadi et a.l (1986), menyatakan bahwa secara
umum eksplan yang berukuran besar menguntungkan karena jumlah selnya
banyak sehingga kemungkinan keberhasilan regenerasi dari jaringan yang ditanam
lebih besar.
Untuk melihat kemiripan atau perubahan genetik yang terjadi pada bibit 1
(ak1, ak3, ak5 ak7), bibit 2 (ak2, ak4, ak6, ak8), planlet 1 (ad1, ad3, ad5, ad7) dan
planlet 2 (ad2, ad4, ad6, ad8), mulai dari sebelum dikultur hingga sub kultur II
dapat dilihat pada dendogram atau Gambar 28, 29, 30 dan 31, sedangkan matrik
kemiripan genetik dapat dilihat pada Lampiran 4.

66

Gambar 31 adalah dendogram bibit 1 menunjukkan bahwa ak3 dengan ak7


dan ak5 dengan ak7 terlihat memiliki kemiripan genetik yang terendah yaitu
0.0572, sedangkan antara ak1 dengan ak3, ak5 dan ak7 memiliki kemiripan
genetik 0.1178 (Lampiran 4A). Gambar 32 adalah dendogram bibit 2
menunjukkan bahwa ak2, ak4 dan ak8 yang memiliki kemiripan genetik yang
terendah yaitu 0.1178 (Lampiran 4B).
Gambar 33 dan 34 adalah dendogram dari planlet 1 dan planlet 2, pada
gambar 33 terlihat bahwa ad3 dengan ad7 dan ad5 dengan ad7 yang memiliki
kemiripan genetik yang terendah yaitu 0.0572, sedangkan yang tertinggi terdapat
antara ad1 dengan ad3, ad5 dan ad7 yaitu 0.1178 (Lampiran 4C).
Secara umum dapat dilihat bahwa bibit 1 (Gambar 31) memiliki bentuk
dendogram dan nilai kemiripan genetik yang sama dengan planlet 1 (Gambar 33)
dan bibit 2 (Gambar 32) memiliki bentuk dendogram dan nilai kemiripan genetik
yang sama dengan planlet 2 (Gambar 34). Hal ini menunjukkan bahwa bibit 1
dengan planlet 1 memiliki kemiripan genetik yang sama dan tingkat kekerabatan
yang dekat, begitu juga halnya pada bibit 2 dan planlet 2 yang memiliki kemiripan
genetik dan tingkat kekerabatan yang dekat. Nilai dari kemiripan genetik antara
bibit 1 dengan planlet 1 dan bibit 2 dengan planlet 2 dapat dilihat pada Lampiran
4.
ak1
ak3
ak7
ak5
Coefficient

0,06

0,07

0,09

0,10

0,12

Gambar 31. Dendogram Kemiripan Genetik pada Bibit 1 (ak1, ak3, ak5 ak7)
sebelum hingga Sub Kultur II.

67

ak2
ak4
ak8
ak6
Coefficient
0,12

0,13

0,15

0,17

0,18

Gambar 32. Dendogram Kemiripan Genetik pada Bibit 2 (ak2, ak4, ak6, ak8)
sebelum hingga Sub Kultur II
ad1
ad3
ad7
ad5
Coefficient

0,06

0,07

0,09

0,10

0,12

Gambar 33. Dendogram Kemiripan Genetik pada Planlet 1 (ad1, ad3, ad5, ad7)
sebelum hingga Sub Kultur II

ad2
ad4
ad8
ad6
Coefficient
0,12

0,13

0,15

0,17

0,18

Gambar 34. Dendogram Kemiripan Genetik pada Planlet 2 (ad2, ad4, ad6, ad8)
sebelum hingga Sub Kultur II.

68

Jarak Genetik Pohon Induk, Sebelum Kultur, Hasil Kultur,


Sub Kultur I dan Sub Kultur II
Berdasarkan penanda RAPD dengan menggunakan 2 primer yang
diturunkan dari matrik kemiripan genetik pada tanaman gaharu memperlihatkan
bahwa semua sampel yang diteliti terbagi dalam 3 kelompok (Gambar 35).
Sampel dari eksplan tunas aksilar dan tunas adventif

