ISSN 1411-6189
Volume 14, Nomer 1, Januari 2001
Semar Pagulingan Tirta Sari di Tengah-Tengah Kepopuleran
Gong Kebyar
Mark Twain: A Realistic Humorist in America
Pelayaran Sungai di Kalimantan Tenggara; Tinjauan Historis
tentang Transportasi Air Abad XIX
Politik Usaha Industri Penyamakan Kulit di Magetan, Jawa
Timur
Olenka: Tinjauan Dialogis
Alih Kode dalam Pergelaran Wayang Kulit di Yogyakarta
Konflik dalam Transportasi Angkutan Kota di Kota Malang,
Masjid Sosial: Kisah Sehari-hari Masyarakat Muslim di Dua
Komunitas
Pergeseran Kekuasaan dan Kepemimpinan Lokal Pasea UU No.
5/1979 di Desa-Desa Sumatera Barat
Analisis Kinerja Organisasi Pelayanan Publik (Studi Kasus di
PDAM Kotamadia Piagelane) ze
Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Perselisihan Hak Cipta
atas Lagu di Indonesia a e
Perkembangan Kepribadian Manusia sebagai Proses
Pe Biri yang Sejath
Perbandingan Peranan Jalur Kredit dan Jalur Tingkat Suku
Pe Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter 1990-
Substitutability af Agency Conflict Control Mechanisms: A Simulta-
reous Equation Analysis of Insider Ownership, Debt, and Dividend
icles:
Penggunaan Strategi (Value Strategy) dalam Pemilihan
Portofolio dalam Memperoleh Superior Return: Studi
Empiris di Bursa Efek Jakarta
Hubungan antara a Kepemimpinan Transformasional dan
\ Transaksional ane Komitmen terhadap Organisas:
Berkala Penelitian Pascasarjana IImu-Ilmu Sosial-Humaniora
Universitas Gadjah MadaOLENKA: TINJAUAN DIALOGIS
Olenka: A Dialogical Review
Tirto Suwondo! dan Faruk H.T?*
Program Studi Sastra
Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT
This research aims to understand the characteristics of Budi Darma’s
Olenka novel by using dialogical review. The understanding of the novel
characteristic begins with the existence of reality in the Olenka which has
many elements reflecting a behavior called carnival. Carnival is a behavior
that signs a novel with polyphonic nature. The basic characteristic of being
polyphonic is dialogical. To understand the characteristics of Olenka novel
(the carnival, poly-phonic, and dialogic), therefore, it required dialogical
analysis.
The theoretical framework used in this research is dialogical theory
given by Bakhtin. Based on this theory, the analysis is focused on three as-
pects, i.e., carnivalization and composition, the character and position of the
author, and the representation of ideas. Because the dialogical nature of a
polyphonic novel which however unites “heteroglosia” (various text, lan-
guage, or genre) within itself, other aspect which should be analyzed is the
relation of Olenka to other united texts. Based upon analysis several results
are explained as follows.
Asa literary work, Olenka can be classified into a carnivalized literature
being inclined to be polyphonic and dialogical. The polyphonic and dialogi-
cal natures of Olenka are particularly shown by its composition as like found
in music one. If the music is composed of counterpoint and modulation, the
Olenka composition is constructed with syncrisis and anacrisis. As found in
counterpoint case in music, syncrisis is a blend of two or more different
sounds in the same appearance, meanwhile anacrisis is an element which
motivates the creation of modulation, that is transitional process from one
syncrisis to another in a text. Some syncrisis which build a plot are not
established by the cause and effect relation, but by the contrapuntal one.
