Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL

BEDAH PADA PASIEN DENGAN BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI


A. Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian :
Benigna Prostat Hipertrofi adalah pertumbuhan jinak pada kelenjar prostat,
yang menyebabkan prostat membesar karena hiperplasia dari kelenjar
periurethral, sel-sel granduler dan sel-sel interstisial mengalami hiperplasia
(jumlah sel bertambah banyak). Kelenjar prostat membesar, memanjang ke
arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine
sehingga air seni tidak dapat mengalir ke luar dengan lancar (Long, 2001)
Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar
prostat tidaklah membesar atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar
periuretralah yang mengalami hiperplasia(sel-selnya bertambah banyak.
Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi pipih dan disebut
kapsul surgical (Mansjoer, 2001)

Epidemiologi/ insiden kasus :


Penyakit ini mengenai lebih dari 50% pria berumur lima puluhan dan sekitar 90%
pria berusia tujuh pulahan dan delapan puluhan (Guyton, 2007).

Etiologi :
Penyebab dari BPH belum dapat diketahui, tetapi factor umur, genetic, dan
hormone androgen, diduga mempunyai peranan. Disamping itu mungkin juga
akibat adanya perubahan kadar hormone yang terjadi karena proses penuaan.
Beberapa teori telah dikemukakan berdasarkan faktor histologi, hormon, dan
faktor perubahan usia, di antaranya:
1. Teori DHT (dihidrotestosteron):
Testosteron adalah hormon pria yang dihasilkan oleh sel leyding. Testosteron
sebagian besar dihasilkan oleh kedua testis, sehingga timbulnya pembesaran
prostat memerlukan adanya testis yang normal. Jumlah testosteron yang
dihasilkan oleh testis kira-kira 90 % dari seluruh produksi testosteron, sedang
yang 10 % dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Sebagian besar testosteron dalam
tubuh berada dalam keadaan terikat dengan protein dalam bentuk Serum Binding
Hormon (SBH). Sekitar 2 % testosteron berada dalam keadaan bebas. Hormon
yang bebas inilah yang memegang peranan dalam proses terjadinya pembesaran
kelenjar prostat. Testosteron bebas dapat masuk ke dalam sel prostat dengan
menembus membran sel ke dalam sitoplasma sel prostat sehingga membentuk
DHT reseptor komplek yang akan mempengaruhi Asam Ribo Nukleat (RNA)
yang dapat menyebabkan terjadinya sintetis protein sehingga dapat terjadi
proliferasi sel.
Testosteron dengan bantuan enzim 5- reduktase (diperlukan untuk mengubah
testosterone menjadi 5-dihidrotestosterone (DHT). Dengan dihambatnya enzim
5-reduktase ini, kadar DHT (yang merupakan androgen urama yang menstimulir
pertumbuhan prostat) dalam prostat dan serum akan berkurang, sedangkan kadar
testosteron dalam prosta dan serum akan bertambah dari minimal menjadi sedang
(biasanya dalam rentang yang normal) dikonversi menjadi DHT yang merangsang
pertumbuhan kelenjar prostat.
2. Teori Reawakening.
Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang pertumbuhan epitel.
Menurut Mc Neal, seperti pada embrio, lesi primer BPH adalah penonjolan
kelenjar yang kemudian bercabang menghasilkan kelenjar-kelenjar baru di sekitar

prostat. Ia menyimpulkan bahwa hal ini merupakan reawakening dari induksi


stroma yang terjadi pada usia dewasa.
3. Teori stem cell hypotesis.
Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa pada kelenjar
prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada hubungan
antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel akan
berkembang menjadi sel aplifying. Keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel
aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak
pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi. Pada
jaringan prostat terdapat sel stem yang dapat berproliferasi lebih cepat, sehingga
terjadi hiperplasia kelenjar periurethral.
4. Teori growth factors.
Teori ini berdasarkan adanya hubungan interaksi antara unsur stroma dan unsur
epitel prostat yang berakibat BPH. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel
stroma di bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis
growth factor (EGF) dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya
penurunan ekspresi transforming growth factor- (TGF ), akan menyebabkan
terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran
prostat.
5. Ketidak seimbangan estrogen testoteron
Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan
penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat menyebabkan
terjadinya

hyperplasia

stroma.

