Anda di halaman 1dari 14

Pengaruh Sinusitis kronis dan Polip Hidungpada Saluran

Pernapasan Bawah dari Subyek Tanpa Penyakit Saluran


Pernapasan Bawah
Suh-Young Lee,1,2,3Soon Ho Yoon,4Woo-Jung Song,1,2So-Hee Lee,1,2,5Hye-Ryun
Kang,1,2Sun-Sin Kim,1,2,5Sang-Heon Cho1,2,5*
1

Department of Internal Medicine, Seoul National University College of Medicine, Seoul, Korea

Institute of Allergy and Clinical Immunology, Seoul National University Medical Research

Center, Seoul, Korea


3

Department of Internal Medicine, Seoul National University Bundang Hospital, Seongnam,

Korea
4

Department of Radiology, Seoul National University College of Medicine, Seoul, Korea

Seoul National University Hospital Healthcare System Gangnam Center, Seoul, Korea

ABSTRAK
Tujuan: Patologi pada saluran pernapasan atas dan bawah diyakini saling terkait; Namun,
dampak peradangan saluran napas bagian atas pada fungsi paru-paru pada subyek tanpa penyakit
paru-paru belum dievaluasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sinusitis kronis
yang di ketahui melalui temuan CT Scan dengan fungsi paru-paru pada subyek sehat tanpa
penyakit paru-paru.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan data prospektif yang
dikumpulkan dari 284 subyek yang menjalani tes fungsi paru, uji provokasi bronkus, rhinoskopi,
dan

osteomeatal

Unit

computed

tomography

sebagai

pilihan

penilaian

kesehatan.

Hasil: Temuan pada CT menunjukkan bahwa kelompok sinusitis memiliki rasio FEV 1 / FVC
lebih rendah secarasignifikandibandingkan subyek tanpaTemuan sinusitis (78,62% vs 84,19%, P
=0,019). Di antara kelompok sinusitis, Sinusitis yang di ketahui melalui temuan CT Scan sebagai

kelompok penyakit yang luas memiliki FEV1/FVC sedikit lebih rendah dibandingkan kelompok
penyakit yang lain (76,6% vs 79,5%, P = 0,014) dan hubungan yang terbebas dari kehadiran
respon berlebihan saluran pernapasan. Subyek dengan polip hidung memiliki FEV 1dan FEV1 /
FVC juga lebih rendah dibandingkan subyek tanpa polip hidung (FEV 1: 100.0% vs103.6%, P =
0.045,

FEV1

FVC:

77,4%

vs

80,0%,

0,005).

Kesimpulan:
Sinusitis kronis yang di ketahui melalui temuan CT Scan dan polip hidung berhubungan dengan
keterbatasan aliran pernapasan bawah secara subklinis dengan maupun tanpa penyakit paru yang
mendasari.
Kata Kunci:
Hyperresponsiveness bronkus; computed tomography; polip hidung; uji fungsi paru; radang
dalam selaput lendir.

PENGANTAR
Sinusitis kronis adalah penyakit radang hidung dan sinus mukosa yang disebabkan oleh
gangguan ventilasi dan drainase rongga hidung.1 Selain itu peradangan sinus pranasal (akibat
kerusakan sinomucosal dan disfungsi silia) berlangsung lebih dari tiga bulan. 2Sinusitis kronis
adalah kondisi peradangan saluran pernapasan atas yang umum terjadi dengan prevalensi 10,1%
pada populasi umum di USA.3Polip hidung adalah masa halus, dan struktur seperti anggur yang
disebabkan karena peradangan mukosa hidung. Polip hidung biasanya terjadi dalam
hubungannya dengan sinusitis kronis.4 Setelah pemeriksaan histopatologi, sinusitis kronis
disertai dengan polip hidung sering menunjukkan berbagai tingkat infiltrasi eosinofilik yang
mewakili inflamasi alergi pernapasan napas.5
Sinusitis kronis dikaitkan dengan penyakit saluran napas bagian bawah seperti
asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), danbronchiectasis. 6,7Rhinitis diketahui umumnya
menyertai 90% dari kasus asma dan suatu peristiwa serangan asma terjadi tiga kali lebih sering
pada pasien rhinitis di populasi umum. 8 Selain asma, beberapa studi telah melaporkan prevalensi
yang tinggi gejala sinonasal pada pasien PPOK yang berkisar dari 75% menjadi 88% dengan
meningkatnya prevalensi rinosinusitis pada pasien bronkiektasis yang berkisar dari 58% sampai
70% .9 Penelitian sebelumnya telah menyarankan perlunya untuk mengelola sinusitis pada asma.
Pasien yang tidak berespon pada pengobatan asma yang sudah ada menunjukkan perbaikan
setelah pengobatan agresif padasinusitis10,11; Oleh karena itu, konsep "penyakit saluran napas
yang saling berkaitan" berarti bahwa penyakit saluran napas atas dan bawah adalah manifestasi
yang berbeda dari satu proses patologis yang sama.8
Penelitian yang berhubungan dengan saluran udara pernapasan atas dan bawah telah
difokuskan pada pasien rinosinusitis dengan penyakit paru-paru

