Anda di halaman 1dari 27

Langsa, 6 Nopember 2015

Kepada Yth ;
Bapak/Ibu : Ka.Prodi S.1 Keperawatan
STIKes Langsa
Di.
Tempat
Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama

: ASMARA

NPM

: 12.1.0236

Semester

: VIII

Prodi

: S1 Keperawatan

Alamat

: Jl. Panglima Polem Asrama Gajah II No. 127 Gp. Jawa Langsa Kota

Bersama ini saya mengajukan judul skripsi kepada Bapak/Ibu Ka. Prodi S.1 Keperawatan
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan di STIKes Langsa.
Adapun judul skripsi yang saya ajukan sebagai berikut :
1. Hubungan Pengetahuan Penderita Tentang Tuberculosis Paru Dengan Perilaku
Kepatuhan Minum Obat di Wilayah Kerja Puskesmas Manyak Payed.
2. Hubungan Status Gizi Dengan Pola Asuh Ibu Terhadap Status Gizi Anak Balita di
Wilyah Kerja Puskesmas Manyak Payed.
3. Tingkat Pengetahuan Ibu Menyusui Tentang ASI Eksklusif di Puskesmas Manyak
Payed.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga Bapak/Ibu dapat mengabulkan salah satu
judul diatas sebagai judul skripsi saya.

Hormat Saya

ASMARA

HUBUNGAN PENGETAHUAN PENDERITA TENTANG TUBERCULOSIS PARU


DENGAN PERILAKU KEPATUHAN MINUM OBAT DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS MANYAK PAYED
A. Latar Belakang
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes RI, 2012).
Menurut Kemenkes RI (2012) penularan TB pada saat penderita bersin/batuk,
penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak) oleh
orang dihirup ke saluran pernafasan. Kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar
dalam beberapa jam. Menurut Pharmaceutical care tuberculosis memiliki gejala seperti
batuk berdahak selama 3 minggu atau lebih, batuk darah atau pernah batuk darah, nafsu
makan dan berat badan menurun, demam meriang lebih dari satu bulan, berkeringat
malam. Prinsip pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan, mencegah, dan
menurunkan tingkat penularan.
Pengobatan TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis dalam
jumlah cukup dan tepat selama 6-8 bulan. Untuk menjamin kepatuhan penderita minum
obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung DOTS oleh PMO.
Pengobatan melalui 2 fase, yakni fase intensif dan fase lanjutan
Keberhasilan pengobatan tuberculosis tergantung pada pengetahuan pasien, dan
dukungan dari keluarga. Tidak ada upaya dari diri sendiri atau motivasi dari keluarga
yang kurang memberikan dukungan untuk berobat secara tuntas akan mempengaruhi
kepatuhan pasien untuk mengkonsunsi obat. Apabila ini dibiarkan, dampak yang akan
muncul jika penderita berhenti minum obat adalah munculnya kuman tuberculosis yang
resisten terhadap obat, jika ini terus terjadi dan kuman tersebut terus menyebar
pengendalian obat tuberculosis akan semakin sulit dilaksanakan dan meningkatnya angka
kematian terus bertambah akibat penyakit tuberculosis (Sholikhah, 2012).
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat kejadian
9 juta kasus per tahun di seluruh dunia dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta
manusia (Atif et al ,2012). Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), pada
tahun 2011 kasus TB baru terbanyak terjadi di Asia sekitar 60% dari kasus baru yang
terjadi diseluruh dunia. Akan tetapi Afrika Sub Sahara memiliki jumlah terbanyak kasus
baru perpopulasi dengan lebih dari 260 kasus per 100000 populasi pada tahun 2011.
(WHO, 2013) Jumlah kasus TB terbanyak adalah region Asia Tenggara (35%), Afrika

(30%), dan region Pasifik barat (20%). Berdasarkan data World Health Organization pada
tahun 2009, lima Negara dengan insiden kasus TB terbanyak yaitu, India (1,6-2,4 juta),
China (1,1-1,5 juta), Afrika selatan (0.4-0.59 juta), Nigeria (0.37-0.55 juta) dan Indonesia
(0.35-0.52 juta) (PDPI, 2011)
Di Indonesia, diperkirakan prevalensi TB di Indonesia untuk semua tipe TB
adalah 505.614 kasus per tahun, 244 per 10.000 penduduk dan 1.550 per hari. Insidensi
penyakit TB 528.063 kasus per tahun, 228 kasus per 10.000 penduduk dan 1.447 per
hari.Indisdensi kasus baru 236.029 per tahun, 102 kasus per 10.000 penduduk, dan 647
per hari.Insidensi kasus TB yang mengakibatkan kematian 91.369 per tahun, 30 kasus per
10.000 penduduk, dan 250 per hari (DepKes, 2010). Sedangkan pada tahun 2013,
prevalensi TB di Indonesia ialah 297 per 100.000 penduduk dengan kasus baru setiap
tahun mencapai 460.000 kasus (Kemenkes RI, 2014).
Di Provinsi Aceh, penemuan kasus baru terdapat 1 4.158 per tahun (Profil
Kesehatan Indonesia, 2011). Sementara, Case Detection Rate TB paru Provinsi Aceh
41,44 per Juni 2012 dengan Success rate 89 % dengan target keberhasilan 87%
(Kemenkes RI, 2013).
Berdasarkan data jumlah kasus dan angka penemuan kasus TB paru BTA+ di
Puskesmas Manyak Payed pada tahun 2014 dapat diketahui bahwa jumlah suspek TB
paru sebanyak 160 orang, BTA+ sebanyak 16 orang. Keseluruhan pasien tuberkulosis ada
PMO nya, yaitu sebagian besar PMO tersebut adalah dari keluarga penderita TB, dan
sebagian kecil tetangga dekat rumah penderita.
Menurut Viney (2011), penyebab paling penting peningkatan jumlah penderita TB
di seluruh dunia adalah pengetahuan mengenai penyakit dan ketidakpatuhan terhadap
program, selain itu diagnosis dan pengobatan yang tidak adekuat. Kegagalan proses
pengobatan akibat ketidaktaatan penderita pada instruksi dan aturan minum obat yang
meliputi dosis, cara, waktu minum obat dan periode. Hal inilah yang membuat penulis
tertarik untuk mengkajinya lebih dalam dan mengangkatnya dalam sebuah skripsi yang
diberi judul Hubungan Pengetahuan Penderita Tentang Tuberculosis Paru Dengan
Perilaku Kepatuhan Minum Obat Di Wilayah Kerja Puskesmas Manyak Payed.

