Anda di halaman 1dari 19

Prosiding

36

Telah dimuat dalam buku PROSIDING Seminar (Diskusi) Ilmiah Kelompok Peneliti
Kebahasaan dan Kesastraan di Lingkungan Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa Kemendikbud, diterbitkan oleh Balai Bahasa DIY, November 2012, hlm. 37-54, ISBN 978-979-185-409-2.

KEBERADAAN SASTRA
DALAM MAJALAH GADJAH MADA TAHUN 1950--1960-AN
Tirto Suwondo
Balai Bahasa Provinsi DIY

Abstrak
Artikel ini secara khusus mengkaji keberadaan sastra dalam majalah Gadjah
Mada tahun 1950--1960-an. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologi
sastra model Escarpit. Dari kajian sosiologis itu terbukti bahwa keberadaan
karya sastra dalam Gadjah Mada memiliki kontribusi yang cukup besar bagi
pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta. Kontribusi
itu terwujud melalui tampilnya berbagai karya sastra (puisi, cerpen, dan esai
atau kritik) dalam rubrik seni dan budaya dalam setiap penerbitannya.
Kenyataan demikian membuktikan pula bahwa karya sastra dalam majalah
Gadjah Mada tidak dapat diabaikan dalam setiap pembicaraan (penyusunan)
sejarah sastra Indonesia di Yogyakarta.
Kata kunci: majalah Gadjah Mada, sosiologi sastra, kontribusi, sejarah
sastra.

1. Latar Belakang
Yogyakarta adalah kota yang biasa disebut sebagai kota pelajar, kota
pendidikan, kota budaya, dan kota (daerah) tujuan wisata. Sebagai kota
pendidikan dan kota budaya, sangat wajar jika di kota Yogyakarta banyak
terbit media massa cetak, di antaranya berupa majalah (mingguan, dua
mingguan, dan bulanan). Di antara majalah-majalah itu bahkan ada yang terbit
pada masa sebelum kemerdekaan, yaitu Pusara (1933) dan Pesat (Maret 1945).
Sementara itu, yang terbit pada masa kemerdekaan ialah Api Merdika
(November 1945), Arena (April 1946), Minggu Pagi (April 1948), Budaya
(1949), Gadjah Mada (April 1950), Basis (Agustus 1950), Pelopor (1950),
Prosiding

37

Medan Sastera (April 1953, berubah menjadi Seriosa pada Maret 1954), Media
(Agustus 1954), Darma Bakti (1961), dan Suara Muhammadiyah. Akan tetapi,
di antara sekian banyak majalah tersebut, yang masih bertahan hidup hingga
sekarang hanya majalah Basis, Suara Muhammadiyah, dan mingguan Minggu
Pagi.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di dalam majalah-majalah
tersebut muncul rubrik-rubrik seni dan budaya yang di dalamnya banyak
dimuat karya sastra (puisi, cerpen) di samping kritik sastra dan kritik seni
budaya pada umumnya. Hal demikian mengindikasikan bahwa kehidupan dan
perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta hingga tahun 1960-an didukung
oleh kehadiran karya sastra dalam majalah-majalah tersebut. Di samping itu,
hal tersebut juga disebabkan pada masa awal pertumbuhan hingga masa awal
Orde Baru tradisi penerbitan karya sastra dalam bentuk buku belum tumbuh.
Bertolak dari kenyataan di atas, artikel ini secara khusus hendak
mengkaji keberadaan sastra dalam salah satu di antara sekian banyak majalah
yang terbit di Yogyakarta, yakni karya sastra dalam majalah Gadjah Mada.
Pemilihan objek kajian hanya karya sastra dalam majalah Gadjah Mada bukan
berarti bahwa karya sastra dalam majalah lainnya tidak penting, melainkan
karena majalah tersebut paling intens dalam menghadirkan karya sastra
dibanding majalah-majalah lainnya. Intensitas kehadiran itulah yang diduga
menjadi bukti bahwa karya sastra dalam majalah Gadjah Mada memiliki
kontribusi (peran) yang berarti bagi pertumbuhan sastra Indonesia di
Yogyakarta tahun 1950--1960-an. Kajian terhadap karya sastra dalam majalah
tersebut dirasa sangat penting karena hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai
bahan bagi penulisan (penyusunan) sejarah Indonesia di Yogyakarta.
2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan paparan latar belakang di atas, masalah pokok yang
dibahas dalam kajian ini dirumuskan seperti berikut. Bagaimanakah keberadaan sastra dalam majalah Gadjah Mada tahun 1950--1960-an? Tercakup
pula di dalam masalah itu ialah bagaimana keberadaan majalah Gadjah Mada
di tengah pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia pada masa tersebut.
3. Pendekatan dan Metode
Seperti telah dikatakan bahwa masalah yang dibahas dalam kajian
(artikel) ini adalah keberadaan sastra dalam majalah Gadjah Mada tahun 1950-1960-an, di samping keberadaan majalah di tengah pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta. Oleh karena itu, pendekatan atau
teori yang digunakan sebagai pegangan untuk membahas masalah tersebut
adalah sosiologi sastra, khususnya yang telah dirumuskan secara konsepsional
Prosiding