6,12,13

; Namun, efek potensi

patologi saluran pernapasan atas pada saluran udara lebih rendah yang normal belum dievaluasi.
Oleh karena itu, penelitian ini meneliti dampak sinusitis atau polip hidung pada fungsi saluran
pernapasan bawah pada subyek sehat dengan penyakit paru-paru yang pasti untuk membuktikan
"penyakit saluran napas bersatu" hipotesis pada subjek normal.

Material dan metode


Subject
Sebuah studi retrospective dilakukan terhadap pasien yang memilih Osteomeatal Unit
Computed Tomography (OMU CT) sebagi tambahan dari pemeriksaaan dasar yang ditawarkan
Seoul National University Hospotal, Healthcare System, Pusat Gangnam di Seoul, Korea Selatan
sejak Maret 2004 hingga Juni 2010. Kriteria ekskluasi pasien adalah adanya penyakit asma,
kelainan pada paru dan sedang dalam pengobatan disebabkan oleh gejala kelainan saluran nafas
bawah. X-foto thorac dievaluasi untuk mengeksklusi kelainan paru seperti bronchiectasis dan TB
paru. Institusi evaluasi di Seoul National University Hospital menyetujui studi ini dan
membebaskan dari syarat untuk informed consent.
Kuisioner, tes laborat dan uji fungsi paru.
Program tes kesehatan dasar terdiri dari Kuisioner, tes laborat dan uji fungsi paru atau PFT
(Pulmonary Function Test). Kuisioner terdiri dari status merokok, riwayat pengobatan, keluhan
gangguan pernafasan, dan kondisi komorbid seperti hipertensi,diabeters dan kelainan liver. Tes
laborat terdiri dari hitung jumlah cell darah, uji kimia darah, uji profil lipid dan uji C-reactive
protein level. Uji fungsi paru terdiri dari Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) dan
Kapasitas vital paksa (FVC).
Untuk mengidentifikasi status atopik, dilakukan tes multiple allergen simultaneous test
(MAST)-Immunoblot test (RIDA Allergy screen kit, R-Biopharm, Darmstadt, Germany). Hasil
tes tersebut menunjukan ada 39 macam alergen spesifik. IgE antibodi merespon pada 33 alergen
inhalasi dan 6 alergen makanan. Kelas 2 (0.7 IU/mL) atau lebih , menunjukan hasil positif.
Methacholine bronchial provocation test untuk menguji hiperrespon brochial (BHR)
mengggunakan metode Chai seperti yang sebelumnya dipaparkan14. Tercatat konsentrasi
provokatif menyebabkan penurunan 20% pada FEV1 (PC20) dan BHR positif didefinisikan
dengan PC20 16 mg/mL.

