Pendahuluan
Penggunaan antibiotika yang tidak tepat terhadap infeksi virus sering ditemukan. S
ebuahpenelitian di Manitoba (Kanada) menunjukkan bahwa peresepan antibiotika men
capai45% kunjungan akibat infeksi saluran napas karena virus. Hal ini berkaitan
denganpeningkatan
risiko
terjadinya
resistensi
antibiotika.
Resistensi
antibiotika
1
semakin mempersulit pengobatan infeksi dan meningkatkan risiko kesakitan dan kematian.
a
didasarkan pada kemungkinan patogen penyebab dan keberhasilan antibiotika
sebelumnya di masa lampau. Pengetahuan mengenai pola resistensi kuman juga penting.
Selain itu penentuan dosis antibiotika yang tepat pada anak juga sulit. Uji klinis neonatus,
bayi, dan anak jauh lebih sedikit dari pada pada dewasa. Dosis sering merupakan hasi
l
ektrapolasi dari penelitian pada dewasa. Demikian juga data mengenai efektivitas dan
2
keamanan. Tulisan ini bertujuan untuk membahas faktor-faktor penting yang menjadi
dasar pertimbangan pengguanaan dan pemilihan antibiotika.
Indikasi Pemberian Antibiotik
Indikasi pemberian antibiotik adalah pada infeksi yang disebabkan oleh bakte
ri.
Identifikasi infeksi bakteri secara dini dapat memandu terapi, mengurangi penggunaan
antibiotik yang tidak tepat dan memperbaiki luaran pasien. Identifikasi infeksi bakteri
secara dini masih merupakan tantangan dalam praktek sehari-hari. Cara yang paling tepat
untuk mendiagnosis infeksi bakteri adalah dengan melakukan biakan. Namun, biakan
bakteri memerlukan waktu yang dapat menunda pemberian antibiotik pada pasien yang
membutuhkan antibiotik. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu petanda yang spesifi
k
Petanda infeksi yang sering digunakan adalah hitung leukosit, hitung jeni
s,
prokalsitonin,dan protein C-reaktif. Peningkatan jumlah leukosit merupakan indikator
yang
tidak
sensitif
maupun
spesifik
terhadap
infeksi
bakteri.
Peningkatan
sel
polimorfonuklear
(PMN)
lebih
akurat
dalam
menentukan
adanya
infeksi
bakte
ri
dibandingkan
peningkatan
leukosit.
Prokalsitonin
memiliki
sensitivitas
92%
da
n
spesifisitas 73%, sedangkan protein C-reaktif memiliki sensitivitas 86% dan spesifisitas
70% yang artinya prokalsitonin merupakan petanda yang lebih akurat dibanding protein
C-reaktif dalam membedakan infeksi bakteri dan infeksi virus serta membedakan infeksi
4
bakteri dan penyebab inflamasi non-infeksi. Kadar protein C-reaktif lebih dari 20 mg/L
dan prokalsitonin > 2 ng/ml menandakan suatu infeksi bakteri dan atau infeksi berat. Jika
protein C-reaktif lebih rendah dari 8 mg/ml dan prokalsitonin lebih rendah dari 0,5 ng/ml,
maka kemungkinan infeksi bakteri hanya sebesar 2%.
Demam pada anak 90-95% disebabkan oleh virus, hanya 5-10% yang disebabkan
oleh bakteri. Karakterisitik demam dapat membantu membedakan infeksi bakteri dengan
virus. Demam dengan suhu tinggi dan durasi yang lama umumnya disebabkan ole
h
bakteri dibandingkan oleh virus. Pasien immunocompromised yang demam haru
s
dianggap sebagai infeksi bakteri sampai terbukti bukan. Beberapa tanda yang dapa
t
membantu membedakan demam yang disebabkan oleh infeksi bakteri dengan infeksi
virus antara lain:
organ
bersamaan,
yang
umumnya
pada
saat
saluran
napas atas
Terdapat
riwayat
kontak
dengan
orang
terlihat
sakit
berat,
masih
dapat
dengan
baik
Irritable,
letargis,
tampak
sakit
erat,
bermain
dan
berinteraksi
an
dengan orang tuanya
lingkungan sekitar
normal.
leukopenia,
limfositosis
(atau
tinggi
ml
sitokin yang rendah, kecuali IFN-.