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN POLA ASUH IBU TERHADAP STATUS GIZI
ANAK BALITA DI WILYAH KERJA PUSKESMAS MANYAK PAYED

1.1 Latar Belakang


Balita adalah anak yang telah menginjak usia diatas 1 tahun atau lebih terkenalnya
usia anak dibawah lima tahun. Pada usia balita pertumbuhan seorang anak sangat pesat
sehingga memerlukan asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhannya (Khomsan, 2012).
Menurut Nursalam (2011), tumbuh dan kembang anak secara optimal dipegaruhi oleh
hasil interaksi atara faktor geetis, herediter, dan konstitusi degan faktor lingkungan.Agar
faktor lingkungan memberikan faktor positif bagi tumbuh kembang anak, maka diperlukan
pemenuhan atas kebutuhan dasar tertentu. Kebutuhan ini dapat di kelompokan menjadi tiga,
yaitu asuh, asah, dan asih. Pola Asuh adalah mendidik, membimbing dan memelihara anak,
mengurus makanan, minuman, pakaian dan kebersihannya.
Menurut Lubis (2008) ibu sebagai tokoh sentral dan sangat penting untuk
melaksanakan kehidupan khususnya pada balita. Anak masih membutuhkan bimbingan
seorang ibu dalam memilih makanan agar pertumbuhan tidak terganggu. Bentuk
perhatian/dukungan ibu terhadap anak meliputi perhatian ketika anak makan dan sikap orang
tua dalam memberi makan. Seiring bertambahnya usia anak ragam makanan harus bergizi
lengkap dan seimbang yang mana penting untuk menunjang tumbuh kembang dan status gizi
anak.
Gizi (nutrition) adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang
dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan,
metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan
kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan energi.
Keadaan gizi adalah keadaan akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat

gizi dan penggunaaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologik akibat dari tersedianya zat
gizi dalam seluler tubuh (Supariasa, Bakri, Fajar, 2012).
Soetjiningsih (2012) mengemukakan bahwa pada saat mempersiapkan makanan,
kebersihan makanan dan peralatan yang dipakai harus mendapatkan perhtian khusus.
Makanan yang kurang bersih dan sudah tercemar dapat menyebabkan diare atau cacingan
pada anak.
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu
atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Malnutrisi adalah keadaan
patologis akibat kekurangan atau kelebihan secara relatif maupun absolute satu atau lebih zat
gizi. Malnutrisi terdiri dari 4 bentuk yaitu Under Nutrition, Specific Deficiency, Over
Nutrition, dan Imbalance (Supariasa, Bakri, Fajar, 2012).
Anak balita yang mendapatkan kualitas pengasuhan yang lebih baik besar
kemungkinan akan memiliki angka kesakitan yang rendah dan status gizi yang relatif lebih
baik. Hal ini menunjukkan bahwa pengasuhan merupakan faktor penting dalam status gizi
dan kesehatan anak balita. Status gizi selain berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan balita, juga berpengaruh pada kecerdasannya. Balita dengan gizi kurang atau
buruk akan memiliki tingkat kecerdasan yang lebih rendah, yang nantinya mereka tidak
mampu bersaing. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai Hubungan Status Gizi Dengan Pola Asuh Ibu Terhadap Status Gizi Anak Balita Di
Wilyah Kerja Puskesmas Manyak Payed.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENGETAHUAN IBU


MENYUSUI TENTANG ASI EKSKLUSIF DI PUSKESMAS MANYAK PAYED
1. Latar Belakang
Menurut Strategi Nasional Peraturan Pemerintah mengenai Air Susu Ibu (PP-ASI)
yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013, ASI
merupakan nutrisi terbaik pada awal usia kehidupan bayi. Pemberian ASI yang baik
adalah apabila ASI diberikan secara eksklusif. ASI eksklusif menurut World Health
Organization (WHO) adalah pemberian ASI saja (tanpa tambahan cairan lain, seperti susu
formula, jeruk, madu, air teh, air putih, maupun makanan lain, seperti pisang, bubur susu,
biskuit, bubur nasi, nasi tim, dan lain-lain), hingga bayi berusia 6 bulan.1 Konvensi Hakhak Anak tahun 1990 antara lain menegaskan bahwa tumbuh kembang secara optimal
merupakan salah satu hak anak. ASI selain merupakan suatu kebutuhan juga menjadi hak
azasi bayi yang yang harus dipenuhi oleh orang tuanya. Hal ini telah dipopulerkan pada
Pekan ASI sedunia tahun 2000 dengan Tema : Memberi ASI adalah hak azasi ibu;
Mendapat ASI adalah hak azasi bayi
Pada Pekan ASI sedunia Agustus 2008, The World Alliance For Breast Feeding
Action (WABA) memilih tema Mother Support: Going For the Gold. Makna tema
tersebut adalah suatu gerakan untuk mengajak semua orang meningkatkan dukungan
kepada ibu untuk memberikan bayi-bayi mereka makanan yang berstandar emas yaitu
ASI yang diberikan eksklusif selama enam bulan pertama dan melanjutkan ASI bersama
makanan pendamping ASI lainnya yang sesuai sampai bayi berusia dua tahun atau lebih
(Saleha, 2009).
Keuntungan pemberian ASI diantaranya adalah ASI meningkatkan daya tahan
tubuh bayi yaitu merupakan cairan hidup yang mengandung zat kekebalan yang akan
melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, parasit dan jamur. Zat
kekebalan yang terdapat pada ASI akan melindungi bayi dari penyakit menceret (diare),
juga akan menurunkan kemungkinan bayi terkena infeksi telinga, batuk, pilek dan
penyakit alergi lainnya (Suradi, 2008).
Melihat manfaat ASI yang sedemikian besar sangat disayangkan jika bayi tidak
mendapat ASI eksklusif dengan optimal. Berbagai penelitian menyebutkan akibat atau
kerugian dari ketidak optimalan tersebut sangat besar. Apabila bayi di bawah enam bulan

telah diberi makanan tambahan maka bayi akan sulit tidur di malam hari. Selain itu bayi
akan mengalami gangguan-gangguan lain seperti sakit perut, mencret, sembelit, infeksi,
kurang darah, dan alergi. Pengetahuan ibu tentang keunggulan ASI dan cara pemberian
ASI yang benar dapat menunjang keberhasilan ibu dalam menyusui. Hal ini karena
ketidaktahuan ibu tentang keunggulan ASI dan resiko pemberian makanan tambahan
lebih awal dapat memberi pengaruh buruk pada bayi yaitu bayi rentan terhadap penyakit
infeksi dan diare. Pada saat ini angka pemberian ASI cenderung menurun karena ASI
sudah banyak diganti dengan susu botol. Hal tersebut tidak perlu terjadi bila ibu cukup
mengetahui keunggulan ASI sebagai makanan terbaik bayi dan bahaya yang dapat timbul
akibat mengganti ASI dengan makanan tambahan lainnya (Purwanti, 2012).
Berdasarkn penelitian yang dilakukan oleh Meiyana Dianning Rahmawati (2010)
terdapt beberap faktor yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif pada ibu menyusui,
antara lain usia ibu, status pekerjaan ibu, urutan kelahiran bayi dan dukungan petugas
kesehatan. Sedangkan faktor yang paling berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif
pada ibu menyusui adalah status pekerjaan ibu dimana responden yang tidak bekerja
berpeluang untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayinya 4 kali dibanding responden
yang bekerja.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh DY Gultom (2010) menunjukkan bahwa
mitos dan sosial budaya mempengaruhi tingkat pengetahuan ibu menyusui tentang ASI
eksklusif. Penelitian lain yang dilakukan I. Agam (2013) menunjukkan bahwa
pengalaman, sikap, umur dan pendidikan mempengaruhi tingkat pengetahuan ibu
menyusui tentang ASI eksklusif. Dan faktor yang paling dominan adalah pengalaman.
Ibu harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang pemberian ASI kepada bayi
terutama ASI eksklusif karena dengan memberikan ASI secara eksklusif berarti ibu telah
memberikan kekebalan bayi terhadap berbagai macam penyakit. Hal inilah yang melatar
belakangi penulis ingin mengangkat judul Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat
Pengetahuan Ibu Menyusui Tentang ASI Eksklusif Di Puskesmas Manyak Payed.