Pemeriksaan Sinus dan Polip Hidung


Newman et al15, melaporkan bahwa sejumlah radiologis terkemuka menilai derajat berat
sinusitis paranasal pada OMU CT berdasarkansistem penilain CT. Sistem penilaian CT berasio 0
-30 poin dan berdasarkan dari penebalan mukosa sunus paranasal ( 0-3 poin untuk saluran nasal
dan masing-masing 2 unit compleks osteomeatal). Kelainan terbatas digambarkan dengan skor
kurang dari 12poin dan kelainan luas digambarkan dengan skor 12 poin atau lebih. Gambaran
polip nasal dinilai berdasarkan penonjolan dan lesi polipoid dengan rhinoskop.
Analisis Statistik
Data kuisioner dan hasil tes laborat dibandingkan baik dengan CT maupun tanpa CT. Uji
Fishers dan Chi-square berbanding kategori dan uji Student T dilakukan untuk membandingkan
variable kontinu antar kelompok. Perbedaan fungsi paru dibandingkan dengan koefisien korelasi
yang disesuaikan dengan variabel dari kuisioner dan hasil uji laborat menunjukan beda signifikan
antara kelompok. Stratifikasi telah dilakukan sesuai dengan temuan terkini dari sinusitis beserta
derajat keparahannya : kelompok 1, tanpa sinusitis; kelompok 2, sinusitis terbatas; kelompok 3,
sinusitis luas. Hasil dari PFT berbadning dengan antar kelompok diuji menggunakan one-way
ANOVA dengan uji post-hoc. Signifikansi two-sided 5% digunakan pada semua analisi dan nilai
p kurang dari 0,05 merupakan penanda beda signifikan. Analisis statistik dilakukan dengan
aplikasi SPSS (SPSS 17.0,Inc.,Chicago,IL,USA).
RESULT
Total 284 subjek (213 laki-laki dan 71 wanita) menjalani tes OMU CT sebagai tambahan
kesehatan dasar dalam satu periode. Tidak ada subjek yang memiliki gejala kelainan pernafasan
bawah atau abnormalitas radiografi thorac
Diantara 284 subjek, 242 (85,2%) terdapat temuan OMU CT sinusitis kronik dimana 164
(57,7%) kelainan terbatas dan 78 (32,3%) kelainan luas. Gejala pada hidung tercatat 18,0% dari
semua subjek dan tren linier diamati pada frekuensi gejala dan keparahan sinusitis (9.5%, 16.5%
dan 25.6% pada subjek tanpa sinusitis, sinusitis terbatas, dan sinusitis luas. Tren linier Chisquare = 5.327, p=0,021).

Polip hidung ditemukan di 134 subyek (41,2 %) dan cenderung pada subyek dengan
sinusitis (53,7%) dibandingkan dengan subyek tanpa sinusitis (9,5%) . Gejala hidung yang lebih
muncul pada pasien dengan polip hidung ( 22,7 % ) dibandingkan pasien tanpa polip hidung
(8,5%) ( P = 0,05 ). Pada gambaran polip nasal ditemukan asosiasi linier dengan keparahan
sinusitis (Chi-squaere pada tren linier = 50.056, p<0.0001,Tabel 1).
Perbandingan kritikal karakteristik berdasarkan sinusitis komorbid dan polip hidung
Kelompok dengan kecurigaan adanya sinusitis pada pemeriksaan CT, menunjukan
predominan laik-laki (78.5% vs 54.8%, p<0.001) dan lebih tua secara signifikan dibanding
dengan kelompok kontrol tanpa sinusitis (52.0 0.6 years vs 44.3 2.0 years, p<0.001). Body
mass index (BMI) menunjukan nilai lebih tinggi oada kelompok sinusitis dibandingkan
kelompok kontrol (24.60.2 kg/m2 vs 23.10.5 kg/m2, P=0.015) (Table 2). Tidak ada beda
signifikan pada kondisi komorbid dan riwayat merokok berdasarkan gambaran sinusitis pada
temuan CT.
Subjek dengan polip nasal predominan laki-laki (86.9% vs 68.8%, p<0.001) dibandingkan
dengan kelompok tanpa polip nasal (table2). Tidak ada beda signifikan mengenai usia, BMI dan
status merokok pada polip hidung.
Perbandingan parameter fungsi paru dan bronchial hyperrespon berdasarkan gambaran
dan keparahan sinusitis
Fungsi paru dalam batas normal; meskidemikian terdapat perbedaan pada rasio FEV1/FVC
tergantung pada gambaran temuan sinusitis pada CT. Rerata rasio FEV1/FVC menunjukan
sedikit perbedaan tetapi signifikan terjadi pengurangan pada kelompok sinusitis dibandingkan
kelompok kontrol (78.60.5% vs 84.21.0%, P< 0.001, setelah pengukuran usia, jenis kelamin
dan BMI); bagaimanapun, tidak terdapat beda signifikan pada nilai mutlak dari FEV1 dan FVC
antara kedua kelompok. Provaksi bronchial methacholin tes menunjukan 115 subjek (89 dari 242
subjek dengan temuan sinusitis dan 26 dari 42 subjek tanpa temuan sinusitis). Dari 26 subjek
tanpa sinusitis tidak ditemukan BHR; bagaimanapun; 13,5% (12/89) subjek dengan sinisitus
mengindikasikan BHR positif.