Antibiotik dapat diberikan pada anak dengan demam yang memenuhi salah sat
u
7
kriteria berikut:
Anak dengan suhu demam >40 C dan usia kurang dari 36 bulan tanpa fo
kus
infeksi yang jelas
Anak tanpa fokus infeksi yang jelas dengan hasil tes penyaring
(darah perif
er
lengkap, protein C-reaktif, urinalisis) yang abnormal.
Pemberian antibiotik yang tepat adalah bila sesuai dengan organisme patogen yan
g
ditemukan pada bagian tubuh yang seharusnya steril dan sesuai dengan hasil resistensi
8
antibiotik. Pemberian antibiotik yang tidak tepat merupakan penyebab utama resistensi
antibiotik.
Jenis-jenis Antibiotik
Antibiotika yang digunakan dalam mengatasi infeksi bakteri pada bayi dan anak dapat
dikelompokkan menjadi 5 golongan:
1.
10
-laktam
Antibiotika golongan ini bekerja dengan cara menghambat sistesis dinding bakteri
melalui ikatannya dengan transpeptidase. Enzim tersebut berperan dalam sistesis
lapisan peptidoglikan dinding sel bakteri. Aktivitas bakterisid antibiotika golongan ini
ditentukan oleh lamanya kadar optimal antibiotika bertahan dalam darah (time
dependent). Yang termasuk dalam golongan ini adalah penisilin alami (Penisilin V
dan G), aminopenisilin (ampisilin dan amoksisilin), penisilin resisten penisilase
(metisilin), extended spectrum penicillin (piperasilin), sefalosporin (sefadroksil,
sefepim),
monobaktam
(aztreonam),
karbasepem (lorakarbef),
dan
karbapenem
(meropenem).
2.
Glikopeptida
Yang termasuk dalam golongan ini adalah vankomisin. Cara kerjanya adalah dengan
mengganggu sintesis dinding sel, mengubah permeabilitas membran sitoplasma, dan
mengganggu sintesis asamribonukleat. Vankomisin mengganggu sintesis dinding sel
tahap dua dengan cara membentuk kompleks dengan peptida prekursor sehingg
a
membentuk ikatan silang dengan peptidoglikan (lapisan struktural dinding sel)
.
Golongan ini termasuk time-dependent antibiotic.
3.
Aminoglikosida
Aminoglikosida merupakan antibiotika yang memiliki peranan pentinga dala
m
pengobatan infeksi berat oleh basil gram negatif aerob dan enterokokus. Antibiotika
golongan
ung
ini
menunjukkan
aktivitas
bakterisid
yang
cepat
dan
tergant
sintesis
protein
dan
kesalahan
translasi
protein.
Terdapat
enis
aminoglikosida yang disetujui di Amerika Serikat, yakni streptomisin, kanamisin,
amikasin, tobramisin, gentamisin, netilmisin, neomisin, dan paromomisin.
4.
Makrolid
Makrolid yang digunakan pada anak adalah eritromisin, azitromisin, dan
klartitromisin. Cara kerjanya adalah dengan membentuk ikatan reversibel dengan
ribosom subunit 50 S dan menghambat sisntesis protein. Aktivitas antibakterialnya
berupa bakteriostatik, namun pada konsentrasi yang tinggi dapat menjadi bakterisid
terhadap bakteri yang aktif membelah.
5.
Lain-lain
-
sehingga
bakteri
tidak
dapat
memperpanjang
peptidanya.
k
membrane sitoplasma dengan cara menggeser kalsium dan magnesium serta
dan
Rifamisin, terdiri dari rifampisin dan rifabutin. Cara kerjanya adalah dengan
membentuk ikatan yang kuat denagn DNA-dependent RNA polymerase.
a
golongan ini terdiri dari tetrasiklin, oksitetrasiklin, dimeklosiklin, doksisiklin, dan
minosiklin.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Antibiotika
Hal
berikut
ini
merupakan
faktor-faktor
penting
yang
memepengaruhi
pemiliha
n
antibiotika:
Adakah indikasi pemberian antibiotik?
Indikasi pemberian antibiotik adalah kecurigaan kuat terdapatnya infeksi bakterial. Hal
ini harus didasarkan atas tanda dan gejala infeksi yang jelas, usia pasien, riwayat penyakit
pasien, serta ada atau tidaknya penyulit pada pasien.
11
Secara umum, bakteri terbanyak penyebab infeksi pada komunitas adalah bagian dari
flora normal anak. Bakteri tersebut didapat dari paparan oleh anak lain di komunitas
.
Infeksi kulit dan jaringan lunak umumnya disebabkan oleh S aureus atau streptokokus
beta hemolitikus, sementara infeksi saluran napas atas dan bawah umumnya disebabkan
oleh S pneumonia dan H influenza. Resistensi terhadap antibiotika dapat terjadi pada
berbagai bakteri. Data epidemiologi lokal merupakan kunci untuk menilai pola prevalens
dan resistensi di komunitas.
Kerentanan patogen spesifik terhadap antibiotika spesifik dapat diukur dengan cara
menilai konsentrasi antibiotika terendah yang dapat menghambat pertumbuhan patogen.
Inilah yang kita kenal sebagai minimum inhibitory concentration (MIC). Pola kerentanan
ini tidak sama pada satu jenis patogen tertentu, tetapi dipengaruhi oleh wilayah, periode
waktu, dan lokasi isolasi bakteri (darah, cairan telinga tengah, cairan serebrospinal).
2,3
Metode lain untuk menilai kerentanan bakteri terhadap antibiotika adalah minimu
m
bactericidal concentration (MBC), yakni konsentrasi antibiotika yang dibutuhkan yang
dibutuhkan untuk membunuh 99,9% bakteri setelah inkubasi 24 jam. Biasanya nilai MBC
sama atau kebanyakan 2 kali nilai MIC.
Pola resistensi berubah dari waktu ke waktu. Selama lebih dari 5 tahun terdapat
peningkatan community acquired methicillin resistance Staphylococcus aureus. Bakteri
ini resisten terhadap meticilin dan antibiotika beta laktam lain karena terdapat perubahan
pada penicillin-binding protein 2a yang dihasilkan oleh gen mecA. Munculnya pol
a
resistensi
seperti
ini,
menekankan
pentingnya
mengambil
biakan
dan
resiste
nsi
antibiotika terutama pada kasus yang tidak menunjukkan respon terhadap antibiotika
2
dependent) dan lamanya kadar antibiotika efektif bertahan pada lokasi infeksi (time
dependent). Pada aminoglikosida dan fluorokuinolon, konsentrasi dan paparan antibiotika
yang lebih tinggi menghasilkan daya bunuh yang lebih cepat. Paparan antibiotik
a
berhubungan dengan total area di bawah kurva yang didapat dengan membuat kurv
a
kadar obat dalam darah sejak awal pemberian hingga eliminasi. Pada -laktam, makrolid,
klindamisin, vankomisin, dan linezolid, aktivitas optimal berhubungan dengan persentase
lamanya kadar antibiotika di atas MIC bertahan pada lokasi infeksi terhadap interva
l
dosis.
Hal
ini
dikenal
dengan
percent-time-above-MIC.
Aktivitas
inhibisi
dap
at
dioptimalkan jika konsentrasi antibiotika di atas MIC pada lokasi infeksi dapat bertahan
lebih dari 40% interval dosis (contohnya untuk interval 12 jam, kadar antibiotika harus
bertahan lebih dari 4,8 jam).
metabolisme,
dan
ekskresi
antibiotika
pada
anak
sakit
yang
mungk
in
mengalami gangguan fungsi organ tidak dapat sepenuhnya diprediksi secara tepat
.
Varibilitas farmokinetik antarpasien harus diantisipasi. Pemilihan bentuk dan dosis obat
harus
mempertimbangkan
bioavailabilitas,
kepatuhan,
rasa,
dan
komplikasi
yan
g
2
besar
antibiotika
-laktam
yang
diberikan
secara
oral
memili
ki
bioavailabilitas yang kurang baik, hanya sekitar 5-10% bioavailabilitas jika diberikan
secara
parenteral.
Sebaliknya
kuinolon
dan
oksazolidinon
secara
oral
memil
iki
bioavailibalilitas yang mendekati pemberian parenteral. Pemberian secara parenteral
tidak dipengaruhi oleh kepatuhan pasien, namun penggunaan kateter intravena dapat
menimbulkan komplikasi. Sementara itu terapi oral memiliki komplikasi yang lebih kecil,
namun sangat dipengaruhi kepatuhan, absorpsi dan rasa.
Faktor
n,
pejamu
mempengaruhi
kemungkinan
jenis
bakteri
yang
menjadi
patoge
i
yang berhubungan dengan penggunaan antibiotik spektrum luas jangka panjang, yaitu
berupa kemunculan organisme yang resisten terhadap efek antibiotik atau infeksi baru.
Pendekatan ini biasanya digunakan saat menghadapi kondisi yang membahayakan nyawa
pasien , terutama pada infeksi yang terjadi pada pasien-pasien yang dirawat dala
m
kondisi kritis, pasien immunocompromised, dan pasien dengan risiko infeksi nosokomial.
11
Pemilihan antibiotik awal harus berdasarkan data pola kuman dan resistensi setempat.
Monoterapi atau kombinasi?
mempengaruhi metabolisme obat lain. Antibiotika yang memiliki efek samping yang
lebih sering akan dikonsumsi lebih jarang dengan durasi yang lebih pendek oleh pasien.
Oleh karena itu pemilihan antibiotika dengan efek samping terkecil merupakan pilihan
terbaik apabila efikasinya sama.
11
komputer
yang
mempertimbangkan
distribusi
MIC
antibiotika
tertentu
terhada
p
kemungkinan patogen tertentu, kisaran kadar antibiotika pada lokasi infeksi pa
da
berbagai dosis, dan karakteristik farmakodinamik antibiotika. Hasil simulasi ini berupa
persentase anak yang mencapai kesembuhan pada setiap dosis antibiotika yang kit
a
pertimbangkan. Akan tetapi akses terhadap simulasi komputer ini terbatas pada para ahli
yang membuat rekomendasi terapi antibiotika.
12
12
enterotoksigenik diberikan selama 5-7 hari, sedangkan pada sistitis akut diberikan selama
2
7-10 hari.
13
Obat-obatan yang
Terdapat hubungan antara kadar obat dalam serum dengan efek samping.
12
perlu diperhatikan ju
ga
parameter laboratorium antara lain hitung leukosit, urinalisis, prokalsitonin dan protein
C-reaktif. penurunan salah satu marker (prokalsitonin atau protein C-reaktif) tersebut
menunjukkan adekuat atau tidaknya terapi antimikroba serta keluaran pasien yang lebih
14
baik.
antibiotik, yaitu:
Procalcitonin (ug/l)
Rekomendasi
< 0,25
0,25-0,5
Pemberian
antibiotik
tidak
disarankan
atau
Pemberian
antibiotik
atau
antibiotik
sangat
meneruskan
antibiotik
disarankan
>1
Pemberian
disarankan
atau
10
Ada atau tidaknya efek samping antibiotik pada pasien turut menentukan apakah
16
terapi akan dilanjutkan atau tidak. Setiap golongan antibiotik memiliki efek samping.
