1. Pendahuluan
Ketoasidosis diabetik adalah kondisi medis darurat yang dapat mengancam jiwa
bila tidak ditangani secara tepat. Ketoasidosis diabetik disebabkan oleh
penurunan kadar insulin efektif di sirkulasi yang terkait dengan peningkatan
sejumlah hormon seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone.
Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada anak dengan diabetes mellitus tipe 1 (IDDM). Mortalitas
terutama berhubungan dengan edema serebri yang terjadi sekitar 57% - 87%
dari seluruh kematian akibat KAD.1
Peningkatan lipolisis, dengan produksi badan keton (?-hidroksibutirat dan
asetoasetat) akan menyebabkan ketonemia dan asidosis metabolik.
Hiperglikemia dan asidosis akan menghasilkan diuresis osmotik, dehidrasi, dan
kehilangan elektrolit. Secara klinis, ketoasidosis terbagi ke dalam tiga kriteria,
yaitu ringan, sedang, dan berat, yang dibedakan menurut pH serum.2
Risiko KAD pada IDDM adalah 1 10% per pasien per tahun. Risiko meningkat
pada anak dengan kontrol metabolik yang jelek atau sebelumnya pernah
mengalami episode KAD, anak perempuan peripubertal dan remaja, anak dengan
gangguan psikiatri (termasuk gangguan makan), dan kondisi keluarga yang sulit
(termasuk status sosial ekonomi rendah dan masalah asuransi kesehatan).
Pengobatan dengan insulin yang tidak teratur juga dapat memicu terjadinya
KAD.3
Anak dengan tanda-tanda KAD berat (durasi gejala yang lama, gangguan
sirkulasi, atau penurunan derajat kesadaran) atau adanya peningkatan risiko
edema serebri (termasuk usia < 5 tahun dan onset baru) harus dipertimbangkan
dirawat di unit perawatan intensif anak. Terdapat lima penanganan prehospital
yang penting bagi pasien KAD, yaitu: penyediaan oksigen dan pemantauan jalan
napas, monitoring, pemberian cairan isotonik intravena dan balance elektrolit,
tes glukosa, dan pemeriksaan status mental (termasuk derajat kesadaran).2,3
Mengingat masih sedikitnya pemahaman mengenai ketoasidosis diabetik dan
prosedur atau konsensus yang terus berkembang dalam penatalaksanaan
ketoasidosis diabetik. Maka, perlu adanya pembahasan mengenai bagaimana
metode tatalaksana terkini dalam menanganai ketoasidosis diabetik pada anak.
2.1 Pengertian
Ketoasidosis Diabetik Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah kondisi medis darurat
yang dapat mengancam jiwa bila tidak ditangani secara tepat. Ketoasidosis
diabetik disebabkan oleh penurunan kadar insulin efektif di sirkulasi yang terkait
dengan peningkatan sejumlah hormon seperti glukagon, katekolamin, kortisol,
dan growth hormone. Hal ini akan memicu peningkatan produksi glukosa oleh
pada anak.
- Derajat keparahan ketoasidosis diabetik didefinisikan sebagai berikut: Ringan
(pH < 7,30; bikarbonat, 15 mmol/L), moderat (pH < 7,20; bikarbonat < 10
mmol/L) dan berat (pH < 7,10; bikarbonat < 5,4 mmol/L).
Kalium
- Pada pemeriksaan awal, kadar kalium dapat normal atau meningkat, meskipun
kadar kalium total mengalami penurunan. Hal ini terjadi akibat adanya
kebocoran kalium intraselular. Insulin akan memfasilitasi kalium kembali ke
intraselular, dan kadar kalium mungkin menurun secara cepat selama terapi
diberikan.
- Pemeriksaan secara berkala setiap 1-2 jam dilakukan bersamaan dengan
monitoring EKG, terutama pada jam-jam pertama terapi.