Langsa, 10 Nopember 2015


Kepada Yth ;
Bapak/Ibu : Ka.Prodi S.1 Keperawatan STIKes Langsa
Di.
Tempat

Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama

: Cut Wanradiah

NPM

: 12.1.0206

Semester

: VIII

Prodi

: S1 Keperawatan

Alamat

: Jl. Petua Bayeun No. 139 Mtg Seulimeng Langsa Barat

Bersama ini saya mengajukan judul skripsi kepada Bapak/Ibu Ka. Prodi S.1 Keperawatan
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan di STIKes Langsa.
Adapun judul skripsi yang saya ajukan sebagai berikut :
1. Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian Dyspepsia Pada Lansia di Puskesmas Langsa
Barat Tahun 2015.
2. Pengaruh Senam Lansia Terhadap Pasien Hypertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa
Barat.
3. Gambaran Pengetahuan Tentang Manfaat Minum Obat Cacing secara berkala di Wilayah
Kerja Puskesmas Langsa Barat.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga Bapak/Ibu dapat mengabulkan salah satu judul
diatas sebagai judul skripsi saya.

Hormat Saya

Cut Wanradiah
Judul I

HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN DYSPEPSIA PADA LANSIA DI


PUSKESMAS LANGSA BARAT TAHUN 2015
Latar Belakang
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2013), pada tahun 2000 Umur
Harapan Hidup (UHH) di Indonesia adalah 64,5 tahun (dengan persentase populasi lansia
adalah 7,18%). Angka ini meningkat menjadi 69,43 tahun pada tahun 2010 (dengan
persentase populasi lansia adalah 7,56%) dan pada tahun 2011 menjadi 69,65 tahun (dengan
persentase populasi lansia adalah 7,58%). Diperkirakan proporsi penduduk lanjut usia (lansia)
yang berusia 60 tahun ke atas menjadi dua kali lipat dari 11% di tahun 2006 menjadi 22%
pada tahun 2050. Populasi lansia di dunia yang pada tahun 2006 sekitar 650 juta, akan
mencapai 2 miliar pada tahun 2050. Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, pada saat
itu akan ada lebih banyak orang tua dari pada anak-anak usia 0-14 tahun di populasi. Negaranegara berkembang akan mengalami tingkat penuaan yang jauh lebih cepat dari negaranegara maju.
Upaya peningkatan kesejahteraan lanjut usia, yang antara lain meliputi: 1) Pelayanan
keagamaan dan mental spiritual seperti pembangunan sarana ibadah dengan pelayanan
aksesibilitas bagi lanjut usia; 2) Pelayanan kesehatan melalui peningkatan upaya
penyembuhan (kuratif), diperluas pada bidang pelayanan geriatrik/gerontologik; 3) Pelayanan
untuk prasarana umum, yaitu mendapatkan kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum,
keringanan biaya, kemudahan dalam melakukan perjalanan, penyediaan fasilitas rekreasi dan
olahraga khusus; 4) Kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum, seperti pelayanan
administrasi pemerintah (Kartu Tanda Penduduk seumur hidup), pelayanan kesehatan,
pelayanan dan keringanan biaya untuk pembelian tiket perjalanan, akomodasi, pembayaran
pajak, pembelian tiket rekreasi, penyediaan tempat duduk khusus, loket khusus,
mendahulukan para lanjut usia (Kemenkes RI, 2013).
Pada umumnya untuk lansia dalam pola makannya masih salah. Pola makan yang
dimaksud adalah tepat jumlahnya, tepat jadwalnya dan tepat jenis-jenis makanannya
(Almatsier, 2010). Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas,
zat-zat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan makanan
menjadi kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat mengakibatkan
erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung, kondisi demikian dapat
mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang terjadinya kondisi asam
pada lambung, sehingga rangsangan di medulla oblongata membawa impuls muntah

sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun cairan. Beberapa perubahan dapat
terjadi pada saluran cerna atas akibat proses penuaan, terutama pada ketahanan mukosa
lambung. Kadar lambung lansia biasanya mengalami penurunan hingga 85%. Hal inilah yang
dapat menyebabkan seorang lansia terkena penyakit dyspepsia.
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (Dys) berarti sulit dan Pepse berarti pencernaan.
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di
perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan keluhan refluks gastroesofagus
klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung kini tidak lagi
termasuk dispepsia (Mansjoer, 2008).
Dispepsia atau sakit maag adalah sekumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri
atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau cepat
kenyang, dan sering bersendawa. Biasanya berhubungan dengan pola makan yang tidak
teratur, makanan yang pedas, asam, minuman bersoda, kopi, obat-obatan tertentu, ataupun
kondisi emosional tertentu misalnya stress. Dispepsia merupakan kumpulan gejala klinis
(sindrom) yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang dapat pula disertai
dengan keluhan lain, perasaan panas didada di daerah jantung (heartburn), regurgitasi,
kembung, perut terasa penuh, cepat kenyang, bersendawa, anoreksia, mual, muntah, dan
beberapa keluhan lainnya. (Warpadji, 2012).
Komplikasi dispepsia yaitu luka didinding lambung yang dalam atau melebar
tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam lambung. Bila keadaan dispepsia ini
terus terjadi luka akan semakin dalam dan dapat menimbulkan komplikasi pendarahan
saluran cerna yang ditandai dengan terjadinya muntah darah, dimana merupakan pertanda
yang timbul belakangan. Awalnya penderita pasti akan mengalami buang air besar berwarna
hitam terlebih dulu yang artinya sudah ada perdarahan awal. Tapi komplikasi yang paling
dikhawatirkan adalah terjadinya kangker lambung yang mengharuskan penderitanya
melakukan operasi.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis tertarik untuk
mengangkatnya dalam suatu penelitian ilmiah yang akan diberi judul Hubungan Pola
Makan Dengan Kejadian Dyspepsia Pada Lansia Di Puskesmas Langsa Barat Tahun
2015.

