Anda di halaman 1dari 145

1.

TERSANGKA YANG ANEH

"Frank!" kata Joe Hardy kepada kakaknya. "Orang di depan itu


mau apa, sih?"
Kedua pemuda itu sedang berkendaraan menuju ke rumah
setelah mengikuti permainan sepakbola di stadion SMA Bayport.
Kata-kata Joe itu tertuju kepada sebuah mobil stasionwagon hijau
yang membelok sembarangan keluar dari jalur jalan samping. Mobil
itu memutar lebar, lalu melaju kembali ke jalan besar di depan
mereka.
Pada saat itu pula, mobil kedua melesat keluar dari jalan
samping. Frank terpaksa menginjak rem dengan mendadak untuk
menghindari tabrakan.
Mobil itu sedan biru, lalu melaju pula di jalan besar.
"Sepasang setan jalanan," Joe mengeluh.
"Mereka melampaui batas kecepatan! Untunglah engkau tepat
pada waktunya menginjak rem, Frank. Kalau tidak, Sedan itu tentu
akan menabrak kita."
"Ia seperti hendak mendesak stasionwagon itu keluar dari
jalan!" seru Frank.
Kedua mobil itu kini ngebut berdampingan. Spatboard kanan
sedan itu hanya tinggal beberapa senti dari stasionwagon. Tiba-tiba
terdengar keriut logam melawan logam, dan stasionwagon itu
menyimpang dari jalan masuk ke selokan! Ia melonjak berhenti,
sedangkan mobil yang satunya terus melarikan diri.
Frank melambatkan mobilnya.
"Joe, lihat apakah pengemudi mobil itu cedera. Aku akan
mengejar setan jalanan yang satu lagi."

Joe melompat turun sebelum mobil berhenti. Frank kembali


melaju, dan segera memperkecil jarak dengan sedan biru. Kedua
mobil membalap menuju ke rel kereta api. Sebuah lokomotip yang
menarik serangkaian gerobak barang mendesah-desah menuju ke
persimpangan.
Pengemudi di depan Frank melaju di bagian jalan terakhir
dengan kecepatan sepenuhnya. Ia menoleh ke belakang, dan pemuda
itu melihat sebentuk wajah yang putih bagaikan setan! Sedan melaju
melintasi rel, nyaris spatboard belakangnya tersentuh lokomotif!
Terpaksa berhenti menanti kereta barang, Frank menyadari
bahwa pada saat ia bisa melintasi rel ia tak akan lagi dapat
melanjutkan pengejaran. Sedan itu tentu sudah akan lenyap, pikirnya.
Ia memutar, dan kembali menuju ke arah dari mana ia datang.
Ia melihat Joe di sisi jalan dengan seorang pemuda yang seumur. Dahi
pemuda itu terluka.
"Namanya Rolf Allen," kata Joe.
"Ia tak banyak dapat memberikan penjelasan, sebab kepalanya
terantuk ketika mobilnya terhenti. Ia sangat pusing. Lebih baik kita
bawa ke rumahsakit."
Kedua pemuda itu membantu Rolf ke mobil mereka. Frank
membawanya ke rumahsakit, sementara Joe mengikutinya dengan
mobil Rolf.
Sinar-X tak menunjukkan adanya patah tulang, dan pemuda itu
dilepas dari rumahsakit atas rawatan anak-anak Hardy.
"Wah, terimakasih, bung, atas pertolongan kalian," kata Rolf.
"Sekarang kukira aku harus berangkat lagi."
"Mau ke mana engkau?" tanya Joe.
"Ke Bayport. Tentunya tak jauh lagi dari sini."
"Memang tidak. Engkau sudah berada di Bayport!"

"Karena dikejar orang itu, aku mengambil jalan keluar yang


terdekat dari jalan raya, tanpa mengetahui di mana aku berada."
"Untuk apa ke Bayport?" tanya Frank.
"Aku mencari anak-anak Hardy."
Kedua pemuda detektif itu terhenyak. "Kamilah Frank dan Joe
Hardy!" seru Frank. "Ini Joe, dan aku Frank.
"Sungguh beruntung," seru pemuda itu sambil tersenyum lebar.
"Aku datang jauh-jauh dari Vermont untuk menemui kalian!"
"Kalau begitu kusarankan pulang ke rumahku dan makan dulu,"
kata Joe. "Nanti engkau dapat bercerita tentang dirimu."
Dengan senang hati Rolf menerima undangan itu, dan ketiga
pemuda itu tiba di Elm street di rembang petang. Mereka memarkir
mobil di jalanan masuk ke halaman dan kedua pemuda itu mengajak
tamunya masuk ke dalam.
Bu Hardy tercengang melihat Rolf, dan segera menyajikan
makan malam yang lezat, terdiri atas setup Irlandia dengan slada. Bibi
Gertrude, kakak perempuan pak Hardy yang sejak lama tinggal
bersama keluarga itu, menatap para pemuda dengan pandangan penuh
tanda tanya.
"Nah," bibi memulai dengan wajah keras." Apa yang terjadi?"
"Aku berani bertaruh, kalian tentu terlibat suatu misteri lagi!"
Frank dan Joe saling menyeringai. Mereka sudah terbiasa akan
kata-kata yang tajam dari bibinya, yang sebenarnya sangat
menyayangi mereka dan mengagumi keterampilan mereka sebagai
detektif. Secara singkat menjelaskan bagaimana mereka bertemu
dengan Rolf. Kemudian mereka menanyakan kepada tamunya, untuk
apa Rolf ingin bertemu mereka.
"Aku datang hendak meminta kalian membongkar sebuah
misteri," Rolf menjelaskan. "Aku mendengar dari pamanku, yaitu
paman Bertrand dari South American Antiquities, bagaimana kalian
telah membantu dia mengungkapkan misteri dalam kasus Patung

Berhala. Aku sedang menuju kemari ketika orang itu mengejarku.


Aku mencoba untuk melepaskan diri, tetapi ia terlalu cepat. Sungguh
beruntung aku, kalian ada di sana," Rolf berkata dengan berterima
kasih.
"Sungguh aneh orang yang mengejarmu itu," kata Frank.
"Wajahnya membuat aku merinding. Putih sama sekali! Apakah ia
terlibat dalam misteri ini?"
Pemuda Burlington itu mengangguk.
"Dialah si tersangka!"
"Jadi engkau mengenal dia?"
Rolf memutar-mutar kancing jaketnya dengan gugup.
"Aku tahu tentang dia, Frank. Tetapi baru kali ini aku
melihatnya. Wajahnya putih sekali, seperti yang kaukatakan."
"Ceritakanlah semuanya, dari permulaan," Joe mengusulkan.
"Oke. Aku tinggal di Hunter's Hollow, kira-kira dua puluh kilo
dari Burlington di Green Mountains."
"Di tempat Ethan Allen pemimpin Green Mountain Boys itu
mengalahkan Fort Ticonderoga, sewaktu zaman Revo lusi?" Joe
menyela. "Kami telah membacanya. Hebat benar cara mereka
merampas meriam-meriam dan membawanya melalui gunung-gunung
ke Washington!"
"Ethan Allen merupakan leluhur jauhku," kata Rolf. "Fort
Ticonderoga juga tidak jauh dari tempat tinggalku. Barangkali
pasukan Green Montain Boys itu juga melalui Hunter's Hollow.
Orangtuaku mempunyai sebuah rumah besar di Hunter's Hollow,
terpencil di tengah hutan. Aku tinggal di sana sampai orangtuaku
pergi melakukan perjalanan ke Eropa untuk beberapa bulan. Demikian
pula temanku si Lonnie Mindo."
"Maksudmu, engkau telah pindah ketika orangtuamu
berangkat?" tanya Joe.

"Ya. Lonnie dan aku belajar Seni Drama pada sebuah studio di
Burlington, dan ia mengusulkan agar berpindah saja pada sebuah
asrama di kota. Pelajaran kami terlalu sibuk dengan latihan-latihan
segala, hingga kami akan menjadi sinting kalau harus mondar-mandir
naik kendaraan. Lagipula, orangtuaku berpendapat bahwa kami akan
sangat kesepian di rumah tua yang besar itu."
Joe menggaruk-garuk kepalanya.
"Tetapi apa misterinya, Rolf?"
Rolf nampak muram.
"Pernah terjadi kebakaran hutan di dekat rumah. Satu acre
terbakar di belakang rumah. Semak-semak hangus sama sekali, dan
apa yang nampak hanya batang-batang yang telah menjadi arang.
Seluruh Dinas Kebakaran Burlington diturunkan untuk memadamkan
api. Para petugas kebakaran mengira mungkin disebabkan oleh petir,
atau seseorang yang kurang hati-hati membuang batang korek api."
"Ya?" Frank berkata ketika Rolf berhenti sejenak.
"Ah, kuduga sengaja dibakar! Ada orang yang sengaja
membakarnya!"
Frank tak mengerti.
"Apa keuntungannya seseorang membakar hutan di dekat
rumahmu?"
"Ada orang yang hendak memaksa orang tuaku menjual rumah
itu. Tetapi orangtuaku menolak. Sebelum mereka berangkat ke Eropa,
mereka juga menolak suatu tawaran dari sebuah perusahaan besar
yang diwakili oleh ahli hukum di Burlington yang bernama Tyrell
Tyson. Menurut perkiraanku, orang inilah yang ada di belakang semua
peristiwa itu."
Frank nampak ragu-ragu.
"Agak kurang masuk akal mereka menyuruh seseorang untuk
membakar hutan. Mereka telah menawar secara terbuka. Tak ada yang
mencurigakan."

"Ah, aku tak menuduh perusahaan itu," Rolf menjelaskan.


"Tetapi mungkin seseorang sangat menginginkan rumah itu, dan
barangkali berusaha untuk mendapatkannya dengan segala cara.
Dengar, pada saat aku dan Lonnie membawa barang-barang kami ke
Burlington, telepon berdering. Aku yang menjawabnya, sementara
Lonnie mengatur kopor-kopor di mobil. Suara yang aneh di telepon
mengatakan, bahwa rumah itu akan terbakar bila keluarga Allen tak
mau segera menjualnya.
"Apakah engkau mengenali suaranya?" tanya Joe.
"Seseorang yang kaukenal?"
Rolf mengangkat bahu tak berdaya.
"Aku tak dapat mengatakannya. Suara itu seperti sudah tua,
sengau, seperti orang yang berbicara sambil memencet hidungnya."
"Tetapi menurutmu suara laki-laki?" tanya Joe.
"Ya, kira-kira laki-laki." '
"Apakah ia mengatakan sesuatu yang lain lagi?" tanya Frank.
"Memang," jawab Rolf. "Katanya, jawabanku harus
disampaikan ke sebuah alamat di Burlington. Lonnie dan aku
menyelidiki tempat itu. Ternyata sebuah kantor kosong di sebuah
gedung yang ada di daerah perdagangan. Kamarnya No. 415. Penjaga
gedung mengatakan, kantor itu telah setahun lamanya kosong."
"Kok aneh," kata Joe.
"Memang. Tak seorang pun pernah masuk ke sana, dan tak
pernah ada surat yang datang."
"Mungkin ada orang yang menyelinap masuk di waktu malam,"
Frank menduga.
Rolf mengangkat bahu lagi.
"Mungkin begitu. Aku juga ingin engkau dan Joe menyelidiki
dari sudut itu. Dapatkah engkau segera melakukannya, sebelum
rumahku terbakar?"

Frank memandangi adiknya, dan mereka bersama-sama


mengangguk. Ayah mereka, Fenton Hardy, seorang detektif pribadi
yang terkenal, pada waktu itu sedang pergi untuk menangani suatu
perkara, tetapi ia sangat mempercayai anak-anaknya. Ia membiarkan
kedua anaknya melakukan apa saja selama ia tak ada di tempat.
"Kami akan melakukannya," kata Joe. "Mari kita mulai dengan
si pengendara mobil, yang mengejar-ngejar engkau di jalan. Engkau
bilang ia juga seorang tersangka."
Rolf memandangi mereka dengan pandangan aneh.
"Ia memang semacam orang tersangka. Tetapi aku agak takut
untuk melanjutkan."
"Mengapa engkau begitu misterius?" tanya Frank sambil
mengernyit.
Rolf melirik.
"Apakah engkau percaya kalau ia seorang zombie?" ia
menggagap dengan parau.
Ebukulawas.blogspot.com

2. SERDADU HESSE DARI HUNTERS HOLLOW

Frank dan Joe Hardy tercengang mendengarkan Rolf Allen.


"Zombie!" seru Joe. "Itu orang yang telah meninggal dan
bertingkah-laku seperti masih hidup. Seperti orang kesurupan!
Melotot! Tetapi hanya di dalam film."
Frank tertawa.
"Itu hanya takhayul. Sekarang tak seorang pun percaya pada
Zombie."
"Sebagian masyarakat di Green Mountains masih percaya,"
Rolf mengingatkan. "Para orangtua mengatakan, pernah melihat
Zombie yang didesas-desuskan bergentayangan di daerahku sejak
beberapa tahun. Sopir yang menyerempet mobilku wajahnya juga
putih pucat, wajah seorang Zombie!"
"Ah, Rolf. Yang benar saja," kata Frank. "Zombie tak dapat
mengendarai mobil. Nah, kubilang: aku telah mencatat nomor
mobilnya. Mari kita selidiki."
Ia pergi ke tempat telepon dan menelepon pak Collig,
komandan Kepolisian di Bayport. Pak Collig, adalah teman baik
keluarga Hardy. Ia mendengarkan pertanyaan Frank tentang sedan
biru yang misterius.
"Jangan letakkan," kata pak komandan. "Aku akan memeriksa
dulu laporan-laporan hari ini."
Frank tetap memegangi gagang telepon hingga pak Collig
kembali dan melanjutkan.
"Nomor itu nomor mobil curian, Frank. Pemiliknya seorang
peternak yang tinggal di Hunter's Hollow, Vermont. Namanya Noah
Williamson. Untuk apa kautanyakan? Engkau melihat mobil itu?"

Setelah Frank menjelaskan, pak Collig tertawa, lalu menjawab:


"Aku akan menyuruh orangorangku mencari mobil itu, Frank. Tetapi
aku sangsi, apakah kami akan menangkap seorang Zombie!"
Frank mengucapkan terimakasih. Lalu kembali kepada Joe dan Rolf,
Frank menceritakan apa yang diketahuinya dari komandan polisi.
"Itulah jelasnya bagaimana ia dapat mengejar aku," kata Rolf.
"Aku mengatakan kepada beberapa petani di sekitar Hunter's Hollow
bahwa aku datang kemari untuk mengawasi rumah, dan kuminta
mereka memberitahu aku kalau ada sesuatu yang terjadi."
"Maksudmu, ada salah seorang petani yang menginginkan
engkau pergi?" tanya Joe.
Rolf mengangkat bahu.
"Aku tak tahu. Tetapi jelas ada yang mencuri mobil Noah
Williamson, lalu membayangi aku. Ketika dia kulihat dari kaca spion,
aku berusaha untuk meloloskan diri, tetapi orang itu terlalu cepat dan
dapat mengejar. Selanjutnya engkau sudah tahu."
"Ya, ia mencoba menyingkirkan engkau dengan mendorong ke
selokan," Joe menyimpulkan.
"Untunglah kami datang tepat pada waktunya." Frank
mengalihkan pembicaraan.
"Rolf, apakah hubungannya antara Zombie itu dengan
kebakaran hutan?"
"Ini," jawab Rolf. Ia merogoh ke dalam saku jaketnya,
mengeluarkan sesuatu dan mengulurkannya kepada kedua teman
barunya. Frank dan Joe melihat sebuah kancing baju besar terbuat dari
logam, dengan huruf H tertera di tengah-tengahnya.
Joe mengambil kancing baju itu dibalik-balikkan, lalu diberikan
kepada Frank yang juga lalu memeriksanya.
"Apa pentingnya kancing baju ini?" Frank bertanya.

"Ini berasal dari seragam tentara Hesse," Rolf menjelaskan.


"Ingat, sewaktu Revolusi Amerika ada tentara sewaan dari Hesse yang
ikut betempur di pihak Inggris."
Joe mengangguk.
"George Washington melintasi Delaware dan memukul tentara
Hesse dalam Pertempuran Trenton. Tetapi, apa hubungannya dengan
perkara ini?"
"Zombie itu seorang tentara Hesse."
"Ah, ada-ada saja," kata Frank.
Ia mengembalikan kancing baju itu kepada Rolf, yang lalu
dimasukkan kembali ke saku jaketnya.
"Tentara Hesse juga berada di Vermont," Rolf mengingatkan
Frank dan Joe. "Kaum Patriot menghancurkan mereka di Pertempuran
Benington. Nah, salah seorang tentara Hesse dapat meloloskan diri. Ia
menuju ke Green Mountains dan menghilang di Hunter's Hollow.
Banyak orang menyangka bahwa ia telah mati tenggelam di Hollow
Brook lalu menjadi Zombie, yang masih selalu mengenakan seragam
tentara Hesse. Orang-orang itu mengatakan, bahwa ia menembakkan
senapannya jika sedang ada topan, suaranya seperti guntur. Api dari
mesinnya membakar hutan."
"Jadi mereka percaya, bahwa Zombie itu yang memasang api di
dekat rumahmu," kata Joe.
Rolf mengangguk.
"Lucunya, temanku Lonnie Mindo, menemukan kancing itu di
antara sisa api. Harap kalian tahu, ketika pihak polisi memberitahu
kepadaku tentang kebakaran itu, aku dan Lonnie datang ke tempat
kejadian. Asapnya begitu tebal, hingga kukira rumahku juga ikut
terbakar. Para anggota dinas kebakaran datang membawa seluruh
perlengkapan mereka, dan memompa air dari Hollow Brook."
"Apakah mereka dengan cara itu mencegah api sampai ke
rumahmu?" tanya Frank.

Rolf mengangguk.
"Setelah memadamkan api, mereka mengatakan bahwa
mungkin petir yang menyebabkannya, atau seseorang yang kurang
hati-hati membuang puntung korek api yang masih menyala. Kami
memeriksa di daerah bekas kebakaran setelah para anggota dinas
kebakaran itu pergi. Lonnie menemukan kancing itu. Kubawa kancing
itu ke Museum Universitas Negeri Vermont di Brulington. Mereka
mengatakan, bahwa kancing itu berasal dari seragam tentara Hesse."
"Ada orang yang mengelabuhi engkau," kata Frank. "Ia
meletakkan kancing itu dengan sengaja di mana engkau akan
menemukannya, agar engkau mencurigai si Zombie."
Rolf menggeleng.
"Bagaimana ia tahu kami akan menemukan kancing itu?
Kancing itu tertimbun abu. Lonnie kebetulan mengorek-ngoreknya
dengan sepatu. Dia .... "
Kata-kata Rolf terpotong oleh suara jeritan dari dapur. Frank
dan Joe lari mendatangi, melihat bibi Gertrude berdiri di dekat
kompor, mengacungkan sendok kayu ke jendela.
"Ada orang di luar sana!" serunya. "Orang laki-laki berwajah
putih jelek dengan mata tak berkedip! Ia lari ketika aku
memandangnya!"
"Si Zombie!" seru Frank. "Ayo, Joe, kita kejar!"
Kedua pemuda itu lari keluar dari dapur ke tempat yang gelap.
Suara mendesir di semak-semak menunjukkan bahwa penjahat
tersebut lari ke arah itu. Mereka mengejar dan melihat orang itu
melintasi halaman belakang ke rumah sebelah, di mana pohon-pohon
rhododendron yang lebat dan tinggi memberikan perlindungan
baginya. Ia menghilang di antara pohon-pohonan tersebut.
"Seandainya tidak begini gelap," Joe berkata tersengal-sengal.
"Kita tentu akan dapat menangkapnya."

"Terus kejar," kata Frank terengah-engah. "Barangkali saja ia


jatuh hingga kita dapat menangkapnya. "
Melewati rumpun rhondodendron, mereka mendengar langkahlangkah kaki melintasi halaman batu alam di depan serambi tetangga.
Joe mempercepat larinya dan menangkap pelarian itu di ujung
serambi. Ia menjatuhkan diri, meluncur hendak menggaet kakinya,
tetapi orang itu menghindar ke samping dan terus lari. Joe menyerang
tempat kosong dan tertelungkup di atas ubin bata. Frank berlari lewat,
memusatkan pandangannya menembus kegelapan. Pagar kayu yang
tinggi menjulang di depannya. Ia sampai tepat ketika pelarian itu
melompat dan menangkap bagian atas pagar. Frank menangkap
pinggangnya dan menariknya turun. Kedua orang itu bergulat
bergulingan. Akhirnya tangkapan Frank terlepas, dan orang itu
melompat bangun. Ia mengeluarkan pestol semprotan dari sakunya
dan membidikkannya ke arah Frank!
Pada saat itu, tepi bulan tersembul dari awan. Dalam
keremangan Frank melihat wajah yang putih dengan mata menyala.
Kemudian semprotan kimia mengenai mukanya, dan untuk sementara
Frank tidak dapat melihat apa pun.
"Frank, engkau tidak cedera?" tanya Joe.
Ia melanjutkan pengejaran setelah gagal menggaet kaki. Ia
berhenti sebentar di dekat kakaknya, sementara pelarian itu naik ke
pagar dan turun di baliknya.
"Hanya disemprot dengan kembang pala," Frank menggerutu.
"Ayo terus, barangkali penjahat itu bersembunyi di balik sana!"
Mereka segera memanjat pagar dan melintasi halaman belakang
tetangga ke jalan samping. Mereka mendengar bunyi mesin mobil
beberapa rumah lagi jauhnya. Dengan melompat Frank menarik pintu
mobil hingga terbuka lalu mematikan kunci kontak. Ketika pintu
terbuka, lampu di dalam mobil menyala.

Frank dan Joe terbengong heran! Nyonya Schmidt, salah


seorang tetangga mereka duduk di belakang kemudi.
"Frank dan Joe!" seru Nyonya itu.
"Astaga, apa yang kaulakukan ini? Hampir saja aku mati
ketakutan!"
Frank tergagap.
"Eh, maaf, bu. Kami kira ada orang lain."
"Seorang laki-laki yang kami kejar," sambung Joe.
"Apakah aku seperti orang laki-laki?" kata Nyonya itu marah.
"Nah, aku ada janji dan harus segera berangkat." Ia menghidupkan
kembali mesin mobilnya.
Frank menutup pintunya dan mobil itu bergerak, membelok di
tikungan, lalu lenyap dari pandangan.
Dengan bingung Frank dan Joe sadar, mereka tak ada
kesempatan lagi untuk mengejar si pelarian.
"Ia mungkin bukan Zombie," Frank menyatakan.
Sementara itu mereka berjalan mengitari blok menuju ke rumah
mereka. "Tetapi ia memang mengerikan wajahnya! Tak heran, bibi
Gertrude menjadi takut."
Mereka mendapatkan bibi Hardy masih saja di dapur dalam
keadaan tegang. Bu Hardy berusaha menentramkannya.
"Ia melarikan diri," kata Joe kecewa.
"Sayang sekali!" tukas bibi Gertrude. Ia melambai-lambaikan
sendok kayunya seperti pentungan.
"Kalau aku behasil menangkapnya, kubuat dia pusing melihat
bintang-bintang! Gila, memandangi aku lewat jendela seperti itu!"
Frank tertawa.
"Aku tentu akan memukulnya bibi."
Kedua pemuda itu masuk ke kamar duduk, di mana Rolf masih
duduk di kursi panjang. Mereka menceritakan apa yang telah terjadi,

kemudian mereka berangkat, esok hari akan pergi bersama Rolf ke


Vermont.
"Aku tak mungkin bersama engkau ke Hunter's Hollow," kata
Rolf. "Aku harus ikut latihan besok siang." Ia memberikan kunci
rumahnya, bersama sebuah kartu alamat dan nomor telepon asrama
tempat ia menginap.
Joe mengantongi keduanya, lalu berkata: "Lebih baik kita
beritahukan kepada pak Collig, bahwa kita telah didatangi Zombie,
meskipun barangkali teman kita yang mengerikan itu telah sampai di
negara bagian lain."
"Ia menelepon kantor polisi, dan komandan itu berjanji akan
memberitahu seluruh anak buahnya untuk mencari orang yang mirip
dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh Joe.
Kemudian Frank dan Joe mengemasi kopor-kopornya. Bibi
Gertrude yang mengetahui keterlibatan mereka pada perkara Zombie
itu, meramalkan hal-hal yang mengerikan.
"Makhluk yang kalian kejar-kejar ini mungkin bukan Zombie,
tetapi yang pasti ganas dan berbahaya. Lihat saja, ia hampir
membunuh Rolf dengan kecelakaan yang ditimbulkannya! Kukira,
lebih baik kalian serahkan saja semuanya itu kepada polisi."
"Jangan kuatir, bibi. Kami akan hati-hati," Frank menenangkan
bibinya.
"Aku memang kuatir," kata bibi. "Engkau." Kata-kata bibi
dipotong oleh bunyi bel pintu, lalu pergi untuk membukanya.
Beberapa menit kemudian ia kembali.
"Frank, Joe, ada tamu yang ingin bertemu dengan kalian."
Ebukulawas.blogspot.com

3. IKUT SIRKUS
Kedua pemuda itu pergi ke kamar tamu. Mereka melihat
seorang jangkung, duduk di kursi. Ia memakai kacamata berbingkai
tanduk dan mengedip-ngedipkan matanya ketika memandangi mereka.
Ia berdiri, berjabatan tangan dengan kedua pemuda itu, lalu
memperkenalkan diri.
"Aku John Tariski, direktur dari sirkus Big Top," katanya
dengan suara agak parau. "Kami selalu berkeliling setiap musim
panas, dan kami baru saja memulai perjalanan keliling untuk mus im
panas ini."
"Kami sudah mengenal sirkus anda, pak Tariski," kata Frank.
"Kami telah sering menontonnya bila sedang main di dekat
Bayport."
"Pertunjukannya hebat," kata Joe pula. "Terutama penunggangpenungang kuda serta akrobat di tali."
Pak Tariski mengernyit.
"Sungguh aneh engkau menyebut kedua pertunjukan itu.
Karena hal itu pulalah aku kemari. Tetapi aku mengerti dari bibi
kalian, bahwa ayahmu sedang dinas luar. Sayang sekali, sebab aku
menghadapi suatu perkara dan beliau akan kuminta menyelidikinya."
"Coba ceritakan hal itu, Pak," Joe mengusulkan.
Pak Tariski berkedip-kedip dan suaranya terdengar lebih parau.
"Sirkus Big Top telah diganggu oleh serangkaian kecelakaan," ia
memulai. "Tetapi kuduga, itu semua adalah usaha untuk menyabot
kami."
"Maksud anda, ada orang yang mencoba menggagalkan
pertunjukan sirkus?" tanya Joe.
"Nampaknya begitu. Kecelakaan yang paling buruk telah sangat
fatal. Salah seorang gadis penunggang kuda telah jatuh terlempar dari

kudanya. Kemudian salah seorang akrobat permainan tadi, ketika tepat


sampai di seberang, talinya putus. Untunglah tak ada yang cedera."
Kedua pemuda itu menatap tak berkedip kepada pak Tariski,
dan pak Tariski mengangguk.
"Penunggang kuda itu jatuh karena kaki kudanya terperosok ke
dalam lubang yang ditimbuni serbuk gergaji. Tetapi lubang itu belum
ada malam sebelumnya! Sedang kawat titian itu hanya sebagian yang
putus, sebagian yang lain masih utuh. Itu menunjukkan bahwa kawat
itu telah dikikir."
"Aduh!" seru Joe. "Itu mencurigakan memang. Tetapi apakah
anda telah melaporkannya kepada polisi?"
"Aku memang telah melapor," kata pak Tariski. "Mereka tak
menemukan bukti yang meyakinkan. Mereka menyarankan, agar aku
minta bantuan seorang detektif pribadi yang dapat ikut dalam
perjalanan sirkus. Kukira mereka tak percaya bahwa kecelakaankecelakaan itu disengaja."
"Tetapi anda percaya," kata Frank.
"Aku bahkan yakin," jawab pak Tariski. "Dengarkan, kami
telah mengalami kecelakaan-kecelakaan kecil sebelumnya. Lampu
tenda mati ketika pertunjukan sedang berlangsung, beberapa pakaian
hilang tepat sebelum permainan dimulai, misalnya. Tetapi lama-lama
menjadi lebih berbahaya. Karena itu aku perlu bantuan dengan
segera!"
"Akan ke mana anda dari sini?" tanya Frank.
"Kami sedang memulai perjalanan tahunan di New England.
Rombongan kami akan berkemah di Bayport Meadow malam ini dan
berangkat besok pagi. Aku mendahului, dengan harapan dapat
menemui ayahmu. Tetapi kukira kalian berdua dapat menggantikan
ayah kalian," kata direktur sirkus itu. "Bagaimana pun kalian juga
detektif, bukan?"

"Kami memang telah banyak melakukan tugas penyelidikan,"


Frank membenarkan.
"Nah, kalau begitu, maukah kalian menolong aku?" tanya pak
Tariski dengan penuh harapan. Joe menggeleng dengan sikap
menyesal.
"Maaf kalau mengecewakan anda, pak Tariski, sebab kami baru
saja menerima perkara lain. Kami sedang bersiap hendak berangkat ke
Burlington, Vermont."
"Burlington!" jawab pak Tariski. "Sungguh kebetulan!
Sirkus kami juga akan berangkat ke Burlington besok pagi.
Barangkali kalian dapat bergabung dengan kami di sana, dan
menangani dua perkara sekaligus."
Frank nampak ragu-ragu.
"Kami memang akan ke Hunter's Hollow," katanya. "Aku tak
tahu bagaimana bisa bekerja di sirkus. Tetapi ...."
Ia terhenti dan pak Tariski melompat bangkit, mendengar suara
ledakan keras di jalan.
"Apakah itu suara tembakan?" seru direktur sirkus.
"Apakah ada orang yang menembaki rumah ini? Barangkali
tukang sabot itu menembak aku?"
Sebelum kedua pemuda sempat menjawab, serentetan suara
letusan terdengar cepat berturut-turut, kemudian terdengar suara
berdecit roda mobil yang direm di jalan.
Frank dan Joe saling memandang.
"Tenang, pak Tariski," kata Joe kepada tamunya. "Bukan
senapan, hanya suara mobil milik salah seorang teman kami."
Frank pergi ke jendela dan melihat keluar. Ia melihat sebuah
mobil tua berjalan membelok lebar ke arah rumah. Radiatornya
mengepul dan roda-rodanya seperti hendak pergi sendiri ke arah yang
berlainan, kemudian tersentak berhenti di pinggir jalan.