Estrogen

yang

meningkat

menyebabkan

peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat (Smeltzer, 2002)
Anatomi Dan Fisiologi Prostat
Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi / mengitari
uretra posterior dan disebelah proximalnya berhubungan dengan buli-buli,
sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma
urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul.

Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah kemiri atau jeruk
nipis. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang
lebih 2 - 3 cm. Beratnya sekitar 20 gram.
Prostat terdiri dari 5 lobus yaitu :
a. Dua lobus lateralis
b. Satu lobus posterior
c. Satu lobus anterior
d. Satu lobus medial
Prostat terdiri dari :

Jaringan Kelenjar 50 - 70 %

Jaringan Stroma (penyangga) & Kapsul/Musculer 30 - 50 %

Prostat dilewati oleh :


a. Ductus ejakulatorius, terdiri dari 2 buah berasal dari vesica seminalis
bermuara ke urethra.
b. Urethra itu sendiri, yang panjangnya 17 23 cm.
Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang banyak mengandung enzym yang
berfungsi

untuk

pengenceran

sperma

setelah

mengalami

koagulasi

(penggumpalan) di dalam testis yang membawa sel-sel sperma. Pada waktu


orgasme otot-otot di sekitar prostat akan bekerja memeras cairan prostat keluar
melalui uretra. Sel sel sperma yang dibuat di dalam testis akan ikut keluar
melalui uretra. Jumlah cairan yang dihasilkan meliputi 10 30 % dari ejakulasi.
(Guyton, 2007)
Patofisiologi terjadinya penyakit :
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan lahan sehingga
perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan.
Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan
fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika

kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat. Sebagai


akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat
detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang
tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi,
mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga
terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan
apabila besar disebut diverkel.
Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut
detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi
dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total
yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami
hiperplasia, jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam
mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine.
Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi
terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli
berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi
yang terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa
: Hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula dan
difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan klien
sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah.
Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus
destrusor berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi
tidak banyak berubah. Pada fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia
Kompensata.
Lama kelamaan kemampuan kompensasi menjadi berkurang dan pola serta
kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus
destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisalah urine di dalam bulibuli saat proses miksi berakhir seringkali Prostat Hyperplasia menambah
kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan intra abdominal

(mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia dan


haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya
melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut
sebagai Prostat Hyperplasia Dekompensata.
Fase Dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam
beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara
berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan bulibuli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli tidak sanggup
menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi adalah
ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi
urine.Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi
ginjal (Guyton, 2007; Smeltzer, 2002)
Komplikasi :
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien BPH:
1. Trabekulasi, yaitu terjadi penebalan serat-serat detrusor akibat tekanan
intra vesika yang selalu tinggi akibat obstruksi.
2. Dapat terjadi sakulasi, yaitu mukosa buli-buli menerobos diantara seratserat detrusor.
3. Bila sakulasi menjadi besar, dapat menjadi divertikel.
4. Komplikasi lain yaitu pembentukan batu vesika akibat selalu terdapat sisa
urine setelah buang air kecil, sehingga terjadi pengendapan batu. Bila
tekanan intra vesika yang selalu tinggi tersebut diteruskan ke ureter dan
ginjal,

akan

terjadi

hidroureter

dan

hidronefrosis

yang

akan

mengakibatkan penurunan fungsi ginjal.


5. tahap akhir yaitu tahap dekompensasi dari detrusor dimana buli-buli sama
sekali tidak dapat mengosongkan diri sehingga terjadi retensi urine total.
Apabila tidak segera ditolong, akan terjadi overflow incontinence.
6. Karena selalu terdapat sisa urine dapat terbentuk batu endapan dalam bulibuli. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistitis.

