BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit infeksi parasit, salah satunya infeksi yang disebabkan oleh cacing,
memperlihatkan prevalensi yang lebih tinggi pada negara-negara berkembang, yang
umumnya terletak pada daerah tropis dan subtropis. Dampak yang berat dari penyakit infeksi
ini di negara berkembang terutama disebabkan kepadatan penduduk, keadaan kesehatan dan
perumahan, serta akses untuk pertolongan medis yang kurang memadai. Dikatakan pula
bahwa masyarakat pedesaan atau daerah perkotaan yang sangat padat dan kumuh merupakan
sasaran yang mudah terkena infeksi cacing (Moersintowarti, 1992).
Anak usia 6-15 tahun adalah penderita terbanyak infeksi Soil Transmitted Helminths
(STHs). Cacing yang tergolong dalam kelompok STH adalah cacing yang dalam
menyelesaikan siklus hidupnya memerlukan tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi
bentuk infektif. Empat jenis STH yang paling sering ditemukan adalah cacing gelang
(roundworm/Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang
(Necator americanus dan Ancylostoma duodenale). Laporan terakhir memperkirakan infeksi
A. Lumbricoides besarnya 1,221 miliar, T. trichiura 795 juta dan cacing tambang 740 juta.(2)
Anak-anak ini berada pada puncak pertumbuhan, sementara infeksi cacing yang terjadi dapat
memperburuk tingkat malnutrisi dan anemia yang berpotensi memperlambat pertumbuhan
dan menjadi rentan terhadap penyakit lain. Akibatnya pertumbuhan yang terputus tidak
terelakkan lagi, dan akan segera dimulai (WHO, 2003).
Di Indonesia, masalah anemia kekurangan besi merupakan salah satu masalah gizi
utama, disamping masalah kekurangan energi protein (KEP), gangguan akibat kekurangan
yodium (GAKY), dan kekurangan vitamin A (KVA). Menurut data Depkes, total penderita
anemia pada tahun 2000 mencapai 100.296.688 penduduk (Soekirman, 2003). Anak usia
sekolah merupakan salah satu kelompok yang banyak ditemukan menderita masalah gizi
tersebut, disamping ibu hamil dan anak-anak prasekolah.
Belakangan ini, prevalensi anak yang terkena infeksi cacing Ancylostoma duodenale
dan Ascaris Lumbricoides meningkat di RS. Sidowaras. Pada pemeriksaan darah anak yang
terinfeksi cacing ini ditemukan anemia hipokrommikrositik. Hal ini menyebabkan peneliti
berkeinginan menelusuri hubungan antara infeksi cacing Ancylostoma duodenale dan Ascaris
Lumbricoides dan anemia melalui penelitian ilmiah.
BAB II
KERANGKA TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
Kelompok risiko tinggi infeksi soil-transmitted helminth adalah anakanak dan wanita usia produktif.
Untuk mengendalikan infeksi helmin di masyarakat, Badan Kesehatan Sedunia (World Health
Organization) memberikan panduan yang intinya meliputi tiga tindakan pokok dalam sebuah upaya
terpadu, yaitu: kemoterapi, perbaikan sanitasi dan pendidikan kesehatan.
Cacing yang tergolong dalam kelompok STH adalah cacing yang dalam menyelesaikan siklus
hidupnya memerlukan tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk infektif. Empat jenis STH
yang paling sering ditemukan adalah cacing gelang (roundworm/Ascaris lumbricoides), cacing
cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale).
Laporan terakhir memperkirakan infeksi A. Lumbricoides besarnya 1,221 miliar, T. trichiura 795 juta
dan cacing tambang 740 juta.(1) Diperkirakan lebih dari dua miliyar orang mengalami infeksi di
seluruh dunia di antaranya sekitar 300 juta menderita infeksi helminth
yang berat dan sekitar 150.000 kematian terjadi setiap tahun akibat infeksi STH. Di samping
itu infeksi helmin juga berdampak terhadap gizi, pertumbuhan fisik, mental, kognitif dan
kemunduran intelektual pada anak-anak.(2,3)
Anak-anak usia sekolah mempunyai risiko paling tinggi untuk terjadinya manifestasi klinis dari
infeksi ini.
