34
35
hal ini lebih dianjurkan menggunakan eksplan yang berasal dari jaringan yang
bersifat meristematik. Eksplan yang sehat dan segar dapat dipindahkan dari media
lama ke media baru. Pada penelitian ini penulis tidak menggunakan antioksidan
tetapi eksplan diinkubasi pada ruangan gelap selama satu minggu dengan tujuan
untuk mengurangi terjadinya pencokelatan.
Yusnita (2003), menyatakan bahwa masalah yang sering dihadapi dalam
kultur jaringan tanaman berkayu adalah terjadinya pencokelatan atau penghitaman
bagian eksplan. Pada waktu jaringan terkena stres mekanik, seperti pelukaan pada
waktu proses isolasi eksplan, proses sterilisasi, metabolisme senyawa berfenol
pada eksplan sering terangsang. Senyawa berfenol ini sering bersifat toksik,
menghambat pertumbuhan, bahkan dapat mematikan jaringan eksplan. George
dan Sherrington (1984), menyarankan beberapa tindakan untuk mengatasi
terjadinya pencokelatan yaitu dengan menggunakan arang aktif atau PVP,
merendam dengan asam sitrat atau asam askorbat, menggunakan pengkelat seperti
EDTA, perlakuan pH rendah dan inkubasi dalam ruang gelap.
Pada eksplan yang berasal dari tunas adventif tidak mengalami pencokelatan
hal ini diduga karena eksplan masih relatif muda, bersifat heterotrof sehingga
senyawa fenolik yang terkandung di dalam eksplan relatif rendah. Pencokelatan
pada eksplan biasanya terjadi pada pangkal eksplan dan diikuti dengan pelepasan
zat phenolik ke dalam media tumbuh.
Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah eksplan yang terkontaminasi adalah
sebanyak 21,42% dari tunas aksilar dan 13,09% dari tunas adventif. Secara umum
sterilisasi berhasil dengan baik, karena dari 168 botol yang ditanam hanya 29
botol yang terkontaminasi (17,26%). Tingginya jumlah terkontaminasi pada
eksplan tunas aksilar ini diduga eksplan yang berasal dari rumah kaca banyak
membawa mikroorganisme sumber kontaminan. Meskipun sudah dilakukan
sterilisasi dengan baik, namun mikroorganisme masih sering terbawa oleh eksplan
(mikroorganisme endophytic).
Hutchinson et al. (1995), menyatakan bahwa tanaman yang berasal dari
lapangan memiliki mikroflora yang dapat mematikan eksplan sebelum kultur
berkembang. Kesalahan dan tidak berhasilnya sterilisasi dapat menyebabkan
eksplan 100% terkontaminasi. Salah satu cara untuk mengurangi kontaminasi
36
37
sedangkan eksplan yang berasal dari tunas adventif tidak membutuh waktu yang
lama untuk beradaptasi pada media baru. Selanjutnya, eksplan yang berasal dari
tunas adventif lebih bersifat meristematik dibanding yang berasal dari tunas
aksilar, sehingga faktor lingkungan, keadaan sel dan perlakuan ZPT di dalam
media kultur sangat mempengaruhi perkembangan eksplan. Selain itu, faktor lain
yang menyebabkan tingginya jumlah eksplan yang tidak tumbuh pada eksplan
yang berasal dari tunas aksilar adalah bahan sterilisi yang digunakan yaitu HgCl2
yang memiliki sifat toksik, dan tidak stabil apabila digunakan dalam waktu yang
lama selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan kematian pada
eksplan (Hendaroyono dan Wijayanti, 1994). Sebaliknya, sodium hipoklorida
(NaOCl) yang bersifat kurang toksik, mengandung unsur Na dan Cl, sejenis
logam organik yang lebih stabil, dapat membunuh jamur dan spora-sporanya,
sedangkan ion klor berfungsi untuk menurunkan oksidasi fenol. Penggunaan
kedua bahan sterilisasi tersebut diduga sebagai salah satu penyebab kematian,
kontaminasi dan banyaknya eksplan yang tidak tumbuh pada eksplan yang berasal
dari tunas aksilar.
Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh BAP dan TDZ Terhadap Pertumbuhan
Eksplan Tunas Aksilar dan Adventif
Hasil pengamatan terhadap dua sumber eksplan yang ditanam pada media
yang diberi perlakuan ZPT BAP atau TDZ menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata pada taraf uji 0,01 DMRT. Rekapitulasi hasil sidik ragam tersebut disajikan
pada Tabel 5 dan Lampiran 2.
Tabel 5. Rekapitulasi Sidik Ragam (Anova) Pengaruh Perlakuan BAP atau TDZ
terhadap Pertumbuhan Eksplan Tunas Aksilar dan Adventif.
Eksplan
Tunas Aksilar
Tunas Adventif
Jumlah Tunas
0,000**
0,000**
Panjang Tunas
0,000**
0,000**
Jumlah Daun
0,000**
0,000**
Tabel 5 menunjukkan bahwa media yang diberi perlakuan ZPT BAP atau
TDZ memberikan pengaruh yang sangat nyata (DMRT 0,01) terhadap semua
parameter yang diamati yaitu Jumlah Tunas, Panjang Tunas dan Jumlah Daun,
baik pada eksplan tunas aksilar maupun tunas adventif.
38
1. Jumlah Tunas
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa baik eksplan yang berasal dari tunas
aksilar maupun tunas adventif yang ditanam pada media dasar MS dengan
penambahan ZPT BAP atau TDZ berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas
yang dihasilkan selama 12 MST (Lampiran 2). Rata-rata jumlah tunas kumulatif
akibat pengaruh pemberian BAP atau TDZ pada eksplan yang berasal dari tunas
aksilar dan adventif dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14.
Hasil pengamatan terhadap jumlah tunas planlet gaharu selama 12 MST
menunjukkan bahwa eksplan yang berasal dari tunas aksilar yang diberi perlakuan
BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm memberikan respons yang terbaik dan
optimum terhadap proses induksi tunas dan menghasilkan rata-rata jumlah tunas
tertinggi yaitu sebanyak 5,67 dan 5,28 tunas (Gambar 13).