Natrium
- Kadar natrium pada umumnya menurun akibat efek dilusi hiperglikemia
- Kadar natrium yang sebenarnya dapat dikalkulasi dengan menambahkan 1,6
mEq/L natrium untuk setiap kenaikan 100 mg/dL glukosa (1 mmol/L natrium
untuk setiap 3 mmol/L glukosa).
- Kadar natrium umumnya meningkat selama terapi
- Apabila kadar natrium tidak meningkat selama terapi, kemungkinan
berhubungan dengan peningkatan risiko edema serebri.
Ureum dan Kreatinin: Peningkatan kadar kreatinin seringkali dipengaruhi oleh
senyawa keton, sehingga memberikan kenaikan palsu. Kadar ureum mungkin
dapat memberikan ukuran dehidrasi yang terjadi pada KAD.
Kadar keton: Pengukuran kadar keton kapiler digunakan sebagai tolok ukur
ketoasidosis, dimana nilainya akan selalu meningkat pada KAD (> 2 mmol/L).
Terdapat dua pengukuran yang dilakukan untuk menilai perbaikan KAD, yaitu
nilai pH >7,3 dan kadar keton kapiler < 1 mmol/L.
Hemoglobin terglikosilasi (HbA1c): Peningkatan HbA1c menentukan diagnosis
diabetes, terutama pada pasien yang tidak mendapat penanganan sesuai
standar. Pemeriksaan darah rutin: Peningkatan kadar leukosit sering
ditemukan, meskipun tidak terdapat infeksi.
Urinalisis: Pemeriksaan urin dilakukan untuk menilai kadar glukosa dan badan
keton per 24 jam, terutama bila pemeriksaan kadar keton kapiler tidak
dilakukan.
Insulin: Pemeriksaan ini khusus dilakukan pada anak dengan KAD rekuren,
dimana rendahnya kadar insulin dapat terkonfirmasi. Perlu diperhatikan adanya
senyawa analog insulin yang dapat memberikan nilai palsu dalam hasil
pemeriksaan.
Osmolaritas serum: Osmolaritas serum umumnya meningkat.
telah mendapat pelatihan penanganan KAD harus terlibat langsung. Anak juga
dapat dimonitoring dan diterapi sesuai standar baku, serta dilakukan berbagai
pemeriksaan laboratoris secara berkala untuk mengevaluasi sejumlah parameter
biokimia.8 Anak dengan tanda-tanda KAD berat (durasi gejala yang lama,
gangguan sirkulasi, atau penurunan derajat kesadaran) atau adanya peningkatan
risiko edema serebri (termasuk usia < 5 tahun dan onset baru) harus
dipertimbangkan dirawat di unit perawatan intensif anak. Terdapat lima
penanganan prehospital yang penting bagi pasien KAD, yaitu: penyediaan
oksigen dan pemantauan jalan napas, monitoring, pemberian cairan isotonik
intravena, tes glukosa, dan pemeriksaan status mental.8 Penanganan pasien
anak dengan KAD, antara lain:3
Prinsip utama penanganan KAD sesuai dengan resusitasi emergensi dasar,
yaitu airway, breathing, dan circulation.
Sebagai tambahan, pasien dengan KAD harus diberikan diet nothing by mouth,
suplementasi oksigen, dan apabila terjadi kemungkinan infeksi, diberikan
antibiotik. Tujuan utama terapi pada satu jam pertama resusitasi cairan dan
pemeriksaan laboratorium adalah:
- Cairan: pemberian NaCl isotonis bolus, 20 mL/Kg sampai dengan 1 jam atau
kurang.
- Glukosa : Tidak diberikan, kecuali bila penurunan glukosa serum mencapai 250
300 mg/dL selama rehidrasi.
Tujuan berikutnya dilakukan pada jam-jam selanjutnya setelah hiperglikemia,
asidosis dan ketosis teratasi, yaitu monitoring, pemeriksaan laboratorium ulang,
stabilisasi glukosa darah pada level 150 - 250 mg/dL.
