"Ya. Lonnie dan aku belajar Seni Drama pada sebuah studio di
Burlington, dan ia mengusulkan agar berpindah saja pada sebuah
asrama di kota. Pelajaran kami terlalu sibuk dengan latihan-latihan
segala, hingga kami akan menjadi sinting kalau harus mondar-mandir
naik kendaraan. Lagipula, orangtuaku berpendapat bahwa kami akan
sangat kesepian di rumah tua yang besar itu."
Joe menggaruk-garuk kepalanya.
"Tetapi apa misterinya, Rolf?"
Rolf nampak muram.
"Pernah terjadi kebakaran hutan di dekat rumah. Satu acre
terbakar di belakang rumah. Semak-semak hangus sama sekali, dan
apa yang nampak hanya batang-batang yang telah menjadi arang.
Seluruh Dinas Kebakaran Burlington diturunkan untuk memadamkan
api. Para petugas kebakaran mengira mungkin disebabkan oleh petir,
atau seseorang yang kurang hati-hati membuang batang korek api."
"Ya?" Frank berkata ketika Rolf berhenti sejenak.
"Ah, kuduga sengaja dibakar! Ada orang yang sengaja
membakarnya!"
Frank tak mengerti.
"Apa keuntungannya seseorang membakar hutan di dekat
rumahmu?"
"Ada orang yang hendak memaksa orang tuaku menjual rumah
itu. Tetapi orangtuaku menolak. Sebelum mereka berangkat ke Eropa,
mereka juga menolak suatu tawaran dari sebuah perusahaan besar
yang diwakili oleh ahli hukum di Burlington yang bernama Tyrell
Tyson. Menurut perkiraanku, orang inilah yang ada di belakang semua
peristiwa itu."
Frank nampak ragu-ragu.
"Agak kurang masuk akal mereka menyuruh seseorang untuk
membakar hutan. Mereka telah menawar secara terbuka. Tak ada yang
mencurigakan."
Rolf mengangguk.
"Setelah memadamkan api, mereka mengatakan bahwa
mungkin petir yang menyebabkannya, atau seseorang yang kurang
hati-hati membuang puntung korek api yang masih menyala. Kami
memeriksa di daerah bekas kebakaran setelah para anggota dinas
kebakaran itu pergi. Lonnie menemukan kancing itu. Kubawa kancing
itu ke Museum Universitas Negeri Vermont di Brulington. Mereka
mengatakan, bahwa kancing itu berasal dari seragam tentara Hesse."
"Ada orang yang mengelabuhi engkau," kata Frank. "Ia
meletakkan kancing itu dengan sengaja di mana engkau akan
menemukannya, agar engkau mencurigai si Zombie."
Rolf menggeleng.
"Bagaimana ia tahu kami akan menemukan kancing itu?
Kancing itu tertimbun abu. Lonnie kebetulan mengorek-ngoreknya
dengan sepatu. Dia .... "
Kata-kata Rolf terpotong oleh suara jeritan dari dapur. Frank
dan Joe lari mendatangi, melihat bibi Gertrude berdiri di dekat
kompor, mengacungkan sendok kayu ke jendela.
"Ada orang di luar sana!" serunya. "Orang laki-laki berwajah
putih jelek dengan mata tak berkedip! Ia lari ketika aku
memandangnya!"
"Si Zombie!" seru Frank. "Ayo, Joe, kita kejar!"
Kedua pemuda itu lari keluar dari dapur ke tempat yang gelap.
Suara mendesir di semak-semak menunjukkan bahwa penjahat
tersebut lari ke arah itu. Mereka mengejar dan melihat orang itu
melintasi halaman belakang ke rumah sebelah, di mana pohon-pohon
rhododendron yang lebat dan tinggi memberikan perlindungan
baginya. Ia menghilang di antara pohon-pohonan tersebut.
"Seandainya tidak begini gelap," Joe berkata tersengal-sengal.
"Kita tentu akan dapat menangkapnya."
3. IKUT SIRKUS
Kedua pemuda itu pergi ke kamar tamu. Mereka melihat
seorang jangkung, duduk di kursi. Ia memakai kacamata berbingkai
tanduk dan mengedip-ngedipkan matanya ketika memandangi mereka.
Ia berdiri, berjabatan tangan dengan kedua pemuda itu, lalu
memperkenalkan diri.
