Anda di halaman 1dari 7

Kawasan pesisir merupakan daerah pertemuan antara wilayah daratan dan wilayah

lautan yang membawa dampak signifikan terhadap ekosistem pesisir sekitarnya


namun sangat rentan dengan perubahan. Sebagai kawasan pesisir, kota pesisir
merupakan kawasan yang strategis dalam konteks pengembangan willayah karena
karakteristik dan keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Kota pesisir memiliki
karakteristik sebagai kawasan open acces dan multi use yang berpotensi sebagai
primemovers pengembangan wilayah lokal, regional, dan nasional, bahkan
internasional (Rahmat, 2010). Namun eksploitasi dan pembangunan wilayah pesisir
yang berlebihan dapat mengakibatkan degradasi lingkungan pesisir, sehingga akan
mempengaruhi kehidupan ekosistem sekitarnya.
Mayoritas kota-kota di Indonesia dapat dikategorikan sebagai kota pesisir karena
lokasinya yang berada di wilayah pesisir, seperti Kota Surabaya yang sebagian
wilayahnya berada di wilayah pesisir. Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia,
Kota Surabaya memiliki kawasan pesisir yang strategis yang dapat dikembangkan
sebagai kota pesisir (waterfront city). Sebagai catatan sejarah, Surabaya pada
jaman Belanda dikenal sebagai waterfront city karena hampir seluruh bangunan di
Surabaya menghadap di sepanjang sungai Kalimas sampai ke Ujung di Tanjung
Perak. Isu pembangunan Teluk Lamong (Lamong Bay) sebagai pengembangan
Pelabuhan Tanjung Perak, telah memunculkan kembali potensi Surabaya sebagai
waterfront city, khususnya di kawasan pesisir.
Pembangunan Lamong Bay merupakan salah satu proyek besar Pemerintah Jawa
Timur dan merupakan proyek lanjutan dari pembangunan Jembatan Suramadu.
Lamong Bay berkonsep pelabuhan modern yang mengacu pada pelabuhanpelabuhan modern Jepang. Selain sebagai pelabuhan, Lamong Bay akan
dikembangkan sebagai kawasan pergudangan, industri, dan pariwisata.
Pembangunan Lamong Bay tersebut direncanakan akan mereklamasi pantai di sisi
kiri Terminal Peti Kemas Surabaya seluas 400 ha (Bapeprov Jatim, 2010).
Pembangunan Lamong Bay secara tidak langsung telah mendukung upaya
pengembalian jati diri Kota Surabaya sebagai waterfront city. Namun, upaya
pembangunan Lamong Bay melalui upaya reklamasi pantai tersebut memunculkan
permasalahan baru. Pada umumnya, reklamasi dianggap akan menimbulkan
degradasi lingkungan di kawasan pesisir. Reklamasi pantai merupakan kegiatan di
tepi pantai yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber
daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara
pengurugan, pengeringan lahan atau drainase. Mengacu pada kasus reklamasi
Pantai Kapuk, Jakarta, telah menyebabkan kawasan pesisir Jakarta mengalami
kerusakan ekosistem (hutan mangrove) dan menimbulkan banjir. Menurut sejumlah
organisasi lingkungan, pembangunan Lamong Bay melalui reklamasi pantai akan
merusak ekosistem pesisir, diantaranya hutan bakau yang telah menjadi
penyeimbang dan penyangga ekosistem pesisir dan laut yang dapat mengancam
sumber kehidupan ribuan nelayan dan petani tambak di Surabaya dan Gresik
(Bappeprov Jatim, 2010). Bahkan, kawasan sekitar pembangunan Lamong Bay,
yaitu Surabaya dan Gresik telah mengalami banjir yang menyebabkan kerugian
yang besar bagi masyarakat setempat.