Pengemudinya seorang pemuda gemuk bulat, sedang menyeka


keringat di wajahnya dengan saputangan bertotol-totol. Para
penumpangnya, teman-teman sekolah di SMA, mengeluh keras-keras
atas perjalanan yang "berat" itu.
"Chet," kata Frank sambil menoleh ke belakang. "Ia bersama
Biff, Tony dan Phil."
Chet Morton adalah teman akrab Frank dan Joe. Garis
pinggangnya yang lebar menunjukkan, bahwa pemuda itu adalah
penggemar makanan. Meskipun kurang menyenangi bahaya, Chet
telah berulang kali membantu kedua pemuda detektif itu membongkar
perkara. Mereka tahu, bahwa Chet dapat merupakan bantuan yang
berharga dalam menghadapi kesulitan.
Biff Hooper yang ramping adalah seorang atlet jagoan di SMA
Bayport. Ia pandai menggunakan tinjunya kalau harus menerobos
pertarungan keroyokan melawan gerombolan penjahat. Demikian pula
Tony Prito yang berambut hitam, seorang anak pemborong setempat.
Phil Cohen lebih suka memecahkan persengketaan dengan pikirannya,
dan bantuan-bantuannya seringkali tak ternilai besarnya bagi Frank
dan Joe.
Chet membuka pintu mobil reotnya. Ia kesulitan keluar dari
tempat duduknya, lalu tersenyum menyeringai kepada temantemannya.
"Tak ada kesulitan, 'kan, pergi ke rumah keluarga Hardy kalau
Chet yang menyopir?"
"Sulit!" seru Biff. Ia telah terlempar membentur dashboard dan
tersentak kembali ke sandaran ketika Chet mengerem mobilnya.
"Masalahnya sekarang, bagiamana harus berjalan kaki setelah
naik tumpukan besi ini!"
"Ya, kita harus menggunakan tongkat untuk berjalan," kata
Tony.

Chet nampak mendongkol.


"Ah, jangan melebih-lebihkan. Sekarang kita lihat, apakah
kedua teman kita itu ada di rumah."
"Kami ada di sini," seru Frank dari pintu depan yang baru saja
dibukanya. "Masuklah. Engkau, dan yang berhasil menyelamatkan
diri!"
Biff pura-pura mengerang ketika menaiki undakan.
"Itulah kami. Hampir saja tinggal nama."
Mereka masuk dan Frank serta Joe memperkenalkan mereka
kepada pak Tariski. Dengan singkat mereka berdua menjelaskan,
bahwa ia adalah direktur sirkus Big Top, datang dengan harapan
mendapatkan bantuan untuk menyelidiki suatu sabotase.
"Tetapi mereka mengatakan tidak dapat membantu," sambung
pak Tariski. "Nah, aku minta diri saja."
Tiba-tiba Joe mendapat akal.
"Dengar, pak Tariski," katanya. "Anda membutuhkan bantuan,
dan anak-anak ini sedang mencari pekerjaan karena masa liburan
sekolah. Anda terima saja mereka bekerja di sirkus, dan mereka dapat
selalu mengawasinya!"
"Mereka memang telah sering membantu kami," Frank
menambahkan. "Mereka sangat baik melakukan tugas demikian."
"Itu pikiran yang bagus," pak Tariski membenarkan.
"Bagaimana pun aku memang membutuhkan beberapa tenaga
lagi. Bagaimana, anak-anak? Mau menggabungkan diri dalam sirkus?"
Chet, Biff, Tony dan Phil segera menyetujui. "Apa saja tugas
kami?" kata Tony ingin tahu. "Chet menyukai bangsa harimau," Biff
bergurau. "Mungkin ia bisa menjadi pawang singa."
Chet menelan ludah.
"Tentu. Aku yang akan menangani singa dan harimau,"
katanya. "Tetapi kukira perlahan-lahan saja meningkat sampai ke
sana."

Pak Tariski menyelamatkan keadaan Chet.


"Engkau tak akan mendapatkan tugas khusus itu. Sirkus sudah
mempunyai penjinak singa."
Akhirnya disetujui, bahwa Chet akan mengurus penjualan
makanan dan Biff membantu bagian perawatan. Phil menjadi
penerima tiket, dan Tony membantu teknik yang akan merawat
kendaraan-kendaraan sirkus. Karena pemuda itu memang telah sering
membantu ayahnya, ia telah berpengalaman di bidang itu.
"Datanglah ke Bayport Meadow besok pagi-pagi benar," kata
pak Tariski sambil beranjak hendak pergi. "Kita hendak melakukan
perjalanan."
Chet menyeringai.
"Wahh, pagi amat," Tetapi matanya segera bersinar.
"Ah, tetapi sirkus memang menyenangkan," Chet mengaku.
"Aku yakin, kita tentu berhasil menangkap penjahat yang
bertanggungjawab atas lelucon-lelucon itu."
"Apa sebabnya kalian tak mau menerima tugas ini?" tanya Phil
kepada kakak beradik itu setelah pak Tariski pergi.
"Kami sudah punya tugas," Joe memberitahu.
Mereka segera menceritakan tentang kebakaran-kebakaran
hutan dan petunjuk yang mengungkapkan bahwa si tersangka adalah
Zombie. Keempat temannya mendengarkan dengan terpukau.
"Aku akan selalu memilih sirkusnya!" kata Chet cepat-cepat.
"Zombie! Siapa yang mau dengan mereka?"
"Aku ingat baru-baru ini engkau mengatakan tak percaya akan
takhayul," Frank mengingatkan temannya. Maksudnya, ketika mereka
menangani perkara misteri Naga Berkepala Empat.
Chet tak menjawab. Sebaliknya ia berpaling kepada temanteman lainnya.
"Lebih baik kita pulang dulu, mempersiapkan diri," sarannya.
"Aku akan menurunkan kalian di rumah masing-masing."

"Terimakasih," jawab Phil cepat-cepat. "Tetapi kukira lebih


baik berjalan kaki saja."
"Aku juga," Tony ikut-ikutan. "Aku perlu berolahraga."
"Selain itu," Biff menyambung, "kalau kami ada di dalam
kandang reot itu lagi, kami mungkin akan cedera berat, tak dapat
memulai pekerjaan besok pagi!"
Chet nampak kecewa.
"Ah, jangan begitu dong," ia meminta. "Aku yang membawa
kalian kemari, bukan? Nah, aku juga yang akan memulangkan kalian."
Biff merasa kasihan terhadap si gemuk, yang sangat bangga
dengan mobil tuanya.
"Betul, Chet. Kami hanya bergurau. Kami ingin kauantarkan
pulang."
Keempat pemuda itu keluar, dan kakak beradik itu mendengar
gemuruhnya suara mobil Chet menjauh di sepanjang Elm Street.
Pagi-pagi benar esok harinya, ketiga pemuda berangkat menuju ke
Vermont. Frank dan Joe mengendarai mobilnya sendiri, sedang Rolf
akan langsung ke studio agar dapat tepat waktunya melakukan latihan.
Frank dan Joe membahas misteri tersebut di sepanjang jalan.
"Apakah kita langsung saja ke Hunter's Hollow?" tanya Joe
pada diri sendiri. "Mencoba mencari jejak-jejak si Zombie?"
Frank menggeleng.
"Sementara kita ada di Burlington, kita temui dulu pengacara
mereka, Tyrell Tyson. Mungkin ia dapat memberikan petunjuk. Jadi
kita sudah mengetahui sesuatu bila tiba di rumah Rolf."
Mereka bergantian memegang kemudi. Untuk makan siang,
mereka makan bekal roti berisi yang disediakan oleh bibi Gertrude.
Mereka tiba di Burlington waktu siang hari. Kota itu dibangun pada
sisi sebuah bukit, menghadap ke arah Danau Champlain. Di seberang
barat danau adalah negara bagian New York State, di seberang

timurnya Green Mountains. Mereka berhenti di pompa bensin, dan


Frank mendapatkan nomor telepon Tyson di buku telepon. Untung
pengacara itu ada di kantornya. Setelah mendengar bahwa pemudapemuda itu ingin membicarakan perihal rumah Allen, ia mengundang
mereka ke kantornya.
Frank membawa kendaraannya ke daerah pertokoan kota.
Mereka memarkir mobil di tempat parkir umum, lalu berjalan kaki ke
gedung bertingkat tiga, di mana kantor Tyson teletak di lantai dua.
"Aku ingin tahu, apakah kita dapat memperoleh petunjuk di
sini," kata Joe, lalu membunyikan bel pintu.

4. JALAN RAHASIA

Pengacara itu membuka pintu. Ia tersenyum cerah


menyenangkan, dan menyalami kedua pemuda itu dengan ramah.
Setelah duduk di belakang mejanya, ia mempersilakan kedua tamunya
duduk di kursi bersandaran tangan.
"Frank dan Joe Hardy," Pengacara itu memulai. "Kalian tentu
anak-anak dari Fenton Hardy, detektif dari Bayport. Aku telah
mengenal nama kalian, karena ayahmu beberapa kali menangani
beberapa perkara Asosiasi Ahli Hukum di Washington. Nah, kalian
mengatakan ingin membicarakan tentang rumah keluarga Allen?
Untuk apa? Berilah aku petunjuk-petunjuk," sambungnya sambil
tertawa, seperti kalian layaknya berbicara sebagai detektif."
"Pak Tyson," Joe menanggapi. "Anda tertarik akan rumah
keluarga Allen itu, bukan?"
Pengacara itu mengangkat bahu.
"Dulu aku tertarik," ia mengaku. "Sebuah perusahaan yang
kuwakili telah menawar rumah itu dengan pantas. Mereka hendak
mengadakan ceramah-ceramah tentang teknik-teknik penjualan
moderen kepada para pegawainya di sana. Tetapi suami-isteri Allen
itu menolak."
"Dapatkah anda mengatakan tentang kebakaran hutan di sana?"
Joe melanjutkan.
"Apakah anda duga ini perbuatan tukang membakar rumah?"
"Mengapa harus perbuatan tukang bakar rumah?" tanya Tyson
dengan nada heran. "Dinas kebakaran tidak mengatakan demikian."
"Ada orang yang menelepon Rolf dan mengatakan bahwa
rumahnya akan dibakar habis kalau tidak mau menjualnya dengan
segera," kata Frank dengan datar.

"Sebelum atau sesudah kebakaran?"


"Sesudah."
"Barngkali telepon gelap," kata pak Tyson. "Seorang pelawak
yang membesar-besarkan peristiwa kebakaran itu. Sebagai seorang
pengacara yang menangani asuransi kebakaran, kukatakan kepada
kalian, hal demikian ini bukan tidak mustahil."
Ia berhenti sejenak dan memandangi kedua detektif muda itu
dengan aneh.
"Mengapa kalian tertarik akan rumah keluarga Allen?"
"Rolf Allen meminta bantuan kami untuk menyelidiki
kebakaran tersebut," Frank menjelaskan. "Ia menduga, ada orang yang
sengaja melakukannya untuk menakut-nakuti orangtuanya agar mau
menjualnya."
Tyson menggeleng kurang percaya.
"Dugaanku, Rolf terlalu berkhayal. Tetapi kalau kalian
menemukan sesuatu yang tak beres di Hunter's Hollow, beritahulah
aku. Barangkali aku dapat memberikan bantuan hukum."
Ketika pembicaraan selesai, Tyson mengantar kan mereka ke
pintu dan menjabat tangan mereka.
"Mungkin kita bersama-sama dapat memecahkan misteri ini,"
katanya sambil tersenyum lalu menutup pintunya.
Kedua pemuda itu berkeputusan untuk memeriksa gedung di
mana Rolf mendapatkan kantor yang kosong itu. Alamatnya hanya
beberapa blok dari kantor Tyson itu. Gedung itu sebagian berupa
kantor-kantor, sebagian lagi rumah apartemen. Mereka menjumpai
pengawasnya di lantai bawah.
"Apa yang kalian kehendaki?" Orang itu bertanya dengan suara
masam.
"Kami ingin melihat apartemen 415," Frank menjelaskan. "Ada
teman kami yang dulu tinggal di sana dan katanya sekarang sudah
kosong. Barangkali saja kami tertarik untuk menyewanya."

"Tidak ada apartemen nomor 415," kata pengawas itu. "Nomor


415 adalah sebuah kantor."
"Ah, mana mungkin?" Frank berpura-pura tidak percaya.
"Teman kami menyurati kami ...."
Ia melanjutkan bicaranya dengan sembarangan hingga akhirnya
pengawas itu berkata dengan jengkel:
"Oke, mari lihat sendiri! Itu hanya sebuah kantor dengan dua
ruangan."
Ia membawa mereka ke atas, melewati sebuah lorong ke kantor
di ujungnya. Pintunya berjendela kaca dan dipasangi tempat untuk
nama. Ia membuka pintunya dan mereka lalu masuk.
Mereka berada di kantor bagian luar, kosong sama sekali dan
berdebu. Kantor bagian dalam juga kosong, kecuali sebuah pesawat
telepon yang hanya diletakkan di lantai.
"Tak ada apa-apanya kecuali telepon, ya?" kata Joe.
"Itu juga tidak disambung," pengawas gedung itu menggerutu.
"Nah, kalian lihat sendiri, ini bukan apartemen. Kalian tentu tak mau
menyewanya."
"Tidak, kukira memang tidak," kata Frank, berlama-lama di
kantor bagian dalam. Ia telah melihat bekas-bekas telapak kaki di
lantai berdebu, membuktikan bahwa belum lama ini ada orang yang
ke tempat itu. Tetapi ia tak mau menyebutnya.
"Teman kami itu minta tolong kepada kami, barangkali saja ada
surat bagi dia," kata Joe, melanjutkan pertanyaan-pertanyaannya.
"Ada sesuatu yang pernah dikirim kemari?"
"Sudah tentu saja tidak. Tak ada penghuninya!" Pengawas
gedung itu menjadi tidak sabar dan melangkah jengkel ke pintu.
"Sudah cukup?"
"Kukira begitu," kata Joe sambil mengangguk. "Kami harus
menghubungi teman kami itu untuk mengetahui apa yang terjadi."

Pengawas gedung itu mempersilakan mereka keluar dari


ruangan, menguncinya dan mengantarkan mereka turun.
"Tolong tutup pintu depan kalau kalian pergi," katanya.
Kemudian ia berjalan ke tangga menuju ke ruangan bawah ke
apartemennya sendiri.
"Ia memang tidak ramah," kata Joe. "Dan ia ingin kita segera
pergi. Aku ingin tahu, apakah ia menyembunyikan sesuatu."
Frank mengangkat bahu.
"Sulit dikatakan. Mungkin saja ia menyelinap ke Hunter's
Hollow dan memasang api Marilah kita ke sana saja, berusaha
menemukan sesuatu."
Mereka kembali ke tempat menitipkan mobil.
Frank yang mengemudi, Joe menghamparkan peta Vermont di
pangkuannya, dan mereka keluar dari kota Burlington menuju ke
Green Mountains. Segera mereka berada di pedesaan. Tanah-tanah
pertanian saling dibatasi satu sama lain dengan pagar batu. Para petani
membajak ladang mereka dengan traktor, kuda dan sapi merumput di
padang rumput. Burung-burung elang berputar-putar di udara.
Setelah melewati Lembah Bolton, mereka melihat papan nama
Stove yang menunjuk ke timur laut.
"Ada tempat bermain ski yang sangat bagus di Stove," kata Joe.
"Gunung Mansfield terkenal dengan jalur-jalur skinya yang sangat
sulit."
"Aku tahu," kata Frank. "Tetapi coba katakan, ke mana yang
menuju ke Hunter's Hollow?"
Joe melihat ke peta.
"Ke Tenggara. Kita akan segera sampai."
Pada saat itu tanah-tanah pertanian telah diganti oleh hutanhutan lebat dan bukit-bukit. Frank membelok dari jalan besar, masuk
ke jalan tanah. Jalan berliku-liku dan roda-roda mobil menerbangkan
debu tebal. Ketika membelok di tikungan tajam, ia tiba-tiba harus

menginjak rem. Sekawanan rusa lari melompat-lompat ke jalan dari


dalam hutan. Ketika kawanan rusa itu telah menyeberang dan masuk
kembali ke semak-semak, Frank melanjutkan perjalanan hingga
sampai pada sebuah papan nama DEER X-ING. (Deer crossing).
"Baru sampai mana nih!" Frank menggerutu. Kemudian, tibatiba ia harus berhenti pula. Sebuah mobil polisi diparkir di depan
jalanan masuk, dan seorang anggota polisi masuk dan berdiri di
tengah jalan, bercakap-cakap dengan seorang petani.
"Ada yang tak beres?" tanya Frank kepada pak polisi.
"Ah, tidak. Aku baru saja mengatakan kepada Noah Williamson
ini. Kami baru saja mendapat kabar pagi tadi bahwa mobilnya yang
dicuri telah diketemukan. Hanya itu saja. Wah, jauh juga dari sini, di
Pantai Timur."
Seperti mendapat firasat, Frank bertanya: "Apakah kira-kira
sebuah sedan biru?"
Polisi itu menatapnya. "Bagaimana engkau tahu?"
"Kami dari Bayport. Kemarin, Rolf Allen datang menemui
kami, minta bantuan menghadapi suatu misteri. Kami memang
detektif amatir. Rolf didesak keluar dari jalan oleh sebuah sedan
dengan nomor polisi dari Vermont. Rupanya ada seseorang yang
mengikuti Rolf dari sini."
"Jangan ngacau!" kata petani itu. "Engkau mencoba
mengatakan kepadaku, ada orang yang mencuri mobilku? Untuk
digunakan mengejar Rolf ke Bayport?"
"Memang. Kalau nomor mobil anda adalah NOP 668,"
sambung Joe.
"Itulah nomor mobilku! Wah, aku ...." Petani itu tak dapat
berkata-kata lagi.
"Anda dapat mengambil mobil anda di kantor polisi Bayport
setiap saat," kata anggota polisi itu. "Aku tahu ada kerusakan sedikit

pada spatboard kanan depan. Engkau harus melaporkannya kepada


perusahaan asuransimu."
Petani itu menghela napas.
"Rusak lagi. Dasar sial." Ia berpaling kepada kedua pemuda itu.
"Ada waktu untuk mampir minum limun?"
"Tentu. Dengan senang hati," kata Frank.
Setelah berpamitan kepada anggota polisi tersebut, kedua
detektif muda itu mengikuti petani ke rumahnya. Nyonya Williamson
adalah seorang nyonya bertubuh besar dan ramah. Ia menghidangkan
beberapa gelas besar berisi limun yang baru dibuat di atas meja dapur.
Untuk apa kalian kemari?" ia bertanya.
"Kami menuju ke Hunter's Hollow," jawab Joe.
Suami-isteri itu terkejut mendengar ucapan Joe.
"Ada kepentingan apa kalian di Hunter's Hollow?" tanya
nyonya Williamson.
"Kami ingin mengetahui, bagaimana terjadinya kebakaran hutan
itu."
Perasaan takut membayang di wajah Nyonya itu.
"Itu Zombie yang melakukannya!" serunya. "Sudah banyak
terjadi hal-hal buruk semenjak serdadu Hesse itu datang ke Hunter's
Hollow. Dua abad kita selalu diganggu orang yang sudah
meninggal.orang mati yang tidak mati!"
"Apakah Zombie itu bukan hanya dongengan?" tanya Frank.
Pak Williamson memukulkan tinjunya di meja.
"Bukan!" suaranya menggelepar. "Aku melihat dia pada waktu
kebakaran!"
Kakak beradik itu ternganga memandangi dia. "Bagaimana
peristiwanya, pak Williamson?" akhirnya Frank bertanya.
"Aku sedang memotong kayu di dekat rumah keluarga Allen,"
petani itu menjelaskan. "Tiba-tiba kudaku meringkik. Aku

mendongak, dan kulihat Zombie itu berlari-lari masuk ke hutan! Ya,


dia memang ada di sana!"
"Bagaimana anda tahu ia Zombie?" tanya Joe segera.
"Ia memakai seragam. Itulah yang dipakai si Zombie..
seragam tentara Hesse dari zaman Revolusi. Kami semua tahu tentang
seragam itu. Biru dengan pinggiran merah. Dan wajahnya yang putih
itu, iiih! Aku sampai lari pulang!"
"Kembalilah ke Bayport," Nyonya petani itu memperingatkan
Frank dan Joe.
"Tidak dapat," kata Frank. "Kami telah berjanji kepada Rolf
hendak menyelidiki kebakaran itu."
Petani dan isterinya hanya memandangi tanpa berkata-kata,
ketika Frank dan adiknya keluar menuju ke mobil mereka. Suara yang
terdengar mendadak membuat kedua pemuda itu membalikkan tubuh
mereka. Pak Williamson membuka pintu dan berlari keluar dengan
sepucuk senapan di tangan. Ia mengangkat senapannya dan
membidikkannya tepat ke arah mereka!
Secara naluriah kedua pemuda itu melemparkan diri ke tanah.
Suara gemeretak di dekat siku Joe membuat pemuda itu menoleh.
Seekor ular beludak melingkar dengan kepala terangkat telah siap
untuk memagut! Kepala itu meluncur cepat ke arahnya, sementara
taringnya yang bengkok sudah hampir membenam ke dalam
tangannya!
Tepat pada saat itu terdengar suara menggelegar dan ular itu
terkulai menggeliat-geliat. Williamson lari mendekati, meyakinkan
diri bahwa ular itu telah mati.
"Kulihat si beludak itu dari jendela," katanya. "Aku kuatir, ia
akan menggigit engkau, karena itu aku menyambar senapanku dan
keluar. Engkau tidak apa-apa 'kan?"
Kakak beradik itu berdiri.

"Aku tak apa-apa, pak Williamson," Joe menjawab. "Hanya


sedikit terkejut. Anda tepat sekali menembak, dan pada saatnya."
Setelah mengucapkan terimakasih, mereka naik ke mobil dan
berangkat. Mereka tiba di rumah keluarga Allen yang mereka kenali
dari ciri-ciri yang telah diberikan oleh Rolf, lalu memarkir mobil
mereka di depannya.
Di belakang rumah daerah yang hitam menunjukkan bekas
kebakaran hutan, menyulap semak-semak menjadi abu dan pohonpohon menjadi batang-batang arang. Kedua pemuda itu naik ke anak
tangga depan masuk ke serambi, dan Frank mengeluarkan kunci pintu
yang diberikan oleh Rolf. Ia membuka pintu depan.
Mereka masuk dan melintasi jalan lantai pertama. Perabotan
rumah ditutup dengan kain untuk menjaga debu, sementara rumah itu
kosong. Listrik dan air telah dimatikan. Stoples kue-kue berada di
dapur, di atas meja di mana sebuah kompor Primus nampak belum
lama digunakan.
Joe menunjuk ke kompor tersebut.
"Nampaknya Rolf dan Lonnie belum lama ini mampir untuk
memasak makanan."
"Atau si Zombie yang mampir setelah membakar hutan," kata
Frank bergurau.
"Nah, tak ada apa-apa di bawah sini. Mari kita coba ke atas,
barangkali saja dapat menemukan petunjuk-petunjuk."
Setelah menaiki tangga yang lebar, mereka sampai di lantai
tempat terletaknya kamar-kamar tidur. Tangga-tangga yang lebih
sempit menjadi jalan ke sejumlah kamar-kamar yang agak kecil, yang
semua menjadi tempat tinggal para pelayan. Debu yang terdapat pada
lantai menunjukkan bahwa bagian rumah ini sudah lama tak
ditinggali.
Mereka menaiki tangga pendek tetapi terjal menuju ke loteng.
Kemudian tiba di sebuah kamar tunggal yang lebar di bawah atap.

Jendela-jendela kecil memberikan pandangan ke Green Mountains


dari dua sisi. Lantai kayu berderak-derak di bawah kaki mereka.
Seekor tupai berlari keluar dari sebuah sudut, memanjat ke balokbalok dan bercuit-cuit marah kepada mereka.
Tiba-tiba Joe terpaku dan menangkap lengan kakaknya.
"Lihat!"
Ia menunjuk ke sebuah jendela. Sebuah wajah mengintip dari
celah daun-daunan pada sebuah pohon di luar! Sampai beberapa saat
mereka baru sadar, bahwa itu hanyalah seekor burung hantu yang
hinggap di cabang!
"Banyak binatang liar di sekitar sini," kata Frank. "Tetapi tak
ada Zombie atau petunjuk-petunjuk. Apalagi sekarang?"
"Mengamati burung saja," saran Joe bergurau.
"Mari kita lihat apa yang ada di ruang bawah tanah," Frank
menjawab pertanyaannya sendiri. "Hanya tempat itu yang belum kita
periksa. Kalau memang ada petunjuk di rumah ini, tentunya akan
terdapat di sana."
Mereka kembali ke dapur lalu membuka pintu ke lantai bawah
tanah. Frank mendahului menuruni anak tangga batu yang dingin,
masuk ke sebuah ruangan tanpa jendela. Cahaya yang hanya dapat
masuk dari pintu yang terbuka, menampakkan sekardus lilin dan korek
api di samping anak tangga paling bawah.
Frank mengintip ke sisi yang berhadapan.
"Gelap sekali, Joe. Tempat ini agak dalam di bawah tanah.
Tetapi, setidak-tidaknya kita tak perlu bermain menjadi orang buta."
Ia memberikan sebatang lilin kepada Joe, mengambil satu untuk
diri sendiri lalu menyalakan keduanya. Kemudian ia melangkah maju
ke kegelapan. Joe, yang melihat sesuatu tergeletak di lantai
memanggilnya kembali. Joe memungut benda itu, dan terbukti sebuah
tempat yang bengkok terbuat dari tanduk. Seutas tali dari kulit

dikaitkan pada lengkung dalam. Di bagian luarnya diberi tanda


pengenal huruf H.
"Ini tempat mesiu tentara Hesse!" katanya tersengal.
"Ini mungkin dapat menjadi petunjuk," katanya. "Kita
tinggalkan saja di sini. Coba kita lihat, siapa yang akan datang untuk
mengambilnya."
"Tentunya diletakkan di sini setelah Rolf dan Lonnie
meninggalkan tempat ini," kata Joe. Kalau tidak mereka tentu akan
melihatnya ketika mereka mematikan lampunya. Lihat, kotak sekring
ada di lantai bawah juga. Itu, di sana." Frank mengangguk.
"Mari kita nyalakan lampunya, dan memeriksa ruang bawah
tanah ini seluruhnya," ia menyarankan. Ia membuka kotak logam dan
meninggikan lilinnya.
"Yaaah, setan alas," katanya. "Sekring-sekringnya sudah
diambil."
"Jadi kita harus tetap memakai lilin," kata Joe.
"Iya. Engkau mengitari ruangan ini dari sebelah kiri, aku ke
kanan. Barangkali saja salah seorang menemukan petunjuk."
"Dan siapa yang bertemu si Zombie terlebih dulu, berteriaklah,"
sambung Joe sambil tertawa. Ia bergerak ke kiri dan kegelapan segera
menelannya.
Frank mengambil arah berlawanan. Ia melangkah dengan hatihati sambil memeriksa lantai, dinding dan langit-langit dengan cahaya
lilinnya. Kelembaban ruang itu membuatnya menggigil, dan goyangan
bayangan yang mengerikan menambah suasana menakutkan di
sekelilingnya.
"Tak heran kalau orang percaya akan takhayul," kata Frank
dengan tertahan. "Memang sunyi sekali di hutan ini, hingga
dongengan seperti Zombie itu cepat meluas."
Sementara itu, Joe sampai pada suatu tempat di dinding yang
plesterannya telah dikerok.

Ada yang memahat di sini, pikir Joe. Untuk apa kira-kira?


Dengan jari-jarinya dimasukkan ke celah tersebut, ia merabaraba tepi batu dinding sampai ke bagian paling atas. Dengan perlahanlahan ia memeriksa barangkali ada kelainan-kelainan. Dengan
mendadak ia merasakan ada sesuatu yang mencuat, terbuat dari
logam. Ketika ia merabanya, batu-batu dinding dan sebagian lantai di
mana ia berdiri bergerak berputar!
Terhempas keras pada dinding, Joe terdorong memutar melalui
suatu jalan rahasia ke sisi lain dari dinding! Lilinnya padam dan ia
berada di kegelapan yang pekat!

5. PETI MATI DI RUANG BAWAH TANAH

Joe setengah pingsan oleh kecepatan putaran. Tetapi ia segera


pulih. Ia mengeluarkan sebuah lampu senter kecil, salah satu
perlengkapan mereka sebagai detektif. Ketika ia memencet
tombolnya, senter tak mau menyala. Dengan meraba ia segera tahu,
bahwa kaca dan bola lampu di dalamnya telah pecah.
Tentunya hal itu terjadi ketika ia terlempar pada dinding batu,
pikirnya. Mudah-mudahan saja Frank dapat mendengar suaranya!
Joe memukul-mukul dinding dengan pangkal senternya,
mengirimkan isyarat sandi yang biasa mereka gunakan di dalam
kesulitan. Ia mengulangi sampai tiga kali, tetapi tak ada apa-apa
kecuali kesunyian!
"Kuharap aku jangan terlalu lama terjebak di sini!" pikirnya
dengan kuatir.
Ia mengetuk sandi untuk keempat kalinya, dan akhirnya
mendengar isyarat yang sama dari balik dinding.
"Frank!" ia berteriak. "Aku ada di sini!"
"Di mana itu?" terdengar jawaban lirih. "Lantai berputar. Batubatu dinding! Alatnya di atas!" Joe berteriak.
"Mengerti!" seru Frank dari balik dinding.
Frank memeriksa batu-batu dinding dengan lilin dipegangi
tinggi-tinggi, Frank menemukan lekukan di antara dua buah batu. Ia
meraba menelusuri lekukan itu ke atas, dan jari-jarinya menyentuh
alat mekanismenya. Mengetahui apa yang terjadi pada adiknya, Frank
menyelidiki terlebih dulu dengan hati-hati, hingga ia menemukan
tombol kedua. Menurut pikirannya, tombol itu tentu untuk
menghentikan gerak putaran dinding sebelum berputar sepenuhnya
hingga menutup lagi.

"Biar kutekan tombol dua sekaligus," pikirnya. Mungkin itulah


cara untuk mengendalikannya. "Coba, apakah berhasil. Tetapi harus
pasti dulu, bahwa pintu rahasia ini tidak menutup lagi. Aku tak ingin
terjebak bersama Joe!"
Ia mencari-cari di sepanjang dinding, dan didapatkan sebuah
batu yang lepas. Ia membawanya ke tempat pintu rahasia di dinding
itu. Kemudian ia menekan tombol, dan ia merasa lantai berputar di
bawah kakinya. Dinding yang merupakan pintu rahasia terbuka, dan ia
berputar ke balik dinding.
Dengan cepat ia menggeser batu yang dibawanya di lantai
dengan kakinya, yang akan mengganjal pintu rahasia hingga tetap
terbuka kalau-kalau tombol "stop"-nya gagal. Tetapi tombol itu
bekerja dengan baik. Pintu itu berhenti tegak lurus pada dinding, dan
lorong rahasia tetap terbuka.
Dengan memegangi lilin Frank mencari adiknya. Tetapi Joe tak
nampak di sana!
"Joe!" seru Frank. "Di mana engkau?"
"Kembali di ruang bawahtanah," terdengar suara adiknya.
"Aku diputar lagi oleh lantai berputar," ia mengaku malu-malu.
"Nah, setidak-tidaknya engkau dapat perjalanan gratis," kata
kakaknya sambil tertawa. "Sebenarnya malah dua kali."
"Engkau boleh mengambil yang ketiga," kata Joe sambil
tertawa pula. "Tiketku ke rumah gila ini biarlah untukmu!"
"Omong-omong, di mana sebenarnya kita ini?" tanya Frank.
"Ruangan apa sebenarnya ini?"
Joe mengangkat bahu.
"Mana kutahu! Lilinku padam!" Ia menyalakan lagi lilinnya
dari api lilin Frank. Kemudian mereka berdua mengintai-ngintai ke
sekitar mereka. Mereka melihat, bahwa ruangan itu kecil berdinding
batu, lantai batu dan langit-langit yang hanya sedikit di atas kepala
mereka tingginya.