Sinusitis diklasifikasi berdasarkan keparahan temuan CT, ditunjukan perbedaan nyatadalam


fungsi paru-paru (Table3). FEV1 dan FEV1/FVC lebih rendah secara signifikan pada subjek
denga sinusitis luas dibandingkan pada sinusitis terbatas, disesuaikan dengan usia, jenis kelamin
dan BMI. Analisis antar kelompk berdasarkan keparahan sinusitis menunjukan tren linier pada
penurunan FEV1 dan FEV1/FVC (P=0.034 dan P=0.032). Nilai BHR positif secara signifikan
meningkat mulai dari pasien tanpa sinusitis, sinusitis terbatas dan sinusitis luas (0.0%, 10.9%,
and 20.0%).
Table 1. Number of study subjects according to comorbid status of sinusitis and nasal polyps

Nasal

CT finding of sinusitis
Absent
Limited
Extensive
38 (90.5%)
93 (56.7%)
19 (24.4%)

Absent

total
150

polyp
Present
Total

4 (9.5%)
42

71 (43.3%)
164

59 (75.6%)
78

134
284

Table 2. Demographic and clinical characteristics according to CT finding of sinusitis or nasal


polyps
CT finding of sinusitis

Pvalue

Nasal Polyp

Pvaku
e

Absent

Limited

Extensive

Absent

Present

Male (%)
Age (year)
BMI (kg/m2)
CRP

(n=42)
23 (54.8)
44.32.0
22.00.9
0.060.01

(n=164)
122 (74.4)
52.10.8
23.60.4
0.180.04

(n=78)
68 (87.2)
51.71.0
24.30.6
0.150.03

<0.001
<0.001
0.077
0.180

(n=112)
77 (68.8)
51.91.0
24.40.3
0.290.06

(n=130)
113 (86.9)
52.10.8
24.80.2
0.170.02

<0.001
0.907
0.291
0.103

(mg/dL)
Eosinophil

171.421.

215.815.

259.919.

0.036

213.118.

244.616.6

0.200

(/uL)
Atopy (%)

5
51.9

5
47.1

1
50.0

0.763

1
42.7

58.7 (27/46)

0.274

(14/27)
8 (19.0)
18.54.3

(32/68)
29 (17.8)
22.62.2

(13/26)
20 (25.6)
21.22.5

0.357
0.634

(32/75)
17 (15.2)
19.42.3

32 (24.6)
23.52.0

0.079
0.186

Smoker (%)
Smoking
history

BMI, body mass index; LDL, low-density lipoprotein; ALT, alanine transaminase; CRP, Creactive protein.
Table 3. Effect of CT finding of sinusitis or nasal polyps on lung function and bronchial
hyperresponsiveness
CT Finding of sinusitis
Absent
Limited Extensiv

Pvalues

Nasal Polyp
Absent
Present

PValue

FEV1

(n=42)
106.02.0

(n=164)
102.81.

e (n=78)
98.11.8

0.013

(n=112)
103.61.3

(n=130)
100.01.2

0.027

(predicted %)
FVC (predicted

97.02.0

2
96.60.8

95.11.4

0.559

96.41.0

96.01.0

0.795

%)
FEV1/FVC (%)
BHR (%)

