Anda di halaman 1dari 13

STASE KEPERAWATAN GERONTIK

LAPORAN PENDAHULUAN
LANSIA DAN MOBILITAS FISIK

Cirebon, 04 Agustus 2015

Disusun Oleh :
Ayip Syarifudin Nur, S.Kep

PROGRAM PROFESI NERS REGULER


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
2015

LANSIA DAN MOBILITAS FISIK


A. Konsep Lanjut Usia
Usia lanjut adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari. Menua
secara normal dari system saraf didefinisikan sebagai perubahan oleh usia
yang terjadi pada individu yang sehat bebas dari penyakit saraf jelas menua
normal ditandai oleh perubahan gradual dan lambat laun dari fungsi-fungsi
tertentu. Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti
dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua
merupakan proses yang terus menerus (berlanjut) secara alamiah dimulai sejak
lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup.
Batasan usia menurut WHO:
1. Usia pertenghaan (middle age), yaitu kelompok usia 45 sampai 59 tahun
2. Lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun
3. Lanjut usia tua (old), antara 75 sampai 90 tahun
4. Usia sangat tua (very old), diatas 90 tahun
B. Pengertian
Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas,
mudah dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat.
Mobilisasi diperlukan untuk meninngkatkan kesehatan, memperlambat proses
penyakit khususnya penyakit degeneratif dan untuk aktualisasi (Mubarak,
2008).
Mobilisasi menyebabkan perbaikan sirkulasi, membuat napas dalam dan
menstimulasi kembali fungsi gastrointestinal normal, dorong untuk
menggerakkan kaki dan tungkai bawah sesegera mungkin, biasanya dalam
waktu 12 jam. Sedangkan imobilisasi adalah suatu kondisi yang relatif,
dimana individu tidak saja kehilangan kemampuan geraknya secara total,
tetapi juga mengalami penurunan aktifitas dari kebiasaan normalnya
(Mubarak, 2008).
C. Penyebab

Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi


1.

Gaya hidup
Mobilitas seseorang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, nilai-nilai

yang dianut, serta lingkungan tempat ia tinggal (masyarakat).


2.

Ketidakmampuan
Kelemahan fisik dan mental akan menghalangi seseorang untuk
melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Secara umum ketidakmampuan
dibagi menjadi dua yaitu :
a. Ketidakmampuan primer yaitu disebabkan oleh penyakit atau trauma
(misalnya : paralisis akibat gangguan atau cedera pada medula
spinalis).
b. Ketidakmampuan

sekunder

yaitu

terjadi

akibat

dampak

dari

ketidakmampuan primer (misalnya : kelemahan otot dan tirah baring).


Penyakit-penyakit tertentu dan kondisi cedera akan berpengaruh
terhadap mobilitas.
3.

Tingkat energi
Energi dibutuhkan untuk banyak hal, salah satunya mobilisasi. Dalam hal
ini cadangan energi yang dimiliki masing-masing individu bervariasi.

4.

Usia
Usia berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam melakukan
mobilisasi. Pada individu lansia, kemampuan untuk melakukan aktifitas
dan mobilisasi menurun sejalan dengan penuaan (Mubarak, 2008).

D. Klasifikasi
Menurut Mubarak (2008) secara umum ada beberapa macam keadaan
imobilitas antara lain :

1.

Imobilitas fisik : kondisi ketika seseorang mengalami keterbatasan


fisik yang disebabkan oleh faktor lingkungan maupun kondisi orang
tersebut.

2.

Imobilitas intelektual: kondisi ini dapat disebabkan oleh kurangnya


pengetahuan untuk dapat berfungsi sebagaimana mestinya, misalnya pada
kasus kerusakan otak

3.

Imobilitas emosional: kondisi ini bisa terjadi akibat proses


pembedahan atau kehilangan seseorang yang dicintai

4.

Imobilitas sosial: kondisi ini bisa menyebabkan perubahan


interaksi sosial yang sering terjadi akibat penyakit.(Mubarak, 2008).

Rentang Gerak dalam mobilisasi.

Dalam mobilisasi terdapat tiga rentang

gerak yaitu :
a. Rentang gerak pasif
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan
persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya
perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
b. Rentang gerak aktif
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara
menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya berbaring pasien
menggerakkan kakinya.
c. Rentang gerak fungsional
Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan
aktifitas yang diperlukan (Carpenito, 2000).

