Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Ketuban


2.1.1 Anatomi Ketuban
Selaput ketuban secara mikroskopis terdiri dari lima lapisan. Lapisan terdalam yang
dibasahi cairan ketuban dibentuk oleh satu lapisan epithelial kuboidal yang melekat pada
membran basalis yang melekat pada lapisan kompak aselular yang terdiri dari interstitial
kolagen.Di luar lapisan kompak ini terdapat lapisan sel mesenkimal. Lapisan terluar dari
ketuban adalah lapisan zona spongiosa.Lapisan terluar ketuban berhubungan langsung
dengan lapisan chorion.Umbilical amnion melapisi tali pusat (Parry & Strauss, 1998).
2.1.2 Fisiologi cairan Ketuban
Amnion manusia pertama kali dapat diidentifikasi pada sekitar hari ke-7 atau ke-8
perkembangan janin.Pada awalnya sebuah vesikel kecil yaitu amnion, berkembang menjadi
sebuah kantung kecil yang menutupi permukaan dorsal mudigah.Cairan amnion pada
keadaan normal berwarna putih agak keruh karena adanya campuran partikel solid yang
terkandung di dalamnya yang berasal dari lanugo, sel epitel, dan material sebasea. Volume
cairan amnion pada keadaan aterm adalah sekitar 800 ml, atau antara 400 ml -1500 ml
dalam keadaan normal. Pada kehamilan 10 minggu rata-rata volume adalah 30 ml, dan
kehamilan 20 minggu 300 ml, 30 minggu 600 ml. Pada kehamilan 30 minggu, cairan amnion
lebih mendominasi dibandingkan dengan janin sendiri (Parry& Strauss, 1998).
Cairan amnion merupakan komponen penting bagi pertumbuhan dan perkembangan
janin selama kehamilan. Pada awal embryogenesis, amnion merupakan perpanjangan dari
matriks ekstraseluler dan di sana terjadi difusi dua arah antara janin dan cairan
amnion. Pada usia kehamilan 8 minggu, terbentuk uretra dan ginjal janin mulai
memproduksi urin. Selanjutnya janin mulai bisa menelan. Eksresi dari urin, sistem
pernafasan, sistem digestivus, tali pusat dan permukaan plasenta menjadi sumber dari
cairan amnion. Telah diketahui bahwa cairan amnion berfungsi sebagai kantong pelindung di
3

sekitar janin yang memberikan ruang bagi janin untuk bergerak, tumbuh meratakan tekanan
uterus pada partus, dan mencegah trauma mekanik dan trauma termal (Parry& Strauss,
1998).
Cairan amnion juga berperan dalam sistem imun bawaan karena memiliki peptid
antimikrobial terhadap beberapa jenis bakteri dan fungi patogen tertentu. Cairan amnion
adalah 98% air dan elektrolit, protein , peptide, hormon, karbohidrat, dan lipid. Pada
beberapa penelitian, komponen-komponen cairan amnion ditemukan memiliki fungsi
sebagai biomarker potensial bagi abnormalitas-abnormalitas dalam kehamilan. Beberapa
tahun belakangan, sejumlah protein dan peptide pada cairan amnion diketahui sebagai
faktor pertumbuhan atau sitokin, dimana kadarnya akan berubah-ubah sesuai dengan usia
kehamilan.

Cairan

amnion

juga

diduga

memiliki

potensi

dalam

pengembangan

medikasi stem cell (Parry& Strauss, 1998)

2.2 PROM (Premature Rupture of Membrane)


2.2.1 Definisi PROM
Ketuban pecah dini (Saifuddin, 2008) atau dikenal juga sebagai premature rupture of
membranes (PROM) adalah adanya ruptur dari membran fetus secara spontan sebelum
onset dari persalinan pada kehamilan aterm. Bila ruptur yang demikian terjadi sebelum
kehamilan aterm (sebelum usia 37 minggu gestasi), maka kondisi ini disebut sebagai
preterm premature rupture of membranes (PPROM) .Hal ini berbeda dari keadaan normal
dimana selaput ketuban akan pecah dalam proses persalinan (Saifuddin, 2008). Dalam
keadaan normal, Selaput ketuban pecah dalam proses persalinan.
2.2.2 Epidemiologi PROM
Beberapa peneliti melaporkan hasil penelitian mereka dan didapatkan hasil yang
bervariasi.Insidensi PROM berkisar antara 8 10 % dari semua kehamilan. Hal yang
menguntungan dari angka kejadian PROM yang dilaporkan, bahwa lebih banyak terjadi
pada kehamilan yang cukup bulan dari pada yang kurang bulan, yaitu sekitar 95 %,

sedangkan pada kehamilan tidak cukup bulan atau PROM pada kehamilan preterm terjadi
sekitar 34 % semua kelahiran prematur (Parry& Strauss, 1998).
PROM merupakan komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan kurang bulan,
dan mempunyai kontribusi yang besar pada angka kematian perinatal pada bayi yang
kurang bulan.Pengelolaan PROM pada kehamilan kurang dari 34 minggu sangat komplek,
bertujuan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya prematuritas dan RDS (Parry&
Strauss, 1998).
2.2.3 Mekanisme Terjadinya PROM
Ketuban pecah pada persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus dan
peregangan berulang.Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu pada selaput
ketuban terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh,
bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh.
Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metalloproteinase (MMP) yang dihambat
oleh inhibitorjaringan spesifik dan inhibitor protease. Mendekati waktu persalinan,
keseimbangan antara MMP dan TIMP-1 mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks
ekstraselular dan membrane janin.Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat menjelang
persalinan.
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester ketiga selaput
ketuban akan mudah pecah.Melemahnya selaput ketuban ada hubunganya dengan
pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin, dan gerakan janin. Pada trimer
terakhir terjadi perubahan biokimia pada selaput ketuban.
Ketuban pecah dini pada premature ataupun aterm disebabkan oleh factor-faktor
eksternal, misalnya infeksi yang menjalar dari vagina, trauma pada ibu, malposisi.
Ketuban pecah dini premature sering terjadi pada polihidramnion, inkompeten
serviks, solusio plasenta.
2.2.4 Diagnosis PROM

Ibu harus selalu diperingatkan selama periode antepartum untuk mewaspadai


keluarnya cairan dari vagina dan untuk segera melaporkan kejadian ini. Hal ini penting,
untuk kemudian ditegakkannya segera diagnosis pecah ketuban karena 3 alasan. Pertama,
bila bagian terbawah janin (presentasi janin) belum terfiksasi pada pelvis, kemungkinan
prolaps dan kompresi dari tali pusat sangat meningkat. Kedua, persalinan mungkin akan
segera terjadi bila kehamilan mendekati atau telah mencapai usia aterm. Ketiga, bila
persalinan tertunda setelah terjadinya pecah ketuban, resiko infeksi intrauterin semakin
meningkat seiring dengan peningkatan jarak waktu dengan persalinan (Parry& Strauss,
1998).
Diagnosis pecahnya selaput ketuban didapatkan dengan adanya cairan ketuban di
vagina (Saifuddin, 2008). Juga pada pemeriksaan inspekulo, didiagnosa dengan
ditemukannya genangan cairan amnion pada fornix posterior atau adanya cairan bening
yang mengalir dari canalis servikalis. Meskipun terdapat beberapa tes diagnosis yang
direkomendasikan untuk mendeteksi pecah ketuban, tidak ada yang sepenuhnya dapat
diandalkan. Jika diagnosis tetap tidak dapat dipastikan, terdapat metode lain yang
melibatkan pengukuran pH dari cairan vagina. Normalnya, pH dari sekresi vagina berkisar
antara 4,5 sampai 5,5, sedangkan cairan amnion biasanya berkisar antara 7,0 sampai 7,5.
Penggunaan indikator nitrazine untuk mengidentifikasi pecahnya ketuban merupakan
metode yang sederhana dan cukup dapat diandalkan. Kertas tes diimpregnasi dengan
pewarna, dan warna hasil reaksi strip kertas ini dengan cairan vagina diintepretasi dengan
bagan warna standar (tes lakmus, perubahan warna merah menjadi biru(Saifuddin, 2008).
PH diatas 6,5 adalah konsisten dengan ketuban pecah. Hasil tes positif palsu dapat terjadi
dengan adanya darah, semen, atau bacterial vaginosis pada saat yang bersamaan,
sedangkan hasil negatif palsu dapat terjadi bila cairan yang ada terlalu sedikit (American
Academy of Pediatrics and American College of Obstetricians and Gynecologists, 2007).
Penggunaan antiseptik alkalin juga dapat menaikkan pH vagina (Saifuddin, 2008; Divisi
Fetomaternal, 2008).
6

Tes lainnya meliputi pembentukan pola seperti bulu dari cairan vagina yang
mengarah pada adanya cairan amnion bukannya sekresi serviks. Cairan amnion akan
mengkristal dan membentuk pola seperti bulu akibat konsentrasi relatif dari natrium klorida,
protein dan karbohidrat. Deteksi alpha-fetoprotein pada vagina juga telah digunakan untuk
mengidentifikasi adanya cairan amnion oleh Yamada dan koleganya (1998). Identifikasi juga
dapat dilakukan sesudah injeksi indigo carmine ke dalam kantong amnion melalui abdominal
amniosentesis (Varney, 2004). Pemeriksaan lainnya dapat dilakukan dengan penggunaan
ultrasound dimana adanya PROM dapat dikonfirmasikan dengan adanya oligohidramnion
(Saifuddin, 2008).
2.2.5

Penatalaksanaan
Konservatif (rawat d rumah sakit)

Berikan antibiotik (ampisilin 4x 500 mg atau eritromisin bila tidak tahan


ampisilin dan metronidazol 2x500 mg selama 7 hari)

Jika umu kehamilan < 32-34 minggu, dirawat sampai air ketuban tidak keluar
lagi

Usia kehamilan 32- 37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi dan tes busa
negatif beri deksametason, observasi tanda-tana infeksi, dan kesejahterhan
janin.

Lakukan terminasi pada usia kehamilan 37 minggu.

Usia 32- 37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi berikan tokolitik,
deksametason, dan lakukan induksi sesudah 24 jam.

Usia 32-37 minggu ada infeksi, beri antibiotik dan induksi, nilai tanda-tanda
infeksi.

Pada usia 32-37 minggu berikan steroid untuk memacu kematangan paru
janin. Betametason diberikan dengan dosis 12 mg sehari dosis tunggal
selama 2 hari, deksametason I.M 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.

Aktif

Usia kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitsin, bila gagal lakukan
seksio sesarea. Dapat juga diberikan misoprostol 25 g 50 g intravaginal
intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali. Bila ada tanda tanda infeksi berikan
antibiotik dosis tinggi dan akhiri persalinan.

Bila Pelvic Score <5, lakukan pematangan serviks, kemudian induksi. Jika
gagal lakukan seksio sesarea.

Bila pelvic score >5, induksi persalinan.

Berdasarkan Pedoman Diagnosis Fetomaternal RSSA, 2008, tata laksana


Premature Rupture of the Membrane:
-

Induksi persalinan jika:

12 jam belum inpartu

Terdapat tanda infeksi intra uterin

Tidak ada kontra indikasi untuk dilakukan persalinan

Bila PS>5 dilakukan induksi dengan oksitosin drip


PS<5 dilakukan ripening dengan misoprostol 50

g/6 jam sampai

PS>5 dilanjutkan oksitosin drip.


-

Berikan antibiotik Gentamycin 2x80 mg IV


Pada infeksi intra uterin diberikan kombinasi obat sampai 48 jam bebas panas,
obat tersebut antara lain:

Ampicillin 3x1gr

Gentamycin 2x80gr

Metronidazole 3x500mg.

Ketuban pecah dini pada kehamilan aterm atau preterm, baik dengan atau tanpa
komplikasi harus dirujuk ke rumah sakit.Bila terdapat prolaps tali pusat, pasien dirujuk

dengan posisi panggul lebih tinggi dari badannya, bila mungkin dengan posisi sujud.Kalau
perlu kepala janin didorong ke atas dengan 2 jari agar tali pusat tidak tertekan kepala
janin.Tali pusat di vulva dibungkus kain hangat yang dilapisi plastik. Bila ada demam atau
dikhawatirkan terjadi infeksi saat rujukan atau ketuban pecah lebih dari 6 jam, berikan
antibiotik seperti penisilin prokain 1,2 juta IU IM tiap 12 jam dan ampisilin 1 g peroral diikuti
500 mg tiap 6 jam atau eritromisin dengan dosis yang sama. (Saifuddin, 2008; Bruce 2010).
Pada kehamilan lebih dari 36 minggu, bila ada his, pimpin meneran dan lakukan
akselerasi bila ada inersia uteri. Bila tidak ada his, lakukan induksi persalinan bila ketuban
pecah kurang dari 6 jam dan skor pelvik kurang dari 5 atau ketuban pecah lebih dari 6 jam
dan skor pelvik lebih dari 5, seksio sesarea bila ketuban pecah kurang dari 5 jam dan skor
pelvik kurang dari 5 (Saifuddin, 2008).
Induksi persalinan sendiri menggambarkan usaha menstimulasi kontraksi sebelum
onset persalinan spontan dengan ataupun tanpa adanya pecah ketuban.