The polyphonic and dialogical natures of Olenka are also particularly
shown by intercharacters relation. The relation is not established by event,
situation, or direct dialog, but by consciousness. The consciousness means
1. Balai Bahasa Yogyakarta
2, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, YogyakartaSOSIOHUMANIKA, 14(1), JANUAR] 2001
into other character’ s consciousness, and yj
tharos ae 8 othe author occupies an ambivalent position, The
versa. But, in Olenka nor aracter’s consciousness, but he still keeps dis-
eae peovern the author and the character happens by means
a relat Nevertheless, beyond the artistic text, the author explains
el the character at all, their relation then is transformed into a
eee er thingsare also found in the form of representation of ideas
and intertextual dialog, In fiction context (part 1—V), the author can converse
many other ideas that become object representation. But, all of the ideas even-
tually unite into the author's ideas because the author “forces the character
toacceptalll of the author's ideas as been shown by the explanation outside
of the text (part VI—VIl). The polyphonic and dialogical natures of Olenka,
therefore, only achieves a certain level; in the sense that the characteristic of
Budi Darma’s novel isnot equal to that of Dostoevsky’s novels, the works in
regard of the “final development” of polyphonic novel genre
Finally, itcan comprehensively be concluded that a variety of carnival
elements which carnivalizes the Olenka, in fact, does not claim itself as com-
pletely polyphonic and dialogical in nature. The polyphonic and dialogical
natures of Olenka are only limited to par-ticular parts (I — V) implementing a
construction of fiction world. If other part (V1 — VII) in form of nonfiction is
combined with, the polyphonic and dialogical natures of the novel move into
monophonic and monological. Consequently, the Olenka novel only sounds
a single voice, that is the voice of the author.
Keyword: dialogical ~ monological — polyphonic - carnival —syncrisis — anacrists
PENGANTAR
Latar Belakang
ee
Amerie, 4 letka Karya Budi Darma ditulis di Bloomington, Indians
sayembara at, pada akhir tahun 1979. Ketika diikutsertakan eaten
(Dk}) cari Naskah novel (roman) Dewan Kesenian Jokore
sebagai pemen 0, oleh dewan juri naskah novel tersebut ditetapk*"
yang ditulie ae utama. Setelah diterbitkan Balai Pustaka (1983), °-"
‘alam waktu kurang dari tiga minggu itu oleh DK] J¥b"
inyatakan sebagai in
(1984), Olen, 28%! Pemenang Hadiah Sastra 1983. Setahun ke
tka ju
Award dari Kerajnan tgeetarkan Budi Darma menerima 5
Diraihn: . a
memiliki “ Kelebitepenshargaan tersebut membuktikan bahwa olen
ternyata tidak ot tertentu. Namun, “kelebihan’” yang dimilikiny“ “al
Masyarakat fehadae membawa dampak ade meluapny2 oy
Pnya. Hal itu terbukti, fines sekarang (tahun ziTirto Suwondo, et al, Olenka: Tinjauan Dialogis 59
Olenka belum dicetak ulang.’ Berbeda halnya dengan novel Saman karya
Ayu Utami yang —sama-sama menjadi pemenang sayembara — dalam
waktu kurang dari tiga tahun (1998 — 2000) telah dicetak 14 kali, Menurut
Sumardjo (1991:294), kurangnya minat masyarakat terhadap Olenka
antara lain disebabkan oleh novel itu termasuk karya yang sulit dipahami
sehingga pembaca yang tidak terbiasa menyelidiki rahasia hidup secara
