Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Autis
a. Pengertian
Autis

atau

dikenal

dengan

sindroma

Keanner

adalah

ketidakmampuan anak dalam menggunakan bahasa, perilaku


berulang-ulang, kelainan emosi, intelektual dan gangguan pervasif.
Autis adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada
anak. Gejala yang tampak adalah gangguan dalam bidang
perkembangan; perkembangan interaksi dua arah, perkembangan
interaksi timbal balik, dan perkembangan perilaku. Anak autis
menderita gangguan perilaku ataupun otak. Meskipun mereka tidak
mampu bersosialisasi, tetapi anak autis tidak bodoh (Hasdianah,
2013).
Kata autis berasal dari bahasa Yunani yaitu auto yang berarti
sendiri. Istilah autis hidup dalam dunianya sendiri. Istilah autis
pertama kali diperkenalkan oleh Leo Keanner, seorang psikiater dari
Harvard pada tahun 1943. Autis merupakan kelainan yang terjadi
pada anak yang tidak mengalami perkembangan normal, khususnya
dalam hubungan dengan orang lain. Autis pada masa kanak-kanak
adalah

gangguan

perkembangan

normal,

khususnya

dalam

hubungan dengan orang lain. Autis dipandang sebagai kelainan


perkembangan sosial dan mental yang disebabkan oleh gangguan
perkembangan otak akibat kerusakan selama pertumbuhan fetus,
atau saat kelahiran, atau pada tahun pertama kehidupannya
(Winarno, 2013).

Autis adalah gangguan perkembangan yang kompleks pada fungsi


otak, disertai defisit intelektual dan perilaku dalam rentang dan
keparahan yang luas. Autis dimanifestasikan selama masih bayi dan
awal masa kanak-kanak, terutama sejak usia 18-30 bulan. Autis
terjadi pada 1:2500 anak, sekitar empat kali lebih sering terjadi pada
laki-laki daripada perempuan, dan tidak berhubungan dengan
tingkat sosio ekonomi, gaya hidup orang tua (Wong, 2008).
b. Derajat autis
Menurut

Hardiansyah

dan

Tambunan

(2004),

autis

dapat

diklasifikasikan menjadi beberapa bagian berdasarkan gejalanya.


Klasifikasi autis dapat diketahui melalui Childhood Autism Rating
Scale (CARS). CARS menilai derajat kemampuan anak untuk
berinteraksi dengan orang lain, melakukan imitasi, memberikan
respon emosi, penggunaan tubuh dan objek, adaptasi terhadap
perubahan, memberikan respon visual, pendengar, pengecap,
penciuman, dan sentuhan. Selain itu, CARS juga menilai derajat
kemampuan anak dalam perilaku takut/ gelisah melakukan
komunikasi verbal/ non verbal, aktivitas, konsistensi respon
intelektual serta penampilan menyeluruh. Pengklasifikasian autis
sebagai berikut:
1) Autis ringan
Autis ringan masih menunjukkan kontak mata walaupun tidak
berlangsung lama. Anak autis ini dapat memberikan sedikit
respon ketika dipanggil namanya, menunjukkan ekspresi muka,
dan masih bisa diajak komunikasi dua arah meskipun hanya
sesekali. Tindakan yang sering dilakukan yaitu memukulkan
kepalanya sendiri, menggigit kuku, gerakan kuku yang stereotif,
perilaku masih bisa dikendalikan dan dikontrol dengan mudah
karena biasanya perilaku dilakukan sesekali saja.

10

2) Autis sedang
Autis sedang masih menunjukkan sedikit kontak mata, namun
tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil. Tindakan
agresif atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan
gangguan motorik yang stereotif cenderung agak sulit untuk
dikendalikan tetapi masih bisa dikendalikan.
3) Autis berat
Autis berat menunjukkan tindakan- tindakan yang sangat tidak
terkendali. Biasanya anak autis berat memukulkan kepalanya
sendiri ke tembok tanpa henti dan dilakukan secara berulangulang. Ketika orang tua berusaha mencegah, anak tidak berespon
dan tetap melakukannya, bahkan dalam kondisi berada di
pelukan orang tuanya, anak autis masih tetap memukulkan
kepalanya. Anak baru berhenti setelah merasa kelelahan
kemudian langsung tertidur. Kondisi lainnya yaitu anak terus
berlarian di dalam rumah sambil menabrakkan tubuhnya ke
dinding tanpa henti hingga larut malam, kondisi ini di luar
kontrolnya.
c. Etiologi
Sampai saat ini autis masih belum diketahui secara pasti
penyebabnya. Namun, ada dua faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya autis yaitu faktor genetik dan lingkungan. Dari faktor
genetik telah ditemukan gen autis yang diturunkan oleh orang tua,
sedangkan faktor lingkungan yaitu terkontaminasinya lingkungan
oleh zat-zat beracun, pangan, gizi, dan akibat raksenasi (Winarno,
2013).
Para pakar menjelaskan bahwa kerusakaan di otak yang mengatur
input rangsangan dapat memicu terjadinya gangguan terutama
dalam kemampuan berbahasa. Pada kondisi autoimmune biasanya

11

terjadi pembengkakan, sitokin diproduksi secara berlebihan dalam


sel darah putih sehingga kadar sitokin meningkat dan menyebabkan
abnormal neurology. Percobaan dilakukan dengan memberi
makanan yang mengandung gluten dan kasein kepada anak normal
dan anak autis. Berdasarkan hasil analisis, kandungan sitokin dalam
darah anak autis meningkat lebih tinggi daripada anak normal.
Peningkatan sitokin ini menjadi penyebab timbulnya autis.
Demikian pula ibu-ibu yang menderita diabetes tipe I, psoriasis,
atau rhinitis asma ketika sedang mengandung juga beresiko
melahirkan anak autis. Sebagian besar anak autis memiliki jumlah
kandungan merkuri dan logam berat sebanyak 3-10 kali di atas
normal. Hal ini yang memicu kondisi hiperaktif pada anak autis
(Winarno, 2013).
Para pakar autis menyebutkan bahwa autis terjadi karena faktor
keturunan. Selain itu, faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
autis yaitu stress, diet, infeksi, usia ibu, dan obat-obatan yang
digunakan saat kehamilan. Risiko terjadinya autis lebih tinggi jika
ibu mengkonsumsi antidepresan selama kehamilan, terutama pada
tiga bulan pertama kehamilan. Selain itu, ibu yang merokok selama
hamil pun dapat menyebabkan anak autis (Hasdianah, 2013).
d. Patofisiologi Autis
Menurut Mc. Candles (2003), mekanisme terjadinya autis yaitu:
1) Mekanisme Racun Logam Berat
Logam berat dapat berpengaruh buruk pada sistem pencernaan,
sistem imun tubuh, sistem saraf, dan sistem endokrin. Logam
berat mengubah fungsi seluler dan sejumlah proses metabolisme
dalam tubuh, termasuk yang berhubungan dengan sistem saraf
pusat dan sekitamya. Sebagian besar kerusakan yang disebabkan
oleh logam berat disebabkan oleh perkembangbiakan radikal

12

bebas oksidan. Radikal bebas adalah molekul yang energinya


tidak seimbang,

yaitu

terdiri

dari

elektron

yang tidak

berpasangan, yang mengambil elektron dari molekul lainnya.