Udaranya berbau apek karena tak ada udara segar yang masuk.
Debu sangat tebal di lantai. Sarang laba-laba bergantungan dari langitlangit, dan laba-labanya sendiri berlari-larian di segala penjuru.
Sebuah benda segi panjang berdiri di tengah ruangan. Mereka
terkejut ketika mengenalinya sebagai peti mati dari batu!
Dinding di seberang mereka berdiri bertempelkan plakat-plakat
bergambar wajah-wajah pria-wanita yang muram. Di bawah setiap
gambar tertera tanggal kelahiran dan kematiannya. Nama-nama yang
pertama berbunyi: ABIGAIL CARL-TON 1775-1825.
"Frank!" bisik Joe. "Kita berada di ruang pemakaman
bawahtanah suatu keluarga! Banyak orang yang dimakamkan di
bawah sini. Tetapi rupanya tak ada orang yang mengunjunginya sejak
tahun 1 Masehi!"
"Ada yang pernah kemari," Frank bergumam. "Belum lama ini.
Coba lihat!"
Ia menunjuk ke bekas telapak kaki di lapisan debu, sejak dari
pintu rahasia sampai ke peti mati. Mereka mengikuti bekas-bekas itu,
sementara cahaya lilin mereka menimbulkan bayangan-bayangan yang
tak keruan bentuknya di dalam ruang pemakaman itu. Sesampai di
peti mati, mereka agak gemetar melihat tulisan yang digoreskan kasar
pada lapisan debu, berbunyi: AWAS ZOMBIE!
Frank dan Joe merinding membaca peringatan itu.
Untuk sesaat tangan mereka terletak di tutup peti sementara
mata mereka saling memandang.
"Si Zombie yang pernah kemari!" kata Joe tergagap. "Mungkin
peti itulah tempat persembunyiannya! Mungkin saat ini juga ia berada
dalamnya!"
Rasa ngeri meresap ke tubuh Frank. Kemudian ia menggeleng
melemparkan pesona itu.
"Kita akan segera tahu!" katanya dengan geram. "Akan kubuka
tutup ini."

Ia meletakkan lilinnya di lantai. Sementara Joe tetap


memegangi lilinnya agar mereka tetap dapat melihat, Frank
memegangi bagian bawah tutup batu, dan dengan perlahan-lahan
mengangkatnya ke atas.
Peti itu kosong! Tetapi debu di dasarnya telah terjamah.
Suara Joe menurun menjadi berbisik kembali. "Frank, ada orang
yang pernah masuk di dalamnya."
"Atau sesuatu, Joe. Mungkin ada orang yang menyembunyikan
sesuatu di sini. Tetapi apa, tak dapat kita ketahui."
Frank menurunkan tutup peti. Ia memungut lilinnya dan melihat
ke sekeliling ruangan.
"Ini tentu makam keluarga Carlton," ia menyimpulkan. "Kita
harus menanyakan kepada Rolf."
"Siapa pun orangnya yang menemukan peti mati itu, tentunya
belum lama berselang," Joe memberi ulasan. "Plesteran antara kedua
batu dinding belum lama dicungkilnya. Hal itu dapat diketahui karena
nampak lebih muda warnanya daripada yang lain."
Setelah tak berhasil menemukan petunjuk-petunjuk lain lagi,
mereka keluar dari pintu rahasia kembali ke ruang bawahtanah. Frank
memainkan tombol-tombolnya setelah menyingkirkan batu
pengganjalnya, dan dinding yang dapat berputar itu menutup kembali.
"Aku tak mengerti, bagaimana seseorang dapat menggunakan
makam di bawahtanah itu tanpa sepengetahuan keluarga Allen," kata
Joe. "Tentunya"
Kata-katanya terpotong oleh tiupan angin yang memadamkan
lilin mereka. Kemudian mereka mendengar suara langkah kaki di
tangga.
"Ada orang di sana!" seru Frank.
"Tangkap dia, sebelum ia melarikan diri."

Mereka lari keluar dari ruang bawahtanah dan menaiki tangga.


Di atas, mereka melihat pintu dapur terbuka. Rupanya angin dari
sanalah yang memadamkan lilin mereka."
Joe berlari cepat melintas dapur dan melongok keluar. Sesosok
tubuh dalam pakaian biru-merah seragam tentara Hesse baru saja
menghilang di hutan. Orang itu menengok, dan Joe melihat wajah
putih datar menatap tanpa emosi!
"Itu dia si Zombie!" teriaknya ketika Frank sampai pula di
pintu. "Ayo, kita kejar!"
Mereka melompat keluar dari rumah, menyeberangi halaman
belakang, lalu masuk ke hutan. Sambil berharap dapat mencegat dari
kedua sisi, mereka memisah dan melingkar ke tempat di mana Zombie
itu menghilang. Tetapi ketika mereka bertemu kembali jauh di dalam
hutan, tak seorang pun yang menemukan jejak.
"Kosong!" kata Joe. "Tak tahu ke mana ia pergi. Bagaimana
pendapatmu, Frank? Apakah ia memang Zombie? Rupanya memang
mirip."
Frank tertawa.
"Menurutku ia manusia, melihat caranya ia berlari. Wah, ia
dapat menjadi anchorman dalam regu rugby sekolah kita!" Sementara
berjalan kembali ke rumah, mereka sampai di tempat kebakaran hutan.
Mereka melihat semak-semak yang terbakar dan tunggul-tunggul
batang yang menjadi arang.
"Mari kita cari petunjuk tentang kebakaran itu," Frank
mengusulkan.
Joe tertawa.
"Kalau aku menemukan pedang tentara Hesse, aku akan
berteriak!"
Mereka menjelajahi tempat-tempat yang terbakar tanpa
menemukan sesuatu. Ketika mereka melewati daerah yang tak
terbakar, Frank membungkuk dan memungut sebuah benda kecil dari

rumputan. Ia memeriksanya dengan teliti, memeganginya antara ibu


jari dan telunjuk.
"Apa yang kaudapatkan?" tanya Joe.
"Kotak korek api."
Frank mengangkatnya dan membaca merek-nya: HESSIAN
HOTEL.
"Orang yang meninggalkan korek ini mungkin si pembakar
hutan ini," katanya bergairah. "Mungkin ia datang dari Hessian Hotel.
Mari kita ke sana dan menyelidiki. Pada sisi lain kotak ini tertulis
Hunter's Hollow."
"Kita tak melihat hotel itu ketika kemari," kata Joe. "Tentunya
di jalan selewat rumah."
"Ya. Mari kita coba arah itu," Frank menyetujui.
Mereka naik ke mobil. Hari sudah mulai gelap ketika mereka
sampai di gedung besar yang sudah rapuh, beberapa mil dari rumah
Allen. Nama Hessian Hotel ditulis dengan huruf besar-besar di depan.
Frank dan Joe menyembunyikan mobil mereka di rumpun
pohon-pohonan, menyelinap dari tepi pohon-pohonan dan mengintip
dari celah-celah ranting.
Bagian depan gedung itu diterangi, dan para penghuni nampak
menaiki tangga untuk masuk. Selebihnya, hotel itu nampak gelap.
"Nampaknya kamar-kamar belakang tak digunakan," kata
Frank. "Entah mengapa."
"Mari kita lihat," usul Joe.
Dengan hati-hati, mereka mengitari gedung. Mereka melihat,
bahwa jendela-jendela dan pintu belakang ditutup dengan papan.
Tiba-tiba mereka melihat sebuah mobil di bawah pohon-pohonan di
belakang gedung. Seseorang turun, berjalan di belakang pohon oak
yang besar dan hilang dari pandangan.

Kedua kakak beradik itu bertiarap dan merangkak melintasi


tempat terbuka ke arah pohon oak. Mereka melihat ke sekeliling
dengan hati-hati, melewati celah-celah pangkal semak-semak.
Mereka tepat di depan pintu belakang Hotel Hesse yang ditutup
dengan papan. Namun orang tadi telah lenyap entah ke mana!
"Ia tentu telah mengitari rumah," bisik Joe.
Sebelum Frank dapat menjawab, sebuah mobil lain berhenti di
tengah-tengah pohon-pohonan.
Pengendaranya mendekati pintu belakang dan mengetuk salah
satu papan penutupnya, mula-mula empat ketukan, lalu tiga, kemudian
dua.
Pintu itu dengan papan-papannya sekaligus terbuka! Seorang
penjaga pintu yang tegap mempersilakan tamu itu masuk, kemudian
menutup kembali pintu itu.
"Persembunyian!" bisik Frank. "Mereka berpura-pura menutup
tempat ini dengan memakukan papan-papan!"
Dalam waktu sepuluh menit berikutnya, Frank dan Joe melihat
sejumlah pendatang baru memperoleh pintu masuk dengan mengetuk
pintu dengan sandi yang sama. Setiap kali, si kekar tegap
membukanya dengan tak bersuara, menunjuk ke lorong, lalu menutup
pintu kembali.
"Ia menunjukkan ke mana mereka harus pergi," kata Joe.
"Frank, aku yakin mereka itu segerombolan penjahat, dan inilah
persembunyian mereka."
Seorang lagi datang dan masuk seperti yang lain-lain. Penjaga
pintu itu baru saja hendak mengikutinya, ketika Joe bergerak untuk
melemaskan otot-ototnya. Segumpal sari bunga jatuh dari semak di
atasnya.
Ia menghirup campuran udara dan sari bunga, dan hidungnya
mengernyit. Dengan mati-matian ia menekap hidungnya, hendak
menghilangkan rasa geli. Terlambat! Ia bersin dengan keras!

Penjaga pintu itu mendengar suara itu. Ia membalikkan


tubuhnya dan menatap tajam-tajam ke kegelapan, ke arah pohon oak.
Dengan kedua tangan mengepal ia melangkah tegap ke semak-semak
tempat persembunyian Frank dan Joe!

6. TERJEBAK

Frank dan Joe bersiap untuk mempertahankan diri sementara si


tegap kekar datang mengancam. Mereka baru saja hendak melompat
bangkit ketika seorang lagi datang dari balik sudut gedung.
"Grimm!" seru pendatang itu setengah berbisik. "Pintu tertutup.
Aku harus masuk untuk menghadiri pertemuan. Cepatlah."
Grimm berpaling.
"Tentu tertutup sendiri," ia mengomel. Kembali ke pintu, ia
membukanya dengan kunci dan membiarkan orang tersebut masuk,
Kakak beradik itu melesat ke hutan sementara kejadian itu
berlangsung. Mereka menoleh ke arah pohon oak, melihat Grimm
kembali ke pohon oak tersebut sambil memukul-mukulkan tongkat ke
semak-semak. Setelah merasa tak ada hasilnya ia mengangkat bahu,
seperti hendak berkata bahwa ia telah keliru. Ia kembali masuk ke
Hotel Hesse.
"Para penjahat itu sedang rapat di sana," Joe berbisik.
"Apa yang dapat kita lakukan, Frank?"
"Masuk dari depan, dan melihat-lihat," kata Frank. "Kita tak
memerlukan sandi untuk dapat masuk, dan kita mungkin akan
memperoleh petunjuk tentang apa yang terjadi di bagian belakang ini."
Kedua pemuda detektif itu mengitari gedung, menaiki anak
tangga dan masuk ke hotel. Mereka segera berada di dalam serambi
yang menuju ke ruang dansa. Seorang pelayan menunjukkan tempat
duduk bagi para tamu.
Kedua pemuda itu memergoki Grimm di sudut, sedang
berbicara dengan seseorang yang mengenakan pakaian sore. Grimm
kebetulan membelakangi mereka.

"Engkaulah pemimpin orkes, Pollard!" katanya dengan marah.


"Segeralah siapkan orkesmu."
"Kedua pemain gitarku belum datang," Pollard mengeluh.
"Mereka telah mengirimkan gitar mereka terlebih dulu, tetapi
sekarang tak ada orang yang memainkannya. Bagaimana orkes
country dan western bisa main, kalau hanya ada seorang penyanyi dan
seorang pemain bass?"
"Itu masalahmu!" Grimm menukas. Ia melangkah lebar-lebar ke
ruang dansa tanpa melihat Frank dan Joe. Kemudian ia melalui pintu
dan menuju ke belakang.
Tetapi Pollard melihat kedua pemuda itu, lalu mendatangi.
"Kalian pemain gitar itu?" ia bertanya seperti hendak mencari
gara-gara.
Frank berpikir cepat.
"Kami memang pemain gitar," ia mengaku. Ia teringat ketika
bersama Joe sering bermain di SMA Bayport.
"Kami sudah siap sekarang," Joe menawarkan diri.
"Apa sih, yang membuat kalian begitu lama?" tanya Pollard.
"Agenmu mengatakan bahwa kalian akan datang tepat pada
waktunya!"
Joe melanjutkan sandiwaranya.
"Kita harus mencari-cari Hunter's Hollow ini."
"Baru kali ini kami kemari," sambung Frank. Kedua pemuda itu
seperti mengatakan hal yang sebenarnya saja, tanpa membocorkan
rahasia mereka.
"Nah, masuklah dan segera bermain," jawab Pollard dengan
jengkel. "Siapa nama kalian?"
"Frank dan Joe," jawab Frank.
Pollard mengangguk dan membawa mereka ke ruang dansa
yang berlantai lebar dengan sebuah panggung untuk para pemusik di
ujungnya. Kain gorden yang hitam panjang tergantung di depan

jendela. Penerangannya lunak, tetapi lampu-lampu sorot memancar


dengan pola-pola berwarna-warni di sekeliling ruangan.
Seorang gadis penyanyi sudah menunggu di panggung sambil
memegangi mikrofon, dan seorang pemain bass sedang menyetem
instrumennya. Sepasang gitar tergeletak pada kursi di bagian belakang
panggung.
Pollard memperkenalkan mereka kepada para tamu. Penyanyi
itu bernama Kate Fuller, seorang gadis menarik berumur duapuluhan
lebih. Pemain bass adalah George Stephenson. Kedua orang itu
mengenakan celana jeans dan kemeja wol kotak-kotak. Kate memakai
topi putih seperti koboi.
Setelah memperkenalkan para pemain, Pollard berkata: "Aku
tahu kalian belum pernah bermain bersama. Karena itu mainlah
sebaik-baiknya. Kate, engkau yang memimpin mulai saat ini."
Pemimpin konser itu kembali ke tempatnya.
Kate memandangi kakak beradik.
"Mana celana jeanmu?" tanyanya.
"Kami tak membawa," Frank mengaku terus terang. "Kami tak
tahu kalau harus memakainya. Tak bisa berbuat lain sekarang."
George menyeringai.
"Ah, bisa. Coba lihat di kamar pakaian."
Di dalam kamar ganti pakaian, Joe membuka pintu lemari
panjang. Mereka melihat sederetan pakaian-pakaian tergantung rapih,
di antaranya celana jeans dan kemeja-kemeja wol kotak-kotak.
Mereka segera memilih dan mengenakannya. Frank
mendapatkan ukuran yang cocok, tetapi kemeja Joe terlalu besar.
Pergelangan lengan bajunya sampai menutupi setengah jari-jarinya.
"Wah, aku seperti badut di sirkus," Joe mengeluh.
"Jaga saja agar lengan bajumu jangan merosot sementara
memetik gitarmu," kata Frank bergurau.

"Mana mungkin. Aku akan memilih lagi yang cocok


ukurannya," kata Joe. Ia memilih-milih baju yang tergantung pada
batang gantungannya. Akhirnya, tepat di belakang pintu geser itu ia
melihat baju merah biru seragam tentara Hesse. Kancing baju yang
teratas ternyata hilang!
"Si Zombie sudah pernah kemari!" Joe menahan napas.
"Aku sangsi kalau ia datang untuk main di konser," jawab
Frank. "Mungkin ia ada di bagian belakang hotel. Kita harus
menemuinya, kalau dapat."
George menjenguk.
"Ayo, bung!" kata pemain bass itu. "Kita harus mulai."
Frank dan Joe mengikuti.
"Joe," bisik Frank. "Kita ke belakang kalau konser sudah selesai
nanti. Kita sudah tahu sandinya. Kita harap saja pemain gitar yang asli
jangan segera muncul dan menggagalkan sandiwara kita!"
Setiba di panggung orkes, mereka menggabungkan diri dengan
Kate dan George. Kate memberitahu nomor-nomor yang akan
dimainkan.
"Aku akan menyanyi solo," kata Kate. "Frank, engkau
menemani aku dalam sebuah duet, kalau suaramu bisa keluar."
"Aku bisa mencoba, kata Frank kepadanya. "Setidaknya,
dengan engkau di sini, tak ada yang akan memandang aku."
Kate tersenyum mendengar pujian itu. Kemudian ia
melanjutkan: "Joe, engkau mendapat giliran solo gitar."
Joe memetik-metik dawai gitarnya.
"Siap!" jawabnya.
Konser dimulai dengan Kate menyanyikan balada "Riding
down the Trail." Ia bernyanyi dengan suara yang lantang dan jernih,
menampilkan suasana sunyi dari Daerah Barat:
Riding down the trail
When the sun is setting low,

Heading for the bunkhouse


When there's no place else to go.
Berkuda sepanjang jalan setapak
Ketika matahari hendak terbenam,
Menuju ke barak-barak
Karena tempat lain tiada.
Ketika telah selesai, para pengunjung bertepuk tangan dengan
riuh. Beberapa nyanyian lagi menyusul. Setelah istirahat sebentar,
konser dilanjutkan. Kate dan Frank menyanyikan lagu yang melonjaklonjak, berjudul: "Montana Mountains."
Kemudian Joe tampil membawakan solo gitar. Setelah menarik
lengan bajunya sampai ke atas pergelangannya, ia mulai memainkan
lagu pop western. Tenaga jari-jarinya memetik dawai menyebabkan
lengan bajunya merosot melampaui pergelangan tangannya. Lengan
baju itu semakin merosot, hingga akhirnya menutupi jari-jarinya,
mempersulit gerakan jari hingga ia salah memetik senar. Para
pengunjung tertawa. Dengan nekat Joe menggerakkan tangannya ke
atas melewati kepala, menggoyang-goyangkan tangannya dengan
keras. Lengan baju kembali ke pergelangan.
Segera ia menghantam senar-senar gitarnya berdenting-denting
dan mengakhirinya dengan variasi. Para pengunjung bersorak-sorak.
Frank tertawa.
"Joe, engkau main gitar atau olahraga tangan!"
"Keduanya," Joe menggerutu. "Baju sinting ini hampir saja
membuat ibu jariku keseleo!"
Selesai konser, kedua bersaudara itu kembali ke kamar ganti
pakaian, kembali mengenakan pakaian mereka sendiri. Ketika
mengembalikan pakaian tersebut mereka melihat seragam tentara
Hesse masih ada di sana. Frank mengambilnya lalu memeriksanya.
"Tak ada petunjuk-petunjuk selain kancing yang hilang," kata
Joe. "Tentunya kancing baju yang ditunjukkan Rolf kepada kita."

Frank mengembalikan seragam itu dan menutup pintu lemari.


"Kita tinggalkan saja di sini. Dengan demikian, siapa yang
meletakkannya di sini tak mengetahui bahwa kita telah melihatnya."
Ketika mereka kembali ke ruang dansa, para pengunjung
sedang beranjak beristirahat. Kate dan George mengucapkan selamat
tinggal dan berangkat, Pollard membayar Frank dan Joe, dan mereka
pun juga keluar. Tetapi Frank dan Joe tidak pergi, mereka mengendapngendap di bayangan dan menyelinap memutar ke bagian belakang
hotel. Sambil mengawasi pintu belakang, mereka mengamati
seseorang mengetuk dengan sandi dan masuk.
"Pertemuan itu tentu masih berlangsung," Joe menggumam.
"Mari kita ketuk, lihat apa yang ada di dalam."
"Oke, tetapi siap-siaplah menghadapi sesuatu. Orang-orang itu
nampaknya senang main kayu." Mereka keluar dari antara pohonpohonan, langsung mendekati pintu. Joe mengetuk empat kali,
kemudian tiga dan akhirnya dua kali. Pintu terbuka dan Grimm,
penjaga pintu memandangi mereka.
"Aku belum pernah melihat kalian!" ia menukas curiga.
"Baru pertama kali ini. Kami mendapat tugas khusus," kata Joe.
"Kami mengetahui sandi kita," kata Frank. "Boss bilang itu
sudah cukup untuk kami dapat menghadiri pertemuan. Masih kurang
bagimu, Grimm?"
Orang itu memandangi mereka.
"Kalau boss menghendaki kalian hadir, aku tidak boleh
membiarkan kalian di luar. Masuk."
Kedua pemuda itu masuk dan pintu terbanting menutup.
"Lewat lorong itu ke ruang tengah di sebelah kanan," Grimm
berkata parau. "Itu, ruangan yang terang."
Mereka berjalan di sepanjang lorong serambi ke lantai atas.
Mereka melihat sebuah pintu di ujung lorong, yang menghubungkan
ruang dansa dengan bagian belakang hotel.

"Nah, kita sudah ada di dalam," Joe berbisik. "Tetapi untuk apa,
itu yang aku tak tahu!"
"Gunakan telinga saja," Frank mengingatkan.
Ruang yang mereka masuki diterangi oleh sebuah lampu yang
redup di langit-langit. Selusin orang mengelilingi sebuah pesawat
radio. Salah seorang dari mereka selalu memutar-mutar tombol
gelombang untuk menghindari suara gangguan statik. Kedua pemuda
itu berhenti di dekat pintu untuk mendengarkan. Tak seorang pun
melihat mereka. Mereka mendengar suara tinggi yang aneh.
"Aku sudah memberikan perincian-perinciannya. Kuharap
kalian melaksanakan rencana itu. Semua barang agar disimpan di
ruang bawah Hotel Hesse. Harap hati-hati kalau mengantarkan
barang."
Suara itu berhenti sebentar. Kedua pemuda itu sadar, bahwa
mereka sedang terjerumus ke dalam sarang pencuri. Rupa-rupanya,
pemimpin mereka sedang memberikan perintah-perintah melalui
radio!
Suara di radio dilanjutkan.
"Kita akan menjinakkan singa malam ini!"
Frank memijit lengan Joe. "Tentu sebuah sandi," bisiknya.
"Tunggu, apakah ia mau memberitahu apa arti sandi itu,"
Joe balas berbisik.
Tetapi mereka kecewa suara di radio itu mengakhiri:
"Sekian, untuk hari ini."
Tiba-tiba pintu ke ruang dansa terbanting terbuka. Suara
teriakan Pollard yang keras sampai ke lorong.
"Pemain-pemain gitar itu baru saja datang! Kedua anak yang
main tadi adalah penyelundup!"
Frank dan Joe lari keluar dari ruangan. Karena Pollard menutup
semua jalan keluar ke ruang dansa, mereka lari ke pintu belakang.

Tetapi Grimm mencegat mereka, dan para anggota gerombolan


pencuri menghambur keluar pada saat itu juga! Mereka terperangkap!
Pollard dan Grimm baru saja hendak menangkap mereka ketika
Joe melompat ke sisi salah satu tangga yang mereka lewati ketika
masuk. Frank mengikuti. Mereka berlari menaiki tangga ke lantai dua
dari hotel yang digelapkan. Orang-orang itu berdesakan mengejar.
Frank menarik Joe merapat ke dinding. Mereka berdiri di sana,
terengah-engah mencari napas, dan membiarkan gerombolan itu
lewat.
"Kita dapat kembali ke bawah dan keluar dari pintu belakang,"
bisik Frank. "Seperti ketika kita masuk!"
Mereka segera turun, tetapi segera berhenti terpaku ketika
terdengar Pollard berteriak dalam kegelapan.
"Grimm! Engkau tetap di lorong, kalau-kalau mereka mencoba
turun!"
Mereka berhenti, kaki Joe meraba anak tangga yang menuju ke
atas.
"Kemari!" bisiknya.
Ia dan Frank bergegas ke atas. Sebuah pintu muncul di depan
mereka di ujung atas tangga. Dengan meraba-raba Joe menemukan
tombol pintu. Ia membukanya dan mereka masuk ke sebuah ruangan.
Joe menutup kembali. Ia meraba-raba ke sekeliling hingga
menemukan sebuah palang untuk mengunci pintu.
Sementara itu Frank memainkan sinar lampu senternya ke
sekeliling, dan mendapatkan bahwa mereka rupa-rupanya berada di
loteng Hotel Heese. Mereka melihat peti-peti dan karung-karung
bertanda nama-nama pabrik, bertumpuk tinggi ke atas. Menurut
tulisan-tulisannya, peti-peti itu berisi barang-barang seperti kamerakamera, pembakar roti dan perangkat stereo.
"Inilah barang-barang curian yang disebutkan melalui radio
tadi," Frank menyimpulkan.

Pada saat itu pula mereka mendengar suara langkah-langkah ke


atas menuju ke loteng itu. Pintu mulai digedor dengan kepalankepalan tangan, dan para penjahat itu berteriak-teriak mengancam
mereka.
"Buka!" Pollard mengeluh. "Kalian toh tak dapat keluar dari
loteng! Menyerahlah!"
"Belum!" Joe menggerutu. Ia berlari ke sebuah jendela di mana
nampak sinar rembulan dari celah papan yang menutupinya. Kacakaca jendela telah tidak ada lagi. Ia menendang lepas papan-papan itu.
Dengan menjengukkan kepalanya keluar, ia melihat tanah jauh di
bawahnya.
"Kita tak dapat meloloskan diri dengan cara begini!" katanya
kecewa.
Orang-orang di luar memukul-mukul pintu dengan marah,
sampai palang yang menghalangnya mulai pecah. Hanya tinggal
beberapa saat lagi pintu itu akan terbuka!"
"Kita terjebak!" Joe menggeram.

7. JEJAK KAKI YANG MISTERIUS

"Barangkali belum!" seru Frank. Ia menerangi langit-langit


dengan senternya. "Ada jendela tingkap di atas itu. Karung-karung itu
tertumpuk tepat di bawahnya! Mungkin kita bisa memanjatnya!"
Dengan berpijak pada karung yang paling bawah, Frank
memanjat dari karung yang satu ke yang lain sampai tiba di puncak.
Jendela tingkap itu kotor berdebu, tetapi ia berhasil membukanya.
Ia memanjat keluar dari jendela, sementara Joe berada di atas
karung yang ada di bawahnya. Pada saat itu pintu loteng terbuka, dan
para penjahat itu menghambur masuk.
"Mereka di jendela tingkap!" Seru Pollard menggeledek.
"Kejar!"
Frank mengangkat tubuhnya keluar ke atas atap. Para pencuri
itu berlari-lari ke tumpukan karung dan mulai hendak memanjat. Salah
seorang mengulurkan lengannya hendak mengangkat kaki Joe yang
setengah tubuhnya sudah berada di luar jendela. Tetapi Joe
berpegangan kuat-kuat pada ambang jendela, berputar ke samping dan
menendang karung yang paling atas. Karung itu menggelinding turun,
menyeret orang-orang jatuh ke lantai loteng.
Dengan cepat Joe keluar dan menggabungkan diri dengan
kakaknya.
"Coba cari jalan untuk turun!" serunya. "Talang atau semacam
itu!"
"Tentu ada talang di sebelah sana," kata Frank. Ia menunjuk ke
sudut atap di mana dua talang air bertemu.
Mereka merosot turun dari atas dan bertumpu pada salah satu
talang air ketika salah seorang penjahat muncul dari jendela tingkap.

"Itu, mereka di sana!" orang itu berteriak, dan ia memanjat ke


atap hendak mengejar kedua pemuda itu. Lima orang lagi menyusul.
Frank dan Joe semula hendak memanjat turun melalui pipa
talang. Tetapi ketika mereka melongok ke bawah, ternyata pipa itu
hanya sepanjang tiga meter ke bawah. Sebagian besar dari pipa talang
itu ternyata sudah putus dan hilang. Kesempatan untuk memanjat
turun tak ada lagi!
Dengan kalang kabut kedua pemuda berlari-lari di balik dinding
ujung atap. Sambil mengendap-endap mereka berjalan di tempat yang
sempit, lalu membelok ke kiri ke balik dinding atap yang lain. Para
pengejar masih berkumpul di tempat semula.
"Ke mana mereka itu?" tukas Pollard. "Ke kiri atau ke kanan?"
Tak seorang pun tahu.
"Oke, berpencar ke kanan dan ke kiri. Giring mereka ke pinggir
atap! Kalau mereka jatuh, cukup tinggi dari tanah. Kita tak perlu lagi
mendorong mereka ke tanah!"
Frank dan Joe berlari keluar dari persembunyian mereka. Satusatunya jalan hanya menuju ke dinding atap yang terakhir. Selagi
mereka tertatih-tatih, Pollard melihat mereka.
"Nah, itu mereka!" ia berteriak, lalu memerintahkan orangorangnya untuk mengejar.
Kedua pemuda merosot turun dari dinding atap ke tempat yang
datar. Mereka lari ke pinggir, tak melihat apa-apa kecuali sebatang
pohon yang tinggi. Cabang-cabangnya tak ada yang sampai ke atap.
Sekali lagi para penjahat mulai mengurung mereka!
Dalam sekejap mata, Frank melihat sebatang cabang yang
kokoh kira-kira dua meter di bawahnya. Jaraknya dari dinding rumah
juga kira-kira dua meter. Dengan nekat ia melompat, menangkap
cabang tersebut, lalu mengayunkan tubuhnya ke arah batang pohon.
Joe menyusul, melompat meninggalkan atap tepat pada saat penjahat
pertama telah sedemikian dekatnya.

"Kejar dia!" teriak Pollard kepada orang itu. "Terus kejar,


Magnus!"
"Sulit!" balas Magnus berteriak. "Cabang itu terlalu jauh dari
atap! Bisa-bisa leherku yang patah!"
Pollard berteriak-teriak kepada yang lain, tetapi tak seorang pun
mau melompat ke pohon.
Sementara itu Frank dan Joe turun ke tanah dan lari menuju ke
mobil mereka.
"Kita kembali ke rumah Rolf, lalu menelepon polisi," kata Joe
tersengal-sengal sambil menunduk masuk ke mobil. "Suara di radio
itu tentu sama dengan yang memberi peringatan kepada Rolf agar mau
menjual rumahnya."
Waktu sudah lewat tengah malam ketika mereka tiba di rumah
keluarga Allen. Sebuah mobil asing parkir d i jalanan halaman. Noah
Williamson dan tiga orang lainnya turun dari anak tangga serambi
ketika Joe menginjak rem. Keempat orang itu mengayun-ayunkan
kapak, mengancam mereka.
"Waduh, kita disambut panitia!" Frank menggumam.
"Nampaknya tidak ramah pula."
Pak Williamson memerintah kedua pemuda itu untuk keluar
dari mobil mereka. Tiga orang lainnya mengurung dan memaki-maki
mereka.
"Kami sudah menunggu kalian," kata petani itu.
"Untuk apa?" tanya Frank.
"Kalian akan tahu sendiri kalau sudah sampai di rumahku,"
jawab pak Williamson. "Ayo kita ke rumahku."
Frank dipaksa berjalan di depan dengan mobil sportnya, dijaga
salah seorang di samping dan seorang lagi di belakang. Pak
Williamson mengawal Joe di mobil kedua.