lebih serius akan cepat bosan membacanya.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa Olenka sesungguhnya
berada dalam suatu dilema. Di satu pihak, novel itu dianggap sebagai
salah satu novel “puncak” dalam sastra Indonesia, tetapi di lain pihak,
kehadirannya kurang disambut hangat oleh masyarakat. Oleh karena
itu, agar dilema tersebut sedikit teratasi, pembicaraan atasnya perlu
digiatkan. Pembicaraan semacam itu perlu dilakukan karena melaluinya,
barangkali pembaca akan terbantu dalam memahami Olenka, atau pa-
ling tidak, pembaca akan tergugah minatnya untuk membaca. Itulah
salah satu alasan praktis mengapa pembicaraan (penelitian) ini dilakukan
Alasan tersebut bukanlah alasan substantif karena ada alasan lain
yang lebih substansial yang melatarbelakangi penelitian ini. Alasan itu
ialah bahwa di dalam Olenka tercermin suatu perilaku, yang menurut
Bakhtin (1973:88, 100, 133), disebut perilaku karnival (carnival attitude)
Perilaku karnival (karnaval) yang dimaksudkan itu antara lain (1)
petualangan yang fantastik, (2) tindakan abnormal, aneh, dan eksentrik,
(3) adegan skandal, (4) unsur utopia sosial dalam bentuk mimpi, (5) dia-
log filosofis tentang pertanyaan-pertanyaan akhir, (6) komikal, misalnya
Peristiwa “pelecehan” terhadap pendeta, (7) campuran berbagai genre
Seperti puisi, cerpen, novel, syair lagu, dan surat, (8) sifat jurnalistis/
reeare en eaya dlechutlaninya nama-nama tokoh populer yang
arang telah surut dan di: i
ees es a gambar, berita, atau iklan yang
_Menurut Bakhtin (1973:100, 133), karnival merupakan suatu
eau Yelle akar-akarnya tertanam di dalam tatanan ayes berpikir
panerd lal dan berkembang dalam kondisi masyarakat kelas. Dalam
oo Sarena yang demikian, perilaku karnival mencoba
me . ukan dunia sebagai milik semua orang sehingga mereka dapat
Bea one (dialog) secara bebas, akrab, tanpa dihalangi oleh tatanan
Hee a i ay Perilaku itu pada awalnya berkembang dalam kisah-
ie oat arnivalistik (carnivalistic folklore), kemudian berpengaruh
fae ieaa Y Sie sastra Klasik genre serio-komik (serio-comic. genre), antara
Stace . a (og dan Menippeon Satire (abad ke-3 SM), dan jauh sesudah
Balng ree i ) berkembang dalam tradisi novel-novel Eropa. Menurut
in (1973:88—100), perkembangan itu mencapai puncak pada novel-SOSIOHUMANIKA, 14(1), JANUARI 2001
0
novel karya Dostoevsky yang olehnya disebut novel polifonik (polyphonic
— 0) berkeyakinan bahwa karnival merupak
in (1973:100) berkeyakh an
ec jalan bagi lahirnya sebuah genre (sastra) baru,
yaitu novel polifonik. Novel polifonik adalah novel yang ditandai oleh
adanya pluralitas suara atau kesadaran dan suara-suara atau kesadaran
itu secara keseluruhan bersifat dialogis (Bakhtin, 1973:4, 34)? Perilaku
karnival tidak terbatas memberikan kondisi tertentu bagi lahirnya novel
polifonik dan akan berhenti setelah mencapai puncak pada karya-karya
Dostoevsky, tetapi akan terus hidup sampai sekarang, bahkan akan
dilahirkan kembali di masa datang (Bakhtin, 1973:101). Dalam kaitan
inilah, karena di dalamnya terdapat berbagai unsur karnival seperti yang
telah disebutkan, Olenka diasumsikan sebagai karya karnivalis
(carnivalized literature) yang memiliki kecenderungan polifonik. Karena
ciri dasar novel polifonik adalah dialogis (Bakhtin, 1973:14, 34), diasum-
sikan pula bahwa Olenka memiliki karakteristik dialogis.