Radikal bebas umumnya muncul bila molekul sel-sel bereaksi
dengan oksigen. Produksi radikal bebas yang berlebihan dapat
terjadi apabila seseorang terpapar logam berat atau anak-anak
memiliki defisiensi antioksidan secara genetik. Radikal bebas
akan dapat merusak jaringan di seluruh tubuh, termasuk otak.
Antioksidan seperti vitamin A, C, dan E melindungi tubuh
terhadap radikal bebas dan pada tingkat tertentu memperbaiki
kerusakan akibat radikal bebas.
2) Imun Tubuh dan Saluran Pencernaan Berinteraksi
Otak adalah bagian tubuh yang membutuhkan zat gizi penting.
Kebutuhan tersebut sangat bergantung pada interaksi kompleks
antara sistem imun, kelenjar endokrin, dan saluran pencernaan.
Imun

tubuh

adalah

pemimpin

pertahanan

tubuh

untuk

menghadapi bakteri patogen, jamur, dan virus. Sistem imun juga


dapat membedakan antara molekul asing dan molekul tubuh
sendiri, menggerakkan sel-sel dan antibodi untuk menghadapi
molekul asing. Sistem imun seharusnya bereaksi apabila ada
masalah, tetapi pada anak autis mempunyai sistem imun yang
malfungsi. Seringkali perubahan fungsi ini menyebabkan tubuh
salah mengidentifikasi sel-sel sendiri dan molekul asing,
sehingga malfungsi ini menyebabkan terjadinya peradangan pada
saluran pencernaan. Saluran pencernaan merupakan penghalang
penting antara patogen yang datang dari luar dan organ-organ
dalam, dimana sejumlah mekanisme imun terdapat pada
ephitalium. Lapisan usus ini bertugas memblokir patogen luar
agar tidak melakukan pengrusakan.

13

3) Pertumbuhan Jamur yang Berlebih dapat Melukai Sistem Saluran


Pencernaan.
Pemberian antibiotik yang berlebihan mengakibatkan banyak
bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Antibiotik bukan hanya
membunuh patogen, tetapi sekaligus membunuh bakteri-bakteri
pelindung (probiotik) usus. Diare kronis atau sembelit pada anak
dapat menunjukkan gejala pertumbuhan jamur yang berlebihan
pada banyak individu. Pertumbuhan bakteri dan jamur yang
berlebihan dapat melukai sistem saluran pencernaan dan
merupakan salah satu penyebab spektrum autis.
4) Peningkatan Permeabilitas Mukosa Usus dan Malabsorpsi
Jamur memproduksi hasil sampingan yang beracun, yang dapat
menyebabkan berbagai jenis penyakit pencernaan, diantaranya
yaitu sindrom iritasi usus besar (irritable bowel syndrome),
sembelit yang kronis atau diare. Salah satu racun hasil sampingan
ini adalah enzim yang membiarkan jamur tersebut menggali
lubang di dinding usus yang dapat mengakibatkan terjadinya
keadaan leaky gut. Racun-racun yang diproduksi oleh jamur ini
mengebor lubang-lubang pada dinding usus dan meresap ke
dalam aliran darah anak. Substansi racun ini dapat melukai atau
merusak sawar darah otak yang dapat menyebabkan hilangnya
kesadaran, kemampuan kognitif, kemampuan bicara atau tingkah
laku. Sawar darah otak merupakan suatu dinding yang
impermeabel. Sawar darah berfungsi melindungi otak dari
berbagai gangguan yang dapat menyebabkan disfungsi otak.
Penyerapan protein yang tidak cukup atau tidak sesuai oleh usus
dapat

menyebabkan

kelainan

sistem

pencernaan.

Sistem

pencernaan yang sehat akan mampu mencerna makanan yang


kompleks dan memecahnya ke dalam bentuk yang dapat diserap
oleh sel-sel tubuh yang kemudian diubah menjadi energi melalui
metabolisme tubuh. Pada waktu dicerna, banyak protein yang

14

dipecah menjadi asam amino tunggal, yang lainnya dibawa


sebagai rantai yang sedikit lebih besar. Pada anak autis, protein
dan peptida yang tidak dapat dicerna berasal dari kasein dan
gluten. Peptida yang tidak bisa dicerna oleh tubuh dapat
memasuki aliran darah dan apabila terbawa ke otak akan
memiliki efek seperti opioid.
Lubang-lubang yang berukuran abnormal diantara dindingdinding lapisan sel usus akan membiarkan opioid dan zat-zat
beracun lainnya meresap memasuki aliran darah. Racun-racun ini
tidak seharusnya berada di tempat tersebut, maka sistem imun
mengenali substansi-substansi ini sebagai benda asing dan
membuat antibodi menentang mereka. Beberapa patogen usus
yang masuk ke dalam aliran darah, biasanya akan dihancurkan
oleh munculnya reaksi imun, akan tetapi pecahan dinding sel
patogen yang telah dihancurkan ini dapat menyebabkan
peradangan dan sampai tingkat tertentu dapat tersangkut di
lokasi-lokasi seluruh tubuh termasuk hati dan otak itu sendiri.
Substansi racun tersebut dapat merusak bahkan melampaui
kemampuan hati untuk membersihkan racun tersebut apabila
terdapat dalam jumlah yang cukup banyak. Penumpukan patogen
tersebut

dapat

menimbulkan

kehilangan

memori

dan

kebingungan.
e. Tanda Autis
Menurut Winarno (2013), tanda-tanda utama autis yang tampak
menonjol dan jelas yaitu ketika anak berusia di bawah 3 tahun atau
toddler, tanda-tanda tersebut yaitu:
1) Tidak pernah menunjuk dengan jari (pointing) pada usia 1 tahun.
2) Tidak pernah mengoceh (babbling) pada usia sekitar 1,5 tahun;
artinya anak tidak mengucapkan satu kata pun.

15

3) Tidak pernah mengucapkan dua kata pada usia 2 tahun.