Indikasi dari

induksi persalinan adalah ketika keuntungan yang didapatkan, baik oleh ibu maupun fetus,
melebihi keuntungan yang didapatkan bila kehamilan dilanjutkan. Indikasinya termasuk
kondisi

yang

membutuhkan

penanganan

segera

seperti

ketuban

pecah

dengan

korioamnionitis atau preeklamsia berat. Indikasi yang lebih sering adalah PROM, hipertensi
gestasional, status janin yang mengkhawatirkan, kehamilan posterm, dan berbagai kondisi
medis ibu seperti hipertensi kronis dan diabetes (American College of Obstetricians and
Gynecologists, 1999 dalam Cunningham et al., 2010). Kontraindikasi dari induksi persalinan
mirip dengan kontraindikasi dari persalinan spontan. Faktor janin termasuk makrosomia,
kehamilan

kembar,

hidrosefalus

berat,

malpresentasi

atau

status

janin

yang

mengkhawatirkan. Untuk beberapa faktor kontraindikasi ibu berhubungan dengan tipe insisi
uterin sebelumnya, panggul sempit atau anatomi panggul yang berbeda, implatasi plasenta
abnormal, dan kondisi seperti infeksi herpes genital aktif atau kanker serviks (Saifuddin,
2008)

2.2.6 Komplikasi PROM


Setelah ketuban pecah normalnya segera disusul dengan persalinan. Pada
kehamilan aterm 90% persalinan terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah (Saifuddi,
2008). Sedangkan berdasarkan Parry dan Strauss (1998) setelah terjadinya PROM, 70%
ibu akan memulai persalinan dalam 24 jam dan 95% dalam 72 jam. Dengan perkembangan
klinis yang relatif cepat kearah persalinan setelah

terjadinya PROM, maka tujuan dari

penanganan PROM adalah meminimalkan resiko infeksi intrautein tanpa meningkatkan


insidens sectio cesarian. Karena, seperti telah dijelaskan sebelumnya, komplikasi yang
mungkin timbul dari PROM adalah infeksi maternal ataupun neonatal dan hipoksia karena
kompresi tali pusat (Saifuddin, 2008; Bruce, 2010), meningkatnya insiden sectio cesarean,
atau gagalnya persalinan normal. Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban
pecah dini yaitu dapat terjadi koriamnionitis dan pada bayi dapat terjadi septikemia,
pneumonia, dan omfalitis. Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi.
Korioamnionitis merupakan keadaan pada ibu di mana korion, amnion, dan cairan
ketuban terkena infeksi bakteri, yang merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin
(Saifuddin, 2008). Terdapat berbagai macam organisme yang dapat menyebabkan
korioamnionitis. Rute dari infeksi termasuk ascendinginfection dari traktus genetalia bagian
bawah, penyebaran hematogenous dari darah ibu, penyebaran langsung dari endometrium
atau tuba fallopi, dan kontaminasi iatrogenik selama prosedur invasif. Dari semua ini,
ascendinginfection merupakan penyebab yang paling sering. Dimulai dengan masuknya
organisme yang menimbulkan infeksi awal pada korion dan desidua disekitarnya pada area
yang berada disekitar internal ostium. Hal ini dapat berkembang pada keterlibatan ketuban
pada seluruh ketebalannya (korioamnionitis). Organisme kemudian dapat menyebar
sepanjang permukaan korioamnion dan menginfeksi cairan amnion. Juga dapat terjadi
penyebaran lebih lanjut pada plasenta dan tali pusat (funitis) (Jazayeri, 2010).
Infeksi pada janin dapat terjadi sebagai hasil penyebaran secara hematogen,
aspirasi, penelanan atau kontak langsung lainnya dengan cairan amnion yang telah
terinfeksi. Selain infeksi, dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan
10

tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat
janin dan derajat oligohidramnion, yaitu semakin sedikit air ketuban, keadaan janin akan
semakin gawat (Saifuddin, 2008).

11

Anda mungkin juga menyukai