Dalam kancah penelitian sastra Indonesia, Olenka sebenarnya telah
dibicarakan beberapa ahli, di antaranya oleh Hoerip (1986), Setijowati
(1986), Junus (1988, 1990), Faruk (1988), Hutomo (1988), Dewanto (1990,
1996), Indriati (1991), Sumardjo (1991), Prijanto (1993), Pradopo (1995),
Mujiningsih dkk. (1996), Indraningsih (1996), dan Mujianto (1997), Akan
tetapi, di antara sekian banyak pembicaraan tersebut, tidak ada satu pun
pembicaraan yang membahas unsur karnival, ciri polifonik, dan sifat
dialogs Olenka. Oleh sebab itu, penelitian ini bermaksud mengungkap
aa ee ae Tyaselah yang selama ini belum pernah dibicarakan
Pokok Masalah
Telah dikemukakan bahwa Olenka di iva
akan a dianggap sebagai karya karnivalis
ea Glatt polifonik dan dialogis. Reece aera melahirkan
Beene jika dirumuskan dalam bentuk pertanyaan berbuny!
oe : ca alay, kepolifonikan, dan kedialogisan Olenka?
‘asalah itulah yang dibahas di dalam penelitian ini.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini F
khususnya itera bertujuan menerapkan teori dialogis
dan kedialogisan) novel Oren at eristik (kekarnivalan, kepolifonikan,
memberikan sumban ‘a. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan
gan pemikiran bagi kepentingan penerapan teor!Tirto Suwondo, eal, Olenka: Tinjauan Dialogis 61
dialogis yang hasilnya diharapkan dapat memperkaya pengetahuan
tentang, penelitian sastra yang menggunakan teori dialogis. Dalam
rkembangan penelitian sastra Indonesia modern, khususnya di bidang
novel, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya model-mode
penelitian yang telah ada.
Di samping tujuan teoretis di atas, secara praktis penelitian ini
bertujuan memberikan sebuah alternatif pemahaman novel Olenka secara
dialogis agar kekayaan wawasan pembaca dalam mengapresiasi novel
tersebut bertambah. Pemahaman novel dengan cara semacam itu
diharapkan pula menjadi langkah awal yang merangsang ma akat
(pembaca) dalam upaya mengapresiasi karya-karya sastra Indonesia
lainnya.
Landasan Teori
Di dalam penelitian ini, perhatian analisisnya dipusatkan pada
karakteristik (kekarnivalan, kepolifonikan, dan kedialogisan) Olenka
Perhatian dipusatkan pada masalah tersebut karena di dalamnya
ditemukan unsur-unsur karnival yang menandai bahwa novel itu
berkecenderungan polifonik dan dialogis. Oleh karena itu, teor! g
digunakan sebagai landasan analisis adalah teori dialogis seperti yang
dikemukakan aliran Bakhtin. Aliran Bakhtin adalah aliran yang dibangun
oleh para sarjana Soviet yang bergerak pada masa akhir Formalisme Rusia
awal tahun 1920-an. Di bidang kajian sastra, aliran Bakhtin pada
eae berusaha mensintesiskan pandangan Marxisme dan Formalisme
a en, 1991:12; Jefferson and Robey, 1991:191) dengan menawarkan
Neves disebut poetika sosiologis (sociological poetics) (Bakhtin and
edev, 1985;30—31).