4) Setiap saat kemampuan berbahasa dapat hilang.
5) Pura-pura bermain dan tidak bereaksi sama sekali bila dipanggil
namanya.
6) Tak acuh dengan yang lain; kalaupun memberikan perhatian
hanya sedikit sekali dan tanpa kontak mata sama sekali.
7) Mengulang-ulang gerakan badan atau anggota tubuh; sering
bertepuk tangan dan mengguncang-guncangkan tubuh.
8) Perhatian fokus pada objek tertentu saja.
9) Biasanya menolak keras perubahan atas hal-hal yang bersifat
rutin.
10) Sangat peka terhadap tekstur dan bau tertentu.
f. Gejala Autis
Menurut Wong (2008), manifestasi dari anak autis yaitu:
1) Hubungan sosial dan perilaku, meliputi isolasi interpersonal
ekstrem,

perhatian

yang

intens

dan

abnormal

untuk

mempertahankan kesamaan, tidak bereaksi terhadap momongan


dan gendongan, tidak berespon terhadap rangsangan verbal,
kelekatan yang aneh terhadap benda mekanis, perilaku aneh yang
berulang-ulang,

sulit

ditangani,

pasif,

mudah

marah,

tempertantum, dan perilaku merusak diri.


2) Perkembangan, meliputi retardasi mental (biasanya berat),
keterampilan motorik kasar dapat berkembang normal sampai
hiperaktif, memiliki kemampuan memori luar biasa, respon
menghisap dan makan buruk.
3) Bahasa, meliputi ekolalia (latah) atau parrot (pengulangan katakata yang diucapkan oleh anak autis secara otomatis),
pronominal baik (cenderung menggunakan kata kamu untuk
kata saya), penggunaan kata-kata harfiah dan konkret (misal
kata dalam untuk arti pintu).

16

4) Proses sensoris/ persepsi, meliputi defisit sensoris meskipun


penglihatan dan pendengaran dalam keadaan normal, tetapi anak
autis bertindak seakan-akan tuli jika diajak komunikasi oleh
orang, tetapi terkadang juga sangat sensitif terhadap suara,
hiposensitif atau hipersensitif terhadap nyeri, memiliki rasa tidak
senang terhadap sentuhan.
Menurut Winarno (2013), terdapat beberapa kategori gejala anak
autis yaitu:
1) Hubungan sosial
Anak autis memiliki kesulitan dalam pembentukan kedekatan
terhadap orang tua dan orang lain. Kesulitan ini kadang-kadang
muncul pada usia dini, yaitu saat anak masih bayi. Bayi dapat
saja menolak dibopong atau digendong. Selain itu, anak balita
yang autis jarang sekali melakukan kontak mata dengan orang
lain. Mereka tidak pernah membalas atau merespon orang lain
secara sosial, anak autis merasa hidup dengan dirinya sendiri.
2) Kerusakan kualitas dalam interaksi sosial
Anak autis mengalami kesulitan dalam hal non verbal behavior,
seperti kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh, dan gestur
untuk

mengatur

interaksi

sosial.

Anak

autis

gagal

mengembangkan hubungan age-appropriate dengan teman


seusianya, mereka kehilangan upaya untuk berbagi kesenangan
atau hal-hal yang memikat bersama orang lain, hal itu ditandai
dengan hilangnya daya saling tukar menukar emosional dalam
hubungan sosial.
3) Bahasa
Gangguan bahasa merupakan gejala umum dan universal bagi
anak autis. Meskipun sulit mendengar bukan satu-satunya gejala
autis, pada awalnya anak autis sering dianggap mengalami
gangguan pendengaran. Para pakar percaya bahwa anak autis

17

memiliki kesulitan besar dalam mengenali arti perkataan yang


dikatakan oleh orang lain, namun anak autis dapat mendengar
dengan jelas perkataan tersebut.
Anak autis mengalami keterlambatan dalam perkembangan,
khususnya terhadap kepekaan bahasa. Tanda-tanda khusus anak
autis berupa echolalia, yaitu kecenderungan untuk mengulang
suara dan kata-kata orang lain. Biasanya ia suka menirukan bunyi
setelah orang lain berbicara, tetapi beberapa anak autis lainnya
yang memiliki kemampuan rendah untuk mengingat seluruh
pembicaraan atau program televisi sehingga memerlukan waktu
lama untuk mengartikan makna yang ia dengar dan lihat.
Cara bicara anak autis biasanya datar, tanpa intonasi dan emosi.
Bila intonasinya berubah, seringkali terjadi secara tidak tepat.
Ekspresi non verbal yang keluar dari emosi, seperti gestur dan
ekspresi wajah, sering tidak diikuti dengan perkataan.
4) Tabiat atau behavior
Anak autis sangat menolak perubahan, misalnya makanan,
mainan, perabot rumah, dan baju baru. Mereka senang
mengulang-ulang gerakan, melukai diri sendiri dengan berulangulang membenturkan kepala ke tembok atau menggigit bagian
tubuh sendiri.
5) Kecerdasan
Sekitar 65% anak autis memiliki keterbelakangan mental dalam
tingkat tertentu, dengan IQ kurang dari 70. Namun, kecerdasan
anak autis tidak sama. Hasil tes kemampuan motorik dan spasial
biasanya lebih baik daripada tes verbal.
6) Kemampuan berintegrasi
Salah satu hal penting dari Autism Spectrum Disorder (ASD)
yaitu

diagnosis

tidak

hanya

menunjukkan

lambatnya

perkembangan tubuh atau hilangnya suatu skill tertentu, tetapi


kurangnya kualitas atau kemampuan berinteraksi. Meskipun

18

mampu menangkap banyak bahasa, ia tidak menggunakannya


untuk berkomunikasi. Bahasa yang dikuasai mungkin bisa
canggih, tetapi kemampuan berkomunikasi tidak dipraktikkan.
g. Terapi Anak Autis
Menurut Hasdianah (2013), ada beberapa terapi anak autis yaitu:
1) Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah jenis terapi yang memberikan pelatihan khusus bagi
anak autis dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/
pujian). Jenis terapi ini bisa diukur kemajuannya. Saat ini, terapi
ABA adalah terapi yang paling banyak diterapkan di Indonesia.
2) Terapi Wicara
Hampir semua anak autis mempunyai kesulitan dalam hal bicara
dan berbahasa. Dalam hal ini, terapi wicara dan berbahasa akan
sangat membantu anak autis dalam belajar bicara.
3) Terapi Okupasi
Hampir semua anak autis mempunyai keterlambatan dalam hal
perkembangan motorik halus. Gerak geriknya kaku dan kasar,
anak autis kesulitan untuk memegang benda dengan cara yang
benar. Dalam hal ini, terapi okupasi sangat penting untuk melatih
mempergunakan otot-otot halusnya dengan benar.
4) Terapi Fisik
Autis adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak
diantara anak autis mempunyai gangguan perkembangan dalam
motorik kasarnya. Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga
jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus.
Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak
menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki
keseimbangan tubuhnya.

19

5) Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi anak autis adalah dalam
bidang komunikasi dan interaksi. Anak-anak dalam kategori ini
membutuhkan pertolongan dalam keterampilan berkomunikasi
dua arah. Seorang terapis sosial membantu dengan memberikan
fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya
dan mengajari cara-caranya.
6) Terapi Bermain
Meskipun

terdengarnya

aneh,

anak

autis

membutuhkan

pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman


sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi
sosial. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini
dengan teknik-teknik tertentu.
7) Terapi Perilaku
Anak autis seringkali merasa frustasi. Teman-temannya seringkali
tidak memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan
kebutuhannya. Mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara,
cahaya dan sentuhan, dan mengakibatkan anak autis mengamuk.
Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar belakang dari
perilaku

negatif

tersebut

dan

mencari

solusinya

dengan

merekomendasikan perubahan lingkungan dan anak tersebut rutin


untuk memperbaiki perilakunya.
8) Terapi Perkembangan
Floortime, Son-rise dan Relationship Developmental Intervention
(RDI)

dianggap

sebagai

terapi

perkembangan.

Terapi

perkembangan berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA yang


lebih mengajarkan keterampilan yang lebih spesifik.
9) Terapi Visual
Anak autis lebih mudah belajar dengan visual learners (melihat).
Hal ini kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar

20

komunikasi melalui gambar-gambar. Beberapa video games bisa


juga dipakai untuk mengembangkan keterampilan komunikasi.
10) Terapi Biomedik
Terapi biomedik dikembangkan oleh para dokter yang tergabung
dalam Defeat Autism Now (DAN). Para dokter sangat gigih dalam
melakukan riset dan menemukan hasil bahwa gejala anak autis
diperparah oleh adanya gangguan metabolisme yang akan
berdampak pada gangguan fungsi otak. Oleh karena itu, anakanak autis diperiksa secara intensif, yang meliputi pemeriksaan
darah, urine, feses, dan rambut. Terapi ini menunjukkan kemajuan
yang lebih baik jika dilakukan secara komprehensif.
Nilai normal eritrosit pada anak-anak yaitu 3.6 - 4.8 juta sel/mm,
sedangkan nilai normal sel darah putih pada anak yaitu 9 12
ribu/mm. Menurut Khomsan (2007), analisis hematologi dapat
mengungkap jumlah sel darah merah dan sel darah putih pada
penderita autis. Jumlah sel darah merah yang terlalu rendah
menyebabkan gangguan suplain oksigen dalam jaringan, termasuk
jaringan otak. Kekurangan oksigen pada otak menyebabkan
gangguan konsentrasi dan ketidakmampuan berpikir jernih.
Kurangnya sel darah putih yang mungkin dialami anak autis
menyebabkan turunnya kekebalan tubuh, sehingga memudahkan
terjadinya serangan infeksi. Gangguan sistem pencernaan dan
peradangan akan muncul karena kekebalan tubuh yang tidak
optimal.
Menurut Suryo, dkk (2013), perancangan mesin pemeluk (hug
machine) jenis inflating wrap dapat digunakan sebagai alat bantu
terapi autis. Alat ini didesain untuk menciptakan deep pressure
dengan cara menggembungkan balon yang berada di hug machine
jenis inflating wrap, dengan desain pola kain yang dapat menutupi

21

pundak sampai dengan kaki akan memberikan penekanan yang


merata. Penerapan deep pressure pada terapi autis dapat membantu
anak dalam menerima kontak fisik terhadap lingkungan sosialnya
serta meningkatkan ketenangan dari penderita autis.
h. Diet Anak Autis
Pengontrolan suatu jenis atau bagian dari menu makanan dalam
penanganan dan pengobatan terhadap anak autis disebut diet. Diet
anak autis merupakan suatu bagian dari cara makan dan minum
yang memfokuskan diri terhadap eliminasi gluten dan kasein,
meskipun jenis pangan atau bagian pangan lain juga dapat
mengganggu, kedua jenis protein tersebut dianggap oleh para pakar
sebagai lawan utama dan terbesar bagi pencernaan anak autis.
Kasein merupakan protein yang terdapat dalam produk susu. Kasein
juga terdapat dalam produk lain, seperti yoghurt, es krim, kue dan
roti, ikan tuna dalam kaleng. Gluten adalah suatu jenis protein yang
terdapat dalam biji gandum dan beberapa jenis sereal lainnya.
Bagi sebagian anak autis, eliminasi kasein dan gluten sudah
dianggap cukup, sebagian lain dapat peka terhadap jenis makanan
lain, seperti kedelai dan jagung. Eliminasi keempat produk tersebut
dapat membantu memperbaiki gejala autis. Bagi orang tua yang
memiliki anak autis, sebaiknya memberikan produk pangan selain
keempat makan tersebut (Winarno, 2013).
Anak autis mayoritas menderita gangguan saluran pencernaan,
karena 60-70% dari keseluruhan sistem imun manusia terletak di
saluran usus dan organ-organ pencernaan (Mc. Candless, 2003).
Pola makan pada anak terutama anak autis harus mengandung
jumlah zat gizi, terutama karbohidrat, protein, dan kalsium yang

22

tinggi yang berguna untuk memenuhi kebutuhan fisiologik selama


masa pertumbuhan dan perkembangan. Berdasarkan penelitian
Walsh dan Shaw dalam Mc. Candless (2003), anak autis umumnya
kekurangan zink, vitamin B6, asam gamma linoleat (GLA), serta
metionin, karena zat gizi yang dikonsumsi oleh anak autis kurang
protein. Hal ini terjadi karena pilihan makanan pada anak autis
sangat terbatas, sehingga hampir seluruh anak autis memiliki
defisiensi vitamin dan mineral. Gangguan gizi yang lain yang sering
terjadi pada anak autis yaitu kekurangan zink dan magnesium. Zink
diperlukan oleh tubuh untuk perkembangan mukosa usus yang
sehat, pembentukan myelin, dan perkembangan sistem imun yang
sempurna, sedangkan magnesium memegang peranan penting
dalam sistem enzim dan bertindak sebagai katalisator reaksi yang
berkaitan dengan metabolisme.
Menurut Elvira (2010), makanan yang harus dihindari oleh anak
autis beserta makanan penggantinya yaitu:
Tabel 2.1.
Makanan yang harus dihindari oleh anak autis dan penggantinya
Makanan yang harus dihindari
Pewarna, pengawet, penambah rasa,
makanan kaleng, makanan siap saji,
kaldu instant.
Kopi, teh, sirup, cokelat, minuman soda,
minuman mengandung kola.
Tepung terigu, havsermouth (oatmeal),
mie instan, semua produk makanan yang
mengandung glutein.
Susu sapi, keju, es krim dari susu sapi
dan semua produk olahan yang
mengandung susu sapi.
Permen, jeally, gula (segala bentuk gula
jawa, gula pasir,
gula halus dan lain-lain).
Daging atau telur atau ayam olahan yang
telah diproses dengan menggunakan
tambahan bahan kimia, hormone atau
antibiotik.
Buah strawberry, anggur, melon, jeruk.