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, eksplan yang berasal dari tunas aksilar
yang ditanam pada media dengan perlakuan BAP 0,50 ppm tidak berbeda nyata
dengan perlakuan BAP 0,75 ppm tetapi berbeda nyata dengan perlakuan BAP 1,0
ppm dan kontrol dalam menghasilkan jumlah tunas (Gambar 13). Pada media
yang diberi perlakuan TDZ menunjukkan bahwa perlakuan TDZ 0,25 ppm
berbeda nyata dengan perlakuan TDZ 0,50 ppm, TDZ 0,75 ppm dan kontrol
6
5
4
3
2
1
0
5.67 a
5.33 a
4.44 b
2.67 c
0,5
0,75
Konsentrasi BAP
1,0
(Gambar 13).
6
5
4
3
2
1
0
5.28 a
4.39 b
3.17 c
2.67 c
0,25
0,50
0,75
Konsentrasi TDZ
Gambar 13. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Tunas,
dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar.
Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada 0,01 DMRT.
Eksplan yang berasal dari tunas adventif yang ditanam pada media yang
diberi perlakuan BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm juga memiliki respon yang
39
terbaik dan lebih optimum dalam menghasilkan rata-rata jumlah tunas yaitu secara
berturut-turut 6,11 dan 5,61 tunas (Gambar 14).
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan BAP 0,50 ppm tidak
berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 atau BAP 1,0 tetapi berbeda nyata
dengan kontrol (Gambar 14). Media yang diberi perlakuan TDZ 0,25 ppm berbeda
nyata dengan perlakuan TDZ 0,50 dan kontrol, tetapi perlakuan TDZ 0,50 ppm
J u m la h T u n a s
6.11 a
6
4
5.22 ab
4.55 b
2.61 c
2
0
0
0,5
0,75
Konsentrasi BAP
1,0
J u m la h T u n a s
tidak berbeda nyata dengan perlakuan TDZ 0,75 ppm (Gambar 14).
6
5
4
3
2
1
0
5.61 a
3.89 b
2.61 c
0,25
0,50
3.33 b
0,75
Konsentrasi TDZ
Gambar 14. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Tunas,
dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif.
Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada 0,01 DMRT.
Gambar 13 dan 14 terlihat bahwa baik pada eksplan tunas aksilar maupun
tunas adventif dengan perlakuan BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm adalah
perlakuan yang terbaik dan optimum dalam menghasilkan jumlah tunas,
sedangkan pada perlakuan lainnya terjadi penurunan dalam menghasilkan jumlah
tunas. Jumlah tunas yang terendah dihasilkan oleh kontrol. Hal ini berarti bahwa
konsentrasi BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm dapat meningkatkan jumlah tunas,
sedangkan pada perlakuan lainnya terjadi penurunan jumlah tunas. Hal ini
didukung oleh pernyataan Tiwari et al. (2000) bahwa konsentrasi sitokinin yang
tinggi dapat menyebabkan jumlah tunas berkurang, dan BAP melebihi kadar
optimum yang dibutuhkan tanaman umumnya menyebabkan perkembangan tajuk
atau tunas terhambat.
Abidin (1983), menyatakan bahwa ZPT pada tanaman adalah senyawa
organik yang bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote),
menghambat (inhibit) dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan. Hormon
40
tumbuhan adalah zat organik yang dihasilkan oleh tanaman, yang dalam
konsentrasi rendah dapat mengatur proses fisiologi, yang disintesis pada bagian
tertentu dari tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana
zat tersebut dapat menimbulkan pengaruh secara biokimia, fisiologis dan
morfologis (Wattimena, 1988).
Sesuai dengan fungsinya, baik ZPT BAP maupun TDZ adalah merupakan
ZPT yang termasuk ke dalam kelompok sitokinin yang banyak digunakan untuk
memacu pertumbuhan tunas dalam kultur jaringan tanaman. Walaupun ZPT
tersebut berasal dari golongan yang sama tetapi mempunyai daya aktivitas yang
berbeda. Pemberian konsentrasi BAP atau TDZ yang tepat dan tidak melebihi
dosis mampu menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak dan vigour.
Sebaliknya pemberian konsentrasi yang melebihi kebutuhan eksplan akan
menghambat induksi tunas yang terbentuk. Seperti yang terlihat pada Gambar 13
dalam penelitian ini, baik pada eksplan tunas aksilar maupun eksplan tunas
adventif, semakin tinggi konsentrasi BAP maupun TDZ yang digunakan, maka
jumlah tunas semakin menurun. Pada konsentrasi yang rendah memberikan hasil
yang lebih baik. Meskipun demikian, visualisasi perkembangan eksplan
menunjukkan bahwa pada dua sumber eksplan yang ditanam pada konsentrasi
yang lebih tinggi terlihat adanya mata tunas yang akan berkembang menjadi
tunas, hal ini mengindikasikan bahwa ada kemungkinan bertambahnya jumlah
tunas pada perlakuan konsentrasi BAP atau TDZ yang lebih tinggi, tetapi proses
pertumbuhannya terlihat lebih lambat, sehingga dapat dikatakan bahwa
konsentrasi BAP yang tinggi tidak meningkatkan jumlah tunas.
Secara alamiah tanaman sudah mengandung hormon pertumbuhan seperti
sitokinin yang dinamakan dengan hormon endogen. Kebanyakan hormon endogen
ditanaman terdapat pada jaringan meristem yaitu jaringan yang aktif tumbuh dan
membelah. Sehingga pemberian hormon eksogen sangat mempengaruhi kerja
hormon endogen sebagai fungsinya dalam proses cytokinesis (proses pembelahan
sel) pada berbagai organ tanaman. Pemberian hormon eksogen dengan konsentrasi
yang melebihi kebutuhan tanaman dapat menyebabkan pembentukan tunas
terhambat.
41
42
2. Panjang Tunas
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa baik eksplan yang berasal dari tunas
aksilar maupun tunas adventif yang ditanam pada media dasar MS dengan
penambahan ZPT BAP atau TDZ berpengaruh sangat nyata terhadap panjang
tunas planlet gaharu (Lampiran 2).