Mereka masuk ke pertanian Williamson dan berhenti. Frank dan


Joe digiring ke dalam rumah. Nyonya Williamson berada di kamar
depan.
"Kalian harus tetap di sini sampai polisi datang," kata Nyonya
itu.
Kedua pemuda itu memandanginya dengan heran.
"Maksud anda, kami dicari polisi?" Suara Frank terdengar tidak
percaya.
Isteri petani itu mengangguk.
"Mereka mengatakan kepada kami agar menahan kalian di sini
sampai mereka datang."
"Apa tuduhannya?" tanya Joe.
"Membantu si Zombie!"
Frank sangsi.
"Polisi mengatakan begitu? Dengar, teleponlah markas polisi.
Mereka akan mengatakan, ini semua adalah keliru."
Nyonya Williamson menggeleng.
"Tidak perlu," katanya tegas. "Yang menelepon kemari adalah
polisi sendiri."
"Tunggu sebentar," Frank melanjutkan, ketika suatu pikiran
menyelinap ke benaknya. "Apakah suara di telepon itu kecil tinggi?"
Nyonya Williamson nampak terkejut.
"Benar," ia mengaku.
"Itu bukan polisi!" seru Frank. "Orang itulah salah seorang
anggota gerombolan penjahat! Ia hendak menyingkirkan kami. Karena
itulah ia mengatakan kepada anda agar menahan kami. Tetapi aku
heran, bagaimana ia dapat mengenali kami?"
"Siapa dia itu?" tanya pak Williamson. Frank mengangkat bahu.
"Kami belum tahu," ia mengaku.
Pak Williamson mengejek.

"Kukira engkau hanya membuat dongengan sendiri. Barngkali


kalian berdua itulah yang penjahat! Bagaimana pun juga semuanya
akan beres kalau polisi sudah datang."
"Tentu akan lama," kata isterinya. "Semua kendaraan macet
karena ada kecelakaan di jalan Burlington. Kita harus menunggu jalan
itu bebas kembali."
"Jangan coba-coba melarikan diri," Pak Williamson
memperingatkan kedua pemuda itu. "Kita berempat, dan kami
mengawasi setiap pintu dan jendela."
Orang-orang itu keluar dan nyonya Williamson mengikuti.
"Pollard tentu memeritahu si Suara Tinggi bahwa kita telah
lolos dari Hotel Hesse," kata Joe. "Si Suara Tinggi lalu menelepon pak
Williamson, pura-pura sebagai polisi dan meminta dia untuk
menangkap kita di rumah Rolf. Tetapi siapakah dia sebenarnya?"
"Rupa-rupanya ia tahu hubungan kita dengan Rolf," Frank
menunjukkan. Ia berdiri dan berjalan mengelilingi kamar itu, melihatlihat ke pintu dan jendela-jendela. Pak Williamson duduk di kursi
anyaman di depan serambi, dan isterinya di dapur. Ketiga orang
lainnya mengawasi jendela-jendela samping. Frank kembali ke tempat
Joe lalu duduk.
"Kita harus keluar dari sini," katanya lirih.
"Memang, tetapi bagaimana?"
"Aku punya akal. Dengar!"
Frank menjelaskan rencananya, dan Joe menyetujuinya. Mereka
menunggu sampai nyonya Williamson terdengar berjalan turun ke
lantai bawah. Frank merogoh kotak detektifnya, mengambil sebutir
mercon banting yang mengeluarkan asap merah kalau meledak.
Kemudian ia lari ke dapur dan membuka pintu belakang. Ia menekan
tombol pada merconnya, lalu melemparkannya tinggi-tinggi
melampaui pohon-pohon ke dalam hutan.

Ledakan keras segera terdengar. Asap merah mengepul dari


semak-semak, nampak jelas dari serambi.
"Apa itu?" teriak pak Williamson, sementara Frank lari kembali
ke kamar depan.
"Kebakaran!" teriak salah seorang temannya. "Semak-semak itu
terbakar!"
"Cegah jangan sampai membakar rumah!" teriak pak
Williamson.
Ia lari melalui dapur terus ke belakang. Sementara, kedua
pemuda itu berlari keluar dari pintu depan ke jalanan halaman. Joe
membuka kap mesin mobil pak Williamson dan melepaskan beberapa
kabelnya. Frank naik ke mobilnya sendiri, dan demikian Joe menyusul
lalu melarikan mobilnya ke jalan. Mereka mengebut ke rumah
keluarga Allen dengan meninggalkan debu.
Ketika tiba, Joe menelepon polisi dan mengatakan kepada
sersan jaga tentang peristiwanya dengan pak Williamson.
"Kami tidak menejepon," sersan itu memastikan. "Tetapi kami
akan mengirimkan patroli ke rumah Williamson, melihat apa yang
terjadi."
"Terimakasih," jawab Joe. Kemudian ia menyebutkan ciri-ciri
para penjahat yang ada di Hotel Hesse.
Polisi itu nampaknya kurang percaya.
"Hotel Hesse mempunyai nama baik," ia menyanggah. "Aku
juga pernah bertemu Pollard di sana. Nampaknya ia pemimpin orkes
yang terkenal."
"Ruang dansa ada di depan," kata Joe. "Pollard memimpin
kejahatannya dari ruang belakang."
"Oke, kami akan mengikuti jejak itu." Telepon segera
diletakkan.
"Apa lagi sekarang?" tanya Joe sambil meletakkan gagang
telepon.

"Kita selidiki lagi rumah ini," kata Frank. "Barangkali Zombie


itu telah kemari sementara kita pergi."
Seperti pada penyelidikan pertama, mereka tak menemukan
suatu petunjuk pun di bagian atas. Mereka lalu turun ke ruangan
bawahtanah, dan masuk ke ruang makan, setelah menyalakan lilin.
Tutup peti mati itu telah diangkat dan diletakkan miring di lantai!
"Frank, engkau benar!" seru Joe. "Zombie itu memang telah
kemari!"
Mereka memandang ke dalam peti dan melihat tempat mesiu
tentara Hesse terletak di atas secarik kertas. Pada kertas itu tertulis
kata-kata:
ANAK-ANAK HARDY! ZOMBIE MENGAWASI KALIAN!
PERGILAH SEMENTARA MASIH ADA WAKTU!
Frank memasukkan kertas itu ke dalam saku. "Kita akan
menanyai Zombie itu kalau sudah bertemu dengannya," ia
menggerutu.
"Frank!" seru Joe tiba-tiba. "Mungkin kita telah memergoki dia!
Mungkin ia masih bersembunyi di ruang bawahtanah sekarang ini!"
Dengan cepat mereka lari kembali ke ruangan bawahtanah, lalu
mengambil arah yang berlawanan, mencegat si Zombie kalau-kalau ia
sedang bersembunyi di kegelapan. Frank berjalan ke kanan sambil
memegangi lilin untuk menerangi jalanan. Sampai di sudut ia
membelok, sampai ia tiba di dekat perapian.
Ia mendengar suara mendesir di balik perapian itu dan samarsamar melihat seseorang bergerak di kegelapan! Frank meletakkan
lilinnya di lantai, mengendap di belakang sebuah pipa yang besar, lalu
melemparkan dirinya ke sosok tubuh tersebut!
"Heee!" terdengar suara yang ia kenal. "Tenang sedikit kenapa
sih?"
"Joe!" seru Frank. "Kukira engkau si Zombie!"

"Lilinku padam," kata Joe. "Aku sedang hendak meminta api


kepadamu ketika engkau menerkam aku!"
Mereka menyelidiki seluruh ruangan bawah-tanah tanpa hasil,
dan akhirnya mereka kembali ke atas.
"Aku usul untuk menginap di sini malam ini," kata Joe. "Kita ke
Burlington besok pagi dan menanyakan kepada Rolf tentang ruang
pemakaman di bawah tanah ini. Barangkali Lonnie mengetahui
sesuatu yang Rolf tak mau mengatakannya."
Frank mengangkat bahu sambil berpikir. "Kita tidur di kamar
depan saja. Kalau si Zombie kembali kemari, kita sudah siap."
Mereka mendapatkan kain sprei di lemari, dan
menghamparkannya di kursi panjang. Mereka berganti-ganti tidur dan
berjaga menanti si Zombie. Joe sedang mendapat giliran jaga ketika
guntur tiba-tiba berbunyi dan hujan turun menciprat masuk melalui
jendela kaca yang terbuka. Cahaya kilat menerangi serambi depan.
Joe melihat sesosok tubuh dalam seragam tentara Hesse berdiri
di depan jendela yang terbuka. Ketika ia memandangi wajah putih itu,
si Zombie mengancam dengan ayunan tangannya!
Joe membangunkan kakaknya dengan berteriak:
"Si Zombie! Di serambi!"
Frank melompat bangun dan menyusul adiknya keluar dari
pintu. Mereka keluar ke serambi. "Mana dia sekarang?" tanya Frank.
"Lari," jawab Joe dengan kecewa.
Sementara mereka memasang mata ke kegelapan dan
menajamkan telinga, kilat menyambar menyinari langit, dan mereka
melihat sesosok tubuh lari masuk ke hutan.
Seketika itu pula, mereka lari menuruni tangga melintasi
halaman. Tetapi sampai di hutan, mereka sadar bahwa pengejaran tak
akan berguna, di tengah hujan dan kegelapan. Mereka kembali ke
rumah.

Esok paginya, ketika hujan sudah berhenti, mereka keluar lagi


masuk ke hutan.
Frank menunjuk ke jejak-jejak bekas kaki di lumpur.
"Ke sana perginya."
Joe menggigil.
"Inilah jejak si Zombie!"

8. SI PETAPA

Jejak kaki yang misterius itu berakhir di semak-semak.


Frank kecewa.
"Inilah hasil mencari jejak," katanya. "Aku ingin tahu, hendak
mengapa ia sebenarnya?"
"Mungkin ia hendak membakar bagian lain dari hutan ini dan
hujan itu mengganggunya. Jadi ia mengambil keputusan untuk
bertamu kepada kita," kata Joe.
Setelah kembali di rumah, Joe menunjuk ke sesuatu di lantai
kamar tamu dan berseru:
"Tunggu dulu! Ini tidak ada kemarin malam." Ia memungut
secarik kertas yang membungkus sebutir batu dan diikat dengan karet.
Setelah melepaskan kertasnya, ia meratakannya di atas meja. Mereka
melihat tulisan kasar yang sama dengan pesan yang ada di dalam peti
mati. Bunyinya:
ANAK-ANAK HARDY, LEPASKAN PERKARA
KELUARGA ALLEN, PERINGATAN TERAKHIR!
"Zombie itu tentu melemparkannya lewat jendela ketika kulihat
ia tadi malam mengayunkan tangannya," Joe menyimpulkan. "Frank,
ia bersungguh-sungguh untuk menakut-nakuti kita! Perkara ini
menjadi semakin berbahaya!"
Frank mengangguk.
"Aku ingin tahu, apa yang telah ditemukan polisi," katanya lalu
menelepon ke kantor polisi.
"Bagian belakang dan loteng hotel itu kosong sama sekali
ketika kami datang," sersan itu memberitahu. "Tak ada penjahat, tak
ada barang curian. Pollard berkata, ia heran mengapa kalian

mengatakan cerita itu kepada kami. Ia berkata, bahwa kalian sungguh


sinting."
"Apakah anda menemukan seragam tentara Hesse di lemari
ruang ganti pakaian?" tanya Joe.
"Tidak, lemari itu juga kosong sama sekali!"
"Si Zombie telah ke hotel," kata Joe ketika Frank telah
meletakkan gagang telepon. "Ia mengambil seragamnya lalu
melakukan petualangan malamnya. Kemudian Pollard menahan kita di
rumah pak Williamson, agar kita tak sempat memberitahu polisi
sementara gerombolan itu membereskan barang-barang curian itu."
Ia menghela napas.
"Yah, tinggal Rolf tujuan kita yang terbaik. Mari kita temui
dia."
Mereka bermobil ke Burlington, dan diundang masuk ke kamar
tempat Rolf indekos.
"Lonnie akan segera pulang," kata Rolf. "Ia pergi ke
perpustakaan untuk membaca buku-buku Shakespeare. Kita sedang
berlatih latihan yang berbeda di studio. Jadi kita pergi-pulang tak
pernah bersama. Hari ini aku pulang lebih dulu. Bagaimana dengan
penyelidikan kalian?"
Frank dan Joe berganti-ganti menjelaskan apa yang telah terjadi
sejak kedatangan mereka di Hunter's Hollow.
"Sudah kukatakan, Zombie itu tentu terlibat!" seru Rolf.
"Ah, seseorang yang mengenakan seragam tentara Hesse," kata
Frank.
"Tetapi rupanya memang seperti Zombie," Joe mengakui.
Pada saat itu Lonnie Mindo masuk. Pemuda itu tersenyum
ramah dan mengatakan merasa senang dapat bertemu kedua pemuda
tersebut.

"Aku harus ke studio sesudah makan siang," ia menjelaskan.


"Kami sedang berlatih Julius Caesar seminggu ini. Aku yang main
sebagai Caesar, dan aku akan dibunuh di babak ketiga," Ia tertawa.
"Hal itu mengingatkan aku tentang apa yang kami temukan,"
kata Joe, lalu menanyakan mengenai ruang makam di bawahtanah
dengan peti matinya.
Rolf menggeleng dengan heran.
"Aku tak pernah mengetahui hal itu! Keluarga Carltonlah yang
tentu telah membuatnya ketika mereka membangun rumah itu. Kukira
lalu terlupa ketika rumah itu mereka jual."
"Engkau tahu tentang makam di bawahtanah itu, Lonnie?"
tanya Frank. "Engkau juga tinggal di rumah itu."
"Tidak. Tetapi aku malah berharap kalau tahu, tentunya senang
sekali menemukan sebuah makam di bawahtanah dengan sebuah peti
mati dari batu. Cukup menakutkan!"
"Apa yang hendak kalian lakukan sekarang?" tanya Rolf kepada
kedua temannya.
"Berusaha untuk mendapatkan petunjuk lain," jawab Joe. "Kami
harus mengetahui siapa yang masuk ke makam tersebut."
"Aku punya akal," kata Lonnie. "Aku pernah mendengar ada
seorang pertapa bernama Burrows, tinggal di Green Mountains.
Katanya ia mempunyai tenaga gaib, dan tahu apa-apa yang bakal
terjadi. Apakah sebaiknya kalian ke sana?"
"Barangkali baik juga," jawab Frank.
"Bagaimana kami dapat menemui dia?"
"Kata orang ia tinggal dalam sebuah gua di dekat puncak paling
tinggi, tepat sebelah timur Hunter's Hollow. Eh, aku harus makan
dulu, lalu kembali ke studio. Mau ikut?"
"Tentu," kata Frank. Ia berharap dapat sedikit lebih lama lagi
dapat berada di dekat Lonnie. "Kami ingin melihat latihan."

"Aku juga ikut," kata Rolf. "Aku telah hapal perananku, jadi
aku sudah bebas siang ini."
Keempat pemuda itu menuju ke rumah makan untuk makan
siang. Sambil mengunyah hamburger, mereka membicarakan
pengalaman-pengalaman mereka bermain di pentas.
"Lonnie, apakah engkau pernah bermain sebagai tentara
Hesse?" tanya Frank.
Lonnie tertawa.
"Belum pernah. Aku selalu bermain sebagai Patriot dalam
sandiwara-sandiwara zaman Revolosi. Aku senang menjadi pihak
yang menang!"
Setelah makan, mereka berjalan kaki ke studio. Sutradara
sedang memberi petunjuk kepada para pemain bagaimana harus
bergerak di pentas. Lonnie menggabungkan diri, sedang Rolf, Frank
serta Joe duduk di kursi deretan depan.
Kelompok itu sedang berlatih babak ketiga sandiwara
Shakespeare, pembunuhan Julius Caesar di tengah-tengah para senator
Romawi di dalam gedung Capitol di Roma. Sebelum mereka mulai,
sutradara meloncat turun dari panggung dan datang mendekati Rolf
dan kakak beradik Hardy.
"Kami masih memerlukan beberapa senator untuk sandiwara
ini," katanya. "Bagaimana kalau kalian mengisi peran ini? Kalian
tentu sudah tahu jalan ceritanya, bukan?"
"Kami mempelajarinya dalam pelajaran Bahasa Inggris," kata
Frank. "Senang sekali kalau dapat membantu anda."
"Aku juga," Joe menawarkan diri.
"Apakah kita harus memakai jubah?"
"Toga Romawi," kata sutradara sambil tertawa.
Beberapa menit kemudian Frank dan Joe serta Rolf, dengan
mengenakan toga dari bagian perlengkapan, mengamati para pemain
yang memperagakan tokoh-tokoh terkenal sandiwara Shakespeare,

seperti Brutus dan Cassius. Para pembunuh menyerang Julius Caesar,


yang diperankan oleh Lonnie, dengan pisau-pisau belati dari karet.
Lonnie jatuh terguling ke lantai, sementara tinta merah membasahi
toganya.
Setelah latihan, sutradara masuk ke kamar pakaian di mana
Frank dan Joe sedang membuka toga mereka.
"Terimakasih atas bantuan kalian," katanya. "Kalian pandai
juga."
"Tak ada masalah," jawab Frank.
"Justru menyenangkan sekali."
"Lonnie menjadi Caesar yang hebat," kata sutradara. "Ia kuat
sekali."
"Apakah ia selalu ada di sini selama masa-masa latihan
seminggu ini?" tanya Joe secara sembarangan.
"Ya. Ia selalu ada di sini setiap siang hari," sutradara itu
membenarkan.
"Nah, aku akan kembali ke panggung. Sandiwara ini belum
selesai dengan pembunuhan Caesar. Kami masih harus
menyelesaikannya dalam beberapa jam lagi."
"Kukira ini membebaskan Lonnie sebagai tersangka," kata Joe.
"Ia selalu sedang latihan di Burlington sini kalau Zombie itu menakutnakuti kita."
"Kita pun tak punya bukti bahwa Lonnie mengetahui adanya
makam di ruang bawahtanah di rumah Allen," Frank menambahkan.
"Tetapi, lalu siapa yang ada di dalam sana itu? Kuharap saja petapa itu
dapat memberikan petunjuk."
Frank dan Joe mengantarkan Rolf dan Lonnie kembali ke
tempat indekos dan ikut menginap.
Pagi berikutnya, kakak beradik itu bermobil ke Green
Mountains. Mereka menuju ke puncak yang tertinggi di sebelah timur

Hunter's Hollow. Jalan menjadi semakin sempit di kaki gunung,


hingga mereka harus memarkir di dalam hutan. Selanjutnya mereka
berjalan kaki. Tiba-tiba jalan setapak itu habis. Mereka harus
menerobos pohon-pohonan yang liar dan semak-semak, hingga sangat
lambat jalan mereka dan tak dapat melihat puncak lagi.
"Kita harus menentukan arah dulu sebelum tersesat," usul
Frank. Ia memanjat sebatang pohon pinus yang tinggi, mengenali
puncak yang mereka tuju, lalu meneruskan perjalanan bersama
adiknya.
"Ini memang tempat yang cocok untuk seorang petapa," Frank
menggerutu. "Perlu tempat yang terasing."
Semakin mendekati puncak, pohon-pohon yang besar semakin
berkurang. Mereka sampai di daerah berbatu-batu dan penuh dengan
jurang-jurang serta batu-batu besar di antara semak-semak.
Suara gesekan menyebabkan mereka mendongak. Mereka
ketakutan, melihat sebuah batu yang sangat besar menggelinding
turun di lereng gunung! Dengan kecepatan yang semakin bertambah,
batu itu tepat menuju ke arah mereka!
Frank dan Joe melompat ke sisi yang berlawanan, jatuh ke
tanah, lalu berjumpalitan menjauh. Batu itu menggelinding di antara
mereka, dan sejenak kemudian mereka mendengar suara gedubrak
keras di semak-semak di bawah mereka.
"Kalau kita kena," kata Joe tertahan, "kita akan jatuh terpencar
seperti pin-pin di tempat bowling!"
Frank mengangguk.
"Bagaimana bisa demikian tepat? Seperti ada orang yang
menjatuhkannya!"
"Memang ada, Frank!" Joe menunjuk ke puncak gunung, di
mana ada seseorang sedang memandang ke bawah dari mulut sebuah
gua. Rambutnya panjang dijalin, janggut lebat dan mengenakan baju
beledu yang koyak-koyak.

"Itu tentu si Burrows," kata Joe meneruskan. "Aku yakin, dialah


yang mendorong batu itu kepada kita."
"Kukira ia tak senang ada tamu," Frank menggerutu. "Kuharap
saja ia mau berbicara."
Ketika mereka melanjutkan memanjat ke atas, petapa itu
berteriak dengan kasar:
"Kembali!"
"Pak Burrows, kami ingin berbicara dengan anda!" Frank
berseru.
"Aku tak mau berbicara dengan siapa pun juga," orang itu
berteriak. Ia mendorong-dorong sebuah batu besar hendak
melepaskannya dari tanah.
Kedua pemuda itu melompat ke sebuah punggung jurang ke
puncak gunung. Mereka berlompatan sedemikian cepatnya hingga
Burrows tak mendapat kesempatan untuk membidikkan batu itu
kepada mereka. Orang itu lalu berlari masuk ke guanya.
Demikian mereka menyusul masuk, petapa itu mengayunayunkan sebatang pentungan. Mereka melihat perabotan untuk hidup
yang sederhana. Buah-buahan hutan ditimbun di bagian belakang gua.
Seember air terdapat di atas batu yang berlaku sebagai meja.
"Apa yang kalian kehendaki?" petapa itu berteriak dengan
pandangan liar.
"Beberapa informasi," kata Joe. "Kami diberitahu, bahwa anda
mengetahui segala sesuatu yang ada di sekitar gunung ini."
"Anda dapat membantu melindungi gunung ini dari kebakarankebakaran selanjutnya," Frank memohon.
Petapa itu agak menjadi lunak dengan pernyataan Frank. Ia
meletakkan pentungannya dan mulai bercerita tentang tenaga-tenaga
gaib di hutan.
Tiba-tiba ia berpaling ke mulut gua. Kedua pemuda itu
mendengar suara bergemerisik di kelebatan semak-semak.

"Ia di sana," petapa itu berseru penuh kemenangan. "Aku tahu,


ia tentu mengikuti kalian!"
"Siapa ... " Joe hendak berbicara sambil membalikkan
tubuhnya. Tetapi ia tak sempat menyelesaikan kata-katanya.

9. PENGAKUAN

Semak-semak terkuak. Seekor tupai melompat keluar, berlari di


samping kedua pemuda, lalu lari memanjat sebuah pohon di seberang.
Seekor luwak melompat-lompat mengejar. Melihat kedua pemuda itu,
si luwak membalikkan tubuhnya dan lari masuk ke semak-semak,
kemudian menuruni lereng gunung.
Kedua pemuda itu tenang kembali dan saling tersenyum.
"Tertipu oleh luwak," kata Frank.
"Setidak-tidaknya kita menyelamatkan seekor tupai," jawab Joe.
Mereka kembali masuk ke gua di mana pak Burrows
menunggu.
"Luwak itu temanku," kata petapa itu setengah mengejek. "Ia
mengawasi siapa pun yang datang ke gunung ini. Ia telah mengikuti
kalian kemari."
Mereka mengabaikan omongan petapa itu, dan Joe mengulangi
lagi dengan tegas bahwa mereka hendak menanyakan tentang
kebakaran hutan.
"Aku tahu semua itu," orang tua itu menyela. "Aku dapat
menunjukkannya kepadamu. Ayo ikut!"
Sebelum mereka dapat berkata apa-apa lagi, orang itu telah
melangkah keluar. Terpikat oleh pikiran bahwa mereka akan
menemukan pemecahan perkara keluarga Allen, Frank dan Joe
mengikutinya menerobos hutan. Mereka harus berjalan di antara
pohon-pohon muda, dan tumbuhan menjalar yang menyerimpat kaki
mereka. Petapa itu tetap berjalan dengan cepat sambil menggumam,
sedang kedua pemuda itu berada di dekatnya.
"Ke mana ia hendak membawa kita?" tanya Joe dengan
berbisik.

"Semoga saja ia akan mengungkapkan misteri kebakaran hutan


bagi kita," Frank balas berbisik.
Mereka sampai pada sebuah punggung lereng yang sempit, dan
pada satu sisinya menganga jurang yang dalam. Seperti tak
menghiraukan bahaya, pak Burrows melangkah cepat di sepanjang
punggung lereng ke seberang. Frank dan Joe mengikuti, menggunakan
teknik-teknik mendaki gunung yang pernah mereka latih.
"Ia mempertaruhkan batang lehernya," Frank mengeluh.
"Berarti batang leher kita juga!"
"Mudah-mudahan apa yang hendak ditun-jukkan jauh lebih baik
dari perjalanan ini," Joe menggerutu.
Tiba-tiba petapa itu membalikkan tubuhnya dan berteriak-teriak
keras. Hal itu membuat Joe demikian terkejut hingga ia hilang
keseimbangannya! Kakinya terpeleset dan ia jatuh dari punggung
lereng gunung.
Sambil membungkukkan badannya ke depan, Frank menangkap
jaket adiknya dan menariknya kembali ke atas. Dengan tersengalsengal mereka mencari jalan yang aman dan kembali mengikuti si
petapa.
"Apa yang anda teriakkan tadi?" tanya Frank.
"Aku hanya hendak meyakinkan diri, bahwa kalian supaya tahu
aku ada di mana," pak Burrows menjelaskan. "Aku tak melihat kalian,
kukira tersesat."
"Memang hampir saja, karena harus terjun dari jalan," kata Joe
setengah mempersalahkan.
Pak Burrows mengangkat bahu.
"Kalian hendak mengetahui tentang kebakaran atau tidak?"
"Ya. Karena itu kami kemari. Nah, mari kita lanjutkan."
"Kalau begitu terus saja mengikuti," kata petapa itu. "Aku tak
mau susah-susah menunggu kalian lagi."

Mereka melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata lagi sampai


mereka tiba di sebuah jurang yang sempit dan dalam. Sebilah papan
dipasang melintang untuk menyeberang. Mereka melewati papan itu
dan menuruni gunung sejauh beberapa ratus meter.
Pak Burrows berhenti dan menunjuk dengan jarinya.
"Nah, di sanalah kebakaran itu," katanya.
Kedua pemuda itu melihat ke arah yang ditunjuk. Mereka
melihat sebidang tanah sempit yang hitam, di mana api telah
menghanguskan semak-semak dan pohon-pohon di dalam lingkaran
yang dibatasi batu-batu besar. Sebatang kayu oak yang hancur pecahpecah melintang di atas setimbunan batu-batu.
Frank dan Joe merasa kecewa sambil melihat ke sekeliling.
"Api ini terjadi karena sambaran petir," kata Frank. "Petir itu
mengenai pohon ini."
"Memang," jawab pak Burrows. "Kalian ingin melihat
kebakaran hutan. Nah, itulah dia." Joe menggelengkan kepala.
"Itu bukan kebakaran yang kami maksudkan. Kami ingin sekali
mengetahui tentang kebakaran di dekat rumah keluarga Allen di
Hunter's Hollow."
Pak Burrows menjadi marah.
"Jadi kita sampai sejauh ini kemari tak ada gunanya?"
"Anda tak memberi kesempatan kepada kami untuk
menyelesaikan pertanyaan kami," kata Frank menjelaskan. "Kami tak
mendapat kesempatan untuk mengatakan kebakaran yang mana. Kami
kira anda sudah mengerti. Karena itu kami mengikuti anda."
Pertapa itu mengejek.
"Aku akan menceritakan kebakaran di tempat Allen nanti
sesampai di gua lagi," ia berjanji.
"Mengapa tidak sekarang saja?" tanya Joe. Tetapi pak Burrows
tak menjawab.

Kembali ke jalan semula, mereka sampai di papan di atas


jurang. Mereka berada tepat di atas papan ketika pertapa itu
melangkah ke seberang. Ia melihat ke papan, lalu membungkuk dan
mengangkatnya, memutarnya sedemikian kuatnya hingga Frank
kehilangan keseimbangannya. Dengan berteriak ia jatuh, tetapi
berhasil menangkap papan itu. Dengan mati-matian ia bergantung
agar jangan jatuh ke kedalaman!
Joe yang sudah hampir sampai di seberang ketika papan
diangkat, melompat ke seberang. Ia merebut papan itu dari tangan si
pertapa, dan mengembalikan ke tempatnya. Frank berhasil
mengangkat salah satu kakinya ke atas papan, lalu menarik dirinya ke
atas. Sesaat kemudian ia pun sampai di seberang.
"Anda sengaja melakukan itu!" Joe mempersalahkan pak
Burrows. "Anda mencoba menjatuhkan kami ke jurang! Mengapa?"
"Apa yang kaukatakan itu?" orang itu membantah. "Papan itu
bergeser, dan justru aku yang akan jatuh! Karena itu aku hendak
mengembalikannya, agar kalian dapat selamat menyeberang. Tetapi
peganganku terlepas. Aku hanya hendak menolong, tetapi engkau
menuduh aku hendak membunuh kalian. Itulah dunia ini, tak ada
terimakasih di mana pun. Untunglah aku tak perlu hidup bersama
orang lain. Mereka semuanya sama.serakah dan tak tahu
berterimakasih."
"Biarlah," kata Frank sedikit kasar, menyela omongan itu. "Ayo
kita kembali."
Pak Burrows membalikkan tubuhnya dengan mendadak dan
meneruskan perjalanan kembali ke gua. Kedua pemuda mengikuti.
"Aku tak bisa mempercayai badut ini," kata Joe. "Ia telah
berusaha menyingkirkan kitauntuk selama-lamanya. Tak bisa
diduga apa yang akan dilakukannya lagi."
Frank mengangguk.

"Tetapi kita terpaksa mengikuti. Mungkin dialah yang dapat


memberikan petunjuk dari misteri keluarga Allen."
Mereka mengawasi pertapa itu dengan ketat ketika sampai di
punggung lereng gunung yang hampir menjatuhkan Joe. Namun pak
Burrows tak menengok-nengok lagi. Ia tanpa berkata-kata lagi
menuntun mereka kembali ke gua.
Ketika mereka ada di dalam gua, Frank menatap ke dalam mata
orang itu.
"Nah. Sekarang anda tahu kebakaran yang mana yang kami
maksudkan. Ceritakanlah."
Pertapa itu mengangguk dengan tersenyum licik.
"Siapa yang menyalakan api itu?" Frank mendesak.
Pak Burrows tertawa melengking.
"Aku!"
Terkejut, kedua pemuda itu memandangi orang itu. Mereka
menunggu ia melanjutkan kata-katanya. Tetapi orang itu justru mulai
mengunyah-ngunyah buah-buahan.
Akhirnya Frank memecahkan kesunyian. "Anda selalu ada di
atas gunung ini, bukan?"
"Tentu," kata pak Burrows. "Aku senang menyendiri dan selalu
dekat dengan guaku. Aku sudah mengatakan kepada kalian apa
pendapatku tentang orang-orang ...."
"Lalu bagaimana anda dapat membakar suatu tempat yang
jauhnya berkilo-kilo di sana, di Hunter's Hollow? Untuk apa anda ke
sana?"
"Aku tak ke sana!" kata pertapa itu. "Aku tak pergi ke Hunter's
Hollow!"
Joe menjadi jengkel.
"Anda berbicara sembarangan dan tak masuk akal. Apa yang
anda maksudkan, menyalakan api tetapi tidak pergi ke Hunter's
Hollow? Siapa yang menyalakannya tentu ada di sana!"