terlihat berbaur dan

membentuk dua kelompok yaitu kelompok 1 dan 2, sedangkan sampel yang


berasal dari pohon induk membentuk satu kelompok yaitu kelompok 3. Hal ini
menunjukkan bahwa setiap kelompok memiliki tingkat kekerabatan yang dekat.
Secara umum dapat digambarkan bahwa 6 sampel yang berasal dari pohon
induk tidak berbaur dengan 16 sampel lainnya yang berasal dari tunas aksilar dan
tunas adventif. Tetapi sampel yang berasal dari tunas aksilar dan tunas adventif
terlihat lebih berbaur, karena diantara sampel-sampel tersebut berdasarkan analisis
RAPD ada yang memiliki kemiripan genetik dan tingkat kekerabatan yang dekat,
seperti contoh ak3 dan ad2 dalam satu garis yang sama pada kelompok 1 yang
memiliki nilai kemiripan genetik sama dengan nol (Lampiran 6).

Gambar 35. Dendogram Kemiripan Genetik Tanaman Gaharu dari Pohon Induk,
sebelum hingga Sub Kultur II.
Keterangan. ak1-ak8: Eksplan Tunas Aksilar, ad1-ad8: Eksplan Tunas Adventif, dan pi1-pi6:
Sampel Populasi Pohon Induk.

69

Hasil analisis RAPD terhadap semua sampel menunjukkan bahwa nilai he


yang dihasilkan adalah 0,2575 atau 25,25%, sedikit lebih tinggi jika dibandingkan
dengan nilai he yang berasal dari pohon induk yaitu 0,2454 atau 24,54%, dan
kedua nilai ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai pada 4 tahapan
yang telah diuraikan di atas yaitu 0,0968 atau 9,68%. Hal ini mengindikasikan
bahwa variasi genetik yang tertinggi hanya dihasilkan oleh sampel yang berasal
dari pohon induk. Hal ini diduga disebabkan oleh pohon induk yang tumbuh dan
berkembang di alam adalah merupakan hasil perkawinan silang dalam maupun
antar individu pada populasi yang sama. Hasil penelitian Yunanto (2006),
menunjukkan bahwa populasi alam tanaman Shorea johorensis memiliki
keragaman genetik lebih tinggi dibanding populasi biji, cabutan, stek dan
tanaman. Hal ini disebabkan oleh adanya dinamika struktur genetik sebagai akibat
dari seleksi viabilitas, sehingga tiap siklus tanaman dari benih sampai dewasa
berbeda-beda. Nilai heterozigositas (he) meningkat seiring dengan perkembangan
tanaman. Menurut Finkeldey (2005), di alam variasi genetik dapat terjadi karena
disebabkan oleh mutasi, aliran gen dan migrasi, penghanyutan genetik, seleksi dan
sistem perkawinan.
Jika dilihat hasil analisis pada tingkat individu yaitu dari 4 sumber eksplan
yang digunakan untuk dikultur (bibit 1, bibit 2, planlet 1 dan planlet 2), maka nilai
variasi genetik yang dihasilkan jauh lebih kecil dibanding pohon induk. Meskipun
demikian, apabila dilihat hasil analisis variasi genetik per tahapan yaitu dari tahap
sebelum kultur, hasil kultur, subkultur I dan sub kultur II, terlihat adanya variasi
antar tahapan. Seperti yang terlihat pada Tabel 9, tahap sebelum kultur 7,29%,
hasil kultur 8,33%, dan sub kultur I 9,03%, terjadi peningkatan nilai he. Tetapi
pada sub kultur II turun menjadi 3,82. Dari tahap sebelum hingga sub kultur I
dapat dikatakan bahwa kultur jaringan dapat menyebabkan perubahan genetik atau
variasi somaklonal, meskipun tidak terlalu tinggi dibanding pohon induk.
Terjadinya variasi genetik atau variasi somaklonal pada tahap hasil kultur dan sub
kultur I diduga disebabkan oleh pengaruh bahan-bahan kimia dan ZPT yang
terkandung di dalam media kultur, serta pengaruh lain saat proses pertumbuhan
eksplan.