7. Pada waktu miksi pasien harus mengejan sehingga lama-kelamaan dapat


menyebabkan hernia atau haemroid (Mansjoer, 2001)
Gejala klinis :
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai
Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli
memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal
guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan
karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan
intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum
puas.
2. Gejala Iritasi yaitu :
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi
pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing (Mansjoer, 2001)

Derajat Benigne Prostat Hyperplasia


Benigne Prostat Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan
klinisnya :
1. Derajat satu,
Keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 2 cm, sisa urine kurang
50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.
1.) Mula-mula pasien berbulan atau beberapa tahun susah kemih dan mulai
mengedan.
2.) Kalau miksi merasa puas.
3.) Urine keluar menetes dan pancaran lemah.
4.) Nocturia
5.) Urine keluar malam hari lebih dari normal.
6.) Ereksi lebih lama dari normal dan libido lebih dari normal.
7.) Pada cytoscopy kelihatan hyperemia dari orificium urethra interna.
Lambat laun terjadi varices akhirnya bisa terjadi perdarahan (blooding)
2. Derajat dua,
Keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat, panas
badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol, batas
atas masih teraba, sisa urine 50 100 cc dan beratnya + 20 40 gram.
1.)Bila miksi terasa panas.
2.)Dysuri nocturi bertambah berat.
3.)Tidak bisa buang air kecil (kemih tidak puas).

4.)Bisa terjadi infeksi karena sisa air kemih.


5.)Terjadi panas tinggi dan bisa menggigil.
6.)Nyeri pada daerah pinggang (menjalar ke ginjal).
3. Derajat tiga,
Gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa urine lebih
100 cc, penonjolan prostat 3 4 cm, dan beratnya 40 gram.
1.)Ischuria paradosal.
2.)Incontinensia paradosal.
4. Derajat empat,
Inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit keginjal seperti
gagal ginjal, hydroneprosis.
1.)Kandung kemih penuh.
2.)Penderita merasa kesakitan.
3.)Air kemih menetes secara periodik yang disebut over flow incontinensia.
4.)Pada pemeriksaan fisik yaitu palpasi abdomen bawah untuk meraba ada
tumor, karena bendungan yang hebat.
5.)Dengan adanya infeksi penderita bisa menggigil dan panas tinggi sekitar 40
410 C.
6.)Selanjutnya penderita bisa koma (Suyono, 2001; Plantz, 1997)

Pemeriksaan Fisik

Inspeksi : Penonjolan pada daerah supra pubik retensi urine

Palpasi : Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan pasien
ingin buang air kecil retensi urine

Perkusi : Redup residual urine

Pemeriksaan penis : uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya


stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis.

Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur) posisi knee chest


Syarat : buli-buli kosong/dikosongkan
Tujuan : Menentukan konsistensi prostat
Menentukan besar prostat

Pemeriksaan Radiologi
Pada Pemeriksaan Radiologi ditujukan untuk
a. Menentukan volume Benigne Prostat Hyperplasia
b. Menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residual urine
c. Mencari ada tidaknya kelainan baik yang berhubungan dengan BPH atau tidak
Beberapa Pemeriksaan Radiologi
a. Intra Vena Pyelografi ( IVP ) :
Gambaran trabekulasi buli, residual urine post miksi, dipertikel buli.
Indikasi : disertai hematuria, gejala iritatif menonjol disertai urolithiasis

Tanda BPH : Impresi prostat, hockey stick ureter


b. BOF :
Untuk mengetahui adanya kelainan pada renal
c. Retrografi dan Voiding Cystouretrografi :
Untuk melihat ada tidaknya refluk vesiko ureter/striktur uretra.
d. USG :
Untuk menentukan volume urine, volume residual urine dan menilai pembesaran
prostat jinak/ganas

Pemeriksaan Endoskopi.
Pemeriksaan dengan endoskopi yang dimasukkan melalui uretra untuk
mengetahui penyebab lainnya dari penyumbatan aliran air kemih.