"Aku menyuruh temanku yang menyalakan api," pak Burrows


menjelaskan. "Jadi aku yang bertanggungjawab. Apakah ini sulit
dimengerti?"
"Siapa teman anda?" tanya Joe.
"Dengan siapa anda bekerja sama?" tanya Frank.
"Si Zombie," kata pak Burrows. "Tentara Hesse itu! Engkau
tahu tentang dia, bukan?"
"Oke," kata Frank menenangkan. "Zombie yang menyalakan
api. Orang yang memakai seragam itu. Tetapi siapa dia itu? Apakah ia
mempunyai nama?"
"Tanyakan dia kalau ingin tahu!"
"Tentu, kalau kita bertemu dengan dia," kata Frank.
"Di mana kami dapat menemui dia?"
"Di sana!" seru si pertapa. Ia menunjuk ke mulut gua, di mana
nampak berkelebat suatu bayangan.
Kedua pemuda itu lari keluar. Dengan segera mereka
mengamati daerah itu, tetapi tak ada apa-apa yang bergerak di semaksemak. Tak ada yang nampak atau suara di antara pohon-pohon.
"Omong kosong lagi," kata Frank dengan kecewa.
"Tunggu sebentar," kata Joe. "Lihat! Di bawah sana!"
Ia menunjuk ke kejauhan. Mereka mempunyai pandangan yang
luas atas Green Mountains sampai ke arah Hunter's Hollow. Mereka
menahan napas ketika melihatnya.
Asap mengepul di hutan di sekitar rumah keluarga Allen!

10. API YANG BERKOBAR

"Kebakaran lagi!" seru Joe. "Lebih baik kita ke sana,


memberitahu Dinas Kebakaran!"
Tanpa berkata apa-apa lagi kepada si pertapa, kedua pemuda itu
melompat dan lari menuruni gunung, terserimpat dan tersandung,
menjejakkan kaki kuat-kuat pada setiap lompatan agar jangan jatuh.
Akhirnya mereka sampai ke jalan setapak menuju ke mobil.
Mereka melompat naik dan kembali melaju ke rumah keluarga Allen.
Ketika sudah semakin dekat, mereka terhalang oleh barikade yang
dipasang oleh Polisi Negara Bagian Vermont.
"Ada kebakaran hutan di depan," kata seorang anggota polisi.
"Daerah ini tertutup. Sangat sulit untuk menyelamatkan rumah
keluarga Allen."
"Kami teman-teman Rolf Allen," kata Frank. "Bolehkah kami
berjalan terus?"
"Tidak boleh. Kecuali kalau kalian bersuka-rela ikut
memadamkan api," kata anggota patroli itu.
"Senang sekali boleh ikut membantu," jawab Joe cepat.
"Oke," Anggota polisi itu menyilakan. "Jalan terus. Mereka
membutuhkan segala bantuan. Katakan kepada Kapten Scott bahwa
aku yang menyuruh kalian. Ia akan memberitahu apa yang dapat
kalian perbuat."
Kedua pemuda itu membawa mobil mereka meneruskan
perjalanan dan memarkirnya di tempat yang dapat dilihat dari rumah
keluarga Allen. Api berkobar di sisi lain, karena itu mereka berlari
mengitari rumah. Asap yang tebal menyebabkan mereka terbatukbatuk. Mereka melihat lidah-lidah api menjilat-jilat tinggi di antara
pohon-pohonan. Daun-daun berguguran ke tanah, melayang-layang

dari cabang-cabang yang menjadi arang. Ketika mereka mengawasi,


sebatang pohon yang tinggi, dengan batang hampir terbakar habis,
turnbang menimpa pohon-pohon lainnya.
"Benar-benar seperti neraka," seru Joe. "Aku belum pernah
melihat api seperti ini!"
Lima mobil pemadam kebakaran dari Burlington berjajar di
halaman, dan mobil-mobil pickup berdiri di dekatnya dilengkapi alatalat penyemprot kimia anti api. Beberapa anggota pemadam
kebakaran menyemprotkan air ke dalam api, sementara yang lain-lain
menggunakan bulldozer untuk menyingkirkan semak-semak.
Masih banyak lagi yang merobohkan pohon-pohon yang
terbakar dengan gergaji rantai ke arah api, sambil dijaga agar roboh ke
arah tempat yang belum terbakar. Sebuah helikopter melayang-layang
di atas dan melepaskan gumpalan kabut bahan kimia pada tempattempat yang paling berbahaya.
Para anggota Polisi Negara berbaur dengan para anggota Dinas
Pemadam Kebakaran bahu membahu dengan giat. Akhirnya kedua
pemuda itu bertemu dengan orang yang bertanggung-jawab."
"Anda Kapten Scott?" tanya Frank.
"Betul. Tetapi aku tak dapat berhenti untuk berbicara. Aku
sedang sibuk."
"Kami sukarelawan," kata Frank.
"Nah, itu lain. Laporkan diri kepada pimpinan pemadam di sana
itu, pak Bemont. Ia yang akan memberi tugas kepada kalian."
Komandan Pemadam Kebakaran itu memberikan kepada
mereka topi logam dan sekop.
"Gabungkan dirimu pada regu pembuat jalur pengamanan di
depan rumah," ia memerintah.
Jalur pengamanan yang lebar ditangani oleh sejumlah tenaga,
membersihkan semak-semak untuk menghadang menjalarnya api.

"Api tak akan mendapatkan umpan bila sampai di jalur


pengamanan," pak Bemont menjelaskan, kalau kita dapat membuatnya
tepat pada waktunya. Ayo, bekerjalah dengan giat!"
Kakak beradik itu menggabungkan diri di ujung barisan.
Mereka heran, orang yang ada di samping mereka adalah Lonnie
Mindo!
"Aku sedang di tempat indekos ketika polisi menelepon adanya
kebakaran," Pemuda itu menerangkan. "Rolf sedang latihan. Aku lalu
menelepon studio dan meninggalkan pesan untuk Rolf. Kemudian aku
bergegas kemari untuk berbuat apa yang dapat kulakukan."
Sementara mereka berbicara, Rolf tiba. Ia mengucapkan
terimakasih kepada Lonnie atas kecepatan tindakannya ketika berita
kebakaran itu tiba. Kemudian ia berpaling kepada Frank dan Joe.
"Frank dan Joe, terimakasihku termasuk kepada kalian juga,"
katanya. "Aku hanya berharap dapat menyelamatkan rumah."
Pak Bemont memasukkan Rolf ke dalam regu pembuat jalur
pengamanan, dan kerja mereka berlanjut dengan penuh kegelisahan.
Seorang anggota pemadam kebakaran, dengan bulldozernya membuat
jalur dengan membongkar dan mendorong semak-semak ke satu sisi.
Dengan demikian orang-orang yang menggunakan sekop, dan kapak
dapat memotong rerumputan. Mereka melemparkan gumpalan rumput
tersebut ke sisi, membuat jalur tanah yang telanjang.
Panasnya menyengat, dan kepulan-kepulan asap yang datang
dari api menyebabkan mata para sukarelawan berair mata. Lenganlengan mereka sakit-sakit, pegal dan napas membuat mereka
tersengal-sengal.
Joe berada di ujung barisan, tepat di depan rumah. Melihat api
menyembur dari tempat yang tidak dilalui bulldozer, ia lari maju dan
memukul-mukul api tersebut dengan punggung sekopnya. Pada saat
itu juga bara-bara merah menyala menyembur dan jatuh di
belakangnya, menimbulkan kobaran api. Ia berlari ke tempat terbuka

di antara kedua kebakaran. Tetapi kedua api itu bertemu menjadi satu,
dan Joe terpotong jalannya!
Joe terjebak. Teriakan-teriakannya hilang tenggelam dalam deru
kobaran api! Dengan mati-matian ia menghantam semak-semak yang
termakan api dengan sekopnya, namun api malah berkobar tinggi!
Setapak demi setapak api mendorong dia ke arah pohon-pohon yang
membara, di mana ia akan terkurung oleh api yang mengamuk.
Untunglah, Frank mengetahuinya tepat pada waktunya. Ia
melemparkan sekopnya, lalu berlari menuju ke pickup penyembur
bahan kimia, lalu melompat naik. Ia menginjak gas pickup dalamdalam, dan mobil itu meloncat dan berhenti melintang di depan Joe.
Dengan segala tenaga Frank memutar mulut penyembur bahan kimia,
terarah kepada api yang paling dekat. Dengan demikian ia memotong
api, membuat jalan melintas lingkaran kobaran api. Dengan berteriak
lega Joe berlari ke tempat yang aman.
"Engkau tak apa-apa?" tanya kakaknya kuatir.
"Aku merasa seperti telur rebus. Tetapi selain itu aku tak apaapa. Bagaimana pun juga, terima-kasih atas semprotanmu. Kau telah
menyelamatkan jiwaku."
Seorang anggota pemadam kebakaran mendatangi.
"Bahan kimia itu sebagai cadangan kalau-kalau rumah termakan
api," katanya tegas. "Engkau tidak boleh menggunakannya di sini!"
tetapi ia memuji Frank setelah mendengar peristiwanya.
Kemudian kakak beradik itu kembali ke regu pembuat jalur
pengamanan.
"Kita membutuhkan tambahan tenaga!" seru seorang petugas.
"Mereka segera datang," jawab komandan pemadam kebakaran.
"Itu mereka sudah datang!"
Dua buah truk memasuki daerah mereka, menurunkan
serombongan sukarelawan. Frank dan Joe terlalu sibuk untuk

mengetahui para pendatang, sampai mereka mendengar suara yang


mereka kenal.
"He, bung-bung Hardy!"
Yang berbicara itu adalah Chet Morton. Ia ditemani oleh Biff,
Phil dan Tonny. Mereka menyalami Frank dan Joe, yang lalu
memperkenalkan mereka kepada Rolf dan Lonnie.
"Bagaimana kalian dapat kemari?" tanya Frank.
"Nanti saja kami ceritakan," jawab Biff, karena sementara itu
komandan pemadam kebakaran telah membagi-bagikan topi logam
dan sekop, serta memberikan tugas kepada mereka dalam regu
pembuat jalur pengamanan.
Sebuah pesawat kecil terbang di atas, dan sesaat kemudian dua
buah payung udara berwarna merah berkembang. Chet mendorong
topinya ke belakang, lalu berseru: "He, mereka tentu akan segera
terpanggang!"
"Tidak, mereka sudah tahu benar apa yang harus mereka
lakukan," kata Joe. "Mereka itulah yang disebut "smoke jumpers",
penerjun payung pemadam kebakaran. Mereka akan mendarat di
tempat yang belum dimakan api, dan menjaga agar api jangan
merambat meluas."
"Kukira mereka akan menggunakan bahan peledak," kata
Frank.
Payung-payung udara itu lenyap di balik kehijauan daerah yang
belum termakan api. Beberapa saat kemudian terdengar serangkaian
ledakan, membuktikan bahwa dugaan Frank memang benar. Para
penerjun itu mendinamit pohon-pohonan yang akan termakan api.
Usaha merka itu menghentikan menjalarnya api ke arah itu.
Sementara itu, api di depan rumah menjalar melalui tumbuhtumbuhan sampai ke jalur pengamanan. Setiba di daerah tanah yang
terbuka, api menjadi padam. Air dan bahan kimia memadamkan bara-

bara yang terakhir. Hanya asap dan tumbuh-tumbuhan yang telah


menjadi arang menunjukkan di mana api telah mengamuk.
"Beres sudah," komandan pemadam kebakaran itu berseru. "Api
sudah dikuasai. Mari kita kembalikan alat-alat ini ke Burlington."
Para sukarelawan kembali berdesakan ke dalam truk yang
segera berangkat. Para anggota pemadam kebakaran menggulung
pipa-pipa air, membereskan alat-alat mereka dan naik ke kendaraan.
Mobil-mobil pemadam yang besar-besar segera berangkat pula,
meninggalkan jejak bekas roda yang dalam di halaman rumah Rolf.
Setelah itu pickup-pickup pembawa tangki bahan kimia menyusul.
Pak Bemont dan Kapten Scott berunding. Mereka sependapat
bahwa daerah itu telah aman.
"Aku akan menyuruh membongkar barikade," kata Kapten
Scott, lalu pergi.
Pak Bemont mendekati para pemuda dan memberinya selamat.
"Kalian telah melakukan tugas besar," katanya. "Rolf, rumahmu
selamat. Karena berubahnya arah angin, api telah berubah arah.
Mulainya dari hutan sebelah sana, dan seharusnya akan membakar di
sebelah sana itu."
"Bagaimana mulainya?" tanya Frank.
Komandan pemadam kebakaran itu mengernyit.
"Kukira ada orang yang sengaja membakarnya. Kami
menemukan beberapa batang korek api di bawah semak-semak.
Rupanya semak-semak itu tak mau menyala, dan si pembakar itu
berpindah ke semak-semak yang kering."
"Orang itu harus dipenjara!" kata Lonnie dengan panas.
"Memang harus dipenjara," kata pak Bemont, "kalau kita dapat
menemukannya." Dengan kata-kata itu ia menuju ke mobilnya lalu
pergi.

Kini tinggal Rolf dan teman-temannya. Semuanya telah menjadi


hitam karena jelaga. Mereka luka-luka sedikit, terkena percikan api,
dan bilur-bilur serta lelah.
"Mari kita ke dalam dan mandi," Rolf mengundang temantemannya.
Beberapa menit kemudian, mereka mandi dan membubuhkan
antiseptik pada luka-luka kecil di tangan dan kaki. Kemudian mereka
turun menuju ke ruang depan.
"Bagaimana kalau kita makan?" Rolf mengajukan usul.
Chet tersenyum senang dan menepuk-nepuk perutnya.
"Engkau mengucapkan bahasaku, Rolf. Buatlah untukku kue
apel, yang besar sekali!"
Teman-teman Chet yang berasal dari Bayport tertawa. Mereka
tahu bahwa Chet memang tukang makan, lebih menggemari makanan
daripada apa pun juga.
"Maaf, Chet," kata Rolf sambil tersenyum. "Aku tak
mempunyai kue apel. Tetapi kita dapat mengetahui apa yang ada di
dalam kamar tempat makanan. Yang jelas aku tahu ada coklat di
sana."
Chet mengangkat tangannya secara acuh-tak-acuh.
"Tak usah menyebutkan apa-apa," katanya. "Apa pun jadilah
bagiku."
Mereka masuk ke dapur dan segera membuat makanan. Setelah
itu mereka pindah ke serambi, memindah-mindahkan kursi di suatu
tempat yang bersih lalu duduk untuk makan.
"Phil, ceritakanlah bagaimana kalian sampai datang kemari,"
Joe meminta. "Kami kira kalian berkeliling dengan sirkus."
"Kami memang ikut sirkus, Joe. Rombongan kami sedang
menuju ke Burlington. Polisi Negara menghentikan kami dan meminta
beberapa sukarelawan untuk membantu menanggulangi kebakaran
hutan."

"Demikianlah, kami kemari dengan sebuah truk," sambung


Tony. "Tetapi kita harus segera kembali."
"Kami sendiri akan kembali ke Burlington," kata Rolf. "Tetapi
sebelum berangkat, apakah tidak baik memeriksa makam di
bawahtanah dulu? Frank dan Joe yang telah menemukannya. Aku
sudah sangat ingin sekali melihatnya!"
"Makam di bawahtanah?" tanya Biff tak mengerti.
"Di ruangan bawahtanah," kata Joe. "Rupa-rupanya keluarga
Rolf belum ada yang tahu."
Setelah mereka selesai makan, lalu bersama-sama turun ke
bawah dan menyalakan lilin.
"Memang ada satu dos sekring untuk listrik di sini sebelum
kami pindah," kata Lonnie. "Tetapi sekarang kok tidak ada."
"Pasti ada orang yang mengambilnya, agar kami ada di
kegelapan," Joe menggerutu. Ia menuntun mereka, berjalan satu demi
satu melintasi ruang bawahtanah. Lonnie berjalan paling belakang.
Lilin yang dibawa kedelapan pemuda itu menyebarkan cahaya yang
mengerikan di ruangan, dan satu-satunya suara hanyalah langkah kaki
mereka.
Setiba di pintu rahasia, Frank menjelaskan bagaimana cara
mengerjakan alat-alat dari bagian dinding yang dapat berputar. Ia
menekan kedua tombol, dan batu-batu dinding berputar ke dalam.
Lantai pada dasar tembok itu juga ikut bergerak ke arah yang sama,
membawa Frank masuk ke dalam makam. Batu-batu dinding dan
lantai yang berputar berhenti setengah jalan, hingga terbentuk pintu
rahasia yang terbuka.
"Ayo masuk," ia mengundang yang lain-lain. "Lihatlah
bagaimana si Zombie hidup!"
Joe yang masuk lebih dulu. Jumlah lilin yang semakin banyak
menerangi ruangan itu, dan Frank serta Joe dapat melihat lebih jelas
daripada sebelumnya, bagaimana makam-makam keluarga Carlton

dibangun masuk ke dinding yang ada di depan mereka. Peti mati dari
batu itu mengkilat di terang lilin. Sarang laba-laba bergantungan dari
langit-langit, berayun-ayun dihembus angin yang masuk melalui pintu
rahasia.
"Tempat yang mengerikan untuk dipilih menjadi tempat
makam," kata Tony. Ia menyingkirkan beberapa sarang laba-laba dari
rambutnya.
Chet mengangguk.
"Biarlah dihuni oleh si Zombie!"
Ketika mereka melihat ke peti mati, pintu rahasia itu bergerak
tanpa bersuara di belakang mereka. Tak seorang pun mengetahui
bahwa mereka sedang akan terperangkap!

11. TEMAN YANG MENCURIGAKAN

Suara 'duk' yang keras di pintu membuat mereka berpaling


membalikkan tubuh. Pintu yang berputar itu terganjal oleh sebongkah
batu, hingga tertahan untuk menutup.
"Kita hampir terjebak di sini!" kata Joe tertahan. "Seperti aku
pada waktu pertama kali kemari."
"Bagaimana batu itu sampai di sana?" tanya Biff ingin tahu. "Ia
mengganjal pintu itu."
"Aku yang menggesernya dengan kakiku," Frank
mengungkapkan. "Aku tahu batu itu ada di dekat pintu, karena aku
yang meletakkannya di sana. Tetapi apa yang menyebabkan alat-alat
pintu rahasia ini bekerja? Aku tahu betul, bahwa aku telah
menyetelnya dengan betul."
Ia lari ke pintu rahasia dan menariknya hingga terbuka. Lonnie
berdiri di luar dan nampak sangat bingung!
"Engkau yang menekan tombol?" tanya Frank kepadanya.
"Aku tak sengaja menyentuhnya," jawab pemuda itu. "Yaitu
ketika aku mengangkat lilinku agar dapat melihat kalian masuk. Aku
tak tahu bahwa ada tombol di situ."
"Tetapi apakah engkau melihat Frank menyetel tombol-tombol
itu?" tanya Joe.
"Aku tak dapat melihatnya. Aku berdiri paling belakang, ingat?
Tetapi seharusnya aku tahu bagaimana membukanya lagi kalau pintu
ini tertutup."
"Lonnie tentu tak mau sengaja menakut-nakuti kita seperti ini,"
kata Rolf membela temannya. "Kalian tentu tak menyangka.."
"Tentu saja tidak," kata Joe menghibur. Tetapi kecurigaan
terhadap Lonnie Mindo telah meresap ke dalam benaknya.

Frank juga merasa demikian, tetapi tak mau melanjutkan


masalah itu. "Mari kita angkat tutup peti mati itu. Coba, apakah
tempat mesiu serdadu Hesse itu masih ada di dalamnya," ia
menyarankan. Ia lalu menjelaskan, bagaimana mendapatkan surat
ancaman dan mengambilnya, tetapi meninggalkan tempat mesiu itu di
dalam.
Biff dan Lonnie mengangkat tutup peti dan semuanya
memandang dengan heran.
"Hilang!" seru Joe. "Si Zombie telah kembali dan
mengambilnya."
Frank mengangguk.
"Sayang kita tak bertemu dengannya."
"Kami juga melihat Zombie," Chet ikut berbicara. "Tetapi aku
tak tahu apakah Zombie yang sama."
"Di mana?" tanya Frank dengan terkejut. "Di sekitar sini,
Chet?"
"Di sirkus. Sebagai pertunjukan tambahan. Yang jadi Zombie
orang yang bernama Bones Arkin. Bagus sekali! Kalian harus
melihatnya. Atraksi tambahan yang paling bagus!"
"Selidiki dia," sambung Tony. "Mungkin dialah yang kaucari."
Biff mengangguk.
"Arkin dapat menyelinap pergi dari sirkus kalau sedang tidak
bertugas. Mungkin saja ia kemari menakut-nakuti kalian."
"Tetapi ia tentu bukan orang yang membuntuti Rolf ke
Bayport," kata Joe menyanggah. "Waktu itu sirkus belum sampai di
sini."
"Mungkin ia mempunyai komplotan," Phil ikut berbicara.
"Mengapa kalian tak bersama kami kembali ke tempat sirkus? Iringiringan itu justru sedang di perjalanan. Selain itu kami juga
membutuhkan bantuan untuk misteri sabotase itu. Kami belum
mengungkapkan apa-apa."

Semua setuju dengan saran Phil, dan ketika Rolf dan Lonnie
kembali ke Burlington, Frank dan Joe mengikuti truk yang
dikemudikan oleh Tony. Tak lama kemudian terlihat sebuah truk yang
besar. Pada sisinya tertulis: BIG TOP CIRCUS. Iring-iringan itu
selebihnya berderet di depannya, pada sisi jalan.
Frank dan Joe berhenti di truk yang berfungsi sebagai kantor,
sementara keempat teman mereka kembali ke tugas masing-masing.
"Kita akan bekerja dari sudut sabotase," usul Frank sebelum
masuk. "Itu akan merupakan kedok yang bagus sementara kita
menyelidiki Bones Arkin."
Joe setuju.
"Jangan sampai ada orang yang tahu bahwa kita hendak
menyelidiki atraksi Zombie."
John Tariski memberi salam ketika mereka memasuki truknya.
Ia mengedip-ngedip cepat di balik kacamatanya yang berbingkai
tanduk, sambil mendengarkan tawaran mereka hendak ikut bersama
sirkus, dan berusaha membongkar misteri sabotase.
"Bagus! Bagus sekali! Tidak boleh lagi ada kecelakaankecelakaan di sirkus selama berkeliling ini," ia menjawab.
Suaranya yang serak tiba-tiba menusuk perasaan Frank. Apakah
suara dia yang menelepon dulu? pikirnya. Ia dapat saja berbicara
dengan suara tinggi kalau ia mau. Tetapi untuk apa ia sengaja
mengundang mereka untuk menyelidiki? Untuk apa pula ia melakukan
sabotase di sirkus?
Dengan keras Frank berkata: "Kami akan menyelidiki di sekitar
tempat ini, dan mencoba mencari petunjuk-petunjuk. Apakah anda
dapat mengatur agar kami jangan dirintangi?"
"Sudah tentu. Akan kuusahakan agar kalian dapat masuk di
segala penjuru sirkus. Akan kukatakan kepada pimpinan pentas, Whip
McIntyre, Nah, itu dia datang."

McIntyre bertubuh jangkung dan anggun. Ia mengenakan topi


hitam tinggi, kemeja sutra putih, jas merah ungu, celana untuk
menunggang kuda berwarna putih dan sepatu kulit yang tinggi. Ia
membawa cambuk yang pendek dan mempunyai kebiasaan memukulmukulkan cambuk itu pada sepatu bootnya.
Pak Tariski memperkenalkannya kepada Frank dan Joe, lalu
mengatakan: "Mereka ini menyelidiki kecelakaan-kecelakaan yang
telah kita hadapi."
McIntryre tersenyum.
"Pak Tariski mengatakan kepadaku, bahwa kalian berdua
adalah detektif-detektif kelas satu," katanya.
"Bagus, sebab kita memerlukan tenaga profesional dalam
perkara ini. Dan kami akan merahasiakan, mengapa kalian ada di sini.
Hal itu hanya akan membuat si penjahat menjadi waspada. Kalian
membutuhkan selubung. Apa ya, sebaiknya?"
"Katakan saja kami adalah wartawan-wartawan yang akan
menulis tentang sirkus ini," Joe menyarankan. "Tak seorang pun yang
akan mencurigai kami."
MacIntyre memukul sepatu bootnya dengan cambuk.
"Itu akal yang bagus. Kalian dapat bergerak ke mana-mana dan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan tak seorang pun akan curiga.
Harap kalian tahu, kami menghadapi seorang kriminal yang
cerdik, karena itu aku akan memberi bantuan sedapat-dapatnya." Ia
berpaling kepada pak Tariski dan menambahkan: "Keempat pemuda
yang kita ambil dari Bayport telah kembali dari bersukarela
memadamkan kebakaran di Hunter's Hollow. Jadi iring-iringan sudah
siap untuk melakukan perjalanan lagi."
"Baik. Kalau begitu, katakan kepada para pengemudi agar
segera berangkat," pak Tariski memerintah. "Kita harus mengejar
waktu yang hilang."
"Akan kulaksanakan," jawab MacIntyre.

"Nah, sampai ketemu lagi, anak-anak muda." Ia meninggalkan


kantor dan mereka mendengar ia berteriak memerintahkan untuk
berangkat.
"Kami akan mengikuti iring-iringan," kata Joe kepada pak
Tariski. Ia dan Frank menuju ke mobil mereka dan tak lama kemudian
iring-iringan itu mulai bergerak di jalan menuju Burlington.
Sirkus itu merupakan tempat tinggal bagi mereka yang menjadi
anggotanya. Semua perlengkapan selalu dibawa ke mana pun pergi,
termasuk tenda besar atau big top yang menjadi nama sirkus tersebut.
Tentu itu sangat besar karena cukup untuk melingkupi tiga buah arena
untuk pertunjukan yang terus-menerus, dan cukup tinggi bagi para
pemain trapeze dan permainan tali.
Pada setiap tikungan jalan, Frank dan Joe dapat melihat seluruh
iring-iringan. Mula-mula truk kantor pak Tariski, dari mana ia
membagikan selebaran sebagai iklan sirkus. Selanjutnya kendaraankendaraan yang memuat kandang-kandang harimau, beruang dan
gajah. Ada pula kandang yang dilapis kaca bagi ular, dan menyusul di
belakangnya kera-kera, kuda-kuda bagi para penunggang akrobatik.
Di belakang mereka, yang disusul pula oleh truk-truk peralatan,
adalah truk-truk tempat tinggal para pekerja serta kereta-kereta
gandengan tempat tinggal para pemain.
"Ini sebuah kota beroda!" Joe berkata dengan kagum, setelah
menghitung jumlah kendaraan. "Kita dapat memberikan tempat bagi
seluruh penduduk Bayport di kendaraan-kendaraan itu."
"Nanti kita lakukan pada waktu ada pertandingan sepakbola,"
Frank melawak. "Hal ini tentu akan memecahkan masalah parkir di
stadion!"
Iring-iringan itu berjalan melalui pedesaan Vermont. Pohonpohon yang memayungi jalan menyapukan cabang-cabangnya di atap
kendaraan-kendaraan, dan daun-daun berguguran. Burung-burung
beterbangan semakin tinggi dan hinggap di pohon-pohon yang tinggi.

Kelinci-kelinci, tupai-tupai dan tikus-tikus pohon berlari-larian


mendengar suara kendaraan yang mendekat.
Ketika iring-iringan itu melewati kota-kota kecil, para
penduduk keluar untuk melihat. Mereka memagari jalan, tertawa-tawa
dan berteriak-teriak. Para orangtua mengangkat anak-anaknya tinggitinggi agar dapat melihat para pemain dan binatang-binatang. Banyak
orang yang melambai-lambai kepada Frank dan Joe yang menutup
iring-iringan dengan mobil mereka.
Joe tertawa.
"Mereka mengira bahwa kita juga termasuk anggota sirkus,
Frank."
"Ya. Sandow si orang kuat dan Leo si penjinak singa!" Frank
melucu.
"Aku lebih senang memilih sebagai badut," kata Joe. "Itulah
yang kumainkan di pertunjukan di Bayport belum lama ini. Aku lebih
senang memakai celana gedombrongan serta makeup, daripada
bermain dengan singa."
Iring-iringan sampai pada suatu bagian jalan yang sedang
dibetulkan, lalu membelok masuk ke jalan tanah hingga banyak
mengepulkan debu.
Tiba-tiba truk terdepan berhenti, hingga yang berada di
belakang terpaksa berhenti pula. Frank dan Joe mendengar teriakanteriakan dari depan. Orang-orang menjenguk dari jendela, untuk
melihat apa yang sedang terjadi, tetapi rupanya tak ada yang tahu.
Setelah menunggu beberapa menit, Joe berkata: "Mari kita lihat,
ada apa sebenarnya."
Ia dan Frank turun dari mobil mereka dan berjalan kaki
melewati sepanjang iring-iringan ke bagian depan. Di sana mereka
melihat truk yang membawa kandang singa dan harimau macet
terperosok ke dalam lubang. Salah satu roda belakang nampak hendak

terlepas dari asnya. Di sana mereka melihat apa yang menyebabkan


iring-iringan itu berhenti.
"Ada apa?" tanya Frank kepada Tony Prito, pengemudi truk
itu.
"Aku terperosok ke dalam lubang, dan salah satu roda hendak
lepas," Tony menggerutu.
Pak Tariski nampak bingung. Ia mengedip-ngedipkan matanya
dan menggosok-gosokkan kedua tangannya.
"Dasar nasib!" katanya tertahan. "Kita sudah terlambat, lagi.
Kita harus segera berangkat!"
Biff, Phil dan Chet mengambil alat-alat, dan dengan
menggunakan dongkrak hidrolik berhasil menahan roda. Kemudian
mereka menggali di belakang truk. Akhirnya mereka memberi tanda
kepada Tony untuk menjalankan truknya. Tetapi roda-roda hanya
berputar tanpa bergerak maju.
Sesaat kemudian Biff merentangkan tubuhnya dan memanggul
sekop di pundaknya.
"Tak ada gunanya. Kita harus menariknya keluar."
MacIntyre berdiri di dekatnya mengawasi. "Menarik sih bukan
masalahnya," katanya. Ia berpaling ke sebuah truk di tengah-tengah
iring-iringan, lalu berteriak: "Bawalah Leah kemari!"
"Bagaimana seorang yang bernama Leah bisa menarik sebuah
truk?" Chet menggumam.
Joe menunjuk ke truk yang mengangkut gajah. "Itulah jawaban
pertanyaanmu!"
Pawang gajah menuntun salah seekor binatangnya ke bagian
belakang truk pengangkut singa dan harimau. Kemudian ia memasang
dua rantai berat pada kedua sisi semacam pakaian kuda dari kulit yang
melintang di bahu gajah. Setelah memasang ujung kedua rantai pada
truk, pawang itu berteriak: "Maju, Leah!"

Dengan seluruh berat tubuhnya gajah itu bergerak maju. Kedua


rantai menjadi tegang. Dengan berjalan perlahan-lahan gajah itu
menarik truk keluar dari lubang. Roda sudah sampai di tepi lubang
berlumpur disertai sorak-sorai para penonton.
Pada saat itu, roda kiri belakang terangkat tinggi ke udara.
Rupanya membentur sebuah batu besar yang tersembunyi di dalam
lumpur, dan bersamaan dengan itu roda kanan belakang semakin
dalam terbenam ke dalam lumpur.
"Terus maju, Leah!" seru pawang gajah itu. Gajah menarik
dengan seluruh tenaganya, dan dengan mendadak salah satu rantai
putus! Truk berputar ke salah satu sisi dan miring dengan sudut yang
membahayakan seperti hendak terguling.
Goncangan itu menyebabkan pasak pintu belakang dari box truk
itu terlepas. Sebuah pintu terbuka. Demikian pula pintu kandang
harimau di dalam box. Dua ekor harimau melompat keluar ke pintu
yang terbuka!

12. PENYELIDIKAN DI SIRKUS

Para penonton menjerit-jerit dan lari menjauhi truk.