Makanan pengganti
Makanan segar, sayur (buncis, kacang
polong, kacang panjang, kol, seledri,
wortel, labu, asparagus, bit).
Jus dari buah atau sayuran segar, the
rempah, bubuk carob (pengganti
cokelat).
Tepung beras, tepung tapioka, tepung
kanji, kentang, beras ketan, singkong,
ubi, beras merah.
Susu kedelai, susu dari kacang almond,
susu dari beras. Es krim dari jus buah
segar buatan sendiri.
Madu murni, sirup maple, sirup dari
beras, sebaiknya digunakan
dalam jumlah sangat terbatas.
Ikan segar, telur, dan ayam kampung.

Buah pir, pisang, pepaya.

23

i. Perilaku Anak Autis


Pada anak autis terdapat dua tipe perilaku yaitu tipe seeking
defensiveness

(mencari)

dan

tipe

behavior

defensiveness

(menghindar). Tipe mencari adalah tipe anak autis yang cenderung


memiliki nafsu makan yang besar dan senang mengunyah, sehingga
jika anak diberi makan, maka anak tersebut akan menghabiskan
makanannya. Hal ini berdampak pada kelebihan berat badan
(obesitas), sedangkan pada tipe menghindar adalah anak autis yang
memiliki nafsu makan yang kecil bahkan cenderung menghindar dari
makanan yang masuk melalui mulut dan tidak senang mengunyah.
Pada anak dengan tipe ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan
berat badan dan dapat mempengaruhi status gizinya yakni ke status
gizi kurang (Gustin, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa pola
perilaku makan anak autis akan mempengaruhi status gizi anak autis.
2. Status Gizi
a. Pengertian
Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau
sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan,
dan penggunaan zat-zat makanan. Status gizi adalah ekspresi dari
keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau
perwujudan

dari

nutriture

dalam

bentuk

variabel

tertentu

(Proverowati & Wati, 2011).


Status gizi seseorang tidak selalu sama dari masa ke masa karena
interaksi dari berbagai faktor. Faktor yang secara langsung
mempengaruhi status gizi adalah konsumsi pangan dan status
kesehatan. Konsumsi pangan, salah satunya dipengaruhi oleh akses
terhadap pangan yang ditentukan oleh tingkat pendapatan seseorang
(Riyadi, 2001).

24

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Anak Autis


Menurut Wahyu (2009), saat ini belum diketahui secara pasti
obesitas pada anak, tetapi penyebab obesitas bersifat multifaktor.
Faktor-faktor utama yang meningkatkan resiko obesitas pada anak
yaitu:
1) Faktor genetik
Menurut Khomsan (2004), salah satu faktor yang meningkatkan
resiko terjadinya obesitas yaitu faktor keturunan. Jika salah satu
orang tua dari anak mengalami obesitas, maka 40% anak juga
memiliki resiko obesitas, dan jika kedua orang tua obesitas,
maka resiko obesitas pada anak menjadi 2 kali lipat dari semula.
Asupan kalori yang lebih besar dari jumlah kalori yang dibakar
pada proses metabolisme di dalam tubuh dapat mengakibatkan
obesitas pada anak. Kecepatan metabolisme tiap orang berbedabeda, hal ini dipengaruhi oleh keterlibatan faktor genetik.
Seseorang yang memiliki kecepatan metabolisme yang lambat
mempunyai resiko lebih besar terjadinya obesitas.
2) Pola aktivitas
Rendahnya aktivitas fisik dan olahraga berperan besar terhadap
terjadinya obesitas. Obesitas lebih mudah diderita oleh anak
yang kurang beraktivitas dan olahraga, hal ini terjadi karena
jumlah kalori yang dibakar lebih sedikit daripada jumlah kalori
yang dikonsumsi.
3) Pola makan
Makanan atau minuman yang mempunyai kadar kalori tinggi,
serat, dan kandungan zat gizi yang rendah perlu dihindari oleh
anak agar tidak terjadi obesitas. Oleh karena itu, para orang tua
mempunyai peranan yang penting dalam memilih makanan yang
tepat.

25

Menurut Curtin, et al. (2005), penyebab kelebihan berat badan


pada anak autis yaitu:
1) Penggunaan obat stimulan
Penggunaan obat stimulan dapat memicu terjadinya kelebihan
berat badan anak autis, karena salah satu efek dari penggunaan
obat stimulan yaitu dapat meningkatkan berat badan.
2) Aktivitas fisik
Rendahnya aktivitas fisik dan olahraga berperan besar terhadap
terjadinya obesitas. Obesitas lebih mudah diderita oleh anak
yang kurang beraktivitas dan olahraga, hal ini terjadi karena
jumlah kalori yang dibakar lebih sedikit daripada jumlah kalori
yang dikonsumsi.
3) Pola makan yang unik
Menurut Rennie & Jebb (2005), penyebab obesitas pada anak autis
tidak dapat diketahui secara pasti, tetapi terdapat faktor- faktor
yang mempengaruhi terjadinya kelebihan berat badan pada anak
autis yaitu:
1) Perubahan demografi
2) Struktur keluarga
3) Gaya hidup
4) Rendahnya aktivitas fisik
5) Mudahnya untuk mendapatkan akses makan dengan porsi yang
besar
6) Pengaruh budaya dan media
Menurut Curtin, et al. (2010), penyebab kelebihan berat badan
pada anak autis yaitu
1) Aktivitas fisik
Anak autis terjadi kerusakan motorik, sehingga berpengaruh
terhadap kemampuan mereka dalam aktivitas fisik. Kerusakan

26

motorik yang terjadi pada anak autis dapat berupa kemampuan


motorik buruk, keterlambatan kemampuan perkembangan yang
penting

sesuai

usianya,

tonus

otot

lemah,

dan

ketidakseimbangan posisi tubuh.