E. Patofisiologi

Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem


otot, skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot Skeletal
mengatur gerakan tulang karena adanya kemampuan otot berkontraksi dan
relaksasi yang bekerja sebagai sistem pengungkit. Ada dua tipe kontraksi otot:
isotonik dan isometrik. Pada kontraksi isotonik, peningkatan tekanan otot
menyebabkan otot memendek. Kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan
tekanan otot atau kerja otot tetapi tidak ada pemendekan atau gerakan aktif
dari otot, misalnya, menganjurkan klien untuk latihan kuadrisep. Gerakan
volunter adalah kombinasi dari kontraksi isotonik dan isometrik. Meskipun
kontraksi isometrik tidak menyebabkan otot memendek, namun pemakaian
energi meningkat. Perawat harus mengenal adanya peningkatan energi
(peningkatan kecepatan pernafasan, fluktuasi irama jantung, tekanan darah)
karena latihan isometrik. Hal ini menjadi kontra indikasi pada klien yang sakit
(infark miokard atau penyakit obstruksi paru kronik). Postur dan Gerakan Otot
merefleksikan kepribadian dan suasana hati seseorang dan tergantung pada
ukuran skeletal dan perkembangan otot skeletal. Koordinasi dan pengaturan
dari kelompok otot tergantung dari tonus otot dan aktifitas dari otot yang
berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan gravitasi. Tonus otot adalah
suatu keadaan tegangan otot yang seimbang.
Ketegangan dapat dipertahankan dengan adanya kontraksi dan relaksasi
yang bergantian melalui kerja otot. Tonus otot mempertahankan posisi
fungsional tubuh dan mendukung kembalinya aliran darah ke jantung.
Immobilisasi menyebabkan aktifitas dan tonus otot menjadi berkurang.
Skeletal adalah rangka pendukung tubuh dan terdiri dari empat tipe tulang:
panjang, pendek, pipih, dan ireguler (tidak beraturan). Sistem skeletal
berfungsi dalam pergerakan, melindungi organ vital, membantu mengatur
keseimbangan kalsium, berperan dalam pembentukan sel darah merah.

F. Teori-teori penuaan

Di bawah ini ada beberapa teori penuaan yang terkait dengan kondisi
pasien.
1. Teori Biologis
a. Teori seluler. Teori ini menyatakan bahwa kemampuan sel yang
hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu dan kebanyakan
sel-sel tubuh diprogram untuk membelah sekitar 50 kali. Bila
sebuah sel pada lansia dilepas dari tubuh dan dibiakkan di
laboratorium, lalu diobservasi jumlah sel yang akan membelah
akan terlihat sedikit (Spence & Mason (1992), dalam Watson,
2003). Pembelahan sel lebih lanjut mungkin terjadi untuk
pertumbuhan dan perbaikan jaringan, justru kemampuan sel akan
menurun sesuai dengan bertambahnya usia (Boedhi Darmojo &
Nugroho, 2000; Watson, 2003). Sedangkan pada sistem saraf,
sistem muskuloskeletal dan jantung, sel pada jaringan organ
dalam sistem itu tidak dapat diganti jika sel tersebut dibuang
karena rusak atau mati. Oleh karena itu, sistem tersebut berisiko
mengalami penuaan dan memiliki kemampuan yang rendah untuk
tumbuh dan memperbaiki diri dan sel dalam tubuh seseorang
ternyata cenderung mengalami kerusakan dan akhirnya sel akan
mati karena sel tidak dapat membelah lagi (Watson, 2003).
b. Teori sintesis protein. Teori sintesis protein menyatakan bahwa
proses penuaan terjadi ketika protein tubuh terutama kolagen dan
elastin menjadi kurang fleksibel dan kurang elastis. Observasi
dapat dilakukan pada jaringan seperti kulit dan kartilago, hal ini
dihubungkan dengan adanya perubahan kimia pada komponen
protein dalam jaringan tersebut. Pada lansia, beberapa protein
terutama kolagen pada kartilago dan elastin pada kulit dibuat oleh
tubuh dengan struktur yang berbeda dengan protein tubuh orang
yang lebih muda. Banyak kolagen pada kartilago dan elstin pada
kulit yang kehilangan fleksibilitasnya serta menjadi lebih tebal,
seiring dengan bertambahnya usia, perubahan permukaan kulit