Gene berpandangan bahwa studi sastra merupakan studi
produbs, oe superstruktur, yang dipertentangkan dengan studi sistem
1985:3) Ole womik yang bersifat material (Bakhtin and Medvedev,
Wilayah ide eee itu, Marxisme menempatkan teks sastra ke dalam
Masyarakat. logis yang sepenuhnya ditentukan oleh struktur ekonomi
Cermin pasif Dalam hal ini, perkembangan sastra dipandang sebagai
konflik Loe sae perkembangan struktur ekonomi yang digerakkan oleh
sure, be elas. Sementara itu, formalisme, yang dipengaruhi linguistik
bahasa yan tan bahwa karya sastra merupakan konstruksi
Katya sastr, Be ialami hanya sebagai konstruksi, atau dengan kata lain,
egers, 1978: anya merupakan sebuah konstruksi bahasa yang dinamik
: 36), Oleh karena itu, formalisme memperlakukan teks sastra
‘ang otonom yang keberadaannya lepas dari faktor-
Sebagaj objek studi 7SOSIOHUMANIKA, 14(1), JANUARI 200;
62
e dirinya sehingga sastra dipahami sebagai sistem yang
oe eek ral dan memenuhi dirinya coal
Dua pandangan yang berbeda tersebut kemudian disatukan oleh
aliran Bakhtin dengan alasan bahwa setiap wilayah ideologis mempunyaj
“pahasa” sendiri, bentuk dan peralatan teknis sendiri, dan hukum-hukum
sendiri bagi refleksi dan pembiasan ideologis terhadap realitas yang umum
(Bakhtin and Medvedev, 1985:3), Atau, bagaimanapun, ideologi tidak
mungkin dipisahkan dari mediumnya, yaitu bahasa (Selden, 1991:13)
Hubungan yang erat antara bahasa dan ideologi akhirnya membawa
kesusastraan ke dalam lingkaran sosial-ekonomi yang menjadi tanah air
ideologi. Akan tetapi, aliran Bakhtin menolak memperlakukan ideologi
sebagai fenomena mental yang murni karena, menurutnya, fenomena
itu merupakan bagian dari realitas material manusia sehingga ia pun
bersifat formal. Di samping itu, aliran Bakhtin juga menolak konsep ilmu
bahasa yang objektif dan abstrak karena bahasa —sebagai sistem tanda
yang dibangun secara sosial— merupakan realitas material itu sendiri
(Volosinov, 1986:9—11). Oleh karena itu, bahasa dipahami sebagai
fenomena sosial dan karya sastra dipahami sebagai fenomena ideologis.
Berdasarkan alasan di ataslah, aliran Bakhtin akhirnya mena-warkan
sebuah konsep yang selanjutnya dikenal sebagai teori dialogis (Faruk,
1994:129—141), Teori itu tidak sekedar dibangun atas dasar gabungan
antara pandangan Marxisme dan Formalisme, tetapi dibangun
berdasarkan sebuah gagasan yang lebih mendasar yang berkaitan dengan
konsep filsafat antropologis, khususnya mengenai otherness ‘orang lair’
(Bakhtin dalam Todorov, 1984:94). Menurut konsep tersebut, pada
dasarnya manusia tidak dapat dipisahkan dari orang lain. Dikatakan
demikian karena manusia umumnya mengagumi dirinya dari sudut
pardang orang lain, manusia memahami dan memperhitungkan
esadarannya lewat orang lain, dan manusia secara intens juga meramal
dan memahami kehid: i
sebabnya, lahir paca di dataran kesadaran orang lain. Itulah
anggapan bahwa segala sesuatu di dalam hidup
aS dasarnya merupakan dialog (Bakhtin dalam Todorov, 1984:94—
ee auheonsey di atas, aliran Bakhtin kemudian berkeyakinan
alam dan ily i, mya ada perbedaan yang esensial antara objek ilmu
ilmu alam adalah bende (bakhtin dalam Todorov, 1984:15). Objek
wacana dan tidak menace yang tidak mengungkapkan diri dalam
ne gkomunikasikan apa-apa, sedanpkan objek ilmt
kemanusiaan a “oh”
sehingga pripeerlg M ae mengungkapkan dirinya dalam wacana
wacana (orang) lain, Karena snoh fesepsi, transmisi, dan interpretasi
objek ilmu kemanusiaan (humaniora)Tirta Suwondo, et al, Olenka: Tinjauan Dialogis 63
ifat demikian, pemahaman atas objek tersebut hanya dapat dilakukan
aaa sebuah pemahaman dialogis yang mencakupi penilaian dan
mepon (Bakhtin dalam Todorov, 198416).
Kekhasan ilmu humaniora adalah orientasinya pada pi Kiran-pikiran,
akna-makna, dan signifikasi-signifikasi yang datang dari orang lain
feakhGn dalam Todorov, 1984:17). Oleh sebab itu, ilmu humaniora dapat
dimasuki atau dapat dipelajari hanya melalui teks karena teks merupakan
realitas langsung yang di dalamnya pikiran-pikiran dapat membentuk
dirinya. Karena pikiran-pikiran di dalam teks dapat membentuk dirinya,
objek humaniora dengan demikian bukan sekedar manusia, melainkan
juga manusia selaku penghasil teks. Selaku penghasil teks, objek tersebut
tentu tidak lagi sekedar berperan sebagai objek, tetapi juga sebagai subjek
Oleh sebab itu, di dalam humaniora subjek berhadapan dengan subjek
(lain) sehingga terbangun sebuah dialog
Karena di dalam humaniora objek sekaligus berperan sebagai subjek,
objek tersebut tentu tidak dapat direduksi menjadi sesuatu yang bersifat
fisik semata sehingga pemahaman terhadapnya senantiasa bersifat
dialogis. Dikatakan demikian karena pemahaman mengenai objek selalu
mengimplikasikan suatu jawaban terhadap objek (tuturan) lain (Bakhtin
dalam Todorov, 1984:19— 20). Akan tetapi, persoalan pemahaman ini
tidak dapat dianggap berada di atas teks (metateks), tetapi sejajar dengan
teks (interteks). Prinsip inilah yang kemudian melahirkan sebuah gagasan
bahwa kriteria (tolok ukur) pemahaman adalah kedalaman, yaitu upaya
menembus ketidakterbatasan makna-makna simbolik (Bakhtin dalam
Todorov, 1984:22 — 23).
Hen Telah dikatakan bahwa objek ilmu humaniora adalah manusia yang
ferdeekspresikan dirinya dalam wacana. Namun, karena ilmu humaniora
en Tatas bermacam-macam, akhirnya, muncul pula cara pandang yang
bahia) Ge Atas dasar itulah, khusus di bidang, linguistik (ilmu
disebap fe iran Bakhtin menawarkan ilmu atau cara pandang lain yang
inguistik wane Buistik (Bakhtin dalam Todorov, 1984:24) Apabila objek
propos ‘ adalah bahasa dengan berbagai unsurnya (fonem, morfem
selanjutn objek translinguistik adalah wacana yang pada tahap
lo quist daianrepresentasikan dalam tuturan-tururan individual (bdk
an abstr 4M Morson, 1986:59— 70). Jika objek linguistik bersifat objektif
Oleh ko f » Objek translinguistik bersifat unik, konkret, dan selalu terikat
é nteks sosial (Bakhtin dalam Todorov, 1984:25—26)
tuturan bee Sifat objeknya demikian, pemahaman makna wacana atau
Nteraks; he dimungkinkan apabila ia diletakkan dalam kerangka
erba gai Organisme. Dikatakan demikian karena makna selaluSOSIOHUMANIKA, 14(1), JANUAR 299;
64
i m arti bahwa tuturan tidak lahir Seca
teria Pee serene tetapi selalu merupakan hasil interake,
ies acrik peserta dialog. Pendek kata, tuturan hanya dapat hid
doles hubungan dialogis bagi para penuturnya (Bakhtin, 1973:151; bdk.
Volosinov, 1986:86). Artinya, suatu tuturan baru berma kna apabila masuk
ke dalam hubungan (dialogis) yang bagian-bagiannya dibentuk oleh
keseluruhan tuturan yang di balik tuturan itu berdiri subjek-subjek atay
para pembuat tuturan yang bersangkutan (Bakhtin dalam Todorov,
1984:61).
Telah dikemukakan bahwa tuturan selalu terikat oleh konteks sosial
Itulah sebabnya, makna atau tema tuturan tidak hanya ditentukan oleh
berbagai komponen linguistiknya, tetapi juga oleh aspek situasi yang
berupa sejumlah interaksi yang terjadi antara pembicara dan pendengar
(Bakhtin dalam Todorov, 1984:47). Hal itulah yang menyebabkan tuturan
tidak terlepas dari sifat intelektual (relasi dialogis) karena di balik seluruh
interaksi itu (yang tidak pernah netral) terdapat makna yang selalu
merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan (Bakhtin dalam
Todorov, 1984:48 —54) Akan tetapi, kadar intertekstualitas suatu tuturan
berbeda-beda sehingga dari berbagai jenis tuturan (wacana) itu dapat
i uturan monologis dan tuturan dialogis. Tuturan
dikatakan monologis apabila di dalamnya tidak ditemukan suara lain
selain suara pengarang, sedangkan tuturan dikatakan dialogis apabila
dit dalamnya selain ditemukan suara pengarang juga ditemukan suara
lain, atau di dalamnya terdapat kombinasi suara-suara (Bakhtin dalam
Todorov, 1984:63— 64).
seis Menunit Bakhtin (Todorov, 1984:63 — 66), tuturan monologis tampak
eae ae Puisi karena umumnya di dalam puisi tidak ditemukan
fee ie Suara penyair. Sementara itu, tuturan dialogis tampak
} Kerasa™ rosa, terutama novel, karena novel memiliki kadar
intertekstual paling tinggi dan intens. Di dal. i dialogis
menjadi suatu peristiwe Wacane ‘alam novel, relasi dia oe
mendramatisasikan dari dalam ke Fee Tae eee aL
weeeZane Paling fundamental adalah an asPeknya. Di dalam aan
Wacananya. Hanya asi vans te lal manusia yang berbicara a:
melainkan citra bahaes she, *penting bukan citra manusia itu sendiri,
“aes abs atau Wacana ad onB ‘ampak adalah interaksi pee
erdasarkan iki +e
berikan Perhatian Khuen 2m dem muaulahy Bakhtin kemudian mem-
menurutnya (Todoroy, 1984.86 Beare Novel. Sebagai sebuah wacana,
lasikan objek, tetapi stkaligne seo” NOvel tidak hanya merepresen-
demikian karena di dalam nee eel objek representasi. Dikatakan
a kecenderungan untuk mereproduks!Tirto Surworedo, al, Olenka; Tinjauan Dialogis es
-macam wacana, bahasa, atau suara-suara. Hanya saja, kadar
ae wacana itu berbeda-beda. Ada wacana yang meme net garis
tuk yang tegas terhadap wacana lain (linear), ada pula wacana yang
be cairkan atau mendekonstruksi ketertutupan wacana lain (pictural)
(Bakhtin dalam Todorov, 1984:69 —73).
Di dalam wacana linear, heterologi sosial tetap berada di luar novel
sehingga wacana (novel) itu cenderung monologis (monofonik), serius,
dogmatik, dan penuh fatanan dan hierarki. Sementara itu, di dalam
wacana pictural heterologi masuk dan tinggal di dalamnya sehingga
wacana semacam itu cenderung dialogis (polifonik), akrab, tanpa dogma,
siapa pun dapat menjalin kontak secara bebas, tanpa disekat oleh tatanan
dan hierarki sehingga semua itu tampak bagaikan suatu pesta rakyat
(carnival) (Bakhtin dalam Todorov, 1984:77 —78).
Kenyataan serupa itulah yang menyebabkan Bakhtin (1973:83 — 109)
berani menyimpulkan bahwa novel-novel Dostoevsky sangat berbeda
dengan novel-novel Tolstoy dan lain-lainnya. Kalau novel-novel Tolstoy
dan yang lain dikatakan monologis, monofonik, menyuarakan satu suara,
novel-novel karya Dostoevsky dikatakan dialogis, polifonik, menyuarakan
banyak suara. Kalau dunia novel Tolstoy dan yang lain cenderung ketat,
serius, dan resmi, dunia novel Dostoevsky cenderung bebas, komikal,
dan karnivalistis.
berm.
wacana
CARA PENELITIAN
Telah dikatakan bahwa objek humaniora bukan sekedar objek,
ean Juga subjek. Oleh karena itu, di dalam humaniora subjek
ioe Pani dengan subjek (lain) sehingga terbangun suatu dialog
aktig Aodrat objeknya demikian, humaniora tidak akan menjadi
Famine: ilmiah, tetapi hanya menjadi suatu aktivitas pemahaman
tahankan dh (understanding) adalah transposisi yang tetap memper-
Todorov, 198 kesadaran yang tidak dapat disatukan (Bakhtin dalam
(all under, te Bel: Dengan demikian, seluruh pemahaman adalah dialogis
suatu jan. ‘anding is dialogical) karena selalu mengimplikasikan adanya
en terhadap objek atau tuturan lain.
Sej
dalam ialan dengan hal di atas, dalam upaya memecahkan masa-lah di
enelitian ini di : See
(Bakh 2B n ini digunakan metode yang di dalam teori alteritas
na dalam Todorov, 1984:107—108) discbut interpretasi dialogis
inte oe
identtas ga alogis adalah interpretasi yang di dalamnya dua (atau lebih)
dalam penow?, hidup dan diakui. Hanya saja, metode ini tidak dipahami
Pasca.ieeemtian strukturalisme (structuralism), tetapi dalam pengertian
‘uralisme (Post-structuralism). Artinya, metode ini tetap bekerjaSOSIOHUMANIKA, 14(1), JANUAR! 209;
56
elasi unsur-unsur, tetapi relasi ity
dengan cart kerangka Kesatuan, tetapi dalam keberagama
rsebarannya. em
br Berdasarkan metode tersebut, tahap-tahap penelitian yang kemudian
ditempuh adalah (1) mendeskripsikan berbagai unsur karnival an
mengkarnivalisasi Olenka dan (2) mendeskripsikan berbagai unsur (suara,
kesadaran, gagasan) dan relasinya di dalam novel, Di dalam
pendeskripsian (2), kepolifonikan Olenka dilihat dari seberapa jauh unsur-
unsur tersebut hadir bersama dan tersebar, sedangkan kedialogisan
Olenka dilihat dari seberapa jauh unsur-unsur tersebut membangun
kontak atau dialog dengan unsur lain
tidak
n dan
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
Pembahasan
Seperti diketahui bahwa masalah kekarnivalan, kepolifonikan, dan
kedialogisan sebuah novel tidak dapat dipisah-pisahkan karena semua
itu mengacu pada sebuah tesis yang diajukan Bakhtin (1973) dalam
mendefinisikan ciri-ciri mendasar (genre) novel polifonik. Oleh karena
itu, pembahasan terhadap karakteristik Olenka difokuskan pada tiga aspek
dari tesis yang diajukan Bakhtin (1973:38), yaitu karnivalisasi dan
komposisi, tokoh dan posisi pengarang, dan representasi gagasan
(ideologi) Akan tetapi, karena ciri dialogis novel polifonik adalah
mendialogisasi atau menghimpun “heteroglosia” (berbagai teks, bahasa
genre) ke dalam dirinya, selain dianalisis tiga aspek tersebut, di dalam
penelitian ini juga dianalisis hubungan Olenka dengan teks lain yang
dihimpunnya (dialog intertekstual),
Hasil Penelitian
Dari keseluruhan < 5,
i i" Pembahasan yang telah dilakukan, akhirny?
ER a es peat Sebaga Peetiak karya sets, Olenka dapat
dikategorikan sebigal nea qumivali Sebagai novel karnivalis, ia dap?
Namun, kekarnival yang cenderung polifonik dan dialog's
ae iops tingkatan tevte eee fonikan, dan kedialogisan Olenka hany@
‘udi
Darma itu tidak