Pemeriksaan Uroflowmetri
Berperan penting dalam diagnosa dan evaluasi klien dengan obstruksi leher bulibuli
Q max : > 15 ml/detik non obstruksi
10 - 15 ml/detik border line
< 10 ml/detik obstruktif

Pemeriksaan Laboratorium

Urinalisis (test glukosa, bekuan darah, UL, DL, RFT, LFT, Elektrolit, Na,/K,
Protein/Albumin, pH dan Urine Kultur)
Jika infeksi: pH urine alkalin, spesimen terhadap Sel Darah Putih, Sel Darah
Merah atau PUS (Price, 2006)

Pengobatan/Terapi :
Obat-obatan :
1. Alfa 1-blocker
Contohnya doxazosin, prazosin, tamsulosin dan teralosin. Obat-obat
tersebut menyebabkan pengenduran (relaksasi) otot-otot pada kandung
kemih sehingga penderita lebih mudah berkemih.
2. Finasterid
Finasterid menyebabkan berkurangnya kadar hormone prostate sehingga
memperkecil ukuran prostate. Obat ini juga menyebabkan meningkatnya
laju aliran air kemih dan mengurangi gejala. Tetapi diperlukan waktu
sekitar 3-6 bulan sampai terjadinya perbaikan yang berarti. Efek samping
dari finasterid adalah berkurangnya gairah seksual dan impotensi.
3. Obat lainnya
Untuk mengobati prostatitis kronis, yang sering menyertai BPH, diberikan
antibiotic.
Pembedahan :
Pembedahan biasanya dilakukan terhadap penderita yang mengalami :

Inkontinensia urin

Hematuria (darah dalam air kemih)

Retensio urin (air kemih tertahan di dalam kandung kemih)

Infeksi saluran kemih berulang.

Pemilihan prosedur pembedahan biasanya tergantung pada beratnya gejala


serta ukuran dan bentuk kelenjar prostate.

TURP (trans-ureteral resection of the prostate)


TURP merupakan pembedahan BPH yang paling sering dilakukan.
Endoskopi dimasukkan melalui penis (uretra). Keuntungan dari TURP
adalah tidak dilakukan sayatan sehingga mengurangi resiko terjadinya
infeksi. 88% penderita yang menjalani TURP mengalami perbaikan yang
berlangsung selama 10-15 tahun. Impotensi terjadi pada 13,6% penderita
dan 1% penderita mengalami inkontinensia uri.

TUIP (trans-ureteral incision of the prostate)


TUIP menyertai TURP, tetapi biasanya dilakukan pada penderita yang
memiliki prostate relatif kecil. Pada jaringan prostate dibuat sayatan kecil
untuk melebarkan lubang uretra dan lubang pada kantong kemih, sehingga
terjadi perbaikan laju aliran air kemih dan gejala berkurang. Komplikasi
yang mungkin terjadi adalah perdarahan, infeksi, penyempitan uretra dan
impotensi.

Prostektomi terbuka
Sebuah sayatan bisa dibuat di perut (melalui struktur di belakang tulang
kemaluan/ retropubik dan di atas tulang kemaluan/ suprapubik) atau di
daerah perineum (dasar panggul yang meliputi daerah scrotum sampai
anus). Pendekatan melalui perenium saat ini jarang digunakan lagi karena
angka

kejadian

impotensi

setelah

pembedahan

mencapai

50%.

Pembedahan ini memerlukan waktu dan biasanya penderita harus dirawat


selama 5-10 hari. Komplikasi yang terjadi adalah impotensi (16-32%,

tergantung pada pendekatan pembedahan) dan inkontinensia urine (kurang


dari 1%).
Pengobatan lainnya efektivitasnya masih dalam penelitian adalah hipertremia,
terapi laser dan prostatic stents (Price, 2006)

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
1). Identitas klien
Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin,
agama,

suku

bangsa / ras,

pendidikan,

bahasa

yang

dipakai,

pekerjaan, penghasilan dan alamat. Jenis kelamin dalam hal ini


klien adalah laki - laki berusia lebih dari 50 tahun.
2). Keluhan utama
Keluhan yang biasa muncul pada klien BPH adalah nyeri yang
berhubungan dengan spasme buli - buli. Pada

saat

mengkaji

keluhan utama perlu diperhatikan faktor yang mempergawat atau


meringankan nyeri
yang

( provokative / paliative ), rasa

nyeri

dirasakan (quality), keganasan / intensitas ( saverity ) dan

waktu serangan, lama, kekerapan (time).