yang kehilangan elastisitasnya akan cenderung berkerut (Tortora


& Anaqnostakos (1990) dalam Watson, 2003).
c. Teori radikal bebas. Nugroho (2000) menyatakan bahwa dalam
teori terjadi ketidakstabilan radikal bebas sehingga oksidasi
bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini
menyebabkan sel-sel tidak mampu lagi beregenerasi.
2. Teori Kejiwaan Sosial
a. Teori pengunduran diri. Teori ini menyatakan bahwa saat lanjut
usia terjadi pengunduran diri yang mengakibatkan penurunan
interaksi antara lanjut usia dengan lingkungan sosialnya
(Cummins and Henry (1961) dalam Suriadi, 1999). Klien
merupakan muslim taat dan mempunyai suami seorang pemuka
agama. Setelah suami meninggal, dan kini klien memiliki
penyakit katarak sehingga tidak bisa melihat, klien mengalami
kemunduran dalam interaksi sosial.
b. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia
Adapun beberapa faktor yang dihadapi lansia yang sangat mempengaruhi
kesehatan jiwa mereka adalah perubahan kondisi fisik, perubahan fungsi dan
potensi seksual, perubahan aspek psikososial, perubahan yang berkaitan
dengan pekerjaan, dan perubahan peran sosial di masyarakat.
Perubahan-perubahan

tersebut

akan

berdampak

terhadap

sistem

muskuloskeletal yang merupakan komponen struktur yang utama, dimana


sistem ini mengalami perubahan dalam muskulature yaitu otot yang mengecil
serta progresif (atrofi) dan tulang kehilangan kalsium secara progresif
(dekalsifikasi) (Tortora & Anaqnostakos (1990) dalam Watson, 2003).
Perubahan yang lambat akan membuat tulang pada lansia lebih mudah fraktur
karena penurunan elastisitas sendi yang disebabkan oleh adanya perubahan
dalam sintesis kolagen yang cenderung mengalami kerusakan (Watson, 2003).
Perubahan Kondisi Fisik

Setelah orang memasuki masa lansia, umumnya mulai dihinggapi adanya


kondisi fisik yang bersifat patologis. Misalnya, tenaga berkurang, kulit makin
keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, berkurangnya fungsi indra
pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan
fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia misalnya badan menjadi
bungkuk, pendengaran berkurang, penglihatan kabur, sehingga menimbulkan
keterasingan.

Perubahan Fungsi dan Potensi Seksual


Perubahan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali
berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti gangguan jantung,
gangguan metabolisme, vaginitis, baru selesai operasi (prostatektomi),
kekurangan gizi (karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan
sangat kurang), penggunaan obat-obatan tertentu (antihipertensi, golongan
steroid, tranquilizer), dan faktor psikologis yang menyertai lansia seperti rasa
malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia, sikap keluarga dan
masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya,
kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya,
pasangan hidup telah meninggal dunia, dan disfungsi seksual karena
perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas,
depresi, pikun, dan sebagainya.
Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami
penurunan fungsi kognitif dan fungsi psikomotor. Fungsi kognitif meliputi
proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian, dan lain-lain
sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat.
Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan
dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi yang
berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
c. Pengkajian Keperawatan
1.

Aspek biologis
a. Usia. Faktor usia berpengaruh terhadap kemampuan melakukan
aktifitas, terkait dengan kekuatan muskuloskeletal. Hal yang perlu
dikaji diantaranya adalah postur tubuh yang sesuai dengan tahap
pekembangan individu.
b. Riwayat keperawatan. Hal yang perlu dikaji diantaranya adalah
riwayat adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal, ketergantungan

terhadap orang lain dalam melakukan aktivitas, jenis latihan atau


olahraga yang sering dilakukan klien dan lain-lain.
c. Pemeriksaan fisik, meliputi rentang gerak, kekuatan otot, sikap tubuh,
dan dampak imobilisasi terhadap sistem tubuh.
2.

Aspek psikologis
Aspek psikologis yang perlu dikaji di antaranya adalah bagaimana respons
psikologis klien terhadap masalah gangguan aktivitas yang dialaminya,
mekanisme koping yang digunakan klien dalam menghadapi gangguan
aktivitas dan lain-lain.

3.