2) Isolasi sosial
Anak autis mempunyai level rendah dalam hal aktivitas
fisikyang berpengaruh terhadap kegagalan dalam bersosialisasi
karena tidak dapat ikut berpartisipasi dalam aktivitas fisik
dengan teman sebayanya.
3) Perilaku menetap
4) Tidak bisa menjalankan diet tertentu.
Anak autis memperlihatkan lebih selektif dalam memilih
makanan, anak autis lebih menyukai makanan yang padat
seperti nugget, kue. Perilaku menetap dalam mengkonsumsi
makanan berpengaruh terhadap kelebihan berat badan pada
anak autis.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelebihan berat badan pada anak
autis yaitu:
1) Karakteristik anak
Menurut Curtin, et al. (2005), terdapat perbedaan jumlah anak
autis yang mengalami kelebihan berat badan pada berbagai
faktor karakteristik anak seperti umur dan jenis kelamin.
a) Umur
Menurut Curtin, et al. (2005), prevalensi kelebihan berat
badan pada anak autis didominasi oleh anak autis yang
berusia 12-19 tahun yaitu sebesar 50%. Hal ini terjadi
karena semakin bertambahnya umur, maka indeks massa
tubuh (IMT) pun akan semakin tinggi (Rijanti, 2002).

27

b) Jenis kelamin
Menurut Curtin, et al. (2010), prevalensi kelebihan berat
badan didominasi oleh anak autis laki-laki yaitu sebesar
79%. Hal ini terjadi karena asupan zat gizi pada anak lakilaki, seperti energi dan lemak lebih banyak daripada anak
perempuan. Selain itu, anak perempuan mempunyai
aktivitas atau turut serta dalam kegiatan organisasi di
sekolah lebih banyak daripada anak perempuan (Jouret, et
al., 2010).
2) Pola konsumsi dan aktivitas fisik
Pola konsumsi dan aktivitas fisik merupakan salah satu faktor
yang memberikan kontribusi terhadap kelebihan berat badan
pada anak autis. Menurut Wahyu (2009), makanan yang harus
dihindari untuk mencegah kelebihan berat badan pada anak
autis yaitu makanan yang mengandung kadar kalori yang tinggi
dan rendah serat. Menurut Brown (2005), rendahnya aktivitas
fisik juga akan meningkatkan kelebihan berat badan pada anak
autis.
3) Konsumsi makanan
a) Konsumsi energi
Menurut Read (2002), manusia membutuhkan energi untuk
mempertahankan kehidupannya, menunjang pertumbuhan,
dan melakukan aktivitas fisik. Sumber energi dapat berasal
dari karbohidrat, protein, dan lemak. Menurut Almatsier
(2004), kelebihan energi dapat terjadi saat konsumsi
sumber energi melebihi energi yang dikeluarkan oleh
tubuh. Hal ini akan mengakibatkan kelebihan berat badan
pada anak autis.
Menurut AKG (2004), terdapat perbedaan kebutuhan energi
dalam sehari berdasarkan kelompok umur yang dibagi
menjadi 5 yaitu, 1-3 tahun, 4-6 tahun, 7-9 tahun, 10-12

28

tahun, dan 13-15 tahun. Kelompok umur 1-3 tahun


membutuhkan energi sebesar 1000 Kal/hari; umur 4-6
tahun membutuhkan energi sebesar 1550 Kal/hari; umur 79 tahun membutuhkan energi sebesar 1800 Kal/hari; umur
10-12 tahun membutuhkan energi sebesar 2050 Kal/hari;
umur 13-15 tahun membutuhkan energi sebesar 2400
kal/hari pada anak laki-laki, 2300 Kal/hari pada anak
perempuan; umur 16-18 tahun membutuhkan energi sebesar
2600 Kal/hari pada anak laki-laki, 2200 Kal/hari pada anak
perempuan. Menurut Widajanti (2009), konsumsi energi
dikategorikan cukup jika jumlah energi yang dikonsumsi
100% angka kecukupan energi (AKE), dan dikategorikan
lebih jika jumlah energi yang dikonsumsi >100% AKE.
b) Konsumsi karbohidrat
Menurut Jones (2002), karbohidrat adalah sumber energi
utama untuk tubuh. Makanan yang termasuk karbohidrat
yaitu gandum, ubi, beras, kentang. Menurut Almatsier
(2004), makanan yang mengandung karbohidrat secara
berlebihan akan menyebabkan kelebihan berat badan. 1
gram karbohidrat mengandung 4 Kal. Sebagian karbohidrat
berada pada sirkulasi darah, sebagian disimpan sebagai
glikogen dalam hati dan jaringan otot, dan sebagian diubah
menjadi lemak yang disimpan sebagai cadangan energi di
dalam jaringan lemak.
Menurut WNPG (2004), anjuran konsumsi energi adalah
50-60% dari total energi.
c) Konsumsi protein
Menurut Almatsier (2004), makanan yang mengandung
protein yang tinggi juga mengandung lemak yang tinggi,
yang dapat menyebabkan kelebihan berat badan. Menurut
Widajanti (2009), konsumsi protein dikategorikan cukup

29

jika jumlah protein yang dikonsumsi 80-100% angka


kecukupan gizi (AKG), dan dikategorikan lebih jika jumlah
protein yang dikonsumsi >100% AKG.
d) Konsumsi lemak
Menurut Jones (2002), lemak merupakan sumber energi
yang utama bagi tubuh karena lemak memiliki energy
density yang tinggi. Lemak berbeda dengan senyawa kimia
yang lain, kandungan lemak pada makanan tidak hanya
memberikan energi dan asam lemak esensial, tetapi juga
bermanfaat pada vitamin larut lemak. Sebaiknya sumber
energi yang berasal dari lemak adalah < 25%. Hal ini
berfungsi untuk mencegah terjadinya obesitas.
Menurut Hardiansyah dan Tambunan (2004), lemak
mengandung energi sebesar 9 Kal/gr. Konsumsi lemak
dikategorikan cukup jika jumlah lemak yang dikonsumsi
sebesar 20-30% dari energi total, dan dikategorikan lebih
jika jumlah lemak yang dikonsumsi >30% energi total.
Menurut Andyca (2012), faktor- faktor yang mempengaruhi status
gizi anak autis yaitu:
1) Jenis kelamin
Kelebihan berat badan lebih banyak terjadi pada responden
laki-laki dibandingkan dengan responden perempuan. Menurut
Jouret, et al. (2007), asupan zat gizi seperti energi dan lemak
pada anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan.
Selain itu, anak perempuan mempunyai aktivitas atau turut
serta dalam kegiatan organisasi di sekolah dibandingkan anak
laki-laki.
2) Tidak melakukan pantangan makanan
Kelebihan berat badan lebih banyak terjadi pada responden
yang tidak melakukan pantangan dibandingkan dengan

30

responden yang melakukan pantangan. Makanan yang sering


dikonsumsi oleh responden yaitu biskuit, gorengan, dan keripik
yang merupakan sumber karbohidrat dan lemak. Konsumsi
karbohidrat dan lemak berlebih dapat meningkatkan resiko
kelebihan berat badan.
Jenis pantangan yang biasanya dilakukan oleh responden
adalah gluten dan kasein, diet bebas gula murni, diet anti yeast/
ragi, diet zat aditif.
3) Kecukupan konsumsi energi
Kelebihan berat badan lebih banyak terjadi pada responden
yang mengkonsumsi energi lebih dibandingkan dengan
konsumsi energi tidak lebih. Responden yang mengkonsumsi
energi dengan kategori lebih sering mengkonsumsi biskuit,
gorengan, dan keripik yang merupakan sumber energi yang
tinggi. Biskuit dan keripik merupakan salah satu makanan
sumber karbohidrat, sedangkan gorengan merupakan salah satu
makanan

sumber

lemak.

Setiap

gram

karbohidrat

mengandung 4 kalori, sedangkan lemak mengandung 9 kalori


tiap gramnya.
Menurut Almatsier (2004), kelebihan energi bisa terjadi saat
konsumsi energi melalui makanan melebihi energi yang
dikeluarkan oleh tubuh, yang dapat mengakibatkan kelebihan
berat badan atau kegemukan. Menurut AKG (2004), terdapat
perbedaan kebutuhan energi dalam sehari berdasarkan umur
yaitu kelompok umur 1-3 tahun membutuhkan energi sebesar
1000 Kal/hari; umur 4-6 tahun membutuhkan energi sebesar
1550 Kal/hari; umur 7-9 tahun membutuhkan enegi sebesar
1800 Kal/hari; umur 10-12 tahun membutuhkan energi sebesar
2050 Kal/hari; umur 13-15 tahun membutuhkan energi sebesar
2400 Kal/hari pada laki-laki, 2350 Kal/hari pada perempuan;

31

umur 16-18 tahun membutuhkan energi sebesar 2600 Kal/hari


pada anak laki-laki, 2200 Kal/hari pada anak perempuan.
4) Kecukupan konsumsi lemak
Kelebihan berat badan lebih banyak terjadi pada responden
yang mengkonsumsi lemak dengan kategori tidak lebih
dibandingkan dengan konsumsi lemak dengan kategori lebih.
Menurut Fukuda, dkk. (2001), anak autis yang mengkonsumsi
lemak dengan jumlah yang tinggi mempunyai resiko 1,7 kali
peningkatan berat badan dibandingkan dengan anak autis yang
mengkonsumsi lemak dengan jumlah yang rendah. Hal ini
dapat disebabkan oleh makanan yang mengandung lemak
mempunyai efek tidak mengenyangkan dan mempunyai energy
density lebih besar dan efek termogenensis lebih kecil
dibandingkan

makanan

yang

mengandung

protein

dan

karbohidrat (Jones, 2002).


5) Konsumsi protein yang berlebihan
Kelebihan berat badan lebih banyak terjadi pada responden
yang mengkonsumsi protein lebih dibandingkan dengan
konsumsi protein dengan kategori tidak lebih. Menurut
Almatsier (2004), makanan yang mengandung protein tinggi
biasanya juga mengandung lemak yang tinggi, sehingga dapat
mengakibatkan kelebihan berat badan atau obesitas.
6) Frekuensi konsumsi pangan sumber karbohidrat lebih dari 3
kali sehari.
Karbohidrat

terdiri

dari

karbohidrat

sederhana,

seperti

monosakarida dan sakarida, serta karbohidrat komplek seperti


glikogen. Glikogen dihidrolisis oleh tubuh menjadi glukosa
yang berfungsi sebagai energi yang siap dipakai oleh tubuh.
Karbohidrat yang paling mudah dicerna dan menghasilkan
energi adalah karbohidrat sederhana dibandingkan dengan

32

karbohidrat komplek yang membutuhkan waktu untuk dicerna


oleh tubuh (Hardinsyah dan Tambunan, 2004).
Pola makan juga berperan besar dalam risiko peningkatan
terjadinya obesitas pada anak. Makanan yang harus dihindari
untuk mencegah terjadinya obesitas yaitu makanan yang tinggi
kalori dan rendah serat (Wahyu, 2009).
7) Frekuensi konsumsi pangan sumber lemak lebih dari 6 kali
seminggu.
Menurut Liji, et al. (2010), frekuensi konsumsi makanan
dengan sumber energi yang tinggi dapat meningkatkan resiko
kelebihan berat badan dan terdapat hubungan yang bermakna
antara pola konsumsi dengan angka terjadinya obesitas pada
remaja di Xian City, China.
c. Cara Menilai Status Gizi
Menurut Proverowati & Wati (2011), penilaian status gizi dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu:
1) Langsung
a) Antropometri
Ditinjau dari sudut pandang gizi, antropometri gizi
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi
tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat

gizi.

Antopometri

digunakan

untuk

melihat

ketidakseimbangan asupan protein dan energi, yang terlihat


pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh.
b) Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode untuk melihat status gizi
berdasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi, yang
dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat
dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut, dan
mukosa bibir atau pada organ-organ yang dekat dengan

33

permukaan tubuh, seperti kelenjar tiroid. Penggunaan


metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat, yang
dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis
umum dari kekurangan salah satu atau lebih dari satu zat
gizi. Di samping itu, pemeriksaan klinis juga digunakan
untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang yang
dilakukan dengan pemeriksaan fisik.
c) Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan
spesimen yang diuji secara laboratoris, yang dilakukan pada
berbagai macam jaringan tubuh, seperti darah, urine, tinja,
hati, dan otot. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik,
sehingga dibutuhkan penentuan kimia faali yang lebih
banyak menolong untuk menentukan kekurangan zat gizi
secara spesifik.
d) Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode
penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi
(khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari
jaringan tersebut.
2) Tidak langsung
a) Survei Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status
gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis
zat gizi yang dikonsumsi. Data yang dikumpulkan dapat
memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi
pada individu, keluarga, dan masyarakat.
Survei konsumsi makanan dapat diukur dengan metode 24
hours recall dan metode Food Frequency Questionaire
(FFQ). Metode 24 hours recall adalah suatu jenis metode

34

yang digunakan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan


makanan yang dikonsumsi selama 24 jam pada hari
sebelumnya.

Kelebihan

metode

ini

adalah

mudah

melaksanakannya, murah, cepat, dapat digunakan pada


responden yang buta huruf dan dapat menghitung intake zat
gizi sehari karena dapat memberikan gambaran tentang zat
gizi yang dikonsumsi oleh seseorang. Tetapi metode ini juga
memiliki kekurangan yaitu ketepatannya sangat tergantung
pada daya ingat responden serta membutuhkan petugas yang
terlatih dan terampil (Suparisa, 2002).
Sedangkan metode FFQ adalah suatu metodeyang digunakan
untuk mengetahui frekuensi sejumlah makanan jadi atau
bahan makanan selama periode tertentu, seperti hari,
minggu, bulan, dan tahun. Pada daftar FFQ ini, yang dicatat
adalah makanan yang sering dikonsumsi oleh responden.
Kelebihan metode ini adalah murah, sederhana, dapat
dilakukan sendiri oleh responden, dan tidak membutuhkan
latihan khusus. Kekurangan dari metode ini adalah tidak
dapat menghitung zat gizi sehari dan cukup menjemukan
bagi pewawancara (Suparisa, 2002).
b) Statistik Vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital dapat digunakan
dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan,
seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan,
serta data-data yang berhubungan dengan gizi.
c) Faktor Ekologi
Malnutrisi merupakan masalah ekologi yang diperoleh dari
hasil

interaksi

beberapa

faktor

fisik,

biologis,

dan

lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat


tergantung dari keadaan ekologi, seperti iklim, tanah, irigasi.
Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk

35

mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat


sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi.
d. Pengukuran Antropometri Standar
Penilaian status gizi dapat dibedakan menjadi dua yaitu penilaian
status gizi secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi
secara langsung dapat dilakukan dengan pengukuran antropometri.
Antropometri adalah ukuran tubuh manusia yang berhubungan
dengan pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Kelebihan antropometri
yaitu alat mudah didapat dan digunakan; jika terjadi kesalahan,
pengukuran dapat dilakukan secara berulang; biaya relatif murah;
hasilnya mudah disimpulkan; diakui kebenarannya secara ilmiah.
Sedangkan kelemahan antropometri yaitu sensitif, kesalahan pada
saat pengukuran dapat mempengaruhi keakuratan hasil.
Pengukuran antropometri standar dapat menggunakan indeks massa
tubuh (IMT), yaitu suatu pengukuran yang direkomendasikan untuk
mengukur status gizi pada anak-anak. IMT merupakan metode
pengukuran yang paling mudah dan paling banyak digunakan di
seluruh dunia untuk menilai status gizi secara tidak langsung
(Wahyu, 2009).
Tabel 2.2. Kategori IMT
Kategori
Underweight
Normal
Overweight
At-risk
Obese I
Obese II

Batas Ambang
<18.5
18.5 22.9
23
23 24.9
25 29.9
30

Adapun rumus IMT yaitu:


IMT =

BB (kg)
TB (m)

36

Obesitas pada anak ditandai dengan nilai IMT di atas persentil ke85 dan ke-95 pada kurva pertumbuhan, sesuai jenis kelamin dan
umurnya atau nilai IMT terhadap umur (IMT/U) lebih besar dari 1
SD dalam kurva pertumbuhan Z-Score. Menurut Rahayu (2000),
IMT/U lebih baik dibandingkan dengan BB/TB dalam mengukur
status gizi anak usia 6-19 tahun. Pengukuran IMT dapat dilakukan
pada anak dalam rentang usia 0-20 tahun. Pada anak-anak yang
berusia > 5 tahun dapat menggunakan IMT/U menurut WHO tahun
2007.
Tabel 2.3.
Kategori dan Ambang Batas (Z-Score) Status Gizi Anak
Berdasarkan IMT/U

Kategori
Kegemukan
Kelebihan berat badan
Normal
Kurus
Sangat kurus

Z-Score
> +2 SD
> +1 sampai 2 SD
-2 SD sampai 1 SD
-3 SD sampai < -2 SD
< -3 SD

Status gizi pada anak dapat diukur dengan menggunakan indikator


berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Kelebihan berat badan
pada anak dapat dinilai dengan menggunakan berbagai metode atau
tekhnik pemeriksaan. Variabel BB dan TB dalam menentukan status
gizi obesitas pada anak dapat diukur dengan menggunakan indikator
antropometri yaitu BB/U, TB/U, dan IMT/U (Suparisa, 2002).
Pengukuran berat badan terhadap umur (BB/U) dapat digunakan
untuk mendeteksi kelebihan berat badan. Selain itu, BB/U lebih
mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum. Berat
badan adalah salah satu perameter yang memberikan gambaran
massa tubuh (Suparisa, 2002).
Pengukuran tinggi badan terhadap umur (TB/U) merupakan indeks
antropometri yang paling bagus untuk mengetahui status gizi masa
lampau,

tinggi

badan

merupakan

antropometri

yang

37

menggambarkan pertumbuhan tulang. TB/U merupakan pengukuran


yang kurang sensitif terhadap kekurangan gizi dalam waktu singkat
dibandingkan berat badan (Suparisa, 2002).
Pengukuran berat terhadap berat badan (BB/TB) merupakan
indikator yang paling cocok untuk menilai status gizi saat ini karena
merupakan indeks yang independen terhadap umur. Berat badan
memiliki hubungan yang searah dengan tinggi badan dan memiliki
kecepatan pertumbuhan tertentu. Kelebihan BB/TB yaitu tidak perlu
data umur, dapat membedakan proporsi badan. Sedangkan
kekurangan BB/TB yaitu membutuhkan dua jenis alat ukur,
pengukuran lebih lama, saat praktiknya sulit melakukan pengukuran
pada balita (Suparisa, 2002).
Penelitian ini menggunakan pengukuran antropometri standar yaitu
IMT dalam mengukur status gizi anak autis, karena sampai saat ini,
peneliti

belum

memperoleh

referensi

tentang

pengukuran

antropometri khusus anak autis.


B. Kerangka Teori

A
U
T
I
S

Kategori IMT:
Underweight (<18.5)
Normal (18,5-22.9)
Overweight (23)

Faktor-faktor yang mempengaruhi


status gizi anak autis yaitu:
Jenis kelamin
Tidak melakukan pantangan
Kecukupan konsumsi energi
Kecukupan konsumsi lemak
Konsumsi protein yang
berlebihan
Frekuensi konsumsi pangan
sumber karbohidrat lebih dari 3x
sehari
Frekuensi konsumsi pangan
sumber lemak lebih dari 6x
seminggu

Skema 2.1. Kerangka Teori


Sumber: Wahyu (2009) & Andyca (2012)

38

C. Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu
status gizi anak autis di SLB Negeri Semarang.

Anda mungkin juga menyukai