38

oleh Robert Escarpit (2008). Escarpit (2008:3) menyatakan bahwa penulis


(pengarang), buku (karya), dan pembaca (publik) merupakan fakta sastra yang
masing-masing menjadi bagian dari suatu sirkuit. Pada titik sirkuit tertentu,
penulis (individu pengarang) menimbulkan masalah interpretasi psikologis,
moral, dan filsafat. Pada titik sirkuit yang lain, buku (karya) menimbulkan
masalah estetika, gaya, bahasa, dan teknik. Sementara, pada titik sirkuit tertentu yang lain, pembaca (kolektivitas, publik) menimbulkan masalah dari segi
historis, politik, sosial, dan ekonomi. Semua masalah itu, menurut Escarpit
(2008:3), adalah juga merupakan fakta sastra sehingga --di dalam konsep
sosiologi sastra-- ada banyak cara untuk membahas fakta-fakta tersebut.
Salah satu fakta sastra dalam konteks hubungan antara penulis, karya,
dan pembaca adalah masalah sirkuit distribusi (Escarpit, 2008:67--111). Salah
satu di antara sirkuit distribusi itu ialah lembaga penerbitan (di antaranya
majalah) yang bertugas mempublikasikan karya sastra. Agar dapat eksis
menjadi suatu hasil ciptaan, karya sastra harus memisahkan diri dari penciptanya dan menjalani nasib hidupnya sendiri di hadapan publik. Di sinilah peran
penerbitan yang seolah sama dengan peran bidan bagi kelahiran bayi. Bidan
memang bukan merupakan sumber kehidupan, bukan pula memberikan
sebagian dari badannya, tetapi tanpa bidan suatu bayi (karya) yang telah
dibuahi dan disempurnakan dengan kreasi tertentu tidak akan dapat eksis.
Pendek kata, eksistensi atau keberadaan suatu karya (sastra) sangat ditentukan
oleh lembaga penerbitan karena lembaga itu berperan sebagai penasihat,
pengarah, dan penentu hidup dan matinya (Escarpit, 2008:68--69).
Demikian salah satu sisi konsep sosiologi sastra yang digunakan
sebagai pegangan untuk membahas masalah keberadaan sastra sekaligus
keberadaan majalah Gadjah Mada tahun 1950--1960-an. Dalam batas-batas
tertentu konsep ini tidak berbeda dengan sisi tertentu pendekatan ekstrinsik
(Wellek dan Warren, 1989:79--81), tidak berbeda pula dengan sisi tertentu
pendekatan sistem produksi sastra (Laurenson dan Swingewood, 1972:13--19;
Damono, 1993:8; Faruk, 1994:3), dan tidak bertentangan dengan sisi tertentu
pendekatan sistem penerbitan (dan pengayom) dalam konteks makro sastra
(Tanaka, 1976:8--11). Sesuai dengan arah kajian yang menggunakan
paradigma sosiologi sastra, pengumpulan data antara lain dilakukan dengan
metode observasi dan dokumen (Sugiyono, 2012:241). Sementara itu, analisis
data dalam penelitian (kajian) kualitatif ini dilakukan dengan metode survei
dan atau deskriptif (Nasir, 1985:64--65). Dengan berpegang pada pendekatan
dan metode tersebut, bahasan tentang keberadaan sastra di dalam --sekaligus
keberadaan-- majalah Gadjah Mada tampak seperti pada paparan berikut. Akan
tetapi, sebelum dibahas tentang keberadaan sastra, terlebih dahulu dibahas
tentang keberadaan majalah.
Prosiding

39

4. Keberadaan Majalah Gadjah Mada


Majalah Gadjah Mada adalah majalah yang diusahakan oleh Dewan
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada dan dikeluarkan oleh Badan Penerbit
Gadjah Mada Yogyakarta. Latar belakang penerbitan majalah yang berhaluan
pengetahuan umum dan berukuran 18,5 x 26 cm tersebut adalah sebagai
berikut. Pada tanggal 11 Januari 1950 Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta mengadakan sebuah pertemuan atau sidang. Di dalam sidang
yang dihadiri oleh para pengurus senat mahasiswa dari berbagai fakultas
tersebut antara lain diputuskan suatu sikap atau pendirian tertentu. Sikap atau
pendirian itu berbunyi sebagai berikut (Gadjah Mada, Thn. I, No. 1, April
1950).
SIKAP MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA
Sebagai kelanjutan dari kehendak rakyat untuk mempertahankan dan menyempurnakan Negara Republik Indonesia
sebagai pendorong perjuangan kemerdekaan seluruh bangsa
Indonesia.
Sebagai pusat kebudayaan yang turut menentukan kejayaan
bangsa.
Sebagai pusat pendidikan tenaga-tenaga ahli yang sangat
diperlukan bagi pembangunan negara.
Maka telah menjadi keyakinan yang teguh dari kami,
mahasiswa-mahasiswa pada Universitas Gadjah Mada.
Untuk turut serta menyumbangkan segala tenaga dan pikiran
dan turut bertanggung jawab penuh atas penyempurnaan
bentuk dan isi Universitas Gadjah Mada.
Bertolak dari sikap (pendirian) para senat mahasiswa itulah majalah Gadjah
Mada terbit. Akan tetapi, walaupun sikap dan pendirian itu diputuskan dalam
sidang pada bulan Januari 1950, majalah tersebut ternyata tidak langsung dapat
terbit pada bulan berikutnya (Februari 1950), tetapi baru terbit tiga bulan
kemudian (April 1950).
Dengan dan atau melalui majalah Gadjah Mada para mahasiswa
Universitas Gadjah Mada memiliki tujuan sebagai berikut. Tujuan yang
kemudian dituangkan di dalam kata pengantar redaksi pada terbitan pertama
majalah Gadjah Mada tersebut berbunyi demikian.

Prosiding

40

Kami hendak mendekatkan, menyatukan hidup dan dunia


Universitas Gadjah Mada ini dengan bangsa dan masyarakat
Indonesia.
Kami hendak meluaskan hubungan kami dalam arti kebudayaan yang luas dengan dunia mahasiswa di seluruh dunia,
khususnya di dunia Timur.

Dengan dilandasi oleh tujuan itu pula pada akhirnya majalah Gadjah Mada
dapat hadir secara eksis hingga tahun 1968 (selama kurang lebih 18 tahun).
Sesuai dengan slogannya yang berbunyi berhaluan pengetahuan umum,
majalah Gadjah Mada hadir sebagai majalah umum --meskipun diterbitkan
oleh dan di lingkungan (terbatas) kampus UGM-- yang berisi berbagai hal yang
berkaitan dengan masalah politik, ekonomi, sosial, budaya (termasuk di
dalamnya sastra), pendidikan, bahkan olah raga, dan sebagainya.
Seperti diketahui bahwa sejak awal penerbitannya alamat redaksi
majalah Gadjah Mada berpindah-pindah. Pada awal terbitannya Gadjah Mada
berkantor redaksi di Jalan Margo Kridanggo 20, Yogyakarta. Beberapa bulan
kemudian, kantor redaksi pindah ke Jalan Serayu 9, kemudian pindah lagi ke
Lempuyangwangi 34, dan terakhir di Jalan Merapi 16, Yogyakarta. Sementara
itu, sesuai dengan keadaan di sebuah perguruan tinggi yang selalu terjadi
pergantian mahasiswa (ada yang masuk dan ada yang keluar/lulus), susunan
nama-nama yang bertindak sebagai redaksi pun berganti-ganti pula. Pada
tahun-tahun awal penerbitannya, nama-nama yang menduduki posisi itu ialah:
Moh. Kamal (pemimpin umum), Suwandi, Abd. Azis, Sulistio (staf redaksi),
Zakaria, Soefaat, Soeradio, Nazir Alwi, Justam S. (sidang pengarang), Amir
Alamsjah (sekretaris redaksi), dan Koentjoro (penasihat teknis). Sementara itu,
ketika majalah ini berkantor redaksi di Jalan Serayu 9, susunan redaksinya
ialah Moh. Kamal (pemimpin umum), Abd. Azis, Sulistio, Sutijono (penyelenggara), Amir Alamsjah, Nizar (sekretaris redaksi), Subantardjo, Suwandi,
Sadli, Herusubeno, Zakaria, Nazir Alwi, Mutijar, Subagijo Hadinoto, Anas
Maruf, Kuntjoro, dll. (sidang pengarang). Pada waktu majalah itu berkantor di
Lempuyangwangi 34, Yogyakarta, selain nama-nama tersebut, muncul namanama baru, yaitu Moh. Suroto, Rd. Ps. Soewondo (pembantu di Nederland),
Karno Barkah, Surjo, Sudiono (pembantu di Amerika), dan S.R. Hendrawan
(perwakilan di Jakarta).
Ketika majalah tersebut (Gadjah Mada, No. 7, Oktober 1957) beralamat redaksi di Jalan Merapi 16, Yogyakarta, susunan redaksinya adalah Mr.
Soelistijo, Uhum Siah Lubis, Abd. Aziz, Moedojo, Sutijono Darsosentono,
A.T. Birowo, Koesnadi, Ir. Suwarno (dewan penyelenggara), Moh. Kamal,
Suwandi, Sudikno, Soebantardjo, Pamudji Rahardjo, Slamet Moeljono,
Prosiding