84.21.0
0/26 (0.0)

79.10.7
7/64

76.60.8
5/25 (20)

<0.001
0.007

80.00.7
4/45 (8.9)

77.40.6
8/44

0.004
0.230

CT score (point)

0.30.1

(10.9)
5.62.9

15.80.5

<0.001

6.70.5

(18.2)
10.80.5

<0.001

Gambar. Fungsi paru-paru pasien sesuai dengan keadaan sinusitis dan polip hidung. (A) Pasien
dengan sinusitis dan polip hidung menunjukkan FEV1 lebih rendah dari subyek normal. (B) FVC
menunjukkan tidak ada perbedaan antara tiga kelompok. (C) FEV1 / FVC pasien dengan kedua
sinusitis dan polip hidung secara signifikan lebih rendah dari pasien dengan hanya sinusitis atau
subyek normal.

Analisis setiap kelompok sesuai dengan tingkat keparahan dari temuan CT scan sinusitis
pada subyek tanpa BHR juga mengungkapkan kecenderungan penurun FEV1 dan FEV1 / FVC
(P = 0,022). Perbandingan parameter fungsi paru-paru dan hyperresponsiv bronchial menurut
adanya polip hidung, sebuah PFT menunjukkan bahwa subyek dengan polip hidung memiliki
nilai rasio lebih rendah FEV1 dan FEV1 / FVC dibandingkan subyek tanpa polip hidung (P =
0,027, P = 0,004 masing-masing) (Tabel 3). Selain itu, pasien dengan sinusitis dan polip hidung
menunjukkan keterbatasan aliran udara (FEV1 rendah dan FEV1 / FVC) dibandingkan pasien
dengan hanya sinusitis (Gambar A dan C). Kehadiran polip hidung tidak terkait dengan BHR
positif (Tabel 3).
DISKUSI
Penemuan utama dari studi ini adalah: 1) penurun fungsi paru-paru berhubungan dengan
temuan CT scan sinusitis kronis dan polip hidung pada subyek tanpa penyakit pernapasan bawah
2) keparahan CT scan temuan sinusitis terkait dengan tingkat obstruksi jalan napas.
Teori sebelumnya mengungkapkan terdapat hubungan antara penyakit saluran napas atas
dan bawah. Pada abad kedua, Galen (130-201 M) menyebutkan terdapat hubungan antara
simptom polip hidung dan ashma.16 Dalam beberapa dekade terakhir, literatur menunjukkan bukti
terdapat hubungan signifikan antara asma dan rinosinusitis yang telah diamati dengan melihat
frekuensi symptom sinonasal pada pasien asma terutama yang berat. 12,17,18 Konsep bernapas
(yaitu hubungan antara saluran napas atas dan bawah) telah berkembang di luar lingkup asma
dan hubungan antara rhinosinusitis telah ditemukan pada penyakit paru-paru lainnya seperti
bronkiektasis dan COPD.7,13
Hal ini tidak jelas apakah rinosinusitis memicu langsung asma atau kedua kondisi hanya
manifestasi umum dari penyakit. Namun, banyak contoh perbaikan asma setelah pengobatan
medis dan antara rinosinusitis dengan asma. 11
Beberapa hipotesis menjelaskan bagaimana hubungan itu mungkin terjadi. Salah satunya
adalah refleks hyperresponsiv naso pharyngo bronkus.19 Ada studi yang menunjukkan bahwa
stimulasi lokal dengan mediator inflamasi dapat memicu bronchospasme.20,21 Mekanisme lain
yang di duga berperan antara rinosinusitis dan asma adalah peradangan local saluran pernapasan
atas dapat menyebabkan peradangan paru dengan melepaskan faktor kemotaktik dan leukosit,