Hasil pengamatan pada panjang tunas menunjukkan bahwa eksplan berasal
dari tunas aksilar yang ditanam pada media yang diberi perlakuan BAP 0,50 ppm
atau TDZ 0,25 ppm menghasilkan jumlah tunas yang terbanyak yaitu secara
berturut-turut 3,15 cm dan 2,88 cm (Gambar 15). Hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa eksplan tunas aksilar yang diberi perlakuan BAP 0,50 ppm
berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm dan kontrol, tetapi perlakuan BAP
0,75 ppm tidak berbeda nyata dengan BAP 1,0 ppm (Gambar 15). Berbeda dengan
media yang diberi perlakuan TDZ, media yang diberi perlakuan dengan TDZ 0,25
ppm berbeda nyata dengan perlakuan TDZ 0,50 ppm, TDZ 0,75 ppm dan kontrol
(Gambar 15).
3.15 a
2.5 b
3
2
2.5 b
1.63 c
1
0
0
0,5
0,75
43
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
2.88 a
2.7 b
2.12 c
1.63 d
1,0
Konsentrasi BAP
0,25
0,50
0,75
Konsentrasi TDZ
Gambar 15. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Panjang Tunas,
dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar.
Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada 0,01 DMRT.
Pada eksplan tunas adventif dengan perlakuan BAP 0,50 ppm atau TDZ
0,25 ppm menghasilkan panjang tunas yang terpanjang dibanding perlakuan
lainnya yaitu secara berturut-turut 2,79 cm dan 2,67 cm (Gambar 16), sedangkan
perlakuan lainnya (BAP 0,75 ppm, BAP 1,0 ppm, TDZ 0,50 ppm dan TDZ 0,75
ppm ) terjadi penurunan panjang tunas. Nilai terendah dihasilkan oleh kontrol
yaitu 1,6 cm.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan BAP 0,50 ppm
berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm, tetapi perlakuan BAP 0,75 ppm
tidak berbeda nyata dengan BAP 1,0 ppm dan kontrol. Media yang diberi
perlakuan TDZ 0,25 ppm berbeda nyata dengan TDZ 0,50 ppm, tetapi perlakuan
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
2.79 a
1.6 b
0,5
1.94 b
1.79 b
0,75
1,0
Konsentrasi BAP
Panjan g T un as (cm )
P an jan g T u n as (cm )
TDZ 0,50 ppm tidak berbeda nyata dengan TDZ 0,75 ppm dan kontrol.
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
2.67 a
1.6 b
0,25
1.63 b
1.6 b
0,50
0,75
Konsentrasi TDZ
Gambar 16. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Panjang Tunas,
dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif.
Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada 0,01 DMRT.
44
Panjang tunas planlet gaharu berumur 12 MST dari dua sumber eksplan
yang dicobakan baik eksplan dari tunas aksilar maupun adventif menunjukkan
adanya perbedaan dalam menghasilkan rata-rata panjang tunas, namun media
yang diberi perlakuan ZPT BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm menunjukkan ratarata panjang tunas yang terpanjang dibanding dengan perlakuan lainnya (Gambar
15 dan 16). Perlakuan dengan konsentrasi BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm
adalah konsentrasi yang optimum dalam menghasilkan rata-rata panjang tunas.
Hal ini menunjukkan bahwa BAP atau TDZ pada konsentrasi rendah lebih
optimum dalam memacu pertumbuhan tunas dibanding dengan konsentrasi BAP
atau TDZ yang lebih tinggi. Pada perlakuan lainnya (BAP 0,75 ppm, BAP 1,0,
TDZ 0,50 dan TDZ 0,75) mengalami penurunan panjang tunas. Hal ini berarti
bahwa semakin tinggi konsentrasi ZPT baik BAP atau TDZ maka panjang tunas
yang dihasilkan semakin menurun.
Semakin tinggi konsentrasi BAP, maka panjang tanaman semakin pendek.
Keadaan ini diduga akibat periode inkubasi eksplan yang terlalu lama pada media
yang mengandung sitokinin, sehingga perpanjangan batang terhambat. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Moncalean et al. (2001), bahwa konsentrasi BAP yang
tinggi dapat menyebabkan tinggi tanaman terhambat. Damayanti (2004), juga
menyatakan bahwa BAP tidak memperpanjang tinggi tanaman Dianthus
caryophillus, bahkan sebaliknya menyebabkan tanaman terlihat lebih pendek dan
roset
Herawan dan Hardi (2005), menyatakan bahwa BAP merupakan derivat
sitokinin yang keberadaannya dalam medium tumbuh memacu pembelahan sel-sel
di bagian apikal bakal tunas, sehingga mempengaruhi perkembangan tunas.
Sitokinin disintesis di dalam akar dan didistribusikan ke tunas untuk pertumbuhan
tunas. Penambahan sitokinin dari luar sangat diperlukan karena akar yang
mensintesis sitokinin belum terbentuk dalam tahap induksi kultur jaringan.
Menurut Suryowinoto (1996), secara umum sitokinin eksogen diperlukan untuk
merangsang diferensiasi mata tunas dengan menghasilkan tunas yang panjang.
Pertumbuhan tunas aksiler sama dengan pertumbuhan tunas pucuk yang ditandai
dengan adanya aktivitas pembelahan jaringan meristem apikal.
45
3. Jumlah Daun
Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa media yang diberi
perlakuan BAP atau TDZ berpengaruh nyata terhadap jumlah daun yang
dihasilkan selama 12 MST baik eksplan yang berasal dari tunas aksilar maupun
eksplan yang berasal dari tunas adventif (Lampiran 2). Rata-rata jumlah daun
kumulatif dapat dilihat pada Gambar 17 dan 18.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa planlet gaharu untuk eksplan yang
berasal dari tunas aksilar yang diberi perlakuan BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm
merupakan konsentrasi yang optimum dalam menghasilkan rata-rata jumlah daun
planlet gaharu, hal ini dapat dilihat dari rata-rata jumlah daun yang dihasilkan
yaitu secara berturut-turut 6,5 dan 6,28 (Gambar 17). Pada perlakuan lainnya
terjadi penurunan jumlah daun, jumlah daun yang paling sedikit dihasilkan oleh
kontrol yaitu 4,33.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa eksplan tunas aksilar yang
diberi perlakuan BAP 0,50 ppm berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm,
BAP 1,0 ppm dan kontrol, sedangkan media yang diberi perlakuan TDZ 0,25 ppm
46
tidak berbeda nyata dengan TDZ 0,50 ppm, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan
7
6
5
4
3
2
1
0
6.5 a
6 b
5.39 c
4.33 d
8
Ju m lah Dau n
6.28 a
6 a
4.33 c
5.28 b
4
2
0
0,5
0,75
1,0
0,25
0,50
0,75
Konsentrasi TDZ
Konsentrasi BAP
Gambar 17. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Daun,
dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar.