Efek samping yang dapat terjadi antara lain reaksi anafilaktik, kelainan darah (anemia
hemolitik, leukopenia, neutropenia, trombositopenia, hipereosinofilia, dll), gangguan
kardiovaskular (aritmia, hipertensi, gangguan konduksi jantung, dll), gangguan kulit dan
mukosa,
gangguan
sistem
saraf,
gangguan
metabolik,
gangguan
ginjal
dan
ha
ti.
Golongan beta lactam terbukti aman untuk anak-anak. Golongan makrolida,
aminoglikosida, glikopeptida, sulfinamid dan kuinolon memliki efek samping yang
cukup banyak, beberapa diantaranya dapat mempengaruhi metabolisme obat-obat lain.
17
Kesimpulan
Keputusan memulai terapi antibiotika harus didasarkan pada kecurigaan infeksi bakt
eri
yang dibuktikan dengan biakan. Secara klinis infeksi bakteri umumnya berupa demam
tinggi lebih dari 3 hari disertai tampilan anak yang tampak sakit berat ditunjang dengan
penanda infeksi bakteri seperti hitung jenis leukosit, protein C-reaktif, atau prokalsitonin.
Pemilihan antibitika harus mempertimbangkan aspek mikrobiologi, farmakodinamik,
farmakokinetik, pejamu, dan efek samping.
11
DAFTAR PUSTAKA
1.
Kozyrskyj AL, Dahl ME, Chateau DG, Mazowita GB, Klassen TP, Law BJ. Evidence-based
prescribing of antibiotics for children: role of socioeconomic status and physic
ian
characteristics. CMAJ. 2004;171:139-45.
2. Pong AL, Bradley JS. Guidelines for the selection of antibacterial therapy in children. Pediatr
Clin N Am. 2005;52:869 894
3. Pichichero ME. Evaluating the need, timing and best choice of antibiotic therapy for acut
e
otitis media and tonsillopharyngitis infections in children . Pediatr Infect Dis
J,
2000;19:S131-40
4. Kofteridis DP, Samonis G, Karatzanis AD, dkk. C-Reactive Protein and Serum Procalcitonin
Levels as Markers of Bacterial Upper Respiratory Tract Infections. Am. J. Infect. Dis., 2009
5(4): 282-287.
5. Jimenez AJ, Reyes MJ, Miguel RO, dkk. Utility of Procalcitonin and C-Reactive Protein in
The Septic Patient in The Emergency Departement. Emergencias. 2009; 21:23-7.
6. El-Radhi A.S, Caroll J, Klein N, Walsh A. Management of Fever. Dalam: El-Radhi A.S,
Caroll J, Klein N, penyunting. Clinical Manual of Fever in Children. Berlin: Springer. 2009.
h.223-48.
7. Schleiss MR. Principles of Antibacterial Therapy. Dalam: Kliegman RM, Behrman R
E,
Jenson HB, stanton BF, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics, Edisi ke
18.
Philadelphia: Elsevier. 2007. h.1110-22.
8. Michelow IC,McCracken Jr GH. Antibacterial therapeutic agents. Dalam: Feigin R, Cherry J,
Demmler-Harrison G, Kaplan S, editor. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi 6.
Philadelphia;Saunders Elsevier:2009.
9. National Antibiotic Guidelines. Ministry of Health Malaysia. 2008.
10. Opatowski L, Mandel J, Varon E, Bolle PY, Temime L, Guillemot D. Antibiotic dos
e
impact on resistance selection in the community: a mathematical model of -lactams and
Streptococcus pneumoniae dynamics. Antimicrobial Agents and Chemotherapy.
2010;54:2330-7
11. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis,
Edisi kedua. Jakarta: IDAI. 2008. H.66-82.
12. Schleiss MR. Principles of Antibacterial Therapy. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE
,
Jenson HB, stanton BF, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics, Edisi ke
18.
Philadelphia: Elsevier. 2007. h.1110-22.
13. Bouadma L, dkk. Use of Procalcitonin to Reduce Patients Exposure To Antibiotics i
n
Intensive Care Units: A multicentre randomised controlle trial. Lancet 2010; 375