"Harimau-harimau itu akan terlepas!" seru MacIntyre. "Tutup
pintu box itu!"
Phil memang sudah lari ke depan. Ia mendorong pintu itu
hingga tertutup dan segera memasang pasaknya kembali. Kedua
harimau itu menabrak pintu hingga bergetar. Tetapi pasak itu bertahan
terhadap benturan itu.
"Kedua harimau itu masih bebas di dalam box!" teriak
MacIntyre. "Kita harus memasukkannya ke dalam kandangnya
kembali!"
Biff mengambil kaleng makanan dari tempat penyimpanannya,
merogoh segumpal daging, lalu melemparkannya melalui jendela box
ke dalam kandang harimau. Kucing-kucing belang itu melompat
mengejarnya, dan Biff dapat memasukkan tangannya ke dalam box,
mengunci pintu kandang.
"Bagus!" Phil memuji temannya.
MacIntyre mengangguk-angguk.
"Kalian berdua pantas dipuji atas kecepatan berpikir kalian.
Nah, oke! Luruskan kembali truk itu!"
Chet pergi ke truk pembawa alat-alat dan kembali membawa
rantai. Ia memasang ujungnya ke pakaian gajah dan ujung yang satu
lagi diikatkan pada truk.
"Leah! Sekali lagi!" seru pawangnya. Gajah melangkah,
menarik roda-roda belakang keluar dari lubang lumpur. Truk itu,
setelah melewati batu, berdiri tegak lagi.
Tony memeriksa roda-roda, ternyata tak ada kerusakan. Dengan
perasaan lega ia naik kembali ke truknya, dan iring-iringan itu mulai

bergerak, meneruskan perjalanan menuju ke Burlington. Karena


keterlambatan itu, mereka tiba setelah hari menjadi gelap. Mereka
berkemah di tempat terbuka di luar kota.
Pak Tariski memanggil para anggota, berkumpul melingkar.
"Di sinilah kita akan mendirikan tenda besar kita," ia
memberitahu. "Pentas untuk pertunjukan tambahan di sebelah kanan,
pintu masuk dan tempat menjual karcis di luarnya. Paling penting,
siapkan semuanya besok pagi-pagi."
Para pekerja dan pemain mulai memasak makanan. Frank dan
Joe pergi ke depan dan menggabungkan diri dengan teman-temannya
dari Bayport. Sementara mereka makan hotdog dan minum air soda di
bawah pohon-pohonan sambil merundingkan keadaan mereka, Frank
dan Joe menjelaskan bahwa mereka bertindak seolah-olah sebagai
wartawan.
"Roda yang kendor dan rantai yang putus itu tentu bukan
kecelakaan," kata Chet. "Ada orang yang memang mengendorkan
baut-baut roda hingga roda itu akan terlepas demikian membentur
lubang. Aku juga yakin, rantai itu telah dikutik-kutik hingga akan
putus demikian mendapat beban. Aku sudah melaporkannya kepada
pawang gajah, tetapi ia tak percaya."
"Barangkali orang menyebabkan semua kecelakaan itulah yang
melakukannya pula," kata Joe.
Frank mengangkat bahu.
"Mungkin lebih dari satu orang, Joe. Mungkin ini melibatkan
suatu gerombolan. Bagaimana misalnya dengan pasak dari pintu box
dan pintu kandang? Bagaimana bisa keduanya terbuka pada waktu
yang sama?"
"Kukira itu juga merupakan sabotase juga," jawab Phil. "Tak
ada kesalahan apa pun pada pasak pintu box di truk. Hanya kurang
benar memasangnya."

"Sama saja halnya dengan pasak di pintu kandang harimau,"


sambung Biff. "Ada orang yang sengaja menggesernya hingga mudah
terbuka pada saat apa yang dinamakan kecelakaan itu terjadi."
"Ini tentu perbuatan orang dalam," Joe menegaskan. "Hanya
orang yang terlibat dengan sirkus yang punya kesempatan untuk
melakukan sabotase yang demikian seringnya!"
Tiba-tiba, sebatang ranting kering patah terinjak di kegelapan di
antara pohon-pohon! Kemudian terdengar langkah-langkah kaki
menerobos semak-semak!
"Ada orang di sana!" bisik Frank. "Ia berusaha mendengarkan
omongan kita. Terus saja berbicara! Akan kutangkap kalau ia
mendekat!" Para pemuda itu lalu mulai berbicara tentang komentar
para penonton sirkus tersebut di surat-kabar. Langkah-langkah itu
semakin mendekat dengan hati-hati, dan berhenti di semak-semak
dekat dengan mereka. Pada saat itu, Frank berdiri dan berkata hendak
mengambil sebotol air soda lagi. Sambil berjalan ke dekat semak
seperti hendak melewatinya, tiba-tiba ia membalikkan tubuh,
melompatinya, dan menimpa seseorang yang berjongkok di balik
semak. Kedua orang berguling di tanah. Biff datang membantu Frank,
dan bersama-sama mereka menyeret tangkapan mereka ke tempat
terbuka. Orang itu bertubuh kecil dan kurus berambut hitam.
"Bones Arkin!" seru Chet. "Si Zombie dari sirkus!"
"Mengapa engkau bersembunyi di sana?" tanya Frank. "Engkau
membayang-bayangi kami?"
"Aku bukannya bersembunyi dan tak membayangi siapa pun,"
Akin menyanggah. "Aku tak dapat tidur, karena itu aku lalu berjalanjalan ke hutan. Bagaimana aku bisa tahu kalian sedang berbincangbincang di bawah pohon? Aku sedang membetulkan tali sepatuku
ketika engkau menerkam!"
Melihat wajah-wajah para pemuda yang kurang yakin, ia lalu
berpaling kepada Frank dan Joe.

"He, kalian! Kudengar kalian wartawan yang hendak meliput


sirkus ini?"
Frank dan Joe mengangguk dan memperkenalkan diri.
"Kami ingin melihat perananmu," sambung Joe.
"Yang terbagus dari pertunjukan tambahan," Arkin membual.
"Membuat penonton takut!"
Frank tertawa.
"Kami akan mengungkapkan pendapat kami setelah melihat
pawang ular."
"Nah, silakan mewawancarai aku setiap waktu," Arkin
menawarkan diri. Ia menguap dan menggeliat. "Jalan-jalan tadi
membuatku mengantuk. Kukira lebih baik aku tidur saja."
Ia ngeloyor pergi ke arah truk tempat tinggalnya.
"Kaukira ia mengatakan yang sesungguhnya?" tanya Biff
kepada teman-temannya.
"Itulah yang harus dapat kita ungkap sebelum perkara ini
terbongkar," kata Frank dengan geram.
Mereka bubaran setelah itu. Frank dan Joe meminjam karung
tidur dari Biff, penanggung-jawab perlengkapan sirkus, lalu
menghamparkannya di tanah dekat mobil mereka.
"Tunggu sebentar," kata Joe. "Rantai yang putus tadi membuat
aku curiga. Chet mengatakan, rantai itu dikikir sampai hampir putus.
Kuduga masih ada lagi alat-alat yang disabotase!"
"Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya," kata Frank. "Mari
kita ke truk pembawa perlengkapan dan memeriksa semuanya
sebelum mereka gunakan besok pagi!"
"Sekarang juga?"
"Tentu! Mengapa tidak?"
Mereka berjalan sepanjang deretan truk yang kini sunyi.
Mereka berhenti di truk pengangkut perlengkapan, membuka pintu
lalu naik. Frank merogoh lampu senter detektifnya. Cahayanya

menerangi sederetan peti-peti yang bertuliskan apa isinya, dari besi


tapal kuda sampai tiang-tiang tenda dan kabel-kabel untuk permainan
jalan di tali.
Mereka memeriksa peti demi peti.
"Rupanya semuanya beres," Frank menggumam.
Kemudian cahaya senternya menerangi rantai yang tergulung di
sudut. Joe memegangi ujungnya dan meraba tepi-tepinya dengan ibu
jarinya.
"Frank, benar sudah dikikir! Salah satu sisi tepinya tajam
bagaikan pisau! Rantai ini tak akan tahan mengangkat kereta anakanak!"
Pada saat itu sebuah lampu senter besar menyala menerangi
bagian dalam truk. Wajah mereka terkena cahaya hingga terpaksa
menutup mata mereka dengan tangan.
"Siapa engkau?" terdengar suara menukas. "Apa yang
kaulakukan di sini?"
Itulah suara Whip MacIntyre. Kedua pemuda itu menurunkan
tangan mereka dan MacIntyre mengenali mereka.
"Frank dan Joe Hardy!" serunya. "Kukira inilah sebagian dari
penyelidikanmu. Kalian menemukan sesuatu?"
Kedua pemuda itu berjongkok di ambang pintu truk. Joe
menunjukkan ujung rantai yang putus.
"Ini!" jawabnya. "Rantai ini bukannya putus secara kebetulan."
MacIntyre memeriksa ujung rantai yang putus.
"Benar," katanya. "Ini sungguh mengerikan. Kuharap saja
kalian dapat mengungkap siapa yang dapat bertanggungjawab dalam
hal ini."
Setelah berkata demikian, pimpinan pertunjukan itu pergi dan
kedua pemuda melanjutkan tugas mereka di dalam truk. Mereka
menuju ke sudut, di mana ditumpuk peti-peti yang isinya alat-alat
yang lebih besar. Mereka memeriksa semuanya dengan cermat.

"Semua beres kecuali rantai itu," kata Frank. "Mereka juga tak
akan menggunakannya lagi."
Mereka berbalik dari sudut ketika mereka mendengar suara
menggeleser dan mendesis di kegelapan, tepat di belakang mereka.
Suara menggeleser itu semakin dekat. Frank menurunkan cahaya
senternya dan tertahan napasnya.
Seekor ular berbisa yang jahat sedang merayap ke arah mereka!
Terpojok di sudut truk oleh peti-peti, kedua pemuda itu tak
mendapatkan ruang untuk menyingkir melewati ular tersebut. Ular itu
menatap mereka dengan mata khas reptilia yang tak berkedip, dan
mulai menggulung tubuhnya hendak memagut Frank yang memegang
senter.
Dengan mati-matian Joe meraba-raba peti, berharap
menemukan sesuatu yang dapat digunakan untuk memukul ular.
"Sibukkan dia, Frank," bisik Joe. "Akan kucoba mencari sekop
atau tongkat!"
"Tetapi cepat!" kata Frank sambil menggertakkan gigi. "Aku
hanya mempunyai senter untuk mempertahankan diri. Terlalu kecil
untuk melawan ular sebesar ini!"
Jari-jari Joe mencengkeram karung kanvas. Ia mengambilnya,
membuka mulut karung itu lalu melangkah maju. Ular boa itu
mengangkat lehernya. Mulutnya menganga dan dengan ganas
memagut Frank.
Tetapi secepat kilat Joe mendorong karung itu di antara kedua
makhluk. Tenaga ular itu memagut mendorong sebagian tubuhnya
masuk ke karung. Dengan cepat Joe mengangkat karung ke atas, dan
seluruh tubuh ular itu jatuh masuk ke dalam karung. Joe melintir
bagian atas dari karung. Tangannya gemetar, tetapi ia menghela napas
dengan lega.

"Joe! Seharusnya engkau menjadi pawang ular!" kata Frank


dengan kagum. "Aku sungguh tak ingin bertengkar dengan makhluk
seperti ini!"
"Barangkali aku lebih cocok ikut dalam pertunjukan
tambahan!" Joe tertawa. Kemudian ia berkata dengan lebih serius:
"Bagaimana ular itu bisa masuk kemari?"
"Tentu ada yang memasukkannya," Frank menduga. "Mereka
tentu tak akan melepaskan seekor boa begitu saja di luar kandangnya.
Binatang ini telah mencoba menyerang kita, Joe. Tukang sabotase itu
telah mengetahui kehadiran kita! Ia melihat sinar senterku di dalam
truk, lalu menggunakan kesempatan itu untuk membawa ular kemari."
"Tetapi bagaimana ia bisa masuk? Kita temui pawang ular ini
besok pagi. Tanyakan, apakah ia bisa mengatakannya."
Setelah mendapatkan seutas tali, Joe mengikat leher karung itu.
Mereka membawa karung berisi ular itu ke mobil mereka dan
meletakkannya di tempat duduk belakang. Setelah itu mereka masuk
ke karung tidur masing-masing dan segera tidur pulas.
Ketika mereka bangun esok paginya, ular itu telah hilang!
Mereka bergegas ke truk yang bertuliskan: REPTILIA,
PAWANG ULAR. Seorang wanita membukakan pintu, pada lehernya
melingkar seekor ular boa constrictor kecil. Kedua pemuda itu secara
naluriah mundur. Tetapi pada saat itu pula mereka segera mengetahui,
bahwa ular itu bukanlah ular semalam, yang telah menyerang mereka.
"Eh.anda tentu Reptilia," Joe menggagap.
"Betul," jawab wanita itu dengan ceria. "Lebih dikenal dengan
nama Jill Morgenstern dari Milwaukee. Tetapi siapa kalian ini? Aku
belum pernah melihat kalian."
Kedua pemuda itu memperkenalkan diri sebagai wartawan yang
meliput sirkus.
"Apakah kebetulan anda kehilangan sesuatu, tadi malam?"
tanya Frank dengan sembarangan. "Apa misalnya?"

"Misalnya ayah dari temanmu di leher itu," kata Joe. "Seekor


boa yang lebih besar."
"Tidak. Tentu saja tidak. Ia masih ada di kandangnya. Ayo,
akan kutunjukkan. Tetapi mengapa kalian menanyakannya?"
Sementara Frank menjelaskan, pawang ular itu membawa
mereka ke sebuah peti dari kaca. Seekor boa yang besar melingkar di
dalamnya.
Sebuah tongkat dengan kaitan dan kawat untuk mengangkat
ular itu terletak di samping kandang. "Yang satu ini terlalu ganas
untuk pertunjukan," kata wanita itu. "Jadi hanya kugunakan sebagai
pameran saja. Menarik banyak pengunjung untuk pertunjukan
tambahan!"
"Apakah dapat seseorang mengambilnya di waktu malam?"
tanya Joe. "Tanpa anda mengetahuinya?"
"Lalu mengembalikannya sebelum anda bangun?" sambung
Frank.
"Bisa jadi," Reptilia mengaku. "Peti kaca ini selalu ada di luar
sini, biarpun aku sedang tidur di belakang dengan pintu tertutup. Juga
sangat mudah mengambil ular ini dengan kaitan itu. Tetapi untuk apa
orang mau melakukannya?"
"Jawablah sendiri," saran Joe.
"Mana aku bisa?" wanita itu menukas. "Apakah engkau
menuduh aku melepaskan ular ini?"
"Ah, tidak. Kami tak mempersalahkan siapa pun," kata Joe
hendak melunakkan. Tetapi Reptilia tidak menjadi lunak.
"Aku harus mempersiapkan pertunjukanku. Lebih baik kalian
pergi."
Kakak beradik itu pergi ke daerah pusat sirkus. "Boa constrictor
yang tadi itulah yang menyerang kita," kata Frank. "Aku cukup
mengamatinya ketika engkau mendapatkan karung itu. Lukisan di

tubuhnya tepat sama. Selain itu, cukup ganas untuk melakukan tugas
yang diharapkan oleh penjahat."
Joe mengangguk, dan membayangkan peristiwa itu dengan
teori-teorinya.
"Coba bayangkan. Tukang sabotase itu melihat cahaya
sentermu di dalam truk perlengkapan, cukup dekat untuk mengenali
kita. Kemudian ia pergi ke truk Reptilia dan mengambil ular itu dari
kandang kacanya dengan kaitan. Sementara itu Reptilia sedang tidur.
Orang itu mungkin membawa ular itu dengan karung. Pokoknya, ia
menyelinap dan melepaskan ular itu di truk."
Frank mengangguk.
"Ia tentu juga mengawasi engkau mengakali ular itu hingga
masuk ke dalam karung, lalu membuntuti kita ke mobil. Kemudian ia
mengambil ular itu dan memasukkannya kembali ke kandang kaca
sebelum Reptilia bangun. Tetapi siapa orang itu? Siapa saja yang
sudah tahu siapa kita sebenarnya?"
"Pak Tariski dan MacIntyre," Joe menegaskan. "Direktur dan
kepala pertunjukan. Mungkin juga anggota-anggota lain mengetahui
pula dari mencuri dengar percakapan kita dengan pak Tariski. Bones
Arkin, misalnya. Ia jelas-jelas sedang mencuri dengar dari kita ketika
ia kuterkam."
Frank nampak kecewa.
"Inilah kesulitannya, Joe! Kita menghadapi terlalu banyak
tersangka!"

13. BAHAYA DI TALI TRAPEZE

Seluruh anggota sirkus sudah bangun sekarang. Tenda-tenda


dan bilik-bilik mulai menjulang di tengah-tengah kesibukan yang luar
biasa. Beberapa orang memukul-mukul tiang-tiang untuk mengikat
tali tenda. Yang lain-lain menghamparkan kain tenda di tanah dan
menentukan di mana tiang-tiang harus dipasang. Kandang-kandang
binatang buas disiapkan pada tempat masing-masing. Tiang-tiang,
kabel-kabel dan trapeze tergeletak di suatu sisi, siap dipasang untuk
pertunjukan yang tinggi di udara. Kuda-kuda untuk para akrobat
ditambat pada sebatang pohon.
Pak Tariski berjalan berkeliling, meneriakkan kata-kata
semangat kerja. "Pertunjukan akan dibuka nanti sore! Siapkan
semuanya! Dirikan tenda besarnya!"
Perintah yang terakhir itu ditujukan kepada tenda raksasa yang
kini terhampar di pusat tempat yang terbuka. Enam orang
mendongkrak tiang-tiang baja ke dalam pipa-pipa sendi yang ditanam
di tanah. Dua ekor gajah mengambil posisi di ujung tenda yang
berhadapan, dan tali temali tiang baja dipasangkan pada 'pakaian kuda'
gajah-gajah tersebut. Keenam orang, dibantu oleh beberapa orang lagi
membuka lipatan tenda besar hingga sampai di tempat gajah dan
ujung yang lain di sisi yang berhadapan.
Setelah diperintahkan untuk berjalan maju yang berlawanan,
kedua binatang raksasa itu menarik tali temali hingga tiang bergerak
terangkat ke atas dan kain kanvas tenda itu dengan sendirinya tertarik
ke tempatnya. Tepi-tepi tenda segera diikatkan pada tiang-tiang piket
di bagian luar. Setelah itu para pekerja menyiapkan bangku-bangku
untuk para penonton di kedua sisi. Mereka menentukan batas-batas

ketiga arena pertunjukan, kemudian memasang alat-alat yang akan


digunakan oleh para pemain.
Frank dan Joe menyediakan diri membantu Biff dan Tony yang
termasuk ke dalam regu pekerja.
"Tenda 'big top' sudah siap," kata Biff setelah menyelesaikan
arena pusat. "Tetapi aku harus memeriksa dulu alat-alat untuk
pertunjukan."
"Aku juga harus memeriksa kendaraan yang akan mengangkut
kandang-kandang dari truknya," kata Tony. "Jangan sampai mesin
mogok bila harimau-harimau itu sudah ada di atasnya!"
Chip MacIntyre mendatangi dan memeriksa arena pusat.
"Bagus," katanya sambil memukulkan cambuknya di sepatu
bootnya. Ia melangkah pergi di antara para pemain yang sedang
berlatih. Gadis-gadis penunggang kuda akrobat berdiri di atas tangan
sementara kuda-kuda mereka berlari-lari mengelilingi tenda. Akrobatakrobat berlompatan dari papan-papan ayunan ke kursi di atas tiang
tinggi. Seorang pemberani pemain tali berjalan-jalan di atas tali,
menjaga keseimbangannya dengan sebatang galah yang dipeganginya
sejajar dengan tanah.
"Tak ada gunanya tinggal di sini," kata Frank kepada Joe. "Kita
hanya akan merintangi gerak mereka saja. Mari kita lihat-lihat di
tempat pertunjukan tambahan.
"Chet dan Phil ada di sana," kata Joe. "Kita lihat, apa yang
mereka lakukan."
Tempat pertunjukan tambahan berupa sebuah tenda yang lebih
kecil, dibagi-bagi menjadi beberapa bilik untuk berbagai pertunjukan.
Melewati bilik "pemakan pedang" dan "penjilat api", mereka sampai
di tempat Reptilia yang sedang membiarkan boa constrictor
kesayangannya melilit lengannya. Kandang kaca yang berisi boa
lainnya yang lebih berbahaya berdiri di atas meja di depan Reptilia.
Pawang ular itu tak menghiraukan ketika mereka lewat.

"Kita bukan orang-orang yang disenangi," kata Frank. "Aku


ingin tahu, yang diperkirakannya mengapa kita kemari."
Joe mengangkat bahu.
"Ia mungkin patut disangka, Frank. Bagaimana kita bisa tahu
siapa yang mengambil ularnya di waktu malam? Dia sendiri mungkin
yang meletakkannya di dalam truk. Tak seorang pun yang dapat
bergaul dengan ular kecuali pawangnya!"
Frank menarik napas panjang.
"Aku mengerti."
Mereka mendapatkan Chet dan Phil di tempat karcis. Phil
sedang duduk di kursi menghitung beberapa gulung karcis, sementara
Chet memasang kawat kasa di atas tungku untuk hot dogs dan
hamburger.
Ia tertawa kepada Frank dan Joe.
"Masih terlalu pagi, bung!" katanya. "Aku belum mulai dengan
daganganku."
"Jangan kauhabiskan sendiri daganganmu," Joe menggoda.
Chet mengedipkan mata.
"Mengapa tidak? Untuk itulah aku mau menerima tugas ini!"
"Eh, tahukah sesuatu tentang Reptilia?" tanya Frank kepada
kedua temannya.
Phil menggigil.
"Aku tak mau dekat-dekat dengan dia. Apa lagi dengan
binatang-binatang itu di dekatnya. Apanya yang kauperhatikan?"
Frank menjelaskan bagaimana ia dan Joe telah diancam ular boa
semalam.
"Ha, jadi Reptilia pantas dicurigai," Phil menyimpulkan.
"Meskipun ia tak bersalah, kuharap saja kita tetap aman terhadap ularularnya."
Mereka meninggalkan teman-temannya melakukan tugas
mereka. Kedua pemuda itu kembali melewati tempat pertunjukan

tambahan, membelok di sudut, dan meneruskan di sepanjang bilikbilik. Tiba-tiba sehelai dinding layar terbuka, dan seorang serdadu
berseragam tentara Hesse muncul mendatangi! Orang itu nampaknya
seperti kesurupan. Wajahnya mengkilat dan putih tidak wajar dan
matanya tak pernah berkedip! Wajahnya tak menunjukkan emosi sama
sekali, tetapi kedua tangannya terjulur kepada mereka!
Kedua pemuda itu terlalu terkejut untuk dapat bergerak. Frank
bulu kuduknya berdiri dan Joe merasa punggungnya merinding.
Tangan serdadu yang mengerikan itu menuju ke tenggorokan
mereka, kemudian menepuk mereka di pundak.
"Ada apa, bung?" tanya serdadu Hesse itu. "Kalian tak
mengenali aku? Aku Bones Arkin."
Kakak beradik itu menjadi tenang kembali. Mereka tersenyum
kecut, karena dibuat terkejut oleh seorang pemain pertunjukan
tambahan.
"Inilah permainan Zombieku," Arkin meneruskan. "Bagus
sekali, ya?"
"Ya, bagus sekali!" Joe mengaku. "Engkau mengejutkan aku
setengah mati. Dari mana engkau mendapat pakaian itu?"
"Dari mana engkau mendapat pikiran untuk menjadi Zombie?"
sambung Frank.
Arkin tertawa.
"Aku selalu berganti peranan di mana-mana. Yang terakhir aku
menjadi Vampir. Di sini, aku memutuskan untuk menjadi Zombie,
karena dongengan itu berasal dari Hunter's Hollow sini."
"Kami memang telah pernah mendengarnya," kata Joe. "Engkau
pernah ke Hunter's Hollow?"
Pemain sirkus itu menggeleng.
"Aku tak ingin bertemu dengan Zombie yang sesungguhnya.
Eh, aku harus berlatih untuk pertunjukan nanti." Dengan berkata
demikian ia kembali ke biliknya dan menutup tirai terpalnya.

"Apakah ia telah berkata benar?" tanya Frank ingin tahu.


"Kulihat seragamnya lengkap kancing-kancingnya."
"Memang," jawab Joe. "Tetapi ia dapat memasang yang baru,
setelah kembali dari Hunter's Hollow. Kalau ia memang ke sana."
Sesudah makan siang, orang-orang mulai berdatangan di sekitar
tempat sirkus. Mereka antri di loket karcis, di mana Phil menghitung
uang yang diterimanya, memberikan uang kembalian serta karcis.
Chet berdiri di belakang meja dagangannya, berteriak-teriak:
"Kacang! Hamburger!" Ia mengenakan topi koki dan kain celemek
putih, serta membalik-balikkan hotdog dan hamburger dengan garpu
panjang di atas panggangan.
Frank dan Joe melangkah seenaknya ke tempatnya dan melihat
dia membuka kue rol dan mengisinya dengan hotdog. Ia
memberikannya kepada seorang anak yang segera memakannya
sambil berjalan pergi.
"Chet, engkau pantas menjadi koki," kata Frank dengan tertawa.
"Aku tahu," jawab Chet. "Kukira aku akan segera mendapat
pekerjaan di Rumah Makan Bayport. Setelah ini, aku menjadi
profesional."
Frank dan Joe mengikuti orang-orang melewati bilik-bilik
pertunjukan tambahan menuju ke tenda besar. Mereka sampai ketika
parade pembukaan sedang dimulai.
Paling depan rombongan pemusik memainkan lagu mars.
Disusul oleh MacIntyre yang berpakaian kegemarannya sambil
melambai-lambaikan cemetinya kepada para penonton. Ikut pula
sepasang badut, masing-masing membawa seekor monyet di
pundaknya. Tukang sulap dan akrobat-akrobat menyusul, diikuti oleh
seniman-seniman pemain tali tinggi dan trapeze. Anak-anak berteriakteriak kesenangan dan orang-orang dewasa bertepuk tangan ketika
para gadis penunggang kuda masuk. Kemudian menyusul gajah-gajah,

beruang-beruang dan harimau serta singa yang ditarik dalam


kandangnya.
Biff dan Phil menggabungkan diri pada Frank dan Joe.
"Aku diwajibkan memeriksa alat trapeze," kata Biff.
"MacIntyre mengatakan kepadaku untuk melakukan hal itu, di waktu
luang antara parade pembukaan dan pertunjukan pertama."
Beberapa menit kemudian ia berjalan melintasi arena ke tangga
yang tinggi, lalu memanjat ke atas sebuah panggung kecil yang sangat
tinggi. Sebuah papan trapeze terikat pda sebuah kaitan di salah satu
batang logam yang mencuat dari panggung.
Biff memeriksa peralatan tersebut, dan menghentak keras pada
trapese, untuk memeriksa apakah cukup erat disekrupkan pada talinya.
Tiba-tiba kaitan terlepas dari batang. Trapeze terlepas dari
pegangannya dan berayun-ayun di udara.
Karena kehilangan keseimbangan, Biff jatuh dari panggung
kecil. Sambil menjerit ia meluncur ke tanah.

14. BADUT PENYELAMAT

Teman-teman sudah ketakutan ketika Biff jatuh berjumpalitan


dari panggung kecil, dan para penonton menjerit-jerit panik.
Dari sudut matanya, Biff melihat trapeze berayun sedikit di atas
kepalanya. Dengan nekat ia meraihnya. Sepersekian detik kemudian
tangannya merasa membentur palang trapeze. Jari-jarinya segera
mencengkeram, dan sesaat kemudian trapeze itu mengayunkan
tubuhnya di udara!
Para penonton berdiri, menjerit-jerit. Suara mereka bergema di
dalam tenda raksasa, sementara Biff melayang-layang tinggi di atas
kepala mereka. Sampai pada akhir ayunan, Biff melepaskan
pegangannya dan mendarat di panggung seberang.
Ia memegangi pagar untuk memperkuat berdirinya, kemudian
dengan perlahan-lahan memanjat turun. Kedua lututnya gemetar atas
pengalamannya yang mengerikan.
Pemuda-pemuda Bayport menahan napas dengan rasa lega,
tetapi para penonton menjadi panas. Mereka melonjak-lonjak,
berteriak bahwa sirkus ini terlalu berbahaya. Sebaiknya tutup saja!
Para anggota polisi berteriak-teriak untuk menenteramkan mereka.
Mac Intyre bergegas ke tengah-tengah arena dan minta agar
mereka tenang. Tetapi suaranya tenggelam oleh para penonton.
Mereka semakin tak terkendali, dan pemimpin pertunjukan terpaksa
meninggalkan arena setelah beberapa menit berusaha memulihkan
keadaan.
Mereka sudah tak terkendali," kata direktur. Ia berkata dengan
tegang sambil berdiri di dekat pintu masuk.
"Apa yang harus kita lakukan?"

Tiba-tiba seorang badut mendesak dia ke pinggir dan memasuki


arena. Wajahnya diwarnai merah dan putih, dan matanya dilingkari
dengan warna hitam. Ia memakai topi tinggi yang sudah koyak-koyak,
celananya kedodoran. Sepatunya melengkung ke atas bagian
depannya. Di tangannya terdapat sebatang tongkat yang diputarputarnya, dan di pundaknya bertengger seekor monyet.
Para penonton menjadi lebih tenang sedikit, melihat badut itu
berjalan sambil meniup pita-pita kertas ke arah penonton. Ia berhenti,
lalu bersandar pada tongkatnya yang segera melengkung. Ia jatuh
sambil berteriak, topinya menggelinding terlepas. Monyet itu
mengambilkannya, lalu berlari kembali ke pundaknya, memasang topi
itu di atas kepala si badut.
Para penonton tertawa sambil bertepuk tangan. Banyak
penonton yang mulai duduk kembali, dan badut itu memendekkan
tongkatnya seperti teleskop dan membawanya dengan dikepit. Ia
berjalan lagi sambil meniup pita-pita kertas. Si Monyet melepaskan
topi badut itu, lalu melambai-lambaikannya kepada para penonton.
Para penonton bersorak-sorai. Kini hampir semua telah duduk kembali
untuk menonton pertunjukan berikutnya.
Sementara perhatian penonton terpusat kepada badut dengan
monyetnya, Biff keluar dari arena dan kembali kepada temantemannya dari Bayport. Badut itu melenggang di seputar arena, lalu ke
arah pemuda di sisi lain.
Setelah para pemuda memberi selamat kepada Biff dan
ketegangan telah mereda, Frank menunjuk ke si badut.
"Ia bertindak luar biasa," katanya kagum. "Ia juga mendapat
tepukan riuh," kata Phil pula.
"Ia memang berhak untuk itu," Tony menegaskan. "Ia telah
mencegah kepanikan!"

