Anda di halaman 1dari 5

05 November 2004 - 12:22 (Diposting oleh: Editor)

Problematika Pendidikan
Indonesia (Tanggapan untuk Agus
Suwignyo dan Marsel Ruben
Payong)
Oleh Kusuma Andrianto*

TULISAN Agus Suwignyo di Kompas (8 April 2004) menggarisbawahi urgensi


dan relevansi sistem pendidikan Indonesia, terutama dari sudut peserta didik.
Suwignyo menyimpulkan bahwa signalling yang ingin disampaikan oleh sektor
industri di Indonesia adalah betapa pentingnya karakter personal dan interpersonal
lulusan perguruan tinggi dalam proses rekrutmen.

SELANJUTNYA, benang merah yang bisa ditarik dari tulisan itu adalah
pentingnya kerja sama antara perusahaan dan lembaga pendidikan, sebagai
penyedia input sumber daya manusia (SDM). Tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Suwignyo, Marsel Ruben Payong (Kompas, 19 April 2004)
menggarisbawahi hubungan signalling perguruan tinggi (PT) dengan dunia
industri, terutama dari kesiapan dan relevansi kurikulum PT.

Dalam ilmu ekonomi, kita dengan mudah menemukan apa yang ingin
disampaikan oleh Suwignyo dan Payong dalam literatur information economics
(ekonomi informasi) dan proses signalling. Sementara itu, persoalan yang
dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sebenarnya jauh lebih kompleks daripada
sekadar interaksi pasar antara PT dan industri. Dengan kata lain, baik Suwignyo
maupun Payong telah mereduksi permasalahan menjadi sebuah kepingan puzzle,
tanpa memberikan pemahaman keseluruhan alias the big picture akan persoalan
pendidikan Indonesia.
Ini tidak mengherankan karena kecenderungan manusia adalah apabila kita
memperhatikan ’pohon’, kita tidak melihat ’hutan’ secara keseluruhan. Sebelum
kesalahpahaman semakin berlarut-larut, tulisan ini mengajak pembaca untuk
melihat problematika penyelenggaraan pendidikan Indonesia dalam perspektif
yang lebih jernih dan menyeluruh.

Pendidikan dasar

Proses pembentukan SDM- sebagian kalangan menyebutnya human capital-adalah


meliputi seluruh kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan pribadi individu,
ditinjau dari banyak segi, dari sejak usia dini hingga terjun dalam dunia
profesional. Jadi, ini mencakup sekolah, baik formal maupun informal, pelatihan,
on-the-job training, dan semua kegiatan lain yang bertujuan meningkatkan
pengetahuan.

Akan kaitannya dengan pemberdayaan SDM tersebut, Suwignyo menekankan


signifikansi penilaian kemampuan dan kreativitas individu sebelum memasuki
dunia profesional, sementara Payong berargumen bahwa PT seyogianya lebih
berani membuat terobosan mata kuliah baru yang lebih relevan bagi dunia kerja.
Namun, sayangnya, saran kedua penulis bahwa proses ini dapat dilakukan pada
tahap pendidikan tingkat lanjut sesungguhnya tidak tepat. Ini sudah pasti sangat
terlambat. Pembentukan SDM justru harus dilakukan sejak usia dini ketika siswa
masih ’lentur’. Apabila proses peningkatan SDM dipaksakan pada tingkat lanjut,
katakanlah PT, akibat yang ditimbulkan justru negatif. Ibarat membentuk
tembikar tanah liat yang telah mulai mengering dan mengeras.

Seorang rekan mahasiswa di Inggris pernah melemparkan lelucon bahwa kuliah di


PT luar negeri lebih "mudah" dan setelah lulus juga lebih cepat untuk
mendapatkan lapangan pekerjaan. Adapun kuliah di PT dalam negeri jauh lebih
"sulit" karena terlalu banyak mata kuliah yang tidak jelas relevansinya.
Celakanya, setelah lulus pun akhirnya jadi pengangguran. Saat mendengar seloroh
itu, seketika saya teringat kejadian beberapa tahun yang lalu sewaktu tanpa
sengaja mengamati materi ujian seorang keponakan yang masih duduk di sekolah
dasar (SD). Saya terkejut bukan kepalang! Betapa tidak? Pertanyaan yang
diajukan benar-benar sulit, dan terus terang saya sangsi apakah seorang
mahasiswa sanggup menjawabnya.

Dari kedua "kasus" pendidikan PT dan SD di atas, kesimpulan yang dapat kita
ambil adalah pola pendidikan tinggi di Indonesia meneruskan "tradisi" pendidikan
SD yang sarat dengan muatan, namun sedikit relevansi. Mengapa ini semua bisa
terjadi? Jawabannya terletak pada kesalahpahaman pengelola pendidikan formal
yang semata menekankan pentingnya kelulusan dan muatan pengajaran. Tidak
jarang akhirnya siswa terpaksa mengikuti pelajaran tambahan, baik yang
diselenggarakan oleh sekolah yang bersangkutan maupun lembaga lain, semata-
mata untuk mengejar target beban dan kelulusan.

Celakanya, sebagian besar masyarakat tidak punya banyak pilihan selain


memercayakan pendidikan siswa semata kepada pendidikan formal. Sedemikian
parahnya "beban" yang ditanggung peserta didik sehingga sebuah sekolah
taman kanak-kanak di Jakarta menjalankan prosedur tes psikologi bagi calon
siswa! (Kompas, 18 April 2004).

Pendidikan dan politik

Banyak kekeliruan yang seharusnya dapat dielakkan dalam pengelolaan


pendidikan. Yang perlu diingat adalah bahwa kontrol sosial terhadap pendidikan
formal adalah hal mutlak dan harus selalu diutamakan. Pendidikan di Indonesia
terlalu berharga untuk semata diserahkan mentah-mentah kepada para ’pendidik’
dan birokrat, apalagi para politisi pembuat undang-undang (UU) pendidikan. Di
saat hiruk-pikuk kampanye pemilu, siapa yang peduli dengan pengembangan
pendidikan? Partai mana yang berani "menjual" platform pendidikan? Berapa
anggaran pendidikan partai politik apabila mereka menang pemilu?

Pendidikan selalu merupakan hal yang terabaikan dalam politik sehingga


akhirnya tak heran apabila tak ada satu partai pun yang peduli bahwa kegiatan
belajar mengajar di SMPN 56 Jakarta Selatan digusur sehingga siswa terpaksa
belajar di luar (Kompas, 19 April 2004).

Seberapa parahnya persoalan pendidikan Indonesia terungkap jelas dalam


artikel, UAN Apa yang Kau Cari? (Kompas, 17 April 2004). Tulisan ini jelas- jelas
menyatakan bahwa kurikulum dan sasaran pendidikan Indonesia tidak
mengalami perubahan berarti sejak lebih dari setengah abad yang lalu.

Pada saat itu kurikulum Indonesia didesain meniru pendidikan Belanda, yang
tujuannya tidak lain adalah mempersiapkan lulusan untuk bekerja di kantor-
kantor VOC, menjadi pegawai kompeni yang dianggap berstatus nomor wahid.
Kebanyakan akhirnya beralih menjadi pegawai negeri setelah Indonesia merdeka
dan kompeni hengkang. Pertanyaannya sekarang adalah apakah ini masih
relevan? Karakter sebagai fitrah

Penyelenggara pendidikan di negara maju memahami persis bahwa fitrah


manusia memang berbeda-beda, sebagaimana halnya sifat alam. Penghargaan
akan talenta dan keunikan SDM dihargai sedemikian tinggi sehingga tidak heran
apabila atlet atau penyanyi memiliki penghasilan berkali lipat lebih besar
daripada bankir, birokrat, apalagi politisi.

Ibarat tanaman tropis tidak dapat tumbuh baik di iklim dengan empat musim,
manusia juga memiliki berbagai karakter sehingga tidak dapat disamaratakan.
Tujuan pendidikan bukanlah menyeragamkan kemampuan murid hingga
memahami seluruh muatan pendidikan dan lulus ujian, melainkan
mengidentifikasi dan mengembangkan karakter-karakter unggul yang dimiliki
peserta didik. Sudah saatnya kita memperbaiki kurikulum pendidikan Indonesia-
yang tidak banyak berubah sejak setengah abad yang lalu-untuk lebih
menghargai fitrah manusia. Tidak semua orang ingin menjadi pegawai negeri,
bukan?

Ada fenomena menarik belakangan ini sehubungan dengan semakin merosotnya


nilai dollar dan semakin berlarut-larutnya kasus pelanggaran UU antimonopoli
program aplikasi komputer. Bila terbukti Windows menyalahi UU antimonopoli di
Eropa, bisa jadi predikat orang terkaya nomor satu akan berpindah dari pimpinan
Microsoft, pembuat sistem operasi tersebut, kepada bos IKEA, seorang "tukang
kayu". Di negara kita mungkin tidak begitu terkenal, tetapi cabang IKEA sudah
tersebar di mana-mana di seluruh dunia, padahal sumber utama kayunya berasal
dari hutan tropis Indonesia.

Nah, sekarang coba kita berandai-andai. Kalau seorang "tukang-kayu" saja bisa
jadi kandidat orang nomor satu terkaya, padahal bahan utamanya-physical
capital-berasal dari negara kita. Bisa dibayangkan betapa besarnya potensi yang
dimiliki Indonesia apabila human capital-nya diolah dengan benar.

* Kusuma Andrianto adalah Mahasiswa PhD, Peneliti Human Capital Leeds


University Business School, UK. Tulisan ini pertama kali dimuat di harian:
Kompas, Jumat, 30 April 2004

Anda mungkin juga menyukai