Oleh karena itu, pembangunan Lamong Bay di Surabaya perlu dikaji lebih lanjut
terkait dengan isu dan permasalahan yang ditimbulkan. Isu reklamasi pantai dan
permasalahan yang ditimbulkan dalam pembangunan Lamong Bay akan dikaitkan
dengan konsep pengelolaan kawasan pesisir terpadu (Intergrated Coastal Zone
management) yang berkelanjutan. Diharapkan kajian ini dapat memberikan
rekomendasi bagi pembangunan Lamong Bay dalam upaya pengembangan
kawasan Surabaya Waterfront City yang berkelanjutan.
Pengertian Reklamasi Pantai
Reklamasi merupakan atu pekerjaan atau usaha memanfaatkan kawasan atau lahan
yang relatif tidak berguna atau masih kosong dan berair menjadi lahan berguna
dengan cara dikeringkan. Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-rawa, di lepas
pantai atau di laut, di tengah sungai yang lebar, ataupun di danau. Dalam teori
perencanaan kota, reklamasi pantai merupakan salah satu langkah pemekaran kota.
Reklamasi diamalkan oleh negara atau kota-kota besar yang laju pertumbuhan dan
kebutuhan lahannya meningkat demikian pesat tetapi mengalami kendala dengan
semakin menyempitnya lahan daratan (keterbatasan lahan). Dengan kondisi
tersebut, pemekaran kota ke arah daratan sudah tidak memungkinkan lagi,
sehingga diperlukan daratan baru. Tujuan utama reklamasi pantai adalah
menjadikan kawasan berair yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan
bermanfaat. Kawasan baru tersebut, biasanya dimanfaatkan untuk kawasan
pemukiman, perindustrian, bisnis dan pertokoan, pertanian, serta objek wisata.
Cara reklamasi dapat memberikan keuntungan dan kerugian pada suatu wilayah.
Keuntungan yang didapat adalah dalam penyediaan lahan untuk berbagai
keperluan (pemekaran kota), penataan daerah pantai, pengembangan wisata
bahari, dll. Namun, reklamasi dapat juga membawa kerugian, diantaranya terhadap
keseimbangan lingkungan alamiah. Padahal keseimbangan lingkungan harus selalu
dalam keadaan seimbang dan dinamis. Adanya intervensi manusia menyebabkan
perubahan lingkungan di kawasan sekitarnya. Perubahan tersebut akan melahirkan
perubahan ekosistem seperti perubahan pola arus, erosi dan sedimentasi pantai,
berpotensi meningkatkan bahaya banjir, dan berpotensi gangguan lingkungan di
daerah lain (seperti pengeprasan bukit atau pengeprasan pulau untuk material
timbunan). Untuk lebih jelasnya, ilustrasi reklamasi pantai dapat dilihat pada
gambar berikut.
Gambar 1. Tata Letak Reklamasi dan Teknik Reklamasi Pantai
(Sumber: http://eprints.undip.ac.id/16383/1/ALI_MASKUR.pdf)

Waterfront City Sebagai Pengembangan Kawasan Pesisir


Kawasan pesisir merupakan kawasan yang strategis dalam konteks pengembangan
wilayah karena karakteristik dan keunggulan komparatif dan kompetitifnya.
Pengembangan wilayah merupakan berbagai upaya untuk memacu perekembangan
sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antarwilayah, dan menjaga kelestarian
lingkugan hidup pada suatu wilayah (Fulyaningtyas, 2009). Salah satu