41

Soekardjo, Soetji Hartini, H. Santoso, Sumali, Darmawan Adi, Bintarto,


Zakaria, Abdullah Hadi, Umar Kayam, dan Djalinus Sjah (sidang pengarang).
Pada tahun 1960-an redaktur majalah ini antara lain adalah Koesnadi Hardjasoemantri, Soewarno, A.T. Birawa, Bintarto, Monang M. Sitindjak, Soebagio
Sastrowardojo, W.S. Rendra, Soejono Hadi, Budi Darma, dan Subadhi.
Perubahan atau pergantian redaktur tersebut membawa dampak pada perubahan kebijakan sehingga penampilan majalah Gadjah Mada mengalami
perubahan baik dari sisi ukuran maupun tampilan sampul-(cover)-nya.
Beberapa contoh sampul memperlihatkan bahwa majalah Gadjah Mada
mengalami perubahan ukuran dari yang semula besar (18,5 x 26 cm) menjadi
lebih kecil (15 x 21 cm). Meski ukuran mengalami perubahan, yang tampak
konsisten ditampilkan di cover majalah tersebut adalah gambar patung kepala
Patih Gadjah Mada yang di sebelah kirinya berdiri tegak sebuah gapura. Selain
itu, sebagai upaya untuk menarik perhatian pembaca, pihak pengelola juga
melakukan pengubahan jenis huruf (font) dan desain sampul. Semua itu
dilakukan tentu berhubungan erat dengan kebijakan pengelola atau redaksi
dalam upaya meningkatkan pasar.
Meskipun diterbitkan oleh sebuah perguruan tinggi, yaitu Univer-sitas
Gadjah Mada, majalah Gadjah Mada ternyata tidak begitu saja diterbitkan dan
kemudian dibagikan secara gratis kepada pembaca yang berminat, tetapi dijual
bebas kepada masyarakat umum (saat itu harga per eksemplar Rp1,50 untuk
pembeli dalam kota dan Rp2,00 untuk pembeli luar kota). Hal ini dilakukan
karena dana (untuk biaya cetak, untuk membayar honorarium penulis, dll.)
yang berasal dari para donatur (pihak UGM, bahkan juga dari Sri Sultan
Hamengku Buwana IX) sangat terbatas, sementara sebagai suatu majalah
bulanan, setiap bulan majalah tersebut harus terus terbit. Itulah sebabnya, untuk
menjaga kontinyuitas penerbitan majalah Gadjah Mada, selain menjualnya
kepada masyarakat, pihak pengelola majalah yang dicetak dengan kertas koran
itu juga berusaha menjual saham seharga Rp100,00, Rp200,00, dan Rp500,00
per lembar. Bahkan, majalah yang pada awal tahun 1950-an bertiras 3000
hingga 5000 eksemplar dan sasaran pembacanya kelas menengah dan atas
tersebut juga membuka ruang untuk menjaring iklan. Lagipula, untuk
memperluas pasar, majalah tersebut juga membuka agen-agen di berbagai
kota di Indonesia (Bojonegoro, Banyuwangi, Madiun, Solo, Tegal, Semarang,
Temanggung, Medan, Banjarmasin, Balikpapan, Manado), di samping terus
meningkatkan jumlah pelanggan dan mengadakan sayembara. Berkat berbagai
upaya itulah majalah Gadjah Mada dapat terbit secara rutin (bulanan) hingga
mencapai umur 18 tahun (pada 1968). Tidak diketahui dengan jelas mengapa
pada tahun tersebut Gadjah Mada menghentikan penerbitannya. Akan tetapi,
ditilik dari aspek sosial-politik saat itu, dapat diduga bahwa kematian majalah
Prosiding