Judul II

PENGARUH SENAM LANSIA TERHADAP PASIEN HYPERTENSI DI WILAYAH


KERJA PUSKESMAS LANGSA BARAT
Latar Belakang
Diperkirakan proporsi penduduk lanjut usia (lansia) yang berusia 60 tahun ke atas
menjadi dua kali lipat dari 11% di tahun 2006 menjadi 22% pada tahun 2050. Populasi lansia
di dunia yang pada tahun 2006 sekitar 650 juta, akan mencapai 2 miliar pada tahun 2050.
Negara-negara berkembang akan mengalami tingkat penuaan yang jauh lebih cepat dari
negara-negara maju. Pada tahun 2005 sekitar 60% lansia di dunia tinggal di negara-negara
berkembang. Dalam lima dekade mendatang kondisi ini akan meningkat menjadi lebih dari
80%. Penuaan penduduk dunia, di negara berkembang dan negara maju sebenarnya
merupakan indikator meningkatnya kesehatan global (Depkes RI, 2012).
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi peningkatan Umur Harapan
Hidup (UHH). Pada tahun 2000 UHH di Indonesia adalah 64,5 tahun (dengan persentase
populasi lansia adalah 7,18%). Angka ini meningkat menjadi 69,43 tahun pada tahun 2010
(dengan persentase populasi lansia adalah 7,56%) dan pada tahun 2011 menjadi 69,65 tahun
(dengan persentase populasi lansia adalah 7,58%) (Kemenkes RI, 2013).
Berdasarkan Profil Pembangunan Provinsi Aceh Tahun 2013 dapat diketahui bahwa
AHH Provinsi Aceh tahun 2011 mencapai 68,60. Sementara untuk perbandingan AHH antar
kabupaten/kota tahun 2011 di Provinsi Aceh, AHH tertinggi berada di Kabupaten Bireuen
sebesar 72,39 tahun lebih tinggi dari AHH provinsi dan nasioanl, dan terendah di Kabupaten
Simeulue (63,05 tahun).
Menjadi tua merupakan suatu fenomena alamiah sebagai akibat proses menua.
Fenomena ini bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu keadaan yang wajar yang bersifat
universal. Proses menua bersifat regresif dan mencakup proses organobiologis, psikologik
serta sosio budaya. Pada lansia akan mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial. Salah
satu contoh kemunduran fisik pada lansia adalah rentannya lansia terhadap penyakit,
khususnya penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif yang umum di derita lansia salah
satunya adalah hipertensi (Nugroho, 2012).
Hipertensi merupakan masalah besar dan serius di seluruh dunia karena prevalensinya
tinggi dan cenderung meningkat di masa yang akan datang. Hipertensi dapat menyerang
hampir semua golongan masyarakat di dunia. Jumlah lansia yang menderita hipertensi terus
bertambah dari tahun ke tahun. Di Indonesia sendiri hipertensi merupakan penyebab

kematian nomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis, yakni 6,7% dari populasi kematian pada
semua umur (Arora, 2011).
Hipertensi merupakan faktor resiko dari penyakit kardiovaskuler. Hipertensi dapat
meningkatkan lima kali resiko terkena penyakit jantung koroner. Menurut data dari hasil studi
pendahuluan di Puskesmas Langsa Barat tahun 2015, jumlah kunjungan pasien dengan
hipertensi mencapai angka 599 orang diantaranya 340 orang merupakan lansia.
Tingginya angka kejadian hipertensi pada lansia menuntut peran tenaga kesehatan
untuk melakukan pencegahan dan upaya promosi kesehatan. Ada beberapa cara pencegahan
yang dapat dilakukan oleh lansia agar terhindar dari penyakit hipertensi dengan semboyan
SEHAT yaitu Seimbangkan gizi, Enyahkan rokok, Hindari stres, Awasi tekanan darah, dan
Teratur berolahraga. Teratur berolahraga dapat dilakukan dengan cara latihan fisik yang
sesuai dengan lansia diantaranya berjalan-jalan, bersepeda, berenang, melakukan pekerjaan
rumah dan senam (Maryam dkk, 2008).
Latihan fisik seperti senam yang teratur juga membantu mencegah keadaan-keadaan
atau penyakit kronis, seperti tekanan darah tinggi (hipertensi) (Once, 2011). Senam dapat
meningkatkan aktivitas metabolisme tubuh dan kebutuhan oksigen. Jenis latihan fisik yang
dapat dilakukan oleh lansia adalah senam. Senam lansia sangat penting untuk para lanjut usia
untuk menjaga kesehatan tubuh mereka.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan, dapat diketahui bahwa hanya sebagian lansia
(35%) yang mengikuti kegiatan senam lansia. Dari keseluruhan lansia yang mengikuti senam
lansia, 45% diantaranya mengatakan tubuh lebih bugar setelah melakukan senam. Sedangkan
selebihnya mengatakan biasa saja (tidak ada perubahan). Hasil pengukuran tekanan darah
rata-rata normal. Dari sebagian lansia yang mengatakan biasa saja (tidak ada perubahan)
terdapat beberapa lansia yang mengalami hipertensi.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas penulis tertarik untuk
mengetahui lebih dalam apakah senam memberikan kontribusi besar terhadap penurunan
bahkan pencegahan penyakit hipertensi khususnya untuk lansia di wilayah kerja Puskesmas
Langsa Barat dan hasil studi ini nantinya akan dituangkan dalam sebuah script skripsi yang
akan diberi judul Pengaruh Senam Lansia Terhadap Pasien Hypertensi Di Wilayah Kerja
Puskesmas Langsa Barat.
Judul II

GAMBARAN PENGETAHUAN TENTANG MANFAAT MINUM OBAT CACING


SECARA BERKALA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LANGSA BARAT

Latar Belakang
Menurut

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

No.

424/MENKES/SK/VI/2006 tentang Pedoman Pengendalian Cacingan, cacingan dapat


mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan. gizi, kecerdasan dan produktifitas
penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan
kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas
sumber daya manusia.
Infeksi cacingan dapat berkontribusi untuk terjadinya anemia,
kekurangan

vitamin

A,

kekurangan

gizi,

gangguan

pertumbuhan,

perkembangan tertunda, dan penyumbatan usus. Infeksi ini disebabkan


oleh tiga jenis cacing antara lain: cacing gelang, cacing cambuk, dan
cacing tambang, yang menginfeksi lebih dari 1 miliar orang di seluruh
dunia. World Health Organization (WHO) tahun 2012, memperkirakan
lebih dari 1,5 miliar orang, atau 24% dari populasi dunia terinfeksi dengan
cacing yang ditularkan melalui tanah. lebih dari 270 juta anak usia
prasekolah dan lebih dari 600 juta anak usia sekolah tinggal di daerah di
mana

parasit

ini

ditularkan

secara

intensif,

dan

membutuhkan

pengobatan dan intervensi pencegahan (WHO, 2015).