"Aku John Tariski, direktur dari sirkus Big Top," katanya
dengan suara agak parau. "Kami selalu berkeliling setiap musim
panas, dan kami baru saja memulai perjalanan keliling untuk mus im
panas ini."
"Kami sudah mengenal sirkus anda, pak Tariski," kata Frank.
"Kami telah sering menontonnya bila sedang main di dekat
Bayport."
"Pertunjukannya hebat," kata Joe pula. "Terutama penunggangpenungang kuda serta akrobat di tali."
Pak Tariski mengernyit.
"Sungguh aneh engkau menyebut kedua pertunjukan itu.
Karena hal itu pulalah aku kemari. Tetapi aku mengerti dari bibi
kalian, bahwa ayahmu sedang dinas luar. Sayang sekali, sebab aku
menghadapi suatu perkara dan beliau akan kuminta menyelidikinya."
"Coba ceritakan hal itu, Pak," Joe mengusulkan.
Pak Tariski berkedip-kedip dan suaranya terdengar lebih parau.
"Sirkus Big Top telah diganggu oleh serangkaian kecelakaan," ia
memulai. "Tetapi kuduga, itu semua adalah usaha untuk menyabot
kami."
"Maksud anda, ada orang yang mencoba menggagalkan
pertunjukan sirkus?" tanya Joe.
"Nampaknya begitu. Kecelakaan yang paling buruk telah sangat
fatal. Salah seorang gadis penunggang kuda telah jatuh terlempar dari
4. JALAN RAHASIA
Udaranya berbau apek karena tak ada udara segar yang masuk.
Debu sangat tebal di lantai. Sarang laba-laba bergantungan dari langitlangit, dan laba-labanya sendiri berlari-larian di segala penjuru.
Sebuah benda segi panjang berdiri di tengah ruangan. Mereka
terkejut ketika mengenalinya sebagai peti mati dari batu!
Dinding di seberang mereka berdiri bertempelkan plakat-plakat
bergambar wajah-wajah pria-wanita yang muram. Di bawah setiap
gambar tertera tanggal kelahiran dan kematiannya. Nama-nama yang
pertama berbunyi: ABIGAIL CARL-TON 1775-1825.
"Frank!" bisik Joe. "Kita berada di ruang pemakaman
bawahtanah suatu keluarga! Banyak orang yang dimakamkan di
bawah sini. Tetapi rupanya tak ada orang yang mengunjunginya sejak
tahun 1 Masehi!"
"Ada yang pernah kemari," Frank bergumam. "Belum lama ini.
Coba lihat!"
Ia menunjuk ke bekas telapak kaki di lapisan debu, sejak dari
pintu rahasia sampai ke peti mati. Mereka mengikuti bekas-bekas itu,
sementara cahaya lilin mereka menimbulkan bayangan-bayangan yang
tak keruan bentuknya di dalam ruang pemakaman itu. Sesampai di
peti mati, mereka agak gemetar melihat tulisan yang digoreskan kasar
pada lapisan debu, berbunyi: AWAS ZOMBIE!
Frank dan Joe merinding membaca peringatan itu.
Untuk sesaat tangan mereka terletak di tutup peti sementara
mata mereka saling memandang.
"Si Zombie yang pernah kemari!" kata Joe tergagap. "Mungkin
peti itulah tempat persembunyiannya! Mungkin saat ini juga ia berada
dalamnya!"
Rasa ngeri meresap ke tubuh Frank. Kemudian ia menggeleng
melemparkan pesona itu.
"Kita akan segera tahu!" katanya dengan geram. "Akan kubuka
tutup ini."
6. TERJEBAK
"Nah, kita sudah ada di dalam," Joe berbisik. "Tetapi untuk apa,
itu yang aku tak tahu!"
"Gunakan telinga saja," Frank mengingatkan.
Ruang yang mereka masuki diterangi oleh sebuah lampu yang
redup di langit-langit. Selusin orang mengelilingi sebuah pesawat
radio. Salah seorang dari mereka selalu memutar-mutar tombol
gelombang untuk menghindari suara gangguan statik. Kedua pemuda
itu berhenti di dekat pintu untuk mendengarkan. Tak seorang pun
melihat mereka. Mereka mendengar suara tinggi yang aneh.
"Aku sudah memberikan perincian-perinciannya. Kuharap
kalian melaksanakan rencana itu. Semua barang agar disimpan di
ruang bawah Hotel Hesse. Harap hati-hati kalau mengantarkan
barang."
Suara itu berhenti sebentar. Kedua pemuda itu sadar, bahwa
mereka sedang terjerumus ke dalam sarang pencuri. Rupa-rupanya,
pemimpin mereka sedang memberikan perintah-perintah melalui
radio!
Suara di radio dilanjutkan.
"Kita akan menjinakkan singa malam ini!"
Frank memijit lengan Joe. "Tentu sebuah sandi," bisiknya.
"Tunggu, apakah ia mau memberitahu apa arti sandi itu,"
Joe balas berbisik.
Tetapi mereka kecewa suara di radio itu mengakhiri:
"Sekian, untuk hari ini."
Tiba-tiba pintu ke ruang dansa terbanting terbuka. Suara
teriakan Pollard yang keras sampai ke lorong.
"Pemain-pemain gitar itu baru saja datang! Kedua anak yang
main tadi adalah penyelundup!"
Frank dan Joe lari keluar dari ruangan. Karena Pollard menutup
semua jalan keluar ke ruang dansa, mereka lari ke pintu belakang.
8. SI PETAPA
"Aku juga ikut," kata Rolf. "Aku telah hapal perananku, jadi
aku sudah bebas siang ini."
Keempat pemuda itu menuju ke rumah makan untuk makan
siang. Sambil mengunyah hamburger, mereka membicarakan
pengalaman-pengalaman mereka bermain di pentas.
"Lonnie, apakah engkau pernah bermain sebagai tentara
Hesse?" tanya Frank.
Lonnie tertawa.
"Belum pernah. Aku selalu bermain sebagai Patriot dalam
sandiwara-sandiwara zaman Revolosi. Aku senang menjadi pihak
yang menang!"
Setelah makan, mereka berjalan kaki ke studio. Sutradara
sedang memberi petunjuk kepada para pemain bagaimana harus
bergerak di pentas. Lonnie menggabungkan diri, sedang Rolf, Frank
serta Joe duduk di kursi deretan depan.
Kelompok itu sedang berlatih babak ketiga sandiwara
Shakespeare, pembunuhan Julius Caesar di tengah-tengah para senator
Romawi di dalam gedung Capitol di Roma. Sebelum mereka mulai,
sutradara meloncat turun dari panggung dan datang mendekati Rolf
dan kakak beradik Hardy.
"Kami masih memerlukan beberapa senator untuk sandiwara
ini," katanya. "Bagaimana kalau kalian mengisi peran ini? Kalian
tentu sudah tahu jalan ceritanya, bukan?"
"Kami mempelajarinya dalam pelajaran Bahasa Inggris," kata
Frank. "Senang sekali kalau dapat membantu anda."
"Aku juga," Joe menawarkan diri.
"Apakah kita harus memakai jubah?"
"Toga Romawi," kata sutradara sambil tertawa.
Beberapa menit kemudian Frank dan Joe serta Rolf, dengan
mengenakan toga dari bagian perlengkapan, mengamati para pemain
yang memperagakan tokoh-tokoh terkenal sandiwara Shakespeare,
9. PENGAKUAN
di antara kedua kebakaran. Tetapi kedua api itu bertemu menjadi satu,
dan Joe terpotong jalannya!
Joe terjebak. Teriakan-teriakannya hilang tenggelam dalam deru
kobaran api! Dengan mati-matian ia menghantam semak-semak yang
termakan api dengan sekopnya, namun api malah berkobar tinggi!
Setapak demi setapak api mendorong dia ke arah pohon-pohon yang
membara, di mana ia akan terkurung oleh api yang mengamuk.
Untunglah, Frank mengetahuinya tepat pada waktunya. Ia
melemparkan sekopnya, lalu berlari menuju ke pickup penyembur
bahan kimia, lalu melompat naik. Ia menginjak gas pickup dalamdalam, dan mobil itu meloncat dan berhenti melintang di depan Joe.
Dengan segala tenaga Frank memutar mulut penyembur bahan kimia,
terarah kepada api yang paling dekat. Dengan demikian ia memotong
api, membuat jalan melintas lingkaran kobaran api. Dengan berteriak
lega Joe berlari ke tempat yang aman.
"Engkau tak apa-apa?" tanya kakaknya kuatir.