"Itulah yang tepat," kata Biff. "Aku sudah ngeri kalau mereka
akan membuat onar ketika aku turun tadi, dan aku juga tak mau
mengambil risiko untuk kedua kalinya!"
Badut itu menyelesaikan lenggang-lenggoknya memutari arena.
Monyet itu turun dari pundaknya lalu membungkuk melewati topinya.
Badut itu ikut membungkuk memberi hormat, dan keduanya dengan
bergandengan pergi menuju jalan keluar.
Para penonton bersorak-sorak dan minta agar sirkus dilanjutkan.
MacIntyre bergegas ke arena kembali. Dengan suaranya yang keras ia
memperkenalkan para akrobat senam dan beruang-beruang, yaitu
pertunjukan yang akan dilaksanakan di kedua arena pertunjukan
tambahan.
Sementara itu, si Badut berhenti di depan para pemuda, yang
memberikan selamat atas penampilannya. Ia melonjak-lonjak sambil
tersenyum menyeringai, kemudian bertanya dengan suara besar parau:
"Mana Joe Hardy?"
Para pemuda itu melihat ke sekeliling. Mereka bahkan tak
menyadari bahwa Joe tidak bersama mereka!
Frank menggaruk-garuk kepalanya.
"Aku tak tahu di mana dia"
Badut itu menari memutari dia.
"Aku ada di sini," kata Joe.
Frank dan teman-temannya membalikkan tubuh, tetapi tak
melihat Joe.
"Mana?" mereka bertanya bersama-sama. Senyuman si badut
semakin lebar sambil menunjuk dirinya sendiri. "Inilah Joe!"
"Aku memikirkan bagaimana dapat menghentikan panik," ia
menegaskan. "Dan kupikir, beberapa lelucon adalah yang terbaik. Aku
lalu berlari ke kamar pakaian para pelawak, tetapi mereka tidak ada.
Di saat itu pula aku memutuskan untuk bermain sendiri. Aku
mengenakan pakaian dan make up, membawa si monyet yang

kukeluarkan dari kandangnya. Aku sudah melihat cara-caranya pada


waktu mereka berlatih. Yang lain secara improvisasi saja."
Kedua orang badut sirkus mendatangi, mulutnya ternganga
melihat Joe yang segera meminta maaf karena menggunakan
perlengkapan mereka.
"Janganlah meminta maaf!" kata salah seorang badut. "Kami
sungguh gembira engkau mau melakukannya. Engkaulah yang
memungkinkan pertunjukan ini berlangsung terus, dan engkau juga
telah melakukannya dengan hebat!"
"Kami mengamati engkau dari sisi lain," kata badut yang
seorang lagi. "Engkau sungguh tepat menyentuh para penonton!"
Joe menjadi agak malu karena pujian-pujian itu, lalu beranjak
pergi untuk melepaskan perlengkapan badut dan berganti pakaiannya
sendiri.
Pada saat itu para pemain trapeze masuk melalui pintu masuk.
Biff menjelaskan kepada mereka tentang kait yang kendor.
"Ha, karena itulah engkau melakukan lompatan maut itu!" kata
pemain wanita. "Kami sungguh gembira engkau tak apa-apa."
"Kami akan membawa kaitan yang baru dan menyekrupnya
dengan kuat," kata pasangannya. "Kami tak ingin cepat-cepat sampai
di tanah, seperti yang hampir saja kaulakukan!"
Mereka mengucapkan terimakasih kepada Biff yang telah
mengamankan keadaan alat-alat trapeze, kemudian pergi untuk
menyiapkan diri. Pak Tariski mampir untuk bercakap-cakap dengan
para pemuda sejenak, dan mengatakan hendak berbicara sedikit
dengan badut yang berpikiran cepat untuk menyelamatkan
pertunjukan.
"Itu dia datang," kata Frank sambil menunjuk ke Joe yang telah
berganti pakaian.

"Joe!" seru pak direktur. "Akalmu sungguh hebat! Dan engkau


juga telah berperan sangat bagus. Dengan senang hati aku mau
membayar engkau sebagai badut sekarang juga!"
Joe tertawa.
"Sayang aku telah mempunyai pekerjaan, meskipun kami belum
memperoleh kemajuan. Tetapi kecelakaan yang hampir menimpa Biff
bukanlah sekedar kecelakaan! Itu jelas sabotase!"
Biff mengangguk.
"Baut yang ada pada kaitan itu lepas sekrupnya. Tentu ada
orang yang naik ke sana selama yang lain-lain berlatih."
Wajah pak Tariski menjadi pucat, hingga lingkaran-lingkaran
yang hitam di bawah matanya semakin jelas.
"Kecelakaan-kecelakaan ini menjadi semakin berbahaya saja,"
ia meratap. "Engkau dapat terbunuh!" Kemudian ia menegakkan
tubuhnya, dan berkata dengan tegas:
"Anak-anak muda, kalian harus melipatgandakan usaha kalian
untuk menemukan penjahat yang bertanggungjawab atas semua ini.
Kalau tidak, tentu akan terjadi sesuatu yang mengerikan!" Sambil
berkata demikian ia melangkah pergi.
"Itu lebih mudah dikatakan daripada dikerjakan," kata Joe.
"Kita masih juga . . "
Ia terhenti oleh pengatur acara yang mengatakan: "Siapkan
singa!"
"Ini tugas kita," kata Phil kepada Biff dan Tony. Ketiga-tiganya
lalu beranjak menuju ke tumpukan sejumlah kerangka-kerangka besi
yang berjeruji besi dari atas sampai ke bawah. Mereka menumpuk
kerangka-kerangka itu ke atas gerobak bermotor. Tony, serta Biff dan
Phill di sampingnya, mengendarainya ke arena. Mereka meletakkan
kerangka-kerangka itu ke tanah berbentuk segi empat. Kemudian
Tony mengambil sebuah kunci Inggris dan memutar sekrup-sekrup
pada sambungan-sambungannya.

Ketika ia telah selesai, mereka kembali dengan gerobak itu ke


pintu masuk. Pawang singa mengawasi mereka menggandengkan
kadang-kandang singa kepada gerobak tersebut. Tony membawa
kandang-kandang itu ke pagar besi, berderet di depan pintu pagar.
Pawang singa menggiring binatang-binatang itu masuk ke pintu, lalu
dia sendiri juga masuk dan mengunci pintu pagar di belakangnya.
Ia menggunakan singa, harimau dan macan tutul pada
pertunjukan itu. Sambil melindungi dirinya dengan sebuah kursi kecil
dan membunyikan cambuknya, ia menyuruh binatang-binatang itu
melompat melalui lingkaran besi, berlari-lari memutar, lalu melompat
ke bangku masing-masing. Di bangku-bangku itu mereka mengaum
dan menggeram.
Sambil memukul-mukul ke arah kursi, mereka menggigit
cambuk pawangnya. Tetapi mereka selalu mematuhi perintah-perintah
pawang. Para penonton bertepuk-tepuk keras ketika pawang itu
membungkuk memberi hormat.
Frank menyentuh Joe.
"Memang senang melihatnya, tetapi kita mempunyai tugas.
Mari kita selidiki apa yang terjadi di bagian lain-lain."
"Aku ikut," Chet menawarkan diri. "Aku bebas tugas sampai
pertunjukan utama berakhir."
Tempat pertunjukan tambahan berada dalam kegelapan ketika
mereka sampai di luar. Mereka berjalan melewati bilik-bilik yang
kosong hingga sampai ke bilik Arkin. Di sana mereka melihat tulisan
yang berbunyi: PAKAIAN GAIB!
"Mari kita lihat," Frank mengusulkan.
Mereka masuk dan berjongkok mengelilingi sebuah peti. Frank
mengangkat tutupnya. Yang pertama-tama mereka lihat adalah
pakaian Vampir. Topeng karetnya mempunyai dua buah taring yang
mencuat ke bawah pada kedua sisi mulut.

"Aku tak ingin bertemu orang yang mengenakan perlengkapan


ini di kuburan atau di malam gelap!" kata Chet dengan menggigil.
Frank mengeluarkan pakaian Vampir itu dan meletakkannya di
samping peti.
"Bagaimana kalau yang ini?" ia bertanya, memegangi sebuah
topeng serigala siluman yang menyeringai ganas.
Chet menyengir, dan Frank mengeluarkan berikutnya dari
dalam peti. Itulah perlengkapan Zombie.
"Tak ada yang menakutkan pada yang ini," kata Chet. "Hanya
seperangkat seragam."
"Karena tak beserta topengnya," Joe menjelaskan. "Arkin hanya
menggunakan cat putih di wajahnya."
Frank mengernyit.
"Aku ingin tahu, apakah Zombie yang ada di Hunter's Hollow
itu memakai topeng atau hanya cat," katanya. "Kita belum pernah
demikian dekat dengannya untuk dapat mengetahuinya."
"Kukira tentu topeng," kata Joe. "Karena jauh lebih mudah
melepaskannya dari pada menghapus cat. Dan Zombie kita itu harus
dapat dengan cepat berganti rupa. Ia tentu tak mau kepergok dengan
wajah bercat putih!"
Frank memegangi seragam tentara Hesse dan merogohi sakusakunya.
"Kosong," katanya. "Tak sebutir pun ada peluru untuk senapan
musketnya. Kancing-kancingnya juga nampaknya tak ada yang pernah
terlepas sejak dibuatnya. Tidak, ini bukan seragam yang kita lihat di
Hessian Hotel. Tetapi Arkin mungkin saja mempunyai seragam lain
yang disembunyikan entah di mana."
Ia membalikkan leher baju seragam itu dan terdapat label yang
berbunyi: BARTON'S OF BURLINGTON.
"Lebih baik kita tanyakan di Barton's, siapa saja yang telah
membeli seragam begini akhir-akhir ini," kata Frank. Ia

mengembalikan pakaian-pakaian itu ke dalam peti, ketika tiba-tiba


mereka mendengar suara di belakang mereka.
"He, sedang mengapa kalian?" suara itu menggeram dari pintu!

15. SARANG SINGA

Para pemuda itu melompat bangun dan menghadapi Bones


Arkin. Orang itu memegang sebilah pedang dan mengayunayunkannya dengan ganas sambil melangkah masuk. Dengan kecut
para pemuda itu memencar, siap untuk mempertahankan diri. Tetapi
Arkin hanya membuka tutup peti dan memasukkannya pedang itu ke
dalamnya.
"Ini termasuk seragam tentara Hesse," ia menjelaskan. "Aku
baru saja melatih diri di belakang ketika kudengar kalian kemari.
Mengapa kalian tertarik akan pakaian-pakaianku?"
"Kami.eh.menyenangi peran anda," kata Chet. "Karena itu
kami kira anda tak berkeberatan kalau kami melihat-lihat
perlengkapan anda."
Arkin nampaknya senang.
"Tak apa," katanya. "Lihat saja apa yang kalian senangi."
"Kami sudah melihatnya," kata Frank. "Topeng-topeng itu
sungguh hebat. Cukup untuk menyebabkan para penonton bermimpi
buruk!"
Arkin tersenyum mendengar pujian itu. Ketiga pemuda Bayport
itu melambaikan tangan ketika keluar dan meneruskan penyelidikan di
sepanjang tempat pertunjukan tambahan yang telah gelap. Mereka tiba
di tempat kendaraan-kendaraan sirkus dan sampai kepada truk yang
mengangkut kucing-kucing besar itu.
"Kandang-kandang semuanya sedang ada di tenda besar," kata
Chet dengan mata bersinar. "Berarti truk ini telah kosong. Tahukah
kalian? Aku akan masuk untuk mengetahui bagaimana rasanya ada di
sarang singa!"

Sebelum Frank dan Joe dapat berkata apa pun, Chet mendorong
palang pintu dan membuka pintu truk. Sambil melompat ia naik dan
melangkah di lantai yang dialasi dengan jerami. Sebuah kursi rotan
untuk seorang pawang berdiri di dekat dinding. Chet mengambilnya
lalu mengangkatnya. "Tak ada apa-apanya menjadi pawang penjinak
singa," katanya. "Aku dapat menggunakan kursi ini dengan satu
tangan. Sekarang yang kubutuhkan hanya seekor singa saja!"
Jawabannya adalah auman yang keras. Dari sudut yang gelap di
sisi lain, seekor singa bangkit berdiri dan melangkahkan kakinya
menuju pemuda itu. Ekornya mencambuk-cambuk dengan gugup.
Singa itu mengaum berulang-ulang!
Chet terkejut menahan napas dan menjadi pucat. Matanya
menjadi bulat bagaikan cawan! Terpukau, tangannya tetap kaku
memegangi kursi di depannya. Melihat nasib temannya, Frank dan Joe
naik ke truk. Dengan nekat mereka melihat ke sekeliling mencari
senjata untuk mencegah singa menerkam temannya. Tetapi tak ada
sesuatu pun kecuali kursi yang dipegangi Chet.
"Kita tak dapat berbuat sesuatu untuk menolong Chet," Frank
mendesis. "Kita hanya bertangan kosong!"
"Mungkin singa ini tak akan menyerang kita bertiga," kata Joe
dengan penuh harapan. Tetapi suaranya terdengar sumbang.
Tepat pada saat itu, singa itu berhenti di depan kursi. Sambil
menyeringai ia menggigit salah satu kaki kursi. Kemudian ia
membaringkan diri, meletakkan dagunya ke atas kedua cakarnya,
menutup mata, lalu tidur! Para pemuda itu melihat bulu kulitnya kusut
dan rambut surinya sangat jarang.
Rambut di ujung ekornya pun sudah hampir habis.
Joe tertawa.
"Seekor singa tua!" katanya. "Aku yakin, ia sudah tak dapat
melakukan pertunjukan lagi, karena itu ditinggalkan di sini."

"Bagaimana pun juga janganlah mengambil risiko," Frank


memperingatkan. "Lebih baik kita keluar sebelum ia bangun."
Chet pulih dari pesona, meskipun kedua matanya masih
terbelalak. Ia meletakkan kursinya dengan hati-hati di depan singa itu,
lalu melangkah perlahan-lahan mundur, keluar dari truk. Frank dan
Joe mengikuti, dan Joe segera memasang palang pintu.
Chet menyeka peluh dari dahinya dengan punggung tangannya
dan menghembuskan napasnya.
"Chet, karirmu sebagai penjinak sudah habis," kata Joe
menggoda.
"Lho, aku telah menghentikan singa itu dengan kursiku,
bukan?" Chet menantang. "Itulah yang diperbuat oleh pawang singa!"
Joe meletakkan tangannya pada palang pintu seperti hendak
mengangkatnya.
"Kalau begitu, barangkali engkau masih mau melanjutkan
perananmu?"
Chet menyisih dengan cepat.
"Ah, jangan. Jangan sekarang. Akuaku perlu sebotol air soda.
Tenggorokanku seperti kering."
Mereka mampir untuk minum, lalu kembali ke tenda besar. Di
bawah perintah MacIntyre, gajah-gajah yang terlatih berkeliling di
salah satu arena, sementara di arena lain anjing-anjing laut menimangnimang bola di ujung moncongnya. Akhirnya pertunjukan berakhir.
Setelah semua penonton keluar dari tenda besar, pemimpin
pertunjukan memadamkan lampu-lampu lalu pergi menuju ke truknya.
Frank dan Joe berunding yang terakhir dengan teman-temannya
untuk malam itu.
"Kita telah mendapatkan nol besar. Arkin rupa-rupanya tak
perlu dicurigai. Kita juga tak dapat membuktikan Reptilia dengan
sengaja melepaskan ular boa. Yang kita ketahui ialah, bahwa tukang
sabot itu tetap giat seperti semula."

"Eh, mengapa kalian berdua tak kembali ke Hunter's Hollow


dulu, untuk mengetahui barangkali ada sesuatu yang baru di sana?"
Biff menyarankan. "Kami akan mengawasi Arkin dan tetap membuka
mata untuk sesuatu yang tidak wajar."
Phil mengangguk.
"Kedokmu tak akan bertahan lebih lama lagi," katanya.
"Maksudku, berapa lama wartawan dapat berkeliaran secara sah?"
"Aku memang berpikir demikian," Frank mengaku.
"Mengapa kalian tak memberikan nomor telepon Rolf di rumah
tempat indekosnya kepada kami?" Tony menyarankan pula. "Dengan
demikian kami dapat mengirimkan pesan-pesan, meskipun kami
sendiri tak sempat menemui kalian."
"Akal yang bagus," kata Joe, lalu menuliskan nomor telepon itu
pada secarik kertas dan memberikannya kepada Tony. "Kuharap saja
akan muncul seseorang yang meninggalkan petunjuk-petunjuk,"
sambungnya dengan penuh harapan.
Esok berikutnya, kakak beradik itu berkendaraan ke Barton's of
Burlington. Ternyata merupakan toko pakaian yang mengkhususkan
diri membuat pakaian-pakaian untuk sandiwara dan pertunjukan lain.
Ketika Frank bertanya tentang seragam tentara Hesse,
petugasnya memeriksa ke dalam bukunya.
"Kita hanya membuat satu perangkat," katanya. "Dipesan oleh
Tuan Arkin dari the Big Top Circus."
"Tak banyak artinya," kata Joe ketika mereka keluar dari toko.
"Ini berarti, bahwa Arkin adalah satu-satunya setan itu di daerah
ini, atau Zombie di Hunter's Hollow telah membeli pakaiannya di
tempat lain."
"Mari kita cari buku telepon dan menelepon toko-toko yang
lain," Joe mengajukan saran.
"Akal bagus."

Mereka berhenti di tempat telepon umum dan melihat-lihat di


buku telepon. Ternyata ada dua toko lagi yang mengkhususkan diri
membuat pakaian sandiwara, tetapi mereka tidak pernah menjual
pakaian tentara Hesse.
"Jalan buntu lagi," Joe menggerutu. "Apa lagi selanjutnya?"
"Kita temui Rolf."
Tetapi ketika mereka tiba di pondokan Rolf, baik Rolf maupun
Lonnie tidak ada. Frank menelepon studio, tetapi kedua pemuda itu
juga tidak berlatih.
"Tak ada gunanya menunggu mereka sampai datang," kata
Frank. "Mari kita kembali ke Hunter's Hollow. Mungkin telah terjadi
sesuatu selama kita tinggalkan rumah Rolf."
Mereka berangkat dari Burlington dan membelok ke jalan yang
melewati pertanian pak Noah Williamson. Mereka bertemu pak
Williamson bersama isterinya yang sedang mengendarai mobilnya
keluar dari halamannya. Kedua mobil berhenti hampir bersentuh
bumper, dan kedua pemuda lalu turun dan datang menghampiri.
Kali ini petani itu sangat ramah, dan dengan malu-malu
meminta maaf atas penahanan mereka di rumahnya.
"Kami tak menyadari ada polisi gadungan yang menyuruh kami
menahan kalian, sampai polisi memastikannya," ia mengaku.
"Ah, tidak apa-apa," kata Frank. "Jangan pikirkan hal itu."
Kedua pihak tak menyebut mobil yang rusak. Sebaliknya,
nyonya Williamson menjulurkan kepalanya dari jendela dan bertanya:
"Ke mana saja kalian kali ini?"
"Kembali ke rumah keluarga Allen," jawab Joe. "Kami masih
saja berusaha menemukan orang yang melakukan kebakaran hutan ...."
"Jangan!" Nyonya itu memotong. "Kami baru saja melewati
rumah itu, dan kami melihat Zombie!"

16. PERMAINAN SUDAH HABIS

Kedua pemuda itu menjadi tegang mendengar berita itu.


"Apakah ia melihat anda?"
"Tidak. Tetapi ia mengintai-intai di hutan sana. Jangan pergi, ia
akan berbuat jahat terhadap kalian."
"Tetapi kami harus ke sana," kata Joe kepadanya. "Jangan
kuatir, kami akan berhati-hati."
"Ingat, tak ada yang dapat memberikan lindungan melawan
yang gaib!" katanya sambil menoleh karena suaminya telah
menjalankan mobilnya. "Kalian tak dapat lolos dari si Zombie!"
Peringatan itu membuat kedua pemuda menggigil meskipun
mereka tak percaya akan Zombie.
Frank menjalankan mobilnya dan mereka meneruskan
perjalanan. Di dekat rumah keluarga Allen, Joe melihat suatu gerakan
yang samar-samar di hutan.
"Tahan, Frank," ia mendesak. "Ada orang di sana. Ia berusaha
untuk tidak diketahui orang."
Frank memarkir mobilnya di belakang serumpun pohonpohonan. Kemudian mereka menyelinap melalui rumpun itu ke
sebuah tikungan di jalan. Di sana mereka menyeberang dan berjalan
ke arah rumah, mengendap-endap di balik pohon-pohon dan semaksemak. Mereka melihat sekilas warna merah dan biru di kejauhan.
"Seragam tentara Hesse!" bisik Frank. "Ia sedang menyelinap
ke arah tempat terbuka di sana itu."
Kedua pemuda itu mengikuti, mengendap dari lindungan ke
lindungan. Mereka sampai di tanah di balik rumpun rondodendron,
ketika sosok tubuh itu menoleh ke belakang. Dengan menguak

ranting-ranting, mereka melihat wajah putih yang menatap tanpa


emosi.
"Kuharap saja ia tak mengira kita ada di sini," Joe menggumam.
"Sedang mengapa dia itu?"
"Ssst diam!" bisik Frank.
Zombie itu berlutut di dalam semak-semak dan mengeluarkan
sesuatu dari sakunya. Kemudian korek api menyala. Sesaat kemudian
nyala api meretek-retek di ranting-ranting kering.
"Ia sedang membakar!" Joe mendesis, sementara tukang bakar
itu berdiri dan lari ke dalam hutan.
Kedua pemuda itu melesat maju. Mereka segera menginjakinjak api yang dengan cepat menjalar di semak-semak. Usaha itu
memakan beberapa menit sampai mereka yakin telah memadamkan
api. Hanya beberapa meter persegi semak-semak yang hangus.
"Ke mana maling cilik itu?" tanya Joe dengan geram sambil
menegakkan badannya.
"Kukira ke rumah. Mari kita coba, barangkali kita dapat
menangkapnya."
Kedua pemuda detektif itu menyelinap melalui hutan ke
halaman depan. Tiba di tanah terbuka, mereka merangkak
melintasinya sampai ke serambi. Kemudian mereka melompati pagar,
membungkuk melewati sebuah jendela sampai ke pintu. Joe
mendorongnya perlahan-lahan dengan ujung jari-jarinya dan pintu itu
terbuka. Tetapi tak ada seorang pun di dalam!"
Setelah menunggu beberapa menit, Frank menyelinap masuk ke
kamar depan. Melihat keadaannya kosong, ia memberi isyarat kepada
Joe untuk mengikutinya, dan mereka berjingkat-jingkat ke dapur.
Pintu ruang bawah sedikit terbuka!
Frank menggunakan isyarat-isyarat tangan, memberitahu
adiknya bahwa ia mengira Zombie itu ada di ruangan bawahtanah. Joe
mengangguk, dan mereka menuruni tangga ke kegelapan di bawah.

Tak ada cahaya sedikit pun, dan suara pun tak ada pula. Joe menarik
lengan baju kakaknya ke arah makam di bawahtanah. Mereka telah
mengenal tata ruang di sana, hingga mereka mampu menemukan jalan
di kegelapan, menuju ke dinding yang dapat berputar. Dengan
meraba-raba batu dinding Joe mengetahui bahwa pintu di makam
sedang terbuka. Tak ada seorang pun di dalam, karena itu mereka lalu
masuk.
Frank menyalakan senter detektifnya. Sambil melindungi
sinarnya dengan tangan agar dirinya tak kelihatan, ia menyinari
sekeliling makam. Semuanya masih seperti ketika mereka tinggalkan.
Dengan hati-hati mereka melangkah ke peti mati. Joe mengangkat
tutupnya dan Frank menyinarkan senternya ke dalamnya. Mereka
seperti tercekik!
Rolf Allen tergeletak di dalam peti, pingsan!
"Mungkin dibius," Akhirnya Frank berkata. "Mari kita
keluarkan dia, Joe."
Dengan cepat mereka meletakkan tutup itu di lantai di samping
peLi. Mereka baru saja hendak mengangkat Rolf ketika di ruangan itu
terasa ada cahaya yang redup.
Dengan seketika Frank memadamkan senternya. Ia dan Joe
merapatkan tubuhnya ke dinding.
Cahaya di ruangan bawahtanah itu semakin terang mendekat,
dan suara langkah kaki mulai terdengar mendekat. Sesosok tubuh
membawa lilin menyala masuk dari pintu, menggunakan seragam
tentara Hesse dan topeng putih!
"Ha, itulah wajah si Zombie!" pikir Frank.
Dengan mengangkat lilinnya tinggi-tinggi, Zombie itu segera
melihat bahwa peti telah terbuka. Ia memutar tubuhnya dan melompat
menuju ke pintu rahasia, namun Frank dan Joe menjegal di tengah
lompatannya. Dengan bergedebuk ketiga-tiganya jatuh di lantai. Lilin
padam, dan pergumulan mulai. Tetapi kedua detektif muda itu segera

dapat menguasai musuh mereka. Joe menekan lawannya ke lantai,


sementara Frank menyalakan lampu senternya lagi. Jari-jarinya
meraba bagian dagu dari topeng lalu menariknya terbuka dari kepala.
Zombie itu adalah Lonnie Mindo!

17. PENJELASAN

Frank membuka kaos oblongnya, dan mengikat secara darurat


kedua pergelangan tangan Lonnie, hingga Joe tak susah-susah lagi
memegangi. Sementara itu kakaknya pergi ke dapur mencari tali.
Mereka lalu menggeledah saku-saku Lonnie. Mereka menemukan
sekotak korek api, lalu menyalakan lilin yang terjatuh selama
pergumulan. Korek api itu bertanda Hotel Hesse.
"Persis seperti yang kautinggalkan pada kebakaran hutan yang
pertama, Lonnie," kata Frank.
"Apa yang kaukatakan itu?" pemuda itu menukas.
"Peringatan si Zombie," Joe mengejek. "Ayo, Lonnie, engkau
segera akan ke penjara."
Mereka memaksa Lonnie untuk duduk di sudut, lalu
mengangkat Rolf dari dalam peti. Mereka menggoyang-goyang dan
menepuk-nepuk wajahnya hingga menjadi sadar. Kemudian mereka
membawa Rolf dan Lonnie ke atas. Rolf duduk di kursi sampai
peningnya hilang.
"Dapatkah kauceritakan apa yang telah terjadi?" tanya Frank
kepadanya. "Engkau sudah merasa enak?"
Rolf mengangguk perlahan-lahan.
"Sedikit pusing, tetapi selain itu oke. Kecuali aku tak dapat
percaya.." Suaranya menghilang ketika ia memandangi Lonnie
dengan sedih.
"Rolf, sudah berapa lama engkau mengenal Lonnie?" tanya Joe.
"Aku bertemu dia sewaktu ada rapat kerja para seniman
beberapa bulan yang lalu. Karena ia kekurangan uang, aku
mengundangnya untuk tinggal di rumahku. Kami bergaul dengan baik
dan baru-baru ini bersama-sama mendaftarkan diri untuk kursus

musim panas di Burlington. Aku benar-benar menyangka bahwa ia


adalah teman yang baik . . . . "
Mulut Rolf menjadi keras.
"Ia menipu aku selama ini! Ia mengajakku untuk menyelidiki,
sebab kalian berdua tak mungkin akan dapat memecahkan misteri ini.
Ia mengatakan sesuatu yang aneh mengenai Hotel Hesse, dan ketika
aku mendesaknya, ia mengira bahwa aku mencurigai dia." Rolf
berhenti sejenak sambil menghela napas.
"Sebenarnya aku tidak curiga, tetapi ketika kami turun ke
ruangan makam di bawahtanah, ia menyekap wajahku dengan kain
yang dibasahi dengan kloroform. Sampai di situlah yang kuingat."
"Kemudian ia keluar lagi untuk membakar hutan," kata Joe.
"Untunglah kami dapat memadamkannya dengan segera."
Pada saat itu Lonnie menyadari bahwa ia tak mempunyai
kesempatan lagi. Kepalanya segera terkulai. Frank melihat perubahan
wajah pemuda itu dan mengambil keuntungan dari keadaan itu.
"Bagaimana engkau dapat mengetahui adanya makam di
bawahtanah itu, Lonnie?" ia bertanya.
"Aku menemukannya secara kebetulan," jawab Lonnie. "Di
dalamnya aku menemukan beberapa dokumen. Menurut surat-surat
itu, keluarga Carlton membangun makam itu sebagai makam keluarga.
Carlton yang terakhir memasukkan peti itu, tetapi ia berlayar dari New
Bedford dengan kapal pencari ikan paus menuju ke samudra Pasifik
dan tak pernah kembali lagi. Aku mendapat tahu hal itu dari koran
kuno di perpustakaan Burlington, ketika aku berpura-pura melakukan
riset tentang Shakespeare."
"Jadi tak seorang pun yang tahu tentang makam di bawah tanah
itu," kata Rolf. "Aku yakin orangtuaku pun tak pernah mendengar
tentang hal itu ketika mereka membeli rumah ini."
"Sesuatu yang cocok sekali untuk rencana-rencana Lonnie."
Frank membuat rekonstruksi tentang tindakan kriminal itu. "Rupa-

rupanya, ia menjadi anggota gerombolan penjahat. Pemimpinnya ialah


seseorang yang kami sebut si Suara Tinggi. Dialah yang
memerintahkan Lonnie untuk melakukan pembakaran. Siapa dia itu,
Lonnie?"
"Aku tak mau mengatakannya," pemuda itu berteriak. "Ia akan
melepaskan aku. Tunggu saja!"
"Eh," sambung Frank. "Lonnie mimpi tentang Zombie tentara
Hesse. Ia mengetahui dongengan itu dan dapat melakukannya karena
ia seorang aktor. Lagi pula ia telah berlatih Julius Caesar di studio di
siang hari. Karena ia bermain sebagai Caesar yang dibunuh dalam
babak ketiga, ia dapat pergi, selama sebelum latihan itu selesai." "Ia
dengan mudah dapat kemari dan kembali ke Burlington untuk latihan
hari berikutnya." Joe melanjutkan gagasan Frank. "Dan ia tahu, bahwa
Rolf tak akan mencari dia di pondokan waktu paginya, karena Rolf
harus latihan di pagi hari."
Rolf menggeleng seperti hendak mengatakan, bahwa ia tak
dapat mengerti bagaimana temannya yang baik telah mendustainya.
Joe melanjutkan menganalisa kejahatan itu.
"Makam di bawahtanah itu memberikan persembunyian yang
baik bagi Lonnie untuk menyembunyikan seragam Hesse-nya. Ia
menyimpannya di dalam peti mati, di mana ia dapat mengambilnya
kalau ia datang ke rumah ini. Ia mengenakannya agar tidak dikenali,
dan untuk menakut-nakuti orang yang mungkin memergokinya.
Seperti pak Williamson, misalnya."
"Betul," kata Frank. "Hendaknya engkau tahu, Rolf, ia hanya
berpura-pura menemukan kancing baju seragam tentara Hesse pada
kebakaran yang pertama, untuk mencoba menakut-nakuti engkau agar
mau meninggalkan rumah ini."
"Tetapi sebaiknya aku malah meminta kalian untuk
menyelidikinya," kata Rolf. "Tentu saja ia tak menghendakinya. Aku

bisa tahu sekarang, bahwa ia takut bahwa kalian akan membongkar


misteri ini."
Joe mengangguk.
"Karena itulah ia membuntutimu ke Bayport, hendak
menghalangi engkau untuk bertemu dengan kami. Ia telah mencuri
mobil pak Noah Williamson agar ia tak dikenali. Ketika kami
mengejarnya setelah ia mendorong engkau masuk ke selokan, ia
kembali ke rumah kami dan melihat engkau dari jendela sedang
berbicara dengan kami."
"Tepat," kata Frank. "Kemudian ia ngebut mendahului kami ke
Vermont dan meninggalkan seragamnya di Hotel Hesse, yang
digunakan oleh para penjahat untuk menimbun hasil curian mereka."
"Rencana yang hebat!" Joe mengatakan. "Dialah yang
bertanggungjawab atas peringatan-peringatan si Zombie, dan mencoba
mengurung kami di dalam makam, Yah,..semuanya itu!"
"Itu sudah tentu," kata Frank. "Gerombolan itu membawa
seragam Zombie bersama-sama hasil curian mereka dari the Hessian
Hotel, ketika kami dapat meloloskan diri dari mereka. Rolf, aku berani
bertaruh, sejak itu Lonnie lalu menyembunyikan seragam tersebut di
bawah hidungmu di tempt pomondokan."
Pandangan bersalah di wajah Lonnie menunjukkan, bahwa katakata Frank dan Joe memang benar.
"Nah, akhirnya kita berjumpa juga dengan si Zombie," kata
Frank. "Kami juga tahu beberapa anggota dari gerombolan. Pollard
dan Grimm misalnya. Juga Burrows, yang hanya berpura-pura
menjadi pertapa. Lonnie menyuruh kami ke Burrows untuk
menyesatkan kami, sementara ia melakukan pembakaran hutan
berikutnya. Tentunya ia menjadi takut ketika kebakaran itu tak
terkendalikan lagi, dan hampir saja membakar rumah. Aku yakin,
pimpinan gerombolan tentu tak menghendakinya. Ia mungin
menginginkan rumah itu, tetapi tidak sebagai tumpukan abu."