Upaya penanggulangan kecacingan belum menunjukkan hasil yang
maksimal, hal tersebut dapat dilihat pada sebagian besar propinsi di
Indonesia yang menunjukkan bahwa angka prevalensi kecacingan saat ini
masih di atas target nasional yang ingin dicapai pada tahun 2010 (<10%).
Perlu dilakukan intervensi yang tepat dan sesuai dengan kondisi daerah
untuk menurunkan prevalensi kecacingan. Menghindari faktor risiko
merupakan cara efektif sebelum melakukan intervensi penanggulangan
kecacingan (Rahayu, 2013).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
424/MENKES/SK/VI/2006

tentang

Pedoman

Pengendalian

Cacingan

disebutkan bahwa penyakit ini merupakan neglected disease (penyakit


yang kurang diperhatikan), meskipun tidak berakibat fatal tapi sangat
memengaruhi status kesehatan masyarakat, terutama bagi anak usia
sekolah yang merupakan sumber daya manusia di masa depan. Anakanak merupakan kelompok umur yang terbanyak menderita cacingan. Hal
ini

disebabkan

karena

keterlibatan

anak

secara

langsung

dengan

lingkungan tempat bermain (tanah) dan anak-anak merupakan kelompok


rawan infeksi mengingat sulitnya menjaga kebersihan diri. Kebersihan diri
anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar termasuk orangtua dan
lingkungan keluarga yang mengasuhnya. Orangtua dapat memutus mata
rantai

penularan

penyakit

cacingan

dengan

mengajarkan

dan

mengingatkan anak untuk menjaga dan memelihara kebersihan diri serta


memberikan obat cacing tiap 6 bulan sekali (2 kali dalam setahun)
(Kemenes RI, 2010).
Yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah memastikan apakah
benar atau tidak anak cacingan dengan cara memeriksakan tinja anak
apakah mengandung telur cacing. Jika ternyata benar maka pemberian
obat cacing secara berkala merupakan langkh yang efektif untuk
pengobatan. Keputusan yang kurang tepat, karena kalau ternyata tidak ada cacingnya, siasia saja sudah menelan obat cacing. Selain penghamburan secara ekonomis, tubuh anak
menanggung efek samping obat yang sebetulnya tidak ia perlukan. Cacingan merugikan
proses tumbuh-kembang anak. Maka tidak boleh membiarkan anak
beternak cacing di perutnya. Bila pertumbuhan anak terhambat, tampak
pucat, selera makan terganggu, dan mungkin perutnya membuncit,
pikirkan kemungkinan cacingan. Segera konsultasikan anak ke dokter,
bawa juga tinjanya ke laboratorium, dan diperiksa , adakah telur cacing
yang berkembang biak di dalamnya (sahabatnestle, 2015).
Sangat dianjurkan untuk mencari perawatan medis yang tepat agar gangguan
kesehatan penyakit kecacingan tidak menular pada anggota keluarga lainnya. Oleh karena itu
masyarakat hrus mengetahui dan dapat mencegah terjadinya penyakit kecacingn. Berdasarkan
hal tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai penyakit kecacingan dan
menuliskannya dalam sebuah skripsi yang akan diberi judul Gambaran Pengetahuan Tentang
Manfaat Minum Obat Cacing Secara Berkala Di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa Barat.

Langsa, 5 Nopember 2015


Kepada Yth ;
Bapak/Ibu : Ka.Prodi S.1 Keperawatan
STIKes Langsa
Di.
Tempat
Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama

: Sry Wahyuni

NPM

: 12.1.0247

Semester

: VIII

Prodi

: S1 Keperawatan

Alamat

: Desa Bukit Drien Kecamatan Sungai Raya Kab. Aceh Timur

Bersama ini saya mengajukan judul skripsi kepada Bapak/Ibu Ka. Prodi S.1 Keperawatan
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan di STIKes Langsa.
Adapun judul skripsi yang saya ajukan sebagai berikut :
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di SD Negeri 1
Bukit Drien Sungai Raya.
Hubungan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Terhadap Infeksi Soil Transmitted
Helminths Pada Anak SD Negeri 1 Bukit Drien Sungai Raya
Hubungan Antara Pengetahuan Orang Tua Mengenai Pemberian Makanan Kepada
Anak Dengan Kejadian Obesitas Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa
Baro Tahun 2015.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga Bapak/Ibu dapat mengabulkan salah satu
judul diatas sebagai judul skripsi saya.

Hormat Saya

Sry Wahyuni
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di SD Negeri 1
Bukit Drien Sungai Raya
A. Latar Belakang
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) bukan hal yang baru bagi masyarakat.
PHBS adalah semua perilaku yang dapat menjadikan kita hidup sehat. Hidup sehat tidak
terbatas dengan melaksanakan sepuluh indikator saja. Tetapi indikator dengan sepuluh
perilaku adalah yang dipilih sebagai penilaian apakah masyarakat sudah berperilaku
hidup bersih dan sehat dan perlu dikembangkan di tengah masyarakat kita. Dari sepuluh
Indikator PHBS yang dicanangkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
pentingnya bersalin menggunakan tenaga kesehatan, program ASI Eksklusif apalagi
Inisiasi Menyusui Dini, jamban keluarga, kesesuaian lantai dengan jumlah penghuni dan
pentingnya olah raga serta makanan bervitamin dan berserat masih merupakan hal baru
bagi masyarakat.
PHBS di Sekolah adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan oleh peserta
didik, guru dan masyarakat lingkungan sekolah atas dasar kesadaran sebagai hasil
pembelajaran, sehingga secara mandiri mampu mencegah penyakit, meningkatkan
kesehatannya, serta berperan aktif dalam mewujudkan lingkungan sehat. Ada beberapa
indikator yang dipakai sebagai ukuran untuk menilai PHBS di sekolah yaitu (1) Mencuci
tangan dengan air yang mengalir dan menggunakan sabun (2) Mengkonsumsi jajanan
sehat di kantin sekolah (3) Menggunakan jamban yang bersih dan sehat (4) Olahraga
yang teratur dan terukur (5) Memberantas jentik nyamuk (6) Tidak merokok di sekolah
(7) Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap 6 bulan dan (8) Membuang
sampah pada tempatnya.
Perilaku kesehatan, ada tiga teori yang sering menjadi acuan dalam penelitianpenelitian kesehatan masyarakat. Menurut Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo
(2012), perilaku manusia dalam hal kesehatan dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu
faktor perilaku (behavioral factors) dan faktor non-perilaku (non behavioral factors).

Lawrence Green menganalisis bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh tiga faktor
utama, yaitu:
1.

Faktor Predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah


atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan,

2.

sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi dan sebagainya.


Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), yaitu faktor-faktor

yang

memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud


dengan faktor pemungkin adalah sarana
3.

dan prasarana atau fasilitas untuk

terjadinya perilaku kesehatan.


Faktor-faktor penguat (reinforcing factors), adalah faktor-faktor yang mendorong
dan memperkuat terjadinya perilaku.
Pada saat promosi kesehatan digencarkan aksinya melalui pemberdayaan

masyarakat bahwa petugas kesehatan membekali sasaran kesehatan (masyarakat) dengan


pengetahuan/informasi yang bermanfaat bagaimana untuk sehat, dan walau ketersediaan
sarana kesehatan memadai, tetapi tetap diperlukan dukungan dari masyarakat itu sendiri.
Ada lima determinan perilaku, yaitu:
1.

Adanya niat, (intention) seseorang untuk bertindak sehubungan objek atau

2.

stimulus diluar dirinya.


Adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya (social support). Di dalam
kehidupan di masyarakat, perilaku seseorang cenderung memerlukan legitimasi
dari masyarakat sekitarnya. Apabila perilaku tersebut bertentangan atau tidak
memperoleh dukungan dari masyarakat, maka ia akan merasa kurang atau tidak
nyaman, paling tidak untuk berperilaku kesehatan tidak menjadi gunjingan atau

3.

bahan pembicaraan masyarakat.


Terjangkaunya informasi (accessibility of information), adalah tersedianya

4.

informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil seseorang.