dapat meningkatkan adhesi sel receptors.20-24 Terdapat bukti bahwa pernapasan menggunakan
mulut yang disebabkan oleh rhinosinusitis dapat menyebabkan inhalasi udara kering dingin dan
udara akibat pencemaran lingkungan.25
Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa subjek yang dicurigai terkena siinusitis kronis
pada CT memiliki FEV1 lebih rendah / FVC, dengan menunjukkan gejala klinis obstruksi
saluran napas. Interpretasi keterbatasan aliran udara ditemukan pada subyek sinusitis kronis
tanpa penyakit paru-paru tanpa komplikasi. Fungsi paru-paru pada kelompok sinusitis adalah
dalam kisaran normal dan perbedaan kedua kelompok sangat minim. Namun, ada kemungkinan
aliran udara terbatas pada tahap prodromal pada penyakit gangguan napas. Evaluasi lebih
keterlibatan saluran napas bagian bawah untuk pasien sinusitis kronis harus dilakukan bahkan
dalam kasus-kasus tanpa symptom gangguan system pernapasan bawah.
Pada umumnya, diagnosis sinusitis kronis hanya berdasarkan symptom itu sulit, karena
sebagian besar symptom tidak spesifik dan tidak ada perbedaan radiografi yang normal dan
pasien yang sakit. Oleh karena itu, di perlukan radiografi yang kuat dalam mendiagnosis sinusitis
kronis.26 Banyak peneltian sebelumnya diagnosis sinusitis hanya dengan simptom dan X-ray
sinonasal . Radiografi film dapat menunjukkan kekeruhan sinus atau menunjukkan banyaknya
cairan dan udara pada sinus maksilaris, sinus frontalis dan sinus sphenoid (yang paling umum
daerah yang terinfeksi adalah daerah ethmoid anterior) divisualisasikan di film radiographs. 27
OMU CT scan dapat menunjukkan dalam bidang koronal dengan potongan 4 mm atau kurang,
dapat mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang ada; akibatnya, informasi yang diberikan dengan
bidang koronal telah terbukti berkorelasi dengan symptom dan endoskopi. OMU CT scan dapat
mengklasifikasikan keparahan sinusitis; sehingga CT scan dianggap sebagai gold standard untuk
sinusitis kronis.28,29 The European Position Paper berpedoman untuk diagnosis serta pengelolaan
Rhinosinusitis dan polip hidung minimal terdapat 2 gejala yang menunjukkan peradangan pada
hidung dan dilakukan pemeriksaan endoskopi

dan atau dengan pemeriksaan tomography.1

Dalam studi saat ini, sinusitis kronis berdasarkan OMU CT menunjukkan korelasi yang baik
dengan penurunan fungsi saluran napas bawah dan hasil yang OMUdapat mencerminkan
peradangan saluran napas bagian atas.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan dalam interpretasi hasil. Pertama, kriteria
seleksi dari subjek untuk Omu CTdan tes provokasi bronchial yang tidak jelas karena pasien

dapat memilih setiap pemeriksaan dari sistem screening. Kebanyakan pasien tidak memiliki
gejala hidung saat menjawab kuesioner; Namun, ada kemungkinan bahwa mereka memiliki
riwayat gejala hidung atau riwayat keluarga dengan penyakit pernapasan. Kedua, tidak jelas
apakah keterbatasan aliran udara adalah hasilnya menderita sinusitis kronis atau temuan
kebetulan sinusitis kronis. Meskipun beberapa hipotesis telah diusulkan, 30 mekanisme
pembatasan aliran udara di sinusitis kronis pasien tidak jelas dan sulit untuk menyimpulkan
penyebab kondisi tersebut. Harus dilakukan penelitian untuk menyelidiki dan mengklarifikasi
hubungan dari reversibilitas keterbatasan jalan napas setelah perawatan sinusitis Pada subjek
tanpa ada gangguan paru-paru. Terakhir, perbedaan jenis kelamin antara kelompok dapat
mewakili bias dan harus di evaluasi lagi. Hasil CT scan jenis kelamin laki-laki dengan sinusitis
kronis adlah 87,2% sedangkan 54,8% tanpa adanya sinusitis. Perbedaan jenis kelamin dapat
mempengaruhi perbedaan fungsi paru-paru.
Meskipun terdapat keterbatasan, aliran udara pada subyek dengan inflamasi napas atas,
seperti sinusitis kronis dan polip di tidak adanya penyakit saluran napas bagian bawah serta
hubungan dengan tingkat keparahan peradangan saluran napas bagian atas dan tingkat
keterbatasan jalan napas yang lebih rendah.
Kesimpulan , penelitian ini memberikan bukti bahwa dari CT scan menunjukkan sinusitis
kronis berhubungan dengan keterbatasan aliran udara meskipun tanpa penyakit pernapasan
bagian bawah. Hal tersebut dapat valid untuk subyek bahkan tanpa penyakit paru-paru yang
pasti.