"Aku merasa seperti telur rebus. Tetapi selain itu aku tak apaapa. Bagaimana pun juga, terima-kasih atas semprotanmu. Kau telah
menyelamatkan jiwaku."
Seorang anggota pemadam kebakaran mendatangi.
"Bahan kimia itu sebagai cadangan kalau-kalau rumah termakan
api," katanya tegas. "Engkau tidak boleh menggunakannya di sini!"
tetapi ia memuji Frank setelah mendengar peristiwanya.
Kemudian kakak beradik itu kembali ke regu pembuat jalur
pengamanan.
"Kita membutuhkan tambahan tenaga!" seru seorang petugas.
"Mereka segera datang," jawab komandan pemadam kebakaran.
"Itu mereka sudah datang!"
Dua buah truk memasuki daerah mereka, menurunkan
serombongan sukarelawan. Frank dan Joe terlalu sibuk untuk
dibangun masuk ke dinding yang ada di depan mereka. Peti mati dari
batu itu mengkilat di terang lilin. Sarang laba-laba bergantungan dari
langit-langit, berayun-ayun dihembus angin yang masuk melalui pintu
rahasia.
"Tempat yang mengerikan untuk dipilih menjadi tempat
makam," kata Tony. Ia menyingkirkan beberapa sarang laba-laba dari
rambutnya.
Chet mengangguk.
"Biarlah dihuni oleh si Zombie!"
Ketika mereka melihat ke peti mati, pintu rahasia itu bergerak
tanpa bersuara di belakang mereka. Tak seorang pun mengetahui
bahwa mereka sedang akan terperangkap!
Semua setuju dengan saran Phil, dan ketika Rolf dan Lonnie
kembali ke Burlington, Frank dan Joe mengikuti truk yang
dikemudikan oleh Tony. Tak lama kemudian terlihat sebuah truk yang
besar. Pada sisinya tertulis: BIG TOP CIRCUS. Iring-iringan itu
selebihnya berderet di depannya, pada sisi jalan.
Frank dan Joe berhenti di truk yang berfungsi sebagai kantor,
sementara keempat teman mereka kembali ke tugas masing-masing.
"Kita akan bekerja dari sudut sabotase," usul Frank sebelum
masuk. "Itu akan merupakan kedok yang bagus sementara kita
menyelidiki Bones Arkin."
Joe setuju.
"Jangan sampai ada orang yang tahu bahwa kita hendak
menyelidiki atraksi Zombie."
John Tariski memberi salam ketika mereka memasuki truknya.
Ia mengedip-ngedip cepat di balik kacamatanya yang berbingkai
tanduk, sambil mendengarkan tawaran mereka hendak ikut bersama
sirkus, dan berusaha membongkar misteri sabotase.
"Bagus! Bagus sekali! Tidak boleh lagi ada kecelakaankecelakaan di sirkus selama berkeliling ini," ia menjawab.
Suaranya yang serak tiba-tiba menusuk perasaan Frank. Apakah
suara dia yang menelepon dulu? pikirnya. Ia dapat saja berbicara
dengan suara tinggi kalau ia mau. Tetapi untuk apa ia sengaja
mengundang mereka untuk menyelidiki? Untuk apa pula ia melakukan
sabotase di sirkus?
Dengan keras Frank berkata: "Kami akan menyelidiki di sekitar
tempat ini, dan mencoba mencari petunjuk-petunjuk. Apakah anda
dapat mengatur agar kami jangan dirintangi?"
"Sudah tentu. Akan kuusahakan agar kalian dapat masuk di
segala penjuru sirkus. Akan kukatakan kepada pimpinan pentas, Whip
McIntyre, Nah, itu dia datang."
"Semua beres kecuali rantai itu," kata Frank. "Mereka juga tak
akan menggunakannya lagi."
Mereka berbalik dari sudut ketika mereka mendengar suara
menggeleser dan mendesis di kegelapan, tepat di belakang mereka.
Suara menggeleser itu semakin dekat. Frank menurunkan cahaya
senternya dan tertahan napasnya.
Seekor ular berbisa yang jahat sedang merayap ke arah mereka!
Terpojok di sudut truk oleh peti-peti, kedua pemuda itu tak
mendapatkan ruang untuk menyingkir melewati ular tersebut. Ular itu
menatap mereka dengan mata khas reptilia yang tak berkedip, dan
mulai menggulung tubuhnya hendak memagut Frank yang memegang
senter.