Adanya otonomi atau kebebasan pribadi (personal autonomy) untuk mengambil

5.

keputusan.
Adanya kondisi dan situasi yang memungkinkan (action situation). Untuk
bertindak apapun memang diperlukan kondisi dan situasi yang tepat.
Sekolah selain berfungsi sebagai tempat pembelajaran juga dapat menjadi

ancaman penularan penyakit jika tidak dikelola dengan baik. Lebih dari itu, usia sekolah
bagi anak juga merupakan masa rawan terserang berbagai penyakit. Jika tiap sekolah
memiliki 20 kader kesehatan, maka ada 5 juta kader kesehatan yang dapat membantu
terlaksananya dua strategi utama Departemen Kesehatan yaitu: Menggerakan dan
memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat serta Surveilans, monitoring dan

informasi kesehatan. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik memilih judul FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di SD Negeri 1 Bukit
Drien Sungai Raya sebagai judul Skripsi.
Hubungan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Terhadap Infeksi Soil Transmitted
Helminths Pada Anak SD Negeri 1 Bukit Drien Sungai Raya
A. Latar Belakang
Perilaku Penyakit kecacingan atau helminthiasis, merupakan penyakit yang
disebabkan oleh cacing atau helminth. Penyakit kecacingan merupakan salah satu
penyakit infeksi yang terabaikan/Neglected Infectious Disease (NIDs). Penyakit
kecacingan juga dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan
dan produktivitas. Secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan
kehilangan karbohidrat, protein dan kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas
sumber daya manusia. Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus
sehingga terjadi obtruksi usus atau ileus (Susanto et al., 2008).
World Health Organization (WHO) tahun 2012, memperkirakan lebih dari 1,5
miliar orang, atau 24% dari populasi dunia terinfeksi dengan cacing yang ditularkan
melalui tanah. Lebih dari 270 juta anak usia prasekolah dan lebih dari 600 juta anak usia
sekolah tinggal di daerah di mana parasit ini ditularkan secara intensif, dan membutuhkan
pengobatan dan intervensi pencegahan.
Infeksi cacingan dapat berkontribusi untuk terjadinya anemia, kekurangan vitamin
A, kekurangan gizi, gangguan pertumbuhan, perkembangan tertunda, dan penyumbatan
usus. Infeksi ini disebabkan oleh tiga jenis cacing antara lain: cacing gelang, cacing
cambuk, dan cacing tambang, yang menginfeksi lebih dari 1 miliar orang di seluruh dunia
(CDC, 2012).
Menurut

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

No.424/Menkes/SK/VI/2006, penyakit cacingan tersebar luas baik di pedesaan maupun di


perkotaan. Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan,
salah satu diantaranya adalah cacing usus yang ditularkan melalui tanah.
Di antara nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah
disebut Soil Transmitted Helminths (STH). Cacing yang terpenting bagi manusia adalah
Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale. Indonesia merupakan salah satu negara tropis sehingga mempunyai
lingkungan yang cocok untuk perkembangan nematoda usus yang ditularkan melalui

tanah. Anak-anak merupakan kelompok umur yang terbanyak menderita infeksi STH. Hal
ini disebabkan karena keterlibatan mereka secara langsung dengan lingkungan tempat
bermain sangat tinggi. Sementara itu anak-anak merupakan kelompok rawan infeksi
mengingat sulitnya menjaga kebersihan peorangan mereka. Status higienis seorang anak
sangat dipengaruhi oleh status sosial ekonomi dan lingkungan, lingkungan sekitar
termasuk orang tua dan lingkungan keluarga yang mengasuhnya. Faktor-faktor yang
dapat menyebabkan masih tingginya angka kejadian penyakit kecacingan ini adalah
kondisi sanitasi lingkungan yang belum memadai, kebersihan diri yang buruk, tingkat
pendidikan dan kondisi sosial ekonomi yang rendah, pengetahuan, sikap dan perilaku
hidup sehat yang belum membudaya, serta kondisi geografis yang sesuai untuk kehidupan
dan perkembangbiakan cacing (Marlina, 2012).
Sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam kelompok
masyarakat yang ditentukan oleh jenis aktivitas ekonomi, pendidikan serta pendapatan.
Dalam pembahasannya sosial dan ekonomi sering menjadi objek pembahasan yang
berbeda. Dalam konsep sosiologi manusia sering disebut dengan makhluk sosial yang
artinya manusia tidak dapat hidup wajar tanpa adanya bantuan dari orang lain, sehingga
arti sosial sering diartikan sebagai hal yang berkanaan dengan masyarakat. Ekonomi
barasal dari bahasa Yunani yaitu oikos yang berarti keluarga atau rumah tangga dan
nomos yang berarti peraturan (Wikipedia, 2014).
Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan
sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang
tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan
manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.
Lingkungan juga dapat diartikan menjadi segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan
mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia. Lingkungan terdiri dari komponen
abiotik dan biotik. Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti tanah,
udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan komponen biotik adalah segala
sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia dan mikro-organisme (virus
dan bakteri).
Oleh karena soaial ekonomi dan lingkungan diduga berpengaruh terhadap infeksi
soil transmitted helminths pada anak, maka peneliti tertarik untuk mendapatkan
pembuktian tersebut dengan melakukan penelitian yang akan dituliskan dalam skripsi
yang berjudul Hubungan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Terhadap Infeksi Soil
Transmitted Helminths Pada Anak SD Negeri 1 Bukit Drien Sungai Raya.

Hubungan Antara Pengetahuan Orang Tua Mengenai Pemberian Makanan Kepada


Anak Dengan Kejadian Obesitas Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa
Baro Tahun 2015
A. Latar Belakang
Obesitas (obesity) menurut Freitag (2010) asal katanya dari bahasa latin yaitu ob yang
artinya akibat dan dan esum yang artinya makan. Orang yang mengalaminya disebut
obes. Obesitas adalah suatu keadaan dimana terjadi penimbunan jaringan lemak secara
berlebihan pada tubuh seseorang. Obesitas biasa disebut dalam bahasa awam sebagai
kegemukan atau berat badan yang berlebih menurut Tim Penulis Poltekkes Depkes Jakarta I
(2010, hal 20) sebagai akibat penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Permasalahan ini
terjadi hampir di seluruh dunia dengan prevalensi yang semakin meningkat, baik di negaranegara maju ataupun negara berkembang, termasuk Indonesia. Obesitas sebagai salah satu
faktor risiko dari resistens insulin, merupakan penyakit multifaktoral yang terjadi akibat
penimbunan lemak yang berlebihan di dalam tubuh, sehingga dapat mengganggu kesehatan.
Obesitas yang terjadi pada anak bila kemudian berlanjut hingga dewasa akan sulit di
atasi secara konvensional (diet dan olahraga). Selain itu, obesitas pada anak tidak hanya
menjadi masalah kesehatan di kemudian hari, tetapi juga membawa masalah bagi kehidupan
sosial dan emosi yang cukup berarti. Beberapa komplikasi yang ditimbulkan oleh obesitas
pada adalah : Gangguan pernafasan, Gangguan tidur, Gangguan kulit, Ortopedi, Hipertensi,
Penyakir jantung coroner, Diabetes, Maturitas seksual lebih awal, Menstruasi tidak teratur,
Sindroma Pickwickian (obesitas disertai wajah kemerahan, underventilasi dan ngantuk) dn
Gangguan psikologi.
Pengetahuan orang tua mengenai pemberian makanan kepada anak dapat mencegah
terjdinya obesitas. Orang yang kegemukan lebih responsif dibanding dengan orang berberat
badan normal terhadap syarat lapar eksternal, seperti rasa dan bau makanan, atau saatnya
waktu makan. Orang yang gemuk cenderung makan bila ia merasa ingin makan, bukan
makan pada saat ia lapar. Pola makan berlebih inilah yang menyebabkan mereka sulit untuk
keluar dan kegemukan jika sang individu tidak memiliki kontrol diri dan motivasi yang kuat
untuk mengurangi berat badan. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan,
dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin

luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang
berpendidikan rendah mutlak berpengaruh rendah pula. Hal ini mengingat bahwa
peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal saja, akan tetapi
dapat diperoleh melalui pendidikan non formal. Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh
faktor pendidikan formal.
Manusia pada dasarnya selalu ingin tahu yang benar. Untuk memenuhi rasa ingin tahu
ini, manusia sejak zaman dahulu telah berusaha mengumpulkan pengetahuan. Pengetahuan
pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang untuk
dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Pengetahuan dapat diperoleh melalui
pengalaman langsung maupun pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan menurut Notoatmodjo (2010) adalah hasil pengindraan manusia, atau
hasil tahu seorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya dengan sendirinya pada
waktu pengindraan sehingga pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas
perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh
melalui indra pendengaran, dan indra penglihatan. Pengetahuan seseorang tentang suatu
objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek ini yang
akan menentukan sikap seseorang semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui
maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu. Dalam hal ini
pengetahuan orang tua mengenai pemberian makanan kepada anak adalah hal-hal yang
diketahui orang tua mengenai makanan yang seharusnya dikonsumsi oleh anak, karena
pemberian makanan yang berlebihan (jumlah) akan menyebabkan obesits dan akan
menimbulkan komplikasi.
Pengetahuan orang tua mengenai pemberian makanan kepada anak merupakan hal
penting yang harus diketahui oleh orang tua agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara
optimal sesuai yang diharapkan. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan
penelitian yang akan diberi judul Hubungan Antara Pengetahuan Orang Tua Mengenai
Pemberian Makanan Kepada Anak Dengan Kejadian Obesitas Pada Balita Di Wilayah
Kerja Puskesmas Langsa Baro Tahun 2015, setelah dilakukan penelitian, diharapkan dapat
memberikan dan menambah pengetahuan semua pihak terutama orang tua akan pentingnya
menjaga keseimbangan asupan makanan pada anak.

Langsa, 4 Nopember 2015


Kepada Yth ;
Bapak/Ibu : Ka.Prodi S.1 Keperawatan
STIKes Langsa
Di.
Tempat
Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama

: Marlina

NPM

: 12.1.0225

Semester

: VIII

Prodi

: S1 Keperawatan

Alamat

: Jl. T. Umar Gp. Blang Pase Langsa Kota

Bersama ini saya mengajukan judul skripsi kepada Bapak/Ibu Ka. Prodi S.1 Keperawatan
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan di STIKes Langsa.
Adapun judul skripsi yang saya ajukan sebagai berikut :
1. Karakteristik Ibu yang mempunyai balita dalam membawa anak ke posyandu di
Puskesmas Langsa Barat.
2. Hubungan pola asuh ibu dengan perilaku sulit makan pada anak usia pra sekolah.
3. Hubungan bimbingan orang tua saat menonton film kartun di televisi dengan
perilaku anak di Gampong Sungai Pauh Kecamatan Langsa Barat Kota Langsa.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga Bapak/Ibu dapat mengabulkan salah satu
judul diatas sebagai judul skripsi saya.

Hormat Saya

Marlina
KARAKTERISTIK IBU YANG MEMPUNYAI BALITA DALAM MEMBAWA ANAK
KE POSYANDU DI PUSKESMAS LANGSA BARAT
Latar Belakang
Memiliki anak dengan tumbuh kembang yang optimal adalah dambaan setiap ibu.
Untuk mewujudkannya tentu saja ibu harus selalu memperhatikan, mengawasi, dan merawat
anak secara seksama. Proses tumbuh kembang anak dapat berlangsung secara alamiah.
Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita. Karena pada masa ini
pertumbuhan dasar akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya.
Pada masa balita ini perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial,
emosional, dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan
berikutnya. Perkembangan moral serta dasar-dasar kepribadian juga dibentuk pada masa ini.
Pada masa periode kritis ini, diperlukan rangsangan atau stimulasi yang berguna agar
potensinya berkembang. Perkembangan anak akan optimal bila interaksi diusahakan sesuai
dengan kebutuhan anak pada berbagai tahap perkembangannya, bahkan sejak bayi masih
dalam kandungan (Kania, 2014).
Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah,
ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang dapat diukur dengan ukuran
berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan
metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Perkembangan (development) adalah
bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks
dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan
(Dompas, 2010).
Pemantauan pertumbuhan balita bersumber dari data Berat Badan (BB) dan Tinggi
Badan (TB). Tujuan pengukuran BB/TB adalah untuk menentukan status gizi anak, apakah
anak termasuk normal, kurus, kurus sekali atau gemuk. Jadwal pengukuran BB/TB
disesuaikan dengan jadwal deteksi dini tumbuh kembang balita (Dewi, 2011).
Penimbangan balita yang dilakukan di Posyandu dimaksudkan untuk memantau
pertumbuhan dan perkembangan setiap bulan mulai umur 1 tahun sampai 5 tahun di
Posyandu. Hal ini diperlukan untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan balita
termasuk deteksi dini gangguan tumbuh kembangnya. Setelah balita ditimbang, hasilnya

