Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

Referat

FAKULTAS KEDOKTERAN

April 2015

UNIVERSITAS HASANUDDIN

NYERI NEUROPATIK

Oleh :
Nama

: Hardianti Abraham

NIM

: C111 10 321

Supervisor

: Dr. dr. A. Kurnia Bintang, Sp.S(K) M.Kes.

Pembimbing

: dr. Wahyuni Zubeidi

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2015

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:


Nama

: Hardianti Abraham

NIM

: C111 10 321

Judul Referat

: Nyeri Neuropatik

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar,

2015

Mengetahui,
Pembimbing

Koas

dr. Wahyuni Zubeidi

Hardianti Abraham

Supervisor

Dr. dr. A. Kurnia Bintang, Sp.S(K) M.Kes.

DAFTAR ISI

Sampul...1
Lembar Pengesahan...2
Daftar Isi.......................3
Bab I. Pendahuluan ...............................4
Bab II. Pembahasan.......................................................................................................6
A. Definisi.........................6
B. Epidemiologi6
C. Etiologi.....7
D. Klasifikasi....9
E. Patofisologi..9
F. Manifestasi.....15
G. Diagnosis...15
H. Penatalaksanaan.....18
Bab III. Kesimpulan... ....................................22
Daftar Pustaka......23

BAB I
Pendahuluan

Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman , biasanya berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial ( Corwin J.E ). Ketika suatu jaringan
mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan-bahan yang dapat
menstimulus reseptor nyeri, seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin dan
prostaglandin dan substansi yang akan mengakibatkan respon nyeri.
Nyeri seperti didefinisikan oleh International Association for Study of Pain
(IASP), adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam
bentuk kerusakan tersebut. Dari definisi tersebut, nyeri terdiri atas dua komponen
utama, yaitu komponen sensorik (fisik) dan emosional (psikogenik). Nyeri bisa
bervariasi berdasarkan: waktu dan lamaya berlangsung (transien, intermiten, atau
persisten), intensitas (ringan, sedang dan berat), kualitas (tajam, tumpul, dan terbakar),
penjalarannya (superfisial, dalam, lokal atau difus). Di samping itu nyeri pada umumnya
memiliki komponen kognitif dan emosional yang digambarkan sebagai penderitaan.
Selain itu nyeri juga dihubungkan dengan refleks motorik menghindar dan gangguan
otonom yang oleh Woolf (2004) disebut sebagai pengalaman nyeri.
Susunan saraf, baik di pusat atau tulang belakang dapat terjangkiti nyeri yang
datang dan pergi. Nyeri diinformasikan oleh perujungan saraf yang disebut nosiseptor
yang memindai rangsangan gangguan pada tubuh. Dalam tubuh kita sendiri terdapat
banyak perujungan saraf tersebut, dan kesemua nosiseptor memiliki tugas yang berbeda.
Misalnya, merespon rasa terbakar, panas, teriris, infeksi, perubahan struktur kimia,
tekanan, dan sensasi lainnya. Nosiseptor menyampaikan pesan ke serabut saraf
kemudian meneruskan pesan pada saraf tulang belakang dan otak pada hitungan
kecepatan cahaya.
4

Pesan nyeri yang diterima oleh otak dipilah menjadi dua jenis, pertama nyeri
akut yang umumnya disebabkan oleh trauma atau perlukaan yang disebabkan gangguan
fisik. Sementara nyeri kronis dapat disebabkan oleh gangguan dalam sistem persarafan
itu sendiri. Sehingga meski pesan telah diteruskan ke otak, namun penyebab gangguan
pada persarafan tak mudah untuk diketahui sebagai sumber nyeri. Nyeri kronis ini dapat
pula berasal sebagai tambahan nyeri yang dipicu oleh keberadaaan penyakit utama
seperti pada diabetes.
Saat ini nyeri tidak lagi dianggap sebagai suatu gejala tetapi merupakan suatu
penyakit atau sebagai suatu proses yang sedang merusak sehingga dibutuhkan suatu
penanganan dini dan agresif. Proses nyeri merupakan suatu proses fisiologik yang
bersifat protektif untuk menyelamatkan diri menghadapi stimulus noksious.
Secara patologik nyeri dikelompokkan pada nyeri adaptif atau nyeri nosiseptif,
atau nyeri akut dan nyeri maladaptif sebagai nyeri kronik juga disebut sebagai nyeri
neuropatik serta nyeri psikologik atau nyeri idiopatik. Nyeri akut atau nosiseptif yang
diakibatkan oleh kerusakan jaringan, merupakan salah satu sinyal untuk mempercepat
perbaikan dari jaringan yang rusak. Sedangkan nyeri neuropatik disebut sebagai nyeri
fungsional merupakan proses sensorik abnormal yang disebut juga sebagai gangguan
sistem alarm. Nyeri idiopatik yang tidak berhubungan dengan patologi baik neuropatik
maupun nosiseptif dan memunculkan gejala gangguan psikologik memenuhi
somatoform seperti stres, depresi, ansietas dan sebagainya.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Nyeri neuropatik yang didefinisikan sebagai nyeri akibat lesi jaringan saraf baik
perifer maupun sentral bisa diakibatkan oleh beberapa penyebab seperti amputasi, toksis
(akibat khemoterapi) metabolik (diabetik neuropati) atau juga infeksi misalnya herpes
zoster pada neuralgia pasca herpes dan lain-lain. Nyeri pada neuropatik bisa muncul
spontan (tanpa stimulus) maupun dengan stimulus atau juga kombinasi.
Nyeri neuropatik juga disebut sebagai nyeri kronik berbeda dengan nyeri akut
atau nosiseptif dalam hal etiologi, patofisiologi, diagnosis dan terapi. Nyeri akut adalah
nyeri yang sifatnya self-limiting dan dianggap sebagai proteksi biologik melalui signal
nyeri pada proses kerusakan jaringan. Nyeri pada tipe akut merupakan simptom akibat
kerusakan jaringan itu sendiri dan berlokasi disekitar kerusakan jaringan dan
mempunyai efek psikologis sangat minimal dibanding dengan nyeri kronik. Nyeri ini
dipicu oleh keberadaan neurotransmiter sebagai reaksi stimulasi terhadap reseptor
serabut alfa-delta dan C polimodal yang berlokasi di kulit, tulang, jaringan ikat otot dan
organ visera. Stimulus ini bisa berupa mekhanik, kimia dan termis, demikian juga
infeksi dan tumor. Reaksi stimulus ini berakibat pada sekresi neurotransmiter seperti
prostaglandin, histamin, serotonin, substansi P, juga somatostatin (SS), cholecystokinin
(CCK), vasoactive intestinal peptide (VIP), calcitoningenen-related peptide (CGRP) dan
lain sebagainya. Nyeri neuropatik adalah non-self-limiting dan nyeri yang dialami
bukan bersifat sebagai protektif biologis namun adalah nyeri yang berlangsung dalam
proses patologi penyakit itu sendiri. Nyeri bisa bertahan beberapa lama yakni bulan
sampai tahun sesudah cedera sembuh sehingga juga berdampak luas dalam strategi
pengobatan termasuk terapi gangguan psikologik.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Menurut Bennet (1978) dan Tollison (1998), di Amerika Serikat terdapat kirakira 75-8 juta penderita nyeri kronik, dengan 25 juta diantaranya penderita artrirtis.
Diperkirakan ada 600.000 penderita artritis baru setiap tahunnya. Jumlah penderita nyeri
neuropatik lebih kurang 1% dari total penduduk di luar nyeri punggung bawah. Untuk
nyeri punggung bawah sendiri diperkirakan 15% dari jumlah penduduk (Fordyce,
1995). Insidensi maupun prevalensi nyeri akut belum diketahui, tetapi diperkirakan
operasi dan trauma penyebab utama nyeri akut (Loeser and Melzack, 1999; McQuay
and Moore, 1999).
2.3ETIOLOGI
Nyeri neuropatik dapat timbul dari kondisi yang mempengaruhi sistem saraf tepi
atau pusat. Gangguan pada otak dan korda spinalis, seperti multiple sclerosis, stroke,
dan spondilitis atau mielopati post traumatik, dapat menyebabkan nyeri neuropatik.
Gangguan sistem saraf tepi yang terlibat dalam proses nyeri neuropatik termasuk
penyakit pada saraf spinalis, ganglia dorsalis, dan saraf tepi. Kerusakan pada pada saraf
tepi yang dihubungkan dengan amputasi, radikulopati, carpal tunnel syndrome, dan
sindrom neuropati jebakan lainnya, dapat menimbulkan nyeri neuropatik. Aktivasi
nervus simpatetik yang abnormal, pelepasan katekolamin, dan aktivasi free nerve
endings atau neuroma dapat menimbulkan sympathetically mediated pain. Nyeri
neuropatik juga dapat dihubungkan dengan penyakit infeksius, yang paling sering
adalah HIV. Cytomegalovirus, yang sering ada pada penderita HIV, juga dapat
menyebabkan low back pain, radicular pain, dan mielopati. Nyeri neuropati adalah hal
yang paling sering dan penting dalam morbiditas pasien kanker. Nyeri pada pasien
kanker dapat timbul dari kompresi tumor pada jaringan saraf atau kerusakan sistem
saraf karena radiasi atau kemoterapi.
Penyebab nyeri neuropatik yang paling sering :
Nyeri neuropatik perifer

Poliradikuloneuropati demielinasi inflamasi akut dan kronik

Polineuropati alkoholik

Polineuropati oleh karena kemoterapi


7

Sindrom nyeri regional kompleks (complex regional pain syndrome)

Neuropati jebakan (misalnya, carpal tunnel syndrome)

Neuropati sensoris oleh karena HIV

Neuralgia iatrogenik (misalnya, nyeri post mastektomi atau nyeri post


thorakotomi)

Neuropati sensoris idiopatik

Kompresi atau infiltrasi saraf oleh tumor

Neuropati oleh karena defisiensi nutrisional

Neuropati diabetic

Phnatom limb pain

Neuralgia post herpetic

Pleksopati post radiasi

Radikulopati (servikal, thorakal, atau lumbosakral)

Neuropati oleh karena paparan toksik

Neuralgia trigeminus (Tic Doulorex)

Neuralgia post traumatic

Nyeri neuropatik sentral

Mielopati kompresif dengan stenosis spinalis

Mielopati HIV

Multiple sclerosis

Penyakit Parkinson
8

Mielopati post iskemik

Mielopati post radiasi

Nyeri post stroke

Nyeri post trauma korda spinalis

Siringomielia

2.4 KLASIFIKASI
Nyeri neuropatik diklasifikasikan berdasarkan:
a) Letak lesi, yaitu terbagi atas:
1) Nyeri neuropatik perifer, letak lesi pada sistem aferen perifer di saraf
tepi, ganglion radiks dorsalis, atau pada radiks dorsalis. Contoh:
polineuritis, polineuropati diabetic, neuralgia pascaherpes, neuralgia
trigeminal.
2) Nyeri neuropatik sentral, letak lesi di medulla spinalis, batang otak,
thalamus, atau korteks serebri. Contoh: nyeri spinal pascatrauma,
nyeri sentral pascastroke.
b) Waktu, yaitu terbagi atas:
1) Nyeri neuropatik akut, nyeri yang dialami dalam waktu 3 bulan.
Contoh: iskhialgia pada HNP (hernia nucleus pulposus), neuralgia
trigeminal.
2) Nyeri neuropatik kronik, nyeri yang dialami dalam waktu lebih dari 3
bulan, atau nyeri yang masih ditemukan setelah

jaringan cedera

sembuh. Ada 2 jenis nyeri neuropatik kronis:


Nyeri malignan, seperti: nyeri kanker, nyeri pascaradiasi, nyeri
pascaoperatif, nyeri pascakemoterapi.
Nyeri nonmalignant, seperti: neuropati diabetic, sindrom
terowongan kapal (carpal tunnel syndrome), neuropati toksik,
nyeri sentral pascastroke, nyeri spinal pascatrauma.
3) Intensitas, berdasarkan intensitas, terbagi atas ringan, sedang, dan
berat.
2.5 PATOFISIOLOGI

Mekanisme yang mendasari munculnya nyeri neuropati adalah: sensitisasi perifer,


ectopic discharge, sprouting, sensitisasi sentral, dan disinhibisi. Perubahan ekspresi dan
distribusi saluran ion natrium dan kalium terjadi setelah cedera saraf, dan meningkatkan
eksitabilitas membran, sehingga muncul aktivitas ektopik yang bertanggung jawab
terhadap munculnya nyeri neuropatik spontan (Woolf, 2004).
Kerusakan jaringan dapat berupa rangkaian peristiwa yang terjadi di nosiseptor
disebut nyeri inflamasi akut atau nyeri nosiseptif, atau terjadi di jaringan saraf, baik
serabut saraf pusat maupun perifer disebut nyeri neuropatik. Trauma atau lesi di
jaringan akan direspon oleh nosiseptor dengan mengeluarkan berbagai mediator
inflamasi, seperti bradikinin, prostaglandin, histamin, dan sebagainya. Mediator
inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan munculnya nyeri spontan,
atau membuat nosiseptor lebih sensitif (sensitasi) secara langsung maupun tidak
langsung. Sensitasi nosiseptor menyebabkan munculnya hiperalgesia. Trauma atau lesi
serabut saraf di perifer atau sentral dapat memacu terjadinya remodelling atau
hipereksibilitas membran sel. Di bagian proksimal lesi yang masih berhubungan dengan
badan sel dalam beberapa jam atau hari, tumbuh tunas-tunas baru (sprouting). Tunastunas baru ini, ada yang tumbuh dan mencapai organ target, sedangkan sebagian lainnya
tidak mencapai organ target dan membentuk semacam pentolan yang disebut neuroma.
Pada neuroma terjadi akumulasi berbagai ion-channel, terutama Na+ channel.
Akumulasi Na+ channel menyebabkan munculnya ectopic pacemaker. Di samping ion
channel juga terlihat adanya molekul-molekul transducer dan reseptor baru yang
semuanya

dapat

menyebabkan

terjadinya

ectopic

discharge,

abnormal

mechanosensitivity, thermosensitivity, dan chemosensitivity (Devor and Seltzer, 1990).


Ectopic discharge dan sensitisasi dari berbagai reseptor (mechanical, termal, chemical)
dapat menyebabkan timbulnya nyeri spontan dan evoked pain.
Lesi jaringan mungkin berlangsung singkat, dan bila lesi sembuh nyeri akan
hilang. Akan tetapi, lesi yang berlanjut menyebabkan neuron-neuron di kornu dorsalis
dibanjiri potensial aksi yang mungkin mengakibatkan terjadinya sensisitasi neuronneuron tersebut. Sensitisasi neuron di kornu dorsalis menjadi penyebab timbulnya
alodinia dan hiperalgesia sekunder. Dari keterangan di atas, secara sederhana dapat

10

disimpulkan bahwa nyeri timbul karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif baik
perifer maupun sentral.
Baik nyeri neuropatik perifer maupun sentral berawal dari sensitisasi neuron
sebagai stimulus noksious melalui jaras nyeri sampai ke sentral. Bagian dari jaras ini
dimulai dari kornu dorsalis, traktus spinotalamikus (struktur somatik) dan kolum
dorsalis (untuk viseral), sampai talamus sensomotorik, limbik, korteks prefrontal dan
korteks insula. Karakteristik sensitisasi neuron bergantung pada: meningkatnya aktivitas
neuron; rendahnya ambang batas stimulus terhadap aktivitas neuron itu sendiri misalnya
terhadap stimulus yang nonnoksious, dan luasnya penyebaran areal yang mengandung
reseptor yang mengakibatkan peningkatan letupan-letupan dari berbagai neuron.
Sensitisasi ini pada umumnya berasosiasi dengan terjadinya denervasi jaringan saraf
akibat lesi ditambah dengan stimulasi yang terus menerus dan inpuls aferen baik yang
berasal dari perifer maupun sentral dan juga bergantung pada aktivasi kanal ion di akson
yang berkaitan dengan reseptor AMPA/kainat dan NMDA. Sejalan dengan
berkembangnya penelitian secara molekuler maka ditemukan beberapa kebersamaan
antara nyeri neuropatik dengan epilepsi dalam hal patologinya tentang keterlibatan
reseptor misalnya NMDA dan AMPA dan plastisitas disinapsis, immediate early gene
changes. Yang berbeda hanyalah dalam hal burst discharge secara paroksismal pada
epilepsi sementara pada neuropatik yang terjadi adalah ectopic discharge. Nyeri
neuropatik muncul akibat proses patologi yang berlangsung berupa perubahan
sensitisasi baik perifer maupun sentral yang berdampak pada fungsi sistem inhibitorik
serta gangguan interaksi antara somatik dan simpatetik. Keadaan ini memberikan
gambaran umum berupa alodinia dan hiperalgesia. Permasalahan pada nyeri neuropatik
adalah menyangkut terapi yang berkaitan dengan kerusakan neuron dan sifatnya
ireversibel. Pada umumnya hal ini terjadi akibat proses apoptosis yang dipicu baik
melalui modulasi intrinsik kalsium di neuron sendiri maupun akibat proses inflamasi
sebagai faktor ekstrinsik. Kejadian inilah yang mendasari konsep nyeri kronik yang
ireversibel pada sistem saraf. Atas dasar ini jugalah maka nyeri neuropatik harus secepat
mungkin di terapi untuk menghindari proses mengarah ke plastisitas sebagai nyeri
kronik. Neuron sensorik nosiseptif berakhir pada bagian lamina paling superfisial dari
medula spinalis. Sebaliknya, serabut sensorik dengan ambang rendah (raba, tekanan,
vibrasi, dan gerakan sendi) berakhir pada lapisan yang dalam. Penelitian eksperimental
11

pada tikus menunjukkan adanya perubahan fisik sirkuit ini setelah cedera pada saraf.
Pada beberapa minggu setelah cedera, terjadi pertumbuhan baru atau sprouting affreen
dengan non noksious ke daerah-daerah akhiran nosiseptor. Sampai saat ini belum
diketahui benar apakah hal yang serupa juga terjadi pada pasien dengan nyeri neuropati.
Hal ini menjelaskan mengapa banyak kasus nyeri intraktabel terhadap terapi. Rasa nyeri
akibat sentuhan ringan pada pasien nyeri neuropati disebabkan oleh karena respon
sentral abnormal serabut sensorik non noksious. Reaksi sentral yang abnormal ini dapat
disebabkan oleh faktor sensitisasi sentral, reorganisasi struktural, dan hilangnya inhibisi
(Woolf, 2004).
Nyeri neuropati merupakan nyeri yang dikarenakan adanya lesi pada sistem
saraf perifer maupun pusat. Nyeri ini bersifat kronik dan mengakibatkan penurunan
kualitas hidup penderita. Nyeri neuropati melibatkan gangguan neuronal fungsional
dimana saraf perifer atau sentral terlibat dan menimbulkan nyeri khas bersifat epikritik
(tajam dan menyetrum) yg ditimbulkan oleh serabut A yg rusak, atau protopatik seperti
disestesia, rasa terbakar, parestesia dengan lokalisasi tak jelas yang disebabkan oleh
serabut C yang abnormal. Gejala-gejala ini biasa disertai dengan defisit neurologik atau
gangguan fungsi lokal.
Umumnya, lesi saraf tepi maupun sentral berakibat hilangnya fungsi seluruh atau
sebagian sistim saraf tersebut, ini sering disebut sebagai gejala negatif. Akan tetapi,
pada bagian kecil penderita dengan lesi saraf tepi, seperti pada penderita stroke, akan
menunjukkan gejala positif yang berupa disestesia, parestesia atau nyeri. Nyeri yang
terjadi akibat lesi sistem saraf ini dinamakan nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik adalah
nyeri yang didahuluhi atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf.
Iskemia, keracunan zat tonik, infeksi dan gangguan metabolik dapat
menyebabkan lesi serabut saraf aferen. Lesi tersebut dapat mengubah fungsi neuron
sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan
antara neuron dengan lingkungannya. Gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan
keseimbangan neuron sensorik, melalui perubahan molekular, sehingga aktivitas serabut
saraf aferen menjadi abnormal (mekanisme perifer) yang selanjutnya menyebabkan
gangguan nosiseptik sentral.

12

Pada nyeri inflamasi maupun nyeri neuropatik sudah jelas keterlibatan reseptor
NMDA dalam proses sensitisasi sentral yang menimbulkan gejala hiperalgesia terutama
sekunder dan alodinia. Akan tetapi di klinik ada perbedaaan dalam terapi untuk kedua
jenis nyeri inflamasi sedangkan untuk nyeri neuropatik obat tersebut kurang efektif.
Banyak teori telah dikembangkan untuk menerangkan perbedaan tersebut.
Prinsip terjadinya nyeri adalah gangguan keseimbangan antara eksitasi dan
inhibisi akibat kerusakan jaringan (inflamasi) atau sistem saraf (neuropatik). Eksitasi
meningkat pada kedua jenis nyeri tersebut pada neyeri neuropatik dari beberapa
keterangan sebelumnya telah diketahui bahwa inhibisi menurun yang sering disebut
dengan istilah disinhibisi. Disinhibisi dapat disebabkan oleh penurunan reseptor opioid
di neuron kornu dorsalis terutama di presinap serabut C.

Gambar 1. Patomekanisme dasar yang mempengaruhi saraf perifer.

Dari kerusakan jaringan (sebagai sumber stimuli nyeri) sampai dirasakan sebagai
persepsi nyeri terdapat suatu rangkaian proses elektrofisiologik yang secara kolektif
disebut sebagai nosisepsi (nociception). Ada empat proses yang jelas yang terjadi pada
suatu nosisepsi, yakni ;
1) Proses Transduksi (Transduction), merupakan proses dimana suatu stimuli nyeri
(noxious stimuli) di rubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima
ujung-ujung saraf (nerve ending). Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik
(tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).
2) Proses Transmisi (Transmison), dimaksudkan sebagai penyaluran impuls melalui
saraf sensoris menyusul proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh
13

serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama, dari perifer ke
medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum
diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari
thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks
serebri melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan
dirasakan sebagai persepsi nyeri.
3) Proses Modulasi (Modulation), adalah proses dimana terjadi interaksi antara
sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan imput nyeri
yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Jadi merupakan proses
ascenden yang di kontrol oleh otak. Sistem analgesik endogen ini meliputi
enkefalin, endorfin, serotonin, dan noradrenalin memiliki efek yang dapat
menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Kornu posterior ini
dapat diibaratkan sebagai pintu yang dapat tertutup atau terbukanya pintu nyeri
tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen tersebut di atas. Proses
modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat subyektif
orang per orang.
4) Persepsi (perception), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks
dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada
gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai
persepsi nyeri.

2.6 MANIFESTASI KLINIS

14

Nyeri neuropatik sering memiliki sering memiliki kualitas terbakar, perih atau, seperti
tersengat listrik. Secara umum nyeri neuropatik mempunyai manifestasi klinis seperti
berikut ini:
a. Nyeri Spontan (spontaneous pain, stimulus-independent pain).

Nyeri persisten (kontinyu, konstan, terus menerus)

Nyeri paroksismal, rasa: panas, dingin, menyayat, menusuk,


menikam, kesetrum, kausalgia, disestesia, parestesia.

b. Nyeri dengan stimulus (stimulus-dependent/stimulus-evoked pain)

Alodonia

Hiperalgesia

Hiperpatia

c. Defisit sensorik

Hipoestesia

Hipoalgesia

d. Gejala penyerta, seperti: insomnia, cemas, depresi, berat badan menurun,


kualitas hidup menurun.
2.7 DIAGNOSIS
A.
Anamnesis
Dalam penatalaksanaan nyeri memerlukan penilaian dan usaha yang cermat
untuk memahami pengalaman nyeri pasien dan mengidentifikasi kausa sehingga kausa
tersebut dapat dihilangkan, apabila mungkin, hal yang pertama harus dilakukan adalah
anamnesis yang teliti untuk mengenal jenis nyeri yang dialami oleh pasien. Berikut
adalah data yang diperlukan untuk menilai nyeri ;
Tabel. 1. Data Esensial yang Perlu dikumpulkan untuk menilai Nyeri
Karateristik Nyeri
Lokasi

Pertanyaan untuk pasien


Dimana terasa nyeri?
Apakah nyeri menyebar?
15

Apakah nyeri di permukaan atau didalam?


Kapan nyeari dimulai?
Apakah nyeri timbul mendadak atau perlahan?
Apakah ada kejadian tertentu yang

Cara awitan

Pola
(penentuan waktu,
frekuensi, durasi)
Faktor yang
memperberat dan

tampaknya

menimbulkan nyeri saat nyeri tersebut dimulai?


Kapan nyeri timbul (pagi, siang, malam)?
Seberapa sering nyeri timbul?
Apakah nyerinya terus menerus atau hilang timbul?
Seberapa lama nyeri menetap?

Apa yang kira-kira memicu nyeri?


Apa yang menyebabkan nyeri bertambah parah? (misalnya
pergerakan atau perubahan posisi, batuk atau mengejan,

memper ringan.

minum atau makan)


Apa yang menyebabkan nyeri

berkurang (misalnya

beridtirahat, tidur, merubah posisi misalnya berdiri, duduk,


Kualitas

berbaring atau membungkuk, makanan atau antasid)


Seperti apa nyeri terasa? (misalnya berdenyut, tumpul,

Intensitas

pegal, tajam, seperti tertusuk, perih, speerti terbakar.)


Seberapa hebat nyerinya? (minta pasien mengukur nyeri
menggunakan skala analog visual atau verbal, sebelum dan
sesudah pengbatan)
Apakah ada masalah lain yang ditimbulkan oleh nyeri ?

Gejala terkait
Efek

pada

(misalnya anoreksia, mual, muntah, insomnia)


gaya Apakah nyaeri mengganggu aktifitas anda di rumah,

hidup

Metode untuk
mengurangi nyeri

pekerjaan, atau interaksi sosial normal?


Apakah nyeri mengganggu keseharian hidup anda?
(misalnya, makan, tidur, aktivitas seksual, menyetir)
Apa yang pernah dapat menolong mengurangi nyeri anda?
Apa yang tidak bermanfaat untuk mengurangi nyeri anda?

Setelah mendapatkan data dari anamnesis untuk menilai nyeri, untuk nyeri neuropatik
kita dapat melakukan pemeriksaan dengan menggunkan DN4 (Deouleur neuropatique 4
Question) atau LANSS Scoring (Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and
Signs pain scale).
Berikut adalah LANSS Scoring (Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and
Signs pain scale):

16

Jika skor yang diperoleh lebih dari 12 berarti mengarah ke nyeri neuropatik.
A.
Pemerikasaan Fisik, meliputi:

Pemeriksaan fisik umum

Pemeriksaan neurologis, seperti: kesadaran, saraf-saraf cranial, motorik,


sensorik, otonom, fungsi kortikal luhur.
B.
Pemeriksaan Penujang, dilakukan berdasarkan atas indikasi.
17

2.7 PENATALAKSANAAN
Obat-obatan yang banyak digunakan sebagai terapi nyeri neuropati adalah anti
depresan trisiklik dan anti konvulsan karbamasepin
.
i.

Anti depresan
Dari berbagai jenis anti depresan, yang paling sering digunakan untuk terapi

nyeri neuropati adalah golongan trisiklik, seperti amitriptilin, imipramin, maprotilin,


desipramin. Mekanisme kerja anti depresan trisiklik (TCA) terutama mampu
memodulasi transmisi dari serotonin dan norepinefrin (NE). Anti depresan trisiklik
menghambat pengambilan kembali serotonin (5-HT) dan noradrenalin oleh reseptor
presineptik. Disamping itu, anti depresan trisiklik juga menurunkan jumlah reseptor 5HT (autoreseptor), sehingga secara keseluruhan mampu meningkatkan konsentrasi 5-HT
dicelah sinaptik. Hambatan reuptake norepinefrin juga meningkatkan konsentrasi
norepinefrin dicelah sinaptik. Peningkatan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik
menyebabkan penurunan jumlah reseptor adrenalin beta yang akan mengurangi aktivitas
adenilsiklasi. Penurunan aktivitas adenilsiklasi ini akan mengurangi siklik adenosum
monofosfat dan mengurangi pembukaan Si-Na. Penurunan Si-Na yang membuka berarti
depolarisasi menurun dan nyeri berkurang.
ii.

Anti konvulsan
Anti konvulsan merupakan gabungan berbagai macam obat yang dimasukkan

kedalam satu golongan yang mempunyai kemampuan untuk menekan kepekaan


abnormal dari neuron-neuron di sistem saraf sentral. Seperti diketahui nyeri neuropati
timbul karena adanya aktifitas abnormal dari sistem saraf. Nyeri neuropati dipicu oleh
hipereksitabilitas sistem saraf sentral yang dapat menyebabkan nyeri spontan dan
paroksismal. Reseptor NMDA dalam influks Ca2+ sangat berperan dalam proses
kejadian wind-up pada nyeri neuropati. Prinsip pengobatan nyeri neuropati adalah
penghentian proses hiperaktivitas terutama dengan blok Si-Na atau pencegahan
sensitisasi sentral dan peningkatan inhibisi.

18

iii.

Karbamasepin dan Okskarbasepin


Mekanisme kerja utama adalah memblok voltage-sensitive sodium channels

(VSSC). Efek ini mampu mengurangi cetusan dengan frekuensi tinggi dari neuron.
Okskarbasepin merupakan anti konvulsan yang struktur kimianya mirip karbamasepin
maupun amitriptilin. Dari berbagai uji coba klinik, pengobatan dengan okskarbasepin
pada berbagai jenis nyeri neuropati menunjukkan hasil yang memuaskan, sama, atau
sedikit diatas karbamazepin, hanya saja okskarbasepin mempunyai efek samping yang
minimal.
iv. Lamotrigin
Merupakan anti konvulsan baru untuk stabilisasi membran melalui VSCC,
merubah atau mengurangi pelepasan glutamat maupun aspartat dari neuron presinaptik,
meningkatkan konsentrasi GABA di otak. Khusus untuk nyeri neuropati penderita HIV,
digunakan lamotrigin sampai dosis 300 mg perhari. Hasilnya, efektivitas lamotrigin
lebih baik dari plasebo, tetapi 11 dari 20 penderita dilakukan penghentian obat karena
efek samping. Efek samping utama lamotrigin adalah skin rash, terutama bila dosis
ditingkatkan dengan cepat.
v. Gabapentin
Akhir-akhir ini, penggunaan gabapentin untuk nyeri neuropati cukup populer
mengingat efek yang cukup baik dengan efek samping minimal. Khusus mengenai
gabapentin, telah banyak publikasi mengenai obat ini diantaranya untuk nyeri neuropati
diabetika, nyeri pasca herpes, nyeri neuropati sehubungan dengan infeksi HIV, nyeri
neuropati sehubungan dengan kanker dan nyeri neuropati deafferentasi. Gabapentin
cukup efektif dalam mengurangi intensitas nyeri pada nyeri neuropati yang disebabkan
oleh neuropati diabetik, neuralgia pasca herpes, sklerosis multipel dan lainnya.
Dalochio, Nicholson mengatakan bahwa gabapentin dapat digunakan sebagai terapi
berbagai jenis neuropati sesuai denngan kemampuan gabapentin yang dapat masuk
kedalam sel untuk berinteraksi dengan reseptor 2 yang merupakan subunit dari Ca2+channel.
Pengobatan Step-Ladder WHO ;
1) OAINS efekif untuk nyeri ringan sedang, opioid efektif untuk nyeri sedang-berat.
19

2) Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah (langkah 1 dan 2 ) dengan


pemberian intermiten (pro renata ) opioid yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
3) Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang berat, dapat
ditingkatkan menjadi 3 (ganti dengan opioid kuat dan analgesik dalam kurun waktu 24
jam setelah langkah 1 )
4) Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering digunakan adalah
morfin, kodein
5) Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid ringan.
6) Jika fase nyeri akut pasien telah terlewat, lakukan pengurangan dosis secara bertahap
Intravena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid Oral: antikonvulsan, antidepresan,
antihistamin, anxiolytie, kortikosteroid, anestesi lokal, OAINS, opioid, tramadol
Rektal (supositoria): parasetamol, aspirin, opioid, fenotiazin, Topical: lidokain patch,
EMLA Subkutan : opioid, anestesi lokal

20

BAB III
KESIMPULAN

Nyeri neuropatik yang didefinisikan sebagai nyeri akibat lesi jaringan saraf baik
perifer maupun sentral bisa diakibatkan oleh beberapa penyebab seperti amputasi, toksis
(akibat khemoterapi) metabolik (diabetik neuropati) atau juga infeksi misalnya herpes
zoster pada neuralgia pasca herpes dan lain-lain. Nyeri pada neuropatik bisa muncul
spontan (tanpa stimulus) maupun dengan stimulus atau juga kombinasi.
Klasifikasi nyeri neuropati terbagi menjadi 2, yakni berdasarkan penyakit yang
mendahului dan letak anatomisnya, dan berdasarkan gejala. Berdasarkan penyakit yang
mendahului dan letak anatomisnya, nyeri neuropati terbagi menjadi

Perifer, dapat diakibatkan oleh neuropati, nueralgia pasca herpes zoster,


trauma susunan saraf pusat, radikulopati, neoplasma, dan lain-lain

Medula spinalis, dapat diakibatkan oleh multiple sclerosis, trauma medula


spinalis, neoplasma, arakhnoiditis, dan lain-lain

Otak, dapat diakibatkan oleh stroke, siringomielia, neoplasma, dan lain-lain.

Berdasarkan gejala, nyeri neuropati terbagi menjadi :

Nyeri spontan (independent pain)

Nyeri oleh karena stimulus (evoked pain)

Gabungan antara keduanya.

Obat-obatan yang banyak digunakan sebagai terapi nyeri neuropati adalah anti
depresan trisiklik dan anti konvulsan karbamasepin
21

DAFTAR PUSTAKA

1. Purba JS. Penggunaan Obat Antiepilepsi sebagai terapi Nyeri Neuropatik. [serial
online] Oktober 2006 [cited 2008 February 8] : [3 screens]. Available from: URL:
http://www.dexa-medica.com
2. Meliala L, Pinzon R. Breakthrough in Management of Acute Pain. [serial online]
Oktober 2007 [cited 2008 February 2008] : [4 screens]. Available from: URL :
http://www.dexa-medica.com
3. Argoff CE. Managing Neuropathic Pain: New Approaches For Today's Clinical
Practice. [online] 2002 [cited 2008 February 8] : [31 screens]. Available from:
URL : http://www.medscape.com/viewprogram/2361.htm
4. Richeimer S. Understanding neuropathic pain. [online] 2007 [cited 2008 February
8] : [6 screens]. Available from URL : http://www.spineuniverse.com
5. Beydoun A. Symptomatic treatment of neuropathic pain: a focus on the role of
anticonvulsants. [online] April 2001 [cited 2008 Februari 2008] : [20 screens].
Available from: URL : http://www.medscape.com/viewprogram/220.htm
6. Zeltzer L. The use of topical analgesics in the treatment of neuropathic pain:
mechanism of action, clinical efficacy, and psychologic correlates. [online] 2004
[cited 2008 Februari 8] : [2 screens]. Available from: URL:
http://www.medscape.com
7. Kasper, Dennis et al. 2005. Harrisons Principles of internal Medicine 16th edition.
McGraw-Hill.
8. Ropper, A and Brown, R. 2005. Pain. Adams And Victors Principles Of
Neurology. Eight Edition. McGraw-Hill. New York
9. Baron, Ralf, et al. 2010. Neuropathic Pain: diagnosis, pathophysiological
mechanism, and treatment. Lancelot Neural; 9: 807-19.
10. Baron, Ralf. 2006. Mechanism of Disease: neuropathic pain-a clinical
perspective. Nature Publishing Group.

22

11. Cohen SP, Jianen M. 2014. Neuropathic Pain : Mechanism and Their Clinical
Implication. USA : BMJ. PP; 348-60.

23

Anda mungkin juga menyukai