REFERENSI
1. Fokkens W, Lund V, Mullol J. European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps
group. Zhonghua Er Bi Yan Hou Tou Jing Wai Ke Za Zhi 2008;43:317-20.
2. Ikeda K, Oshima T, Furukawa M, Katori Y, Shimomura A, Takasaka T, Maruoka S.
Restoration of the mucociliary clearance of the maxillary sinus after endoscopic sinus surgery.
J Allergy Clin Immunol 1997;99:48-52.
3. Meltzer EO, Hamilos DL, Hadley JA, Lanza DC, Marple BF, Nicklas RA, Bachert C,
Baraniuk J, Baroody FM, Benninger MS, Brook I, Chowdhury BA, Druce HM, Durham S,

Ferguson B, Gwaltney JM Jr, Kaliner M, Kennedy DW, Lund V, Naclerio R, Pawankar R, Piccirillo JF, Rohane P, Simon R, Slavin RG, Togias A, Wald ER, Zinreich SJ; American
Academy of Allergy, Asthma and Immunology; American Academy of Otolaryngic Allergy;
American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery; American College of Allergy,
Asthma and Immunology; American Rhinologic Society. Rhinosinusitis: Establishing
definitions for clinical research and patient care. Otolaryngol Head Neck Surg 2004;131:S162.
4. Benitez P, Alobid I, de Haro J, Berenguer J, Bernal-Sprekelsen M, Pujols L, Picado C, Mullol
J. A short course of oral prednisone followed by intranasal budesonide is an effective
treatment of severe nasal polyps. Laryngoscope 2006;116:770-5.
5. Zimmerman B. Clinical experience with the measurement of ECP: usefulness in the
management of children with asthma. Clin Exp Allergy 1993;23 Suppl 2:8-12.
6. Guilemany JM, Angrill J, Alobid I, Centellas S, Prades E, Roca J, Pujols L, BernalSprekelsen M, Picado C, Mullol J. United airways: the impact of chronic rhinosinusitis and
nasal polyps in bronchiectasic patients quality of life. Allergy 2009;64:1524-9.
7. Kelemence A, Abadoglu O, Gumus C, Berk S, Epozturk K, Akkurt I. The frequency of
chronic rhinosinusitis/nasal polyp in COPD and its effect on the severity of COPD. COPD
2011;8:8-12.
8. Leynaert B, Neukirch F, Demoly P, Bousquet J. Epidemiologic evidence for asthma and
rhinitis comorbidity. J Allergy Clin Immunol 2000;106:S201-5.
9. Hurst JR, Wilkinson TM, Donaldson GC, Wedzicha JA. Upper airway symptoms and quality
of life in chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Respir Med 2004;98:767-70.
10. Proimos E, Papadakis CE, Chimona TS, Kiagiadaki D, Ferekidis E, Yiotakis J. The effect of
functional endoscopic sinus surgery on patients with asthma and CRS with nasal polyps.
Rhinology 2010;48: 331-8.
11. Tsao CH, Chen LC, Yeh KW, Huang JL. Concomitant chronic sinusitis treatment in children
with mild asthma: the effect on bronchial hyperresponsiveness. Chest 2003;123:757-64.
12. Bresciani M, Paradis L, Des Roches A, Vernhet H, Vachier I, Godard P, Bousquet J, Chanez
P. Rhinosinusitis in severe asthma. J Allergy Clin Immunol 2001;107:73-80.