dicatat pada Buku KIA atau Kartu Menuju Sehat (KMS). Pada buku tersebut akan telihat
berat badannya naik atau tidak (Dinkes Aceh, 2012)
Cakupan penimbangan berat badan balita (D/S) merupakan indikator yang berkaitan
dengan cakupan pelayanan gizi pada balita, cakupan pelayanan kesehatan dasar khususnya
imunisasi, tingkat partisipasi masyarakat serta prevalensi gizi kurang. Semakin tinggi
cakupan D/S, semakin tinggi cakupan vitamin A, semakin tinggi cakupan imunisasi dan
semakin rendah prevalensi gizi kurang (Kemenkes RI, 2012).
Manfaat membawa anak setiap bulan ke Posyandu adalah untuk mengetahui apakah
balita tumbuh sehat. Untuk mengetahui dan mencegah gangguan pertumbuhan balita. Untuk
mengetahui balita yang sakit, (demam/batuk/pilek/diare), berat badan dua bulan berturut-turut
tidak naik, balita yang berat badannya BGM (Bawah Garis Merah) dan dicurigai gizi buruk
sehingga dapat segera dirujuk ke Puskesmas. dan untuk mengetahui kelengkapan Imunisasi
serta mendapatkan penyuluhan gizi (Dinkes Aceh, 2012).
Dari data cakupan kunjungan balita ke posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa
Barat dapat diketahui bahwa cakupan kunjungan balitanya masih rendah. Hal ini sangat
mengkhawatirkan. Ibu yang tidak membawa balitanya ke posyandu, dapat menyebabkan
tidak terpantaunya pertumbuhan dan perkembangan balita. Balita yang tidak ditimbang
berturut-turut beresiko keadaan gizinya memburuk sehingga mengalami gangguan
pertumbuhan dan perkembangan.
Ibu adalah orang terdekat anak, oleh karena itu diharapkan ibu dapat membawa anak
secara teratur ke posyandu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karakteristik adalah ciriciri khusus atau mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu. Karakteristik
adalah ciri-ciri dari individu yang terdiri dari data demografi seperti jenis jenis kelamin, umur
serta status sosial seperti, tingkat pendidikan, pekerjaan, ras, status ekonomi dan sebagainya.
demografi berkaitan dengan stuktur penduduk, umur, jenis kelamin dan status ekonomi
sedangkan data kultural mengangkat tingkat pendidikan, pekerjaan, agama, adat istiadat,
penghasilan dan sebagainya (Kemenkes RI, 2014).
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, penulis tertarik melakukan
penelitian mengenai Karakteristik Ibu yang mempunyai balita dalam membawa anak ke
posyandu di Puskesmas Langsa Barat.

HUBUNGAN POLA ASUH IBU DENGAN PERILAKU SULIT MAKAN PADA ANAK
USIA PRA SEKOLAH
Latar Belakang
Ibu adalah tempat perkembangan awal seorang anak, sejak saat kelahirannya sampai
proses perkembangan jasmani dan rohani berikutnya. Pola stimulasi kemandirian oleh ibu
merupakan bentuk perilaku ibu dalam memberikan stimulasi kepada anak yang dapat
dipengaruhi faktor predisposisi (predisposising factor) termasuk pengetahuan, sikap,
kepercayaan dan konsep diri dan faktor pendukung (enabling factor) terwujud dalam
lingkungan fisik, ketersediaan fasilitas dan sumber daya (Notoatmodjo, 2010).
Banyak ahli mengatakan pengasuhan anak adalah bagian penting dan mendasar,
menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan anak
menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan bedasarkan nilai-nilai keluarga, karena
pola asuh anak sangat berhubungan terhadap nilai-nilai yang dimiliki dalam suatu kekuarga.
Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan anak. Peran
pengasuhan atau perawatan anak lebih banyak dipegang oleh ibu meskipun mendidik anak
merupakan tanggung jawab bersama. Dalam hal pengasuhan, proses yang utama diberikan
oleh keluarga kepada anak adalah pendidikan yang dapat menumbuhkan kemandirian anak
(Apisah, 2009).
Tugas orang tua adalah melengkapi anak dengan memberikan pengawasan yang dapat
membantu anak agar dapat menghadapi kehidupan dengan sukses. Pola asuh pada dasarnya
diciptakan oleh adanya interaksi antara orang tua dan anak dalam hubungan sehari-hari yang
berevolusi sepanjang waktu, sehingga orang tua akan menghasilkan anak-anak sealiran,
karena orang tua tidak hanya mengajarkan dengan kata-kata, contoh-contoh tetapi juga
dengan nasehat-nasehat yang mudah dimengerti oleh anak (Hidayat, 2008). Pola asuh orang
tua terdiri atas 3 karakter, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh
permisif.
Pada usia prasekolah, anak mengalami perkembangan psikis menjadi balita yang lebih
mandiri,

autonom,

dapat

berinteraksi

dengan

lingkungannya,

serta

dapat

lebih

mengekspresikan emosinya. Luapan emosi yang biasa terjadi pada anak berusia 3-5 tahun
berupa temper tantrum, yaitu mudah meletup-letup, menangis, atau menjerit saat anak tidak
merasa nyaman. Di samping itu, anak usia tersebut juga cenderung senang bereksplorasi
dengan hal-hal baru. Sifat perkembangan khas yang terbentuk ini turut mempengaruhi pola

makan anak. Hal tersebut menyebabkan anak terkadang bersikap terlalu pemilih, misalnya
balita cenderung menyukai makanan ringan sehingga menjadi kenyang dan menolak makan
saat jam makan utama. Anak juga sering rewel dan memilih bermain saat orangtua menyuapi
makanan. Gangguan pola makan yang terjadi jika tidak segera diatasi dapat berkembang
menjadi masalah kesulitan makan (Soetjiningsih, 2010).
Masalah makan pada anak berbeda dengan masalah makan pada orang dewasa dan
dewasa muda. Masalah perilaku makan yang timbul dapat bervariasi dari memilih makanmakanan tertentu, membatasi jumlah asupan makanan, makan berlebihan, sampai terjadinya
gangguan makanan yang berimbas pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Keluhan
mengenai anak yang sulit makan menjadi masalah yang sering diungkapkan oleh orangtua
ketika membawa anaknya ke dokter. Keluhan ini terjadi hampir merata tanpa membedakan
jenis kelamin, etnis, dan status sosial ekonomi. Beberapa masalah makan yang sering muncul
antara lain: rewel, muntah, terlalu pemilih, fobia makan, makan lambat, dan penolakan
makanan. Menurut Depkes RI (2010) kesulitan makan yang berat dan berlangsung lama
berdampak negatif pada keadaan kesehatan anak, keadaan tumbuh kembang dan aktifitas
sehari-harinya. Dampak kesulitan makan pada umumnya merupakan akibat gangguan zat gizi
yang terjadi. Beberapa macam gizi, berapa berat kekurangannya, jangka waktu singkat atau
lama. Oleh karena itu, bila prilaku sulit makan dibiarkan begitu saja maka diprediksikan
generasi penerus bangsa akan hilang karena keadaan gizi masyarakat merupakan salah satu
unsur utama dalam penentuan keberhasilan pembangunan Negara atau yang lebih dikenal
sebagai Human Development Indeks (HDI).
Kesulitan makan pada anak dapat disebabkan oleh faktor organik dan non-organik.
Faktor organik disebabkan antara lain, kelainan organ bawaan dan abnormalitas fungsi
saluran pencernaan. Faktor non-organik disebabkan, antara lain, peran orangtua atau
pengasuh, keadaan sosial ekonomi keluarga, jenis dan cara pemberian makanan, kepribadian,
serta kondisi emosional anak (Marmi, 2013).
Berdasarkan permasalahan diatas peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai hubungan pola asuh ibu dengan perilaku sulit makan dan mengangkatnya dalam
sebuah skripsi yang akan diberi judul Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan Perilaku Sulit Makan
Pada Anak Usia Pra Sekolah.

HUBUNGAN BIMBINGAN ORANG TUA SAAT MENONTON FILM KARTUN DI


TELEVISI DENGAN PERILAKU ANAK DI GAMPONG SUNGAI PAUH
KECAMATAN LANGSA BARAT KOTA LANGSA
Latar Belakang

Anda mungkin juga menyukai