42

tersebut akibat terjadinya peristiwa G-30-S PKI yang berlanjut pada pergantian
kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Perlu dicatat bahwa di samping terbit majalah Gadjah Mada, di
lingkungan Universitas Gadjah Mada terbit juga majalah Gama. Baik majalah
Gadjah Mada maupun Gama sama-sama dikelola oleh Dewan Mahasiswa
Universitas Gadjah Mada, tetapi orientasinya sedikit berbeda. Kalau majalah
Gadjah Mada ditujukan kepada masyarakat (pembaca) umum, majalah Gama
yang beralamat redaksi di Sitihinggil, Tromolpos 48, Yogyakarta lebih ditujukan kepada masyarakat kampus (meskipun dibaca juga oleh masyarakat
umum). Tidak diketahui secara jelas pula mengapa pada saat yang hampir
bersamaan Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menerbitkan dua majalah sekaligus. Dikatakan pada saat hampir bersamaan karena
majalah Gadjah Mada terbit pertama pada April 1950 (tahun 1950 dicatat
sebagai Tahun Pertama penerbitan), sedangkan majalah Gama terbit pertama
pada Desember 1950 (tahun 1951 dicatat sebagai Tahun Pertama penerbitan).
Seperti diketahui bahwa majalah Gama, majalah yang berukuran besar
(sekitar 17 x 25 cm) tersebut, merupakan media komunikasi intrakampus
(gema intrauniversiter). Dengan label gema intrauniversiter itu majalah
tersebut dimaksudkan sebagai alat komunikasi bagi kalangan intelektual
kampus, baik tenaga pengajar, karyawan, maupun mahasiswa. Oleh karena itu,
berita, esai, dan atau tulisan-tulisan yang disajikan di dalamnya cenderung
menggambarkan aktivitas kampus, walaupun tidak jarang tulisan mengenai
persoalan sosial, politik, ekonomi, seni-budaya, dan sejenisnya muncul.
Sebagaimana diketahui pula, majalah Gama dikelola oleh orang-orang yang
pada akhirnya tumbuh dan eksis menjadi intelektual terkenal atau bahkan
menjadi sastrawan yang memiliki nama besar. Seperti halnya para pengelola
majalah Gadjah Mada yang belakangan dikenal sebagai orang-orang
ternama di bidang sosial budaya atau ilmu humaniora (Kusnadi Harjasumantri, Wiratmo Sukito, Sadli, Slamet Mulyono, Umar Kayam, Anas
Maruf, Iwan Simatupang, Teuku Jacob, dan sebagainya), para pengelola
majalah Gama pun belakangan dikenal sebagai orang-orang besar dan ternama. Dapat disebutkan, misalnya Nazaruddin Lubis, Muhardi Atmosentono,
P. Guritno, dan Budi Darma.
Seperti halnya majalah Gadjah Mada, majalah Gama juga dijual
secara bebas kepada masyarakat umum (harga eceran per eksemplar Rp1,50).
Hal demikian menandai bahwa hidup matinya majalah yang berketebalan
kurang lebih 50 halaman dan dicetak dengan kertas koran itu ditentukan oleh
dirinya sendiri. Oleh sebab itu, untuk mempertahankan kelangsungan hidup
dirinya sendiri, majalah Gama juga membuka ruang untuk menjaring iklan.
Bahkan, untuk menghimpun pembaca sebanyak-banyaknya, majalah itu juga
Prosiding

43

mencoba meningkatkan jumlah pelanggan di samping mengiklankan diri di


berbagai media massa lain. Demikian selintas gambaran umum mengenai
majalah Gadjah Mada dan Gama. Yang menarik untuk dicatat ialah bahwa
kedua majalah yang sama-sama diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa Universitas
Gadjah Mada tersebut memberikan ruang yang cukup luas bagi hadirnya karya
sastra (puisi, cerpen, dan esai/kritik sastra). Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa keberadaan karya sastra dalam kedua majalah tersebut telah
memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan seni-sastra Indonesia
di Yogyakarta. Untuk lebih jelasnya, berikut dipaparkan mengenai hal tersebut.
5. Keberadaan Sastra dalam Majalah Gadjah Mada
Tidak dapat dipungkiri bahwa majalah Gadjah Mada, termasuk juga
majalah Gama, memiliki kontribusi atau sumbangan yang relatif besar bagi
perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta. Meskipun Gadjah Mada (dan
Gama) bukan satu-satunya majalah yang berperan penting bagi perkembangan
seni pada umumnya dan sastra khususnya di Yogyakarta, --sebab di Yogyakarta ada pula majalah Basis, Budaya, Medan Sastera, Seriosa, Pusara, Suara
Muhammadiyah, dan sebagainya yang juga mempublikasikan karya-karya
sastra--, tetapi karena sejak awal penerbitannya kedua majalah tersebut hampir
secara rutin mempublikasikan karya sastra (puisi, cerpen, dan esai/kritik), jelas
bahwa keberadaan (eksistensi) majalah sekaligus keberadaan karya sastra
dalam majalah tersebut dapat dikatakan menjadi penyumbang yang cukup
berarti bagi perkembangan seni dan sastra Indonesia di Yogyakarta.
Pada awalnya, di dalam majalah Gadjah Mada, karya sastra, terutama
puisi, ditampilkan secara tidak teratur, artinya, puisi-puisi itu hanya dimuat
pada sela-sela ruang kosong tulisan lain. Akan tetapi, pada perkembangan
berikutnya, puisi-puisi itu, termasuk karya-karya sastra lainnya, disajikan
secara khusus di dalam rubrik budaya. Rubrik budaya itu diberi nama Pelangi:
Lembaran Kebudayaan Majalah Gadjah Mada. Di dalam lembaran kebudayaan itu karya puisi, cerpen, dan esai atau kritik seni (sastra) ditampilkan
dengan cukup menarik; bahkan tidak jarang ditampilkan pula karya-karya
terjemahan. Di dalam dan lewat lembaran kebudayaan itu pula nama-nama
penyair dan cerpenis masih ada yang aktif hingga saat ini. Sementara itu, di
dalam majalah Gama, pada awalnya karya sastra (puisi, cerpen, dan esai atau
kritik) juga disajikan secara tidak teratur, tetapi pada masa perkembangannya
kemudian, karya-karya sastra itu khusus disajikan di dalam rubrik Bunga dan
Bintang: Lembaran Seni dan Sastera. Seperti halnya dalam majalah Gadjah
Mada, dalam majalah Gama sering ditampilkan karya-karya terjemahan.
Sejak awal penerbitannya, di dalam majalah Gadjah Mada, nama
redaktur yang khusus mengasuh subrik Pelangi tidak disebutkan secara
Prosiding