Monitoring
Perlu dilakukan observasi dan pencatatan per jam mengenai keadaan pasien,
mencakup medikasi oral dan intravena, cairan, hasil laboratorium, selama
periode penanganan. Monitoring yang dilakukan harus mencakup:2
Pengukuran nadi, respirasi, dan tekanan darah per jam.
Pengukuran input dan output cairan setiap jam (atau lebih sering). Apabila
terdapat gangguan derajat kesadaran, maka pemasangan kateterisasi urine
perlu dilakukan.
Pada KAD berat, monitoring EKG akan membantu menggambarkan profil
hiperkalemia atau hipokalemia melalui ekspresi gelombang T.
Glukosa darah kapiler harus dimonitor per jam (dapat dibandingkan dengan
glukosa darah vena, mengingat metode kapiler dapat menjadi inakurat pada
kasus asidosis atau perfusi perifer yang buruk)
Tes laboratorium: elektrolit, ureum, hematokrit, glukosa darah, dan gas darah
harus diulangi setiap 2 4 jam. Pada kasus berat, pemeriksaan elektrolit
dilakukan per jam. Peningkatan leukosit menunjukkan adanya stress fisiologik
dan bukan merupakan tanda infeksi.
Observasi status neurologik dilakukan per jam atau lebih sering, untuk
menentukan adanya tanda dan gejala edema serebri: Nyeri kepala, detak
jantung melambat, muntah berulang, peningkatan tekanan darah, penurunan
saturasi oksigen, perubahan status neurologik (gelisah, iritable, mengantuk, atau
lemah). Pemeriksaan spesifik neurologik dapat ditemukan kelumpuhan saraf
Fosfat
Penurunan kadar fosfat intrasel terjadi akibat diuresis osmotik. Pada dewasa,
penurunan berkisar antara 0,5 2,5 mmol/Kg, sedangkan pada anak belum ada
data yang lengkap. Penurunan kadar fosfat plasma setelah terapi dimulai akan
semakin memburuk dengan pemberian insulin, karena sejumlah besar fosfat
akan masuk ke kompartemen intraselular. Kadar fosfat plasma yang rendah
berhubungan dengan gangguan metabolik dalam skala yang luas, yaitu
penurunan kadar eritrosit 2,3-difosfogliserat dan pengaruhnya terhadap
oksigenasi jaringan. Penurunan kadar fosfat plasma akan terjadi sampai
beberapa hari setelah KAD mengalami resolusi. Namun, beberapa penelitian
prospektif menunjukkan tidak adanya keuntungan klinis yang bermakna pada
terapi penggantian fosfat. Meski demikian, dalam upaya menghindari keadaan
hipokalemia berat, kalium fosfat dapat diberikan secara aman yang
dikombinasikan dengan kalium klorida atau asetat untuk menghindari
hiperkloremia.2
Asidosis
Asidosis yang berat dapat diatasi dengan pemberian cairan dan insulin.
Pemberian insulin akan menghentikan sintesis asam keton dan memungkinkan
asam keton dimetabolisme. Metabolisme keto-anion akan menghasilkan
bikarbonat (HCO3-) dan akan mengoreksi asidemia secara spontan. Selain itu,
penanganan hipovolemia akan memperbaiki perfusi jaringan dan fungsi renal
yang menurun, sehingga akan meningkatkan ekskresi asam organik dan
mencegah asidosis laktat.2
Pada KAD, terjadi peningkatan anion gap. Anion utama dalam hal ini adalah ?hidroksibutirat dan asetoasetat.