Epidemiologi Ascariasis
Pada umumnya frekuensi tertingi penyakit ini diderita oleh anak-anak sedangkan orang dewasa
frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena kesadaran anak-anak akan kebersihan dan
kesehatan masih rendah ataupun mereka tidak berpikir sampai ke tahap itu. Sehingga anak-anak lebih
mudah diinfeksi oleh larva cacing Ascaris misalnya melalui makanan, ataupun infeksi melalui kulit
akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur Ascaris lumbricoides. Faktor host
merupakan salah satu hal yang penting karena manusia sebagai sumber infeksi dapat mengurangi
kontaminasi ataupun pencemaran tanah oleh telur dan larva cacing, selain itu manusia justru akan
menambah tercemarnya lingkungan sekitarnya. Prevalensi Ascariasis di daerah pedesaan lebih tinggi,
hal ini terjadi karena buruknya sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban sehingga
tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada
golongan masyarakat yang memiliki tingkat sosial ekonomi yang rendah, sehingga memiliki
kebiasaan buang air besar (defekasi) ditanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur
cacing yang infektif dan larva cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus menerus pada
daerah endemik (Brown dan Harold, 1983).
Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik dengan suhu optimal adalah 23 o
C sampai 30o C. Jenis tanah liat merupakan tanah yang sangat cocok untuk perkembangan telur
cacing, sementara dengan bantuan angin maka telur cacing yang infektif bersama dengan debu dapat
menyebar ke lingkungan.
Prevalensi anemia mencapai 40%
stadium III yang bersifat infektif. Telur-telur ini tahan terhadap pengaruh cuaca buruk, berbagai
desinfektan dan dapat tetap hidup bertahun-tahun di tempat yang lembab. Didaerah hiperendemik,
anak-anak terkena infeksi secara terus menerus sehingga jika beberapa cacing keluar, yang lain
menjadi dewasa dan menggantikannya. Apabila makanan atau minuman yang mengandung telur
ascaris infektif masuk kedalam tubuh maka siklus hidup cacing akan berlanjut sehingga larva itu
berubah menjadi cacing. Jadi larva cacing ascaris hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan
yang tidak dimasak ataupun melalui kontak langsung dengan kulit (Soedarto, 1991).
Kelainan Patologi
Infeksi ringan cacing ini biasanya ditandai dengan sedikit gejala atau tanpa gejala sama sekali.
Kelainan patologi yang terjadi, disebabkan oleh dua stadium sebagai berikut (Beaver dkk, 1984;
Markell dkk, 1999; Strikland, G.T. dkk, 2000):
1. Kelainan oleh larva, yaitu berupa efek larva yang bermigrasi di paru (manifestasi respiratorik).
Gejala yang timbul berupa demam, dyspneu, batuk, malaise bahkan pneumonia. Gejala ini terjadi 416 hari setelah infeksi. Cyanosis dan tachycardia dapat ditemukan pada tahap akhir infeksi. Semua
gejala ini dinamakan Ascaris pneumonia atau Syndroma loffler. Kelainan ini akan menghilang dalam
waktu 1 bulan.
2. Kelainan oleh cacing dewasa, berupa efek mekanis yang jika jumlahnya cukup banyak, akan
terbentuk bolus dan menyebabkan obstruksi parsial atau total. Migrasi yang menyimpang dapat
menyebabkan berbagai efek patologi, tergantung kepada tempat akhir migrasinya. Infeksi Ascaris
lumbricoides dapat menyebabkan gangguan absorbsi
protein, dan cacing ini dapat memetabolisme vitamin A, sehingga menyebabkan kekurangan gizi,
defisiensi vitamin A dan anemia ringan
Infeksi cacing tambang
Cacing dewasa hidup dan melekat pada mukosa jejunum dan bagian atas ileum. Penularan terjadi
karena penetrasi larva filariform melalui kulit atau pada Ancylostoma duodenale lebih sering tertular
karena tertelan larva filariform dari pada penetrasi larva tersebut melalui kulit.
Infeksi ringan cacing ini biasanya ditandai dengan sedikit gejala atau tanpa gejala sama sekali. Pada
infeksi yang berat, kelainan patologi yang terjadi, disebabkan oleh tiga fase sebagai berikut (Tanaka
dkk, 1980; Beaver dkk, 1984):
1. Fase
cutaneus,
yaitu
cutaneus
larva
migrans,
Larva ini menyebabkan dermatitis yang disebut Ground itch. Timbul rasa nyeri dan gatal pada
tempat penetrasi.