pengembangan kawasan pesisir dapat dilakukan dengan menerapkan konsep


waterfront city. Menurut direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam
Pedoman Kota Pesisir (2006) mengemukakan bahwa Kota Pesisir atau waterfront
city merupakan suatu kawasan yang terletak berbatasan dengan air dan
menghadap ke laut, sungai, danau dan sejenisnya. Waterfront city juga dapat
diartikan suatu proses dari hasil pembangunan yang memiliki kontak visual dan fisik
dengan air dan bagian dari upaya pengembangan wilayah perkotaan yang secara
fisik alamnya berada dekat dengan air dimana bentuk pengembangan
pembangunan wajah kota yang terjadi berorientasi ke arah perairan. Sebagai
bagian dari kawasan pesisir, kota pesisir (waterfront city) memiliki karakteristik
sebagai kawasan open acces dan multi use yang berpotensi sebagai primemovers
pengembangan wilayah lokal, regional, dan nasional, bahkan internasional (Rahmat,
2010).
Konsep waterfront city banyak diterapkan di kota-kota dunia, bahkan telah berhasil
dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan pesisir yang berkelanjutan.
Waterfront city di kota-kota dunia merupakan sebuah konsep penataan kota yang
modern dengan mempertimbangkan berbagai aspek, seperti aspek fisik, sosial,
ekonomi, ekologi, budaya, hukum, dsb. Di Kota San Antonio di Texas dikembangkan
sebagai waterfront city modern yang dapat mempertahankan bangunan sejarah
dan menonjolkan nuansa kesenian dan budaya setempat. Selain itu, waterfront city
yang berada di pusat kota tersebut dapat meningkatkan kondisi perekonomian
masyarakat di Texas. Positano dan Amalfi di Italia, mengembangkan romantic
waterfront yang mengkombinasikan pelabuhan, resort dan pusat perbelanjaan yang
seimbang fungsi dan skalanya. Venesia mengembangkan perairan tidak hanya
sebagai edge tetapi juga sebagai jalur arteri sirkulasi kota, Vaporeti (bus air) sampai
angkutan pencampur beton, seluruhnya menggunakan jalur air. Tepian Sungai Seina
di Paris dikembangkan untuk menciptakan fungsi, skala perubahan suasana yang
dinamis melalui penataan kawasan komersial, industri, residensial dan rekreasi.
Salah satu tantangan dalam mengembangkan kawasan pesisir, khususnya dalam
menerapkan waterfront city adalah tuntuan penggunaan lahan yang terbatas
namun sekaligus melindungi sumber daya alam yang kritis dari pengaruh rusaknya
lingkungan. Oleh karena itu, waterfront city harus berprinsip pada konsep
pembangunan berkelanjutan dimana terjadinya keseimbangan antara lingkungan,
sosial dan ekonomi.

Critical Review: Studi Kasus Reklamasi Pantai dalam Pembangunan Lamong Bay di
Surabaya
Menurut Rencana Panjang Jangka Menengah (RPJM) 2011-2015 mengenai program
pengelolaan dan pembangunan jalan dan jembatan di Surabaya, ujung utara akan
diubah menjadi Waterfront City (suarasurabaya.net). Implementasi dari rencana
tersebut adalah rencana pengembangan Pelabuhan Tanjung Perak ke sebelah kiri
Terminal Petikemas Surabaya atau ke arah Teluk Lamong (lihat gambar 2). Rencana
pengembangan pelabuhan tersebut juga untuk mengantisipasi terjadinya overload
di Pelabuhan Tanjung Perak. Lamong Bay Port akan dibangun dengan menggunakan