Dengan mati-matian Joe meraba-raba peti, berharap
menemukan sesuatu yang dapat digunakan untuk memukul ular.
"Sibukkan dia, Frank," bisik Joe. "Akan kucoba mencari sekop
atau tongkat!"
"Tetapi cepat!" kata Frank sambil menggertakkan gigi. "Aku
hanya mempunyai senter untuk mempertahankan diri. Terlalu kecil
untuk melawan ular sebesar ini!"
Jari-jari Joe mencengkeram karung kanvas. Ia mengambilnya,
membuka mulut karung itu lalu melangkah maju. Ular boa itu
mengangkat lehernya. Mulutnya menganga dan dengan ganas
memagut Frank.
Tetapi secepat kilat Joe mendorong karung itu di antara kedua
makhluk. Tenaga ular itu memagut mendorong sebagian tubuhnya
masuk ke karung. Dengan cepat Joe mengangkat karung ke atas, dan
seluruh tubuh ular itu jatuh masuk ke dalam karung. Joe melintir
bagian atas dari karung. Tangannya gemetar, tetapi ia menghela napas
dengan lega.
tubuhnya tepat sama. Selain itu, cukup ganas untuk melakukan tugas
yang diharapkan oleh penjahat."
Joe mengangguk, dan membayangkan peristiwa itu dengan
teori-teorinya.
"Coba bayangkan. Tukang sabotase itu melihat cahaya
sentermu di dalam truk perlengkapan, cukup dekat untuk mengenali
kita. Kemudian ia pergi ke truk Reptilia dan mengambil ular itu dari
kandang kacanya dengan kaitan. Sementara itu Reptilia sedang tidur.
Orang itu mungkin membawa ular itu dengan karung. Pokoknya, ia
menyelinap dan melepaskan ular itu di truk."
Frank mengangguk.
"Ia tentu juga mengawasi engkau mengakali ular itu hingga
masuk ke dalam karung, lalu membuntuti kita ke mobil. Kemudian ia
mengambil ular itu dan memasukkannya kembali ke kandang kaca
sebelum Reptilia bangun. Tetapi siapa orang itu? Siapa saja yang
sudah tahu siapa kita sebenarnya?"
"Pak Tariski dan MacIntyre," Joe menegaskan. "Direktur dan
kepala pertunjukan. Mungkin juga anggota-anggota lain mengetahui
pula dari mencuri dengar percakapan kita dengan pak Tariski. Bones
Arkin, misalnya. Ia jelas-jelas sedang mencuri dengar dari kita ketika
ia kuterkam."
Frank nampak kecewa.
"Inilah kesulitannya, Joe! Kita menghadapi terlalu banyak
tersangka!"
tambahan, membelok di sudut, dan meneruskan di sepanjang bilikbilik. Tiba-tiba sehelai dinding layar terbuka, dan seorang serdadu
berseragam tentara Hesse muncul mendatangi! Orang itu nampaknya
seperti kesurupan. Wajahnya mengkilat dan putih tidak wajar dan
matanya tak pernah berkedip! Wajahnya tak menunjukkan emosi sama
sekali, tetapi kedua tangannya terjulur kepada mereka!
Kedua pemuda itu terlalu terkejut untuk dapat bergerak. Frank
bulu kuduknya berdiri dan Joe merasa punggungnya merinding.
Tangan serdadu yang mengerikan itu menuju ke tenggorokan
mereka, kemudian menepuk mereka di pundak.
"Ada apa, bung?" tanya serdadu Hesse itu. "Kalian tak
mengenali aku? Aku Bones Arkin."
Kakak beradik itu menjadi tenang kembali. Mereka tersenyum
kecut, karena dibuat terkejut oleh seorang pemain pertunjukan
tambahan.
"Inilah permainan Zombieku," Arkin meneruskan. "Bagus
sekali, ya?"
"Ya, bagus sekali!" Joe mengaku. "Engkau mengejutkan aku
setengah mati. Dari mana engkau mendapat pakaian itu?"
"Dari mana engkau mendapat pikiran untuk menjadi Zombie?"
sambung Frank.
Arkin tertawa.
"Aku selalu berganti peranan di mana-mana. Yang terakhir aku
menjadi Vampir. Di sini, aku memutuskan untuk menjadi Zombie,
karena dongengan itu berasal dari Hunter's Hollow sini."
"Kami memang telah pernah mendengarnya," kata Joe. "Engkau
pernah ke Hunter's Hollow?"
Pemain sirkus itu menggeleng.
"Aku tak ingin bertemu dengan Zombie yang sesungguhnya.
Eh, aku harus berlatih untuk pertunjukan nanti." Dengan berkata
demikian ia kembali ke biliknya dan menutup tirai terpalnya.
"Itulah yang tepat," kata Biff. "Aku sudah ngeri kalau mereka
akan membuat onar ketika aku turun tadi, dan aku juga tak mau
mengambil risiko untuk kedua kalinya!"
Badut itu menyelesaikan lenggang-lenggoknya memutari arena.
Monyet itu turun dari pundaknya lalu membungkuk melewati topinya.
Badut itu ikut membungkuk memberi hormat, dan keduanya dengan
bergandengan pergi menuju jalan keluar.
Para penonton bersorak-sorak dan minta agar sirkus dilanjutkan.
MacIntyre bergegas ke arena kembali. Dengan suaranya yang keras ia
memperkenalkan para akrobat senam dan beruang-beruang, yaitu
pertunjukan yang akan dilaksanakan di kedua arena pertunjukan
tambahan.
Sementara itu, si Badut berhenti di depan para pemuda, yang
memberikan selamat atas penampilannya. Ia melonjak-lonjak sambil
tersenyum menyeringai, kemudian bertanya dengan suara besar parau:
"Mana Joe Hardy?"
Para pemuda itu melihat ke sekeliling. Mereka bahkan tak
menyadari bahwa Joe tidak bersama mereka!
Frank menggaruk-garuk kepalanya.
"Aku tak tahu di mana dia"
Badut itu menari memutari dia.
"Aku ada di sini," kata Joe.
Frank dan teman-temannya membalikkan tubuh, tetapi tak
melihat Joe.
"Mana?" mereka bertanya bersama-sama. Senyuman si badut
semakin lebar sambil menunjuk dirinya sendiri. "Inilah Joe!"
"Aku memikirkan bagaimana dapat menghentikan panik," ia
menegaskan. "Dan kupikir, beberapa lelucon adalah yang terbaik. Aku
lalu berlari ke kamar pakaian para pelawak, tetapi mereka tidak ada.
Di saat itu pula aku memutuskan untuk bermain sendiri. Aku
mengenakan pakaian dan make up, membawa si monyet yang
Sebelum Frank dan Joe dapat berkata apa pun, Chet mendorong
palang pintu dan membuka pintu truk. Sambil melompat ia naik dan
melangkah di lantai yang dialasi dengan jerami. Sebuah kursi rotan
untuk seorang pawang berdiri di dekat dinding. Chet mengambilnya
lalu mengangkatnya. "Tak ada apa-apanya menjadi pawang penjinak
singa," katanya. "Aku dapat menggunakan kursi ini dengan satu
tangan. Sekarang yang kubutuhkan hanya seekor singa saja!"
Jawabannya adalah auman yang keras. Dari sudut yang gelap di
sisi lain, seekor singa bangkit berdiri dan melangkahkan kakinya
menuju pemuda itu. Ekornya mencambuk-cambuk dengan gugup.
Singa itu mengaum berulang-ulang!
Chet terkejut menahan napas dan menjadi pucat. Matanya
menjadi bulat bagaikan cawan! Terpukau, tangannya tetap kaku
memegangi kursi di depannya. Melihat nasib temannya, Frank dan Joe
naik ke truk. Dengan nekat mereka melihat ke sekeliling mencari
senjata untuk mencegah singa menerkam temannya. Tetapi tak ada
sesuatu pun kecuali kursi yang dipegangi Chet.
"Kita tak dapat berbuat sesuatu untuk menolong Chet," Frank
mendesis. "Kita hanya bertangan kosong!"
"Mungkin singa ini tak akan menyerang kita bertiga," kata Joe
dengan penuh harapan. Tetapi suaranya terdengar sumbang.
Tepat pada saat itu, singa itu berhenti di depan kursi. Sambil
menyeringai ia menggigit salah satu kaki kursi. Kemudian ia
membaringkan diri, meletakkan dagunya ke atas kedua cakarnya,
menutup mata, lalu tidur! Para pemuda itu melihat bulu kulitnya kusut
dan rambut surinya sangat jarang.