Lonnie menjadi marah.


"Aku yang menyelamatkan rumah itu!" ia menjerit. "Aku tetap
tinggal di sana untuk mengawasi kebakaran itu. Ketika angin berubah
arah, aku menelepon polisi dan Dinas Kebakaran!"
Rolf memandangi dia dengan tenang.
"Engkau juga menelepon aku di studio, berpura-pura engkau
sedang berada di rumah pondokan. Engkau mengatakan juga bahwa
akan segera berangkat untuk membantu memadamkan api."
Lonnie mengangkat bahu.
"Aku bersembunyi di hutan. Ketika polisi datang, kukatakan
kepada mereka bahwa aku sukarelawan."
"Setelah itu engkau mencoba mengurung kami semua di
makam," Frank menuduh. "Untunglah aku menggeser batu itu ke
lubang dinding sebelum engkau menekan tombol rahasia."
"Nah, mari kita pergi ke kantor polisi untuk menyerahkan dia,"
Joe mengusulkan.
Keempat pemuda itu berdiri. Mereka baru saja hendak
berangkat ketika telepon berdering. Frank mengangkatnya.
Suara tinggi melengking memerintah: "Datanglah ke Hotel
Hesse dalam waktu satu jam ini! Utusanku akan menunggu engkau di
ruangan dansa!"

18. UTUSAN TAK DIKENAL

Tiba-tiba Frank mendapat ilham. Ia menirukan suara Lonnie


dan berkata:
"Aku akan segera ke sana."
Telepon segera diam. Frank melaporkan pembicaraan itu
kepada yang lain-lain.
"Si Suara tinggi, pemimpin gerombolan Lonnie," katanya. "Ia
mengira Lonnie yang menerima dan minta agar Lonnie datang ke
Hotel Hesse dalam waktu satu jam ini."
Joe menyeringai.
"Sayang sekali. Lonnie sedang menuju ke penjara."
"Betul. Mari berangkat." Kakak beradik itu membawa Lonnie
ke kantor polisi, ditunjukkan jalannya oleh Rolf. Joe menerangkan
kepada sersan jaga, bahwa Lonnie yang menyebabkan kebakaran
hutan. Sementara itu Lonnie hanya berdiri dan menatap nanar.
"Ia membakar sebagian hutan kami," Rolf mengadu. "Aku
mengajukan tuntutan terhadap dia."
Sersan itu menuliskan pengaduan itu dan Lonnie dibawa pergi.
"Pak, gerombolan itu masih saja menggunakan Hotel Hesse,"
kata Frank. "Anda barangkali dapat menangkap pemimpinnya kalau
anda mengirimkan pasukan ke sana sekarang juga."
Sersan itu menggeleng.
"Kami telah memeriksa tempat itu dan ternyata bersih."
"Karena gerombolan itu telah pergi sebelum anda datang," kata
Frank. "Bagaimana kalau dicoba lagi?"
"Maaf, aku tak dapat mengirimkan orang untuk jejak kosong.
Kusarankan agar kalian melupakan saja hotel itu dan pulang."

"Tetapi ada orang yang menelepon ...." Joe hendak mulai


mendebat, tetapi dipotong oleh kakaknya.
"Mari," kata Frank, dan pemuda-pemuda itu keluar.
"Kita tak akan berhenti sekarang," kata Frank. "Kita akan
memenuhi janji Lonnie itu."
"Bagaimana mungkin?" tanya Rolf ragu-ragu. "Kita pernah
berhasil masuk sebelum ini. Kukira kita dapat mengulangi lagi."
Ketika mereka tiba di hotel, mereka menyembunyikan mobil
pada tempat terbuka, di pinggir jalan. Mereka mengitari di balik
pohon-pohonan ke suatu tempat di mana mereka dapat melihat pintu
depan. Tak nampak tanda-tanda kehidupan, dan tak terlihat pula
mobil-mobil di tempat parkir. Gedung itu nampak kosong.
"Tak ada seorang pun," Rolf berbisik.
"Barangkali ada," jawab Joe. "Gerombolan itu menggunakan
pintu belakang."
"Kita juga akan menggunakan pintu tersebut," Frank
menyatakan. "Kalau utusan itu seorang diri di ruang dansa, kita dapat
mencegatnya."
Dengan cepat mereka membuat rencana. Mereka menyelinap
mengitari gedung dan mendekati pintu belakang, di mana Grimm
memberi jalan masuk kepada Frank dan Joe sebelumnya. Frank
menarik Rolf merapat ke dinding di sampingnya,
sementara Joe mengetuk dengan isyarat sandi gerombolan itu
pada pintu. Tak terjadi apa-apa.
Joe memegangi tombol dan membuka pintu itu perlahan-lahan,
lalu mengintip melalui celah di antara engsel."
"Tak ada orang di lorong," ia berbisik. "Mari kita masuk."
Frank berjalan di depan, diikuti oleh Rolf dan Joe. Mereka
berhenti di tangga dan mendengar-dengarkan apakah ada suara orang
di atas.

Tidak mendengar langkah-langkah kaki di sana, mereka lalu


meneruskan berjalan di sepanjang lorong ke ruangan, di mana mereka
dulu melihat para anggota gerombolan menunggu pesan dari
pemimpinnya. Frank menjulurkan kepalanya dari tepi ambang pintu.
Karena tak melihat seseorang, ia memberi isyarat kepada temantemannya untuk mengikutinya menuju ke ruang dansa.
Pintunya terbuka, dan mereka melihat seseorang sedang duduk
pada kursi yang disandarkan ke belakang ke dinding. Topinya
bertengger di kepala bagian belakang, kedua kakinya bertumpu pada
palang kaki kursi. Ia memutar-mutar kedua ibu jarinya seperti tak
sabar, rupa-rupanya sedang menunggu Lonnie.
Ketika ia merubah letak duduknya hingga sebagian dari
wajahnya kelihatan, Frank dan Joe tertegun. Orang itu adalah Bones
Arkin, si Zombie sirkus!
Pada saat itu terdengar suara kendaraan berat berhenti di
belakang hotel. Dengan cepat kedua detektif muda itu mundur masuk
ke ruangan di lorong. Dari sana mereka dapat melihat ruangan dansa.
Pintu belakang terbuka dan langkah-langkah kaki terdengar di
lorong serambi. Seseorang masuk ke ruang dansa: Whip MacIntyre!
"Kukira engkau Lonnie Mindo," Arkin menggerutu.
"Lonnie sedang kemari," jawab MacIntyre. "Ia menerima pesan
itu di rumah keluarga Allen. Anggota-anggota lain sudah menunggu di
bus di luar. Kita akan pergi ke tempat pertemuan yang baru.
Untunglah boss tetap mengosongkannya kalau-kalau ada peristiwa
darurat."
"Apakah anak-anak Hardy itu mengetahuinya?" kata Arkin.
MacIntyre tertawa.
"Tidak mungkin! Detektif-detektif besar dari Bayport itu
bahkan tak mampu menangkap Lonnie," sambungnya dengan
mengejek.

"Tetapi mereka memergoki aku ketika sedang mencuri dengar,"


Arkin mengingatkan. MacIntyre memaki.
"Itulah ketololanmu, Bones!"
"Ah, aku telah meyakinkan mereka, bahwa aku sedang
membetulkan tali sepatu ketika Frank menyergapku. Aku yakin,
mereka tak mencurigai aku sebagai penyebab kecelakaan-kecelakaan
itu. Aku hanya ingin agar Biff Hooper terjun bebas dari trapeze itu
setelah kukendorkan kaitannya. Mungkin itu akan menakut-nakuti
mereka hingga mereka pulang."
"Engkau betul," MacIntyre menggerutu. "Barangkali itu juga
akan mencegah Joe bermain badut. Dengan peranan kecilnya itu ia
telah berhasil mencegah panik yang sudah akan meledak justru yang
kita kehendaki untuk menghancurkan sirkus. Sok tahu benar anakanak Hardy itu! Kalau mereka masih saja menimbulkan kesulitan, kita
umpankan saja mereka kepada kucing-kucing besar itu!"
Para pemuda itu mengawasi dengan napas tertahan, berharap
mudah-mudahan salah seorang akan menyebutkan nama pemimpin
mereka. Seperti menjawab pertanyaan hati mereka, MacIntyre
menghela napas. "Dan di sini kita tak tahu sama sekali siapa boss kita
yang sebenarnya. Mungkin sekali ia anggota sirkus kita, atau orang
yang sama sekali lain. Tetapi kukira tak ada bedanya. Perintahperintahnya ternyata selalu benar. "Ia akan selalu membawa kita ke
arah yang benar."
Kedua orang itu berbincang-bincang tentang keberhasilan
mereka merampok untuk beberapa saat, kemudian MacIntyre melihat
arlojinya.
"Aku heran mengapa Lonnie belum juga kemari?"
Arkin ketawa.
"Mungkin ia tersangkut ketika akan melepaskan pakaian
Zombienya. Ia benar-benar telah mengecoh anak-anak Hardy dengan

pakaiannya itu. Jangan kuatirkan dia. Aku akan menunggu sampai ia


datang, lalu akan mengikuti engkau."
Rolf menjulurkan tubuhnya kepada Frank.
"Kita harus mencegah mereka!" ia mendesak.
Joe menggeleng.
"Ada satu bus penuh di luar sana. Kita tak dapat menangani
mereka semua."
"Aku akan menyelinap keluar, mencoba apakah dapat mencatat
nomor polisi bus itu," Frank mengusulkan.
Tetapi sebelum ia sempat bergerak, MacIntyre keluar dari ruang
dansa, melangkah lebar-lebar di lorong dan keluar ke pintu belakang.
Sesaat kemudian mesin bus terdengar dihidupkan, Bus itu terdengar
berjalan menuju ke jalan, dan suara itu semakin menghilang.
Sementara itu Arkin tetap menunggu Lonnie di ruang dansa.
Joe menarik lengan Frank dan Rolf agar mendekat.
"Mari kita sergap dia," ia mengusulkan. Mereka keluar dengan
mengendap-endap.
Frank dan Joe menempatkan diri di pintu ruang dansa. Tetapi
papan lantai ada yang berderak diinjak Rolf sebelum ia sampai di
tempat kedua temannya. Arkin terlompat, melihat para pemuda itu dan
dengan menyumpah ia lari langsung menuju ke panggung tempat
Frank dan Joe bermain musik beberapa hari yang lalu. Ia membelok
masuk ke kamar ganti pakaian dan menutup pintu serta menguncinya
dari dalam.
Ketiga pemuda mengejar. Mereka melemparkan tubuh mereka
menghantam pintu, tetapi tak berguna. Mereka kecewa, mendengar
Arkin membuka jendela, dan menyadari bahwa ia sedang memanjat
keluar. Mereka kembali ke ruang dansa, lari melalui lorong lalu keluar
dari pintu belakang. Mereka mendengar sebuah mobil semakin
kencang berjalan di jalan.
"Ia lolos!" seru Joe kecewa.

19. PENGEJARAN

"Ia menuju ke tempat pertemuan rahasia," kata Frank. "Tetapi


di mana itu?"
"Siapa yang tahu?" Joe mengangkat bahu.
"Kita tak dapat lagi menanyai dia, itu sudah jelas. Kita tak dapat
menangkap dia sekarang. Tetapi sejak kita menjadi tahu bahwa
MacIntyre dan Arkin terlibat dalam gerakan sabotase atas sirkus,
mungkin sekali pak Tariski yang memimpin gerombolan ini."
"Engkau benar!" seru Frank. "Mari kita kembali ke sirkus dan
menyelidiki dia. Kalau memang dia otak gerombolan ini, kita dapat
mengakali dia agar mau mengakuinya, dengan mengatakan bahwa kita
telah mengetahui banyak tentang MacIntyre dan Arkin."
"Apa yang aku tidak mengerti ialah, mengapa orang-orang ini
hendak menghancurkan sirkus mereka?" kata Rolf.
Joe mengangguk. "Memang ini juga tak masuk di akalku."
Ketika mereka tiba di sirkus, mereka bertemu Chet, Biff, Phil
dan Tony. Keempat pemuda itu terkejut heran bahwa mengetahui
Lonnie Mindo itulah si Zombie yang membakar hutan di dekat rumah
Rolf.
"Dan kalian mungkin tak akan melihat MacIntyre dan Arkin
kembali." kata Frank.
"Mana pak Tariski? Mungkin ia pemimpinnya."
"Kami tak tahu di mana dia," kata Biff.
"Kita sedang giat mempersiapkan pertunjukan berikutnya."
"Yah, paling tidak kita tak usah kuatir akan sabotase lagi," kata
Chet. "Frank dan Joe telah membongkar misteri ini. Sebetulnya aku
juga bisa memecahkannya sendiri," katanya sambil menyeringai,
tetapi aku terlalu sibuk!"

"Melatih diri sebagai pawang singa?" Frank menggoda.


"Aku bukan dibayar untuk itu," kata Chet sambil mengangkat
bahu. "Kalau aku memang dibayar untuk itu, aku tentu akan
melanjutkannya. Eh, aku jadi teringat untuk bekerja kembali."
Biff, Phil dan Tony setuju dan kembali ke tugas mereka. Phil
mengatur segulung karcis di meja tempat menjual karcis, sementara
Chet membuaka kios makanannya dan menyiapkan panggangan untuk
hotdogs dan hamburger. Biff memeriksa perlengkapan para pemain
trapeze dan tali, dan Tony memeriksa gerobak bermotor pengangkut
kandang singa dan harimau.
"Aku harus kembali ke studio," kata Rolf ketika melihat
arlojinya. "Kecuali kalau kalian memerlukan aku di sini ...."
"Ah, tidak. Pergilah," kata Frank kepada temannya. "Kami akan
menangani ini."
"Oke. Beritahukan apa yang terjadi." Setelah mengucapkan
selamat tinggal, Rolf pergi ke jalan besar untuk naik bus ke
Burlington.
Frank dan Joe berjalan kembali sepanjang iring-iringan, dan
berhenti di truk pak Tariski. Melihat bahwa pintunya terkunci, mereka
mengitari kendaraan itu, mengintip dari jendela.
"Ia pergi," kata Joe. "Ia tentu melarikan diri dengan tergesagesa."
Frank mengangguk.
"Arkin mungkin telah meneleponnya, memperingatkan bahwa
kita sedang mengejar gerombolan mereka. Kukira pak Tariski juga
pergi ke tempat pertemuan rahasia itu."
Mereka memeriksa kendaraan-kendaraan yang lain, tetapi tak
seorang pun tahu di mana pak direktur.
Ketika mereka sampai di kendaraan Reptilia, Frank tertawa dan
berkata: "Aku setengah takut untuk mengetuk pintunya. Jangan-jangan
seekor boa constrictor yang membukakannya!"

"Kuharap saja lebih ramah dari pada yang kita jumpai dulu!"
Joe tertawa dan mengetuk.
"Siapa itu?" suara wanita bertanya dari dalam.
"Frank dan Joe Hardy," jawab Frank. "Kami ingin berbicara
dengan anda."
Pawang ular itu membuka pintu, ular kesayangannya tergantung
pada pundaknya.
"Masuklah," ia mengundang. "Aku ada berita bagi kalian."
Kedua pemuda itu masuk dan duduk di sofa. Kandang kaca
tempat ular yang ganas itu hampir tersentuh oleh lutut mereka. Ular
besar itu mendesis ganas, melengkungkan lehernya dan memagut kaca
dalam usahanya memagut mereka. Reptilia menunjuknya.
"Aku memergoki Bones Arkin mencoba mengeluarkannya," ia
memberitahu. "Aku yakin ia akan merusak penampilanku. Tentu
dialah orangnya yang meletakkan ular itu ke dalam truk perlengkapan
ketika kalian ada di sana malam itu."
"Cocok," kata Joe. "Sekarang kami tahu, bahwa Arkin yang
telah menyabot sirkus."
"MacIntyre juga bersama dia," sambung Frank. "Malam itu ia
melihat kami di dalam truk perlengkapan. Dialah tentunya yang
menyuruh Arkin mengambil ular tersebut untuk menyerang kami."
Reptilia nampak memandang agak malu.
"Kalau begitu sekarang aku tahu siapa yang harus
bertanggungjawab."
"Siapa?" Frank dan Joe bertanya dalam satu suara.
"John Tariski! Aku melihat dia dan MacIntyre berangkat
bersama-sama belum lama ini!"
"Tahukah anda ke mana mereka pergi?" tanya Frank.
Reptilia menggeleng.
"Tidak. Hanya itu yang dapat kukatakan kepada kalian."

"Yah. Bagaimana pun juga, terimakasih. Anda sangat


membantu," kata Frank. Kemudian ia dan Joe melanjutkan
pemeriksaan mereka di sepanjang deretan kendaraan, sampai mereka
tiba di truk kantor. Seseorang berlari dari pintu depan, membawa
sebuah peti bertuliskan: PENERIMAAN KARCIS!
"Bones Arkin!" teriak Frank. "Ia sedang mencuri uang milik
sirkus!"
Ketika kedua pemuda lari mengejar, Arkin melompat naik truk
yang mengangkut Leah, si gajah! Ia menghidupkan mesin dan truk itu
membelok lebar. Setelah mengitari tenda besar, Arkin sampai di jalan
besar lalu melaju pergi.
"Ayo, kita harus mengikuti dia!" kata Frank terengah-engah dan
lari ke mobilnya. Ia melompat ke belakang kemudi dan beberapa detik
kemudian mereka mengejar si pelarian.
Kendaraan yang lebih ringan itu segera memperpendek jarak
antara, ketika Leah berteriak kepada mereka. Jeritannya bergema di
seluruh pedesaan.
"Aku punya akal," kata Joe tiba-tiba. "Aku ingat pada tikungan
di depan. Barangkali kita dapat mencegat di sana."
"Akal bagus," kata Frank. Tak lama kemudian mereka sampai
di tikungan lebar yang diingat Joe. Arkin tetap di jalan, tetapi Frank
membelok masuk ke lapangan terbuka dan sambil bergoncanggoncang melintasinya sampai di akhir tikungan. Kemudian, berhenti
di tengah kepulan debu dan menggunakan mobilnya sebagai
penghalang. Dengan cepat mereka keluar dari mobil.
Beberapa detik kemudian truk gajah itu muncul di tikungan.
Ketika Arkin melihat penghalang itu, ia menginjak pedal rem untuk
menghindari tabrakan. Dengan ban menderit-derit kendaraan berat itu
berhenti beberapa langkah dari mobil. Arkin terkulai pada roda
kemudi sambil menghela napas, sementara Leah menjerit-jerit tak
terkendali.

Frank membuka pintu truk di sisi sopir. "Arkin," katanya.


"Permainanmu sudah habis!"

20. SIAPA BOS MEREKA?

Hampir bersamaan, Joe menyambar kantong berisi uang dari


tempat duduk di samping Arkin.
"Engkau mengakali dirimu sendiri, bung," katanya kepada si
penjahat. "Kami kira engkau tak akan kembali lagi ke sirkus. Tetapi
engkau begitu rakus untuk mencuri uang."
"Kami sudah tahu tentang engkau dan MacIntyre," Frank
menuduh. "Tetapi bagaimana kedudukan pak Tariski? Di mana pula
tempat pertemuan rahasia itu?"
Arkin memandang marah kepada mereka dan tak mau
menjawab. Mereka segera mengikat tangannya dengan sabuk,
kemudian Frank mengendarai truk itu kembali ke tempat sirkus.
Sementara itu adiknya mengikuti dengan mobil mereka.
Ketika mereka sampai di Big Top, Joe menelepon polisi.
Mereka datang untuk membawa Bones Arkin ke penjara.
"Nah, kita telah menangkap satu penjahat," kata Joe. "Tetapi
MacIntyre dan Tariski telah lolos. Siapa tahu di mana mereka!"
Tiba-tiba Frank menepuk dahinya.
"Joe! MacIntyre mengatakan bahwa tempat pertemuan itu
sedang kosong. Mungkin itu adalah kantor kosong yang ada di
Burlington! Ingat? kamar nomor 415?"
"Tentu! Mungkin pengawas gedung itu juga anggota
gerombolan. Karena itu ia tak ramah kepada kita!"
Mereka segera bermobil ke Burlington. Mereka berhenti di
balik blok di mana gedung itu berdiri, berjalan memotong melalui
gang kecil dan sampai pada tangga kebakaran. Dengan diam-diam
mereka memanjat sampai ke lantai empat, dan meringkuk di bawah

jendela dari kamar nomor 415. Mereka perlahan-lahan menjulurkan


kepala hingga dapat mengintip ke dalam.
Benar! Gerombolan itu berkumpul di sana MacIntyre, Pollard,
pemimpin orkes Hotel Hesse; Grimm si penjaga pintu, Burrows
pertapa gadungan dan si pengawas gedung. Yang mengejutkan kedua
pemuda, di sana duduk John Tariski, kaki dan tangannya terikat!
Telepon berdering dan kedua pemuda detektif harus
membungkuk, karena telepon itu ada di sudut dekat jendela.
"Jadi pengawas gedung itu berdusta ketika mengatakan bahwa
telepon itu tidak tersambung," pikir Joe.
MacIntyre mendekat dan mengangkat gagang telepon.
Sementara itu yang lain-lain mengerumuninya. Setelah
memperkenalkan diri, ia memegangi gagang telepon sedemikian rupa
hingga yang lain-lain dapat ikut mendengarkan. Kedua pemuda itu
juga cukup dekat untuk dapat ikut mendengar.
Suara yang tinggi berkata: "Berkumpullah di kantor luar. Aku
segera datang. Kita akan berangkat."
Terdengar suara 'klik' dan telepon diam. MacIntyre meletakkan
gagang telepon dan orang-orang itu keluar ke kantor luar. Grimm
melepaskan ikatan kaki pak Tariski dan mendorongnya untuk
mengikuti. Direktur sirkus itu nampak takut dan lelah.
"Mac, apa yang akan kaulakukan?" ia bertanya lemah.
Pemimpin arena itu tersenyum seram.
"Tergantung dari boss!"
"Siapakah dia?"
"Aku tak tahu. Kami hanya melakukan apa yang
diperintahkannya."
Ketika semua telah menghilang ke kantor luar, kedua pemuda
itu hanya dapat mendengar dengung suara mereka, dan mereka tak
dapat melihat apa-apa karena pintu setengah tertutup.

"Mungkin kita dapat membuka jendela lebih jauh ke atas," kata


Joe. "Hanya itu kesempatan untuk bisa masuk."
Joe dan Frank menempelkan tangan mereka di bawah kerangka
kayu dari kaca jendela, lalu mendorongnya perlahan-lahan ke atas.
Jendela itu bergerak dengan mudah sampai ke atas.
Dengan diam-diam Joe mendahului memanjat masuk. Beberapa
saat kemudian mereka berjingkat-jingkat melintasi lantai kantor dan
mengintip dari celah pintu. Pada saat itu terdengar langkah kaki di
luar. Pintu terbuka dan Tyrell Tyson melangkah masuk!
MacIntyre ternganga.
"Haa, jadi engkaulah bossnya!"
Tyson tersenyum menyeringai. Dengan memijat hidungnya ia
menyuarakan suara tinggi.
"Tentu, akulah boss! Aku yang merencanakan segala gerakan
kalian di rumah keluarga Allen dan di sirkus!"
"Engkau telah menyabot perusahaanku!" Pak Tariski menuduh.
"Engkau menyuruh MacIntyre dan Arkin yang melakukannya.
Mengapa?"
Tyson menurunkan tangannya dan berkata dalam suara biasa.
"Pembalasan, John, pembalasan. Kita adalah kongsi, ingat?
Kemudian engkau memaksa aku menjual bagianku kepadamu. Aku
tak pernah dapat memaafkan hal itu!"
"Tetapi engkau membuat sirkus itu bangkrut dengan rencanarencanamu yang gila!" Pak Tariski membantah. "Dan aku juga
membayar harga yang cukup!" Ia menggeleng tak percaya. "Apa yang
hendak kaulakukan sekarang?"
Tyson tertawa mengejek.
"Menghabisi engkau, begitulah! Karena itu aku menyuruh Mac
menipu engkau untuk datang kemari malam ini. Kita akan berlayar ke
Danau Champlain, dan melemparkan engkau dari dalam perahu.
Engkau akan tenggelam sampai di dasar dan tinggal di sana!"

"Ke mana kita pergi, setelah membuang dia?" tanya Burrows


kepada Tyson.
"Ke rumah Allen di Hunter's Hollow. Lonnie Mindo telah
menelepon aku, katanya ia telah mengurung Rolf di makam bawah
tanah. Kebakaran-kebakaran hutan itu tidak membuat Rolf takut,
karena itu ia akan mati. Orang tuanya tak mau menjual tanahnya,
maka aku menyuruh Lonnie melakukan pembakaran hutan. Ia baru
saja melakukan pembakaran yang terakhir. Di antara lenyapnya Rolf
dan kebakaran, mungkin orang tuanya mau menjual rumah itu
kepadaku, kalau mereka telah kembali dari Eropa. Kalau tetap tidak
mau, kita akan mengurung mereka di makam bersama Rolf. Aku
terlanjur menyenangi akan tempat itu. Letaknya juga cukup terpencil
untuk dijadikan markas kita."
"Mengapa kita tidak dapat tetap menggunakan Hotel Hesse?"
tanya Pollard. "Hotel itu sudah memberikan tempat persembunyian
yang bagus."
"Ketika aku mengikuti sidang pengadilan, kudengar bahwa
hotel itu akan dijual kepada pemerintah. Pemerintah, akan
merobohkannya, untuk membangun jalan raya," jawab Tyson.
Ia menarik napas panjang, lalu menyambung: "Selain itu, aku
memang menginginkan rumah keluarga Allen itu. Aku sudah
menyukainya. Ini adalah.masalah pribadi."
"Jadi kita akan menimbun barang-barang kita di sana sampai
mereka pulang dari Eropa?" tanya Grimm.
"Begitulah. Yaitu, setelah kita dapat melenyapkan anak-anak
Hardy itu, dengan memasang jebakan bagi mereka di sana."
Frank menarik Joe dari pintu.
"Kita harus menangkap penjahat-penjahat ini!" ia mendesak.
"Engkau mengawasi mereka, aku akan menelepon polisi."

Joe mengangguk dan Frank berjingkat ke telepon. Ia memutar


nomor kantor polisi di Burlington, dan dengan setengah berbisik ia
menguraikan keadaannya.
"Kami akan segera datang," jawab polisi yang sedang bertugas.
Frank meletakkan gagang telepon dan kedua pemuda itu keluar
dari jendela, kalau-kalau para penjahat itu mencoba meloloskan diri
dari situ.
Tiba-tiba terdengar raungan sirene mobil polisi mendatangi.
Mobil-mobil polisi mencuit-cuit berhenti di luar.
"Polisi!" MacIntyre berteriak.
"Ayo kita keluar!" Pollard menjerit.
Para penjahat berlompatan lari ke pintu dan berdesak-desakan
di lorong serambi. Tetapi mereka langsung jatuh ke tangan polisi!
Seorang demi seorang, para penjahat itu diborgol dan digiring keluar.
Tetapi Tyson lari ke belakang, masuk ke kantor bagian dalam
dan terus menuju ke jendela. Ia baru saja hendak memanjat keluar,
ketika Frank mendorongnya dengan kasar kembali ke dalam.
"Kami sudah menduga, tentu ada yang akan meloloskan diri
dari sini," kata pemuda detektif itu menjelaskan. "Karena itu kami
menghadang di sini." Ketika Tyson kembali berdiri sambil memakimaki, Joe dan Frank ikut memanjat masuk, dan kedua pemuda itu
dengan segera dapat menguasai pemimpin gerombolan penjahat
tersebut.
Tyson sudah runtuh semangatnya untuk dapat memberikan
perlawanan. Kedua pemuda itu menyerahkannya kepada seorang
letnan polisi yang sedang melepaskan direktur sirkus di kantor luar.
"Inilah pemimpin gerombolan itu, yang merencanakan semua
perampokan di sekitar Burlington," kata Frank kepda Letnan. "Dia
juga yang bertanggungjawab atas kebakaran-kebakaran hutan itu."
Dengan singkat ia menjelaskan rencana-rencana para penjahat untuk
menduduki rumah keluarga Allen.

Ia juga berusaha menyabot sirkusku!" kata Pak Tariski. "Aku


akan mengajukan tuntutan terhadap dia untuk tindakan-tindakannya
itu."
Letnan itu memborgol tangan Tyson.
"Kami akan membawa mereka semua ke penjara," katanya.
"Bersediakah kalian datang ke kantor polisi untuk membuat laporan?"
"Dengan senang hati," kata Frank.
Malam itu, Frank dan Joe menelepon Rolf di rumah
pondokannya. Mereka menceritakan tentang penangkapan Tyson dan
kegiatan-kegiatan para penjahat.
"Wah!" seru Rolf. "Tangkapan yang luar biasa! Bung, kalian
memang detektif-detektif yang paling ulung. Aku sungguh gembira
kalian dapat datang membantu aku!"
Frank tertawa.
"Aku siap setiap saat."
"Sandiwara kami akan dipentaskan dalam minggu ini," kata
Rolf. "Maukah kalian tinggal dulu dan menyaksikan debutku?"
"Sayang sekali kami harus segera pulang," jawab Frank. "Kami
masih ada beberapa rencana yang harus diselesaikan."
"Aaah," seru Rolf dengan kecewa.
"Mungkin lain kali," kata Frank. "Hubungilah kami selalu, dan
beritahukan bagaimana keadaan di sekitar sini."
"Sudah tentu," kata Rolf.
Esok paginya, kedua pemuda itu menuju ke tempat sirkus.
Mereka mengucapkan selamat tinggal kepada pak John Tariski dan
teman-teman mereka yang ingin ikut sirkus selama musim panas.
Ketika mereka menuju ke selatan ke arah Bayport, mereka
merenung-renung, apakah mereka akan menghadapi misteri semacam
itu lagi?

Mereka tak menyadari, bahwa tak lama lagi mereka akan


terlibat dalam perkara lain.
Joe memandang keluar dari jendela, menarik napas panjang.
"Nah, inilah akhir jalan kita.
"Pembetulan. Inilah akhir jejak kita," kataFrank.
"Apa maksudmu?"
Frank tertawa.
"Jejak si Zombie!" END
Ebukulawas.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai