36
Telah dimuat dalam buku PROSIDING Seminar (Diskusi) Ilmiah Kelompok Peneliti
Kebahasaan dan Kesastraan di Lingkungan Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa Kemendikbud, diterbitkan oleh Balai Bahasa DIY, November 2012, hlm. 37-54, ISBN 978-979-185-409-2.
KEBERADAAN SASTRA
DALAM MAJALAH GADJAH MADA TAHUN 1950--1960-AN
Tirto Suwondo
Balai Bahasa Provinsi DIY
Abstrak
Artikel ini secara khusus mengkaji keberadaan sastra dalam majalah Gadjah
Mada tahun 1950--1960-an. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologi
sastra model Escarpit. Dari kajian sosiologis itu terbukti bahwa keberadaan
karya sastra dalam Gadjah Mada memiliki kontribusi yang cukup besar bagi
pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta. Kontribusi
itu terwujud melalui tampilnya berbagai karya sastra (puisi, cerpen, dan esai
atau kritik) dalam rubrik seni dan budaya dalam setiap penerbitannya.
Kenyataan demikian membuktikan pula bahwa karya sastra dalam majalah
Gadjah Mada tidak dapat diabaikan dalam setiap pembicaraan (penyusunan)
sejarah sastra Indonesia di Yogyakarta.
Kata kunci: majalah Gadjah Mada, sosiologi sastra, kontribusi, sejarah
sastra.
1. Latar Belakang
Yogyakarta adalah kota yang biasa disebut sebagai kota pelajar, kota
pendidikan, kota budaya, dan kota (daerah) tujuan wisata. Sebagai kota
pendidikan dan kota budaya, sangat wajar jika di kota Yogyakarta banyak
terbit media massa cetak, di antaranya berupa majalah (mingguan, dua
mingguan, dan bulanan). Di antara majalah-majalah itu bahkan ada yang terbit
pada masa sebelum kemerdekaan, yaitu Pusara (1933) dan Pesat (Maret 1945).
Sementara itu, yang terbit pada masa kemerdekaan ialah Api Merdika
(November 1945), Arena (April 1946), Minggu Pagi (April 1948), Budaya
(1949), Gadjah Mada (April 1950), Basis (Agustus 1950), Pelopor (1950),
Prosiding
37
Medan Sastera (April 1953, berubah menjadi Seriosa pada Maret 1954), Media
(Agustus 1954), Darma Bakti (1961), dan Suara Muhammadiyah. Akan tetapi,
di antara sekian banyak majalah tersebut, yang masih bertahan hidup hingga
sekarang hanya majalah Basis, Suara Muhammadiyah, dan mingguan Minggu
Pagi.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di dalam majalah-majalah
tersebut muncul rubrik-rubrik seni dan budaya yang di dalamnya banyak
dimuat karya sastra (puisi, cerpen) di samping kritik sastra dan kritik seni
budaya pada umumnya. Hal demikian mengindikasikan bahwa kehidupan dan
perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta hingga tahun 1960-an didukung
oleh kehadiran karya sastra dalam majalah-majalah tersebut. Di samping itu,
hal tersebut juga disebabkan pada masa awal pertumbuhan hingga masa awal
Orde Baru tradisi penerbitan karya sastra dalam bentuk buku belum tumbuh.
Bertolak dari kenyataan di atas, artikel ini secara khusus hendak
mengkaji keberadaan sastra dalam salah satu di antara sekian banyak majalah
yang terbit di Yogyakarta, yakni karya sastra dalam majalah Gadjah Mada.
Pemilihan objek kajian hanya karya sastra dalam majalah Gadjah Mada bukan
berarti bahwa karya sastra dalam majalah lainnya tidak penting, melainkan
karena majalah tersebut paling intens dalam menghadirkan karya sastra
dibanding majalah-majalah lainnya. Intensitas kehadiran itulah yang diduga
menjadi bukti bahwa karya sastra dalam majalah Gadjah Mada memiliki
kontribusi (peran) yang berarti bagi pertumbuhan sastra Indonesia di
Yogyakarta tahun 1950--1960-an. Kajian terhadap karya sastra dalam majalah
tersebut dirasa sangat penting karena hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai
bahan bagi penulisan (penyusunan) sejarah Indonesia di Yogyakarta.
2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan paparan latar belakang di atas, masalah pokok yang
dibahas dalam kajian ini dirumuskan seperti berikut. Bagaimanakah keberadaan sastra dalam majalah Gadjah Mada tahun 1950--1960-an? Tercakup
pula di dalam masalah itu ialah bagaimana keberadaan majalah Gadjah Mada
di tengah pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia pada masa tersebut.
3. Pendekatan dan Metode
Seperti telah dikatakan bahwa masalah yang dibahas dalam kajian
(artikel) ini adalah keberadaan sastra dalam majalah Gadjah Mada tahun 1950-1960-an, di samping keberadaan majalah di tengah pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta. Oleh karena itu, pendekatan atau
teori yang digunakan sebagai pegangan untuk membahas masalah tersebut
adalah sosiologi sastra, khususnya yang telah dirumuskan secara konsepsional
Prosiding
38
39
Prosiding
40
Dengan dilandasi oleh tujuan itu pula pada akhirnya majalah Gadjah Mada
dapat hadir secara eksis hingga tahun 1968 (selama kurang lebih 18 tahun).
Sesuai dengan slogannya yang berbunyi berhaluan pengetahuan umum,
majalah Gadjah Mada hadir sebagai majalah umum --meskipun diterbitkan
oleh dan di lingkungan (terbatas) kampus UGM-- yang berisi berbagai hal yang
berkaitan dengan masalah politik, ekonomi, sosial, budaya (termasuk di
dalamnya sastra), pendidikan, bahkan olah raga, dan sebagainya.
Seperti diketahui bahwa sejak awal penerbitannya alamat redaksi
majalah Gadjah Mada berpindah-pindah. Pada awal terbitannya Gadjah Mada
berkantor redaksi di Jalan Margo Kridanggo 20, Yogyakarta. Beberapa bulan
kemudian, kantor redaksi pindah ke Jalan Serayu 9, kemudian pindah lagi ke
Lempuyangwangi 34, dan terakhir di Jalan Merapi 16, Yogyakarta. Sementara
itu, sesuai dengan keadaan di sebuah perguruan tinggi yang selalu terjadi
pergantian mahasiswa (ada yang masuk dan ada yang keluar/lulus), susunan
nama-nama yang bertindak sebagai redaksi pun berganti-ganti pula. Pada
tahun-tahun awal penerbitannya, nama-nama yang menduduki posisi itu ialah:
Moh. Kamal (pemimpin umum), Suwandi, Abd. Azis, Sulistio (staf redaksi),
Zakaria, Soefaat, Soeradio, Nazir Alwi, Justam S. (sidang pengarang), Amir
Alamsjah (sekretaris redaksi), dan Koentjoro (penasihat teknis). Sementara itu,
ketika majalah ini berkantor redaksi di Jalan Serayu 9, susunan redaksinya
ialah Moh. Kamal (pemimpin umum), Abd. Azis, Sulistio, Sutijono (penyelenggara), Amir Alamsjah, Nizar (sekretaris redaksi), Subantardjo, Suwandi,
Sadli, Herusubeno, Zakaria, Nazir Alwi, Mutijar, Subagijo Hadinoto, Anas
Maruf, Kuntjoro, dll. (sidang pengarang). Pada waktu majalah itu berkantor di
Lempuyangwangi 34, Yogyakarta, selain nama-nama tersebut, muncul namanama baru, yaitu Moh. Suroto, Rd. Ps. Soewondo (pembantu di Nederland),
Karno Barkah, Surjo, Sudiono (pembantu di Amerika), dan S.R. Hendrawan
(perwakilan di Jakarta).
Ketika majalah tersebut (Gadjah Mada, No. 7, Oktober 1957) beralamat redaksi di Jalan Merapi 16, Yogyakarta, susunan redaksinya adalah Mr.
Soelistijo, Uhum Siah Lubis, Abd. Aziz, Moedojo, Sutijono Darsosentono,
A.T. Birowo, Koesnadi, Ir. Suwarno (dewan penyelenggara), Moh. Kamal,
Suwandi, Sudikno, Soebantardjo, Pamudji Rahardjo, Slamet Moeljono,
Prosiding
41
42
tersebut akibat terjadinya peristiwa G-30-S PKI yang berlanjut pada pergantian
kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Perlu dicatat bahwa di samping terbit majalah Gadjah Mada, di
lingkungan Universitas Gadjah Mada terbit juga majalah Gama. Baik majalah
Gadjah Mada maupun Gama sama-sama dikelola oleh Dewan Mahasiswa
Universitas Gadjah Mada, tetapi orientasinya sedikit berbeda. Kalau majalah
Gadjah Mada ditujukan kepada masyarakat (pembaca) umum, majalah Gama
yang beralamat redaksi di Sitihinggil, Tromolpos 48, Yogyakarta lebih ditujukan kepada masyarakat kampus (meskipun dibaca juga oleh masyarakat
umum). Tidak diketahui secara jelas pula mengapa pada saat yang hampir
bersamaan Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menerbitkan dua majalah sekaligus. Dikatakan pada saat hampir bersamaan karena
majalah Gadjah Mada terbit pertama pada April 1950 (tahun 1950 dicatat
sebagai Tahun Pertama penerbitan), sedangkan majalah Gama terbit pertama
pada Desember 1950 (tahun 1951 dicatat sebagai Tahun Pertama penerbitan).
Seperti diketahui bahwa majalah Gama, majalah yang berukuran besar
(sekitar 17 x 25 cm) tersebut, merupakan media komunikasi intrakampus
(gema intrauniversiter). Dengan label gema intrauniversiter itu majalah
tersebut dimaksudkan sebagai alat komunikasi bagi kalangan intelektual
kampus, baik tenaga pengajar, karyawan, maupun mahasiswa. Oleh karena itu,
berita, esai, dan atau tulisan-tulisan yang disajikan di dalamnya cenderung
menggambarkan aktivitas kampus, walaupun tidak jarang tulisan mengenai
persoalan sosial, politik, ekonomi, seni-budaya, dan sejenisnya muncul.
Sebagaimana diketahui pula, majalah Gama dikelola oleh orang-orang yang
pada akhirnya tumbuh dan eksis menjadi intelektual terkenal atau bahkan
menjadi sastrawan yang memiliki nama besar. Seperti halnya para pengelola
majalah Gadjah Mada yang belakangan dikenal sebagai orang-orang
ternama di bidang sosial budaya atau ilmu humaniora (Kusnadi Harjasumantri, Wiratmo Sukito, Sadli, Slamet Mulyono, Umar Kayam, Anas
Maruf, Iwan Simatupang, Teuku Jacob, dan sebagainya), para pengelola
majalah Gama pun belakangan dikenal sebagai orang-orang besar dan ternama. Dapat disebutkan, misalnya Nazaruddin Lubis, Muhardi Atmosentono,
P. Guritno, dan Budi Darma.
Seperti halnya majalah Gadjah Mada, majalah Gama juga dijual
secara bebas kepada masyarakat umum (harga eceran per eksemplar Rp1,50).
Hal demikian menandai bahwa hidup matinya majalah yang berketebalan
kurang lebih 50 halaman dan dicetak dengan kertas koran itu ditentukan oleh
dirinya sendiri. Oleh sebab itu, untuk mempertahankan kelangsungan hidup
dirinya sendiri, majalah Gama juga membuka ruang untuk menjaring iklan.
Bahkan, untuk menghimpun pembaca sebanyak-banyaknya, majalah itu juga
Prosiding
43
44
eksplisit. Hal ini berbeda dengan majalah Gama. Di dalam majalah Gama,
nama-nama yang bertindak sebagai redaktur khusus rubrik Bunga dan
Bintang disebutkan secara eksplisit. Hanya saja, penyebutan secara eksplisit
nama-nama redaktur lembaran seni dan sastra itu baru dilakukan mulai akhir
tahun 1950-an. Mulai akhir tahun 1950-an, tepatnya sejak terbitan Mei 1958,
hingga awal tahun 1960-an, yang bertindak sebagai redaktur seni dan sastra
adalah Muhardi Atmosentono, Budi Darma, dan Amir Prawiro.
Seperti telah disebutkan bahwa di dalam lembaran kebudayaan
Pelangi majalah Gadjah Mada disajikan karya-karya sastra berupa puisi,
cerpen, esai dan atau kritik, di samping karya-karya terjemahan. Akan tetapi,
apabila dibuat perbandingan, jenis karya yang paling banyak dimuat dalam
majalah itu adalah karya puisi, baru kemudian diikuti oleh esai atau kritik dan
kemudian cerpen. Beberapa karya puisi dalam Gadjah Mada yang dapat
disebutkan, antara lain, Sampai Surya Terbit Kembali karya Usje, Pusaka
dan Kami dan Kessah Baru karya Army, Tertuju ke Gadjah Mada karya
Rasip, UntukKepada ... Mu karya Harjono S.H. (edisi April 1951),
Kenangan bagi Diana Sarsidi karya Sudiro (Mei 1951), Antara Temali dan
Pemain karya Soediro, Ukuranku karya Usje (Juni 1951), Serinade Vox
Passio karya Toha Mochtar, Untuk Mystici Muda karya Yuddha (Juli
1951), Memburu Deru karya Mayang nDresjwari, Dari Revolusi karya J.
Cobs (November 1951), Lagu Kerakyatan karya Yuddha, Sampai Surya
Terbit Kembali karya Usje (Oktober 1952), Pelangi karya Soejanto
Wongsojoedo (Februari 1953), Rangsang karya Soegi Notosoewarso,
Senja karya Yap Yan Keng (Januari 1954), Cintaku Redup Di Pagi Cerah
karya Yap Yan Keng, Sampai Surya Terbit Kembali karya Usje, Pesan
karya Utji Tjitraasmara (Februari 1954), Variasi Hidup dalam Lintasan
Bertemu karya Rivai Yusuf, Pengakuan karya Muhardi Atmosentono
(Maret 1954), Kepada Adikku karya Yap Yan Keng (April 1954), JanggarJanggar dan Dari Bawah Kemboja karya Us, Sebuah Nada bagi Mien
karya Yap Yan Keng (Mei 1954), Terjaga karya Didi Jahadi, Bagi Seorang
yang Menerima dan Penggalan karya Nh. Dini (Juni 1954), Pengalaman
Hidup karya M.Ch.Arthum, Salju Sejuk karya Utji Tjitraasmara (Agustus
1954), Senja Pasang karya Taufiq A.G., Bunuh Diri karya Wiratmo
Sukito, Cerita di Perjalanan karya Attie D. (September 1954), Di Titik
Tengah karya Sugi Notosuwarso (Oktober 1954), Membangun Kembali
karya Bier, Mimbar karya Soewito Ms. (November 1954), Perampasan
karya Sunar Hs, Kesesalan karya R. Wasita S. (Desember 1954), Sirna
karya Hidjaz Jamani (April 1955), Kebekuan Di Negeri Seberang karya
Sangkuriang, Hampa karya Sjamsul Suhud (Juli 1955), Kemalangan karya
Hidjar Jamani, Lari karya Wahju T. (Agustus 1955), Anak Perjuangan dan
Prosiding
45
46
Polisi karya Wiratmo Sukito (November 1954), Seniman, Radio, dan Politik
karya Wiratmo Sukito (NovemberDesember 1955), Symposium Sastera
1955 karya Wiratmo Sukito (Januari 1956), Keluarga Kemuning dalam
Sayang Ada Orang Lain buah Pena Utuy Tatang Sontani karya Setiawan
H.S. (Januari 1956), Revolusi dalam Bahasa karya Wiratmo Sukito (Maret
1956), Kehidupan Seni Drama dan Kebudayaan karya Wiratmo Sukito
(Agustus 1958), Fakultas Sastra dan Drama karya Pong Waluyo (Maret
1959), dan Fakultas Sastra dan Drama: Tanggapan Tulisan Pong karya Budi
Darma (Juni 1959).
Seperti halnya di dalam lembaran kebudayaan Pelangi majalah
Gadjah Mada, di dalam lembaran seni dan sastra Bunga dan Bintang majalah
Gama pun dimuat puisi, cerpen, dan esai atau kritik sastra. Beberapa karya
puisi yang dipublikasikan di dalam lembaran itu, antara lain, Lagu Malam
Hari karya Hardjana HP, Dari Perjalanan Jauh, Diri, Yang Mabuk
karya Herman Soekardjo, Kembali karya Attie D., Cemerlang di Ambang
58, Madah dan Generatie karya Suparto R. Sastrowardojo, Kampung
dan Di Lereng Bukit karya Rusdi W., Perjalanan karya G.H. Hendrarto,
Kedatangan karya Budi Darma, Ada Bulan di Laut karya S. Tarno J.C.
(Desember 1957Januari 1958), Hati Lalu karya S. Tarno J.C., Kabar dari
Daerah Kering karya Hardjana H.P., Tahun Baru karya Moehardi, Cinta
karya Jussi Soehardi, Lintasan dan Hati karya Herman Soekardjo,
Catatan karya Amir Pr., Pintu karya An Aly, Kemana? karya S.I.
Pringgaputera, Penemuan Dirinya karya Budi Darma (Februari 1958),
Pengakuan, Berdua, Janji, dan Pertukaran karya Budi Darma (Maret
1958), Di Luar karya Subagijo Joseph, Machluk Kehilangan dan
Pengakuan karya Suminar, Pelancong Malam dan Gersang karya
Suparto R. Sastrowardojo (April 1958), Pesta karya Roedjito S.K. (Mei
1958), Tentang Bidang dan Buah dan Bunga Malam karya Suradal, Kisah
Perjalanan (?), Perjalanan dan Senja karya Roedjito S.K., Rumah yang
Kutinggalkan karya R. Rosa (JuniJuli 1958), Pulang karya Subagijo
Joseph, Teori dan Nanti, Harga Diri dan Lagu, Titik dan Adik karya
Suradal, Lagu 31 Maret 1958 karya Hardjana H.P., Hati yang Jauh karya
S. Tarno J.C. (Agustus 1958), Kehidupan karya A.S. Abdullah, Timpang
karya F.P. Janta, Hakekat karya Jussar A.S. (September 1958), Catatan dan
Sendiri karya Mir, Peristiwa Sehari dan Rumah karya Dis, Perjalanan
ke S. Sono karya Iko Kastino Sk. (Oktober 1958), Terimalah dari
Penyerahan karya Iko Kastino, dan Jutinah karya Yoesmanam R.M.
(November 1958).
Beberapa cerpen yang telah dimuat dalam majalah Gama, antara lain,
Willis karya Budi Darma (Desember 1957Januari 1958), Pulangnya
Prosiding
47
DARI REVOLUSI
air sabun dikacau
membusa
buih sabun ditiup
mengembang gembung
terbang membubung
ke udara
makin lama makin besar
sudah besar bertambah jua
Prosiding
48
bundar berputar-putar
akhirnya tiba batasnya: pecah
lenyap di dalam hawa
busa sabun
terjadinya seperti cendawan
kesarnya secepat kilat
begitu pula pecahnya
busa sabun
mainan si buyung!
Puisi tersebut menggambarkan tema kemerdekaan dan cinta tanah air melalui
simbol busa sabun yang ditiup, lalu membesar, menggelembung, dan akhirnya
pecah. Kata pecah dalam hal ini adalah suatu ungkapan bahwa kemerdekaan
yang telah sekian lama diperjuangkan akhirnya dapat dicapai juga. Persoalan
yang sama terlihat pula dalam puisi Lagu Kerakyatan (Gadjah Mada,
Oktober 1952) karya Yuddha, Rangsang (Gadjah Mada, Januari 1954) karya
Soegi Notosoewarso, Membangun Kembali (Gadjah Mada, November 1954)
karya Bier, Bunuh Diri (Gadjah Mada, September 1954) karya Wiratmo
Sukito, Hampa (Gadjah Mada, Juli 1955) karya Sjamsul Suhud, Anak
Perjuangan (Gadjah Mada, Oktober 1955) karya Yusmanam, Amor Fati
(Gadjah Mada, November 1955) karya Henry Guntur Tarigan, dan
Perjalanan (Gama, Desember 1957Januari 1958) karya G.H. Hendrarto.
Sementara itu, ditinjau dari sigi stilistik, karya-karya puisi dan cerpen
yang dimuat dalam dua majalah itu umumnya telah bercorak modern. Gaya dan
corak penulisan puisi tradisional telah ditinggalkan, dan puisi-puisi tersebut
telah ditulis dengan gaya bebas, tidak terikat oleh aturan-aturan pembaitan,
bunyi, dan atau persajakan. Selain itu, dalam hal penulisan cerpen, sebagian
besar cerpen didominasi oleh gaya penulisan realistik dengan pola alur lurus
dan penokohannya pun bukan tokoh-tokoh yang berasal dari dunia antah
berantah. Meskipun kadang-kadang tidak jelas identitasnya, tokoh-tokoh yang
ditampilkan dapat mewakili atau menjadi simbol manusia yang hidup di dunia
pada umumnya. Berikut dikutipkan sebuah puisi berjudul Aku dan Kelelawar
(Gadjah Mada, November 1952) yang bercorak modern.
49
50
51
itu, dilihat dari orientasi kritiknya, kritik yang berisi penjelasan atau paparan
(eksposisi) atas dunia atau masyarakat di seputar sastra-lah yang paling
dominan muncul. Karena umumnya tulisan kritik di media massa itu bersifat
impresif, tidak mengherankan jika karya-karya kritik itu tidak dapat memfokuskan perhatian secara khusus pada salah satu aspek (pengarang, karya,
penerbit, atau pembaca), tetapi selalu berkaitan dengan aspek-aspek lain yang
lebih luas. Itulah sebabnya, yang terlihat di dalam karya-karya kritik itu adalah
gabungan dari beberapa orientasi.
Satu hal lagi yang perlu dicatat ialah bahwa baik di dalam majalah
Gadjah Mada maupun Gama, karya sastra yang berupa (naskah) drama dan
novel (cerita bersambung) boleh dikatakan tidak pernah muncul. Ketidakmunculan dua jenis sastra itu dapat dianggap wajar karena jika dilihat dari segi
efisiensi, karya semacam itu jelas tidak efisien karena umumnya banyak
menyita halaman (ruangan). Sementara itu, sebagai sebuah majalah umum,
majalah-majalah itu harus memberi porsi yang cukup banyak dan beragam bagi
berbagai bidang. Itulah sebabnya, yang setiap terbit pasti muncul adalah puisi.
Bahkan, di dalam majalah Gama, cerpen, yang di sini disebut sebagai fiksi
pendek, diartikan sebagai suatu cerita yang benar-benar pendek. Sebab,
panjang cerpen pada umumnya hanya satu halaman dan di dalam ruang
pemuatan cerpen itu pun dicantumkan pula keterangan alokasi waktu untuk
baca, misalnya waktu baca 9 menit atau waktu baca 7 menit.
6. Simpulan
Dari seluruh paparan di depan akhirnya dapat disimpulkan beberapa hal
berikut. Dari pengamatan terhadap majalah Gadjah Mada (termasuk Gama)
dapat dikatakan bahwa walaupun diterbitkan oleh dan di lingkungan tertentu
(terbatas), yakni oleh Dewan Mahasiswa di lingkungan kampus Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, majalah tersebut bukanlah majalah eksklusif. Sebab,
majalah tersebut dijual bebas kepada masyarakat umum seperti halnya
majalah-majalah lain yang diusahakan oleh kalangan umum (swasta) yang
berorientasi pada segi finansial atau pasar. Lagipula, majalah tersebut
terlepas dari sifat eksklusif karena para pengelola, penulis, dan tulisantulisannya tidak hanya menyangkut lingkungan kampus dan sekitarnya, tetapi
juga mengangkat berbagai persoalan yang terjadi baik di tingkat lokal,
nasional, maupun internasional. Bahkan, majalah tersebut juga memiliki
beberapa agen di berbagai kota di Indonesia dan juga memiliki wakil di luar
negeri.
Di samping itu, meskipun media atau majalahnya tidak berumur
panjang (18 tahun) dan para pengelola dan bentuknya pun berganti-ganti, dapat
dikatakan bahwa keberadaan sastra yang lahir dari majalah tersebut memiliki
Prosiding
52
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 1993. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi,
Isi, dan Struktur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Escarpit, Robert. 2008. Sosiologi Sastra. Diterjemahkan oleh Ida Sundari
Husen dari buku Sociologie de La Literature. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra: Dari Strukturalisme Genetik sampai
Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Laurenson, Diana dan Alan Swingewood. 1972. The Sociology of Literature.
London: Penguin.
Prosiding
53
Catatan: Seluruh data yang berupa puisi, cerpen, dan esai/kritik diperoleh dari
beberapa bundel majalah Gadjah Mada dan Gama terbitan Dewan
Mahasiswa Gadjah Mada, Yogyakarta, antara tahun 1950 dan 1968.
Prosiding
54