44

eksplisit. Hal ini berbeda dengan majalah Gama. Di dalam majalah Gama,
nama-nama yang bertindak sebagai redaktur khusus rubrik Bunga dan
Bintang disebutkan secara eksplisit. Hanya saja, penyebutan secara eksplisit
nama-nama redaktur lembaran seni dan sastra itu baru dilakukan mulai akhir
tahun 1950-an. Mulai akhir tahun 1950-an, tepatnya sejak terbitan Mei 1958,
hingga awal tahun 1960-an, yang bertindak sebagai redaktur seni dan sastra
adalah Muhardi Atmosentono, Budi Darma, dan Amir Prawiro.
Seperti telah disebutkan bahwa di dalam lembaran kebudayaan
Pelangi majalah Gadjah Mada disajikan karya-karya sastra berupa puisi,
cerpen, esai dan atau kritik, di samping karya-karya terjemahan. Akan tetapi,
apabila dibuat perbandingan, jenis karya yang paling banyak dimuat dalam
majalah itu adalah karya puisi, baru kemudian diikuti oleh esai atau kritik dan
kemudian cerpen. Beberapa karya puisi dalam Gadjah Mada yang dapat
disebutkan, antara lain, Sampai Surya Terbit Kembali karya Usje, Pusaka
dan Kami dan Kessah Baru karya Army, Tertuju ke Gadjah Mada karya
Rasip, UntukKepada ... Mu karya Harjono S.H. (edisi April 1951),
Kenangan bagi Diana Sarsidi karya Sudiro (Mei 1951), Antara Temali dan
Pemain karya Soediro, Ukuranku karya Usje (Juni 1951), Serinade Vox
Passio karya Toha Mochtar, Untuk Mystici Muda karya Yuddha (Juli
1951), Memburu Deru karya Mayang nDresjwari, Dari Revolusi karya J.
Cobs (November 1951), Lagu Kerakyatan karya Yuddha, Sampai Surya
Terbit Kembali karya Usje (Oktober 1952), Pelangi karya Soejanto
Wongsojoedo (Februari 1953), Rangsang karya Soegi Notosoewarso,
Senja karya Yap Yan Keng (Januari 1954), Cintaku Redup Di Pagi Cerah
karya Yap Yan Keng, Sampai Surya Terbit Kembali karya Usje, Pesan
karya Utji Tjitraasmara (Februari 1954), Variasi Hidup dalam Lintasan
Bertemu karya Rivai Yusuf, Pengakuan karya Muhardi Atmosentono
(Maret 1954), Kepada Adikku karya Yap Yan Keng (April 1954), JanggarJanggar dan Dari Bawah Kemboja karya Us, Sebuah Nada bagi Mien
karya Yap Yan Keng (Mei 1954), Terjaga karya Didi Jahadi, Bagi Seorang
yang Menerima dan Penggalan karya Nh. Dini (Juni 1954), Pengalaman
Hidup karya M.Ch.Arthum, Salju Sejuk karya Utji Tjitraasmara (Agustus
1954), Senja Pasang karya Taufiq A.G., Bunuh Diri karya Wiratmo
Sukito, Cerita di Perjalanan karya Attie D. (September 1954), Di Titik
Tengah karya Sugi Notosuwarso (Oktober 1954), Membangun Kembali
karya Bier, Mimbar karya Soewito Ms. (November 1954), Perampasan
karya Sunar Hs, Kesesalan karya R. Wasita S. (Desember 1954), Sirna
karya Hidjaz Jamani (April 1955), Kebekuan Di Negeri Seberang karya
Sangkuriang, Hampa karya Sjamsul Suhud (Juli 1955), Kemalangan karya
Hidjar Jamani, Lari karya Wahju T. (Agustus 1955), Anak Perjuangan dan
Prosiding

45

Berpisah karya Yusmanam (Oktober 1955), Mula dan Sedih karya


Hidjaz Jamani, Amor Fati dan Sajak Buat Nur karya Henry Guntur
Tarigan (November 1955), Satu Kehidupan karya Hidjaz Jamani (Desember
1955), Hidup Ini dan Renungan Tak Berkesudah karya H.G. Tarigan
(Januari 1956), Penggali Batu Kapur, Lonceng, Taptu, dan Hukuman
Mati karya Kirjomulyo (Februari 1956), Tangisan dan Pelarian karya
Hidjaz Jamni, Kisah dari Gunung karya Amrin Thaib, Mula Kenal dan
Jalanmu karya Victor Hege Riganta (Maret 1956), Bumi Hijau: 30 buah
Sajak karya Rendra (Desember 1958), Setangkai Mawar Putih karya Ninik
S, Mandulang karya Kusni Sulang (Juli 1961), Nawang Wulan karya
Subagio Sastrowardoyo, Tak Bisa Kubayangkan karya Kusni Sulang
(Agustus 1961), Geliat Rahasia karya Budiman S. Hartojo (Oktober 1961),
Derita Atas Tanahku karya M. Rochansie (Desember 1961), Majulah
Pahlawan karya Budiman S. Hartojo, Dunia Amat Manja karya Syamsul
Arifin (Februari 1962), Dalam Perjalanan Itu karya Budiman S. Hartojo,
Gaun Merah Tua karya M. Rochansie, Lagu Malam Di Gubuk karya
Umbu Landu Paranggi (April 1963), Nelayan Pulang karya Umbu Landu
Paranggi, dan Lagu Musim dalam Tahun karya Kusni Sulang (Juni 1963).
Beberapa cerpen yang dimuat di dalam majalah Gadjah Mada, antara
lain, Pelayan karya Mutijar (Juli 1950), Akim Pelor karya Mutijar (Juli
1950), Riang Kecil (Agustus 1950), Riang Kecil Akhir Permulaan
(Desember 1950), Dua Jalan (Januari 1951), Menguji Hati karya Harjono
S.H. (Maret 1951), Dua Jalan karya Yuddha (Juni 1951), Belanda dan
Karabin (Februari 1952), Dua Buah Cerita karya Rip (September 1952),
Desideratum yang Tragis karya Zallys (Maret 1953), Senja Terakhir karya
Supomo S.H. (Juli 1954), Kenang-Kenangan 17 Agustus 1954 karya M.S.
(Agustus 1954), Percakapan dengan Pelukis Jalanan karya Frits Kandou
(Juni 1955), Bocah (Januari 1959), Setelah Ia Pulang karya Syamsul Arifin
S.H. (April 1959), Ibunda karya Syamsul Arifin (Mei 1959), dan Tiga
Pusara karya Rachmat Djoko Pradopo (AprilJuni 1962).
Sementara itu, beberapa esai atau kritik yang dimuat dalam majalah
Gadjah Mada, antara lain, Novel dan Cerita dari Blora karya Anas Maruf
(Februari 1951), Kesusasteraan dan Masyarakat karya Anas Maruf (Juli
1951), Pengaruh Revolusi 17 Agustus terhadap Kesusastraan Indonesia
karya Anas Maruf (AgustusSeptember 1951), Buah Kesusastraan SMA
bag A dan Surat Terbuka kepada Sdr. Suharno karya Majang nDresjwari
(November 1951), Pengarang sebagai Pemberontak karya S. Mundingsari
(Februari 1953), Wanita dalam Musik dan Kesusastraan karya Wiratmo
Sukito (Februari 1953), Masalah Penulis karya Rip (Januari 1954), Sartre
Tambah Musuh Lagi karya Wiratmo Sukito (Mei 1954), Pelukis Kontra
Prosiding

