Problematika Pendidikan Indonesia
Problematika Pendidikan Indonesia
Problematika Pendidikan
Indonesia (Tanggapan untuk Agus
Suwignyo dan Marsel Ruben
Payong)
Oleh Kusuma Andrianto*
SELANJUTNYA, benang merah yang bisa ditarik dari tulisan itu adalah
pentingnya kerja sama antara perusahaan dan lembaga pendidikan, sebagai
penyedia input sumber daya manusia (SDM). Tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Suwignyo, Marsel Ruben Payong (Kompas, 19 April 2004)
menggarisbawahi hubungan signalling perguruan tinggi (PT) dengan dunia
industri, terutama dari kesiapan dan relevansi kurikulum PT.
Dalam ilmu ekonomi, kita dengan mudah menemukan apa yang ingin
disampaikan oleh Suwignyo dan Payong dalam literatur information economics
(ekonomi informasi) dan proses signalling. Sementara itu, persoalan yang
dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sebenarnya jauh lebih kompleks daripada
sekadar interaksi pasar antara PT dan industri. Dengan kata lain, baik Suwignyo
maupun Payong telah mereduksi permasalahan menjadi sebuah kepingan puzzle,
tanpa memberikan pemahaman keseluruhan alias the big picture akan persoalan
pendidikan Indonesia.
Ini tidak mengherankan karena kecenderungan manusia adalah apabila kita
memperhatikan ’pohon’, kita tidak melihat ’hutan’ secara keseluruhan. Sebelum
kesalahpahaman semakin berlarut-larut, tulisan ini mengajak pembaca untuk
melihat problematika penyelenggaraan pendidikan Indonesia dalam perspektif
yang lebih jernih dan menyeluruh.
Pendidikan dasar
Dari kedua "kasus" pendidikan PT dan SD di atas, kesimpulan yang dapat kita
ambil adalah pola pendidikan tinggi di Indonesia meneruskan "tradisi" pendidikan
SD yang sarat dengan muatan, namun sedikit relevansi. Mengapa ini semua bisa
terjadi? Jawabannya terletak pada kesalahpahaman pengelola pendidikan formal
yang semata menekankan pentingnya kelulusan dan muatan pengajaran. Tidak
jarang akhirnya siswa terpaksa mengikuti pelajaran tambahan, baik yang
diselenggarakan oleh sekolah yang bersangkutan maupun lembaga lain, semata-
mata untuk mengejar target beban dan kelulusan.
Pada saat itu kurikulum Indonesia didesain meniru pendidikan Belanda, yang
tujuannya tidak lain adalah mempersiapkan lulusan untuk bekerja di kantor-
kantor VOC, menjadi pegawai kompeni yang dianggap berstatus nomor wahid.
Kebanyakan akhirnya beralih menjadi pegawai negeri setelah Indonesia merdeka
dan kompeni hengkang. Pertanyaannya sekarang adalah apakah ini masih
relevan? Karakter sebagai fitrah
Ibarat tanaman tropis tidak dapat tumbuh baik di iklim dengan empat musim,
manusia juga memiliki berbagai karakter sehingga tidak dapat disamaratakan.
Tujuan pendidikan bukanlah menyeragamkan kemampuan murid hingga
memahami seluruh muatan pendidikan dan lulus ujian, melainkan
mengidentifikasi dan mengembangkan karakter-karakter unggul yang dimiliki
peserta didik. Sudah saatnya kita memperbaiki kurikulum pendidikan Indonesia-
yang tidak banyak berubah sejak setengah abad yang lalu-untuk lebih
menghargai fitrah manusia. Tidak semua orang ingin menjadi pegawai negeri,
bukan?
Nah, sekarang coba kita berandai-andai. Kalau seorang "tukang-kayu" saja bisa
jadi kandidat orang nomor satu terkaya, padahal bahan utamanya-physical
capital-berasal dari negara kita. Bisa dibayangkan betapa besarnya potensi yang
dimiliki Indonesia apabila human capital-nya diolah dengan benar.