Aspek sosial kultural


Pengkajian pada aspek sosial kultural ini dilakukan untuk mengidentifikasi
dampak yang terjadi akibat gangguan aktifitas yang dialami klien terhadap
kehidupan

sosialnya,

misalnya

bagaimana

pengaruhnya

terhadap

pekerjaan, peran diri baik dirumah, kantor maupun sosial dan lain-lain
4.

Aspek spiritual
Hal yang perlu dikaji pada aspek ini adalah bagaimana keyakinan dan nilai
yang dianut klien dengan kondisi kesehatan yang dialaminya sekarang,
seperti

apakah

klien

menunjukan

keputusasaannya?

Bagaimana

pelaksanaan ibadah klien dengan keterbatasan kemampuan fisiknya? Dan


lain-lain (Asmadi, 2008).

d. Diagnosa Keperawatan Gangguan mobilitas fisik (Tarwoto & Wartonah,


2003)
Tujuan Keperawatan (NOC)
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ...x 24 jam klien menunjukkan:
-

Mampu mandiri total

Membutuhkan alat bantu

Membutuhkan bantuan orang lain

Membutuhkan bantuan orang lain dan alat

Tergantung total

Dalam hal :
-

Penampilan posisi tubuh yang benar

Pergerakan sendi dan otot

Melakukan perpindahan/ ambulasi : miring kanan-kiri, berjalan, kursi roda

Rencana Tindakan (NIC)


1. Latihan Kekuatan
Ajarkan dan berikan dorongan pada klien untuk melakukan program
latihan secara rutin
2. Latihan untuk ambulasi
-

Ajarkan teknik Ambulasi & perpindahan yang aman kepada klien dan
keluarga.

Sediakan alat bantu untuk klien seperti kruk, kursi roda, dan walker

Beri penguatan positif untuk berlatih mandiri dalam batasan yang aman.

3. Latihan mobilisasi dengan kursi roda


-

Ajarkan pada klien & keluarga tentang cara pemakaian kursi roda & cara
berpindah dari kursi roda ke tempat tidur atau sebaliknya.

Dorong klien melakukan latihan untuk memperkuat anggota tubuh

Ajarkan pada klien/ keluarga tentang cara penggunaan kursi roda

4. Latihan Keseimbangan

Ajarkan pada klien & keluarga untuk dapat mengatur posisi secara mandiri
dan menjaga keseimbangan selama latihan ataupun dalam aktivitas sehari
hari.

5. Perbaikan Posisi Tubuh yang Benar


-

Ajarkan pada klien/ keluarga untuk mem perhatikan postur tubuh yg benar
untuk menghindari kelelahan, keram & cedera.

Kolaborasi ke ahli terapi fisik untuk program latihan.

DAFTAR PUSTAKA
1

Asmadi. 2008. Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta :

Salemba Medika.
Eldergym. Tt. Elderly Balance Exercises For Seniors to Help Prevent Falls.

Diakses pada 13 Maret 2013 melalui http://www.eldergym.com.


Kusnanto, Indarwati, R. dan Mufidah, N. Peningkatan Stabilitas
Postural pada Stanley, Mickey, and Patricia Gauntlett Beare. Buku Ajar

Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC. 2006


Price, Sylvia Anderson dan Loraine MW, Patofisiologi Vol. I Edisi

6, Jakarta : EGC, 2005


5 Macintyre, Pamela E. et. all,. Acute Pain Management : Scientific Evidance.
6

Ed. 3. Australia : NHMRC. 2010.


Perry & Potter. 2006. Buku Ajar Fundal Mental Keperawatan Konsep, Proses

dan Praktik. Edisi 4. Jakarta : EGC.


Tarwoto & Wartonah, 2003. Kebutuhan Dasar Manusia & Proses

Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.


Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan

Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC.


Jennifer A. Hess, and Marjorie Woollacott. 2005. Effect of High-Intensity
Strenght-Training on Functional Measures of Balance Ability in BalanceImpaired Older Adults. Diakses dari www.Sciencedirect.com pada tanggal 13

Maret 2013
10 Herdman, T. Heather. Diagnosa Keperawatan: definisi dan klasifikasi 20122014, alih bahasa Made Sumarwati dan Nike Budhi Subekti. Jakarta: EGC
11 McCloskey, Joanne C. and Gloria M. Bulechek. 2012. Nursing Interventions
Classification (NIC)-Fifth Edition. Missouri: Mosby.

Anda mungkin juga menyukai