70

Pada eksplan tunas aksilar maupun tunas adventif hasil kultur in vitro terjadi
mutasi, yang mana menurut Poespodarsono (1988), mutasi adalah perubahan
genetik baik gen tunggal atau sejumlah gen atau susunan kromosom. Mutasi dapat
terjadi pada setiap bagian dan pertumbuhan tanaman, namun lebih banyak terjadi
pada bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan sel, misalnya tunas, biji
dan sebagainya. Apabila mutasi terjadi pada sel somatis, maka perubahan hanya
terjadi pada bagian itu saja dan dapat dilihat pada perkembangan sel atau jaringan
ini, sedangkan apabila mutasi terjadi pada sel generatif, maka akan terjadi
perubahan menyeluruh pada tanaman keturunannya.
Menurut Ancora dan Sannino (1987) dalam Mattjik (2005), keadaan
eksplan dan keseimbangan ZPT dalam media kultur jaringan dapat mempengaruhi
kestabilan genetik materi kultur. Kultur jaringan merupakan sumber potensial
untuk mendapatkan keragaman, yaitu dengan mengatur ZPT dalam komposisi
media dan lamanya mengkulturkan.
Jacobsen (1987) dalam Mattjik (2005), menyatakan terdapat tiga cara untuk
mendapatkan variasi somaklonal dari eksplan yang telah berhasil dikerjakan yaitu
(1) eksplan yang langsung membentuk tunas dan akar, (2) induksi kalus terlebih
dahulu kemudian dilanjutkan dengan penanaman sel tunggal dan (3) kultur
protoplasma. Bahan kimia yang diberikan pada kultur jaringan dapat menjadi
mutagen, karena akan mengalami penetrasi pada jaringan dan sel, apabila dapat
mencapai untai DNAnya akan dapat merubah susunan DNA tersebut sehingga
terjadi mutasi.
Perubahan susunan maupun jumlah kromosom ini disebut aberasi. Aberasi
dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu aberasi struktur kromosom yang meliputi
dilesi, duplikasi, inversi dan translokasi. Kemudian aberasi jumlah kromosom
yaitu monoploid atau haploid, diploid, triploid dan tetraploid.
Dalam kasus kultur jaringan yang terjadi adalah mutasi somatik. Kejadian
ini banyak dipengaruhi oleh keadaan sel itu sendiri. Sel yang melakukan mutasi
akan membelah, kemudian membentuk kumpulan sel yang berbeda dengan
induknya, membentuk klon baru yang berbeda dengan induknya. Tanaman baru
ini bukan hasil rekombinan atau segregesi seperti hasil persilangan.

71

Ostry et al. (1994), menyatakan bahwa kultur jaringan tanaman dapat


menampilkan sifat yang tidak stabil pada tingkat karyotipik, biokimia, morfologi
dan molekuler. Sejumlah eksplan yang di isolasi secara in vitro mengalami
keragaman somatik secara umum fenomena ini dinamakan variasi somaklonal.
Dinyatakan juga, bahwa frekuensi terjadinya variasi tersebut sepenuhnya belum
dipahami, hal ini tergantung dari sumber genotipe tanaman, sumber eksplan,
komponen media, dan lamanya siklus kultur. Ditambahkan pula oleh Jain (1997),
menyatakan bahwa tingkat keragaman tersebut juga tergantung dari genotype,
umur tanaman donor, perubahan sitogenetik, metilasi DNA, tipe eksplan, dan
hormon tanaman di dalam media kultur.
Berdasarkan analisis RAPD dapat disimpulkan bahwa variasi somaklonal
pada eksplan dapat terjadi selama proses pengkulturan sehingga diharapkan dapat
menghasilkan klon baru yang unggul secara genetik lebih baik dari pada tanaman
induknya dalam proses pertumbuhan maupun kualitas gaharu yang dihasilkan.
Untuk mengetahui hal tersebut, tentunya perlu dilakukan penanaman di lapangan.
Penggunaan teknik analisis RAPD untuk mendeteksi terjadinya variasi
somaklonal pada tanaman hasil kultur jaringan pernah dilakukan oleh Gajdosova
et al, (2006) pada tanaman Vaccinium Sp. dan Rubus Sp., menunjukkan bahwa
kultur jaringan dapat menyebabkan variasi somaklonal. Hal yang sama juga
pernah diteliti oleh Yulismawati (2006) pada tanaman nenas, menunjukkan bahwa
dari 20 planlet hasil kultur dengan pemberian ZPT BA dan NAA, terdapat hanya
satu perlakuan yang sama dengan kontrol yaitu media yang diberi perlakuan BA
13,32 M yang dikombinasikan dengan NAA 2 M, sedangkan 19 perlakuan
lainnya terjadi variasi somaklonal. Sehingga dapat dikatakan bahwa media kultur
yang diberi ZPT sitokinin dan thidiazuron pada level tertentu dapat menyebabkan
variasi somaklonal.

Anda mungkin juga menyukai