Keterangan: Angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada 0,01 DMRT.
Eksplan tunas adventif yang ditanamn pada media yang diberi perlakuan
BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm lebih optimum dan menghasilkan rata-rata
jumlah daun yang terbanyak yaitu 7,22 dan 6,78 secara berturut-turut (Gambar
18). Pada perlakuan lainnya terjadi penurunan jumlah daun yang dihasilkan. Hasil
uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan BAP 0,50 ppm tidak berbeda
nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm, perlakuan BAP 1,0 ppm tidak berbeda
nyata dengan kontrol (Gambar 18). Perlakuan TDZ 0,25 ppm berbeda nyata
dengan perlakuan TDZ 0,50 ppm, tetapi perlakuan TDZ 0,50 ppm tidak berbeda
nyata dengan perlakuan TDZ 0,75 ppm dan kontrol (Gambar 18).
7.22 a
4.66 b
4.5 b
6.78 a
6.11 a
4
2
0
Ju m lah D au n
Ju m lah D au n
4.5 c
5.22 b
4.78 bc
0,50
0,75
4
2
0
0,5
0,75
Konsentrasi BAP
1,0
0,25
Konsentrasi TDZ
Gambar 18. Grafik Pengaruh BAP dan TDZ terhadap Rerata Jumlah Daun,
dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif.
Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada 0,01 DMRT.
47
48
49
Persentase (%)
25
21.42
20
13.09
15
10
5
7.14
0
0
Kontam
Pencokelatan Pencokelatan
ekslpan aksilar
Eksplan Aksilar
Eksplan
Adventif
Kontam
eksplan
adventif
50
pertama, selanjutnya pada bonggol terlihat mata-mata tunas yang akan muncul
menjadi tunas.
Pada setiap eksplan yang ditanam, baik pada media yang diberi perlakuan
ZPT BAP maupun TDZ, terlihat proses perkembangan eksplan yang berbedabeda, hal ini disebabkan oleh eksplan yang digunakan memiliki tingkat juvenilitas
dan meristematik sel yang berbeda satu dengan yang lainnya, terutama eksplan
yang berasal dari tunas aksilar. Oleh karena itu tahap awal perkembangan eksplan
terlihat lebih bervariasi dalam proses pembentukan tunas. Hasil
pengamatan
menunjukkan bahwa eksplan yang berasal dari tunas aksilar lebih lambat dalam
induksi atau pembentukan tunas dibandingkan eksplan yang berasal dari tunas
adventif. Tunas pertama terbentuk pada minggu ke 5 pada eksplan yang berasal
dari tunas aksilar dan minggu ke 3 pada eksplan yang berasal dari tunas adventif.
Lambatnya proses pembentukan tunas pada eksplan yang berasal dari tunas
aksilar diduga karena eksplan berasal dari bibit yang diambil dari rumah kaca,
kemudian dilakukan sterilisasi dengan bahan sterilan, menyebabkan eksplan
tercekam akibat perlakuan mekanik sebelum inokulasi sehingga membutuhkan
waktu untuk beradaptasi pada kondisi dan lingkungan yang baru. Selain itu
eksplan yang berasal dari lapangan yang awalnya pada lingkungan autotrof
menjadi heterotrof. Berbeda dengan eksplan yang berasal dari tunas adventif.
Pada awalnya sudah berasal dari dalam botol atau lingkungan aseptik, sehingga
apabila dipindahkan pada lingkungan baru tidak terlalu stress dan tidak
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk beradaptasi. Kondisi ini akan terjadi
apabila eksplan yang ditanam tidak terkontaminasi.
Secara visual proses perkembangan eksplan sampai menjadi planlet antara
eksplan yang berasal dari tunas aksilar dan tunas adventif terlihat ada perbedaan.
Perbedaan ini terlihat dari bentuk bonggol, jumlah tunas, panjang tunas, jumlah
daun, dan bentuk daun (Tabel 6). Pengamatan bentuk bonggol terlihat bahwa
eksplan tunas aksilar memiliki bentuk bonggol agak lebih besar dibanding eksplan
tunas adventif. Tetapi jumlah tunas dan jumlah daun lebih banyak dihasilkan oleh
eksplan tunas adventif. Untuk panjang tunas, eksplan tunas aksilar lebih panjang
dibanding eksplan tunas adventif. Berdasarkan jumlah daun yang terbentuk
menunjukkan bahwa planlet yang berasal dari eksplan tunas aksilar lebih panjang
51
dan lebar-lebar, sedangkan eksplan tunas adventif terlihat lebih kecil-kecil dan
panjang.
Tabel 6. Perbedaan Visualisasi Perkembangan Eksplan Sampai 12 MST.
No. Bagian Yang Diamati
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Jumlah terkontaminasi
Pencokelatan
Bentuk eksplan umur 6 HST
Bentuk bonggol
Muncul tunas
Jumlah tunas
Panjang tunas
Jumlah daun
Bantuk daun
Bakal tunas / mata tunas
Warna planlet
Eksplan
Tunas Aksilar
Tunas Adventif
21.42 %
13.09 %
ada
tidak ada
melengkung
memanjang
lebih besar
besar
minggu ke 5
minggu ke 3
banyak
lebih banyak
lebih panjang
panjang
banyak
lebih banyak
lebar dan panjang
kecil dan panjang
lebih sedikit
lebih banyak
hijau
hijau
52
dari 10% CTAB, I M Tris pH 9, 5 M NaCl, Mercaptoethanol, psd H2O dan 0,5 M
EDTA.
Daun gaharu yang berasal dari pohon induk dan dari bibit proses
penggerusan dilakukan lebih lama karena daun agak tua dan banyak mengandung
serat, sebaliknya pada daun gaharu dari tunas adventif atau hasil kultur jaringan
lebih mudah karena daun relatif masih muda dan sedikit mengandung serat. Untuk
lebih memudahkan dalam proses penggerusan dan untuk mengurangi aktivitas
enzim selama proses ekstraksi pada daun atau sampel yang lebih tua sebaiknya
penggerusan dilakukan dengan menggunakan nitrogen cair. Dalam penelitian ini
tidak menggunakan nitrogen cair, karena sampel yang digunakan relatif muda dan
masih mudah dalam proses penggerusan.
Selanjutnya dilakukan penambahan PVP 2% yang berfungsi untuk
menghambat enzim polifenol oksidase yang dapat mendegradasi rantai DNA dan
menyebabkan teroksidasinya senyawa fenol. Senyawa fenol yang teroksidasi
ditandai dengan warna cokelat pada jaringan tanaman yang akan diisolasi. Sampel
daun gaharu yang lebih tua menghasilkan warna cairan agak kekuningan,
sedangkan sampel daun gaharu yang muda terlihat lebih bening. Hal ini
menunjukkan bahwa daun gaharu yang tua masih mengandung senyawa polifenol
di dalam jaringannya. Larutan NaCl dalam bufer berfungsi sebagai larutan
isotonik yang memberikan tekanan osmotik bagi DNA dalam sel sehingga DNA
tidak rusak, sedangkan larutan basa tris memberikan kondisi pH yang optimum.
Setelah dilisis, DNA dipisahkan dari senyawa-senyawa pengotor seperti protein
dan
polisakarida
dengan
larutan
klorofrom
karena
klorofrom
mampu
53
54
80x 80x 20x 50x 40x 60x 80x 80x 80x 80x 80x 60x 30x 30x 80x 50x
Gambar 23. Profil DNA Gaharu Hasil Ekstraksi sebelum Kultur hingga Sub
Kultur II.
Keterangan: M: Marker, 80x: Perbandingan Pengenceran DNA. ad1-ad8: Eksplan dari Tunas
Adventif dan ak1-ak8: Eksplan dari Tunas Aksilar.
55
pita yang lebih jelas dan jumlah pita polimorfik yang lebih tinggi yaitu OPY-06
dan OPY-08 (Gambar 24) dan (Tabel 7), yang selanjutnya digunakan untuk
mengamplifikasi DNA dari 16 sampel daun gaharu yang diteliti.
M 1 2 3 4 5 6
7 8 9 10
Gambar 24. Profol DNA Hasil Seleksi 5 Primer OPO dan 5 Primer OPY Sampel
sebelum Kultur hingga Sub Kultur II.
Keterangan: M: Marker, 1: OPO-06, 2: OPO-09, 3: OPO-10 , 4: OPO-14, 5: OPO-18, 6: OPY-02,
7: OPY-06, 8: OPY-08, 9: OPY-09 dan 10: OPY-11.
Tabel 7. Jenis Primer, Urutan Basa dan Jumlah Pita DNA Genotipe Gaharu
No
Primer
Urutan Basa
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
OPO-06
OPO-09
OPO-10
OPO-14
OPO-18
OPY-02
OPY-06
OPY-08
OPY-09
OPY-11
5CCACGGGAAG3
5TCCCACGCAA3
5TCAGAGCGCC3
5AGCATGGCTC3
5CTCGCTATCC3
5CATCGCCGCA3
5AAGGCTCACC3
5AGGCAGAGCA3
5GTGACCGAGT3
5AGACGATGGG3
Jumlah Pita
Polimorfik
3
2
4
4
3
3
5
5
0
3
Tidak terjadinya amplifikasi segmen DNA (eksplan tunas aksilar dan tunas
adventif) dengan primer di atas disebabkan oleh DNA genom (eksplan tunas
aksilar dan adventif) tidak mempunyai sekuen komplemen dengan primer-primer
tersebut, karena salah satu syarat untuk terjadinya amplifikasi DNA dengan
primer arbitrary tunggal adalah kedua utas mempunyai sekuen komplemen dengan
56
primer yang digunakan. Dalam penelitian ini pencampuran DNA dilakukan secara
komposit terhadap 16 sampel yang dianalisis. DNA yang tidak teramplifikasi
diduga terjadi karena tingkat kemurnian DNA template hasil ekstraksi masih
rendah atau masih terdapat senyawa kontaminan seperti polifenol yang dapat
menghambat terjadinya reaksi PCR.
Dalam penelitian ini pencampuran DNA contoh (bulking) didasarkan pada
asumsi bahwa jika primer yang digunakan dapat mengamplifikasi bagian genom
yang berbeda antara 16 sampel/genom tanaman maka perbedaan tersebut akan
terdeteksi pada pola pita yang dihasilkan. Primer yang menghasilkan amplifikasi
pita DNA yang sedikit dan polimorfis yang rendah tidak digunakan untuk analisis
keragaman genetik tanaman dengan metode RAPD, sehingga dalam penelitian ini
hanya digunakan 2 primer yang memberikan resolusi pita-pita yang tajam dan
jelas untuk dianalisis RAPD pada 16 sampel daun gaharu sebelum hingga sub
kultur II yaitu OPY-06 dan OPY-08.
Resolusi dari setiap pita DNA hasil amplifikasi tidak selalu terlihat dengan
jelas. Hal ini disebabkan oleh jumlah fragmen yang diamplifikasi terdapat pada
tanaman. Makin banyak fragmen DNA yang teramplifikasi pada genom tanaman,
maka resolusi pita DNA yang dihasilkan akan semakin jelas. Pada genom
tanaman lebih kurang 90% dari DNA genom merupakan urutan berulang
(Weising et al. 1995). Disamping itu adanya kompetisi tempat penempelan primer
pada DNA genom menyebabkan salah satu fragmen akan diamplifikasi dalam
jumlah yang banyak dan fragmen lainya sedikit. Faktor lain yang mempengaruhi
DNA hasil amplifikasi terlihat tidak jelas adalah kemurnian dan konsistensi
cetakan DNA, DNA yang memiliki tingkat kontaminasi yang tinggi dari senyawasenyawa seperti polisakarida dan polifenol, dan konsentrasi cetakan DNA yang
terlalu kecil sering menghasilkan penanda RAPD yang kabur dan redup.
Hasil amplifikasi DNA dengan menggunakan primer yang sama pada
individu dalam satu populasi yang sama tidak semuanya memiliki intensitas,
jumlah dan ukuran pita yang sama. Perbedaan jumlah dan ukuran pita DNA yang
dihasilkan oleh setiap primer menggambarkan kompleksitas genom tanaman
(Grattapaglia et al. 1992). Karena pita DNA merupakan hasil berpasangannya
nukleotida primer dengan nukleotida genom tanaman, maka semakin banyak
57
primer yang digunakan akan semakin terwakili bagian-bagian genom dan semakin
tergambar keadaan genom tanaman yang sesungguhnya. Sebaran situs
penempelan primer pada DNA genom, jumlah fragmen yang diamplifikasi, serta
kemurnian dan konsentrasi DNA genom dalam reaksi mempengaruhi intensitas
pita DNA hasil amplifikasi (Weising et al. 1995).
Adanya perbedaan hasil intensitas ini disebabkan karena 1) makin banyak
fragmen DNA yang diamplifikasi pada tanaman genom, maka intensitas pita DNA
yang dihasilkan semakin tegas, 2) adanya kompetisi tempat penempelan primer
pada DNA genom yang menyebabkan salah satu fragmen akan diamplifikasi
dalam jumlah banyak dan fragmen lainnya sedikit, 3) kemurnian dan konsentrasi
cetakan DNA mempengaruhi efisiensi amplifikasi. DNA yang memiliki tingkat
kontaminasi yang tinggi dari senyawa-senyawa seperti polisakarida dan fenolik
seringkali menghasilkan fenotipe penanda RAPD yang kabur.
Secara teoritis polimorfisme yang dideteksi berdasarkan RAPD merupakan
hasil dari beberapa tipe kejadian, yaitu 1) insersi DNA berukuran besar pada
fragmen diantara sepasang situs penempelan primer yang mengakibatkan jarak
amplifikasi terlalu besar sehingga fragmen tersebut hilang atau tidak
teramplifikasi, 2) delesi pada bagian genom yang membawa satu atau dua situs
penempelan primer sehingga mengakibatkan hilangnya fragmen, 3) substitusi
nukleotida yang mengubah homologi antara primer dengan DNA genom sehingga
menyebabkan hilangnya fragmen atau mengubah ukuran fragmen, 4) insersi atau
delesi fragmen kecil DNA yang dapat mengubah ukuran fragmen yang
diamplifikasi (Weising et al. 1995).
58
Berdasarkan hasil analisis dari dua primer yang digunakan untuk PCR DNA
pohon induk memperlihatkan pola pita yang dihasilkan cukup bervariasi seperti
yang terlihat pada Gambar 25.
M pi1
1700 pb
1300 pb
1000 pb
1000 pb
300 pb
200 pb
Profil pita DNA pohon induk hasil amplifikasi dengan setiap primer untuk
setiap sampel pohon gaharu diinterpretasikan sebagai lokus untuk ukuran pita
yang sama. Lokus tersebut diubah dalam bantuk data biner yang digunakan untuk
menyusun matriks kemiripan. Berdasarkan Gambar 25 di atas, maka dilakukan
Cluster analysis untuk mengelompokan aksesi-aksesi yang diuji berdasarkan
kedekatan kekerabatannya. Sehingga dari Gambar 25 diperoleh dendogram
kemiripan genetik pohon induk seperti yang terlihat pada Gambar 26.
59
pi1
pi2
pi3
pi5
pi6
pi4
Coefficient
0,00
0,18
0,37
0,55
0,73
Gambar 26. Dendogram Kemiripan Genetik 6 Sampel dari Populasi Pohon Induk.
Gambar 26 adalah dendogram sampel dari populasi pohon induk yang
menunjukkan bahwa dari 6 sampel yang dianalisis terdapat 5 sampel yang
membentuk satu kelompok besar (pi2 sampai dengan pi6) dan satu sampel
terpisah (pi1). Hal ini menunjukkan bahwa hanya lima sampel yaitu pi2 hingga
pi6 yang memiliki tingkat kekerabatan dan jarak genetik yang lebih dekat yaitu 0
sampai dengan 0,37, sedangkan sampel pi1 terdapat pada jarak genetik 0,37
sampai dengan 0,73. Jarak genetik yang terkecil ditunjukkan oleh sampel pi5
dengan pi6 yaitu nol (Lampiran 3A).
Hasil analisis pada Tabel 8 menunjukkan bahwa 6 sampel dari pohon induk
memiliki nilai rata-rata he (heterozigositas harapan) sebesar 24,54% dengan lokus
polimorfik 69,44%. Populasi pohon induk menghasilkan jarak pasang basa antara
200 pb sampai 1400 pb untuk primer OPY-06 dan 300 pb sampai 2000 pb untuk
primer OPY-08 dengan 19 lokus untuk OPY-06 dan 17 lokus untuk OPY-08
(Lampiran 5). Ini mengindikasikan bahwa 6 individu dalam populasi tersebut
memiliki variasi genetik yang cukup tinggi. Hal ini diduga disebabkan oleh sistem
perkawinan tanaman gaharu/pohon induk, tanaman gaharu adalah jenis tanaman
biseksual atau hermaprodit yang menghasilkan gamet jantan dan betina pada
tanaman yang sama. Gamet dari tanaman yang sama mempunyai potensi untuk
bertemu dan bersatu membentuk zigot. Hal ini dapat terjadi dalam satu bunga
sering disebut menyerbuk sendiri (selfing), antar bunga dalam satu individu
(Geitonogami) atau penyerbukan dari tanaman yang berbeda (Xenogami)
60
(Finkeldey, 2005). Jenis pohon yang tumbuh dalam kerapatan populasi yang
tinggi lebih bervariasi dibanding kerapatan populasinya rendah, tetapi nilai he
dapat tinggi untuk banyak jenis walaupun pada populasi dengan kerapatan rendah.
Tabel 8. Nilai Rata-rata na, ne dan he untuk 6 Sampel Daun Gaharu Pohon Induk
Rata-rata
St. Dev
Jumlah Sampel
6
na
1,6944
0,4672
ne
1,3996
0,3262
he
0,2454
0,1803
na: Jumlah allel yang diamati, ne: Jumlah allel yang efektif, he: Keragaman genetik. Jumlah lokus
polimorfik 25 dan persentase lokus polimorfik 69,44%.
61
62
3 4
1200 pb
1000 pb
750 pb
225 pb
Gambar 28. Profil Pita DNA Gaharu Hasil RAPD dengan Primer OPY-06
Eksplan Tunas Adventif (ad)
3 4
1200 pb
1000 pb
700 pb
325 pb
Gambar 29. Profil Pita DNA Gaharu Hasil RAPD dengan Primer OPY-08
Keterangan Gambar 25 dan 26. (ad1, ad3, ad5, ad7): sampel eksplan tunas adventif, sebelum
hingga sub kultur II dengan perlakuan BAP 0,5 ppm; (ad2, ad4, ad6, ad8): eksplan
tunas adventif, sebelum hingga sub kultur II perlakuan BAP 1,0 ppm, dan (ak1, ak3,
ak5, ak7): eksplan tunas aksilar, sebelum hingga sub kultur II adalah perlakuan BAP
0,5 ppm; (ak2, ak4, ak6, ak8): eksplan tunas aksilar, sebelum hingga sub kultur II
adalah perlakuan BAP 1,0 ppm.
63
sebelum hingga sub kultur II. Terlihat bahwa jumlah DNA pohon induk yang
teramplifikasi menghasilkan jumlah lokus yang lebih banyak dibanding DNA
yang berasal dari sampel sebelum hingga sub kultur II (Gambar 25, 28, 29),
meskipun analisis RAPD dilakukan secara terpisah.
Untuk melihat perbedaan nilai he pada masing-masing tahapan mulai dari
pohon induk, sebelum dikultur, hasil kultur, sub kultur I dan subkultur II pada dua
sumber eksplan yang diteliti yaitu eksplan tunas aksilar (bibit) dan eksplan tunas
adventif (planlet) dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Perbedaan Nilai Heterozigositas Harapan (he) Per Tahapan
Tahapan
Pohon Induk
Sebelum Kultur
Hasil Kultur
Sub Kultur I
Sub Kultur II
Bibit 1
ak1
ak3
ak5
ak7
Bibit 2
Planlet 1
Kode Nomor Sampel
pi1 pi6
ak2
ad1
ak4
ad3
ak6
ad5
ak8
ad7
Planlet 2
ad2
ad4
ad6
ad8
he
0,2454
0,0729
0,0833
0,0903
0,0382
Keterangan: ak1-ak8: Eksplan Tunas Aksilar dan ad1-ad8: Eksplan Tunas Adventif.
Pada Tabel 9 terdiri dari 5 tahapan kultur, tahapan sebelum kultur hingga
sub kultur II terdiri dari 4 sampel per tahapan. Pada tahapan pertama yaitu ak1,
ak2, ad1 dan ad2 yang memiliki nilai he = 0,0729, selanjutnya terjadi peningkatan
nilai he pada tahap hasil kultur dan sub kultur I berturut-turut 0,0833 dan 0,0903
atau 8,33% dan 9,03%. Namun pada tahap sub kultur II terjadi penurunan nilai he
yang begitu signifikan yaitu 0,0382 atau 3,82%. Nilai he tertinggi dihasilkan oleh
sampel dari pohon induk yaitu 0.2454 atau 24,54%.
Besarnya keragaman genetik dalam setiap tahapan ditentukan berdasarkan
hubungan kemiripan genetik antara individu dengan individu lain dalam tahapan
yang sama, dengan cara membandingkan pita DNA dari setiap individu tanaman.
Berdasarkan pita DNA gaharu hasil amplifikasi dengan menggunakan dua primer
acak yang terseleksi, ditentukan matrik kemiripan genetik (matrik jarak genetik)
untuk menentukan hubungan kemiripan genetik antar individu dan antar tahapan
(Lampiran 3A-F).
Jika dilakukan perbandingan keragaman genetik dari pohon induk dengan
tahap sebelum hingga sub kultur II pada dua sumber eksplan yang diteliti, terlihat
64
berbeda sangat nyata yaitu untuk pohon induk 0,2454 atau 24,54%, sedangkan
nilai pada semua tahap hanya 0,0968 atau 9,68%. Hal ini dapat dikatakan pada
tingkat populasi induk variasi genetik pohon induk gaharu lebih tinggi dibanding
pada semua tahap kultur. Variasi genetik pada tahap sebelum hingga subkultur II
hanya berkisar antara 3,82% - 9,03%. Nilai tertinggi diperoleh pada tahap sub
kultur II dan yang terendah pada tahap subkultur II (Tabel 9).
Pada tahap sebelum kultur, hasil kultur dan sub kultur I terjadi peningkatan
nilai he, meskipun tidak signifikan tetapi dapat diduga bahwa terjadi perubahan
genetik pada tiga tahapan kultur jaringan tersebut. Meskipun variasi genetik atau
variasi somaklonal yang terjadi jauh lebih rendah dibanding dengan variasi
genetik dari pohon induk. Variasi somaklonal dikatakan tidak terjadi apabila nilai
he pada tahap sebelum kultur hingga sub kultur II adalah tetap atau tidak berubah.
Untuk melihat jarak genetik dan pengelompokan dari tiap tahapan tersebut dapat
dilihat pada Gambar 30.
pi1
SBK
HK
SubK1
SubK2
Coefficient
0,01
0,10
0,18
0,26
0,34
Gambar 30. Dendogram Kemiripan Genetik untuk Setiap Tahapan mulai dari
Pohon Induk, sebelum Kultur hingga Sub Kultur II.
Keterangan. pi: Pohon Induk, SBK: Sebelum Kultur, HK: Hasil Kultur, SubK1: Sub Kultur I dan
SubK2: Sub Kultur II.
kultur
65
terkecil terlihat pada tahap hasil kultur (HK) dengan Sub Kultur I (SubK1) yaitu
0.0142, dan jarak genetik yang tertinggi dihasilkan antara pohon induk (pi)
dengan tahap Sub Kultur II (SubK2) yaitu 0.3654 (Lampiran 3F). Kemiripan
genetik untuk masing-masing tahapan dapat dilihat pada Lampiran 3A-E.
Skirvin et al. (1993) dalam Soedjono (2003), menyatakan bahwa keragaman
dapat terjadi karena pembiakan vegetatif melalui kultur in vitro menggunakan
media dengan bahan kimia murni, atau lingkungan yang mengalami gangguan.