Anion gap = [Na+] [Cl-] + [HCO3-]
Nilai Normal: 12 2 mmol/L
Indikasi pemberian bikarbonat pada KAD masih belum jelas. Beberapa penelitian
menelaah pemberian natrium bikarbonat kepada sejumlah anak dan dewasa,
namun tidak menunjukkan adanya manfaat yang bermakna.2
Sebaliknya, terdapat beberapa alasan untuk tidak menggunakan bikarbonat. Hal
ini diperkuat oleh kenyataan bahwa terapi bikarbonat dapat menyebabkan
asidosis SSP paradoksikal dan koreksi asidosis yang terlalu cepat dengan
bikarbonat akan menghasilkan keadaan hipokalemia dan meningkatkan
penimbunan natrium sehingga terjadi hipertonisitas serum. Selain itu, terapi
alkali dapat meningkatkan produksi badan keton oleh hepar, sehingga
memperlambat pemulihan keadaan ketosis.2,6
Namun, pada pasien tertentu dan pada keadaan tertentu, pemberian terapi alkali
justru memberikan keuntungan, misalnya pada keadaan asidemia sangat berat
(pH < 6,9) yang disertai dengan penurunan kontraktilitas jantung dan
vasodilatasi perifer, maka pemberian terapi alkali ditujukan untuk menangani
gangguan perfusi dan hiperkalemia yang mengancam jiwa.6
Edema Serebri
Terapi edema serebri harus dilakukan sesegera mungkin setelah gejala dan
tanda muncul. Kecepatan pemberian cairan harus dibatasi dan diturunkan.
Meskipun manitol menunjukkan efek yang menguntungkan pada banyak kasus,
namun sering kali justru menimbulkan efek merusak bila pemberian tidak tepat.
Pemberian manitol harus dilakukan sesuai keadaan dan setiap keterlambatan
pemberian akan mengurangi efektivitas. Manitol intravena diberikan 0,25 1,0
g/Kg selama 20 menit pada pasien dengan tanda edema serebri sebelum terjadi
kegagalan respirasi. Pemberian ulang dilakukan setelah 2 jam apabila tidak
terdapat respons positif setelah pemberian awal. Saline hipertonik (3%),
sebanyak 5 10 mL/Kg selama 30 menit dapat digunakan sebagai pengganti
manitol. Intubasi dan ventilasi mungkin perlu dilakukan sesuai kondisi.
Seringkali, hiperventilasi yang ekstrem terkait dengan edema serebri yang
terkait dengan KAD.2,3,7
2.6 Pencegahan
Sebelum Diagnosis
Diagnosis awal mencakup skrining genetik dan imunologi terhadap anak dengan
risiko tinggi KAD terkait onset diabetes mellitus. Kesadaran tinggi terhadap
individu dengan riwayat keluarga dengan IDDM juga akan membantu
menurunkan risiko KAD. Berbagai strategi, seperti publikasi kesehatan oleh
dokter dan sekolah pada anak-anak akan menurunkan komplikasi KAD dari 78%
hingga hampir 0%. Peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat
mengenai tanda dan gejala diabetes harus dilakukan agar diagnosis dini menjadi
lebih mudah dan misdiagnosis dapat dicegah.2,3
Sesudah Diagnosis
Pada pasien dengan terapi insulin kontinu, episode KAD dapat diturunkan dengan
edukasi algoritmik mengenai diabetes mellitus. Setiap gejala yang merujuk pada
episode KAD harus segera ditangani. Pada kasus rekurensi KAD yang multiple,
selain dengan pemberian insulin berkala, juga diberikan edukasi yang baik,
evaluasi psikososial, dan status kesehatan fisik ke pusat pelayanan kesehatan.2
DAFTAR PUSTAKA
1. Syahputra, Muhammad. Diabetik Ketoacidosis. Bagian Biokimia Fakultas
kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan: 2003.hal 1-14
2. Dunger DB, Sperling MA, Acerini CL, et al. European Society for Paediatric
Endocrinology / Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society Consensus Statement
on Diabetic Ketoacidosis in Children and Adolescents. Pediatrics 2004;113:13340.
3. Young GM. Pediatrics Diabetic Ketoacidosis. eMedicine Specialties, 2008.
(Diakses dari website www.eMedicine.com, pada tanggal 28 Juni 2009).
4. Felner EI, White PC. Improving management of diabetic ketoacidosis in
children. Pediatrics 2001;108:735-40.