konsep pelabuhan modern yang mengacu pada pelabuhan-pelabuhan modern


Jepang. Selain sebagai pelabuhan, Lamong Bay akan dikembangkan sebagai
kawasan pergudangan, industri, dan pariwisata (lihat gambar 3). Pembangunan
Lamomg Bay sebagai upaya mengembalikan jati diri Surabaya Waterfront City
sebagai kota maritim dan mampu bersaing dengan pelabuhan Singapore Port
Authority atau Tanjung Lepas di Malaysia.
Gambar 2. Lokasi Perencanaan Teluk Lamong (Lamong Bay) dalam Peta Surabaya
(Sumber: www.google.map.com)
Gambar 3. Perencanaan Teluk Lamong (Lamong Bay Port)
(Sumber: http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?p=18274465)
Rencana pembangunan Lamong Bay akan mereklamasi pantai di Teluk Lamong
seluas 400 ha (Bapeprov Jatim, 2010). Sedangkan banyak yang berpendapat bahwa
upaya reklamasi pantai akan menimbulkan degradasi lingkungan di kawasan pesisir
sekitarnya. Hal itu juga dikhwatirkan oleh organisasi lingkungan yang menganggap
bahwa upaya pembangunan Lamong Bay melalui upaya reklamasi akan
menimbulkan kerusakan ekosistem pesisir, diantaranya hutan bakau (Bapeprov
Jatim, 2010). Kerusakaan hutan bakau sebagai penyeimbang dan penyangga
ekosistem pesisir dan laut dikhawatirkan akan mengancam sumber kehidupan
ribuan nelayan dan petani tambak di Gresik dan Surabaya. Fakta menunjukkan
daerah Gresik dan Surabaya yang terletak di sekitar Teluk Lamong, selama musim
hujan selalu mengalami kebanjiran akibat meluapnya Kali Lamong. Pada tahun
2009, luapan Kali Lamong membanjiri empat kecamatan di Gresik, yaitu Kecamatan
Benjeng, Cerme, Menganti dan Kedamean yang baerada di sepanjang Kali Lamong.
Sementara di Surabaya Barat, air merambah ratusan hektar tambak di Tambakdono
Pakal, Kecamatan Benowo. Tercatat sedikitnya 700 rumah dan 1.225 hektar tambak
siap panen rusak serta 500 keluarga mengungsi. Kerugian petani tambak
diperkirakan Rp 12 miliar (Bapeprov Jatim, 2010).
Reklamasi artinya membuat daratan baru, baik berupa perpanjangan daratan yang
telah ada, ataupun berupa pulau-pulau baru di tengah laut. Pembangunan Lamong
Bay melalui reklamasi pantai untuk membuat pulau buatan sebagai kawasan
pelabuhan, industri, komersil dan pariwisata. Pembangunan Lamong Bay melalui
upaya reklamasi secara tidak langsung akan berdampak positf dan negative.
Dampak positif dari pembangunan tersebut adalah pertumbuhan ekonomi wilayah
di sekitarnya dan secara tidak langsung mendukung upaya pembangunan Surabaya
Waterfront City. Namun, keuntungan tersebut tidaklah sebanding dengan dampak
negatif yang ditimbulkan.
Menurut Maskur (2008) reklamasi pantai akan membawa dampak negatif ke
berbagai aspek fisik, lingkungan, ekologi, dan sosial. Pertama, dalam aspek fisik
reklamasi akan menghilangkan wilayah pantai atau laut yang semula merupakan
ruang publik bagi masyarakat akan berkurang karena akan dimanfaatkan sebagai
kegiatan privat. Reklamasi Lamong Bay menghilangkan sebagian wilayah lautan di
Teluk Lamong akibat adanya pembuatan pulau buatan yang digunakan ke berbagai
fungsi kegiatan. Pembangunan Lamong Bay sendiri dapat mempengaruhi pola

pemanfaatan ruang yang terdapat di kawasan pesisir Teluk Lamong. Perubahan


tersebut akan meningkat seiring dengan pengembangan dan pertumbuhan ekonomi
pada kawasan Lamong Bay yang direncanakan pada nantinya. Isu yang berhembus,
pembangunan Lamong Bay tersebut akan mengkonversi kawasan konservasi. Hal
tersebut bertolak belakang dengan apa yang didasarkan pada Peraturan Daerah
(Perda) No.4 tahun 1996 tentang Tata Ruang yang menetapkan perluasan
Pelabuhan Surabaya dilakukan ke arah wilayah Kabupaten Bangkalan, Madura.
Sedangkan, kawasan Teluk Lamong ditetapkan sebagai kawasan konservasi.
Kedua, reklamasi pantai akan menimbulkan dampak terhadap aspek lingkungan.
Hal tersebut dikarenakan sistem hidrologi gelombang air laut yang jatuh ke pantai
akan berubah dari alaminya. Berubahnya alur air akan mengakibatkan daerah diluar
reklamasi akan mendapat limpahan air yang banyak sehingga kemungkinan akan
terjadi abrasi, tergerus atau mengakibatkan terjadinya banjir atau rob karena
genangan air yang banyak dan lama. Fakta menunjukkan daerah Gresik dan
Surabaya yang terletak di sekitar Teluk Lamong, selama musim hujan selalu
mengalami kebanjiran akibat meluapnya Kali Lamong. Luapan Kali Lamong
membanjiri empat kecamatan di Gresik, yaitu Kecamatan Benjeng, Cerme, Menganti
dan Kedamean yang baerada di sepanjang Kali Lamong.
Ketiga, aspek ekologi, kondisi ekosistem di wilayah pantai yang kaya akan
keanekaragaman hayati sangat mendukung fungsi pantai sebagai penyangga
daratan. Ekosistem perairan pantai sangat rentan terhadap perubahan sehingga
apabila terjadi perubahan baik secara alami maupun rekayasa akan mengakibatkan
berubahnya keseimbangan ekosistem. Ketidakseimbangan ekosistem perairan
pantai dalam waktu yang relatif lama akan berakibat pada kerusakan ekosistem
wilayah pantai, kondisi ini menyebabkan kerusakan pantai. Beberapa organisasi
lingkungan menganggap bahwa upaya pembangunan Lamong Bay melalui upaya
reklamasi akan menimbulkan kerusakan ekosistem pesisir, diantaranya hutan
bakau. Rusaknya hutan bakau akan berdampak buruk terhadap kondisi sosial
masyarkat yang menggantungkan perekonomiannya dari sumberdaya alam pesisir.
Keempat, aspek sosialnya, kegiatan masyarakat di wilayah pantai sebagian besar
adalah petani tambak, nelayan atau buruh. Dengan adanya reklamasi akan
mempengaruhi ikan yang ada di laut sehingga berakibat pada menurunnya
pendapatan mereka yang menggantungkan hidup kepada laut. Di Surabaya Barat,
akibat banjir, ratusan hektar tambak di Tambakdono Pakal, Kecamatan Benowo.
Tercatat sedikitnya 700 rumah dan 1.225 hektar tambak siap panen rusak serta 500
keluarga mengungsi. Kerugian petani tambak diperkirakan Rp 12 miliar.
Pengalaman reklamasi pantai pembangunan Pantura Jakarta seharusnya dijadikan
sebagai pengalaman dalam pembangunan reklamasi pantai Teluk Lamong. Seperti
yang diketahui, reklamasi pantai Pantura Jakarta banyak membawa dampak
negative terhadap lingkungan. Dampak dari reklamasi pantai Pantura Jakarta adalah
kehancuran ekosistem berupa hilangnya keanekaragaman hayati di Suaka Margasa
Keanekaragaman hayati yang diperkirakan akan punah akibat proyek itu antara lain
berupa hilangnya berbagai spesies bakau di Muara Angke, punahnya ribuan spesies
ikan, kerang, kepiting, burung dan berbagai keanekaragaman hayati lainnya karena
Muara Angke merupakan satu-satunya kawasan hutan bakau yang tersisa di kota