Variasi somaklonal berasal dari kultur sel pucuk, daun, akar atau organ tanaman
yang lain. Tanaman yang berasal dari variasi somaklonal dinamakan somaklon,
protoklon untuk yang dari protoplas, gametoklon dari gamet, dan kaliklon yang
berasal dari kalus. Pada umumnya setiap siklus regenerasi menghasilkan 13%
variasi somaklonal, meskipun tingkat perbedaannya dari 0 100%. Penggunaan
mutagen fisika atau kimia dosis tinggi terhadap hasil regenerasi sel seperti kalus,
protokorm atau eksplan sebelum membentuk plantlet secara in vitro, dapat
menghasilkan keragaman genetik yang lebih luas (Soertini et al. 1996 dalam
Soedjono, 2003).
Sementara itu pada tahap sub kultur II menunjukkan bahwa nilai variasi
genetik yang diperoleh lebih rendah dibandingkan pada tahap yang lain, hal ini
diduga mulai terjadi stabilisasi genetik karena media yang digunakan adalah
media MS tanpa ZPT dan ukuran eksplan yang digunakan pada tahap sub kulur II
lebih besar dibanding pada waktu penanaman awal. Selain itu, penurunan nilai he
pada tahap sub kultur II diduga disebabkan oleh pengaruh hormonal mulai
berkurang, sehingga diduga ada kemungkinan terjadinya aberasi genetik. Yeoman
dan Mc Leod (1977) dalam Harjadi et a.l (1986), menyatakan bahwa secara
umum eksplan yang berukuran besar menguntungkan karena jumlah selnya
banyak sehingga kemungkinan keberhasilan regenerasi dari jaringan yang ditanam
lebih besar.
Untuk melihat kemiripan atau perubahan genetik yang terjadi pada bibit 1
(ak1, ak3, ak5 ak7), bibit 2 (ak2, ak4, ak6, ak8), planlet 1 (ad1, ad3, ad5, ad7) dan
planlet 2 (ad2, ad4, ad6, ad8), mulai dari sebelum dikultur hingga sub kultur II
dapat dilihat pada dendogram atau Gambar 28, 29, 30 dan 31, sedangkan matrik
kemiripan genetik dapat dilihat pada Lampiran 4.
66
0,06
0,07
0,09
0,10
0,12
Gambar 31. Dendogram Kemiripan Genetik pada Bibit 1 (ak1, ak3, ak5 ak7)
sebelum hingga Sub Kultur II.
67
ak2
ak4
ak8
ak6
Coefficient
0,12
0,13
0,15
0,17
0,18
Gambar 32. Dendogram Kemiripan Genetik pada Bibit 2 (ak2, ak4, ak6, ak8)
sebelum hingga Sub Kultur II
ad1
ad3
ad7
ad5
Coefficient
0,06
0,07
0,09
0,10
0,12
Gambar 33. Dendogram Kemiripan Genetik pada Planlet 1 (ad1, ad3, ad5, ad7)
sebelum hingga Sub Kultur II
ad2
ad4
ad8
ad6
Coefficient
0,12
0,13
0,15
0,17
0,18
Gambar 34. Dendogram Kemiripan Genetik pada Planlet 2 (ad2, ad4, ad6, ad8)
sebelum hingga Sub Kultur II.
68
Gambar 35. Dendogram Kemiripan Genetik Tanaman Gaharu dari Pohon Induk,
sebelum hingga Sub Kultur II.
Keterangan. ak1-ak8: Eksplan Tunas Aksilar, ad1-ad8: Eksplan Tunas Adventif, dan pi1-pi6:
Sampel Populasi Pohon Induk.
69
70
Pada eksplan tunas aksilar maupun tunas adventif hasil kultur in vitro terjadi
mutasi, yang mana menurut Poespodarsono (1988), mutasi adalah perubahan
genetik baik gen tunggal atau sejumlah gen atau susunan kromosom. Mutasi dapat
terjadi pada setiap bagian dan pertumbuhan tanaman, namun lebih banyak terjadi
pada bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan sel, misalnya tunas, biji
dan sebagainya. Apabila mutasi terjadi pada sel somatis, maka perubahan hanya
terjadi pada bagian itu saja dan dapat dilihat pada perkembangan sel atau jaringan
ini, sedangkan apabila mutasi terjadi pada sel generatif, maka akan terjadi
perubahan menyeluruh pada tanaman keturunannya.
Menurut Ancora dan Sannino (1987) dalam Mattjik (2005), keadaan
eksplan dan keseimbangan ZPT dalam media kultur jaringan dapat mempengaruhi
kestabilan genetik materi kultur. Kultur jaringan merupakan sumber potensial
untuk mendapatkan keragaman, yaitu dengan mengatur ZPT dalam komposisi
media dan lamanya mengkulturkan.
Jacobsen (1987) dalam Mattjik (2005), menyatakan terdapat tiga cara untuk
mendapatkan variasi somaklonal dari eksplan yang telah berhasil dikerjakan yaitu
(1) eksplan yang langsung membentuk tunas dan akar, (2) induksi kalus terlebih
dahulu kemudian dilanjutkan dengan penanaman sel tunggal dan (3) kultur
protoplasma. Bahan kimia yang diberikan pada kultur jaringan dapat menjadi
mutagen, karena akan mengalami penetrasi pada jaringan dan sel, apabila dapat
mencapai untai DNAnya akan dapat merubah susunan DNA tersebut sehingga
terjadi mutasi.
Perubahan susunan maupun jumlah kromosom ini disebut aberasi. Aberasi
dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu aberasi struktur kromosom yang meliputi
dilesi, duplikasi, inversi dan translokasi. Kemudian aberasi jumlah kromosom
yaitu monoploid atau haploid, diploid, triploid dan tetraploid.
Dalam kasus kultur jaringan yang terjadi adalah mutasi somatik. Kejadian
ini banyak dipengaruhi oleh keadaan sel itu sendiri. Sel yang melakukan mutasi
akan membelah, kemudian membentuk kumpulan sel yang berbeda dengan
induknya, membentuk klon baru yang berbeda dengan induknya. Tanaman baru
ini bukan hasil rekombinan atau segregesi seperti hasil persilangan.
71