3). Riwayat penyakit sekarang
Kumpulan

gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan

Lower Urinari Tract Symptoms ( LUTS ) antara lain : hesitansi,


pancar urin lemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa
setelah selesai miksi, urgensi, frekuensi dan disuria
Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-hal
yang dapat menimbulkan keluhan dan ketahui pula bahwa munculnya
gejala untuk pertama kali atau berulang.
4). Riwayat penyakit dahulu

Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan


keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan . Diabetes Mellitus,
Hipertensi,

PPOM,

Jantung

Koroner, Dekompensasi Kordis

dan

gangguan faal darah dapat memperbesar resiko terjadinya penyulit


pasca. Ketahui pula adanya riwayat penyakit saluran kencing dan
pembedahan terdahulu.
5). Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun
seperti : Hipertensi, Diabetes Mellitus, Asma perlu digali .
Pengkajian pre operasi:
Pola pola fungsi kesehatan
a).

Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat


Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena di rawat di
rumah sakit.

b).

Pola nutrisi dan metabolisme


Klien yang di lakukan anasthesi

tidak boleh makan dan

minum sebelum flatus .


c).

Pola eliminasi
Pada klien dapat terjadi penurunan kekuatan / dorongan aliran
urine, urine berupa tetesan, terjadi keraguan pada awal berkemih,
ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan
lengkap, dorongan dan frekuensi berkemih, nokturia, disuria,
hematuria, dapat terjadi konstipasi ( Protusi prostat ke dalam
rectum ) yang ditandai dengan : massa padat dibawah abdomen
bawah ( Distensi kandung kemih ), nyeri tekan kandung kemih
Hernia inguinalis, hemorroid ( Mengakibatkan peningkatan
tekanan abdominal yang memerlukan pengosongan kandung
kemih, mengatasi tahanan ).

d).

Pola aktivitas dan latihan

Adanya

keterbatasan

aktivitas

karena

kondisi

klien

yang

lemah. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak


boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
e).

Pola tidur dan istirahat


Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat
mempengaruhi pola tidur dan istirahat.

f).

Pola kognitif perseptual


Sistem

Penglihatan,

Pendengaran,

Pengecap,

peraba dan

Penghidu tidak mengalami gangguan.


g).

Pola persepsi dan konsep diri


Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang
proses pembedahan

h).

Pola hubungan dan peran


Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka
dapat mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam
keluarga tempat kerja dan masyarakat.

i).

Pola reproduksi seksual


Klien dapat mengalami masalah tentang efek kondisi / terapy pada
kemampuan seksual, takut inkontinensia / menetes selama
hubungan intim dan penurunan kekuatan kontraksi ejakulasi.

j).

Pola penanggulangan stress


Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang
proses pembedahan

k).

Pola tata nilai dan kepercayaan


Adanya

traksi

kateter

memerlukan

adaptasi

klien

dalam

menjalankan ibadahnya.
Pengkajian post operasi
Pola pola fungsi kesehatan
a). Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah
baring selama 24 jam pasca pembedahan. Adanya keluhan

nyeri karena spasme buli - buli memerlukan penggunaan anti


spasmodik sesuai terapi dokter.
b). Pola nutrisi dan metabolisme
Klien yang sudah dilakukan pembedahan dipasangkan infus untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi
c). Pola eliminasi
Pada

klien

dapat

terjadi

hematuri

setelah

tindakan

pembedahan. Retensi urin dapat terjadi bila terdapat bekuan


darah pada kateter. Sedangkan inkontinensia dapat terjadi
setelah kateter di lepas.
d). Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah
dan terpasang traksi kateter selama 6 24 jam. Pada paha
yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama
traksi masih diperlukan.
e). Pola tidur dan istirahat
Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat
mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
f). Pola kognitif perseptual
Sistem

Penglihatan,

Pendengaran,

Pengecap,

peraba dan

Penghidu tidak mengalami gangguan pasca pembedahan.


g). Pola persepsi dan konsep diri
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang
perawatan , pemeliharaan dan komplikasi pasca pembedahan.
h). Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka
dapat mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam
keluarga tempat kerja dan masyarakat.
i). Pola reproduksi seksual
Klien dapat mengalami masalah tentang efek kondisi / terapy pada
kemampuan seksual, takut inkontinensia / menetes selama

hubungan intim dan penurunan kekuatan kontraksi ejakulasi.


Tindakan pembedahan dapat menyebabkan impotensi .
j). Pola penanggulangan stress
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang
perawatan, pemeliharaan dan komplikasi pasca pembedahan. Gali
adanya stres pada klien dan mekanisme koping klien terhadap
stres tersebut.
k). Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya

traksi

kateter

menjalankan ibadahnya .

memerlukan

adaptasi

klien

dalam

Usia Lanjut

Perubahan hormon
terganggu

DHT meningkat

Enzim 5- reduktase

BPH

Pembesaran prostat

Penyempitan
lumen
Obstruksi
mekanik pada
uretra

tek. intravesikal

Urine tertahan
(retensi)

Pemasangan
kateter

Distensi
VU

Pembedahan
Gangguan pola
eliminasi urin

Resiko infeksi

Nyeri
Gangguan rasa
nyaman (nyeri)

Pendarahan

Resiko tinggi
kekurangan cairan

B. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
a. Gangguan pola eliminasi urin berhubungan dengan retensi urin akibat
pembesaran kelenjar prostat, ditandai dengan :

berkemih tidak lancar

urine menetes,

distensi kandung kemih

b. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan distensi kandung kemih,


ditandai dengan :

Keluhan Nyeri.

Ekspresi wajah meringis, gelisah

Tampak tegang

Pola tidur terganggu

c. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter


Post Operasi
a. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik,tidandai dengan :

Melaporkan nyeri secara verbal

Gangguan pola tidur

Tingkah laku ekspresif ( merintis, gelisah ,mengeluh)

b. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan kehilangan cairan


berlebih (pendarahan).

C. Perencanaan keperawatan
Pre operasi

Dx1

: Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan retennsi urin akibat


pembesaran kelenjar prostat, ditandai dengan :

berkemih tidak lancar

urine menetes,

distensi kandung kemih

Tujuan : Klien dapat berkemih secara normal dengan criteria :

Rasa puas saat berkemih

Tidak ada distensi kandung kemih

No. Intervensi

Rasional

1.

Dorong klien untuk berkemih tiap

Meminimalkan retensi urin berlebihan

2-4 jam

pada kandung kemih

2.

Observasi aliran urine, perhatikan

Berguna untuk mengevaluasi obstruksi

3.

ukuran dan kekuatan.


Awasi dan catat waktu dan jam

dan pilihan intervensi.


Retensi urin meningkatkan tekanan

tiap berkemih, perhatikan

dalam saluran perkemihan bagian atas,

penurunan pengeluaran urine dan

yang dapat mempengaruhi ginjal.

4.

perubahan berat jenis urin.


Perkusi area suprapubik untuk

Distensi abdomen dapat dirasakan

5.

menentukan adanya distensi


Anjurkan untuk minum 3000

didaerah suprapubik.
Peningkatan aliran cairan

ml/hari

mempertahankan perfusi ginjal dan


membersihkan ginjal dan kandung

6.

Awasi tanda-tanda vital dengan

kemih dan pertumbuhan bakteri.


Penurunan fungsi ginjal

ketat, observasi hipertensi, edema,

mengakibatkan penurunan eliminasi

perubahan mental

cairan dan akumulasi sisa toksis dapat


mengakibatkan penurunan fungsi
ginjal.

7.

Lakukan kateterisasi dan

Menurunkan resiko infeksi asenden

perawatan perineal
8.

Berikan rendam duduk sesuai

Meningkatkan relaksasi otot,

indikasi

penurunan edema, meningkatkan


upaya berkemih.

9.

Kolaborasi tim medis pemberian :


Antispasmodik (untuk
menghilangkan spasme kandung
kemih)
Fenoksibenzamin
(merelaksasikan otot poros
prostat dan menurunkan tahanan
terhadap urine).
Dx2 :

Nyeri akut berhubungan dengan distensi kandung kemuh, ditandai


dengan :

Keluhan Nyeri.

Ekspresi wajah meringis,gelisah

Tampak tegang

Pola tidur terganggu

Tujuan :

Klien menunjukan nyerinya berkurang atau hilang ( dengan


openurunan skala nyeri)

Tampak rileks

Mampu beristirahat dengan cukup

No. Intervensi
1.
Observasi tingkat nyeri dengan
2.

Rasional :
membantu informasi dalam

skala 0 10
Pertahankan tirah baring bila

keefektifan intervensi.
Tirah baring mungkin diperlukan pada

diindikasikan

awal retetnsi urin akut, namun


ambulasi napas dalam dapat

memperbaiki pola berkemih normal.


3.

Anjurkan menggunakan rendam

Meningkkatkan relaksasi otot

duduk, sabun hangat untuk


perineum.
Kolaborasi dalam pemberian :

4.

Obat analgetik bahkan narkotik


misalnya pethidin untuk
menghilangkan nyeri berat dan
relaksasi mental dan fisik
Dx3 : Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter
No. Intervensi
1.
Kaji aliran urine melalui kateter.

Rasional :
Ketidak lancaran aliran urine melalui
kateter sebagai akibat adanya

2.

3.

Lakukan irigasi kandung kemih

sumbatan
Irigasi akan mempertahankan aliran

melalui kateter

urin lanccar dan membersihkan

Berikan informasi kepada klien

kandung kemih dari kuman.


Kurangnya pengetahuan klien tentang

tentang pemasangan kateter

tindakan yang kan dilakukan akan


memungkinkan klien menarik atau

4.

Pertahankan tehnik aseptic

memegang kateter.
Untuk mencegah terkontaminasi

5.

terutama saat perawatan kateter.


Anjurkan klien selama

dengan mikroorganisme
Untuk mempertahankan status hidrasi

pemasangan kateter harus banyak

klien.

minum

Post operasi
Dx 1 : Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik, ditandai dengan :

Melaporakn nyeri secara verbal

Gangguan pola tidur

Tingkah laku ekspresif ( merintis, gelisah ,mengeluh)

Tujuan : nyeri pada pasien berkurang,dengan kriteria :

Pasien mengatakan skala nyeri berkurang

Pola tidur cukup

Wajah tampak rileks

No. Intervensi
1.
Observasi tingkat nyeri dengan
2.

Rasional :
membantu informasi dalam

skala 0 10
Pertahankan tirah baring bila

keefektifan intervensi.
Tirah baring mungkin diperlukan pada

diindikasikan

awal retetnsi urin akut, namun


ambulasi napas dalam dapat
memperbaiki pola berkemih normal.

3.

Berikan tindakan kenyamanan

Menurunkan tegangna otot dan dapat

( sentuhan terapeautik, perubahan

meningkatkan mekanisme koping

posisi dan pijtan punggung).


Dorong teknik relaksasi termasuk
latihan nafas dalam, distraksi dan
4.

pedoman imajinasi
Kolaborasi dalam pemberian :
Obat analgetik bahkan narkotik
misalnya pethidin untuk
menghilangkan nyeri berat dan
relaksasi mental dan fisik

Dx 2 : Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan kehilangan cairan


berlebih (pendarahan).
Tujuan : Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
No. Intervensi
1.
Pantau masukan dan haluaran
cairan.

Rasional
indikator

keseimangan

kebutuhan penggantian

cairan

dan

2.

Evaluasi warna, konsistensi


urin, contoh :

Merah terang dengan

mengindikasikan perdarahan arterial

bekuan darah

dan memerlukan terapi cepat.

Peningkatan veskositas, warna menunjukkan


keruh gelap dengan bekuan

3.

perdarahan

vena,

biasanya berkurang sendiri.

gelap.
Awasi tanda-tanda vital,
perhatikan peningkatan nadi dan
pernapasan, penurunan tekanan
darah, diaforesis, pucat,
pelambatan pengisian kapiler dan
membran mukosa kering.

4.

Dorong pemasukan cairan 3000

membilas gonjal / buli-buli dari bakteri

ml/harikecuali kontraindikasi.

dan debris. Awasi dengan ketat karena


dapat mengakibatkan intoksikasi

5.

Hindari pengukuran suhu rektal

cairan.
dapat mengakibatkan penyebaran

dan penggunaan selang rektal /

iritasi terhadap dasar prostat dan

enema.

peningkatan kapsul prostat dengan


resiko perdarahan.

6.

Kolaborasi dalam memantau


pemeriksaan laboratorium sesuai
indikasi, contoh:

Hb / Ht, jumlah sel

darah merah.

7.

Pemeriksaan koagulasi,

berguna dalam evaluasi kehilangan


darah/kebutuhan penggantian.

dapat mengindikasikan terjadinya

jumlah trombosi

komplikasi misalnya penurunan

Berikan pelunak feses, laksatif

faktor pembekuan darah.


pencegahan konstipasi / mengejan

sesuai indikasi.

untuk defekasi

menurunkan

perdarahan rektal-perineal.

resiko

D. Implementasi
Implementasi/pelaksanaan adalah pengelolaan dan perwujudan dari
rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan klien secara optimal. Pada tahap ini
perawat menerapkan pengetahuan intelektual, kemampuan hubungan antar
manusia (komunikasi) dan kemampuan tehnis keperawatan dengan berfokus
pada pertahanan daya tahan tubuh, pencegahan komplikasi, penemuan
perubahan sistem tubuh pemantapan

hubunngan klien dengan lingkungan,

implementasi pesan tim medis serta mengupayakan rasa aman, nyaman dan
keselamatan klien.
Tindakan keperawatan dapat diberikan secara mandiri oleh perawat,
kolaborasi

dengan sesama tim perawatan atau tim kesehatan lainnya

maupun atas dasar rujukan dari profesi lain.


Adapun

tindakan yang dilakukan pada klien BPH disesuaikan

dengan rencana tindakan yang telah ditetapkan pada perencanaan.


E. Evaluasi
Evaluasi merupakan perbandingan yang sistematik dan terencana
mengenai

kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan

dan

dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga


kesehatan lainnya. Penilaian dalam keperawatan bertujuan untuk mengetahui
pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses
keperawatan.
Pre Operasi
a. Gangguan pola eliminasi urin berhubungan dengan retensi urin akibat
pembesaran kelenjar prostate.
S : Pasien mengatakan puas saat berkemih (karena dapat mengeluarkan urine
secara maksimal) dan pola istirahat cukup
O : Tidak ada distensi kandung kemih
A : Tujuan tercapai (masalah teratasi)

P : Hentikan tindakan
b. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan distensi kandung kemih
S : Pasien mengatakan nyeri berkurang (penurunan skala)
O : Ekspresi wajah pasien mulai ceria dan rileks (tidak meringis)
A: Tujuan tercapai (masalah teratasi)
P : Hentikan tindakan
c. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter
Post Operasi
a. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
S : Pasien mengatakan nyeri berkurang (penurunan skala) dan pola istirahat baik
(kualitas dan kuantitas)
O : Ekspresi wajah pasien mulai ceria (tidak meringis)
A: Tujuan tercapai (masalah teratasi)
P : Hentikan tindakan

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10. Jakarta : EGC
Diane, Baughman C. 2000. Keperawatan Medical Bedah. Jakrta : EGC
Doenges, Marilynn E. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta :
EGC
Guyton. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC
Hudak, Gallo. 2010. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik, Volume 2.
Jakarta : EGC
Long, B.C., 2001. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius


NANDA. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Prima Medika
Plantz, Scott H. 1997. National Medical Series For Independent Study Emergency
Medicine. USA: Williams & Wilkins
Price, Sylvia A, dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Penyakit Volume II.
Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C, dkk. 2002. Keperawatan Medikal - Bedah Brunner &
Suddarth, Edisi 8, Volume 3. Jakarta : EGC.
Suyono,Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI

Anda mungkin juga menyukai