2. Fase pulmonary, berupa efek yang disebabkan oleh migrasi larva dari pembuluh darah kapiler ke
alveolus. Larva ini menyebabkan batuk kering, asma yang disertai dengan wheezing dan demam.
3. Fase intestinal, berupa efek yang disebabkan oleh perlekatan cacing dewasa pada mukosa usus
halus dan pengisapan darah. Cacing ini dapat mengiritasi usus halus menyebabkan mual, muntah,
nyeri perut, diare, dan feses yang berdarah dan berlendir. Anemia defisiensi besi dijumpai pada infeksi
cacing tambang kronis akibat kehilangan darah melalui usus akibat dihisap oleh cacing tersebut di
mukosa usus. Jumlah darah yang hilang per hari per satu ekor cacing adalah 0,03 mL pada infeksi
Necator americanus dan 0,15 mL pada infeksi Ancylostoma duodenale. Jumlah darah yang hilang
setiap harinya adalah 2 mL/1000 telur/gram tinja pada infeksi Necator americanusdan 5 mL/1000
telur/gram tinja pada infeksi
mencapai level 5 gr/dl atau lebih rendah. Pada anak, infeksi cacing ini dapat menganggu pertumbuhan
fisik dan mental. Kehilangan protein secara kronik akibat infeksi cacing tambang
dapat menyebabkan hipoproteinemia dan anasarka.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan / Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian observasional dengan studi cross-sectional (potong
lintang) untuk mengetahui jumlah cacing Ancylostoma duodenale dan Ascaris Lumbricoides dan
HB yang berpengaruh terhadap anemia.
3.2 Variabel
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah
- Jenis kelamin
- Usia
- Pola makan
- Lingkungan tempat tinggal
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah
- Jumlah Hb
- Ukuran Hb
3.3 Cara Penarikan Sampling
Cara penarikan sampling pada penelitian ini adalah dengan cara Sistematic Random Sampling.
Peneliti memilih sebanyak 50% dari prevalensi anak yang menderita infeksi cacing Ancylostoma
duodenale dan Ascaris Lumbricoides dengan anemia.
3.4 Prosedur Pengumpulan Data
Data yang diperoleh adalah status kecacingan dan data kadar Hb.
Data status kecacingan ditentukan dengan cara pemeriksaan KatoKatz dan Data kadar Hb dinilai
dengan metode Hemocue. Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan di
laboratorium dengan menentukan apakah anak tersebut menderita infeksi atau tidak dengan
menilai apakah terdapat telur cacing Ancylostoma duodenale dan Ascaris Lumbricoide jumlah
telur pada tinja anak tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan test kadar Hb untuk menentukan
anemia atau tidak.
3.5 Metode Analisis Data
Metode analisis data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis statistik T-test
dengan nilai P < 0,05. Nilai P yang bukan <0,05 dianggap tidak bermakna.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Simadibrata K Marcellus, Achmad Fauzi. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta :
Interna Publishing; 2009. P. 621.
2.
3.
Crompton DW. How much helminthiasis is there in the world? J Parasitol 1999; 85: 397-403.
4.
Montresor A, Crompton DW, Gyorkos TW, Savioli L. Helminth control in school-age children: a
guide for managers of control programmes. Geneva: World Health Organization; 2002.
5.
6.
7.
8.
9.
10. Hotez PJ, Brooker S, Bethony JM, Botazzi ME, Loukas A, Xiao S. Hookworm infection. N Engl
J Med 2004; 19: 547-51.
http://repository.unand.ac.id/17303/1/BEBERAPA_FAKTOR_YANG_BERHUBUNGAN_DENGAN
_KEJADIAN_INFEKSI_CACING_ASKARIASIS__LUMBRICOIDES_PADA.pdf
http://www.undp.or.id/pubs/docs/Let%20Speak%20Out%20for%20MDGs%20-%20ID.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19104/1/ikm-jun2007-11%20(12).pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16639/4/Chapter%20II.pdf
http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2012/04/Tutik.pdf
http://eprints.undip.ac.id/4608/1/0417.pdf