tersebut, mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di


kawasan Jakarta Utara. Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian,
komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai dan
merusak kawasan tata air seluas 10.000 ha, secara sosial rencana reklamasi pantai
Jakarta tersebut dipastikan juga menyebabkan 125.000 nelayan tergusur dari
sumber-sumber kehidupannya, dan sebagainya (http://beritahabitat.net).
Dalam pengembangan wilayah pesisir, waterfront city merupakan konsep
pembangunan pantai terpadu (Intergrated Coastal Zone management) yang
berprinsip pada pembangunan berkelanjutan. Upaya pembangunan Lamong Bay
dalam rangka pengembangan Surabaya Waterfront City melalui reklamasi pantai
merupakan upaya yang kurang tepat karena kurang mendukung proses pengelolaan
pesisir yang terpadu dan berkelanjutan. Reklamasi dalam konteks penataan ruang
dapat diartikan sebagai proses upaya penambahan luas daratan dalam mendukung
pemekaran kota dengan mengurangi luas lautan. Reklamasi pantai yang dilakukan
pada pembangunan Teluk Lamong tersebut akan berpengaruh terhadap lingkungan
kawasan ekosistem sekitarnya, seperti kerusakan hutan mangrove, punahnya
keanekaragaman hayati di kawasan pesisir, dan banjir di wilayah sekitarnya. Upaya
tersebut bertentangan dengan konsep pembangunan waterfront city dituntut
menggunakan lahan yang terbatas namun sekaligus melindungi sumber daya alam
yang kritis dari pengaruh rusaknya lingkungan. Meskipun proses reklamasi pantai
memiliki dampak positif, namun melihat dampak masif yang negatif (khususnya
konversi hutan mangrove) dalam waktu jangka panjang, reklamasi pantai yang
telah dilakukan dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan baru.
Oleh karena itu, pembangunan Lamong Bay melalui upaya reklamasi pantai
diperlukan kajian mendalam dan melibatkan banyak pihak dan interdisiplin ilmu
serta didukung dengan upaya teknologi. Kajian cermat dan komprehensif tentu bisa
menghasilkan area reklamasi yang aman dan dinamis terhadap perubahan
lingkungan di sekitarnya. Namun, yang terpenting Pembangunan Lamong Bay
haruslah berpedoman terhadap upaya pengelolaan kawasan pesisir yang terpadu
dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pembangunan Teluk Lamong (Lamong Bay) merupakan upaya perluasan
Pelabuhan Tanjung Perak ke arah sisi timur Terminal Peti Kemas Surabaya. Selain
difungsikan sebagai kawasan pelabuhan, Lamong Bay akan difungsikan sebagai
kawasan komersil, industri, dan pariwisata sebagai upaya mewujudkan Surabaya
Waterfront City.
2. Reklamasi pantai dalam pembangunan Lamong Bay merupakan upaya yang
kurang mendukung proses pengelolaan pesisir yang terpadu dan berkelanjutan
karena dapat menimbulkan kerusakan ekosistem pesisir di wilayah sekitarnya.
3. Konsep pengembangan kawasan kota pesisir (waterfront city) merupakan konsep
pembangunan dan pengelolaaan pantai terpadu (Intergrated Coastal Zone
Management) yang berkelanjutan yang menuntut penggunaan lahan terbatas

namun sekaligus melindungi sumber daya alam yang kritis dari pengaruh rusaknya
lingkungan.
Referensi

Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.2006.Pedoman Kota


Pesisir.Departemen Perikanan dan Kelautan
Dahuri, Rokhmin.1996.Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu
Fulyaningtyas, Septerina.2009.Arahan Pengembangan Pantai Timur Surabaya
Sebagai Kawasan Ekowisata. ITS: Jurusan PWK
Rahmat, Adipati.2010.Jakarta Waterfront
Cityhttp://adipatirahmat.wordpress.com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/ [13
Sepetember 2010]
Bapeprov Jatim.2010.Menyoal Pelabuhan Teluk
Lamong.http://bappeda.jatimprov.go.id/web/artikel8.php [ 8 November 2010]
Waterfront City, Wujud Surabaya Kota
Maritim.http://kelanakota.suarasurabaya.net/ [ 8 November 2010]
Cahyadi, Firdaus.2007.Menimbnag Untung-Rugi Reklmasi Pantai Utara Jakarta.
http://beritahabitat.net/2007/07/11/menimbang-untung-rugi-reklamasi-pantaijakarta/ [ 8 November 2010]
Maskur, Ali.2008. Rekonstrkusi Pengaturan Hukum Reklamasi Pantai Semarang
http://eprints.undip.ac.id/16383/1/ALI_MASKUR.pdf [ 8 November 2010]

Anda mungkin juga menyukai