46

Polisi karya Wiratmo Sukito (November 1954), Seniman, Radio, dan Politik
karya Wiratmo Sukito (NovemberDesember 1955), Symposium Sastera
1955 karya Wiratmo Sukito (Januari 1956), Keluarga Kemuning dalam
Sayang Ada Orang Lain buah Pena Utuy Tatang Sontani karya Setiawan
H.S. (Januari 1956), Revolusi dalam Bahasa karya Wiratmo Sukito (Maret
1956), Kehidupan Seni Drama dan Kebudayaan karya Wiratmo Sukito
(Agustus 1958), Fakultas Sastra dan Drama karya Pong Waluyo (Maret
1959), dan Fakultas Sastra dan Drama: Tanggapan Tulisan Pong karya Budi
Darma (Juni 1959).
Seperti halnya di dalam lembaran kebudayaan Pelangi majalah
Gadjah Mada, di dalam lembaran seni dan sastra Bunga dan Bintang majalah
Gama pun dimuat puisi, cerpen, dan esai atau kritik sastra. Beberapa karya
puisi yang dipublikasikan di dalam lembaran itu, antara lain, Lagu Malam
Hari karya Hardjana HP, Dari Perjalanan Jauh, Diri, Yang Mabuk
karya Herman Soekardjo, Kembali karya Attie D., Cemerlang di Ambang
58, Madah dan Generatie karya Suparto R. Sastrowardojo, Kampung
dan Di Lereng Bukit karya Rusdi W., Perjalanan karya G.H. Hendrarto,
Kedatangan karya Budi Darma, Ada Bulan di Laut karya S. Tarno J.C.
(Desember 1957Januari 1958), Hati Lalu karya S. Tarno J.C., Kabar dari
Daerah Kering karya Hardjana H.P., Tahun Baru karya Moehardi, Cinta
karya Jussi Soehardi, Lintasan dan Hati karya Herman Soekardjo,
Catatan karya Amir Pr., Pintu karya An Aly, Kemana? karya S.I.
Pringgaputera, Penemuan Dirinya karya Budi Darma (Februari 1958),
Pengakuan, Berdua, Janji, dan Pertukaran karya Budi Darma (Maret
1958), Di Luar karya Subagijo Joseph, Machluk Kehilangan dan
Pengakuan karya Suminar, Pelancong Malam dan Gersang karya
Suparto R. Sastrowardojo (April 1958), Pesta karya Roedjito S.K. (Mei
1958), Tentang Bidang dan Buah dan Bunga Malam karya Suradal, Kisah
Perjalanan (?), Perjalanan dan Senja karya Roedjito S.K., Rumah yang
Kutinggalkan karya R. Rosa (JuniJuli 1958), Pulang karya Subagijo
Joseph, Teori dan Nanti, Harga Diri dan Lagu, Titik dan Adik karya
Suradal, Lagu 31 Maret 1958 karya Hardjana H.P., Hati yang Jauh karya
S. Tarno J.C. (Agustus 1958), Kehidupan karya A.S. Abdullah, Timpang
karya F.P. Janta, Hakekat karya Jussar A.S. (September 1958), Catatan dan
Sendiri karya Mir, Peristiwa Sehari dan Rumah karya Dis, Perjalanan
ke S. Sono karya Iko Kastino Sk. (Oktober 1958), Terimalah dari
Penyerahan karya Iko Kastino, dan Jutinah karya Yoesmanam R.M.
(November 1958).
Beberapa cerpen yang telah dimuat dalam majalah Gama, antara lain,
Willis karya Budi Darma (Desember 1957Januari 1958), Pulangnya
Prosiding

47

Seorang Kekasih karya Amir Prawiro (Februari 1958), Perpisahan karya


Mircham (Maret 1958), Ada Bintang di Langit karya Amir Prawiro (April
1958), Kalau Bulan Belum Turun di Pangkuan karya Mircham (Mei 1958),
Penunggang Gunung karya Soebagijo Joseph (JuniJuli 1958), Senja,
Bulan, dan Kenangan karya Amir Prawiro (Oktober 1958), dan Sebuah
Pagar karya Mircham (Oktober 1958). Sementara itu, beberapa karya esai atau
kritik yang muncul dalam majalah Gama, antara lain, Aku Ini Binatang
Jalang karya Djalinus Sjah dan Masalah Plagiat dalam Kesusastraan
Indonesia karya L.S. Rrento (Februari 1958), Seni, Seniman, dan Estetika
karya Moehardi (April 1958), Prasaran Simposion: Situasi Sastera Puisi
Sesudah Tahun 45 karya Subagijo Sastrowardojo dan Si Rangka dan
Beberapa Cerita Pendek Lain karya (?) (JuniJuli 1958, dan Hujan
Kepagian karya (?). Di dalam lembaran seni dan sastra ini Budi Darma selaku
redaktur banyak menulis riwayat para pengarang dunia.
Dilihat dari segi tematik tampak bahwa puisi-puisi dan cerpen-cerpen
yang dimuat di dalam majalah Gadjah Mada dan Gama menampilkan tema
dan masalah yang beragam, baik yang menyangkut kehidupan manusia pada
tingkat atau level personal (pribadi, individual), sosial (kemasyarakatan),
maupun level metafisikal (religius). Atau dengan kata lain, karya-karya puisi
dan cerpen yang umumnya ditulis oleh para pengarang yang masih muda
usianya itu tidak hanya mempersoalkan sisi dan gejolak hidup kaum muda,
tetapi juga mempersoalkan berbagai sisi dan gejolak sosial, ekonomi, budaya,
politik, agama, penderitaan rakyat, nilai-nilai kemanusiaan, hakikat hidup, dan
sejenisnya. Jadi, karya-karya puisi dan cerpen itu tidak berbeda dengan karyakarya puisi dan cerpen yang dipublikasikan di dalam majalah khusus sastra dan
budaya. Berikut dikutipkan satu contoh puisi yang menyuarakan masalah sosial
(perjuangan dan cinta tanah air) berjudul Dari Revolusi (Gadjah Mada,
November 1951) karya J. Cobs.

DARI REVOLUSI
air sabun dikacau
membusa
buih sabun ditiup
mengembang gembung
terbang membubung
ke udara
makin lama makin besar
sudah besar bertambah jua
Prosiding

48

bundar berputar-putar
akhirnya tiba batasnya: pecah
lenyap di dalam hawa
busa sabun
terjadinya seperti cendawan
kesarnya secepat kilat
begitu pula pecahnya
busa sabun
mainan si buyung!
Puisi tersebut menggambarkan tema kemerdekaan dan cinta tanah air melalui
simbol busa sabun yang ditiup, lalu membesar, menggelembung, dan akhirnya
pecah. Kata pecah dalam hal ini adalah suatu ungkapan bahwa kemerdekaan
yang telah sekian lama diperjuangkan akhirnya dapat dicapai juga. Persoalan
yang sama terlihat pula dalam puisi Lagu Kerakyatan (Gadjah Mada,
Oktober 1952) karya Yuddha, Rangsang (Gadjah Mada, Januari 1954) karya
Soegi Notosoewarso, Membangun Kembali (Gadjah Mada, November 1954)
karya Bier, Bunuh Diri (Gadjah Mada, September 1954) karya Wiratmo
Sukito, Hampa (Gadjah Mada, Juli 1955) karya Sjamsul Suhud, Anak
Perjuangan (Gadjah Mada, Oktober 1955) karya Yusmanam, Amor Fati
(Gadjah Mada, November 1955) karya Henry Guntur Tarigan, dan
Perjalanan (Gama, Desember 1957Januari 1958) karya G.H. Hendrarto.
Sementara itu, ditinjau dari sigi stilistik, karya-karya puisi dan cerpen
yang dimuat dalam dua majalah itu umumnya telah bercorak modern. Gaya dan
corak penulisan puisi tradisional telah ditinggalkan, dan puisi-puisi tersebut
telah ditulis dengan gaya bebas, tidak terikat oleh aturan-aturan pembaitan,
bunyi, dan atau persajakan. Selain itu, dalam hal penulisan cerpen, sebagian
besar cerpen didominasi oleh gaya penulisan realistik dengan pola alur lurus
dan penokohannya pun bukan tokoh-tokoh yang berasal dari dunia antah
berantah. Meskipun kadang-kadang tidak jelas identitasnya, tokoh-tokoh yang
ditampilkan dapat mewakili atau menjadi simbol manusia yang hidup di dunia
pada umumnya. Berikut dikutipkan sebuah puisi berjudul Aku dan Kelelawar
(Gadjah Mada, November 1952) yang bercorak modern.

AKU DAN KELELAWAR


Waktu itu
malam buta, dingin
Prosiding

49

hanya ada terang lentera


di tepi jalan, sepi
hingga kepak sayapmu
mengejut hati
gemersik suara
bersintuhan dengan daun jambu
Manusia ini pergi tidur
Sedang kamu pergi terbang
mencari
meninggalkan runtuhan butir air hujan
di daunan.
Selain gaya ungkap modern seperti tampak pada puisi karya Mbah Tirta di
atas, sebagian penyair di dalam majalah Gadjah Mada dan Gama juga
mencoba mengekspresikan ide dan gagasan ke dalam bentuk puisi naratif
semacam balada. Bahkan, ada pula penyair yang menulis puisi berbentuk surat.
Bentuk balada, misalnya, terlihat pada puisi berjudul Yutinah (Gama,
November 1958) karya Yoesmanam. Sementara itu, puisi berbentuk surat,
misalnya, tampak pada sajak berjudul Sampai Surya Terbit Kembali (Gadjah
Mada, April 1951) karya Usje berikut.

SAMPAI SURYA TERBIT KEMBALI


Kepada Ida,
Sudah lama saat itu tinggal di belakang kita. Bukan lagi
berbilang bulan; sudah banyak pula tahun yang silam sesudah
kejadian itu; sejak engkau dan aku berpandangan mata, menjumpakan rasa. Masih ingatkah engkau?
Engkau percaya aku pun percaya. Harapan saling kita simpan di
dalam dada sebagai bekal melangkah maju ke muka; bekal mencari
bekal untuk nanti .
Kemudian kita berpisah; aku tidak lagi melihat dikau seperti
dahulu di hari-hari bahagia itu. Setahun lalu satu tahun itu lama.
Tahun perpisahan kedua tampil, ketiga menyusul keempat tiba juga.
Dan satu tahun itu lama seorang bayi dapat berjalan. Kini kita belum
juga berjumpa kembali, belum, belum. Berapa lama gerangan
sudah?
Prosiding

50

Harapanku di dada ini kusimpan terus seperti dahulu, ta luntur


di basah waktu. Kucari engkau di anak mata; kunampak engkau
seperti dulu juga; tenang memandang, senyum setia.
Terdengar kabar bukan sengajabahasa engkau lupa pandanganmu yang dulu. Sayu pandangmu beralih arah, tenang
senyummu berubah warna.
Mungkinkah itu, benarkah kabar itu, sedang dada ini merasa
terus seperti dahulu, tiada berubah, setia mencari bekal bekal
untuk nanti.
Rasa dan pikir bertumbuh-tubi. Kedua-duanya ingin benar, rasa
terus terasa, yang nyata nyata sekali, jalan menjadi buntu.
Orang berkata, ta ada sesuatu di dunia ini yang tidak bertanding balas. Tiap sesuatu mem-punyai lawan, lawan bersatu, lawan
berpisah. Budi berbalas budi, hati menawan hati, jika benar dada
merasa.
Tentu di sana terasa juga.
Orang berkata, jika kembang sungguh melati, tentu putik berbau
wangi. Apakah kembangku melati sungguh berbau wangi?
Terasa melati, melati sejati! Jadi lawan di hati lawan bersatu,
berarah tinggal, berdasar sama di lubuk rasa: di sini terasa, di sana
terasa.
Kini aku belum juga melihat engkau Ida. Tetapi tentram sudah
rasaku ini. Karena jelas bagiku melati di dadaku ini putih, berbau
wangi, ta akan layu, biar berjuta tahun yang lalu dan satu tahun
sudah tak lama lagi.
Aku sanggup menunggu sampai subuh, sampai surya terbit
kembali, embun dan uap naik angkasa.
Aku
Usje
Hasil penelusuran terhadap karya-karya esai atau kritik membuktikan
bahwa walaupun dalam setiap terbit majalah tersebut selalu memuat karya esai
atau kritik, esai/kritik itu tidak selalu berisi kritik sastra, tetapi juga kritik seni
dan budaya pada umumnya. Bahkan, aspek seni, sastra, dan budaya yang
menjadi objek kritik bukan hanya seni, sastra, dan budaya Indonesia, tetapi
juga seni, sastra, dan budaya dunia. Para penulis esai dan atau kritik itu pun
tidak hanya berasal dari Indonesia, lebih-lebih dari kalangan kampus UGM,
tetapi para penulis asing juga banyak memuat karyanya di majalah tersebut.
Selain itu, tulisan-tulisan kritik hasil terjemahan juga sering muncul. Sementara
Prosiding