Rambut di ujung ekornya pun sudah hampir habis.
Joe tertawa.
"Seekor singa tua!" katanya. "Aku yakin, ia sudah tak dapat
melakukan pertunjukan lagi, karena itu ditinggalkan di sini."
Tak ada cahaya sedikit pun, dan suara pun tak ada pula. Joe menarik
lengan baju kakaknya ke arah makam di bawahtanah. Mereka telah
mengenal tata ruang di sana, hingga mereka mampu menemukan jalan
di kegelapan, menuju ke dinding yang dapat berputar. Dengan
meraba-raba batu dinding Joe mengetahui bahwa pintu di makam
sedang terbuka. Tak ada seorang pun di dalam, karena itu mereka lalu
masuk.
Frank menyalakan senter detektifnya. Sambil melindungi
sinarnya dengan tangan agar dirinya tak kelihatan, ia menyinari
sekeliling makam. Semuanya masih seperti ketika mereka tinggalkan.
Dengan hati-hati mereka melangkah ke peti mati. Joe mengangkat
tutupnya dan Frank menyinarkan senternya ke dalamnya. Mereka
seperti tercekik!
Rolf Allen tergeletak di dalam peti, pingsan!
"Mungkin dibius," Akhirnya Frank berkata. "Mari kita
keluarkan dia, Joe."
Dengan cepat mereka meletakkan tutup itu di lantai di samping
peLi. Mereka baru saja hendak mengangkat Rolf ketika di ruangan itu
terasa ada cahaya yang redup.
Dengan seketika Frank memadamkan senternya. Ia dan Joe
merapatkan tubuhnya ke dinding.
Cahaya di ruangan bawahtanah itu semakin terang mendekat,
dan suara langkah kaki mulai terdengar mendekat. Sesosok tubuh
membawa lilin menyala masuk dari pintu, menggunakan seragam
tentara Hesse dan topeng putih!
"Ha, itulah wajah si Zombie!" pikir Frank.
Dengan mengangkat lilinnya tinggi-tinggi, Zombie itu segera
melihat bahwa peti telah terbuka. Ia memutar tubuhnya dan melompat
menuju ke pintu rahasia, namun Frank dan Joe menjegal di tengah
lompatannya. Dengan bergedebuk ketiga-tiganya jatuh di lantai. Lilin
padam, dan pergumulan mulai. Tetapi kedua detektif muda itu segera
17. PENJELASAN
19. PENGEJARAN
"Kuharap saja lebih ramah dari pada yang kita jumpai dulu!"
Joe tertawa dan mengetuk.
"Siapa itu?" suara wanita bertanya dari dalam.
"Frank dan Joe Hardy," jawab Frank. "Kami ingin berbicara
dengan anda."
Pawang ular itu membuka pintu, ular kesayangannya tergantung
pada pundaknya.
"Masuklah," ia mengundang. "Aku ada berita bagi kalian."
Kedua pemuda itu masuk dan duduk di sofa. Kandang kaca
tempat ular yang ganas itu hampir tersentuh oleh lutut mereka. Ular
besar itu mendesis ganas, melengkungkan lehernya dan memagut kaca
dalam usahanya memagut mereka. Reptilia menunjuknya.
"Aku memergoki Bones Arkin mencoba mengeluarkannya," ia
memberitahu. "Aku yakin ia akan merusak penampilanku. Tentu
dialah orangnya yang meletakkan ular itu ke dalam truk perlengkapan
ketika kalian ada di sana malam itu."
"Cocok," kata Joe. "Sekarang kami tahu, bahwa Arkin yang
telah menyabot sirkus."
"MacIntyre juga bersama dia," sambung Frank. "Malam itu ia
melihat kami di dalam truk perlengkapan. Dialah tentunya yang
menyuruh Arkin mengambil ular tersebut untuk menyerang kami."
Reptilia nampak memandang agak malu.
"Kalau begitu sekarang aku tahu siapa yang harus
bertanggungjawab."
"Siapa?" Frank dan Joe bertanya dalam satu suara.
"John Tariski! Aku melihat dia dan MacIntyre berangkat
bersama-sama belum lama ini!"
"Tahukah anda ke mana mereka pergi?" tanya Frank.
Reptilia menggeleng.
"Tidak. Hanya itu yang dapat kukatakan kepada kalian."