13. Hens G, Vanaudenaerde BM, Bullens DM, Piessens M, Decramer M, Dupont LJ, Ceuppens
JL, Hellings PW. Sinonasal pathology in nonallergic asthma and COPD: united airway
disease beyond the scope of allergy. Allergy 2008;63:261-7.
14. Kim YK, Kim SH, Tak YJ, Jee YK, Lee BJ, Kim SH, Park HW, Jung JW, Bahn JW, Chang
YS, Choi DC, Chang SI, Min KU, Kim YY, Cho SH. High prevalence of current asthma and
active smoking effect among the elderly. Clin Exp Allergy 2002;32:1706-12.
15. Newman LJ, Platts-Mills TA, Phillips CD, Hazen KC, Gross CW. Chronic sinusitis.
Relationship of computed tomographic findings to allergy, asthma, and eosinophilia. JAMA
1994;271:363-7.
16. Blanton PL, Biggs NL. Eighteen hundred years of controversy: the paranasal sinuses. Am J
Anat 1969;124:135-47.
17. Dixon AE, Kaminsky DA, Holbrook JT, Wise RA, Shade DM, Irvin CG. Allergic rhinitis
and sinusitis in asthma: differential effects on symptoms and pulmonary function. Chest
2006;130:429-35.
18. Bourdin A, Gras D, Vachier I, Chanez P. Upper airway x 1: allergic rhinitis and asthma:
united disease through epithelial cells. Thorax 2009;64:999-1004.
19. Copilevitz C, Slavin R. Sinusitis and asthma. In: Kaliner MA, editor. Current review of
asthma. Philadelphia (PA): Current Medicine LLC; 2003. 61-5.
20. Rolla G, Colagrande P, Scappaticci E, Bottomicca F, Magnano M, Brussino L, Dutto L,
Bucca C. Damage of the pharyngeal mucosa and hyperresponsiveness of airway in sinusitis. J
Allergy Clin Immunol 1997;100:52-7.
21. Georgitis JW, Matthews BL, Stone B. Chronic sinusitis: characterization of cellular influx
and inflammatory mediators in sinus lavage fluid. Int Arch Allergy Immunol 1995;106:41621.
22. Braunstahl GJ, Overbeek SE, Kleinjan A, Prins JB, Hoogsteden HC, Fokkens WJ. Nasal
allergen provocation induces adhesion molecule expression and tissue eosinophilia in upper
and lower airways. J Allergy Clin Immunol 2001;107:469-76.
23. Saito H, Howie K, Wattie J, Denburg A, Ellis R, Inman MD, Denburg JA. Allergen-induced
murine upper airway inflammation: local and systemic changes in murine experimental
allergic rhinitis. Immunology 2001;104:226-34.

24. Beeh KM, Beier J, Kornmann O, Meier C, Taeumer T, Buhl R. A single nasal allergen
challenge increases induced sputum inflammatory markers in non-asthmatic subjects with
seasonal allergic rhinitis: correlation with plasma interleukin-5. Clin Exp Allergy 2003;
33:475-82.
25. Griffin MP, McFadden ER Jr, Ingram RH Jr. Airway cooling in asthmatic and nonasthmatic
subjects during nasal and oral breathing. J Allergy Clin Immunol 1982;69:354-9.
26. Bhattacharyya N. Clinical and symptom criteria for the accurate diagnosis of chronic
rhinosinusitis. Laryngoscope 2006;116:1-22.
27. Osguthorpe JD. Adult rhinosinusitis: diagnosis and management. Am Fam Physician
2001;63:69-76.
28. Kaliner MA, Osguthorpe JD, Fireman P, Anon J, Georgitis J, Davis ML, Naclerio R,
Kennedy D. Sinusitis: bench to bedside. Current findings, future directions. Otolaryngol Head
Neck Surg 1997;116: S1-20.
29. Settipane RA. Complications of allergic rhinitis. Allergy Asthma Proc 1999;20:209-13.
30. ten Brinke A, Grootendorst DC, Schmidt JT, De Brune FT, van Buchem MA, Sterk PJ, Rabe
KF, Bel EH. Chronic sinusitis in severe asthma is related to sputum eosinophilia. J Allergy
Clin Immunol 2002;109:621-6.

Anda mungkin juga menyukai