51

itu, dilihat dari orientasi kritiknya, kritik yang berisi penjelasan atau paparan
(eksposisi) atas dunia atau masyarakat di seputar sastra-lah yang paling
dominan muncul. Karena umumnya tulisan kritik di media massa itu bersifat
impresif, tidak mengherankan jika karya-karya kritik itu tidak dapat memfokuskan perhatian secara khusus pada salah satu aspek (pengarang, karya,
penerbit, atau pembaca), tetapi selalu berkaitan dengan aspek-aspek lain yang
lebih luas. Itulah sebabnya, yang terlihat di dalam karya-karya kritik itu adalah
gabungan dari beberapa orientasi.
Satu hal lagi yang perlu dicatat ialah bahwa baik di dalam majalah
Gadjah Mada maupun Gama, karya sastra yang berupa (naskah) drama dan
novel (cerita bersambung) boleh dikatakan tidak pernah muncul. Ketidakmunculan dua jenis sastra itu dapat dianggap wajar karena jika dilihat dari segi
efisiensi, karya semacam itu jelas tidak efisien karena umumnya banyak
menyita halaman (ruangan). Sementara itu, sebagai sebuah majalah umum,
majalah-majalah itu harus memberi porsi yang cukup banyak dan beragam bagi
berbagai bidang. Itulah sebabnya, yang setiap terbit pasti muncul adalah puisi.
Bahkan, di dalam majalah Gama, cerpen, yang di sini disebut sebagai fiksi
pendek, diartikan sebagai suatu cerita yang benar-benar pendek. Sebab,
panjang cerpen pada umumnya hanya satu halaman dan di dalam ruang
pemuatan cerpen itu pun dicantumkan pula keterangan alokasi waktu untuk
baca, misalnya waktu baca 9 menit atau waktu baca 7 menit.
6. Simpulan
Dari seluruh paparan di depan akhirnya dapat disimpulkan beberapa hal
berikut. Dari pengamatan terhadap majalah Gadjah Mada (termasuk Gama)
dapat dikatakan bahwa walaupun diterbitkan oleh dan di lingkungan tertentu
(terbatas), yakni oleh Dewan Mahasiswa di lingkungan kampus Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, majalah tersebut bukanlah majalah eksklusif. Sebab,
majalah tersebut dijual bebas kepada masyarakat umum seperti halnya
majalah-majalah lain yang diusahakan oleh kalangan umum (swasta) yang
berorientasi pada segi finansial atau pasar. Lagipula, majalah tersebut
terlepas dari sifat eksklusif karena para pengelola, penulis, dan tulisantulisannya tidak hanya menyangkut lingkungan kampus dan sekitarnya, tetapi
juga mengangkat berbagai persoalan yang terjadi baik di tingkat lokal,
nasional, maupun internasional. Bahkan, majalah tersebut juga memiliki
beberapa agen di berbagai kota di Indonesia dan juga memiliki wakil di luar
negeri.
Di samping itu, meskipun media atau majalahnya tidak berumur
panjang (18 tahun) dan para pengelola dan bentuknya pun berganti-ganti, dapat
dikatakan bahwa keberadaan sastra yang lahir dari majalah tersebut memiliki
Prosiding

52

kontribusi yang berarti bagi perkembangan sejarah sastra (dan seni-budaya)


Indonesia di Yogyakarta. Sebab, walaupun bukan merupakan majalah khusus
mengenai sastra dan budaya, (sejak tahun kedua) majalah tersebut membuka
lembaran khusus mengenai sastra (seni) dan budaya. Di dalam lembaran itulah,
yakni Pelangi dalam majalah Gadjah Mada dan Bunga dan Bintang dalam
majalah Gama, karya puisi, cerpen, dan esai/kritik seni-sastra hadir dalam
setiap kali terbit. Peran sastra dalam majalah tersebut semakin tampak besar
karena para penulis dan pengarang yang tampil pada waktu itu menjadi penulis
dan atau pengarang-pengarang besar pada masa kemudian. Nama-nama yang
kemudian menjadi besar itu ialah Wiratmo Sukito, Subagijo Sastrowardojo,
Umar Kayam, Rendra, Teuku Jakob, Budi Darma, Rachmat Djoko Pradopo,
Kusnadi Hardjasumantri, Kirjomulyo, Anas Maruf, dan masih banyak lagi.
Sementara itu, berdasarkan pengamatan terhadap karya-karya sastra
(puisi, cerpen, esai/kritik) yang dimuat di dalamnya dapat dikatakan bahwa
karya sastra yang berjenis puisi menduduki posisi pertama dan utama karena
puisi diberi ruang paling luas oleh majalah Gadjah Mada dan Gama. Setiap
kali terbit majalah itu memuat paling sedikit dua puisi, dan tidak jarang sampai
lima atau enam puisi. Kemudian, posisi kedua ditempati oleh esai atau kritik,
baru kemudian cerpen. Rata-rata dalam sekali terbit majalah itu hanya memuat
sebuah cerpen, sedangkan esai atau kritik tidak jarang lebih dari satu buah.
Hanya saja, esai atau kritik itu tidak semuanya berupa kritik sastra, tetapi juga
kritik seni dan budaya pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 1993. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi,
Isi, dan Struktur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Escarpit, Robert. 2008. Sosiologi Sastra. Diterjemahkan oleh Ida Sundari
Husen dari buku Sociologie de La Literature. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra: Dari Strukturalisme Genetik sampai
Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Laurenson, Diana dan Alan Swingewood. 1972. The Sociology of Literature.
London: Penguin.
Prosiding

53

Nasir, Moh. 1985. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.


Sugiyono. 2012. Cetakan ke-15. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan
R & D. Bandung: Alfabeta.
Tanaka, Ronald. 1976. Systems Models for Literary Macro-Theory. Lisse: The
Peter de Ridder Press.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani
Budianta. Jakarta: Gramedia.

Catatan: Seluruh data yang berupa puisi, cerpen, dan esai/kritik diperoleh dari
beberapa bundel majalah Gadjah Mada dan Gama terbitan Dewan
Mahasiswa Gadjah Mada, Yogyakarta, antara tahun 1950 dan 1968.

Prosiding

54

Anda mungkin juga menyukai